Tinjauan Resiliensi

5. Faktor-Faktor Dalam Kemampuan Resiliensi

a. Regulasi Emosi Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang bila mengalami tekanan.Orang-orang yang resilien menggunakan seperangkat keterampilan yang sudah matang yang membantu mereka mengontrol emosi, perhatian dan perilakunya.Regulasi diri penting untuk membangun hubungan yang akrab, kesuksesan di tempat kerja dan mempertahankan kesehatan fisik.

b. Impulse control Merupakan orang yang mampu mengontrol dorongannya, menunda pemuasan kebutuhannya, akan lebih sukses secara sosial dan akademis. Orang yang kurang mampu mengontrol dorongan berarti memiliki id yang besar dan super ego yang kurang.Pola khasnya adalah merasa bergairah ketika mendapatkan pekerjaan baru, melibatkan diri sepenuhnya, namun tiba-tiba kehilangan minat dan meninggalkan pekerjaannya.

55 Ibid,

Regulasi emosi dan impulse control berhubungan erat. Kuatnya kemampuan seseorang dalam mengontrol dorongan menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memiliki kemampuan tinggi dalam regulasi emosi. Orang yang mampu mengontrol dorongan dengan baik secara signifikan akan lebih sukses secara social maupun akademis.

c. Optimisme Orang yang memiliki resiliensi adalah orang yang optimis.Mereka yakin bahwa kondisi dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan ke masa depan dan yakin bahwa mereka dapat mengatur bagian-bagian dari kehidupan mereka. Orang yang optimis memiliki kesehatan yang baik. Memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengalami depresi , berprestasi lebih di sekolah, lebih produktif dalam pekerjaan dan berprestasi di berbagai bidang.

Optimisme menyiratkan bahwa seseorang memiliki keyakinan akan kemampuannya mengatasi adversity, yang mungkin muncul di masa depan.

d. Causal analisys Causal analisys menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus menerus.

e. Empati

Empati menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka, melalui isyarat non verbal, untuk kemudian menentukan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Empati sangat berperan dalam hubungan social dimana seseorang ingin dimengerti dan dihargai. Seseorang yang rendah empatinya, walaupun memiliki tujuan yang baik, akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak resilien.

f. Self Efficacy Self Efficacy menggambarkan perasaan seseorang tentang seberapa efektifnya ia berfungsi di dunia ini. Hal itu menggambarkan keyakinan bahwa kita dapat memecahkan masalah, kita dapat mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Mereka yang tidak yakin tentang kemampuannya akan mudah tersesat.

g. Reaching out Resiliensi bukan sekedar kemampuan mencapai aspek positif dalam hidup. Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar dari kondisi sulit (reaching out) merupakan kemampuan seseorang untuk bisa keluar dari zona aman yang dimilikinya. Individu-individu yang memiliki kemampuan reaching out tidak menetapkan batas yang kaku terhadap kemampuan-kemampuan yang mereka miliki.Mereka tidak terperangkap dalam suatu rutinitas, mereka memiliki rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal-hal baru dan mereka mampu untuk menjalin g. Reaching out Resiliensi bukan sekedar kemampuan mencapai aspek positif dalam hidup. Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar dari kondisi sulit (reaching out) merupakan kemampuan seseorang untuk bisa keluar dari zona aman yang dimilikinya. Individu-individu yang memiliki kemampuan reaching out tidak menetapkan batas yang kaku terhadap kemampuan-kemampuan yang mereka miliki.Mereka tidak terperangkap dalam suatu rutinitas, mereka memiliki rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal-hal baru dan mereka mampu untuk menjalin

Di dalam sumber lain penulis menemukan faktor-faktor lain dalam kemampuan untuk resilien, yaitu:

1) Trust (kepercayaan) Trust merupakan factor resiliensi yang berhubungan dengan bagaimana lingkungan mengembangkan rasa percaya diri siswa. Perasaan percaya ini akan sangat menentukan seberapa jauh siswa memiliki kepercayaan terhadap orang lain mengenai hidupnya, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaannya, serta kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap kemampuan, tindakan dan masa depannya.

