Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah

MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP
SKALA KECIL UNTUK MENDUKUNG
PEREKONOMIAN WILAYAH

BUDI WARDONO

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model
Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian
Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.


Bogor,

Agustus 2015

Budi Wardono
NRP. H162100051

RINGKASAN
BUDI WARDONO. Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil
Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah. Dibimbing oleh AKHMAD
FAUZI, ACHMAD FAHRUDIN, dan AGUS HERI PURNOMO
Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian
baik dalam aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi,
masyarakat pesisir sebagian besar tergantung pada sumber daya perikanan laut,
dimana mata pencahariannya rentan terhadap guncangan dan perubahan
mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal yang penting untuk lebih
memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan direktif yang
lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber
daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan

biaya operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan
sosial di masyarakat pesisir.
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu nelayan Desa Weru Komplek
di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan nelayan di Pelabuhanratu, Kabupaten
Sukabumi. Sumberdaya perikanan di Lamongan sebagian besar adalah jenis
pelagis kecil dan demersal, sedangkan di Pelabuhanratu sebagian besar
sumberdayanya pelagis besar. Pemilihan lokasi juga berdasarkan kriteria sosial
ekonomi dari dua lokasi tersebut. Lamongan dengan jumlah produksi lebih 70
ribu ton (18% dari total produksi di Provinsi Jawa Timur), dan lebih dari 28.000
nelayan yang sebagian besar adalah nelayan kecil. Jumlah produksi di
Pelabuhanratu sekitar 8 ribu ton (4,4% dari total produksi di Provinsi Jawa Barat).
Lebih dari 5.000 nelayan yang bekerja dengan berbagai armada perikanan. Selain
alasan ekonomi, nelayan di Lamongan memiliki lembaga sosial yang dikenal
dengan nama "Blandongan" yang berfungsi sebagai "penyangga" dalam
menghadapi ketidakpastian. Blandongan merupakan organisasi nelayan yang
menyuarakan kepentingan nelayan dan membangun "aturan main" untuk
memfasilitasi kepentingan nelayan. Sedangkan di Pelabuhanratu, meskipun tidak
ada organisasi tertentu seperti "Blandongan" di Lamongan, namun memiliki
kelembagaan formal dan informal seperti kelompok nelayan dan kelompok
perantara yang dapat memfasilitasi kebutuhan nelayan. Tujuan penelitian adalah

melakukan analisis efisiensi alokasi sumber daya dan analisis perubahan faktor
produktifitas total; melakukan analisis indeks ketidakstabilan perikanan tangkap;
melakukan analisis value added perikanan tangkap skala kecil; dan melakukan
analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam memenuhi
modal untuk biaya operasional. Data yang digunakan adalah data skunder dan
data primer yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan. Total jumlah responden
sebanyak 157 orang terdiri 83 orang di Lamongan dan 74 orang di Pelabuhanratu.
Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Data Envelopement
Analysis (DEA) dan analisis indeks Malmquist (MI) untuk mengetahui kapasitas
sumber daya perikanan dan tingkat perubahan total produktifitas total perikanan.
Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppoct Instability Indexs/CII) untuk
mengetahui tingkat ketidakstabilan. Analisis regresi multinomial logistik
digunakan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber
permodalan. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa dari analisis-

analisis yang telah dilakukan, yang merupakan saran kebijakan untuk
pengembangan perikanan skala kecil.
Hasil analisis kapasitas sumber daya di Pelabuhanratu, menunjukkan alat
tangkap gillnet, alat tangkap rampus dan alat tangkap pancing ulur telah menurun
(decreasing return to scale), ketiga alat tangkap tersebut sudah terjadi gejala over

capacity. Kondisi ini menyiratkan bahwa output dari alat tangkap gill net, rampus
dan pancing ulur memiliki kecenderungan tidak responsif terhadap input.
Inefisiensi dalam menggunakan input akan menyebabkan hasil tidak optimal.
Hasil analisis kapasitas sumberdaya di Lamongan menunjukan hasil yang
berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa efisiensi skala
masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan
skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan
(overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan
indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi
fluktuasi faktor produktifitas total yang sangat besar (berkisar antara 30% sampai
250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan faktor teknologi yang mengalami
perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya. Analisis dengan
indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat diketahui penyebab
perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input. Kondisi ini
disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks
ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan
pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi.
Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan
fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input
yang diberikan dalam perikanan. Tingkat ketidakstabilan input BBM menunjukan

karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi
dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif
terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan
berdasar hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/
langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika
nelayan menghadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal
tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan nelayan skala kecil untuk
memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi, dimana
karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi
terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis
rantai pasok, rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala
kecil berperanan dalam pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati
oleh masyarakat setempat. Sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal
lebih dominan diproses menjadi produk jadi/setengah jadi yang menghasilkan
nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi oleh sumberdaya pelagis
besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar, sehingga
perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, model yang direkomendasikan
untuk kebijakan mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan

kondisi potensi sumber daya perikanan, tingkat eksploitasi, tingkat kestabilan,
hubungan para pelaku (nelayan-pemilik modal/patron-client) dan dukungan
kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil. Karakteristik nelayan dan

kondisi sumberdaya menentukan perilaku terhadap sumberdaya, interaksi nelayan
dengan sumber-sumber pembiayaan lebih kuat pada lokasi Lamongan dimana
masyarakat kurang mempunyai alternatif pekerjaan lain. Hubungan yang kuat
antara nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks,
pengembangan perikanan skala kecil harus menyertakan hubungan antara sektor
perikanan, nelayan sebagai pemain dan perantara/langgan/tengkulak yang
menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat pesisir agar nelayan
skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan ekonomi lokal
pesisir.
Kata kunci: perikanan skala kecil, langgan/tengkulak, “social cushion”, value
added, DEA, Indek Ketidakstabilan, Indeks Malmquist

EXECUTIVE SUMMARY
BUDI WARDONO. Development Model of Small Scale Marine-Capture
Fisheries to Support Regional Economy. AKHMAD FAUZI as Chairman,
ACHMAD FAHRUDIN and AGUS HERI PURNOMO Members of the

