Pengaruh stratifikasi sosial di bidang ekonomi terhadap perkara cerai gugat (studi kasus di Pengadilan Agama Cibadak Kabupaten Sukabumi)

(1)

Oleh:

Ade Suryana

NIM: 102043224939

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008 M/1429 H


(2)

(3)

Perkara Cerai Gugat (Studi Kasus di Pengadilan Agama Cibadak Kabupaten Sukabumi)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 mei 2008 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum konsentrasi Perbandingan Hukum.

Jakarta, 29 mei 2008 Mengesahkan:

Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 150 210 422

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Dr. H.A.Mukri Aji, MA ( )

NIP : 150 220 544

Sekretaris : H. Muhammad Taufiqi, MAg ( )

NIP : 150 290 159

Penguji I : Dr.H.A.Mukri Aji, MA ( )

NIP : 150 220 544

Penguji II : Ah Azharuddin Lathif, M.Ag ( )

NIP : 150 318 308

Pembimbing I : Dr. Abd. Rahman Dahlan, MA ( )

NIP : 150 234 496


(4)

(5)

7. Kepada Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi Yang telah meluangkan waktunya dalam proses penulisan skripsi.

8. Terima kasih kepada keluarga besar Bpk. Zarkasih Nur yang telah memberi arahannya selama saya tinggal di Ciputat.

9. Terima kasih kepada sahabat Achmad Safrudin, Muhayar dan Istri Dadan, yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

Sekali Lagi Penulis Ucapkan banyak Terimah Kasih Kepada Semua Pihak Yang Telah Banyak Membantu Dan Mendukung, Serta Membimbing Dan Mengarahkan Penulis Sehinga Terselesaikan Skripsi Ini.

Semoga Skripsi Ini Bermanfaat Untuk Pembaca Sekaligus Khususnya Bagi Penulis Dalam Hal Membuka Cakrawara Kedepan Dalam Prodak Hukum Khususnys Untuk Mengimplementasikan Aturan Hukum Islam Mengenai Cerai Gugat

Jakarta 12 Mei 2008 Penulis,

Ade Suryana


(6)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitiaan ... 5

D. Metode Penelitiaan ... 6

E. Sistimatika Penulisaan ... 8

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYRAKAT CIBADAK KABUPATEN SUKABUMI A. Geogreafis dan Demografis ... 10

B. Sumber-sumber Ekonomi ... 11

C. Tingkat Pendidikan ... 14


(7)

1. Penertiaan Secara etimologi ... 21

2. Secara termenologi ... 23

3. Menurut pendapat ulama ... 24

4. Dasar hukum khulu’ ... 28

5. Hukum khulu’... 32

B. Rukun dan syarat khulu’ ... 35

C. Alasan untuk terjadinya khulu’ ... 41

D. Pengertian Stratifikasi Sosial Dibidang Ekonomi ... 47

BAB IV HUBUNGAN STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI DAN CERAI GUGAT A. proses cerai gugat di pengadilan agama Cibadak sukabumi ... 51

B. Akibat Hukum Dari Cerai Gugat... 58

C. Dampak stratifikasi Sosial di Bidang Ekonomi Terhadap Cerai Gugat... 61

D. Analisa Putusan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi ... 64


(8)

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(9)

1

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk berakal mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Mengingat manusia makhluk yang dikarunia akal dan pikiran disamping rasa dan karsa, maka oleh karenanya manusia dapat mempertimbangkan perbuatan yang bermanfaat dan mudharat juga berguna dan tidak berguna, baik dan buruk, walaupun akal itu sendiri kemampuannya terbatas. Karena manusia memiliki akal pikiran itu, maka kehidupannya diatur oleh syari’at agama, salah satu yang diatur oleh syari’at agama adalah perkawinan. “Perkawinan dalam Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah.” 1

Syari’at Islam tentang perkawinan ini, bertujuan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridho ilahi. Namun demikian, dalam suatu ikatan perkawinan tidak selamanya berjalan lancar seperti yang dicita-citakan oleh pasangan suami isteri, akan tetapi selalu ada tantangan dan hambatan yang

1

Achmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1978), h.11


(10)

mempengaruhinya baik besar maupun kecil. Sehingga terkadang tujuan yang murni ini tidak dapat terwujud dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan banyak terjadi perceraian.

