Potensi Kulit Mangium Sebagai Biosorben Ion Logam Berat Berbahaya

POTENSI KULIT MANGIUM SEBAGAI BIOSORBEN ION
LOGAM BERAT BERBAHAYA

JAUHAR KHABIBI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Kulit Mangium
sebagai Biosorben Ion Logam Berat Berbahaya adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Maret 2016
Jauhar Khabibi
NIM E251120031

RINGKASAN
JAUHAR KHABIBI. Potensi Kulit Mangium sebagai Biosorben Ion Logam Berat
Berbahaya. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan RITA KARTIKA SARI.
Penurunan kandungan ion logam berat di dalam limbah cair cukup
diperhatikan oleh industri-industri di Indonesia tetapi hal ini terhalang oleh belum
ditemukannya metode yang tepat. Kandungan ion logam berat yang tinggi di
dalam limbah cair berdampak negatif terhadap makhluk hidup dan lingkungannya.
Beberapa jenis ion logam berat, seperti timbal (Pb2+), merkuri (Hg2+), tembaga
(Cu2+), dan nikel (Ni2+) dapat menyebabkan kelainan terhadap organ tubuh dan
signifikan beracun bagi makhluk hidup serta lingkungannya. Terdapat beberapa
metode yang bisa diterapkan untuk menurunkan kadar ion logam berat, seperti
precipitation, ion exchange, filtration, electrode-position, dan reverse osmosis
tetapi beberapa tidak memuaskan dalam segi pembiayaan dan kinerja
penyerapannya. Absorption merupakan salah satu metode yang efisien untuk
menurunkan kadar ion logam berat di dalam limbah cair. Metode ini
memanfaatkan suatu bahan dari biomassa untuk menyerap atau mengikat ion

logam berat.
Limbah industri pertanian, perkebunan, dan kehutanan dapat digunakan
sebagai biosorben untuk penyerapan ion logam berat. Kulit kayu, daun, serbuk
gergaji, dan bahan biomassa lainnya telah diteliti mampu menyerap ion logam
berat. Kandungan gugus fungsi, seperti hidroksil, karboksil, sulfidril, amida, dan
amina di dalam biomassa memiliki kemampuan tinggi untuk mengikat ion logam
berat. Selain itu, jenis biomassa kulit memiliki kandungan ekstraktif, seperti tanin
yang juga mampu mengikat ion logam berat. Indonesia memiliki potensi kulit
mangium yang cukup besar. Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia
didominasi oleh tegakan mangium untuk tujuan bahan baku pulp dan kertas. Log
mangium sebagai bahan baku pulp harus dihilangkan bagian kulitnya sebesar 1217% dari 1 buah log. Pemanfaatan kulit mangium selama ini hanya untuk bahan
bakar boiler sehingga perlu dilakukan peningkatan nilai tambah dan efisiensi
pemanfaatannya. Salah satunya mengembangkan kulit mangium sebagai
biosorben untuk menurunkan kandungan ion logam berat pada limbah cair
industri.
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah 1) Menentukan
persentase penyerapan Hg2+, Cu2+, Pb2+, dan Ni2+ oleh biosorben kulit mangium
dalam larutan artifisial tunggal, campuran, dan limbah cair pertambangan emas
dan menentukan ion logam berat terpilih pada larutan artifisial tunggal untuk
pengujian tahap lebih lanjut berdasarkan persentase penyerapan terbesar, 2)

