PENGARUH TERJADINYA TRAGEDI ANGKE TAHUN 1740 TERHADAP BIDANG SOSIAL-EKONOMI DI BATAVIA

(1)

PENGARUH TERJADINYA TRAGEDI ANGKE TAHUN 1740 TERHADAP BIDANG SOSIAL-EKONOMI DI BATAVIA

Oleh: Ardhi Yudisthira

0913033001 Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

PENGARUH TERJADINYA TRAGEDI ANGKE TAHUN 1740 TERHADAP BIDANG SOSIAL-EKONOMI DI BATAVIA

Oleh : Ardhi Yudisthira

Tragedi Angke di Batavia pada tahun 1740 adalah salah satu noda hitam terburuk dalam sejarah perkembangan kota Jakarta. Data kontemporer menyebutkan tidak kurang 10 ribu orang Cina telah tewas dalam insiden ini. Kisah kelam ini berawal dari masalah memanasnya hubungan antara permintah VOC dengan imigran Tionghoa yang ada di Jakarta waktu itu. Peristiwa ini mengakibatkan kerugian yang sangat besar, bukan hanya bagi warga Tionghoa yang menjadi korban, tetapi juga berdampak bagi VOC, terutama pada bidang sosial-ekonomi di Batavia.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pada penelitian ini adalah “Apa sajakah pengaruh dari terjadinya Tragedi Angke tahun 1740 terghadap bidang sosial-ekonomi di Batavia?”. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari terjadinya Tragedi Angke tahun 1740 terhadap bidang sosial-ekonomi di Batavia. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kepustakaan dan teknik dokumentasi yang terdapat dalam Arsip Nasional RI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data Kualitatif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan pengaruh dari terjadinya Tragedi Angke 1740 memberikan pengaruh buruk pada bidang sosial-ekonomi di Batavia. Berkurangnya masyarakat Tionghoa sebagai kelas sosial yang sangat penting di Batavia telah menyebabkan sepinya aktifitas perekonomian di Batavia. Berkurangnya warga Tionghoa yang menjadi distributor membuat terjadinya kekurangan pangan di Batavia. Kemudian terjadi penurunan komoditas ekspor gula di Batavia akibat banyaknya pabrik yang rusak dan warga Tioghoa yang menghilang yang menyebabkan kemunduran produksi gula. Selain itu terjadi penurunan pendapatan pacht (pajak) di Batavia karena banyaknya warga Tionghoa yang terbunuh dan menghilang akibat tragedi tersebut, sementara sebagaian besar bentuk pajak di Batavia di bebankan kepada warga Tionghoa.


(3)

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bila terjadinya Tragedi Angke 1740 telah membawa pengaruh yang buruk pada bidang sosial-ekonomi di Batavia, selama tahun 1740 hingga 1744.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI ABSTRAK DAFTAR TABEL DAFTAR SKEMA DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Analisis Masalah 1. Identifikasi Masalah ... 5

2. Pembatasan Masalah ... 6

3. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup 1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Kegunaan Penelitian... 6

3. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Konsep Pengaruh Sosial-Ekonomi ... 8

2. Konsep Tragedi Angke ... 9

B. Kerangka Pikir ... 10

C. Paradigma ... 12

III. METODE PENELITIAN 1. Metode yang digunakan ... 13

2. Variabel Penelitian ... 15

3. Teknik Pengumpulan Data ... 16

4. Teknik Analisis Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Gambaran Umum Kota Batavia Sebelum Tahun 1690 ... 19

a. Sejarah Berdirinya Kota Batavia ... 19

b. Kondisi Geografis dan Topografis ... 21

c. Sejarah Kedatangan Etnis Tionghoa ke Nusantara ... 23

d. Kehidupan Masyarakat di Batavia Sebelum Tahun 1690 ... 24

d.1. Aspek Sosial di Batavia ... 25

d.2. Aspek Ekonomi di Batavia ... 29


(8)

2. Masyarakat Tionghoa dan Perkembangan Perekonomian di Batavia 32

a. Awal hubungan Masyarakat Tionghoa dengan VOC ... 33

b. Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula di Batavia ... 36

c. Migrasi Orang Tionghoa Besar-besaran ke Batavia ... 38

d. Imigran Illegal dan Perubahan Sifat VOC Terhadap Warga Etnis Tionghoa ... 40

3. Tragedi Angke di Batavia tahun 1740 ... 42

a. Latar Belakang Terjadinya Tragedi ... 43

b. Terjadinya Tragedi Angke di Batavia ... 48

c. Kondisi Batavia Pasca Tragedi Angke 1740 ... 53

4. Pengaruh Tragedi Angke 1740 pada Bidang Sosial-Ekonomi di Batavia... 56

a. Berkurangnya Masyarakat Tionghoa di Batavia ... 56

b. Terjadinya Kekurangan Pangan Akibat Terganggunya Distribusi di Batavia... 58

c. Terjadinya Penurunan Produksi Gula Batavia ... 60

d. Menurunnya Pendapatan Pacht (Pajak) di Batavia ... 62

B. PEMBAHASAN Pengaruh dari Terjadinya Tragedi Angke 1740 pada Bidang Sosial-Ekonomi di Batavia ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 73

B. SARAN ... 74 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Sensus Penduduk dalam Dinding Kota Batavia pada 1673 ... 27 Tabel 4.2 Kepemilikan tanah di Batavia sekitar tahun 1650 ... 38 Tabel 4.3 Jumlah Kedatangan Imigran Cina ke Batavia ... 42 Tabel 4.4 Jumlah Warga Tionghoa Batavia yang Selamat dari Tragedi

