Model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan

(1)

RINGKASAN DISERTASI

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

ABSTRACT

MARWAN SYAUKANI. M odel of Fishing Industry Networking in Archipelagic Region. (Under supervision of M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW and DANIEL R MONINTJA)

Fishing port networking is an important element of the fisheries development. There are two models of fishing port networking applied in Indonesia, namely “HUB” and”Point” models. The Jakarta Fishing Port is an example of HUB model and others are Point models. It seems that the current

Point model of Indonesia fishing port networking is inefficient.

The research was held in Belitung, Mendanau, Seliu, Gersik and Sumedang islands - Belitung Regency from October 2007 to May 2009. The research purposes are to classify the status of fishing ports in fishing industry networking, to formulate an efficient model that considers industrial linkage among fishing ports, and to formulate a strategy of fishing management for each island. It was identified that fishing ports in Belitung Regency can be classified into (1) main service provider, (2) intermediate service provider or server, and (3) client.

The Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) followed by Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimizing distance analysis, minimizing transportation time, and minimizing transportation cost analysis were used in this research. The NMCA is a two-step MCA. The first MCA and TOPSIS analysis are to classify of fishing port status based on fishing facilities, fishing capacity, input dependency and fish landing capacity. The second MCA analysis were to formulate the most efficient model based on minimizing distance analysis, transportation time and transportation cost analyzing. The model with the lowest transportation cost is selected.

The result s showed that the Belitung is the main service provider while the Mendanau and Seliu islands are the intermediate service providers or servers and the other 2 islands are the client s. The network among these fishing ports is theoretically more efficient than the current available networking.

For protecting fishing port from over capacity, the research formulated fishing management strategies for each island by using technical efficiency (TE) and Danmark Theory analysis. The result showed that prevention of environmental degradation should be implemented in Belitung and Mendanau islands. While, controlling of fishing effort should be implemented in Seliu and Gersik islands. On the other hand, fishing effort may be expanded in Sumedang island.


(3)

RINGKASAN

MARWAN SYAUKANI. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan (Dibimbing oleh M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW dan DANIEL R MONINTJA)

Kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur merupakan masalah krusial yang dihadapi dalam pembangunan industri perikanan di Indonesia. Kedua permasalahan di atas hanya dapat diatasi dengan rekayasa jaringan pelabuhan perikanan yang efektif dan efisien. Terdapat dua model jaringan industri antar pelabuhan perikanan yang berkembang di Indonesia, yaitu: model “HUB” dan ”POINT”. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan model HUB walaupun model yang dikembangkan masih bersifat

kontinental. Pelabuhan perikanan lainnya mengembangkan model Point dan terindikasikan tidak efisien.

Penelitian dilaksanakan di Pulau Belitung, Pulau Mendaunau, Pulau Seliu, Pulau Gersik dan Pulau Sumedang - Kabupaten Belitung dari bulan Oktober 2007 hingga bulan Mei 2009. Penelitian bertujuan menent ukan status sentra industri dalam suatu jaringan industri, menyusun model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efesien dan menyusun strategi pengelolaan industri perikanan tangkap pada masing- masing pulau.

Penelitian menggunakan metode analisis Nested Multi Criteria Analysis

(NMCA) yang diikuti dengan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimalisasi jarak, minimalisasi waktu tempuh dan minimalisasi biaya transportasi. NMCA adalah analisis MCA dua tahap. Analisis MCA tahap pertama yang dipadu dengan analisis TOPSIS bertujuan menentukan status sentra industri dalam jaringan industri berdasarkan parameter pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, kapasitas kapal perikanan, kemandirian faktor input, jumlah ikan yang didaratkan. Dalam penelitian ini, status sentra industri di Kabupaten Belitung diklasifikasi menjadi 3, yaitu: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server) dan client. Hasil analisis MCA tahap pertama menunjukkan bahwa Pulau Belitung berstatus sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server) sedangkan Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai sumber bahan baku (client).

Analisis MCA tahap ke dua bertujuan merumuskan model jaringan industri perikanan tangkap berdasarkan parameter jarak, waktu tempuh dan biaya transportasi. Model jaringan industri dengan biaya transportasi terendah ditentukan sebagai model terpilih. Hasil analisis MCA tahap kedua menunjukkan bahwa model jaringan industri perikanan tangkap dimana Pulau Belitung yang mempunyai status sebagai penyedia jasa utama melayani produksi yang berasal dari dua server yaitu Pulau Mendanau dan Pulau Seliu. Pulau Mendanau melayani 1 sentra industri yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Gersik dan Pulau Seliu melayani 1 sentra industri lainnya yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Sumedang. Model jaringan industri ini lebih efesien dibandingkan dengan jaringan industri perikanan yang ada di Belitung sekarang ini.


(4)

Dalam upaya mencegah kelebihan kapasitas pelabuhan perikanan, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap dengan analisis efisiensi teknik (TE) yang dipadukan dengan analisis Danmark teori. Efisiensi teknik adalah penbandingan produktivitas suatu wilayah penangkapan dengan produktivitas wilayah lainnya yang masih memiliki terbaik. Sedangkan Danmark teori adalah analisis kebijakan pengelolaan perikanan dengan memplotkan hasil analisis efisiensi teknik (TE) kedalam diagram Cartesius.

Hasil analisis efisiensi teknik menunjukkan bahwa industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung diarahkan pada pengembangan setiap sentra industri sesuai dengan status dalam jaringan industri yang optimum. Nilai TE Pulau Belitung dan Pulau Mendanau terletak pada kuadran ke tiga dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pencegahan degradasi sumber daya ikan. Nilai TE Pulau Seliu dan Pulau Gersik terletak pada kuadran kedua dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengendalian sumber daya ikan. Nilai TE Pulau terletak pada kuadran pertama dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengembangan industri perikanan tangkap.

Kata kunci : industri perikanan, wilayah kepulauan, status pelabuhan perikanan, jaringan industri


(5)

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

Ringkasan disertasi

Disampaikan sebagai bahan ujian terbuka untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(6)

Judul Disertasi : Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap d i Wilayah Kepulauan

Nama Mahasiswa : Marwan Syaukani NIM : C 561 030 174 Program Studi : Teknologi Kelautan

Komisi Pembimbing : Dr. Ir M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Penguji Luar Komisi :

Ujian Terbuka pada

Hari/Tanggal : Jumat / 11 September 2009 Waktu : 13.30 - selesai

Tempat : Gedung Rektorat Institut Pertanian Bogor


(7)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan global yang dihadapi oleh negara-negara didunia sekarang ini membawa konsekuensi timbulnya persaingan antar negara, antar daerah dan antar pengusaha. Meningkatnya persaingan usaha tersebut diatas mendorong kesadaran pentingnya peningkatan efisiensi industri. Peningkatan efisiensi juga diamanatkan dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Bab IV.B. 9 dan 10 tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil yang efisien. Penelitian tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian jaringan industri antar pelabuhan di beberapa pulau dalam suatu kawasan telah banyak dilakukan diluar negeri antara lain peneliti dari negara Korea dan Jepang. Wang (2007) melakukan analisis jaringan kapal pengangkut dan pembangunan pelabuhan di Korea dan Jepang. Penelitian tersebut menyimpulkan diperlukan adanya kerjasama antar pelabuhan di Semenanjung Korea dan Jepang. Hubungan antar pelabuhan berupa jaringan industri perlu ditingkatkan terutama antara pelabuhan HUB dan pelabuhan Spoke. Keterkaitan jaringan industri sangat dipengaruhi oleh geografis pelabuhan, infrastruktur yang tersedia, efisiensi penanganan barang serta biaya penanganan barang (handling cost).

Industri di Indonesia secara umum dan sektor perikanan tangkap secara khusus tergolong ekonomi biaya tinggi. Tingginya biaya investasi dan operasional industri tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor administrasi dan faktor teknik. Penyalahgunaan wewenang dalam perijinan merupakan contoh nyata tingginya biaya akibat faktor administrasi. Sedangkan tingginya biaya transportasi merupakan contoh tingginya biaya akibat faktor teknik.

Biaya transpotasi yang tinggi merupakan indikator jaringan industri yang tidak efisien. Tidak efisiennya jaringan industri perikanan di Indonesia karena pemerintah menerapkan model Point yang sentralistik pada pembangunan pelabuhan perikanan. Model Point adalah model jaringan industri perikanan berbasis pelabuhan perikanan yang berfungsi sebagai sentral aktivitas ekonomi sektor


(8)

perikanan bagi pelabuhan itu sendiri. Model Point berkembang di negara-negara yang wilayahnya luas dan menyebar, wilayah penangkapannya terbagi atas beberapa wilayah (zonasi), terkendalakan penguasaan teknologi dan permodalan. Model

Point cenderung mandiri terhadap pelabuhan perikanan lainnya dan sentralistik. Ditinjau dari segi ekonomi, model Point yang sentralistik ini mengakibatkan jaringan antar sentra industri tidak efisien, yaitu: biaya transportasi per unit tinggi, praktek perdagangan monopoli, oligopoli, monopsoni, oligopsoni serta menimbulkan dead weight loss (DWL). Ditinjau dari segi teknik, model Point

menyebabkan kesulitan dalam hal pengawasan mutu, pengawasan SDA, hilangnya penerimaan negara dari pajak dan retribusi. Namun keuntungan model Point adalah biaya investasi relatif kecil. Tidak efisiennya jaringan industri antar sentra industri mendorong dilakukannya penelitian ini.

Disamping model ”Point”, terdapat model jaringan industri berbasis pelabuhan lainnya yaitu model ”HUB”. Model HUB adalah model jaringan industri perikanan yang menonjolkan sebuah pelabuhan perikanan sebagai sentral aktivitas ekonomi industri perikanan yang didukung oleh beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Pemilihan atas kedua model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas wilayah, letak geografis, jarak daerah penangkapan ikan (fishing ground), aksesbilitas faktor input dan variabel output, infrastruktur serta penguasaan teknologi. Model pelabuhan HUB banyak diaplikasikan di wilayah kontinental, wilayah yang dibatasi oleh banyak negara, memiliki wilayah penangkapan ikan yang kecil, penguasaan teknologi, transportasi dan telekomunikasi memadai.