Menganalisis pengaruh dan kondisi optimal dari parameter dosis biosorben, pH
larutan, waktu kontak, dan konsentrasi ion logam berat dalam larutan artifisial
tunggal terhadap persentase penyerapan ion logam berat terpilih, serta
menentukan kapasitas penyerapan dan kinerja penyerapan ion logam berat terpilih
oleh biosorben kulit mangium, kulit mangium tanpa perlakuan, dan arang aktif
komersial, dan 3) Karakterisasi biosorben sebelum dan setelah penyerapan ion
logam berat terpilih pada persentase penyerapan terbesar.
Percobaan penyerapan ion logam berat dilakukan dalam labu erlenmeyer
100 mL menggunakan 50 mL larutan ion logam berat dan ditambahkan 200 mg

biosorben kulit mangium. Setelah itu, labu ditutup rapat dan diletakkan di atas
pengaduk magnetik dengan kecepatan 300 rpm pada suhu ruangan ±25 oC.
Setelah 3 jam, pemisahan antara biosorben kulit mangium dan larutan ion logam
berat dilakukan dengan kertas saring dan diuji kadar ion logam beratnya
menggunakan atomic absorption spectrophotometer (AAS). Pengujian
penyerapan dilakukan dengan menggunakan larutan artifisial tunggal, campuran,
dan limbah cair pertambangan emas. Parameter dosis biosorben, pH larutan,
waktu kontak, dan konsentrasi ion logam berat diujikan untuk mengetahui kondisi
optimal serta dilakukan pengujian kinerja jenis bahan penyerap terhadap
penyerapan ion logam berat terpilih. Selain itu juga dilakukan pengujian

karakteristik biosorben kulit mangium sebelum dan setelah penyerapan ion logam
berat terpilih menggunakan electron microscopy (SEM), energy dispersive X-ray
spectroscopy (EDS), dan fourier transform infrared (FTIR).
Hasil penelitian menunjukkan persentase penyerapan Cu2+, Hg2+, Pb2+, dan
2+
Ni oleh biosorben kulit mangium berturut-turut 42.67%, 9.45%, 19.97%, dan
20.47% dalam larutan artifisial tunggal dan 64.15%, 92.76%, 17.09%, dan
13.69% dalam larutan artifisial campuran. Limbah cair pertambangan emas
mengandung Cu2+ paling besar 7 mg/L sedangkan Pb2+, Ni2+, dan Hg2+ berada di
bawah batas deteksi alat (< 0.001 mg/L). Persentase penyerapan Cu2+ dalam
limbah cair pertambangan emas oleh biosorben kulit mangium sebesar 42.86%.
Peningkatan dosis biosorben kulit mangium, pH larutan, waktu kontak, dan
konsentrasi Cu2+ dapat meningkatkan persentase penyerapan Cu2+ sampai batas
tertentu. Hasil uji statistik menunjukkan kondisi optimal penyerapan Cu2+ oleh
biosorben kulit mangium terjadi pada dosis biosorben 400 mg, pH larutan 4,
konsentrasi awal 50 mg/L, dan waktu kontak 10 menit. Kondisi optimal
penyerapan Cu2+ oleh biosorben kulit mangium menghasilkan persentase dan
kapasitas penyerapan berturut-turut 82.58 % dan 2.28 mg/g. Hasil pengujian
statistik jenis bahan penyerap menunjukkan bahwa kinerja penyerapan Cu2+ oleh
biosorben kulit mangium dan arang aktif komersial tidak berbeda tetapi kinerja

penyerapan Cu2+ keduanya berbeda nyata dengan kulit mangium tanpa perlakuan.
Karakteristik dasar biosorben kulit mangium mendukung untuk pengikatan ion
logam berat. Proses penyerapan Cu2+ dalam larutan artifisial tunggal
mengakibatkan perubahan karakteristik biosorben kulit mangium, seperti
penurunan indeks kristalinitas, perubahan transmitansi pada gugus hidroksil,
karboksil, dan karbonil, dan munculnya unsur Cu2+. Berdasarkan hasil ini kulit
mangium memiliki potensi yang sangat tinggi sebagai biosorben ion logam berat
berbahaya.
Kata kunci: biosorben, ion logam berat, kulit mangium, optimalisasi, penyerapan