Angke ... 57 Tabel 4.5 Perbandingan pemasukan Batavia tahun 1740 dengan ... 62


(10)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jakarta adalah ibukota Negara Indonesia dan juga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia yang sejak masih bernama Sunda Kelapa, kemudian menjadi Jayakarta, lalu menjadi Batavia telah memiliki peran yang cukup penting dalam sejarah perkembangan Negara Indonesia. Cerita tentang perjuangan terhadap penindasan, serta tragedi berdarah juga banyak terjadi dan telah menjadi bagian tersendiri bagi kota Jakarta. Seperti, pada tahun 1740, dimana data kontemporer menyebutkan tidak kurang dari 10 ribu orang Cina telah menjadi korban dalam insiden ini (Tragedi Angke).

Orang Cina sudah berdagang di Jayakarta jauh sebelum kemunculan VOC. Bahkan sudah ada yang cukup lama menetap di wilayah tersebut untuk menanam tebu dan menyuling arak yang terkenal di kalangan para pelaut. Ketika VOC mulai menjejakkan kakinya di wilayah ini, perusahaan tersebut (VOC) pun menjalin hubungan baik dengan Orang Cina. (Blackburn, 2011: 33).

Sejak masa Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1627-1629), hubungan baik antara warga Tionghoa dengan VOC ini dapat terjalin dengan baik, hingga bertahun-tahun setelah Coen tak lagi menjabat sebagai gubernur jenderal. bahkan warga Tionghoa memberikan penghargaan kepada Gubernur Jenderal Jacques


(11)

2

Specx berupa sebuah medali dari emas. Akan tetapi semua berubah setelah makin banyaknya warga Tionghoa yang datang ke Batavia. (Wijayakusuma, 2005 : 78).

Pada masa pemerintahan Johannes Camphuijs (masa pemerintahan 1684-1691) tepatnya pada tanggal 21 Mei 1690, mulai dikeluarkan peraturan untuk membatasi masuknya orang Tionghoa ke Batavia/Jawa. Vermeulen mengungkapkan salah satu penyebab terbitnya peraturan Mei 1690 adalah “meningkatnya berbagai gerombolan Tionghoa di Batavia.” Mereka tidak meninggalkan Tiongkok sebagai pedagang atau memilliki ketrampilan tetapi melakukan “banyak tipuan kasar, pencurian, penipuan, dan tindakan tidak pantas lainnya.” (Vermeulen, 2010: 25).

Sampai dengan awal abad ke 18, hubungan dagang antara Batavia dan Tiongkok bertambah penting. Akan tetapi kondisi ekonomi Batavia pasca 1725 terus memburuk. Buku-buku akuntansi menunjukkan kerugian modal yang terjadi selama beberapa tahun berturut-turut. (Vermeulen, 2010: 35). Sebagaimana yang dijelaskan oleh J.L. Blusse pada tahun 1988 yaitu :

Habisnya sumber daya tanah dan hutan telah menekan industri ini (gula) dan kemudian ditambah lagi dengan kemunduran ekspor karena telah ditutupnya pasar Persia yang menguntungkan itu. Yang paling dirugikan adalah orang Cina. Hampir semua pabrik gula dimiliki orang Cina dan dikerjakan orang-orang Cina, terutama oleh para imigran yang baru datang ke Batavia. Sebagian besar komunitas Cina juga tergantung secara langsung maupun tidak langsung pada industri ini. (Remmelink, 1994: 153).

Jumlah imigran Cina yang terus meningkat membuat VOC menerapkan berbagai peraturan guna membatasi jumlah orang Cina di Batavia. Di antaranya pada tanggal 10 Juni 1727, diputuskan untuk memulangkan semua orang Tionghoa yang telah menetap di Batavia selama 10-12 tahun, tetapi tidak dapat


(12)

3

menunjukkan surat izin tinggal. Vermeulen mengungkapkan bila setiap orang Tionghoa yang tidak memiliki izin semacam ini setelah tanggal kadaluarsanya akan dianggap “orang yang memasuki koloni secara ilegal dan sembunyi-sembunyi atau disembunyi-sembunyikan.” (Vermeulen, 2010: 38-39).

Sejak akhir tahun 1739 dan 1740 mulai muncul ketidakpuasan dan kekhawatiran di kalangan orang Cina yang tinggal di Batavia terhadap perlakuan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan VOC. Puncaknya adalah dikeluarkannya resolusi tanggal 25 Juli 1740, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Adrian Valckenier. Pelaksanaan resolusi ini menimbulkan ketegangan yang terjadi di kalangan Tionghoa di luar dan di dalam Batavia. (Vermeulen, 2010: 43-44). Willem Remmelink mengungkapkan :

Resolusi ini memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan tanpa pedui mereka memiliki surat izin atau tidak, harus ditangkap dan diperiksa. Apabila mereka ternyata tidak mempunyai penghasilan atau menganggur, mereka akan dipulangkan ke Tiongkok atau dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) dan Tanjung Harapan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan sebagai kuli. (Remmelink, 1994: 126).

Para pejabat kompeni menggunakan kesempatan ini untuk memeras para orang Tionghoa kaya yang menginginkan surat izin, demi kepentingannya sendiri. Wijayakusuma menjelaskan bila warga Cina bertambah gelisah dan panik ketika muncul gosip bahwa orang-orang Cina itu sebenarnya ditenggelamkan ke laut. (Wijayakusuma, 2005 : 88).