Advisory Committee.
The Small Scale marine-capture fisheries have important role in macro and
micro economy. By socio economic perspective, most of coastal community
depend on fisheries resources and employment are vulnerable to shocks and rapid
changes. According to this situation, it is important to consider small fisherman
and to develop direct and better policy in future. The understanding covers about
characteristic of fisheries resources, problem solving behavior of small fisherman
to overcome high operational cost and uncertainty, value added, and social
network among community in coastal area.
This research was done in two locations, i.e. Weru Komplek fisherman
village in Lamongan District, East Java and Pelabuhan Ratu in Sukabumi District,
West Java. Fisheries resources in Lamongan are small pelagic and demersal fish,
while in Pelabuhan ratu are big pelagic fish. Selection of research location was
based on social economic criteria of the two locations. Lamongan produced more
than 70 thousand ton of fish (around 18 per cent of fish production in East Java
Province), and involved more than 28 thousand small fishermen. Pelabuhan Ratu
produced approximately 8 thousand ton of fish (around 4.4 per cent of fish
production in West Java Province). More than 5 thousand fishermen worked with
any decision making unit (DMU). In spite of economic concern, fishermen in
Lamongan District had social institution as known as "Blandongan" that

functioned as “buffer” to come up against uncertainty. Blandongan organization
represented fisherman interest and built rule of the game to facilitate fishermen. In
Pelabuhan Ratu, there was no such organization like Blandongan that Lamongan
had. However, there were formal and informal institutions, such as fisherman
groups and middleman groups that facilitated fishermen needs. The objective of
this research was to analyze allocation efficiency of resources and total
productivity factor; to analyze instability index of marine-capture fisheries; to
analyze value added of Small Scale marine-capture fisheries; and to analyze
capital and operational cost behavior of small fishermen. This research used
secondary and primary data of fisheries business, participated 157 respondents,
i.e. 83 respondents from Lamongan and 74 respondents from Pelabuhan Ratu.
Data Envelopment Analysis (DEA) approach and Malmquist Index (MI) analysis
were conducted to know resource capacity and the change of total factor
productivity of fisheries. Coppock Index Instability (CII) analysis was used to
know instability level. Multinomial logistic regression analysis was used to
describe fishermen behavior in using capital source. Value added analysis was
done to know the magnitude of value added received by all business player in
fisheries. The recommended model was synthesized from all analysis and being
policy implication to develop Small Scale fisheries.


Based on resource capacity analysis in Pelabuhan Ratu, it showed that
capacity of gill net, rampus and marine hook were decreasing (decreasing return
to scale), the three DMU showed over capacity phenomenon. This condition
indicated that output of gill net, rampus and marine hook were not responsive to
input. This inefficiency of using usage would cause output not optimum.
Lamongan showed different result of resource capacity analysis. The efficiency
scale in Lamongan indicated increasing return to scale of Small Scale fisheries in
Weru Komplek village. Over capitalization and under capitalization of DMU
indicated uneconomical practice. The result of Malmquist Index analysis showed
large fluctuation of total factor productivity (ranged from 30 per cent to 250 per
cent) because technological factor changed more extremely than its efficiency.
Coppock Index Instability analysis revealed causes of TFP change for input and
output. The production fluctuated yearly. Most of instability index of production
were in the right above quadrant, showing high growth with high instability. The
fluctuating production that caused unstable condition was not independent. It
related to other indicators, such as input usage of fisheries. Instability of fuel
usage showed that most of production characteristic located in high growth and
high instability, describing its high risk condition. It illustrated that some
technology of marine board motor was responsive to fuel usage. The relationship
between middlemen and fishermen was based on reciprocally socio economic

interest. Middlemen played as social cushion of economy when fishermen faced
capital problem, in the meantime formal financial institution could not play its
role as well. Location affected to small fishermen to utilize operational fund,
while characteristic of marine-capture area and regional gap contributed on
bonding relationship between middlemen and fishermen.
Supply chain, value chain, and value added analysis demonstrated that
Small Scale fisheries played a role in formation and benefited from the value
added. Fisheries resources such as small pelagic and demersal fish were more
dominant in forming value added for intermediate product/final product. Fisheries
with big pelagic fish were mostly enjoyed by people out of district/producing
area. Therefore, its role on regional development was relatively small. Based on
the research result, the recommended model for developing Small Scale fisheries
should consider potential condition of fisheries resources, exploitation level,
stability level, relationship among fisheries players (fishermen – capital
owner/patron-client) and become supporting policy that focus on and direct to
small fishermen. Fisherman and resource characteristics determined behavior on
utilizing resource, interaction between fishermen and financial resources was
stronger in Lamongan, where people had less alternative jobs other than
fishermen. The strong relationship between fishermen and middlemen was a
complex phenomenon. Therefore, Small Scale marine-capture development

should involve all relationship among fisheries sector where fishermen became
the main player, middlemen mediated among players who worked and lived in
coastal area in order to enhance the role of small fishermen in local economic life
of coastal community.
Key words: small scale fisheriees, middleman, social cushion, value added, DEA,
instability index, Malmquist index

© Hak Cipta Milik IPB Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut
tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP
SKALA KECIL UNTUK MENDUKUNG
PEREKONOMIAN WILAYAH

BUDI WARDONO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
2. Dr Ir Armen Zulham, MSc

Ujian Promosi Doktor :
1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
2. Dr Ir Armen Zulham, MSc

Judul Penelitian

: Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil
untuk Mendukung Perekonomian Wilayah

Nama

: Budi Wardono

NRP

: H162100051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc
Ketua

Dr Ir Achmad Fahrudin, MS
Anggota

Dr Ir Agus Heri Purnomo, MSc
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup : 3 Agustus 2015
Tanggal Sidang Promosi : 26 Agustus 2015