SUMMARY
JAUHAR KHABIBI. Potency of Mangium Bark as Biosorbent for Hazardous
Heavy Metal Ion. Supervised by WASRIN SYAFII and RITA KARTIKA SARI.
Reducing the content of heavy metal ion in the wastewater was seriously
handled by industries in Indonesia but it is hindered by not finding the right
method. The content of heavy metal ions in wastewater has a negative impact on
living beings and environment. Some types of heavy metal ions, such as lead
(Pb2+), mercury (Hg2+), copper (Cu2+), and nickel (Ni2+) can cause abnormalities
and significantly toxic to the living beings and the environment. There are several
methods that can be applied to reduce the heavy metal ions, such as precipitation,

ion exchange, filtration, electrode-position, and reverse osmosis but some of these
methods are not satisfactory in terms of financing and performance. Absorption is
one of efficient methods to reduce heavy metal ions in wastewater. This method
utilizes a material of biomass to absorb the heavy metal ions.
The waste of agriculture, plantation, and forestry can be used as biosorbent
for heavy metal ions absorption. Bark, leaves, sawdust, and other biomass
materials have been investigated enable to absorb heavy metal ions. The content
of functional groups, such as hydroxyl, carboxyl, sulfhydryl, amide, and amine in
the biomass has high capability to bind heavy metal ions. Moreover, the bark
biomass contains extractive, such as tannin which has capability to bind heavy
metal ions. Mangium bark is one of many kind biomass which has a high potency
in Indonesia. Industrial timber plantation in Indonesia was dominated by
mangium for the pulp and paper purposes. The raw material for pulp and paper
must be debarked for remove bark. This process is resulting around 12-17% bark
waste. Utilization of mangium bark is only for boiler fuel so it is necessary to
increase the added value and efficiency in their utilization. One of them developed
a mangium bark as biosorbent to reduce the content of heavy metal ions in
industrial wastewater.
The objectives of this research are 1) Determine the absorption percentage
of Hg2+, Cu2+, Pb2+, and Ni2+ by mangium bark biosorbent in the solution of single

artificial, mixture artificial, and gold mining wastewater and determine the chosen
heavy metal ion in a single artificial solution which result the highest absorption
percentage for further experiment, 2) Analyze the effect and the optimum
conditions of the several parameters, such as biosorbent dose, solution pH, contact
time, and heavy metal ions concentration in single artificial solution toward
absorption percentage of the chosen heavy metal ion; determine the absorption
capacity on the optimum condition; and absorption performance of chosen heavy
metal ion by mangium bark biosorbent, untreated mangium bark, and commercial
activated charcoal, and 3) Characterization mangium bark biosorbent before and
after the absorption process of chosen heavy metal ion on the condition which
result the highest absorption percentage.
Absorption experiment was conducted in erlenmeyer flask using 50 mL of
heavy metal ion solutions and added 200 mg mangium bark biosorbent. After that
the flask was sealed and placed on a magnetic stirrer at 300 rpm at room
temperature ± 25 °C. After 3 hours, mangium bark biosorbent and heavy metal
ion solution were separated using filter paper and the heavy metal ion

concentration was tested using atomic absorption spectrophotometer (AAS). The
experiment was conducted using 3 kinds of solution, single artificial, mixture
artificial, and gold mining wastewater. The parameters of biosorbent dose,