Isu ini memicu beberapa kelompok orang Cina di sekitar Batavia yang dipimpin oleh Khe Pandjang atau Wang Tai Pan untuk memberontak pada 7 Oktober 1740.


(13)

4

Pemberontakan orang-orang Cina tersebut mengundang reaksi yang sangat keras dari VOC.

Pada malam tanggal 9 Oktober 1740 terjadi kebakaran terhadap warung-warung Tionghoa yang diartikan oleh VOC sebagai tanda dimulainya pemberontakan orang Tionghoa, sehingga yang terjadi kemudian adalah penjarahan, pembakaran rumah, dan pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa di Batavia. (Setiono, 2008 : 114-115).

Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, ketika Valckenier memerintahkan agar semua pembunuhan dihentikan. Kondisi di dalam kota sudah reda, dan pengejaran terhadap warga Tionghoa yang memberontak di luar tembok kota terhenti pada bulan November. Tragedi ini kemudian lebih dikenal dengan nama Geger Pecinan atau Tragedi Angke. Lebih dari 10.000 jiwa orang Tionghoa telah tewas akibat tragedi ini. (Wijayakusuma, 2005 : 115).

Peristiwa ini mengakibatkan kerugian yang sangat besar, bukan hanya bagi warga Tionghoa yang menjadi korban, tetapi juga berdampak buruk bagi VOC dan situasi di dalam dan di luar Batavia. Orang-orang Tionghoa yang selamat hanya berdiam diri di rumah sehingga kondisi perekonomian Batavia merosot tajam. Peristiwa ini menyebabkan terganggunya sistem distribusi dan kelangkaan barang secara besar-besaran di Batavia, karena status warga Tionghoa adalah sebagai pedagang perantara dalam sistem perdagangan di Batavia.

Peristiwa-peristiwa tadi kemudian memaksa VOC untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, akan tetapi kondisi serta kerugian-kerugian di Batavia belum


(14)

5

dapat dipulihkan hingga beberapa tahun ke depan. Pemerintah Hindia-Belanda kembali menyadari pentingnya peran orang Tionghoa dalam kehidupan Batavia walaupun enggan untuk membiarkan orang Tionghoa tinggal di dalam kota. Mereka lantas mendirikan pemukiman khusus yang sejak saat itu menjadi pusat pecinaan Jakarta, yaitu di wilayah Glodok. (Wijayakusuma, 2005 : 114).

Barulah pada masa pemerintahan van Imhoff posisi warga Tionghoa semakin baik. Selama periode ini kompeni semakin menyadari pentingnya kehadiran warga Tionghoa dalam koloni mereka. Kekuatan ekonomi warga Tionghoa mulai kembali pulih pada paruh kedua abad ke 18 dan ke 19, meskipun demikian, hubungan antara warga Tionghoa dan Belanda tidak pernah sama seperti sebelum terjadinya peristiwa Tragedi Angke tahun 1740.

B. Analisis Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan secara singkat di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:

1. Faktor penyebab terjadinya Tragedi Angke di Batavia yang terjadi antara tahun 1690-1740 M.

2. Proses terjadinya Tragedi Angke di Batavia pada tahun 1740 M.

3. Pengaruh dari terjadinya Tragedi Angke dalam bidang sosial-ekonomi di Batavia pada tahun 1740-1744 M.


(15)

6

Agar dalam penyusunan penelitian ini sesuai dengan apa yang akan diharapkan penulis, maka dalam penelitian ini penulis membatasi masalah pada “Pengaruh dari terjadinya Tragedi Angke dalam bidang sosial-ekonomi di Batavia pada tahun 1740-1744 M.”

3. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas maka masalah yang telah dibatasi dapat dirumuskan sebagai berikut “Apa sajakah pengaruh dari terjadinya Tragedi Angke pada bidang sosial-ekonomi di Batavia pada tahun 1740-1744 M?”

C. Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Tragedi Angke dalam bidang sosial-ekonomi di Batavia pada tahun 1740-1744 M

2. Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian tentunya akan dapat memberikan berbagai manfaat bagi semua orang yang membutuhkan informasi tentang masalah yang penulis teliti, adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Dapat memberikan sumbangan berupa informasi kepada setiap pembaca yang ingin menggali lebih dalam tentang sejarah kota Jakarta mengenai Tragedi Angke di Batavia pada tanggal 9-22 Oktober tahun 1740.


(16)

7

2. Dapat memberikan sumbangan berupa informasi kepada pembaca mengenai pengaruh dari teradinya Tragedi Angke di Batavia pada bidang sosial-ekonomi.

3. Ruang Lingkup Penelitian

a. Subjek Penelitian : Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa

b. Objek Penelitian : Pengaruh dari adanya Tragedi Angke di Batavia pada tahun 1740.

c. Tempat Penelitian : Arsip Nasional RI d. Waktu Penelitian : Tahun 2013 e. Konsentrasi Ilmu : Sejarah


(17)

8

REFERENSI

Susan Blackburn. 2011. Jakarta : Sejarah 400 Tahun. Jakarta : Masup Jakarta. Halaman 33.

Hembing Wijayakusuma. 2005. Pembantaian massal 1740 : Tragedi berdarah Angke. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Halaman 78.