Pelabuhan HUB berfungsi sebagai tempat transhipment barang dan terminal kontainer (Subagiyo 2007). Di benua Eropa, pelabuhan perikanan HUB berfungsi sebagai pelabuhan masuk dan keluar komoditi dari dan ke beberapa negara yang biasa disebut “entry port” (The Bilbao Port Authority 2006, Subagiyo 2007). Pelabuhan entry point cukup besar di Uni Eropa antara lain pelabuhan Rotterdam (Belanda) dan pelabuhan Anwerpen (Belgia). Pelabuhan HUB juga berkembang di beberapa negara maju Asia antara lain Pelabuhan Ghuang Zhou di China, Tsukiji dan Shinminato di Jepang, pelabuhan Seoul dan Busan di Korea (Yang et al 2005, Tai dan Hwang 2005, Wang 2007). Keuntungan model HUB antara lain mempermudah pengawasan mutu, mempermudah pengawasan sumber daya alam


(9)

3

(SDA), mempermudah pengawasan penerimaan negara dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan dari model HUB adalah investasinya yang tinggi.

Industri perikanan tangkap Indonesia mengembangkan model HUB dan model Point. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan HUB bagi beberapa pelabuhan perikanan pendukung antara lain pelabuhan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu, PPN Cirebon dan PPN Pekalongan. Model pelabuhan perikanan HUB yang diaplikasikan oleh PPS Jakarta mengandalkan hubungan jaringan darat dan belum mencerminkan keterkaitan antar pulau. Sedangkan PPS dan PPN lainnya seperti PPS Bungus, PPS Belawan dan PPS Cilacap dan PPN Tanjung Pandan mempraktekan model Point. PPN Tanjung Pandan mempraktek model Point dimana pengadaan pasokan faktor

input, pengolahan dan pemasaran hasil, ekspor dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha yang berdomisili di PPN Tanjang Pandan. Faktor input bagi selur uh sentra industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berasal dari PPN Tanjung Pandan. Ikan yang di produksi dan didaratkan di PPN Tanjung Pandan dijual ke pasar regional atau diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan umum Pangkal Balam yang terletak di Pulau Bangka. Penerapan model Point yang dipraktekkan PPN Tanjung Pandan menyuburkan sistem perdagangan oligopsoni yang mengakibatkan adanya dead weight loss (DWL).

Hubungan jaringan industri antar sentra industri telah banyak dilakukan di luar negeri, antara lain: jaringan pelabuhan Selat Gibraltar oleh Hadi dan Moron (2007), jaringan pelabuhan Korea Selatan, China dan Jepang oleh Wang (2007) dan jaringan pelabuhan Asia Timur oleh Tai dan Hwang (2005). Perbedaan penelitian hubungan jaringan industri dengan penelitian jaringan industri tersebut diatas adalah model jaringan industri disesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan. Klasifikasi pelabuhan yang dipergunakan penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server/spoke) dan client (feeder). Klasifikasi tersebut diatas mengacu pada penelitian Israel dan Roque (2000) mengenai jaringan pelabuhan perikanan di Philipina.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan empat pentahapan yaitu persiapan, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data dan penulisan disertasi. Penelitian jaringan industri perikanan tangkap


(10)

dilakukan di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Be litung.

1.2 Perumusan Masalah

Sektor industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan menghadapi permasalahan laten yakni rendahnya keunggulan komparatif, praktek oligopoli dan atau oligopsoni yang merugikan nelayan dan rendahnya daya kompetitif. Salah satu sebabnya adalah jaringan industri perikanan tangkap tidak efisien yang ditandai dengan tingginya biaya transportasi.

Ketidakefisienan jaringan industri terjadi karena karakteristik geografi pulau-pulau kecil dan keterbatasan infrastruktur yang mengakibatkan terjadinya beberapa keterbatasan, yaitu: keterbatasan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, keterisolasian dan pasar (Gambar 1).


(11)

RINGKASAN DISERTASI

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(12)

ABSTRACT

MARWAN SYAUKANI. M odel of Fishing Industry Networking in Archipelagic Region. (Under supervision of M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW and DANIEL R MONINTJA)

Fishing port networking is an important element of the fisheries development. There are two models of fishing port networking applied in Indonesia, namely “HUB” and”Point” models. The Jakarta Fishing Port is an example of HUB model and others are Point models. It seems that the current

Point model of Indonesia fishing port networking is inefficient.

The research was held in Belitung, Mendanau, Seliu, Gersik and Sumedang islands - Belitung Regency from October 2007 to May 2009. The research purposes are to classify the status of fishing ports in fishing industry networking, to formulate an efficient model that considers industrial linkage among fishing ports, and to formulate a strategy of fishing management for each island. It was identified that fishing ports in Belitung Regency can be classified into (1) main service provider, (2) intermediate service provider or server, and (3) client.

The Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) followed by Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimizing distance analysis, minimizing transportation time, and minimizing transportation cost analysis were used in this research. The NMCA is a two-step MCA. The first MCA and TOPSIS analysis are to classify of fishing port status based on fishing facilities, fishing capacity, input dependency and fish landing capacity. The second MCA analysis were to formulate the most efficient model based on minimizing distance analysis, transportation time and transportation cost analyzing. The model with the lowest transportation cost is selected.

The result s showed that the Belitung is the main service provider while the Mendanau and Seliu islands are the intermediate service providers or servers and the other 2 islands are the client s. The network among these fishing ports is theoretically more efficient than the current available networking.

For protecting fishing port from over capacity, the research formulated fishing management strategies for each island by using technical efficiency (TE) and Danmark Theory analysis. The result showed that prevention of environmental degradation should be implemented in Belitung and Mendanau islands. While, controlling of fishing effort should be implemented in Seliu and Gersik islands. On the other hand, fishing effort may be expanded in Sumedang island.


(13)

RINGKASAN

MARWAN SYAUKANI. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan (Dibimbing oleh M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW dan DANIEL R MONINTJA)

Kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur merupakan masalah krusial yang dihadapi dalam pembangunan industri perikanan di Indonesia. Kedua permasalahan di atas hanya dapat diatasi dengan rekayasa jaringan pelabuhan perikanan yang efektif dan efisien. Terdapat dua model jaringan industri antar pelabuhan perikanan yang berkembang di Indonesia, yaitu: model “HUB” dan ”POINT”. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan model HUB walaupun model yang dikembangkan masih bersifat

kontinental. Pelabuhan perikanan lainnya mengembangkan model Point dan terindikasikan tidak efisien.

Penelitian dilaksanakan di Pulau Belitung, Pulau Mendaunau, Pulau Seliu, Pulau Gersik dan Pulau Sumedang - Kabupaten Belitung dari bulan Oktober 2007 hingga bulan Mei 2009. Penelitian bertujuan menent ukan status sentra industri dalam suatu jaringan industri, menyusun model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efesien dan menyusun strategi pengelolaan industri perikanan tangkap pada masing- masing pulau.

Penelitian menggunakan metode analisis Nested Multi Criteria Analysis

(NMCA) yang diikuti dengan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimalisasi jarak, minimalisasi waktu tempuh dan minimalisasi biaya transportasi. NMCA adalah analisis MCA dua tahap. Analisis MCA tahap pertama yang dipadu dengan analisis TOPSIS bertujuan menentukan status sentra industri dalam jaringan industri berdasarkan parameter pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, kapasitas kapal perikanan, kemandirian faktor input, jumlah ikan yang didaratkan. Dalam penelitian ini, status sentra industri di Kabupaten Belitung diklasifikasi menjadi 3, yaitu: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server) dan client. Hasil analisis MCA tahap pertama menunjukkan bahwa Pulau Belitung berstatus sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server) sedangkan Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai sumber bahan baku (client).

Analisis MCA tahap ke dua bertujuan merumuskan model jaringan industri perikanan tangkap berdasarkan parameter jarak, waktu tempuh dan biaya transportasi. Model jaringan industri dengan biaya transportasi terendah ditentukan sebagai model terpilih. Hasil analisis MCA tahap kedua menunjukkan bahwa model jaringan industri perikanan tangkap dimana Pulau Belitung yang mempunyai status sebagai penyedia jasa utama melayani produksi yang berasal dari dua server yaitu Pulau Mendanau dan Pulau Seliu. Pulau Mendanau melayani 1 sentra industri yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Gersik dan Pulau Seliu melayani 1 sentra industri lainnya yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Sumedang. Model jaringan industri ini lebih efesien dibandingkan dengan jaringan industri perikanan yang ada di Belitung sekarang ini.


(14)

Dalam upaya mencegah kelebihan kapasitas pelabuhan perikanan, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap dengan analisis efisiensi teknik (TE) yang dipadukan dengan analisis Danmark teori. Efisiensi teknik adalah penbandingan produktivitas suatu wilayah penangkapan dengan produktivitas wilayah lainnya yang masih memiliki terbaik. Sedangkan Danmark teori adalah analisis kebijakan pengelolaan perikanan dengan memplotkan hasil analisis efisiensi teknik (TE) kedalam diagram Cartesius.

Hasil analisis efisiensi teknik menunjukkan bahwa industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung diarahkan pada pengembangan setiap sentra industri sesuai dengan status dalam jaringan industri yang optimum. Nilai TE Pulau Belitung dan Pulau Mendanau terletak pada kuadran ke tiga dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pencegahan degradasi sumber daya ikan. Nilai TE Pulau Seliu dan Pulau Gersik terletak pada kuadran kedua dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengendalian sumber daya ikan. Nilai TE Pulau terletak pada kuadran pertama dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengembangan industri perikanan tangkap.