Tanggal lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, dengan mengucap nama Allah SWT, Tuhan yang Maha
Esa dan Maha Pengampun, berkat izin-nya Disertasi ini akhirnya dapat
diselesaikan.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Komisi
Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc. (Ketua), Dr. Ir. Achmad
Fahrudin, MS. (Anggota), Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, MSc. (Anggota) yang telah
membimbing sejak awal penelitian sampai dengan penulisan Disertasi. Komisi
Pembimbing telah banyak memberikan saran dan masukan, serta dukungan dan
dorongan selama penelitian dan penulisan Disertasi.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang
Juanda, MS. dan Dr. Ir. Armen Zulham, MSc. yang telah memberikan masukan
subtansial, komentar yang bermanfaat, saran dan koreksi sehingga meningkatkan
kualitas disertasi ini.
Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), yang telah menjadi
teman diskusi selama penelitian dan penulisan disertasi.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada Ketua
dan Sekretaris Program Studi, semua Dosen dan Staf Sekretariat PWD atas
bantuannya selama menjalani perkuliahan sampai selesainya Disertasi ini.
Ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan untuk orang
tua, istri (Sitoresmi Triwibowo) dan anak-anak saya (Afif Naufal Fadholi dan
Farah Khalda Nabila) yang selalu memberi dukungan, dorongan dan selalu
mengingatkan agar segera menyelesaikan Disertasi ini.
Saya juga mengucapkan rasa terima kasih kepada Institusi Balai Besar
Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Litbang Kelautan dan
Perikanan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat mengikuti
program Doktor pada Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak lainnya
yang telah memberikan kontribusi sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

Bogor, Agustus 2015
Budi Wardono

DAFTAR ISI
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Lampiran
Riwayat Hidup
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup
Kebaharuan/Novelty
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Pengembangan Perikanan Nasional
Peranan Perikanan dalam Perekonomian Indonesia
Struktur Kapal Perikanan di Indonesia
Karakteristik Perikanan Skala Kecil
Kapasitas, Overcapacity, Efisiensi
Peranan Perikanan Tangkap Skala Kecil
Keterkaitan Nelayan dengan Pedagang Perantara/Langgan/
Tengkulak
Nilai Tambah Aktifitas Perikanan Tangkap Skala Kecil
3
KERANGKA PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
4
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pemilihan Lokasi Penelitian
Teknik Pengambilan Sampel/Responden
Pendekatan dan Model Analisis Data
Analisis Efisiensi Kapasitas Sumberdaya dan Perubahan
Faktor Produktifitas Total
Analisis Indeks Ketidakstabilan (Instability indeks)
Analisis Permodalan pada Perikanan Tangkap Skala Kecil
Analisis Nilai tambah dan Rantai Nilai Perikanan
Tangkap Skala Kecil
Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil
5
GAMBARAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI LAMONGAN
DAN PELABUHANRATU
Sektor Basis Pengembangan Perikanan
Produktifitas Nelayan dan Armada Penangkapan
Nilai Input per Kg Produksi

1
1
4
8
8
8
9
9
9
12
14
16
18
20
24
25
28
28
32
32
32
33
34
35
35
38
39
42
43
44
49
51
55

6

EFISIENSI SUMERDAYA DAN PERUBAHAN TOTAL FAKTOR
PRODUKTIFITAS DAN INDEKS KETIDAKSTABILAN
(INSTABILITY INDEXS) PERIKANAN TANGKAP
Sumberdaya Perikanan
Efisiensi Kapasitas Sumberdaya
Perubahan Faktor Produktifitas Total Perikanan Tangkap
Indeks Ketidakstabilan (Instability Indexs)
7
PERANAN “BANTAL SOSIAL” (“SOCIAL CUSHION”) PADA MATA
PENCAHARIAN PERIKANAN SKALA KECIL
Hubungan Patron Client Nelayan
“Social Cushion” Hubungan Nelayan dengan Langgan/Tengkulak
Strategi Usaha dan Daya Tahan Menghadapi Ketidakpastian Usaha ..
8
NILAI TAMBAH PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL
Nilai Tambah Perikanan Tangkap Skala Kecil
Sistem Rantai Pasok dan Rantai Nilai
9
MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP
SKALA KECIL
10 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN
TANGKAP SKALA KECIL
11 SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

56

56
58
61
63
67
69
71
76
80
80
81
87
91
94
94
95
96
102
115

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13

14
15
16
17
18
19
20
21
22

Jenis-jenis kapal/perahu nelayan Kabupaten Lamongan dan
Kabupaten Sukabumi
Karakteristik perikanan tangkap skala besar dan skala kecil
Kontribusi perikanan nasional terhadap perekonomian nasional
(PDRB) beberapa negara Aafrika dan kep. Karibia
Upstream dan downstream aktifitas pada perikanan tangkap
skala kecil
Lokasi penelitian
Variabel dan indikator dalam analisis regresi multinomial
logistik
Komposisi kapal perikanan tangkap di Kabupaten Lamongan
dan Kabupaten Sukabumi
Perkembangan armada penangkapan di Lamongan dan
Pelabuhanratu tahun 2009-2013
PDRB berdasarkan lapangan usaha Kabupaten Lamongan dan
Sukabumi
Nilai LQ sektor perikanan Kabupaten Lamongan dan
Kabupaten Sukabumi
Skor efisiensi teknis dan efisiensi skala
Indek malmquist dea pada berbagai alat tangkap kapal motor
dan perahu motor tempel (PMT) tahun 2008-2013 di
Pelabuhanratu
Malmquist index total faktor produktifitas perikanan tangkap
pada berbagai jenis alat tangkap kapal motor (KM) dan perahu
motor temperl (PMT) di Pelabuhanratu
Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun
Karakteristik perikanan dan nelayan di Lamongan dan
Pelabuhanratu
Keuntungan hubungan patron client bagi kedua belah pihak
Hasil analisis kecenderungan penggunaan sumber modal
Value added dan margin yang berasal dari pengolahan hasil
perikanan (Rp./kg) bahan baku utama
Value added analisis komoditas ikan dari nelayan ke pedagang
pengecer di Lamongan
Value added analisis komoditas ikan dari nelayan ke
pengumpul dan pengecer di Lamongan
Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul
dan ekspor di Lamongan
Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul dan
ekspor di Pelabuhanratu