solution pH, contact time, and the concentration of heavy metal ion were tested to
determine the optimal condition. The absorption performance of the mangium
bark biosorbent, mangium bark untreated, and commercial activated charcoal
were also analyzed. The mangium bark biosorbent characteristics before and after
absorption of chosen heavy metal ion was analyzed using electron microscopy
(SEM), energy dispersive X-ray spectroscopy (EDS), and fourier transform
infrared (FTIR).
The results showed the absorption percentage of Cu2+, Hg2+, Pb2+, and Ni2+
by mangium bark biosorbent respectively 42.67%, 9.45%, 19.97% and 20.47% in
the single artificial and 64.15%, 92.76%, 17.09%, and 13.69% in the mixture
artificial solution. Gold mining wastewater has higher Cu2+ content than the other
heavy metal ion, 7 mg/L. The content of Pb2+, Ni2+, and Hg2+ in the gold mining
wastewater are below the detection limit of AAS ( Ni2+ > Pb2+ > Hg2+ pada larutan artifisial
tunggal (Gambar 1). Pola persentase penyerapan ini serupa dengan penyerapan
Cu2+, Ni2+, Zn2+, dan Pb2+ oleh biosorben daun neem (Oboh et al. 2009).
Persentase penyerapan Cu2+ memiliki nilai yang paling besar dibandingkan ion
logam berat lainnya. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh faktor jari-jari atom
ion logam berat, Cu2+ memiliki jari-jari atom terkecil dibanding dibandingkan ion
logam berat lainnya (Clementi et al. 1967). Faktor jari-jari atom dapat
mempengaruhi kuat dan lemahnya ikatan yang terjadi, semakin pendek jari-jari

atom maka semakin stabil dan kuat ikatan yang dibentuk (McBride 1994). Selain
itu kombinasi antara jari-jari atom dan keelektronegatifan diperkirakan juga
mempengaruhi pernsetase penyerapan ion logam berat. Cu2+ dan Ni2+ memiliki
keelektronegatifan yang cukup besar dibandingkan ion logam berat lainnya,
seperti Pb2+ dan Hg2+ (Allred dan Rochow 1985). Semakin besar

7
keelektronegatifan maka akan semakin kuat berikatan kovalen dengan atom O
dalam gugus aktif biosorben (Brown et al. 2000).

Gambar 1 Pengaruh jenis ion logam berat dalam larutan artifisial tunggal ( ),
larutan artifisial campuran ( ), dan limbah cair ( ) terhadap
persentase penyerapan Cu2+, Hg2+, Pb2+, dan Ni2+ oleh biosorben kulit
mangium
Hasil pengujian penyerapan ion logam berat oleh biosorben kulit mangium
pada larutan artifisial campuran menunjukkan persentase penyerapan Hg2+ > Cu2+
> Pb2+ > Ni2+ (Gambar 1). Pola penyerapan tersebut serupa dengan penyerapan
Cu2+, Pb2+, Ni2+, dan Co2+ pada larutan artifisial campuran oleh biosorben
cangkang buah nipah (Hidayat et al. 2014). Hg2+ memiliki nilai persentase
penyerapan paling besar dalam larutan artifisial campuran jika dibandingkan ion

logam berat lainnya. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan nilai
persentase penyerapannya pada larutan artifisial tunggal. Fenomena peningkatan
persentase penyerapan Hg2+ pada larutan artifisial campuran ini, diperkirakan
karena adanya reaksi antara ion-ion logam berat yang dicampur dalam 1 larutan
(Appel dan Na-Oy 2014). Reaksi ini diperkirakan mengubah Hg2+ menjadi lebih
aktif dan lebih sesuai terhadap geometri gugus aktif biosorben sehingga
meningkatkan persentase penyerapannya. Pengikatan ion logam berat oleh gugus
aktif memerlukan kesesuaian jenis, ukuran, dan geometri antara gugus aktif
dengan ion logam berat yang akan berikatan (Nieboer dan Richardson 1980).
Hasil pengujian kandungan ion logam berat pada limbah cair
pertambangan emas PT Antam menunjukkan kandungan Cu2+ yang paling besar
dibandingkan dengan ion logam berat lainnya (Tabel 1). Kandungan Cu2+ pada
limbah ini sangat besar jika dibandingkan dengan limbah cair pertambangan emas
dari Tarkwa, Ghana, yang hanya 0.93 mg/L (Ato et al. 2010). Kandungan lain,
seperti Hg2+, Ni2+, dan Pb2+ pada sampel limbah yang diuji sangat kecil atau
berada di bawah batas deteksi alat 0.001 mg/L. Hal berbeda ditunjukkan pada
pengujian limbah cair pertambangan emas di Datuku, Talensi-Nabdam, yang
memiliki kandungan Hg2+ 0.002-0.02 mg/L (Cobbina et al. 2013). Selain itu,
pengujian limbah cair pertambangan emas dari Tarkwa, Ghana, juga menunjukkan
adanya kandungan Pb2+ sebesar 0.65 mg/L (Ato et al. 2010). Perbedaan ini terjadi