Johannes. Th. Vermeulen. 2010. Tionghoa di Batavia dan Huru-hara 1740

(diterjemahkan oleh Gatot Triwira). Jakarta. Komunitas Bambu. Halaman 25.

Ibid, halaman 35.

Willem G. J Remmelink. 2002. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743. Yogyakarta. Bukit Jendela. Halaman 153.

Johannes. Th. Vermeulen. Op. Cit. halaman 38-39.

Ibid, halaman 43-44.

Willem G. J Remmelink. Op. Cit. halaman 126. Hembing Wijayakusuma. Op. Cit. halaman 88.

Benny. G Setiono. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta. Transmedia. Halaman 114-115.


(18)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Pengaruh Sosial Ekonomi

Istilah Pengaruh menurut Purwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuataan seseorang. (Purwadarminta, 1985: 731). Menurut Badudu dan Zain Pengaruh adalah (1) daya yang menyebabkan suatu yang terjadi ;(2) suatu yang dapat membentuk atau mengubah suatu yang lain; (3) tunduk atau mengikuti karena kuasa atau kekuatan orang lain. (Badudu, 1994 : 1031).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan sesuatu yang dapat mendorong atau memicu terjadinya perubahan. Adapun pengaruh yang dibahas dalam penelitian ini, adalah pengaruh sosial ekonomi, dari peristiwa pembantaian etnis Tionghoa tanggal 9-22 Oktober tahun 1740.

Kata sosial-ekonomi sendiri merupakan pengambungan dari kata sosial dan ekonomi. Kata sosial berasal dari bahasa latin socius, yang artinya sahabat, sedangkan kata ekonomi bearasal dari bahasa Yunani “oikos” yaitu rumah, dan “nemeinyang berarti mengurus atau mengelola. (Dagun, 1992 : 42).


(19)

10

Sekilas Sosial dan Ekonomi seperti dua hal dan cabang ilmu yang berbeda, namun diantara keduanya sebenarnya terdapat kaitan yang erat. Salah satunya adalah, jika keperluan ekonomi tidak terpenuhi maka akan terdapat dampak sosial yang terjadi di masyarakat. Begitu juga bila terdapat suatu permasalahan sosial, maka juga akan menimbulkan dampak ekonomi di masyarakat itu.

2. Konsep Tragedi Angke

Kata tragedi menurut Badudu dan Zain dapat berarti (1) sandiwara sedih (pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa atau sampai meninggal), dan (2) peristiwa yang menyedihkan. Dari pendapat tadi maka istilah tragedi yang paling cocok dalam masalah ini ialah tragedi sebagai peristiwa yang menyedihkan.

Menurut salah seorang budayawan Betawi, kata "angke" berasal dari bahasa

Hokkian, yakni "ang" yang berarti merah dan "ke" berarti sungai atau kali. Hal ini dikarenakan pada waktu terjadinya pembantaian tersebut, mayat orang-orang Tionghoa tersebut banyak yang kemudian ditemukan di muara Kali Angke, hal ini menyebabkan warna Kali Angke pada saat itu berubah menjadi merah karena darah. Namun, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kata "angke" berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, yang berarti kali yang dalam.

(http://www.okezone.com/okejakarta/kali_angke,bekas_tempat_pembantaian_e tnis tionghoa/ diunduh 8 Januari 2013 pukul 16.00 WIB).

Tragedi Angke adalah sebuah pembataian yang terjadi pada tahun 1740 yang telah menewaskan 10.000 warga etnis Tionghoa. Tragedi ini berawal dari


(20)

11

masalah memanasnya hubungan antara permintah VOC dengan imigran Tionghoa yang ada di Jakarta waktu itu, akibat dari bertambahnya jumlah imigran Tionghoa pada saat itu, yang ditambah dengan kebijakan VOC yang merugikan warga Tionghoa. Hal ini menimbulkan pemberontakan warga Tionghoa pada tanggal 7 Oktober 1740, yang kemudian berkembang menjadi huru-hara yang menewaskan ribuan orang Tionghoa di Batavia pada tanggal 9-22 Oktober 1740 (Tragedi Angke).

Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan bila yang dimaksud dengan Konsep Tragedi Angke di Batavia pada tahun 1740 adalah peristiwa sedih berupa huru-hara yang menewaskan ribuan orang Tionghoa di Batavia yang terjadi pada tahun 1740, dimana mayat dari para korban tersebut banyak ditmukan di muara Kali Angke.

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir yang coba dikembangkan adalah mengenai pengaruh Tragedi Angke di Batavia, yang dimulai pada tanggal 9 - 22 Oktober 1740. Data kontemporer menyebutkan tidak kurang 10 ribu orang Cina telah dibantai oleh VOC secara kejam.

Tragedi ini berawal dari masalah memanasnya hubungan antara permintah VOC dengan imigran Tionghoa yang ada di Jakarta waktu itu, akibat dari bertambahnya jumlah imigran Tionghoa pada saat itu, yang ditambah dengan kebijakan VOC yang merugikan warga Tionghoa. Hal ini menimbulkan pemberontakan warga Tionghoa pada tanggal 7 Oktober 1740, yang kemudian berkembang menjadi Tragedi Angke.