17
18
22
26
34
42
45
47
50
51
59

60

62
62
69
71
72
81
83
84
85
87

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12

13

14
15

16
17
18
19
20
21

Struktur kapal perikanan Indonesia tahun 2004-2014.
Perbandingan produksi ikan dominan di WPP 712 (laut jawa)
dan WPP 753 (Samudera Hindia selatan pulau Jawa)
Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian berdasarkan wilayah pengelolaan
perikanan indonesia berdasarkan Permen KP no.
45/men/2011
Alur penentuan lokasi dan responden
Karakteristik perikanan global berdasarkan ukuran kapal dan
teknologi
Produksi perikanan tangkap ppn Pelabuhanratu dan
Kabupaten Lamongan tahun 2007-2013)
Produksi ikan di Pelabuhanratu dan Lamongan tahun 20022013
Produktifitas kapal dan produktifitas nelayan skala kecil di
Kabupaten Lamongan dan di pelabuhanratu (ton/tahun).
Produktifitas armada pmt (kapal motor tempel) di Kabupaten
Lamongan dan di pelabuhanratu (ton/armada/tahun).
Perbandingan tingkat produktifitas nelayan di kedua lokasi
penelitian lamongan dan pelabuhanratu (ton/nelayan/tahun)
Biaya (Rp/per kg Output) produk hasil tangkapan
berdasarkan jenis alat tangkap pada kapal motor (KM)
(dihitung berdasarkan penggunaan input dibanding dengan
output hasil tangkapan)
Biaya (Rp/kg output ) berdasarkan jumlah input yang
digunakan pada alat tangkap perahu motor tempel (PMT)
tahun 2008-2013
Perubahan total faktor produktifitas 2008 – 2013 perikanan
tangkap di Pelabuhanratu
Tingkat pertumbuhan rata-rata output/produksi dan input
(kapal dan BBM) pada usaha perikanan tangkap di
Pelabuhanratu tahun 2002-2013
Hubungan antara tingkat pertumbuhan output dengan indek
ketidakstabilan perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu
Tingkat pertumbuhan dan tingkat instabiity index pengunaan
bbm pada perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu
Hubungan antara tingkat pertumbuhan nelayan dengan indek
ketidakstabilan perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu
Indek ketidakstabilan produksi perikanan di TPI Lamongan
Komposisi nelayan dalam menyikapi kendala dalam melaut
Antisipasi nelayan dalam menghadapi kondisi paceklik.

15
16
31

33
35
44
46
49
52
53
54

55

56
61

63
64
65
66
67
77
78

22
23
24
25
26
27
28
29

Antisipasi nelayan pada saat musim yang buruk (pengaruh
iklim/cuaca)
Aktifitas nelayan pada saat tidak melaut karena cuaca buruk
Antisipasi nelayan dalam menghadapi resiko
Nilai tambah/value added dan margin kegiatan usaha
pengolahan produk perikanan
Rantai pasok komoditas ikan di Lamongan
Rantai pasok komoditas ikan di Pelabuhanratu
Sistem rantai pasok ikan cakalang, tongkol dan pelagis kecil
lainnya di Pelabuhanratu
Model pengembangan perikanan tangkap skala kecil

78
79
79
80
82
85
86
88

SINGKATAN
ABK
BBM
BBPSEKP
BPS
BUMN
CGE
CGR
CII
CPUE
CRS
CRSTE
DEA
DMU
DRS
EFFCH
FAO
GMB
GT
HNSI
I-O
IPTEK
IRS
Kepmen
KKP
KM
MI
MLE
MSY
NPV
OLS
PDB
PDRB
PMT
PPN
PPS
PUMP
RN
RRR
RTS
SDI
SE
SPF
TAC
TE
TECHCH
TFPCH

: Anak Buah Kapal
: Bahan Bakar Minyak
: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
: Badan Pusat Statistik
: Badan Usaha Milik Negara
: Computable General Equilibrium
: Compund Growth Rate
: Coppock Instability Index
: Cath per Unit Effort
: Constans Return to Scale
: Constan return to scale technical efficiensy
: Data Envelopment Analysis
: Decission Making Unit
: Decreasing Return to Scale
: Efficiency Change
: Food Agricultural Organization
: Gerbang Mina Bahari
: Gross Ton
: Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia
: Input Output
: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
: Increasing Return to Scale
: Keputusan Menteri
: Kementerian Kelautan dan Perikanan
: Kapal Motor
: Malmquist Index
: Maximum Likelihood Estimator
: Maximum Sustainability Yield
: Net Present Value
: Ordinary Least Square
: Produk Domestik Bruto
: Pendapatan Daerah Regional Bruto
: Perahu Motor Tempel
: Pelabuhan Perikanan Nusantara
: Pelabuhan Perikanan Samodera
: Pengembangan Usaha Mina Pedesaan
: Rukun Nelayan
: Relative Risk Ratio
: Return to scale
: Sumber Daya Ikan
: Skala Efficiency
: Stochastic Production Frontier
: Total Allowance Cath
: Technical Efficiency
: Technical Change
: Total Factor Productivity Change

TPI
TTC
UPI
VA
VRS
VRSTE
WPP
WTO
ZEEI

: Tempat Pendaratan Ikan
: Tuna Tongkol Cakalang
: Unit Pengolahan Ikan
: Vallue Added
: Variable Return to Scale
: Variable return to scale technical efficiensy
: Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia
: World Trade Organization
: Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

LAMPIRAN-LAMPIRAN
Hal.
1

Hasil Analisis DEA

102

2

Analisis Indeks Malmquist

105

3

Hasil Analisis Multinomial Logistik

110

4

Analisis Relatif Risk Ratio (Odd Ratio)