karena perbedaan metode atau proses pengolahan pada setiap industri

8
pertambangan emas (Logsdon et al. 1999). PT Antam pada saat ini tidak
menggunakan Hg2+ sebagai bahan kimia utama untuk mengikat logam mulia.
Penggunaan Hg2+ telah digantikan dengan bahan kimia NaCN atau sianida.
Berbeda pada pertambangan kecil di Datuku, Talensi-Nabdam, yang masih
menggunakan Hg2+ untuk mengikat logam mulia dalam proses amalgamation.
Tabel 1 Kandungan ion logam berat dalam limbah cair pertambangan emas
No.
1
2
3
4

Ion logam berat
Cu2+
Hg2+
Pb2+
Ni2+

Konsentrasi dalam limbah PT Antam (mg/L)
7 ± 0.004
< 0.001
< 0.001
< 0.001

Hasil pengujian penyerapan Cu2+ pada limbah cair pertambangan emas oleh
biosorben kulit mangium menunjukkan nilai persentase penyerapan sebesar
42.89%. Persentase penyerapan Cu2+ tersebut hampir sama dengan persentase
penyerapan Cu2+ pada larutan artifisial tunggal (Gambar 1). Hal ini karena kedua
jenis larutan tersebut sama-sama mengandung 1 jenis ion logam berat, yaitu Cu2+.
Berdasarkan hal tersebut larutan artifisial tunggal dapat dimanfaatkan untuk
simulasi penyerapan ion logam berat pada limbah cair yang mengandung 1 jenis
ion logam berat.
Pengaruh Dosis Biosorben Terhadap Penyerapan Cu2+
Hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan dosis biosorben kulit
mangium sampai dengan dosis tertentu dapat meningkatkan persentase
penyerapan Cu2+ (Gambar 2). Hasil analisis statistik (Lampiran 1) menunjukkan
bahwa dosis biosorben berpengaruh sangat nyata terhadap persentase penyerapan
Cu2+ ( = 0.01). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dosis biosorben 400
mg menghasilkan persentase penyerapan Cu2+ yang lebih tinggi dan berbeda nyata
( = 0.05) dengan dosis 200 dan 300 mg. Akan tetapi, dosis biosorben 400 mg
menghasilkan persentase penyerapan Cu2+ yang tidak berbeda nyata dengan dosis
biosorben 500, 600, dan 700 mg (Gambar 2). Oleh karena itu, dipilih dosis
biosorben 400 mg sebagai dosis optimal proses penyerapan Cu2+ yang
menghasilkan persentase penyerapan sebesar 70.23%.
Persentase penyerapan Cu2+ meningkat dengan penambahan dosis
biosorben sampai dosis 400 mg (Gambar 2). Fenoma ini serupa dengan
penyerapan Cu2+ oleh biosorben dried activated sludge (DAS) serta penyerapan
Cd2+ dan Pb2+ oleh biosorben daun Acacia nilotica (Zare et al. 2015; Waseem et
al. 2014). Meskipun berbeda jenis biosorben, pola penyerapan yang terjadi
memiliki kesamaan. Hal ini karena bio-material memiliki gugus aktif yang sama
untuk mengikat ion logam berat, seperti karboksil, karbonil, hidroksil, amina, dan
amida (Xiao dan Thomas 2004). Penambahan dosis biosorben akan menyediakan
ruang-ruang aktif pada permukaan biosorben yang semakin banyak sehingga
dapat meningkatkan persentase penyerapan ion logam berat (Torab-Mostaedi
2013; Annie et al. 2015).