Kata kunci : industri perikanan, wilayah kepulauan, status pelabuhan perikanan, jaringan industri


(15)

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

Ringkasan disertasi

Disampaikan sebagai bahan ujian terbuka untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(16)

Judul Disertasi : Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap d i Wilayah Kepulauan

Nama Mahasiswa : Marwan Syaukani NIM : C 561 030 174 Program Studi : Teknologi Kelautan

Komisi Pembimbing : Dr. Ir M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Penguji Luar Komisi :

Ujian Terbuka pada

Hari/Tanggal : Jumat / 11 September 2009 Waktu : 13.30 - selesai

Tempat : Gedung Rektorat Institut Pertanian Bogor


(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan global yang dihadapi oleh negara-negara didunia sekarang ini membawa konsekuensi timbulnya persaingan antar negara, antar daerah dan antar pengusaha. Meningkatnya persaingan usaha tersebut diatas mendorong kesadaran pentingnya peningkatan efisiensi industri. Peningkatan efisiensi juga diamanatkan dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Bab IV.B. 9 dan 10 tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil yang efisien. Penelitian tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian jaringan industri antar pelabuhan di beberapa pulau dalam suatu kawasan telah banyak dilakukan diluar negeri antara lain peneliti dari negara Korea dan Jepang. Wang (2007) melakukan analisis jaringan kapal pengangkut dan pembangunan pelabuhan di Korea dan Jepang. Penelitian tersebut menyimpulkan diperlukan adanya kerjasama antar pelabuhan di Semenanjung Korea dan Jepang. Hubungan antar pelabuhan berupa jaringan industri perlu ditingkatkan terutama antara pelabuhan HUB dan pelabuhan Spoke. Keterkaitan jaringan industri sangat dipengaruhi oleh geografis pelabuhan, infrastruktur yang tersedia, efisiensi penanganan barang serta biaya penanganan barang (handling cost).

Industri di Indonesia secara umum dan sektor perikanan tangkap secara khusus tergolong ekonomi biaya tinggi. Tingginya biaya investasi dan operasional industri tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor administrasi dan faktor teknik. Penyalahgunaan wewenang dalam perijinan merupakan contoh nyata tingginya biaya akibat faktor administrasi. Sedangkan tingginya biaya transportasi merupakan contoh tingginya biaya akibat faktor teknik.

Biaya transpotasi yang tinggi merupakan indikator jaringan industri yang tidak efisien. Tidak efisiennya jaringan industri perikanan di Indonesia karena pemerintah menerapkan model Point yang sentralistik pada pembangunan pelabuhan perikanan. Model Point adalah model jaringan industri perikanan berbasis pelabuhan perikanan yang berfungsi sebagai sentral aktivitas ekonomi sektor


(18)

perikanan bagi pelabuhan itu sendiri. Model Point berkembang di negara-negara yang wilayahnya luas dan menyebar, wilayah penangkapannya terbagi atas beberapa wilayah (zonasi), terkendalakan penguasaan teknologi dan permodalan. Model

Point cenderung mandiri terhadap pelabuhan perikanan lainnya dan sentralistik. Ditinjau dari segi ekonomi, model Point yang sentralistik ini mengakibatkan jaringan antar sentra industri tidak efisien, yaitu: biaya transportasi per unit tinggi, praktek perdagangan monopoli, oligopoli, monopsoni, oligopsoni serta menimbulkan dead weight loss (DWL). Ditinjau dari segi teknik, model Point

menyebabkan kesulitan dalam hal pengawasan mutu, pengawasan SDA, hilangnya penerimaan negara dari pajak dan retribusi. Namun keuntungan model Point adalah biaya investasi relatif kecil. Tidak efisiennya jaringan industri antar sentra industri mendorong dilakukannya penelitian ini.

Disamping model ”Point”, terdapat model jaringan industri berbasis pelabuhan lainnya yaitu model ”HUB”. Model HUB adalah model jaringan industri perikanan yang menonjolkan sebuah pelabuhan perikanan sebagai sentral aktivitas ekonomi industri perikanan yang didukung oleh beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Pemilihan atas kedua model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas wilayah, letak geografis, jarak daerah penangkapan ikan (fishing ground), aksesbilitas faktor input dan variabel output, infrastruktur serta penguasaan teknologi. Model pelabuhan HUB banyak diaplikasikan di wilayah kontinental, wilayah yang dibatasi oleh banyak negara, memiliki wilayah penangkapan ikan yang kecil, penguasaan teknologi, transportasi dan telekomunikasi memadai.

Pelabuhan HUB berfungsi sebagai tempat transhipment barang dan terminal kontainer (Subagiyo 2007). Di benua Eropa, pelabuhan perikanan HUB berfungsi sebagai pelabuhan masuk dan keluar komoditi dari dan ke beberapa negara yang biasa disebut “entry port” (The Bilbao Port Authority 2006, Subagiyo 2007). Pelabuhan entry point cukup besar di Uni Eropa antara lain pelabuhan Rotterdam (Belanda) dan pelabuhan Anwerpen (Belgia). Pelabuhan HUB juga berkembang di beberapa negara maju Asia antara lain Pelabuhan Ghuang Zhou di China, Tsukiji dan Shinminato di Jepang, pelabuhan Seoul dan Busan di Korea (Yang et al 2005, Tai dan Hwang 2005, Wang 2007). Keuntungan model HUB antara lain mempermudah pengawasan mutu, mempermudah pengawasan sumber daya alam


(19)

3

(SDA), mempermudah pengawasan penerimaan negara dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan dari model HUB adalah investasinya yang tinggi.

Industri perikanan tangkap Indonesia mengembangkan model HUB dan model Point. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan HUB bagi beberapa pelabuhan perikanan pendukung antara lain pelabuhan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu, PPN Cirebon dan PPN Pekalongan. Model pelabuhan perikanan HUB yang diaplikasikan oleh PPS Jakarta mengandalkan hubungan jaringan darat dan belum mencerminkan keterkaitan antar pulau. Sedangkan PPS dan PPN lainnya seperti PPS Bungus, PPS Belawan dan PPS Cilacap dan PPN Tanjung Pandan mempraktekan model Point. PPN Tanjung Pandan mempraktek model Point dimana pengadaan pasokan faktor

input, pengolahan dan pemasaran hasil, ekspor dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha yang berdomisili di PPN Tanjang Pandan. Faktor input bagi selur uh sentra industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berasal dari PPN Tanjung Pandan. Ikan yang di produksi dan didaratkan di PPN Tanjung Pandan dijual ke pasar regional atau diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan umum Pangkal Balam yang terletak di Pulau Bangka. Penerapan model Point yang dipraktekkan PPN Tanjung Pandan menyuburkan sistem perdagangan oligopsoni yang mengakibatkan adanya dead weight loss (DWL).

Hubungan jaringan industri antar sentra industri telah banyak dilakukan di luar negeri, antara lain: jaringan pelabuhan Selat Gibraltar oleh Hadi dan Moron (2007), jaringan pelabuhan Korea Selatan, China dan Jepang oleh Wang (2007) dan jaringan pelabuhan Asia Timur oleh Tai dan Hwang (2005). Perbedaan penelitian hubungan jaringan industri dengan penelitian jaringan industri tersebut diatas adalah model jaringan industri disesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan. Klasifikasi pelabuhan yang dipergunakan penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server/spoke) dan client (feeder). Klasifikasi tersebut diatas mengacu pada penelitian Israel dan Roque (2000) mengenai jaringan pelabuhan perikanan di Philipina.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan empat pentahapan yaitu persiapan, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data dan penulisan disertasi. Penelitian jaringan industri perikanan tangkap


(20)

dilakukan di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Be litung.

1.2 Perumusan Masalah

Sektor industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan menghadapi permasalahan laten yakni rendahnya keunggulan komparatif, praktek oligopoli dan atau oligopsoni yang merugikan nelayan dan rendahnya daya kompetitif. Salah satu sebabnya adalah jaringan industri perikanan tangkap tidak efisien yang ditandai dengan tingginya biaya transportasi.

Ketidakefisienan jaringan industri terjadi karena karakteristik geografi pulau-pulau kecil dan keterbatasan infrastruktur yang mengakibatkan terjadinya beberapa keterbatasan, yaitu: keterbatasan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, keterisolasian dan pasar (Gambar 1).


(21)

5

Gambar 1 Perumusan masalah

Guna meningkatkan efisiensi industri tersebut diatas, diperlukan suatu perbaikan jaringan industri melalui peningkatkan kapasitas wilayah-wilayah terpencil. Perbaikan jaringan industri yang dimaksud berupa pembentukan jaringan model HUB yang disesuaikan dengan kondisi geografi Indonesia. Model jaringan

HUB yang dimaksud adalah membangun jaringan antar sentra industri yang sesuai dengan wilayah kepulauan dengan mengklasifikasikan sentra industri dalam 3 status, yakni: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server / spoke) dan client / feeder

sebagaimana diusulkan oleh Departemen Perhubungan pada tahun 2004 dan diteliti oleh Israel dan Rouge pada tahun 2000 di Philipina.

Karakteristik geografi pulau-pulau kecil

Rentan terhadap bencana

Wilayahnya luas

Letaknya menyebar

Keterbatasan infrastruktur

SDA terbatas SDM terbatas SDB terbatas Biaya tinggi

Kapasitas rendah

Jaringan industri ya ng terindikasikan tidak efesien ditandai dengan tingginya biaya transportasi

Rendahnya daya kompetitif Rendahnya keunggulan

komparatif

Oligopoli atau oligopsoni


(22)

1.3 Tujuan

Penelitian ini mempunyai tujuan umum mengembangkan model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah pulau-pulau kecil yang efektif dan efisien.

Tujuan umum ini dijabarkan kedalam 3 tujuan khusus, yaitu :

(1) Menentukan status sentra industri dalam mewujudkan jaringan industri perikanan tangkap yang efektif.

(2) Menyusun model jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efisien.

(3) Menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap di setiap sentra industri

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah :

(1) Referensi bagi ilmu pengetahuan dalam mengembangkan model pembangunan regional industri perikanan di wilayah kepulauan.

(2) Alternatif model pembangunan industri perikanan nasional yang efektif dan efisien.

(3) Merupakan acuan pembangunan industri perikanan di Kabupaten Belitung dalam mewujudkan program Etalase Kelautan dan Perikanan di Indonesia bagian Barat.

1.5 Kerangka Pikir

Berdasarkan penelitian sebelumnya, sistem jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap dipengaruhi oleh 5 sub sistem, yaitu: sumber komoditi (Slack 1993, Murphy dan Daley 1994, Song 2002 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), lokasi pelabuhan (Ha 2003, Malchow dan Kanafani 2001 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), fasilitas pelabuhan (Chen 1997, Cullinane 2002, Fung 2001 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), jarak (Malchow dan Kanafani 2001, Zohil dan Prijon 1999 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005) dan biaya operasi (Tai dan Hwang 2001, Tai 2000, Wu 2000 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005). Terhadap 5 sub sistem dilakukan beberapa analisis, yaitu:


(23)

7

(1) Subsistem sumber komoditi dilakukan analisis kapasitas dan aliran faktor

input, kemandirian faktor input serta kapasitas dan aliran variabel faktor out put.