111

5

Statistik Diskriptif

112

6

Indek Ketidakstabilan dan Pertumbuhan

113

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Sektor perikanan di Indonesia berperanan penting dalam perekonomian
nasional, baik dilihat dari segi produksi dan kontribusi terhadap PDB, penyerapan
tenaga kerja dan sumbangan terhadap devisa dari hasil ekspor. Produksi perikanan
tangkap menunjukkan kenaikan secara signifikan, dari 5,03 juta ton pada tahun
2010 menjadi 5,8 juta ton pada 2014. Nilai ekspor pada tahun 2009 sebesar 2,48
miliar dolar, tahun 2010 naik menjadi 2,8 miliar dolar dan melonjak sebesar 4,46
miliar dolar pada tahun 2014 (KKP, 2015). Kontribusi PDB perikanan
dibandingkan dengan kontribusi PDB lain dalam pertanian menunjukkan peran
yang signifikan. Kontribusi perikanan dalam PDB nasional pada tahun 2010
sebesar 2,19% dan pada tahun 2013 naik menjadi 2,23%. Kontribusi PDB
perikanan pada perekonomian nasional berkisar 2,23% pada tahun 2013,
merupakan share terbesar kedua setelah sub sektor tanaman pangan (5,85%).
Perkembangan PDB perikanan dan besarnya kontribusi perikanan dalam PDB
nasional tersebut menunjukkan peran sektor perikanan dalam perekonomian
Indonesia cukup signifikan dan sebagai sumber mata pencaharian yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala
kecil dimana proporsi kapal perikanan skala kecil (kurang dari 5 GT) pada tahun
2004 sebesar 93,30%, tahun 2008 sebesar 92,13% dan tahun 2012 sebesar 90,11%
(KKP, 2014). Jumlah nelayan pada tahun 2012 sebanyak 2.278.388 terdiri dari
nelayan penuh sebanyak 1.321.903 orang, nelayan paruh waktu sebanyak 638.240
orang dan nelayan sambilan sebanyak 318.245 orang, pada tahun 2014 jumlah
nelayan sebanyak 2.186,900 (KKP, 2015). Komposisi tersebut memberikan
indikasi bahwa perikanan tangkap skala kecil masih menjadi tulang punggung
perekonomian.
Salah satu kebijakan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) lebih
fokus dalam mengatasi beragam masalah yang dihadapi oleh nelayan kecil dan
tradisional, hal tersebut selaras dengan komitmen KKP untuk tetap selalu
memperjuangkan peningkatan taraf hidup nelayan kecil. Perhatian dan fokus
terkait kebijakan yang berpihak bagi perikanan tangkap skala kecil, dimana
sebagian besar (hampir 90% adalah nelayan tangkap skala kecil) KKP (2014).
Perikanan skala kecil merupakan sumber utama penghidupan bagi
masyarakat yang tinggal wilayah pesisir. Sekitar 90 persen dari 38 juta orang
diklasifikasikan sebagai nelayan skala kecil, dan lebih dari 100 juta orang
diperkirakan terlibat dalam sektor pasca panen skala kecil (Allison dan Ellis,
2001). Di Indonesia pada tahun 1994, peranan perikanan skala kecil sangat
dominan, dimana 90% dari hasil tangkapan sebesar 2,8 juta ton dilakukan oleh
nelayan skala kecil/tradisional (Kramer et al., 2001). Menurut Fauzi dan Anna
2010 dan Sudarmo et al., 2015 perikanan skala kecil memainkan peranan penting
dalam kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa. Peningkatan kontribusi secara
langsung menunjukkan terjadi peningkatan produksi, pendapatan, perluasan
lapangan kerja dan nilai tambah, namun kadang kontribusi dari perikanan tangkap
skala kecil kurang diperhitungkan.

2

Kebijakan pengembangan industrialisasi perikanan diarahkan antara lain
untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah serta mendorong perluasan
penyerapan pasar komoditas perikanan. Selain itu ikut berperan juga dalam
percepatan pembangunan ekonomi Indonesia. Kajian industrialisasi perikanan saat
ini diarahkan pada komoditas ikan pelagis kecil. Hal ini terkait dengan besarnya
potensi dan menyebarnya sumber produksi ikan pelagis kecil, ikan demersal dan
udang. Ikan pelagis kecil, demersal dan udang ini mempunyai nilai sangat
strategis karena mempunyai multiplier effect yang luas dalam perekonomian.
Industri perikanan menyerap banyak tenaga kerja, dan permintaan untuk bahan
baku industri cukup signifikan. Pada sisi lain, peningkatkan permintaan produk
perikanan Indonesia di pasar lokal maupun pasar ekspor yang semakin meningkat.
Banyaknya unit penangkapan skala kecil dan jumlah nelayan yang terlibat
dalam usaha penangkapan, memerperlukan kebijakan yang berpihak kepada para
pelaku usaha nelayan skala kecil. Dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu
jumlah nelayan yang banyak dan kondisi kesejahteraan masih rendah, dan peranan
perikanan tangkap skala kecil secara nyata memberikan kontribusi yang jauh lebih
besar dari pada data yang tercatat. Usaha perikanan tangkap skala kecil memiliki
karakteristik yang berbeda dengan usaha di sektor lain, karena sering dihadapkan
dengan resiko dan ketidakpastian.
Nelayan di pantai utara Jawa (Pantura) sebagian besar nelayan
menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, dimana kesempatan atau peluang
kerja lain terutama di sektor pertanian sangat kecil. Apabila dilokasi tidak dapat
menangkap ikan karena berbagai masalah misalnya cuaca yang sedang buruk,
nelayan pantai utara biasanya menjadi nelayan andon di lokasi lain yang sedang
musim ikan. Sementara itu nelayan di pantai selatan biasanya selain bekerja
sebagai nelayan, masih menggantungkan sebagian sumber pendapatannya dari
sektor pertanian dan peternakan.
Berdasarkan Permen KP no 45/MEN/2011, pengelolaan perikanan di
Indonesia dibagi berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Pengelolaan perikanan dibagi menjadi 11 WPP di seluruh Indonesia. Potensi
perikanan berdasarkan WPP tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar berdasarkan jenis sumber daya perikanan.
Pengelompokan perikanan pelagis kecil dan demersal dengan pelagis besar
merupakan dua kelompok dominan sumberdaya di Indonesia. Potensi perikanan
pelagis kecil dan demersal 5,098 juta ton (78,2%) dari total 6,52 juta ton potensi
perikanan di Indonesia. Sedangkan potensi ikan pelagis besar sebesar 1,145 juta
ton (17,57%). Sumber daya di pantai utara Jawa yang meliputi kawasan Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP 712) didominasi oleh jenis ikan pelagis kecil (41%)
demersal (30%). Sedangkan produksi perikanan selatan Jawa sebagian besar
adalah pelagis besar (50%), pelagis kecil (32%). Berdasarkan jenis armadanya
WPP 712 (Laut Jawa) dan WPP 573 (Samodera Indonesia Selatan Jawa)
didominasi oleh kapal-kapal < dari 5 GT. Armada didominasi oleh perahu motor
tempel (PMT) sebanyak 90,50% di WPP 573 (Samodera Hindia) dan 85,87%
(WPP 712).
Perikanan di pantai utara Jawa, khususnya perikanan tangkap skala kecil
diperairan pantai Kabupaten Lamongan mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan perikanan skala kecil di perairan pantai Pelabuhanratu Kabupaten
Sukabumi. Konsentrasi utama perikanan di pantai utara Lamongan didominasi