9

c

c

c

c

b
a

Gambar 2 Pengaruh dosis biosorben kulit mangium terhadap persentase
penyerapan Cu2+ pada konsentrasi ion logam berat 50 mg/L. Huruf
yang berbeda pada histogram menunjukkan nilai persentase
penyerapan yang berbeda nyata ( = 0.05) berdasarkan uji lanjut
Duncan
Persentase penyerapan Cu2+ oleh biosorben kulit mangium tidak
meningkat dengan penambahan dosis di atas 400 mg (Gambar 2). Fenomena ini,
sejalan dengan persentase penyerapan Cu2+ oleh biosorben chitosan dan
penyerapan Ni2+ oleh biosorben serat kenaf (Morales et al. 2011; Annie et al.
2015). Hal ini karena jumlah ion logam berat yang terikat pada biosorben dan ion
logam berat yang bebas dalam larutan relatif konstan, walaupun dilakukan
penambahan dosis biosorben lebih lanjut. Kondisi ini disebut telah mencapai
kesetimbangan sehingga tidak terjadi penyerapan ion logam berat lebih lanjut
(Jaya dan Das 2014).
Pengaruh pH Larutan Terhadap Penyerapan Cu2+
Hasil pengujian menunjukkan bahwa sampai nilai pH tertentu, semakin
besar pH larutan maka persentase penyerapan Cu2+ oleh biosorben kulit mangium
juga semakin tinggi (Gambar 3). Hasil analisis statistik (Lampiran 2)
menunjukkan bahwa tingkat pH larutan berpengaruh sangat nyata ( = 0.01)
terhadap persentase penyerapan Cu2+. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa pH larutan 4 menghasilkan persentase penyerapan Cu2+ yang lebih tinggi
dan berbeda nyata ( = 0.05) dengan pH larutan 2 dan 3. Akan tetapi, pH larutan 4
menghasilkan persentase penyerapan Cu2+ yang tidak berbeda nyata dengan pH
larutan 5, 6, dan 7 (Gambar 3). Berdasarkan hasil ini, dipilih pH larutan 4 sebagai
pH optimal proses penyerapan Cu2+ yang menghasilkan persentase penyerapan
sebesar 95.31%.
pH larutan sangat berpengaruh terhadap proses penyerapan ion logam
berat (Iqbal dan Edyvean 2005). Tingkat pH larutan dapat mempengaruhi derajat
pemisahan gugus fungsional biosorben dan kelarutan ion logam berat (Deng et al.
2007). Selain itu, tingkat pH larutan berpengaruh terhadap komposisi ion-ion

10
logam berat yang dapat diikat oleh gugus aktif biosorben sehingga mempengaruhi
proses pertukaran ion (Jaya dan Das 2014).
c

c

c

c

b
a

Gambar 3 Pengaruh pH larutan terhadap persentase penyerapan Cu 2+ pada
konsentrasi ion logam berat 50 mg/L dan dosis biosorben kulit
mangium 400 mg. Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan
nilai persentase penyerapan yang berbeda nyata ( = 0.05)
berdasarkan uji lanjut Duncan
Pola persentase penyerapan Cu2+ oleh biosorben kulit mangium pada
kondisi variasi pH larutan yang terjadi serupa dengan penyerapan Cu2+ oleh
biosorben DAS (Zare et al. 2015). pH larutan yang tinggi mengakibatkan
permukaan biosorben menjadi lebih negatif dan jumlah H+ semakin berkurang
sehingga mendukung terjadinya pengikatan ion logam berat (Masud dan
Anantharaman 2005; Zafar et al. 2008; Yan dan Viraraghavan 2003). Pada
kondisi pH larutan rendah terjadi persaingan pengikatan antara ion logam berat
dan H+ oleh gugus aktif biosorben sehingga persentase penyerapan ion logam
berat cenderung menurun (Huang et al. 1988; Jaya dan Das 2014).
Pengaruh Waktu Kontak dan Konsentrasi Cu2+ Terhadap
Penyerapan Cu2+
Hasil analisis statistik (Lampiran 3) menunjukkan bahwa waktu kontak
memberikan pengaruh yang sangat nyata ( = 0.01) terhadap persentase
penyerapan Cu2+ pada konsentrasi Cu2+ 25 mg/L tetapi tidak memberikan
pengaruh pada konsentrasi Cu2+ 50 mg/L. Faktor konsentrasi Cu2+ memberikan
pengaruh yang sangat nyata ( = 0.01) terhadap persentase penyerapan Cu2+.
Hasil uji lanjut Duncan pada konsentrasi Cu2+ 25 mg/L menunjukkan bahwa
waktu kontak 10 menit menghasilkan persentase penyerapan Cu2+ yang lebih
rendah dan berbeda nyata ( = 0.05) dibandingkan dengan waktu kontak lainnya
yang lebih tinggi. Akan tetapi, persentase penyerapan Cu2+ antara waktu kontak
20 menit tidak berbeda dibandingkan dengan waktu kontak yang lebih lama
(Tabel 2).