(2) Subsistem lokasi pelabuhan dilakukan analisis terhadap kapasitas kapal perikanan.

(3) Subsistem fasilitas pelabuhan perikanan dilakukan analisis pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan meliputidermaga, tempat pelelangan ikan, fasilitas BBM, pabrik es dan cold storage.

(4) Subsistem jarak dilakukan analisis terhadap jarak dan waktu yang paling efisien.

(5) Subsistem biaya transportasi dilakukan analisis biaya yang paling efisien. Hubungan kelima subsistem tersebut diatas sangat kompleks sehingga memerlukan harmonisasi guna mewujudkan sistem jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap yang efektif dan efisien. Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan pengkajia n mengenai sistem jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap secara komprehensif dengan mempertimbangkan seluruh sub sistem jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap tersebut (Gambar 2).


(24)

Gambar 2. Kerangka pikir

1.6 Hipotesis

Konfigurasi jaringan industri menentukan tingkat efisiensi industri perikanan tangkap yang diukur terhadap waktu dan biaya transportasi.

Sistem jaringan antar sentra industri perikanan tangkap

Subsistem jaringan industri per ikanan tangkap yang utama Fasilitas pelabuhan :

-Dermaga -Tempat pelelangan ikan -Fasilitas BBM -Pabrik es -Cold storage Jarak Lokasi pelabuhan : -Kapal perikanan Biaya operasi Sumber komoditi:

-Faktor input -Variabel output

Analisis pelayanan pelabuhan perikanan

Analisis biaya transportasi variabel out put Analisis kapasitas

dan aliran faktor input, kemandirian faktor input, kapasitas dan aliran variable out put

Analisis kapasitas kapal perikanan

Model jaringan industri perikanan tangkap yang efektif dan efisien

Instrumen analisis

Status pelabuhan perikanan

dalam jaringan industri Jaringan industri yang efektif

dan efisien Analisis


(25)

2

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan pentahapan sebagai berikut :

(1) Persiapan dilakukan pada Oktober 2007

(2) Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada Nopember 2007 hingga Juni 2008

(3) Pengolahan data dilakukan pada Juli 2008 – Agustus 2008 (4) Penulisan disertasi dilakukan pada September 2008 – Mei 2009

Penelitian jaringan industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu (Gambar 3). Pangkalan kapal perikanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah konsentrasi tambat labuh kapal perikanan yang merupakan sentra industri perikanan tangkap namun dari segi infrastruktur belum masuk dalam klasifikasi pelabuhan perikanan. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Belitung.

2.2Peralatan Pendukung

Ketersediaan alat pendukung merupakan hal yang sangat diperlukan dalam melakukan penelitian. Pada penelitian ini peralatan yang digunakan diantaranya kuisioner sebagai pedoman pengump ulan data, alat tulis, alat ukur, seperangkat computer untuk rekapitulasi dan analisis data dan kamera untuk kepentingan dokumentasi penelitian.


(26)

Pulau Belitung PPN Tanjung Pandan (LP1) Pulau Mendanau PPI

Selat Nasik (LP2)

Pulau Seliu (LP5) Pulau Gersik

(LP3)

Pulau Sumedang (LP4)

107o

3o

Skala : 1:12.500

BT

LS

Gambar 3 Peta Pulau Belitung dan lokasi penelitian (Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah - Kab. Belitung)

Keterangan :

LP 1: PPN Tanjung Pandan, sentra industri perikanan tangkap di Pulau Belitung (02o44’45’’LS; 107o37’41’’BT) LP 2: PPI Selat Nasik, sentra industri perikanan tangkap di PulauMindanau (02o49’55’’LS; 107o24’55’’BT) LP 3: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik (03o00’20’’LS; 107o16’17’’BT)

LP 4: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang (03o19’60’’LS; 107o12’41’’BT) LP 5: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu (03o13’13’’LS; 107o31’47’’BT)

2.3Metode Penelitian

Penelitian model jaringan industri perikanan tangkap dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:

(1) Penentuan status pelabuhan perikanan (sebagai suatu sentra industri) yang dilakukan dengan analisis MCA tahap pertama dan analisis TOPSIS

(2) Penentuan model jaringan industri perikanan terpilih yang dilakukan dengan analisis mnimalisasi waktu tempuh dan biaya transportasi variabel output. (3) Perumusan strategi pembangunan industri perikanan tangkap yang dilakukan

dengan analisis efisiensi teknik dan analisis Danmark Teori (Gambar 4). Analisis parameter model industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan dilakukan dengan analisis Nested Multi Criteria Analysis (NMCA). Nested Multi Criteria Analysis yaitu analisis MCA dalam dua tahap dimana analisis MCA kedua


(27)

11

merupakan bagian dari analisis MCA pertama. Analisis NMCA adalah salah satu cara pengambilan keputusan yang didasari beberapa parameter dan memiliki beberapa alternatif.

Penentuan status pelabuhan perikanan ditentukan berdasarkan analisis MCA tahap pertama dan analisis TOPSIS. Analisis MCA pertama dilakukan terhadap 4 parameter yaitu indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan (IPFP), indeks kapasitas kapal perikanan (IKAPI), indeks kemandirian (IK) dan kapasitas sentra industri (KSI). Score keempat parameter di atas, dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution

yang disingkat dengan TOPSIS (Li dan Xie 2006). Berdasarkan kedua analisis tersebut diatas kemudian ditentukan status sentra industri sebagai sentra pelayanan jasa utama, sentra pelayanan jasa antara (server/spoke) dan client/feeder.

Perumusan jaringan industri perikanan diawali dengan melakukan optimasi model melalui analisis minimalisasi jarak. Analisis minimalisasi jarak adalah teknik analisis untuk mendapatkan jarak yang paling minimal melalui teknik penyapuan. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan jarak antar sentra industri yang paling minimal.

Model jaringan industri perikanan tangkap terpilih diuji dengan analisis MCA tahap kedua. MCA tahap kedua yang dilakukan terhadap jaringan industri yang ada sekarang (existing model) dan alternatif model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan. Parameter yang dianalisis pada MCA tahap dua adalah waktu tempuh dan biaya transportasi.

Terhadap model terpilih kemudian dilakukan perumusan strategi pembangunan industri perikanan di wilayah kepulauan dengan melakukan analisis efisiensi teknik (TE) relatif dan analisis Danmark teori. Teknis efisiensi relatif adalah pengukuran produktifitas relatif kapal perikanan suatu sentra industri terhadap sentra industri lainnya. Sedangkan Danmark teori adalah suatu teori pembangunan industri perikanan di Danmark yang menggunakan diagram kartesius dimana sumbu ordinat merupakan aktivitas pembangunan dan sumbu absis merupakan pengawasan.


(28)

Gambar 4 Diagram metode penelitian

Analisis MCA tahap I meliputi berdasarkan :

Ø Indeks Pelayanan Fasilitas Pelabuhan Perikanan (IPFP) Ø Indeks Kapasitas Kapal Perikanan (IKAPI)

Ø Indeks Kemandirian (IK) Ø Kapasitas Sentra Industri (KSI)

Optimasi Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan melalui analisis minimalisasi jarak dengan teknik penyapuan yang berpatokan

pada status pelabuhan perikanan

Analisis MCA tahap II: perbandingan jaringan industri yang ada sekarang dan alternatif model terhadap parameter waktu tempuh dan biaya transportasi

Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan

Analisis efisiensi teknik (TE) relatif kapasitas sentra industri dan analisis Danmark teori

Strategi pengelolaan perikanan tangkap di wilayah kepulauan Analisis MCA tahap I dan analisis TOPSIS dilakukan klasifikasi status sentra

industri perikanan tangkap

Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) yaitu analisis yang terdiri dari 2 tahapan analisis MCA


(29)

13

2.4Metode Analisis

2.4.1 Penetapan status sentra industri perikanan tangkap

Penetapan status dilakukan dengan analisis Multi Criteria Analysis (MCA) tahap pertama dan analisis TOPSIS. Parameter yang diukur meliputi: indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, indeks kapasitas kapal perikanan, indeks kemandirian dan kapasitas sentra industri. Asumsi yang dipergunakan adalah keempat parameter tersebut diatas mempunyai bobot yang sama dalam penentuan status pelabuhan perikanan.

2.4.1.1Indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan

Indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan (IPFP) adalah ukuran ketersediaan fasilitas prasarana pada sentra industri perikanan tangkap. Prasarana yang diukur meliputi fasilitas pokok, yaitu: dermaga, tempat pelelangan ikan (TPI), fasilitas BBM, pabrik es dan fasilitas penunjang berupa cold storage. Formula untuk menghitung indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan adalah :

5

IPFPi = ? Iij j=1

dimana : Iij = Xij Bj Bj = nj / n

IPFPi = index pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan lokasi i Iij = nilai IPFP lokasi ke-i prasarana ke-j

Xij = volume prasarana j pada lokasi i Bj = bobot prasarana j

nj = jumlah prasarana j n = jumlah prasarana.

i = lokasi

j = jenis prasarana

2.4.1.2Indeks kapasitas kapal perikanan

Indeks kapasitas kapal perikanan (IKAPI) adalah ukuran kapasitas kapal perikanan pada sentra industri perikanan tangkap dalam melakukan proses produksi. Kapal perikanan yang diamati dibatasi hanya pada kapal perikanan yang melakukan


(30)

kegiatan penangkapan ikan. Kapasitas kapal perikanan diukur berdasarkan daya tampung rata-rata palka. Tiga jenis kapal yang dijadikan pengamatan adalah kapal perikanan yang berukuran kurang dari 5 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 1,2 ton, kapal yang berukuran antara 5 sampai 10 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 2 ton dan kapal yang berukuran di atas 10 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 4 ton. Formula untuk menghitung indeks kapasitas kapal perikanan adalah:

3

IKAPIi = ? Jik k=1

dimana : Jik = Yik Ck Ck = mk / m

IKAPIi = index kapasitas kapal perikanan pada lokasi i Jik = nilai IKAPI lokasi ke-i kapal perikanan ke k Yi k = Jumlah kapal perikanan k pada lokasi i Ck = bobot sarana k

mk = volume palka kapal perikanan jenis k

m = volume palka maksimal kapal perikanan yang diamati

i = lokasi

k = jenis kapal perikanan

2.4.1.3Indeks kemandirian

Indeks kemandirian (IK) adalah ukuran ukuran kemampuan sentra industri perikanan tangkap untuk memenuhi kebutuhan faktor input sendiri. Faktor input

yang dianalisis adalah BBM dan es. Nilai ini diukur berdasarkan proporsi (%) faktor

input, yaitu dengan rumus:

2

IKi = ? IKil

l=1

IKil = Il / Dl

dimana:

IKi = tingkat kemandirian lokasi ke -i

IKil = tingkat kemandirian asupan l pada lokasi ke- i Il = volume pasokan faktor asupan l

Dl = volume kebutuhan faktor asupan l

i = lokasi


(31)

15 2.4.1.4Kapasitas sentra industri

Kapasitas sentra industri (KSI) adalah volume ikan yang diproduksi dari suatu sentra industri. KSI dihitung dengan rumus sebagai berikut :

n

KSIi = ? Xio o=1

dimana:

KSIi = kapasitas sentra industri ke-i

Xo = volume ikan o yang dihasilkan lokasi ke-i

i = lokasi

o = jenis ikan

2.4.1.5Status sentra industri perikanan tangkap

Penentapan status sentra industri perikanan tangkap diawali dengan penetapan

score untuk keempat parameter di atas. Score setiap parameter berkisar mulai dari 0 hingga 1. Rumus untuk menghitung score tersebut adalah:

ai – min (a)

Score ai = —————————

Maks (a) –min (a)

dimana: a = nilai indeks

Kemudian dilakukan analisis technique for order preference by similarity to ideal solution (TOPSIS) untuk mendapatkan ranking sentra industri perikanan tangkap dengan nilai yang ideal. Adapun analisis TOPSIS dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

(1) Menentukan matrik kriteria alternatif sebagai baris dan kolom

a11 a12 a13 a14 ... a1n

a21 a22 a23 a24 ... a2n

Aij = a31 a32 a33 a34 ... a3n

am1 am2 am3 am4 ... amn

dimana :

aij = score untuk indeks i pada lokasi j i = indeks


(32)

(2) Normalisasi matrik A dengan dengan formula : m

rij = a ij ? a ij2 , i = 1, 2, 3, ..., m i = 1 j = 1, 2, 3, ..., n

(3) Menentukan ranking yang terbobot (weighted normalized rating) yakni : Vij = w j r ij ; i = 1,2,3,... ,m

j = 1,2,3,...,n

(4) Identifikasi alternatif ideal dan non ideal melalui formula :

A* = { ( maks Vij ¦ j e J1 ), (min Vij ¦ j e J2), ¦ i = 1, 2, 3, ..., m}}

= {V1*, V2*, ..., Vn*}

A- = { ( min Vij ¦ j e J1 ), (maks Vij ¦ j e J2), ¦ i = 1, 2, 3, ..., m}}

= {V1-, V2-, ..., Vn-}

(5) Menghitung Euclidean distance dengan solusi ideal melalui formula : n

S* = ( ? ( Vij – Vj*)2 , i = 1, 2, 3,..., m

J=1 n

S- = ( ? ( Vij – Vj-)2 , i = 1, 2, 3, ..., m

J=1

(6) Menghitung „relative closeness“ melalui : Ci * = Si- / ( Si* + Si-), i = 1, 2, 3, …, m

dimana 0 < Ci* < 1

Status sentra industri ditetapkan berdasarkan score MCA dan ranking hasil analisis TOPSIS. Sentra industri yang mendapatkan nilai tertinggi ditetapkan sebagai penyedia jasa utama. Sentra industri yang mempunyai nilai positif pada parameter IPFP dan IKAPI ditetapkan sebagai penyedia jasa antara. Sentra industri yang mempunyai nilai rendah pada keempat parameter diatas ditetapkan sebagai


(33)

17 Tabel 1 Status sentra industri perikanan tangkap

Status Kriteria

Penyedia jasa utama Nilai tertinggi

Server Nilai positif pada IPFP dan IKAPI

Client Nilai rendah

2.4.2 Optimasi model

Optimasi model dilakukan berdasarkan analisis minimalisasi jarak dengan teknik penyapuan terhadap 3 alternatif jaringan industri yaitu peningkatan kapasitas jaringan industri yang ada, optimalisasi jaringan industri yang ada dan pengembangan jaringan industri berdasarkan status sentra industri. Analisis minimalisasi jarak adalah salah satu teknik dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif yang paling efesien (Mulyono 1999). Teknik penyapuan dilakukan dengan mengurangi setiap elemen matriks baris dan kolom terhadap elemen matriks terendah sehingga pada baris atau kolom terdapat elemen matriks dengan nilai nol.

Analisis minimalisasi jarak dilakukan dengan membuat matriks dimana kolom vertikal merupakan pelabuhan perikanan asal dan horizontal merupakan tujuan. Berdasarkan status pelabuhan perikanan disusun berupa matriks 2 kali 2 dimana 2 pelabuhan perikanan tujuan (server) dan 2 pelabuhan perikanan sumber bahan baku (client). Elemen matriks adalah jarak antar pelabuhan perikanan sumber bahan baku dengan daerah tujuan. Jarak diukur berdasarkan alur pelayaran yang dipergunakan oleh kapal pengangkut variabel output.

2.4.3 Model terpilih

Penetapan model terpilih dilakukan dengan melakukan analisis waktu tempuh dan analisis biaya transportasi variable output.

2.4.3.1 Waktu tempuh

Waktu tempuh dalam analisis ini didefinisikan sebagai total waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mengangkut hasil produk dari satu sentra industri ke sentra industri lainnya dalam suatu aliran yang tercermin pada model jaringan industri. Waktu tempuh dihitung berdasarkan rumus berikut:


(34)

n Min Tp = ? Sr / V

r=1

Keterangan :

Tp = total waktu tempuh alternatif model p Sr = jarak jalur r (jalur pelayaran tradisional)

V = kecepatan rata-rata kapal angkut (dengan spesifikasi 15 GT, 60 HP, 6,762 knot)

p = model

r = jalur

2.4.3.2Biaya transportasi

Biaya transportasi adalah biaya yang diperlukan untuk memindahan suatu barang/komoditi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada biaya transportasi yang dikeluarkan untuk mengangkut variabel output dari suatu sentra industri di suatu pulau ke pulau lainnya. Biaya transportasi terdiri dari biaya penyewaan kapal, pembelian es untuk pengawetan ikan, dan ongkos kuli angkut. Biaya transportasi ini dihitung dengan rumus :

n

Min TCp = ? Qi TCr

r=1

ATCp = TCp / Q / Tp

Keterangan :

TCp = total biaya transportasi model p (Rp) Qi = volume ikan yang diangkut dari lokasi i (ton) TCr = biaya transportasi jalur r (Rp)

Q = total produksi

ATCp = biaya transportasi rata-rata model p per jam (Rp/ton/jam) Tp = waktu tempuh model p

i = lokasi sentra industri

p = model jaringan industri (model sekarang dan model alternatif)

r = jalur

2.4.4. Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra produksi Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra produksi dilakukan dengan analisis efisiensi teknik dan analisis Danmark Teori.

2.4.4.1Analisis efisiensi teknik

Analisis strategi pembangunan industri perikanan di wilayah kepulauan diawali dengan analisis efisiensi teknik (TE) relatif. TE relatif adalah tingkat efisiensi kapasitas kapal perikanan pada suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan kapasitas kapal perikanan pada pelabuhan perikanan lainnya. TE kapal perikanan


(35)

19

diukur berdasarkan produksi yang dihasilkan dibagi kapasitas kapal perikanan dengan formula sebagai berikut (Fauzi dan Anna 2005) :

TEi = E i / Eimax

Yi

Eimax = ———————

Xi

dimana :

TE = efisiensi teknik relatif kapasitas kapal perikanan dapa suatu pelabuhan perikanan Ei = produktifitas kapal perikanan pada lokasi i

Yi = jumlah keluaran pada lokasi i Xi = kapasitas kapal perikanan pada lokasi i

i = lokasi

2.4.4.2Analisis Danmark teori

Analisis Danmark teori yaitu suatu strategi untuk merumuskan kebijakan perikanan berdasarkan kebijakan pembangunan dan kebijakan regulasi. Kebijakan pembangunan adalah serangkaian keputusan-keputusan mengikat yang diambil oleh pemegang otorisasi dalam memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan demi peningkatan kesejahteraan manusia. Kebijakan regulasi adalah serangkaian keputusan-keputusan mengikat yang diambil oleh pemegang otorisasi dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan agar tidak menimbulkan dampak negatif. Kedua jenis kebijakan tersebut diplotkan dalam sebuah diagram Cartesius. Ordinat diagram adalah kebijakan pembangunan dan absis diagram adalah kebijakan regulasi (Christensen 2004). Kombinasi berbagai nilai dari kebijakan pembangunan dan kebijakan regulasi menghasilkan strategi pengelolaan perikanan tangkap (Tabel 2 ).