3

oleh kapal-kapal skala kecil dengan produksi sebagian besar adalah ikan pelagis
kecil dan demersal. Sentra industri pengolahan berskala besar dan kecil telah
banyak berkembang. Karakteristik perikanan tangkap skala kecil di Lamongan
dicirikan: sebagian besar dengan armada kecil kurang dari 5 GT, alat tangkap
utama Payang dan Gill net. Kedua alat tangkap tersebut mempunyai perbedaan
dimana sering menimbulkan konflik antar kelompok nelayan. Alat tangkap
Payang biasanya bisa menangkap hasil yang jauh lebih banyak karena semua jenis
ikan dapat tertangkap, alat tangkap ini sering disebut mini trawl. Sedangkan alat
tangakp gill net lebih ramah lingkungan dengan target tangkapan jenis ikan
dengan ukuran tertentu.
Kelembagaan yang berkembang di Lamongan adalah kelembagaan yang
tumbuh dari bawah yang dinamakan Blandongan. Kelembagaan ini beranggota
60-80 orang setiap Blandongan. Tiap desa bisa ada 6-9 Blandongan. Pada tingkat
desa Blandongan tersebut membuat asosiasi yang dinamakan Rukun Nelayan
(RN), dan kumpulan RN-RN membentuk kelembagaan ditingkat Kabupaten yaitu
HNSI. Kelembagaan tersebut mampu memenuhi kepentingan anggotaanggotanya, kelembagaan ini terus eksis dan manjadi bagian penting dalam
pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Lamongan. Sebagian besar
sifat usahanya adalah tradisional, dimana peran “agen” masih cukup dominan,
meskipun dalam beberapa tahun belakangan dengan semakin bertambah luasnya
pengetahuan dan kesadaran, peran “agen” semakin mengecil.
Perikanan di Kabupaten Sukabumi yang berpusat di Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Pelabuhanratu, armada perikanan tangkap lebih bervariasi,
sebagian merupakan perikanan skala kecil dan sebagian lagi adalah perikanan
skala besar/industri. Produksi ikan didominasi oleh produksi ikan pelagis besar
terutama Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TTC). Sebagian besar produk tersebut
langsung dipasarkan dalam bentuk segar ke sentra industri di Jakarta sebagai
bahan baku ekspor atau industri pengolahan. Hal ini berdampak kepada kecilnya
share perikanan terhadap PDRB di Kabupaten Sukabumi. Beberapa industri yang
berkembang terutama prosesing dan industri pengolahan skala kecil (pindang dan
pengeringan). Kelembagaan yang berkembang adalah kelembagaan yang biasanya
mengikuti program pemerintah.
Strategi pembangunan ekonomi menuju industrialisasi dijalankan dengan
strategi pembangunan ekonomi berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif
(Yustika, 2012). Pembangunan yang menggunakan pendekatan keunggulan
komparatif dimana memiliki faktor-faktor produksi yang relatif tersedia dan
relatif murah, konsep tersebut menimbulkan kritik karena dianggap tidak relevan
serta terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga kurang memadai untuk mencakup
determinan-determinan pokok yang menentukan keberhasilan ekonomi (Yustika,
2012), oleh karena itu perlu menggunakan pendekatan keunggulan kompetitif
yang memperhitungkan semua faktor produksi yang mempengaruhi daya saing.
Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi
hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama
(prime mover) ekonomi nasional (Daryanto, 2007). Hal ini didasari pada
kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar
baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Industri di sektor perikanan
memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya. Ketiga, Industri perikanan
berbasis sumber daya nasional atau dikenal dengan istilah national resources