11
Pola penyerapan yang terjadi pada konsentrasi Cu2+ 25 mg/L serupa
dengan penyerapan Ce3+ dan La3+ oleh biosorben dari limbah bio-material (Jaya
dan Das 2015). Laju penyerapan ion logam berat meningkat secara cepat pada
awal proses penyerapan kemudian perlahan menurun sampai kondisi
kesetimbangan (Ho dan McKay 1998). Melambatnya proses penyerapan karena
berkurangnya ruang aktif kosong pada permukaan biosorben sehingga terjadi
kejenuhan yang memunculkan gaya tolak-menolak antara molekul pada larutan
dan biosorben (Saravanane et al. 2002; Verma et al. 2006). Secara alami gugus
aktif pada biosorben memerlukan waktu untuk mencapai kondisi kesetimbangan
(Adie et al. 2012). Oleh karena itu, waktu kontak menjadi parameter penting
untuk meningkatkan proses penyerapan ion logam berat (Kutahyali et al. 2010).
Pada konsentrasi Cu2+ 50 mg/L waktu kontak tidak memberikan pengaruh
berbeda terhadap persentase penyerapan Cu2+ (Tabel 2). Hal ini karena kondisi
larutan dengan konsentrasi tinggi akan menyediakan gaya untuk mendatangkan
ion-ion logam berat (Jaya dan Das 2014; Dang et al. 2009). Gaya yang muncul ini
diperkirakan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap persentase
penyerapan Cu2+ dibandingkan dengan pengaruh waktu kontak.
Tabel 2 Pengaruh waktu kontak dan konsentrasi Cu2+ terhadap persentase
penyerapan Cu2+
Waktu kontak (menit)(sn)
10
20
30
40
50
60
70
Rata-rata1, 3)

Konsentrasi Cu2+ (mg/L)(sn), 2)
25
50
64.75±7.42 a
82.58±1.32 a
83.03±4.27 b
89.79±3.38 a
83.29±5.82 b
92.58±3.81 a
84.42±4.55 b
93.47±4.97 a
82.63±4.03 b
88.90±7.56 a
83.69±7.44 b
92.87±9.29 a
83.65±7.94 b
92.03±6.63 a
80.78±9.03 x
90.32±6.08 y