Kepercayaan akan menjadi sumber pertama bagi pembentukan resiliensi pada siswa. Oleh karena itu, bila siswa diasuh dan dididik dengan perasaan penuh kasih sayang dan kemudian mampu mengembangkan relasi yang berlandaskan kepercayaan (I HAVE), maka akan tumbuh pemahaman darinya bahwa ia dicintai dan dipercaya (I AM). Kondisi demikian pada gilirannya akan menjadi dasar bagi siswa ketika ia berkomunikasi dengan lingkungan

sekitarnya secara bebas (I CAN). 57

2) Autonomy (Otonomi)

56 Ibid, h, 24 57 Desmita, Op.Cit h. 206

Autonomy yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan seberapa jauh siswa menyadari bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri pribadi. Pemahaman bahwa dirinya juga merupakan sosok mandiri yang terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk kekuatan-kekuatan tertentu pada siswa. Kekuatan tersebut akan sangat menentukan tindakan siswa ketika menghadapi masalah.

Oleh sebab itu, apabila siswa berada di lingkungan yang memberikan kesempatan padanya untuk menumbuhkan otonomi dirinya (I HAVE), maka ia akan memiliki pemahaman bahwa dirinya adalah seorang yang mandiri, independen (I AM). Kondisi demikian pada gilirannya akan menjadi dasar bagi dirinya untuk mampu memecahkan masalah dengan kekuatan dsirinya sendiri (I CAN).

3) Initiative (inisiatif) Initiative merupakan faktor ketiga pembentukan resiliensi yang berperan dalam penumbuhan minat siswa melakukan sesuatu yang baru.Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi siswa mengikuti berbagai macam aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif siswa menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari berbagai macam aktivitas, di mana ia dapat mengambil bagian untuk berperan aktif dari setiap aktivitas yang ada.

Ketika siswa berada pada lingkungan yang memberikan kesempatan mengikuti aktivitas (I HAVE), maka siswa akan memiliki Ketika siswa berada pada lingkungan yang memberikan kesempatan mengikuti aktivitas (I HAVE), maka siswa akan memiliki

mengemukakan ide-ide kreatif, menjadi pemimpin (I CAN). 58

4) Industry Industry merupakan faktor resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah dan sosialisasi. Melalui penguasaan keterampilan-keterampilan tersebut, siswa akan mampu mencapai prestasi, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan social. Dengan prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan siswa di lingkungannya.

Bila siswa berada di lingkungan yang memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan social (I HAVE), maka siswa akan mengembangkan perasaan bangga terhadap prestasi-prestasi yang telah dan akan dicapainya (I AM). Kondisi demikian pada gilirannya akan menumbuhkan perasaan mampu serta berupaya untuk memecahkan setiap persoalan atau mencapai prestasi sesuai dengan kebutuhannya (I CAN).

5) Identity (Identitas) Identitas merupakan faktor resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman siswa akan dirinya sendiri, baik kondisi

58 Ibid, h. 206 58 Ibid, h. 206

lainnya. 59 Apabila siswa memiliki lingkungan yang memberikan umpan

balik berdasarkan kasih sayang, penghargaan atas prestasi dan kemampuan yang dimilikinya ( I HAVE), maka siswa akan menerima keadaan diri dan orang lain (I AM). Kondisi demikian pada gilirannya akan menumbuhkan perasaan mampu untuk mengendalikan, mengarahkan dan mengatur diri, serta menjadi dasar untuk menerima kritikan dari orang lain (I CAN).

Kelima faktor (kepercayaan, otonomi, inisiatif, industry, dan identitas) tersebut merupakan landasan utama bagi pengembangan resiliensi siswa, terutama dalam menghadapi situasi yang penuh

stress. 60

6. Prinsip Dasar Keterampilan Resiliensi

Ada empat prinsip dijadikan sebagai dasar bagi keterampilan resiliensi, yaitu:

a. Manusia dapat berubah Filsafat John Locke dan Jean Jacques Rousseau yang mengatakan bahwa manusia bukanlah korban dari leluhur atau masa lalunya.Setiap orang bebas mengubah hidupnya kapan saja bila memiliki keinginan dan

59 Ibid, h. 207 60 Ibid, 59 Ibid, h. 207 60 Ibid,

positif dan menetap. 61

b. Pikiran adalah kunci untuk meningkatkan Resiliensi Pendapat Aaron Beck mengatakan bahwa kognisi mempengaruhi emosi.Emosi menentukan siapa yang tetap resilien dan mengalah.

c. Ketepatan berpikir adalah kunci Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki optimisme yang tidak realistis cenderung menyepelekan resiko yang akan terjadi pada kesehatan mereka, sehingga justru menjadi tidak tertolong. Optimisme realistis, tidak mengasumsikan bahwa hal-hal baik akan datang dengan sendirinya. Hal-hal baik hanya akan terjadi melalui usaha, pemecahan masalah dan perencanaan.