(36)

Tabel 2 Diagram Cartesius Danmark teori

Koordinasi antar dinas &

peningkatan kapasitas Optimisasi manfaat sosial Sinkronisasi kebijakan Penggunaan instrumen ekonomi unt uk input & output

Pengembangan pusat ekonomi perikanan Optimisasi manfaat ekonomil Penguatan penegakan hukum

Penerapan sistim perizinan perikanan yang efisien Rasionalisasi Alat tangkap Pengembangan infrastruktur perikanan Promosi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dari aspek lingkungan Optimisasi manfaat budaya Mobilisasi sumber pendanaan Pengendalian sumber-sumber

overfishing &

overcapacity lainnya

Penerapan kebijakan fiskal

perikanan yg kondusif

Pengendalian Pembangunan

Pemanfaatan dan pembaruan infr a struktur perikanan di daerah padat dan

non padat

Pembangkitan produk perikanan non konsumtif dalam pengembangan budaya Optimisasi manfaat lingku ngan Optimisasi biaya lingkungan Penguatan norma lokal (sangsi & pahala)

Rasionalisasi tata ruang wilayah pesisir

Pencegahan Pemantauan Penguatan sistem pemantauan IUU Pemantauan kapasitas perikanan yang terintegrasi Koordinasi antar dinas & peningkatan kapasitas Optimisasi biaya budaya Promosi & sosialisasi "green catch"

Penggunaan alat tangkap destruktif Pengembangan sistem monitoring Penyusunan basis data perikanan secara menyeluruh Sinkronisasi kebijakan Optimisasi biaya ekonomi UU Fishing (Illegal, unregu lated, unreported)

Penyebaran informasi kondisi perikanan

yang up to date

Penguatan penegakan hukum Optimisasi biaya sosial Mobilisasi sumber pendanaan


(37)

21

Diagram strategi tersebut terdiri dari 4 kuadran yang pembagiannya berdasarkan pada nilai efisiensi tehnik TE (Tabel 3). Kuadran I adalah strategi pengembangan industri disertai dengan pemantauan terhadap efek negatif terhadap sumber daya ikan, kuadran II adalah strategi pengembangan industri disertai pengendalian untuk mencegah degradasi sumber daya ikan, kuadran III adalah strategi penguatan industri disertai pencegahan degradasi sumber daya alam, dan kuadran IV adalah stategi penguatan industri disertai dengan pemulihan sumber daya ikan, Analisis Danmark dilakukan terhadap setiap sentra industri perikanan tangkap.

Tabel 3 Pembagian kuadran diagram kartesius Danmark teori

Kuadran Nilai TE Kebijakan

I 0,75 - 1 Industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan industri perikanan tangkap yang disertai dengan kebijakan pemantauan terhadap degradasi sumber daya ikan

II 0,50 – 0,75 Industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan industri perikanan tangkap namun disertai dengan kebijakan pengendalian terhadap degradasi sumber daya ikan

III 0,25 – 0,50 Industri perikanan tangkap diarahkan pada penguatan (establishing) industri perikanan tangkap namun disertai dengan kebijakan pencegahan degradasi sumber daya ikan

IV 0,00 – 0,25 Industri perikanan tangkap diarahkan pada penguatan (establishing) industri perikanan tangkap namun diisertai dengan kebijakan pemantauan pemulihan sumber daya ikan

2.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian didasari dengan metode survei. Metode surve i sangat tepat digunakan karena kajian tentang jaringan industri membutuhkan


(38)

tinjauan langsung mengenai keadaan ak tual dari berbagai pelaku (stakeholder) yang terlibat dalam sistem bisnis perikanan.

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui mekanisme pengamatan langsung terhadap aktivitas perikanan serta wawancara dengan pelaku bisnis perikanan yang dikelompokan dalam 4 kelompok, yaitu: pembina nelayan, nelayan, penguasaha pengangkutan ikan dan pengolah hasil perikanan. Wawancara dilak ukan terhadap 3 pembina nelayan di masing – masing lokasi penelitian, 32 nelayan kapal penangkap ikan dengan kapasitas = 7 10 GT, 3 pengusaha pengangkut hasil perikanan dan 6 pengolah hasil perikanan (cold storage). Informasi keterlibatan pelaku bisnis perikanan berikut data yang dikumpulkan dari masing- masing sampel disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Data primer yang dikumpulkan selama penelitian

No Pelaku bisnis perikanan

Jumlah sampel

Uraian data yang dikumpulkan Teknik pengumpulan data

1 2 3 4 5

Produksi

1 Pembina nelayan 15 Kepemilikan kapal

Jumlah kapal dan nelayan binaan Mekanisme pembiayaan Bagi hasil usaha Biaya operasional Biaya tetap

Wawancara

2 Nelayan 32 Spesifikasi teknis unit penangkapan a.Ukuran, bahan dan alat tangkap b.Bobot kapal dan permesinan c.Metode operasi

d.Lama trip dan jumlah trip per tahun e.Jumlah ABK Biaya operasional Pendapatan ABK Bagi hasil Proses penanganan Pengukuran dan Wawancara

Pengolahan dan pemasaran 1 Pengusaha cold

storage

6 Mekanisme pengumpulan bahan baku Mekanisme pembayaran

Spesifikasi produk yang diolah Kapasitas

Daerah pemasaran Komponen biaya Produksi

Pendapatan per tahun


(39)

23

1 2 3 4 5

2 Pengusaha pengangkutan ikan

3 Spesifikasi teknik kapal a.Bobot kapal

b.Kapasitas c.Lama trip

d.Jumlah trip per tahun Biaya tarif angkut Mekanisme pembayaran Biaya operasional Bagi hasil Pendapatan ABK

Wawancara

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara penelusuran pustaka dari suatu sumber publikasi. Data sekunder yang dikumpulkan berupa laporan-laporan resmi yang dipublikasikan atau yang tidak dipublikasikan meliputi:

(1) Geofisik, demografi, jumlah kapal, produksi yang diperoleh dari Belitung Dalam Angka Tahun 2000 – 2006 - Badan Pusat Statistik (2) Produk Domestik Bruto Kabupaten Belitung Tahun 2005 dan 2006 (3) Rumah tangga nelayan, kapal dan alat tangkap, produksi, sarana dan

prasarana 2001 – 2005

(4) Kebutuhan solar dan jumlah kapal Tahun 2003

(5) Data bulanan pengiriman ikan Kabupaten Belitung 2006 dan 2007 (6) Infrastruktur dan produksi ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara –


(40)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Jaringan industri yang ada (existing model)

Gambaran eksisting jaringan industri diformulasikan berdasarkan data sekunder dan data primer berupa hasil wawancara dengan pelaku usaha. Gambaran eksisting jaringan industri faktor output merupakan model pembanding pada analisis waktu tempuh dan biaya transportasi.

3.1.1.1 Jaringan faktor input dan variabel output

Industri perikanan tangkap yang masih berpusat di PPN Tanjung Pandan - Tanjung Pandan – Pulau Belitung. Hampir 90 % lebih faktor input 12 sentra industri berasal dari kota Tanjung Pandan di Pulau Belitung (Gambar 5). Pasokan ada yang dibeli dari pasar secara perorangan atau kelompok, atau dapat diperoleh dari toko-toko pembina nelayan. K ios pembina nelayan menyediakan kebutuhan bahan pokok, kebutuhan biaya hidup. Sedangkan BBM juga disediakan oleh pembina nelayan dengan mengeluarkan

direct order (DO) yang dapat diganti pada SPBN di PPN Tanjung Pandan.

Hampir 80 persen ikan yang diproduksi oleh 12 sentra industri perikanan yang ada di Kabupaten Belitung dijual melalui Pulau Belitung. Penjualan dilakukan secara penjualan langsung di pasar-pasar lokal, pelelangan atau ke cold storage milik pembina nelayan (Gambar 5).


(41)

25

Skala 1:12.500 107 o

3o

Tanjung Pandan PPI Selat

Nasik

P Gersik

P Seliu

P Sumedang

BT

LS

Gambar 5. Aliran faktor input dan variabel output

3.1.1.2Jaringan pemasaran regional dan ekspor

Sebahagian produksi ikan dijual ke Kabupaten-Kabupaten di Pulau Bangka, ke propinsi lain yaitu Sumatera Selatan, Lampung, Jakarta dan ekspor ke Singapura melalui Pulau Belitung de ngan pusatnya di PPN Tanjung Pandan. Namun apabila produksi melimpah, produksi ikan Pulau Gersik dijual langsung ke Pulau Bangka dan produksi ikan Pulau Sumedang dijual langsung ke Jakarta (Gambar 6).

Gambar 6. Aliran variabel output pemasaran regional dan ekspor

Pulau Sumedang

Pulau Gersik

Pulau Belitung: Tanjung Binga Keciput Tanjung Pandan Sungai Samak Pegantungan Lassar Tanjung Rusa Pulau Mendanau PulauSeliu

Sentra industri perikanan tangkap

Regional: Bangka Batam Palembang Lampung Jakarta Pontianak

Ekspor: Singapura


(42)

Lima perusahaan yang aktif melakukan ekspor ikan beku yaitu CV Wadah Lautan Makmur, PT Nelayan Indah Mandiri, CV Laut Jaya, PT Eka Lancar Mandiri dan PT Serikat Indo Makmur. Negara tujuan ekspor adalah Singapura.

3.1.2 Status sentra industri

Hasil penelitian dengan menggunakan analisis MCA menunjukkan bahwa Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan dengan status penyedia jasa utama karena mendapatkan total score tertinggi yaitu 4 pada analisis MCA dan merupakan rangking pertama pada analisis TOPSIS (Tabel 5 dan Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa prasarana, jumlah kapal perikanan, pasokan faktor input dan jumlah ikan yang didaratkan merupakan sentra industri terbaik, terle ngkap dan terbanyak produksi ikannya dibandingkan dengan 4 sentra di empat pulau lainnya

Tabel 5 Nilai IPFP, IKAPI, IK dan KSI sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung.

IPFP IKAPI IK KSI

Belitung 1,00 1,00 1,00 1,00

Sumedang 0,04 0,00 0,00 0,00

Seliu 0,04 0,04 0,00 0,06

Mendanau 0,07 0,31 0,04 0,30

Gersik 0,00 0,04 0,00 0,06

Tabel 6 Ranking dan status sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung

Ranking

Sentra industri Random utility value

Nilai IPFP dan IKAPI Status

1 Belitung 1.00000 Tertinggi Penyedia jasa utama

2 Mendanau 0.20462 Positip Penyedia jasa antara

3 Seliu 0.04046 Positip Penyedia jasa antara

4 Gersik 0.03484 0 Client

5 Sumedang 0.02020 0 Client

Pulau Sumedang mendapatkan score 0,04 pada analisi MCA, score 0 pada parameter IPFP dan IKAPI, ranking terendah pada analisis TOPSIS. Kondisi ini menandakan bahwa kapasitas sentra industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang


(43)

27

merupakan yang terkecil dibandingkan 4 sentra industri lainnya. Analisis tersebut diatas menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang mempunyai status sebagai client/feeder.