4

based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan komparatif
(comparative advantage) yang tinggi di sektor perikanan sebagaimana
dicerminkan dari potensi sumber daya yang ada. Salah satu permasalahan dalam
bidang perikanan adalah skala usaha, dimana sebagian besar adalah skala usaha
kecil. Peningkatan efisiensi dilakukan melalui upaya untuk meningkatkan
economic of scale sehingga meningkatkan keuntungan dan dapat mendorong
peningkatan investasi baru pada akhirnya mampu mendorong pertumbuhan lebih
cepat (Rustiadi, 2009)
Berdasarkan kondisi tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan, hasil
penelitian ini diharapkam mampu memberikan masukan untuk perumusan
rekomendasi kebijakan terkait dengan model pengembangan perikanan tangkap
skala kecil untuk mendukung pembangunan perekonomian wilayah. Model yang
direkomendasikan merupakan sintesa berdasarkan evaluasi dari kondisi saat ini
(existing condition) dan hasil analisis yang menghasilkan model yang
komprehenshif menjadi “templete” pengembangan perikanan tangkap skala
kecil.
Perumusan Masalah
Salah satu tujuan pem angunan kelautan dan perikanan dalam
kerangka pem angunan jangka menengah adalah terwujudnya kesejahteraan
angsa Indonesia melalui peningkatkan pendapatan nelayan, pem udidaya ikan,
serta pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya. Undang-Undang No.45 Tahun
2009 telah mengamanatkan bahwa tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk (1)
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil, (2)
meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan
kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein
ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan
produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan
bahan untuk industri pengolahan ikan, (8) mengoptimalkan pemanfaatan sumber
daya ikan dan, (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan
ikan dan tata ruang. Perikanan tangkap skala kecil menurut UU No.45/2009
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan
berukuran paling besar lima gross ton (GT).
Pelaku usaha perikanan tangkap skala kecil menjadi sorotan utama dalam
pengembangan sektor kelautan dan perikanan dewasa ini, hal tersebut tidak
terlepas dari jumlahnya yang mendominasi sebagian pelaku usaha perikanan
tangkap di Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan, keterbatasan asset dan
permodalan yang dihadapi oleh nelayan skala kecil antara lain ditandai dengan
kepemilikan asset usaha (perahu, mesin dan alat tangkap) sebagian besar adalah
milik juragan atau diperoleh dengan cara meminjam uang kepada lembaga
permodalan informal (juragan/tengkulak), (Ramadhan dan Apreliani, 2013).
Proporsi kapal dan jumlah nelayan kecil yang sangat dominan berpotensi
memunculkan berbagai konflik dalam persaingan pemanfaatan sumber daya ikan.
Terkait isu teknologi, nelayan kecil sering kali kalah bersaing dengan nelayan
modern. Oleh karena itu perikanan tangkap skala kecil memerlukan pengelolaan
yang terencana agar dapat berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristiknya.
Perikanan nasional dari tahun ke tahun masih didominasi oleh perikanan skala

5

kecil (kurang dari 5 GT), data statistik menunjukkan bahwa kapal tangkap yang
berukuran kurang dari 30 GT hampir 90,11% (KKP, 2013).
Salah satu isu pembangunan perikanan yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang termasuk Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan antara
tujuan ekonomi dengan keberlangsungan sumber daya perikanan, di mana dalam
beberapa dekade belakangan ini pengelolaan sumber daya perikanan cenderung
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumber
daya perikanan secara besar-besaran tanpa memperhatikan aspek kelestarian
(Fauzi, 2010). Di sisi lain kondisi sumber daya perikanan di Indonesia khususnya
di wilayah pantai cenderung mulai berkurang, sehingga hasil tangkapan beberapa
jenis ikan terus mengalami penurunan.
Menurut Dahuri (2012), salah satu permasalaahan yang dihadapi oleh
nelayan skala kecil yang menyebabkan kemiskinan adalah banyak nelayan yang
melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok
SDI (sumber daya ikan) nya mengalami overfishing (tangkap lebih). Secara
nasional, total potensi produksi lestari (MSY, Maximum Sustainable Yield) SDI di
seluruh wilayah laut Indonesia, termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia), sebesar 6,52 juta ton/tahun (KKP, 2011). Pada 2011 total produksi
ikan hasil tangkapan dari laut mencapai 5,34 juta ton (KKP, 2012) atau sekitar
81% dari total MSY. Agar stok SDI tetap lestari dan usaha perikanan tangkap
bisa berkelanjutan, maka laju (tingkat) penangkapan SDI maksimal sebesar 80%
MSY (FAO, 1995). Artinya, status pemanfaatan SDI laut Indonesia saat ini
hampir mendekati jenuh (fully exploited).
Indikator kondisi overfishing dari suatu stok SDI adalah: (1) total volume
ikan hasil tangkapan (produksi) lebih besar dari MSY SDI tersebut; (2) hasil
tangkapan ikan per satuan upaya tangkap (Catch per unit of effort/CPUEt)
cenderung menurun; (3) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil;
dan (4) fishing ground (daerah penangkapan ikan) semakin menjauh dari daratan,
atau semakin dalam ke dasar laut seperti yang sedang terjadi pada stok ikan
lemuru di Selat Bali dalam dua tahun terakhir. Oleh sebab itu, overfishing jelas
mengakibatkan volume ikan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan semakin
menurun. Apabila, kegiatan penangkapan ikan dengan laju yang lebih besar dari
pada MSY dibiarkan terus, maka pendapatan nelayan yang bakal kian menurun.
Secara spesifik permasalahan mendasar yang berkaitan dengan
keberlanjutan perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang
komprehensif dari seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu
sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas
penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumber daya ikan dan kegiatan
pengelolaan perikanan tangkap. Di sisi lain untuk mempertahankan keberlanjutan
usahanya, nelayan kecil sebagai pelaku perikanan tangkap masih memiliki
berbagai permasalahan klasik, yaitu terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan
nelayan, terbatasnya armada dan alat tangkap, kurangnya modal usaha,
manajemen usaha bersifat tradisional dan dengan teknologi terbatas, terbatasnya
akses informasi dan pasar, terbatasnya prasarana, sarana dan institusi pendukung.
Permasalahan yang dihadapi dalam keberlanjutan perikanan tangkap skala
kecil meliputi berbagai hal diantaranya adalah kondisi perairan yang padat
tangkap sehingga sumber daya ikan (SDI) semakin terbatas, upaya penangkapan
terus meningkat namun produktivitasnya semakin menurun sehingga pendapatan