Keterangan 1) rata-rata dari 7 ulangan, 2) rata-rata dari 3 ulangan, 3) huruf yang berbeda pada
lajur/baris rata-rata menunjukan persentase penyerapan yang berbeda nyata ( = 0.05) berdasarkan
hasil uji Duncan.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi Cu2+ 50 mg/L
memberikan nilai persentase penyerapan Cu2+ tertinggi dan berbeda nyata ( =
0.05) dengan konsentrasi Cu2+ 25 mg/L. Fenomena serupa ditemukan pada
penyerapan Ce3+ dan La3+ oleh biosorben dari dari limbah bio-material (Jaya dan
Das 2015). Konsentrasi ion logam berat yang besar akan menyediakan gaya untuk
mendatangkan ion-ion logam berat yang terhalang diantara fase padat dan larutan
pada permukaan biosorben (Jaya dan Das 2014; Dang et al. 2009). Hal ini akan
meningkatkan persentase penyerapan ion logam berat oleh biosorben.
Berdasarkan hasil pengujian pengaruh waktu kontak dan konsentrasi Cu2+ kondisi
optimal proses penyerapan yang menghasilkan persentase penyerapan Cu2+
sebesar 82.58% adalah waktu kontak 10 menit dan konsentrasi Cu2+ 50 mg/L.

12
Kapasitas Penyerapan Cu2+ Oleh Biosorben Kulit Mangium
Gambar 4 menunjukkan hasil perhitungan nilai kapasitas penyerapan Cu 2+
oleh biosorben kulit mangium. Pola nilai kapasitas penyerapan yang sama
diperoleh pada penyerapan Al3+ oleh biosorben kulit Eucalyptus camaldulensis
dan penyerapan La3+ oleh biosorben dari limbah bio-material, seperti serbuk
gergaji neem, kulit buah jagung, dan kulit jeruk (Rajamohan et al. 2014; Jaya dan
Das 2014). Ion logam berat memerlukan waktu tertentu untuk sampai dan
berikatan dengan ruang-ruang aktif pada biosorben (Rajamohan et al. 2014).
Terisinya ruang-ruang aktif di biosorben mengakibatkan penurunan kapasitas
penyerapan yang disebut dengan kondisi mulai mencapai kesetimbangan (Verma
et al. 2006).

Gambar 4 Pengaruh waktu kontak dan konsentrasi Cu2+ 50 mg/L ( ) dan 25
mg/L ( ) terhadap kapasitas penyerapan Cu2+ pada dosis biosorben
kulit mangium 400 mg dan pH larutan 4
Hasil menunjukkan semakin besar konsentrasi ion logam berat dapat
meningkatkan nilai kapasitas penyerapan (Gambar 4). Fenomena yang sama
terjadi pada penyerapan Pb2+ oleh biosorben Melocanna baccifera Roxburgh dan
juga diungkapkan dari hasil telaah referensi terhadap penyerapan Cu2+ oleh
biosorben cangkang kelapa sawit dan Cd2+ oleh biosorben ganggang laut
(Lalhruaitluanga et al. 2010; Abdel-Ghani dan El-Chaghaby 2014). Semakin besar
konsentrasi ion logam berat maka rasio jumlah ion logam berat dengan gugus
aktif akan semakin besar juga sehingga proses penyerapan sangat tergantung
terhadap konsentrasi ion logam berat (Jaya dan Das 2014). Semakin besar
konsentrasi ion logam berat dapat meningkatkan frekuensi kontak antara ion
logam berat dengan gugus aktif sehingga meningkatkan pengikatan ion logam
berat pada biosorben (Surchi 2011). Kondisi optimal penyerapan Cu2+ pada dosis
biosorben 400 mg, pH larutan 4, waktu kontak 10 menit, dan konsentrasi Cu2+ 50
mg/L menghasilkan kapasitas penyerapan sebesar 2.28 mg/g. Nilai kapasitas
penyerapan ini lebih kecil jika dibandingkan dengan kapasitas penyerapan Cu 2+
oleh kulit pinus pada pH larutan 4.5, waktu kontak 16.67 menit, dan konsentrasi
Cu2+ 20 mg/L sebesar 3.94 mg/g (Nehrenheim dan Gustafsson 2008).

13
Penyerapan Cu2+ Oleh Beberapa Jenis Bahan Penyerap Dalam Larutan
Artifisial Tunggal
Hasil analisis statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa jenis bahan
penyerapan berpengaruh sangat nyata ( = 0.01) terhadap