Hakikat Nilai Pendidikan

3. Hakikat Nilai Pendidikan

a. Pengertian Nilai Pendidikan Hadi (2005: 9) menyatakan bahwa nilai-nilai itu merupakan kesatuan yang perlu dicapai secara utuh karena hal itu berharga bagi kehiduapn rohani dan

commit to user

makan, minum, pakaian, perumahan, dan sebagainya; (2) Nilai keindahan (seni), seperti bahagia mengalami barang-barang bagus dan indah; (3) Nilai kebenaran, seperti pengetahuan, pengertian, ilmu pengetahuan, dan sebagainya; (4) Nilai kesusilaan, seperti cinta sejati terhadap sesama, dan sebagainya; dan (5) Nilai religius, seperti pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan sistem nilai di atas, Driyarkara (Simpulan dikutip dalam Hadi, 2005: 9-10) menyatakan bahwa pendidikan merupakan pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai. Jadi, isi pendidikan ialah tindakan-tindakan yang membawa anak didik mengalami, menghayati nilai-nilai kemanusiaan, sehingga anak didik membangun nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadiannya.

Pendidikan yang menjadi alat dalam masyarakat, bukan hanya untuk meneruskan nilai dari satu angkatan ke angkatan lainnya, melainkan juga untuk mengolah dan mengolah kembali tata nilai sehingga lebih sesuai dengan harkat dan martabat hidup manusia. Dengan pendidikan yang benar, orang akan mampu membudayakan masyarakat, bukan saja dalam arti memperkenalkan masyarakat kepada kebudayaan yang ada, melainkan terutama dalam arti meningkatkan kemampuan-kemampuan manusiawi dalam masyarakat sehingga orang-orang sanggup menggunakan bakat persepsi, imajinasi, berpikir, dan berkreasi untuk mengolah dan menyempurnakan realisasi nilai-nilai (Riberu, 2001: 187).

Mudyaharjo (2001: 47) menyatakan bahwa pendidikan sebagai pengalaman yang tidak terbatas dalam waktu, tempat, dan bentuk adalah bersifat random, yaitu terjadi kapan pun sepanjang kurun waktu usia hidup, di mana pun dalam lingkungan hidup, dan kapan pun dalam perjalanan hidup seorang manusia, serta siapa pun dari umat manusia adalah pelajarnya, dengan pengalaman hidup sebagai guru, dan lingkungan adalah hidup tempat belajar atau sekolah umat manusia.

b. Macam-macam Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra Karya sastra mempunyai nilai pendidikan yang mendidik. Dengan membaca karya sastra, pembaca diharapkan mampu menentukan nilai-nilai

commit to user

diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui pemahaman yang tinggi. Nilai pendidikan dibagi menjadi tiga bagian yaitu nilai pendidikan moral, nilai pendidikan religius, dan nilai pendidikan sosial. Hal ini di dasarkan pada hakikat nilai pendidikan yaitu hal-hal yang penting atau ajaran yang berguna bagi kemanusiaan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadi manusia berbudaya. Nilai pendidikan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

1) Nilai Pendidikan Moral Nurgiyantoro (2005: 322) menyatakan bahwa moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun tokoh protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh “jahat” itu. Eksistensi sesuatu yang baik, biasanya, justru akan lebih baik mencolok jika dikonfrontasikan dengan yang sebaliknya.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Esten memaparkan bahwa selain mengandung nilai estetika, karya sastra juga harus memiliki nilai moral dan nilai yang bersifat konsepsional. Ketiga nilai tersebut tidak dapat dipisahkan. Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral, ia bukan hanya semacam sopan santun atau etika belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal pada nilai-nilai tentang kemanusiaan. Demikian juga nilai yang bersifat konsepsional, dasarnya adalah juga nilai tentang keindahan yang sekaligus menerangkan nilai tentang moral (Muzakki, 2007).

commit to user

Istilah religius yang berkembang di masyarakat diidentikkan dengan agama. Semi (1993: 22) menyatakan bahwa “agama merupakan dorongan penciptaan sastra, sebagai sumber ilham, dan sekaligus pula sering membuat sastra atau karya sastra bermuara pada agama ”. Senada dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro (2005: 326) berpendapat “kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius ”.

Pedapat lain tentang nilai religius dikemukakan oleh Suriasumantri (2001: 270). Menurutnya, nilai agama berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan. Hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini bukanlah proses pembudayaan melainkan dekadensi, keruntuhan peradaban. Dalam hal ini maka agama memberikan kompas dan tujuan: sebuah makna, semacam arti, yang membedakan seorang manusia dengan berjuta galaksi.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa nilai agama merupakan dorongan penciptaan sastra dan keberadaan unsur religius dalam sastra setua keberadaan sastra itu sendiri.

3) Nilai Pendidikan Sosial Pesan-pesan moral juga dapat berwujud pesan yang berkaitan dengan hubungan antarsesama atau hubungan sosial. Masalah-masalah yang berupa hubungan antarmanusia antara lain dapat berwujud: persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan (hubungan suami- istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami atau istri, anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan, dan lain- lain yang melibatkan interaksi antarmanusia (Nurgiyantoro, 2005: 325).