(21)

12

Peristiwa tersebut telah mempengaruhi kondisi perekonomian di Batavia. Aktifitas ekonomi menjadi sepi akibat masih banyaknya pedagang Tionghoa yang masih mengurung diri di rumah. Banyak bangunan, terutama milik para Tionghoa kaya yang ada di pinggiran Kali Besar rusak parah atau hangus terbakar, sementara banyak barang-barang milik warga Tionghoa yang kaya dijarah atau ikut hangus terbakar. Sepinya aktifitas ekonomi di Batavia memberikan dampak buruk tidak hanya terhadap warga tionghoa saja, tetapi juga masyarakat Batavia pada umumnya. Hal ini menjadi masalah baru bagi pemerintah Hindia-Belanda.

Peristiwa pembantaian ini mengakibatkan dampak yang sangat besar, bukan hanya bagi warga Tionghoa yang menjadi korban, tetapi juga berdampak bagi VOC dan situasi di dalam dan di luar Batavia.. Perekonomian warga Batavia merosot akibat warga Tionghoa yang masih mengurung diri di rumah, dan enggan melakukan aktifitas ekonomi. Hal ini membuat distribusi barang menjadi terganggu, sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga barang.


(22)

13

C. Paradigma

Pemberontakan Etnis Tionghoa terhadap VOC pada tahun 1740

Tragedi Angke di Batavia pada tanggal 9-22 Oktober tahun 1740

Bidang Sosial Ekonomi di Batavia pada tahun 1740-1744

Keterangan :


(23)

18

REFERENSI

Badudu dan Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Halaman 1031.

Save M. Dagun Sosio Ekonomi Analisis Eksistensi Kapitalisme dan Sosialisme. Jakarta : PT Rineka Cipta. Halaman 42.

Hembing Wijayakusuma. 2005.Pembantaian massal 1740 : Tragedi berdarah Angke. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Halaman ix.

(http:

//www.okezone.com/okejakarta/kali_angke,bekas_tempat_pembantaian_etn is tionghoa/ diunduh 8 Januari 2013 pukul 16.00 WIB).


(24)

18

III METODE PENELITIAN

1. Metode yang digunakan

Metode penelitian sangat diperlukan untuk menentukan data dan pengembangan suatu pengetahuan dan serta untuk menguji suatu kebenaran ilmu pengetahuan. Metode penelitian menurut Joko Subagyo merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang diperlukan bagi penggunanya, sehingga dapat memahami objek sasaran yang dikehendaki dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan pemecahan permasalahan (P. Joko Subagyo, 2006: 1).

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh pemecahan terhadap suatu permasalahan, sehingga metode penelitian sangat dibutuhkan dalam memecahkan suatu masalah yang turut menentukan keberhasilan suatu penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian historis, karena penelitian ini mengambil objek dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu.

Menurut Luis Gotschalk yang dimaksud dengan metode historis adalah : Sekumpulan prinsip atau aturan yang sistematis dimaksud untuk memberi secara efektif dalam mengumpulkan bahan-bahan sejarah. Menilai secara kritis dan


(25)

16

kemudian menyajikan suatu sintesa dari pada hasil-hasilnya, biasanya dalam bentuk tertulis. (Gotschalk,1986:10).

Menurut metode historis Muhammad Nazir adalah penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan perkembangan serta pengalaman di masa lampau, dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan tersebut. (Mohammad Nasir, 1984 : 85).

Dari pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode historis adalah suatu proses pengumpulan dan pengolahan suatu data atau bahan yang telah ditulis yang berisi tentang peristiwa atau kejadian di masa lalu, yang disusun melalui proses ilmiah secara kronologi, sistematis dan saling berkaitan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam menempuh penelitian ini adalah:

1. Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau.

2. Kritik, yaitu menyelidiki apakah jejak-jejak itu sejati baik isi maupun betuknya.

3. Interpretasi, yaitu menentukan makna saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh itu.

4. Historiografi, yaitu menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk kisah. (Notosusanto, 1984 : 36).

Berdasarkan langkah-langkah metode sejarah yang diungkapkan oleh Nugroho Notosusanto, maka dapat dijelaskan tahapan-tahapan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Heuristik, adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber sejarah. proses yang dilakukan penulis dalam heuristik adalah mencari sumber- sumber data dan fakta yang berasal dari pustaka yang dapat dijadikan literatur dalam penulisan.


(26)

17

2. Kritik, adalah menyelidiki apakah jejak-jejak sejarah itu asli atau palsu dan apakah dapat digunakan atau sesuai dengan tema dalam penelitian. Proses ini dilakukan penulis dengan memilah-milah dan menyesuaikan data yang penulis dapatkan dari heuristik dengan tema yang akan penulis kaji, dan arsip atau data yang diperoleh penulis telah diketahui keasliannya.

3. Interpretasi, pada bagian ini setelah mendapat fakta-fakta yang diperlukan maka kita merangkaikan fakta-fakta itu menjadi keseluruhan yang masuk akal, dalam hal ini penulis berupaya untuk menganalisis data dan fakta yang telah diperoleh dan dipilah yang sesuai dengan kajian penulis.

4. Historiografi, adalah suatu kegiatan penulisan dalam bentuk laporan hasil penelitian, dalam hal ini penulis membuat laporan hasil penelitian berupa penulisan skripsi dari apa yang didapatkan penulis.

2. Variable Penelitian

Menurut Suharsini Arikunto yang dimaksud dengan variable adalah obyek suatu penelitian atau segala sesuatu yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Suharsini Arikunto, 2002 : 91). Menurut Mohammad Nasir, variable adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai (Mohammad Nasir, 1984:149).