d. Fokus pada kekuatan manusia Resiliensi merupakan kekuatan utama (basic strength) yang mendasari semua karakteristik positif pada kondisi emosional dan psikologis

menjadi penyebab keberfungsian negatif. Tanpa resiliensi tidak aka nada keberaniaan,

manusia.Kurangnya

resiliensi

rasionalitas dan insigh.t 62

7. Langkah-Langkah Untuk Mencapai Resiliensi

61 Sri Mulyani, Op.Cit. h, 25 62 Ibid,

h. 26

Langkah-langkah untuk meningkatkan resiliensi adalah sebagai berikut:

a. Pelajari ABC Individu harus mengetahui adversity-nya dan bagaimana ia menginterpretasi adversity tersebut. Individu harus belajar menggali dampak dari pikiran dan keyakinan sepintas terhadap konsekuensi perilaku dan emosional dari adversity. Individu harus mendengarkan pikirannya, mengidentifikasi apa yang akan ia katakan pada diri sendiri ketika berhadapan dengan masalah dan memahami bagaimana pikirannya mampu mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Dengan demikian, tidak terjadi lagi kesalahan dalam menyikapi masalah yang

bersumber dari kesalahannya dalam menginterpretasi kejadian. 63

b. Hindari Thinking Traps Ketika menghadapi adversity, manusia umumnya melakukan delapan kesalahan yang menurunkan resiliensi karena merupakan penghambat dalam berfikir, yaitu terlalu cepat mengambil kesimpulan, mempersempit pandangan (misalnya hanya fokus pada hal-hal negatif), membesar-besarkan hal negatif dan meminimalkan hal positif, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, menggeneralisasi, mengasumsikan apa yang dipikirkan orang lain, penalaran yang didasarkan

pertimbangan

emosi.

Individu harus belajar

63 Ibid, h. 60 63 Ibid, h. 60

c. Detecting iceberg Manusia sering kali menilai orang lain maupun dunia berdasarkan nilai-nilai yang ia yakini dan inginkan sendiri. Individu harus mampu mengidentifikasi deep belief yang ia miliki dan menentukan kapan hal tersebut membantu dan kapan hal tersebut justru menjerumuskan.

d. Challenging beliefs Suatu proses untuk meningkatkan pemahaman akan suatu peristiwa yang mengarahkan pada perilaku yang lebih efektif dan mendukung perilaku pemecahan masalah karena komponen kunci resiliensi adalah pemecahan masalah.

e. Putting in perspective Individu harus mampu menghentikan cara berfikir “what if” (berandai-andai) cara berpikir yang berputar-putar dan tidak sehat. Individu harus mengubahnya kepada pikiran yang lebih realistis dan lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi permasalahan yang terjadi.

f. Calming and focusing Individu harus mampu tetap tenang dan fokus bila menghadapi suatu permasalahan.Jangan sampai kondisi emosi mempengaruhi kemampuan berfikir dan berkonsentrasi. Individu harus menemukan f. Calming and focusing Individu harus mampu tetap tenang dan fokus bila menghadapi suatu permasalahan.Jangan sampai kondisi emosi mempengaruhi kemampuan berfikir dan berkonsentrasi. Individu harus menemukan

g. Real-time resiliensi Individu harus mampu mengubah counter productive thoughts menjadi resilience thoughts dengan cepat. Begitu adversity terjadi, individu segera berpikir dan bertindak resilien dengan cepat.Namun demikian, harus diingat bahwa walaupun kadangkala resiliensi

membutuhkan tindakan segera, tetapi seringkali justru tidak. 64

Seseorang tidak perlu menggunakan semua skill dalam kesehariannya untuk meningkatkan resiliensinya.Faktanya, dengan hanya menguasai dan menggunakan dua atau tiga dari skill di atas banyak orang yang mengalami perubahan dramatis dalam

resiliensinya. 65

8. Upaya Pengembangan Resiliensi Peserta Didik Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan

Sejumlah peneliti lebih memandang resiliensi sebagai suatu proses ketimbang suatu sifat. Ini berarti bahwa resiliensi merupakan kapasitas individu yang diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman lingkungan. Dalam hal ini pembahasan akan lebih difokuskan pada lingkungan sekolah, karena sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi

perkembangan siswa. 66

64 Ibid, h. 61-62 65 Ibid,

66 Desmita, Op.Cit h, 208

Di samping itu, berbagai literature tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas untuk keluar dari adversity, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan dan menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan vikasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Dengan demikian jelas bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga, yang sangat memungkinkan membantu siswa mengembangkan resiliensi.Sebagai sebuah organisasi dan institusi pendidikan, sekolah dapat menjadi kekuatan besar bagi pengembangan resiliensi siswa.Seperti halnya dengan keluarga dan masyarakat, sekolah dapat memberikan lingkungan dan kondisi yang membantu perkembangan

faktor protektif siswa. 67 Dalam upaya sekolah membantu perkembangan resiliensi siswa, ada

enam tahap strategi (six steps strategy) yang biasa disebut dengan istilah “the resiliency wheel” (roda resiliensi). Adapun strategi tersebut sebagai

berikut:

a. Tahap 1 Increase Bonding Tahap dalam membangun resiliensi siswa di sekolah adalah dengan memperkuat hubungan-hubungan (relationships).Tahap ini meliputi peningkatan hubungan di antara individu dan pribadi prososial.Hal ini penting, karena fakta menunjukkan bahwa siswa yang

67 Ibid, 67 Ibid,

Petersen menjelaskan dalam buku Desmita, bila siswa dapat bergaul dengan baik, biasanya mereka juga menunjukkan perilaku dan sikap positif dan saling membantu. Mereka juga saling memberikan dorongan untuk belajar, saling memberikan saran dan saling menolong.

Dapat dipahami bahwa hubungan-hubungan yang positif merupakan salah satu faktor protektif yang penting dalam mengurangi faktor resiko siswa di sekolah. Pola hubungan yang baik, akan menghindarkan siswa dari perilaku-perilaku berisiko/negatif seperti mengganggu teman yang sedang mengerjakan tugas, membuat keributan dalam kelas. Sebaliknya hubungan yang baik akan mendorong perilaku siswa yang positif (seperti kerja sama, tolong-menolong, dan saling menghormati).

Oleh sebab itu, dalam membantu mengembangkan resiliensi siswa di sekolah, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan terpeliharanya hubungan-hubungan. Hubungan ini diawali dengan sikap pendidik untuk membangun resiliensi, seperti memberikan harapan dan optimisme, memberikan dukungan kasih sayang dengan cara mendengarkan dan membenarkan perasaan siswa, serta dengan menunjukkan kebaikan, keharuan dan respek.

Dalam hal ini, guru harus mampu mencari dengan saksama kekuatan-kekuatan di dalam diri (inner strength) siswa, yang bisa digunakan untuk menemukan akar permasalahan dan lebih

mengedepankan kekuatan-kekuatan tersebut kepada siswa. 68

b. Tahap 2 Set Clear And Consistent Boundaries Tahap kedua dalam membangun resiliensi siswa di sekolah adalah menjelaskan dan menjaga konsistensi dari batasan-batasan atau peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah. Tahap ini meliputi pengembangan dan implementasi kebijakan sekolah dan prosedur dan pelaksanaannya secara konsisten serta menyampaikannya kepada siswa sehingga mereka mendapat gambaran yang jelas tentang harapan-harapan tingkah laku yang harus mereka penuhi.

Sistem norma, nilai, peraturan dan harapan-harapan, peran atau tingkah laku tersebut mempunyai dampak yang besar terhadap penyesuaian akademik dan sosial siswa. Ketidakmampuan siswa menyesuaikan diri dengan berbagai norma, nilai, peraturan dan harapan peran atau tingkah laku tersebut akan memicu terjadinya stress.

Oleh sebab itu, dalam upaya membantu perkembangan resiliensi siswa serta menjauhkannya dari perasaan tertekan dan adversitas, maka sejumlah norma, nilai, peraturan dan harapan peran atau tingkah laku tersebut perlu dikomunikasikan secara jelas dan dilaksanakan secara konsisten. Tanpa adanya kejelasan aturan-aturan dan harapan-harapan

68 Ibid, h. 208-210 68 Ibid, h. 208-210

sekolah. 69

c. Tahap 3 Teach Life Skills Tahap ketiga pembangunan resiliensi siswa di sekolah adalah mengajarkan keterampilan-keterampilan hidup, yang meliputi kerja sama, resolusi konflik secara sehat, resistensi, keterampilan komunikasi, keterampilan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, serta menajemen stress yang sehat. Apabila keterampilan-keterampilan ini diajarkan dan diperkuat secara memadai, ia akan membantu para siswa sukses mengendalikan resiko-resiko atau bahaya-bahaya dari masa siswa, terutama penggunaan tembakau, alkohol dan obat-obatan lainnya.

