- Satu Agama atau Banyak Agama

BAB 16 - Satu Agama atau Banyak Agama

Para ulama dan penulis sejarah agama biasanya membahas pokok masalah mereka dalam judul agama. Misalnya, mereka berbicara tentang agama Nabi Ibrahim as, agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Mereka memandang para nabi yang mendapat syariat sebagai pembawa agama. Namun Al-Qur'an Suci mempunyai terminologi dan gayanya sendiri.

Dari sudut pandang Al-Qur'an, dari awal hingga akhir, hanya ada satu agama Tuhan. Semua nabi, terlepas dari fakta apakah mereka memiliki syariat sendiri atau tidak, memiliki misi yang sama dan mendakwahkan risalah yang sama. Prinsip-prinsip dasar mereka yang disebut agama adalah sama. Ajaran-ajaran mereka hanya berbeda dalam soal hukum dan masalah-masalah subsider yang nilai pentingnya sekunder. Hukum dan masalah subsider ini beragam sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan lingkungan dan sifat khas masyarakat yang didakwahi para nabi ini. Sekalipun bentuk ajaran-ajaran mereka berbeda, namun semua nabi memvisualisasikan satu tujuan yang sama. Di samping berbeda bentuk, juga berbeda tataran. Nabi-nabi yang diutus belakangan, ajaran-ajaran mereka lebih tinggi tingkat keselarasannya dengan tahap perkembangan manusia. Misal, ada perbedaan yang besar pada tataran ajaran Islam dan nabi-nabi sebelumnya dalam hal asal-usul manusia, akhirat dan konsepsi tentang dunia. Dengan kata lain, manusia dalam kaitannya dengan ajaran para nabi adalah laksana siswa yang secara bertahap naik dari kelas satu ke kelas yang paling tinggi. Proses ini menunjukkan perkembangan agama, bukan perbedaan agama. Al-Qur'an Suci tidak menggunakan kata "agama" dalam bentuk jamak. Dari sudut pandang Al-Qur'an Suci, yang ada adalah satu agama, bukan banyak agama. Ada perbedaan yang besar antara nabi dari filosof besar dan pemimpin masyarakat terkemuka. Filosof besar memiliki mazhabnya sendiri. Itulah sebabnya di dunia ini selalu ada sedemikian banyak mazhab filsafat. Sedangkan para nabi, mereka justru selalu saling membenarkan atau memperkuat dan tak pernah saling bertentangan. Seandainya seorang nabi hidup di zaman dan di lingkungan nabi yang lain, tentu dia akan mendakwahkan juga norma hukum dan norma perilaku yang didakwahkan oleh nabi yang lain itu.

Al-Qur'an Suci dengan tegas menyatakan bahwa nabi-nabi itu merupakan satu rangkaian tunggal. Nabi-nabi sebelumnya meramalkan nabi-nabi belakangan, dan nabi-nabi belakangan mengakui dan menerima nabi-nabi sebelumnya. Al-Qur'an Suci juga mengatakan bahwa Allah telah membuat akad dengan para nabi yang isinya kira-kira menyebutkan bahwa para nabi akan saling percaya dan saling membantu.

Al-Qur'an Suci memfirmankan:

Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang denakian itu? "Mereka menjawab: "Kami mengakui." Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu." (QS. Âli 'Imrân: 81)

Al-Qur'an menyebut agama Tuhan itu Islam, dan menggambarkannya sebagai suatu proses berkelanjutan sejak dari Adam as hingga Nabi terakhir, Muhammad saw. Ini tidak berarti bahwa agama Allah itu selalu dikenal dengan nama Islam. Maksudnya adalah bahwa Islam merupakan kata yang paling baik untuk menggambarkan karakter agama ini. Itulah sebabnya Al-Qur'an Suci menyebutkan:

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Âli 'Imrân: 19)

Al-Qur'an Suci juga menyebutkan, yang artinya:

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri kepada Allah (Muslim) dan sekati-kati bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. (QS. Âli 'Imrân: 67)