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa variabel adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan obyek yang menjadi bahan penelitian. Dalam hal ini variabel penelitian juga sering disebut dengan faktor yang berperan dalam


(27)

18

suatu peristiwa yang akan kita jadikan obyek penelitian. Variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah variable tunggal yaitu pengaruh dari Tragedi Angke tahun 1740 pada bidang sosial ekonomi di Batavia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan masalah yang penulis teliti maka, peneliti menggunakan 2 teknik penggumpulan data yaitu teknik kepustakaan dan teknik dokumentasi.

a. Teknik Kepustakaan

Teknik kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber data yang diperlukan dari perpustakaan, yaitu dengan cara mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan penulis teliti. Koentjaraningrat menyatakan bahwa studi pustaka merupakan cara mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat diruangan perpustakaan misalnya, koran, naskah, majalah, catatan-catatan, kisah sejarah, dokumen dan sebagainya yang relevan dengan penelitian. (Koentjaraningrat, 1983:420).

Oleh karena dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari literatur-literatur ilmiah maka kegiatan studi pustaka atau teknik kepustakaan ini menjadi sangat penting terutama dalam penelitian kualitatif. (Nawawi, 1993:133).

Melalui studi pustaka ini penulis berusaha mengumpulkan berbagai macam informasi yang menunjang dalam penyelesaian masalah, selain itu melalui


(28)

19

studi pustaka ini terdapat teori-teori atau pendapat-pendapat para ahli yang akan dapat dianalisis oleh penulis dan akan dijadikan landasan penelitian.

b. Teknik Dokumentasi

Menurut Suharsini Arikunto teknik dokumentasi yaitu pencarian data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda (Suharsini Arikunto, 1989:188).

Sementara menurut Hadari Nawawi, teknik dokumentasi adalah cara mengumpulkan data melalui sumber tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku, teori, dalil-dalil, atau hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti (Hadari Nawawi, 1993:134).

Dari pendapat para ahli di atas, dalam melakukan pengumpulan data tidak hanya menggunakan bahan-bahan berupa literatur atau buku-buku yang ada di perpustakaan, tetapi juga peneliti harus mencari bukti-bukti atau sumber-sumber yang lain berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti atau arkeologi yang sesuai dengan masalah yang diteliti.

4. Teknik Analisis Data

Teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah adalah teknik kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan bentuk penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan yang sewajarnya dan sebagaimana adanya. (Nawawi, 1993: 174).


(29)

20

Pada prinsipnya analisis data kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Menurut tulisan dari Miles dan Huberman yang dikutip H.B. Sutopo, analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi:

1. Reduksi data yaitu sebuah proses pemulihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabsrakan dan transformasi data yang muncul dari catatan di lapangan. reduksi data juga merupakan bentuk analisis yang tajam, menggolongkan, mengarahkan, serta membuang yang tidak perlu serta mengorganisir data sampai akhirnya bisa menarik kesimpulan.

2. Penyajian data yaitu data yang dibatasi sebagai kumpulan informasi tersusun, memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dengan penyajian data tersebut akan dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, sehingga dalam penganalisis atau mengambil tindakan nantinya akan berdasarkan pemahaman yang di dapat dari penyajian tersebut.

3. Verifikasi data yaitu menarik sebuah kesimpulan secara utuh setelah semua makna-makna yang muncul dari data sudah diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang jelas kegunaannya dan kebenarannya (H.B. Sutopo, 2006: 113).


(30)

24

REFERENSI

P. Joko Subagyo. 2006. Metode Penelitian: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman 1.

Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah (diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta : Yayasan Penerbit UI. Halaman 10.

Moh Nazir. 2005.Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Halaman 85. Nugroho Notosusanto. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Inti

Indayu Press : Jakarta. Halaman 36.

Suharsimi Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 274. Halaman 91.

Moh Nazir. Op. Cit. Halaman 149.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Sosial. Jakarta : Gramedia. Halaman 420.

Hadari Nawawi. 1993.Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Idayu Press. Halaman 133.

Suharsimi Arikunto.Op. Cit. Halaman 188. Hadari Nawawi.Op. Cit. Halaman 188.

Ibid, Halaman 74.

Sutopo H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Halaman 113.


(31)

78

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadinya Tragedi Angke telah membawa pengaruh buruk pada bidang sosial ekonomi di Batavia meliputi :

1. Berkurangnya masyarakat Tionghoa sebagai kelas sosial di Batavia.

Masyarakat Tionghoa telah menjadi golongan yang penting bagi perekonomian Batavia, baik itu berperan sebagai pedagang perantara, maupun sebagai pemilik perkebunan tebu.

2. Terjadinya kekurangan pangan di Batavia. Berkurangnya masyarakat Tionghoa secara tiba-tiba, telah menimbulkan masalah dalam distribusi barang, sehingga terjadi kenaikan harga dan menghilangnya komoditas lain di Batavia akibat distributor yang kebanyakan terdiri dari warga Tionghoa telah terbunuh atau menghilang.

3. Terjadinya penurunan produksi gula di Batavia.Selain adanya kelangkaan makanan, juga terjadi kelangkaan dan penurunan produksi gula, dikarenakan perdagangan komoditas ini sebagian besar berada di tangan orang Tionghoa.


(32)

81

4. Menurunnya pendapatan pacht (pajak) di Batavia. Hal ini dikarenakan sebagian petani penyewa adalah orang Tionghoa dan hampir setiap jenis pajak yang ada di Batavia yang dibebankan pada warga Tionghoa terutama pajak kepala, maka secara otomatis berkurangnya warga Tionghoa secara drastis menyebabkam menurunnya pendapatan pajak (pacht) di Batavia.