Islam sebagai agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar, ketika suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti adanya ketidakcocokan pandangan hidup dan percekcokan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang dalam istilah fiqh disebut dengan Thalaq (perceraian). Agama Islam membolehkan suami isteri bercerai, tentunya dengan alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci Allah SWT.2

Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami-isteri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan si isteri, perceraian yang dilakukan atas permintaan isteri disebut khulu’ (Cerai gugat).3

Khulu’ adalah permintaan isteri kepada suaminya untuk menceraikan (melepaskan) dirinya dari ikatan perkawinan dengan iwadh berupa uang atau barang kepada suami dari pihak isteri sebagai imbalan penjatuhan thalaqnya. Khulu’

merupakan pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai imbalan hak thalaq yang diberikan kepada laki-laki dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami

2

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet. II, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002), h.102.

3

Sayed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakaryoa, 1991), h. 509


(11)

dengan hak thalaqnya, dan menyadarkan suami bahwa isteri-pun mempunyai hak yang sama menuntut cerai dengan imbalan sesuatu.4

Faktor-faktor yang mempengaruhi relatif tingginya persentase perempuan dengan status cerai antara lain adalah usia yang relatif muda pada saat melakukan perkawinan pertama, kondisi sosial budaya, latar belakang pendidikan dan ekonomi.5 Dari faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan kedalam Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi.

Stratifikasi Sosial dalam masyarakat pada dasarnya terbagi dua, yakni Stratifikasi Sosial berdasarkan perolehan dan Stratifikasi Sosial berdasarkan raihan. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pengaruh cerai gugat adalah Stratifikasi Sosial yang berdasarkan pada raihan. Menurut Kamanto Sunarto Stratifikasi Sosial berdasarkan raihan terdiri dari; “1). stratifikasi pendidikan, 2). stratifikasi pekerjaan, dan 3). Stratifikasi ekonomi.”6

Stratifikasi Sosial tersebut terutama dibidang ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan keretakan didalam kelangsungan hidup berumah tangga. Kadangkala sering terjadi strata sosial (tingkatan sosial) khususnya strata ekonomi ini menjadi pemicu terjadinya cerai gugat. Ketika seseorang memiliki tingkat sosial yang tinggi, terkadang mereka tidak menghiraukan suami atau isterinya,

4

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. ke-1, h. 172

5

Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Profil Statistik dan Indikator Gender Propinsi DKI Jakarta, ( t.p. 2003), h. 107

6

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000), h. 87


(12)

mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Begitu juga ketika tingkat sosial mereka rendah sering terjadi kekacauan dalam rumah tangga, sang isteri menuntut kehidupan yang layak sementara suami tidak mampu memenuhinya akhirnya terjadi perceraian yang digugat oleh istri.

Banyak kasus gugatan cerai yang diajukan di Pengadilan Agama disebabkan karena suami tidak mampu memberikan nafkah lahir (kebutuhan ekonomi) dalam hal ini mereka berada dalam strata ekonomi rendah. Namun ada juga kodisi stratifikasi ekonomi yang tinggi juga menyebabkan suami atau isteri terlalu sibuk mengurus ekonomi, sehingga kadangkala urusan dibidang rumah tangga terabaikan, serta dengan kemapanan ekonomi mereka beranggapan, bahwa segala sesuatu bisa dibeli yang kemudian dapat memicu terjadinya konflik dalam rumah tangga dan berakhir pada perceraian.

Berdasarkan kasus di atas, penulis tertarik membahas kasus gugatan cerai ini secara lebih mendalam dalam sebuah skripsi yang berjudul PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI TERHADAP PERKARA CERAI GUGAT (Study Kasus Pengadilan Agama Cibadak Kabupaten Sukabumi).