6

nelayan semakin menurun, konflik pemanfaatan SDI yang semakin meningkat
yang berakibat pada peningkatan intensitas konflik sosial antar nelayan. Konflik
pemanfaatan SDI yang terjadi saat ini juga diakibatkan oleh kurang jelasnya
aturan dan belum efektifnya penegakan hukum.
Permasalahan dari segi sumber daya perikanan adalah besarnya tekanan
terhadap sumber daya perikanan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
dan kuantitas sumber daya perikanan (Fauzi, 2010). Menurut data FOA tahun
2007 (dalam Fauzi, 2010) sekitar 28% dari stok ikan dunia sudah berada dalam
kondisi over exploited maupun depleted (terkuras) dan 52% dalam kondisi fully
exploited. Sedangkan data Komis Pengkajian Stock Ikan Nasional (Kajiskan)
kondisi serupa juga terjadi pada perikanan Indonesia. Hal tersebut disebabkan
karena dua hal utama yaitu overfishing dan ekses kapasitas (over capacity).
Banyak permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat/nelayan skala
kecil yang menyebabkan tekanan untuk mempertahankan sumber mata
pencaharian (Sudarmo et al., 2015; Fauzi dan Anna, 2010; Kramer et al., 2002;
Sievanen, 2014). Seperti di banyak bagian dunia, nelayan skala kecil menghadapi
banyak tantangan seperti persaingan dengan wisata pantai dan sektor perikanan
lainnya, penurunan stok ikan, variabilitas iklim, dan fluktuasi pasar (Sievanen,
2014). Kondisi terakhir, stock sumber daya dan matapencaharian dari kegiatan
penangkapan perikanan banyak mengalami penurunan, dan penurunan ini
diperparah oleh ketidakpastian terkait dengan peningkatan variabilitas dan
perubahan iklim (Sievanen, 2014; Fauzi dan Anna, 2010).
Menurut Scot (1979) dalam Fauzi (2010) ada empat alasan utama
perlunya pengaturan (regulasi) dalam perikanan yaitu: Pertama regulasi
diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan perikanan,
perikanan yang tidak diatur (open-access) cenderung menimbulkan inefisiensi
karena terlalu banyak input yang digunakan dari yang seharusnya. Kedua regulasi
perikanan diperlukan untuk meningkatkan kualitas serta bobot dan ukuran ikan
yang ditangkap, pada perikanan yang tidak diatur selalu menyebabkan munculnya
eksternalitas. Ketiga laut mempunyai sifat multiple use (multi guna), pengaturan
diperlukan agar konflik pemanfaatan ruang tidak terjadi. Keempat regulasi
diperlukan untuk mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal serta untuk
mendorong alokasi sumber daya yang efisien.
Perkiraan kontribusi perikanan skala kecil secara ekonomi “undervalued”,
nilai perikanan skala kecil di Sabah, Malaysia terhitung mungkin tiga kali lipat
dari kontribusi perikanan terhadap PDB (Teh et al, 2011). Kajian dengan hasil
sama dilakukan oleh Zeller et al. (2007) yang dilakukan di negera-negara Samoa
dan Guam, yang menyatakan bahwa hasil tangkapan sebenarnya lebih dari 2,5
kali data (statistik) resmi, hal ini menunjukkan bahwa kontribusi sebenarnya dari
perikanan tangkap skala kecil jauh lebih besar dari yang tercatat secara resmi.
Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, kebijakan industrialisasi perikanan
bertujuan untuk mendorong kontribusi Sektor Kelautan dan Perikanan terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Menurut Berkes (2007) statistik perikanan skala kecil tercatat baik pada
lokasi-lokasi dimana perikanan besar tumbuh, sedangkan pada lokasi-lokasi
dimana perikanan skala besar tidak berkembang, biasanya pencatatan data tidak
akurat. Hasil penelitian (Barnes-Mauthe et al., 2013) menunjukkan bahwa sektor

7

perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa,
menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga.
Produksi perikanan sebagian besar digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan dalam negeri dan telah diolah menjadi produk olahan. Sedangkan
penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata pertahun 7,78% dari 23,95
kg/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008
pada tahun 2012 telah naik menjadi 33,89 kg/kapita/tahun (KKP, 2013).
Diharapkan penyediaan ikan untuk konsumsi dapat sejajar dengan negara asia
lainnya, seperti Jepang sebesar 110 kg/kapita/tahun, Korea Selatan sebesar 85
kg/kapita/tahun dan Thailand sebesar 35 kg/kapita/tahun.
Adanya sumber daya perikanan yang cukup melimpah, namun disisi lain
peranan perikanan tangkap skala kecil yang merupakan sebagian besar pelaku
usaha penangkapan dikabupaten Lamongan perlu mendapatkan perhatian yang
lebih besar. Perhatian yang lebih besar dari pemerintah diharapkan mampu
meningkatkan peran usaha perikanan tangkap skala kecil terhadap perekonomian.
Usaha nelayan untuk melakukan penangkapan masih sering terkendala
dengan ketersediaan sumber dana operasional. Kebutuhan dana operasional
nelayan kecil diperlukan setiap hari. Namun kebutuhan dana tersebut sering tidak
dapat dipenuhi dengan dana pribadi nelayan. Diperlukan ketersediaan sumber
dana yang dapat diperoleh dengan cepat dan tidak memerlukan mekanisme yang
rumit. Langgan/pedagang perantara merupakan salah satu sumber pendanaan
alternatif bagi nelayan. Interaksi nelayan-pedagang perantara/langgan merupakan
fenomena umum yang terjadi di hampir semua komunitas nelayan kecil, interaksi
tersebut memunculkan jargon patron-client antara juragan dengan nelayan.
Hu ungan “patron-client” telah lama erperan dalam pemanfaatan sum erdaya
laut di Asia Tenggara (Merlijn 1989; Pelras 2000). Sifat dari hubungan tersebut
menggambarkan hubungan vertikal, dimana patron sebagai “superior” dan
client/nelayan se agai “inferior” (Lande, 1977).
Hubungan interaksi patron-client didasari oleh alasan ekonomi dan
kepentingan kedua belah pihak yang seharusnya saling menguntungkan. Dalam
prakteknya sering terjadi hubungan ekploitatif antara kedua belah pihak, dimana
pihak patron sering menggunakan kekuasaan sebagai sumber penyedia modal
kepada nelayan yang posisinya lebih lemah. Sementara peran lembaga keuangan
formal belum bisa memenuhi kebutuhan nelayan, sehingga nelayan lebih sering
menggunakan sumberdana operasional dari langgan/pedagang perantara. Fakta
yang muncul tidak ada pihak yang ingin menyelesaikan hutang-piutang y