B. SARAN

Agar para pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya dapat memetik hikmah dari peristiwa ini, maka di sini penulis memberikan beberapa saran, antara lain :

1. Hendaknya kita sebagai generasi masa depan Indonesia, mengambil makna dari peristiwa ini dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, tenggang rasa, dan kerukunan hidup antar suku dan umat beragama, guna memperkukuh semangat persatuan dan kesatuan serta ketahanan nasional Negara Republik Indonesia.

2. Janganlah menyia-nyiakan seseorang atau pemberian yang telah dianugerahkan kepadamu, karena sesungguhnya kita jarang mengetahui betapa berharganya hal tersebut kecuali setelah hal tersebut sudah tidak lagi kita miliki.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, Eni. 2007. Pemberontakan Orang-orang Cina Melawan VOC di Muara Angke, Batavia Tahun 1740. Bandar Lampung: Universitas Lampung. 105 halaman.(Skripsi tidak dipublikasikan).

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 274 Halaman.

Badudu dan Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. 425 Halaman.

Blackburn, Susan. 2011. Jakarta : Sejarah 400 Tahun. Jakarta : Masup Jakarta. xxiv + 392 Halaman.

Blusse, Leonard. 2004. Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (Terjemahan Abdul Rozaki). Yogyakarta : PT Lkis Pelangi Aksara. 532 Halaman.

Boxer, C. R. 1983. Jan Kompeni : Sejarah VOC Dalam Perang dan Damai1602-1799. Jakarta : Sinar Harapan. 114 Halaman.

Dagun, Save M. Sosio Ekonomi Analisis Eksistensi Kapitalisme dan Sosialisme. Jakarta : PT Rineka Cipta. 248 Halaman.

Daradjadi. 2013. Geger Pacinan 1740-1743 Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara. 292 halaman.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah (diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta : Yayasan Penerbit UI. 344 Halaman

Hanna, Williard A. 1988. Hikayat Jakarta (Terjemahan Mien Joebhaar dan Ishak Zahir). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 287 Halaman

H.B. Sutopo 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 376 Halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Sosial. Jakarta : Gramedia. 245 Halaman.


(34)

Nawawi, Hadari. 1993. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Idayu Press. 250 Halaman.

Niemeijer, Hendrik. E. 2012. Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII. Jakarta. Masup Jakarta. xiv + 450 Halaman.

Notosusanto, Nugroho. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Inti Indayu Press : Jakarta. 392 Halaman.

Remmelink, Willem. G. J. 2002. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743. Yogyakarta. Bukit Jendela. xxx + 404 Halaman.

Setiono, Benny. G. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta. Transmedia. xxii + 1142 Halaman.

Subagyo, P. Joko. 2006. Metode Penelitian: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 145 Halaman.

Vermeulen, Johannes. Th. 2010. Tionghoa di Batavia dan Huru-hara 1740

(diterjemahkan oleh Gatot Triwira). Jakarta. Komunitas Bambu. xxx + 146 Halaman.

Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian massal 1740 : Tragedi berdarah Angke. Jakarta : Pustaka Populer Obor. 252 Halaman.

Sumber-sumber lain :

Diupload oleh Batara Hutagalung, yang terdapat pada alamat :

(http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indisch e compagnie.html/ dikutip 2 Januari 2013).

Diupload oleh ArtiKata.com yang terdapat pada alamat :

(http://www.kamusbesar.com/3529/etnis/ diakses 8 Januari 2013, pukul 12.51 WIB).

Diupload oleh Dede Suryana, yang terdapat pada alamat :

(http://www.okezone.com/okejakarta/kali_angke,bekas_tempat_pembantaian_etni s tionghoa/ diunduh 8 Januari 2013 pukul 16.00 WIB).

Diupload oleh Wikipedia, yang terdapat pada alamat :


(1)

Pada prinsipnya analisis data kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Menurut tulisan dari Miles dan Huberman yang dikutip H.B. Sutopo, analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi:

1. Reduksi data yaitu sebuah proses pemulihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabsrakan dan transformasi data yang muncul dari catatan di lapangan. reduksi data juga merupakan bentuk analisis yang tajam, menggolongkan, mengarahkan, serta membuang yang tidak perlu serta mengorganisir data sampai akhirnya bisa menarik kesimpulan.

2. Penyajian data yaitu data yang dibatasi sebagai kumpulan informasi tersusun, memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dengan penyajian data tersebut akan dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, sehingga dalam penganalisis atau mengambil tindakan nantinya akan berdasarkan pemahaman yang di dapat dari penyajian tersebut.

3. Verifikasi data yaitu menarik sebuah kesimpulan secara utuh setelah semua makna-makna yang muncul dari data sudah diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang jelas kegunaannya dan kebenarannya (H.B. Sutopo, 2006: 113).


(2)

24

REFERENSI

P. Joko Subagyo. 2006. Metode Penelitian: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman 1.

Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah (diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta : Yayasan Penerbit UI. Halaman 10.

Moh Nazir. 2005.Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Halaman 85. Nugroho Notosusanto. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Inti

Indayu Press : Jakarta. Halaman 36.

Suharsimi Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 274. Halaman 91.

Moh Nazir. Op. Cit. Halaman 149.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Sosial. Jakarta : Gramedia. Halaman 420.

Hadari Nawawi. 1993.Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Idayu Press. Halaman 133.