Pulau Seliu merupakan sentra industri perikanan tangkap yang mendapatkan score

positip pada parameter IPFP dan IKAPI yaitu masing- masing sebesar 0,04 dan 0,04 dengan ranking ke 3 dalam analisis TOPSIS. Hasil analisis tersebut diatas menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Seliu mempunyai status sebagai penyedia jasa antara (server/spoke). Rendahnya nilai IKAPI dan KSI sentra industri ini menunjukkan kapasitas kapal perikanan dan ikan yang didaratkan kecil. Nilai nol parameter IK menandakan pasokan faktor input sentra industri ini tergantung pada pasokan dari Pulau Belitung.

Pulau Mendanau yang merupakan pulau terbesar nomor 2 di Kabupaten Belitung mendapatkan score positip pada analisis MCA pada parameter IPFP dan IK, menempati ranking ke dua pada analisis TOPSIS. Analisis tersebut menunjukkan bahwa sentra industri perikanan tangkap Pulau Mendanau berfungsi sebagai penyedia jasa antara (server/spoke). Rendahnya score IPFP menunjukkan pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan Pulau Mendanau sangat minim. Demikian juga halnya dengan rendahnya score

IK menunjukkan bahwa pasokan faktor input Pulau Mendanau masih sangat tergantung pada Pulau Belitung.

Analisis MCA dan TOPSIS menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Gersik berfungsi sebagai client/feeder karena mendapatkan score nol pada parameter IPFP dan IK, serta menempati ranking ke 4. Nilai nol pada parameter IPFP menunjukkan bahwa Pulau Gersik belum memiliki pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan. Sedangkan score nol pada parameter IK menunjukkan bahwa seluruh faktor

input dipasok dari Pulau Belitung.

3.1.3 Alternatif jaringan industri

Alternatif jaringan industri perikanan tangkap dilakukan dengan formulasi alternatif model, analisis waktu tempuh dan biaya transportasi variabel output.


(44)

3.1.3.1Formulasi alternatif model

Formulasi alternatif model dilakukan dengan membuat 3 skenario pengembangan sektor perikanan tangkap. Skenario pertama adalah meningkatkan kapasitas PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi seluruh sentra industri perikanan di pulau-pulau kecil (tidak termasuk pulau utama) yang selanjutnya disebut dengan model A (Gambar 7). Skenario kedua adalah mengoptimalkan PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi sentra industri perikanan di Pulau Gersik yang selanjutnya disebut dengan model B (Gambar 8). Skenario ketiga adalah memfungsikan sentra industri sesuai dengan statusnya dalam jaringan industri yang selanjutnya disebut dengan model C (Gambar 9).

Skala 1:12.500 107 o

3o

Tanjung Pandan PPI Selat Nasik

P Gersik

P Seliu

P Sumedang Gambar 7 Model A

BT

LS

Skala 1:12.500 107 o

3o

Tanjung Pandan PPI Selat Nasik

P Gersik

P Seliu

P Sumedang Gambar 8 Model B

BT

LS

Skala 1:12.500 107 o

3o

Tanjung Pandan PPI Selat Nasik

P Gersik

P Seliu

P Sumedang Gambar 9 Model C

BT


(45)

29 3.1.3.2Optimasi model

Optimasi model dilakukan dengan analisis minimalisasi jarak berdasarkan status sentra industri seperti yang tertuang dalam Tabel 7.

Tabel 7. Jarak antar pelabuhan perikanan

Asal (client)

Tujuan (server) Pulau Mendanau

(PPI Selat Nasik)

Pulau Seliu

Pulau Gersik 15 0 30 15

Pulau Sumedang 45 30 15 0

Berdasarkan tabel diatas, disimpulkan:

(1) Pulau Gersik (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Mendanau sehingga produksi ikan dari Pulau Gersik akan langsung dikirim langsung ke Pulau Mendanau

(2) Pulau Sumedang (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Seliu sehingga produksi ikan dari Pulau Sumedang akan langsung dikirim langsung ke Pulau Seliu

Berdasarkan kesimpulan analisis minimalisasi jarak diatas, diperoleh model terpilih yaitu: Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan berstatus sebagai penyedia jasa utama (main server) berinteraksi langsung dengan 2 server (Pulau Mendanau dan Pulau Seliu) dimana server yang berinteraksi langsung dengan 1 client

lain (Pulau Mendanau berstatus sebagai server yang melayani Pulau Gersik dan Pulau Seliu berstatus sebagai server yang melayani Pulau Sumedang) (Gambar 10). Model jaringan industri terpilih tersebut sesuai dengan model C.


(46)

Skala 1:12.500 107 o

3o

Tanjung Pandan PPI Selat

Nasik

P Gersik

P Seliu

P Sumedang

BT

LS

Gambar 10 Model C jaringan industri perikanan tangkap:

Kota Tanjung Pandan sebagai main server yang berinteraksi langsung dengan 2 server dan satu server melayani satu client

3.1.3.3Analisis waktu tempuh dan biaya transportasi

Analisis MCA tahap kedua dilakukan terhadap kedua model, yaitu: eksisting model (Gambar 5) dan model C (Gambar 10) dengan parameter total waktu tempuh dan biaya transfer dengan hasil sebagai berikut:

3.1.3.2.1 Jaringan industri yang ada (eksisting model)

Pada model jaringan industri yang ada sekarang (Point 3.1.1.1), produksi hasil tangkapan di transportasikan secara langsung dari masing- masing pelabuhan perikanan (sentra industri) ke penyedia jasa utama. Variabel ouput yang ditransportasikan selama setahun dari sentra produksi ke pelabuhan penyedia jasa utama pada tahun 2007 berjumlah 17. 531, 09 ton dengan biya transportasi senilai Rp. 23.452.470.680,-. Biaya transportasi rata-rata Rp 1.337.764,55. Total waktu tempuh yang dibutuhkan mengangkut variabel produksi dari sentra industri yang tersebar di 4 pulau ke penyedia jasa utama adalah 20,999 jam (Tabel 8). Waktu tempuh eksisting model merupakan waktu tempuh terlama yang mengindikasikan jaringan industri belum efisien.


(47)

31

Tabel 8 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi eksisting model

No Route Volume (Ton) Waktu tempuh (Jam) Biaya (Rp)

1 P.Mendanau – P. Belitung 8.429,75 2,218 9.626.774.500

2 P. Gersik – P. Belitung 3.458,08 4,732 5.432.643.680

3 P. Seliu – P. Belitung 3.429,97 6,655 4.630.459.500

4 P. Sumedang – P. Belitung 2.213,29 7,394 3.762.593.000

Total 17.531,09 20,999 23.452.470.680

3.1.3.2.2 Model C

Pada model C, produksi dari semua sentra industri yang berstatus client terlebih dahulu dikumpulkan di penyedia jasa antara (server) terdekat sebelum ditransportasikan lebih lanjut ke Pulau Belitung (penyedia jasa utama). Biaya transportasi yang dipergunakan pada model C mencapai Rp 27,806,246,860,- dengan biaya transportasi rata-rata sebesar Rp 1.586.110,55 per ton. Total waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mengangkut variabel output dari seluruh sentra industri ke penyedia jasa utama adalah 13,309 jam (Tabel 9).

Tabel 9 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi model C

No Route Volume (Ton) Waktu tempuh (Jam) Biaya (Rp)

1 P. Mendanau – P.Belitung 11,887.83 2,218 13,575,901,860.00

2 P. Gersik – P.Mendanau 3,458.08 2,218 4,841,312,000.00

3 P. Sumedang – P.Seliu 2,213.29 2,218 1,770,632,000.00

4 P. Seliu – P. Belitung 5,643.26 6,655 7,618,401,000.00

Total - 13,309 27,806,246,860.00

3.1.3.2.3 Model Terpilih

Model terpilih ditentukan berdasar biaya terendah setelah dilakukan pembobotan terhadap waktu tempuh sebagaimana tertuang dalam Tabel 10.


(48)

Tabel 10 Biaya transportasi rata-rata jaringan industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung

Model

Total waktu tempuh

(jam)

Biaya transportasi per tahun (Rp)

Biaya rata-rata biaya transfer (Rp/ton)

Bobot waktu tempuh

Biaya transfer rata-rata (Rp/ton/jam)

Eksisting 20,999 23.452.470.680 1.337.764,55 0,612 818.711,90

C 13,309 27.806.246.860 1.586.110,55 0,388 615.410,89

Jumlah 34,308

Berdasarkan analisis tersebut ditentukan bahwa model C merupakan model dengan biaya transportasi yang rendah, yaitu Rp 615.410,89/ton /jam. Perbedaan nyata waktu tempuh sebesar 7,70 jam (30 % lebih singkat dari jaringan yang ada) dan biaya transportasi sebesar Rp 203.301,01 (25 % lebih hemat dari jaringan yang ada) terbukti bahwa konfigurasi jaringan industri menentukan tingkat efisiensi industri perikanan tangkap yang diukur terhadap waktu dan biaya transportasi.

3.1.4 Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra industri

Salah satu pertimbangan dalam melakukan pembangunan sektor perikanan tangkap di wilayah kepulauan adalah kapasitas pengusahaan penangkapan ikan. Nilai kapasitas pengusahaan penangkapan ikan berbeda antara satu perairan dengan perairan lainnya. Salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengukur kapasitas pengusahaan penangkapan ikan suatu perairan adalah mengukur efisiensi teknik (TE) relatif armada penangkapan ikan. TE adalah ratio produktivitas kapal perikanan pada suatu pelabuhan perikanan atau perairan. Berdasarkan pengukuran TE masing-masing pulau diperoleh hasil sebagaimana dalam Gambar 11.


(1)

Christensen AS. 2004. Complementarities in the fisheries proceedings from NAF workshop in Hirtshals. North Sea Centre, Willemoesvej 2. Institute for Fisheries Management & Coastal Community Development

Cooper WW, Rhodes E. 1978. Measuring the efficiency of decision making units. European Journal of Operational Research Vol. 2: 429-444

Daly HE. 1990. ”Toward Some Operational Principles of Sustainabe Development”. Ecological Economics. 2(1):1-6 yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman

[DKP] Departemen Kelaut an dan Perikanan. 2000. Kepmen KP No. 41 Tahun 2000; Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kcil Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat

[DKP] Departemen Kela utan dan Perikanan. 2004. Kepmen KP No. 10 Tahun 2004; Pelabuhan Perikanan

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Kepmen KP No. Per. 01/MEN/2009; Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia

Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi (terjemahan). Jakarta. PT Raja Grafindo Perkasa. 282 halaman

[DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan – Kab. Belitung. 2006. Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung. 20 halaman

[DJP] Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Laporan Final Studi Pengembangan Perikanan; Pelabuhan Perikanan Nusantara Bungus. Jakarta: Ditjen Perikanan - Departemen Pertanian.

[DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.2002. Kebijakan, Strategi dan Program Kerja Perkembangan Sentra-Sentra Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap - Departemen Kelautan dan Perikanan.

[DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2007. Laporan Tahunan Pembangunan Perikanan Tangkap. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap - Departemen Kelautan dan Perikanan. 115 halaman

Dodgson J., Spackman M., Pearman A., Phillips L. 1998. DTLR Multi-Criteria Analysis Manual. London. John Wiley & Sons, Ltd. 144 halaman

Dunn WN. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 687 halaman


(2)

[ESCAP] Economic and Social Commission for Asia and the Pasific. 2001, Review of the Developments in Transport and Communications in ESCAP Region 1996 -2001:13-15.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman

Fauzi A dan Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 343 halaman

Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 185 halaman

[FAO] Food Agricultural Organization. 2001a. Brief Review of The Basic Concepts of Fishery Manajement – Management Concepts for Small Scale Fisheries; Economic and Social Aspects

[FAO] Food Agricultural Organization. 2001b. What is The Code of Conduct for Responsible Fisheries ?. Rome. Publishing and Multimedia Service.

[FAO] Food Agricultural Organization. 2001c. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome. Publishing and Multimedia Service

[FISP] Fisheries Infrastructure Services Project. 1988. Feasibility Study Report on the Rehabilitation ofNFP Ternate. Jakarta. FisheriesInfrastructure Sector Project – Ditjen Perikanan – Departemen Pertanian

Ghalib R. 2005. Ekonomi Regional. Bandung: Pustaka Ramadhan. 310 halaman

Gordon H. 1997. DutchHarbor-Unalaska is Nation’s Top Fishing Port for 1996 Gultom E. 2007. Refungsionalisasi Pengaturan Pelabuhan Untuk Meningkatkan

Ekonomi Nasional. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 359 halaman.

Hadi SE dan Moron M. 2007. Cross Border Co-operation Between Seaport. The Case of The Strait of Gibratar. 43 halaman

Hall D. dan Hall J. 1984. “Concepts and Measures of Natural Resource Scarcity with Summary of Recent Trends” Journal of Environmental Economics and Management. 11: 363 – 379. yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman

Handoko TH. 1993. Dasar – Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Yogyakarta. BPFE Yogyakarta. 463 halaman.


(3)

Harris JM. 2000. Basic Principles of Sustainabile Development, Global Development and Environment Institute. Tuft University. Medford. MA. USA yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman

Heal G. 1998. Valuing the Future; Economic Theory and Sustainability. Colombia University Press. New York yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman

Hovgaard G. 2002. Strategies and Regional Policies-Social Capital in the Nordic Penpheries-Country report Faroe Islands

Israel DC dan Roque RMGR. 2000. Analysis of Fishing Ports in The Philipines.Manila: Philipine Institute of Development Studies. 60 halaman James L. 1999. Twenty-Second Session of The General Assembly for The

Review and Appraisal of The Implementation of The Programme of Action for The Sustainable Development of Small Island Development States; 27 – 28 September 1999. Earth Negotiations Bulletin. Vol 8. No 31:1-14

Jerome L. 1996. Tourism Penetration Index in Small Caribbean Islands. Department of Business Administration and Economics. Saint Mary's College

Jhingan ML. 1983. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Terjemahan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 660 halaman

Li H dan Xie QS. 2006. Application of TOPSIS in The Bidding Evaluation of Manufacturing Enterprises. Proceeding of e-ENGDET 2006. Guiyang. China. 184 – 188

Linsch A. 1954. The Economics of Location. Terjemahan Woglom W.H dan Stopler W.F yang diacu dalam Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 226 halaman

Maria MB. 2005. Build in Small Island Capacity to Withstand Economic, Environmental Shocks, Focus of Panel at un Mauritius Conference.

McCann P. 2002. Industrial Location Economics. Cheltenham – UK. Edward Elgar Publishing Limited. 354 halaman

McElroy J. 1991. “The Java Sea purse seine fishery; A modern tragedy of the common?” Marine Policy. July 1991: 255-271 diacu dalam Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 185 halaman


(4)

Miro F. 2005. Perencanaan Transpotasi. Jakarta. PT Erlangga. 196 halaman Moldrík P, Gurecký J, Dvorský J. 2008. The Software Application for the

Support of Multi-Criteria Decision-Making. The Czech Republic.Project CEZ MSM6198910007.

Montibeller G, Gummer H, Tumidei D. 2006. Combining Scenario Planning and Multi-Criteria Decision Analysis in Practice. Journal of Multi-Criteria Decision Analysis. Vol 14: 5–20

Mourits MCM, Van Asseldonk MAPM, Velthuis AGJ. 2006. Multi Criteria Analysis Of Alternative Strategies To Control Contagious Animal Diseases dalam Proceeding of the 11 th International Symposium on Veterinary Epidemiology and Economics

Mulyono S. 1999. Operations Research. Jakarta. Lembaga Penerbit FEUI. 209 halaman.

Nikijuluw VPH. 2003. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regiona l. 254 halaman

Nikijuluw VPH. 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Jakarta: PT Fery Agung Corporation. 314 halaman

Ochard D. 2004. New Bedford’s Commercial Fishing Infrastructure Report. Community Panels Project.15 halaman

Pandit IGS, Suryadhi NT, Arka IB, Adiputra N. 2006. Pengaruh Penyiangan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Kimiawi, Mikrobiologis dan Organoleptik Ikan Tongkol (Auxis tharzard, Lac) Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa - Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan (PPNTP). 2007. Pengembangan dan Pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan. Tanjung Pandan. Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan. 18 halaman

Perman R, Yue Ma, Gilvray JM. 1996. Natural Resource and Environmal Economics. Longman. Singapore yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman

Perroux F. 1964. Economic Space: Theory and Application yang diacu dalam Friedmann J dan Alonso W . Regional Economics:Theory and Practices yang diacu dalam Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 226 halaman

Putong I. 2008. Economics; Pengantar Mikro dan Makro. Jakarta. Mitra Wacana Media. 432 halaman


(5)

Riyadi, Bratakusumah S. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 360 hal

Robinson S. 2003.A Study of Gloucester’s Commercial Fishing Infrastrucure. New England: Gloucester Community Panels.47 halaman

Roy B. dan Vicke P. 1981. Multicriteria analysis: survey and new directions dalam European Journal of Operasional Research. North Holland. Vol 8. 207 - 218

Saaty TL. 1990. How to make a decision;The Analytic Hierarchy Process. European Journal of Operasional Research. North Holland. Vol 9: 9 - 26 Salvatore R. 2001. Inventory of Artisanal Fisheries Communities in The Western

Central Mediteranian.FAO – COPEMED Project

Seijo JC, Defeo D and Salas S. 1998. Theory, Modelling and Management Delhi, Daya for FAO. 2001. 108 p. figs., ISBN 81-7035-250-9

Sihotang P. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional Terjemahan Elements of Regional Economics oleh Richardson H.W. Jakarta: LPFE – UI. 159 halaman Singarimbun M and Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

336 halaman

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional; Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media. 329 halaman

Srdjevic B, Srdjevic Z, Zoranovic T, Potkonjak S. 2004. Advanced Decision Support Tools in Agricultural and Water Management. Novi Sad. Serbia. International Conference on Sustainable Agriculture and European Integration Processes. Sept 19 – 24. 7 halaman

Stephanie D. 1998. Dutch Harbor-Unalaska is Nation’s Top Fishing Port for 1997 Subagiyo. 2007. Analisa Preferensi International Hub Port Terhadap Kebijakan

Penentuan Pelabuhan Hubung Internasional Indonesia (Thesis Master) – Institut Teknologi Bandung

Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang. 275 halaman

Tai HH, Hwang CC. 2005. Analysis of HUB Port Choice for Container Trunk Lines in East Asia. Journal of The Eastern Asia Society for Transportation Studies. Vol 6 : 907 - 919


(6)

Tajiren, Manadiyanto, Sapto AP. 2005. Analisis Prioritas Pemilihan Komoditas dan Lokasi Sentra Pengembangan Industri Pengolahan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. BRKP. Vol 11- 9: 27 -39

Tarigan R. 2006. Ekonomi Regional; Teori dan Aplikasi. Jakarta. Bumi Aksara. 187 halaman

Tawfik H, Nagar A, Fernando T. 2007. Multi-Criteria Spatial Analysis of Building Layouts. Issues in Informing Science and Information Technology. Vol 4: 781 - 789

The Bilbao Port Authority 2006, Port of Bilbao Trade Mission to Houston, New York and Charleston in June, Bilbao 33-News Bulettin June 2006:1-4

Tom K. 2001. Catch, Efficiency and Management: Stochastic Production Frontier Analysis of The Australian Nothern Prawn Fishery. The Australian National University. 32 halaman

Tunas B. 2007. Memahami dan Memecahkan Masalah dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Nimas Multima. 198 halaman

Wang M. 2007. Port Cooperation and Competition in Korea, China and Japan; Frm The Perspective of Shipping Network and Port Development. 41 halaman

Yang SY, Bun KJ, Kang MS. 2005. Introduction of Pusan New Port Project – HUB Port in Northeast Asia dalam Proceeding of The Fifteenth International Offshore and Polar Engineering Conference dalam The International Society of Offshore and Polar Engineers. ISBN 1-880653-64-8; ISSN 1098-6189. Yudhoyono. SB. 2003. Revitalisasi Ekonomi Indonesia: Bisnis, Politik dan Good

Governance. Jakarta. Brighten Press. 82 halaman

Yudhoyono. SB, Kalla MJ. 2004. Membangun Indonesia yang aman, adil dan sejahtera. Visi, Misi dan Program. Jakarta. Brighten Press. 77 halaman

Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan. Malang. Bayumedia Publishing. 380 halaman