Keterampilan-keterampilan ini juga penting dalam menciptakan suatu lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didik dan membantu orang dewasa untuk dapat terlibat dalam interaksi yang efektif di

sekolah. 70

d. Tahap 4 Provide Caring And Support Tahap empat ini meliputi pemberian penghargaan, perhatian dan dorongan yang positif.Kenyataan memang menunjukkan bahwa siswa mustahil dapat berhasil mengatasi adversitas tanpa adanya perlindungan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, semua pihak yang

69 Ibid, h. 212 70 Ibid, h. 214 69 Ibid, h. 212 70 Ibid, h. 214

Dalam membantu perkembangan resiliensi siswa di sekolah, guru memainkan peranan yang lebih besar dari yang lainnya, karena gurulah yang berhadap langsung dengan siswa.Untuk itu dalam upaya mengembangkan resiliensi siswa, guru harus memberikan perhatian kepada semua siswa, mengetahui nama-nama mereka, menarik mereka yang tidak mudah berpartisipasi, serta melakukan investigasi dan

intervensi ketika mereka menghadapi situasi yang sulit. 71

e. Tahap 5 Set And Communicate High Expectations Tahap kelima dalam membantu perkembangan resiliensi siswa di sekolah adalah memberikan atau menyampaikan harapan yang tinggi. Tahap ini secara konsisten ditemui dalam literatur resiliensi dan riset tentang keberhasilan akademis. Hal ini adalah penting, karena harapan yang tinggi dan realistis merupakan motivator yang efektif bagi siswa.

Sejumlah studi tentang harapan, menunjukkan bahwa harapan yang tinggi berhubungan positif dengan motivasi dan prestasi yang tinggi. Siswa yang tidak memiliki harapan, secara tipikal menunjukkan aspirasi yang rendah untuk melanjutkan ke perguruan tinggi atau terhadap kemungkinan karir.

71 Ibid, h. 215

Harapan yang tinggi berarti kepercayaan bahwa semua siswa mampu menggunakan pikiran dan hati mereka.Membantu perkembangan resiliensi, berarti guru memandang siswa memiliki pengetahuan dan pekerjaan, mengakui kekuatan-kekuatan siswa dan menolong mereka menemukan di mana letak kekuatannya, serta mengharapkan semua siswa memiliki harapan yang tinggi dan menyampaikan harapan-harapan

tersebut kepada mereka. 72

Secara khusus guru membantu siswa untuk menghilangkan label- label, opini-opini yang dibentuk atau tekanan-tekanan yang diberikan oleh keluarga, sekolah atau masyarakat dengan kekuatan personal mereka serta membantu mereka untuk: 1) tidak menerima secara pribadi adversitas dalam kehidupan mereka, 2) tidak melihat adversitas sebagai hal yang permanen, 3) tidak melihat kemunduran sebagai pervasive.

Dari guru-guru yang memiliki harapan tinggi dan keinginan untuk memberikan dukungan inilah yang bisa membuat siswa memiliki sense of the future yang optimis dan penuh harapan, serta memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar, sehingga pada gilirannya dapat tampil menjadi

seorang yang resilien. 73

f. Tahap 6 Provide Opportunities For Meaningful Participation Strategi keenam yang dapat digunakan dalam upaya membantu perkembangan resiliensi siswa di sekolah adalah dengan memberikan

72 Ibid, h. 216 73 Ibid, h. 216-217 72 Ibid, h. 216 73 Ibid, h. 216-217

berpartisipasi dalam semua aspek fungsi sekolah. 74 Berdasarkan teori tersebut, maka tantangan bagi sekolah yang

berusaha untuk membantu mengembangkan resiliensi adalah mengikutsertakan semua siswa dalam aktivitas belajar dan dalam peran- peran yang berarti dengan membantu siswa membangun keterampilan- keterampilan yang diperlukan untuk berhasil dalam aktivitas dan peran

tersebut. 75 Membangun resiliensi siswa, dibutuhkan guru, karyawan,

pegawai, kepala sekolah, dan seluruh pihak yang terlibat di sekolah yang resilien. 76