Suharsimi Arikunto.Op. Cit. Halaman 188. Hadari Nawawi.Op. Cit. Halaman 188. Ibid, Halaman 74.

Sutopo H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Halaman 113.


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadinya Tragedi Angke telah membawa pengaruh buruk pada bidang sosial ekonomi di Batavia meliputi :

1. Berkurangnya masyarakat Tionghoa sebagai kelas sosial di Batavia. Masyarakat Tionghoa telah menjadi golongan yang penting bagi perekonomian Batavia, baik itu berperan sebagai pedagang perantara, maupun sebagai pemilik perkebunan tebu.

2. Terjadinya kekurangan pangan di Batavia. Berkurangnya masyarakat Tionghoa secara tiba-tiba, telah menimbulkan masalah dalam distribusi barang, sehingga terjadi kenaikan harga dan menghilangnya komoditas lain di Batavia akibat distributor yang kebanyakan terdiri dari warga Tionghoa telah terbunuh atau menghilang.

3. Terjadinya penurunan produksi gula di Batavia.Selain adanya kelangkaan makanan, juga terjadi kelangkaan dan penurunan produksi gula, dikarenakan perdagangan komoditas ini sebagian besar berada di tangan orang Tionghoa.


(4)

81

4. Menurunnya pendapatan pacht (pajak) di Batavia. Hal ini dikarenakan sebagian petani penyewa adalah orang Tionghoa dan hampir setiap jenis pajak yang ada di Batavia yang dibebankan pada warga Tionghoa terutama pajak kepala, maka secara otomatis berkurangnya warga Tionghoa secara drastis menyebabkam menurunnya pendapatan pajak (pacht) di Batavia.

B. SARAN

Agar para pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya dapat memetik hikmah dari peristiwa ini, maka di sini penulis memberikan beberapa saran, antara lain :

1. Hendaknya kita sebagai generasi masa depan Indonesia, mengambil makna dari peristiwa ini dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, tenggang rasa, dan kerukunan hidup antar suku dan umat beragama, guna memperkukuh semangat persatuan dan kesatuan serta ketahanan nasional Negara Republik Indonesia.

2. Janganlah menyia-nyiakan seseorang atau pemberian yang telah dianugerahkan kepadamu, karena sesungguhnya kita jarang mengetahui betapa berharganya hal tersebut kecuali setelah hal tersebut sudah tidak lagi kita miliki.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, Eni. 2007. Pemberontakan Orang-orang Cina Melawan VOC di Muara Angke, Batavia Tahun 1740. Bandar Lampung: Universitas Lampung. 105 halaman.(Skripsi tidak dipublikasikan).

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 274 Halaman.

Badudu dan Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. 425 Halaman.

Blackburn, Susan. 2011. Jakarta : Sejarah 400 Tahun. Jakarta : Masup Jakarta. xxiv + 392 Halaman.

Blusse, Leonard. 2004. Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (Terjemahan Abdul Rozaki). Yogyakarta : PT Lkis Pelangi Aksara. 532 Halaman.

Boxer, C. R. 1983. Jan Kompeni : Sejarah VOC Dalam Perang dan Damai1602-1799. Jakarta : Sinar Harapan. 114 Halaman.

Dagun, Save M. Sosio Ekonomi Analisis Eksistensi Kapitalisme dan Sosialisme. Jakarta : PT Rineka Cipta. 248 Halaman.

Daradjadi. 2013. Geger Pacinan 1740-1743 Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara. 292 halaman.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah (diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta : Yayasan Penerbit UI. 344 Halaman

Hanna, Williard A. 1988. Hikayat Jakarta (Terjemahan Mien Joebhaar dan Ishak Zahir). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 287 Halaman

H.B. Sutopo 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 376 Halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Sosial. Jakarta : Gramedia. 245 Halaman.


(6)

Nawawi, Hadari. 1993. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Idayu Press. 250 Halaman.

Niemeijer, Hendrik. E. 2012. Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII. Jakarta. Masup Jakarta. xiv + 450 Halaman.

Notosusanto, Nugroho. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Inti Indayu Press : Jakarta. 392 Halaman.

Remmelink, Willem. G. J. 2002. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743. Yogyakarta. Bukit Jendela. xxx + 404 Halaman.

Setiono, Benny. G. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta. Transmedia. xxii + 1142 Halaman.

Subagyo, P. Joko. 2006. Metode Penelitian: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 145 Halaman.

Vermeulen, Johannes. Th. 2010. Tionghoa di Batavia dan Huru-hara 1740 (diterjemahkan oleh Gatot Triwira). Jakarta. Komunitas Bambu. xxx + 146 Halaman.

Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian massal 1740 : Tragedi berdarah Angke. Jakarta : Pustaka Populer Obor. 252 Halaman.

Sumber-sumber lain :

Diupload oleh Batara Hutagalung, yang terdapat pada alamat :

(http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indisch e compagnie.html/ dikutip 2 Januari 2013).

Diupload oleh ArtiKata.com yang terdapat pada alamat :

(http://www.kamusbesar.com/3529/etnis/ diakses 8 Januari 2013, pukul 12.51 WIB).

Diupload oleh Dede Suryana, yang terdapat pada alamat :

(http://www.okezone.com/okejakarta/kali_angke,bekas_tempat_pembantaian_etni s tionghoa/ diunduh 8 Januari 2013 pukul 16.00 WIB).

Diupload oleh Wikipedia, yang terdapat pada alamat :