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Stratifikasi sosial merupakan tingkatan kedudukan yang dimiliki setiap individu dalam masyarakat, salah satunya stratifikasi sosial di bidang ekonomi. Ekonomi menjadi faktor utama dalam menentukan kelangsungan kehidupan manusia


(13)

terutama dalam ruma tangga. Bila ekonomi seseorang berada pada tingkat menengah dan tingkat atas sudah dapat dipastikan hidupnya sejahtera dalam segi materi, namun bukan berarti dapat menentukan kebahagian hidup rumah tangga seseorang, karena boleh jadi sang suami atau isteri hidup berpoya-poya dengan hartanya yang akhirnya muncul percekcokan diantara keduanya. Atau sebaliknya bila ekonomi seseorang berada dibawah sudah tentu hidupnya tidak sejahtera dan dapat menjadi pemicu pertengakaran suami isteri juga. Maka dengan demikian, menurut penulis strata ekonomi mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. Dan dalam hal ini penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Adakah pengaruh stratifikasi sosial di bidang ekonomi terhadap terjadinya cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak – Sukabumi.

2. Bagaimana pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui apakah stratifikasi sosial di bidang ekonomi mempengaruhi terjadinya cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak- Sukabumi.

b. Untuk mengetahui sejauhmana pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak- Sukabumi.


(14)

2. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini akan memperluas wawasan intelektualitas kepada umat Islam, para pelaku akademisi, di bidang hukum terutama tentang pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap cerai gugat 2. Fakultas, dapat memberikan sumbagan pemikiran bagi perkembangan

khazanah ilmu pengetahuan dan literature pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian 1. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber data primer, yang dilakukan dengan mengadakan penelitian dan wawancara langsung kepada perwakilan yang berwenang di Pengadilan Agama Cibadak - Sukabumi.

b. Sumber data sekunder, yaitu diperoleh dari al-Qur’an, Sunnah, buku-buku umum, buku-buku-buku-buku Islam dan data-data tertulis lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

2. Jenis dan Sifat Data

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan


(15)

kualitatif mengenai pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap cerai gugat

Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang besifat deskriptif analitis yakni penelitian lapangan yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.7 Dengan kata lain penelitian ini untuk menggambarkan pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap cerai gugat secara sistematis, factual dan akurat berdasarkan data yang didapatkan di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi.

Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (LibraryResearch), penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan metode yaitu pengkupasan dari buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini:

a. Penggunaan bahan dokumen, yang diperoleh di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi

b. Wawancara

Digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas dan akurat kepada pihak Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi.

7


(16)

4. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deduktif yaitu teknik analisis yang beusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang bersifat khusus dalam bentuk kasus dan data-data lapangan menjadi kesimpulan umum yang berlaku secara general.

Adapun metode penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya ke dalam beberapa bab pembahasan. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab kedua, merupakan bab yang menguraikan mengai tinjauan umum tentang masyarakat Cibadak-Sukabumi, yang meliputi: geografis dan demografis, tingkat pendidikan, sumber-sumber ekonomi dan sekilas tentang pengadilan agama Cibadak Kabupaten-Sukabumi.

Bab ketiga, merupakan bab yang menguraikan mengenai pengertian umum tentang cerai gugat dan Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi, yang meliputi:


(17)

pengertian cerai gugat, syarat-syarat cerai gugat, dan rukun cerai gugat, pengertian Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi.

Bab keempat, merupakan bab yang menguraikan mengenai hubungan Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi dan cerai gugat, yang meliputi: proses cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi, akibat hukum dari cerai gugat, dampak Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap cerai gugat, analisa putusan cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi.


(18)

10

A. Geografis dan Demografis

Kecamatan Cibadak dengan luas wilayah 6.343.541 Ha (63.4351 KM2) terdiri dari lahan sawah 948.893 Ha. Dan lahan darat 5.394.541 Ha. Pada lahan pertanian atau lahan sawah terdapat sawah berpengairan setengah teknis 458,588 Ha pedesaan 415,710 Ha, dan lahan tadah hujan 74,59 Ha. Sedangkan strata pemilikan lahan berada pada strata 0,00,25 Ha (53%) strata 0,26-0,50 Ha (30%) dan di atas 0,51 Ha (17%).

Secara Administratif Kewilayahan Kecamatan Cibadak berbatasan sebagai berikut:

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikidang 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cantayan 3. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Nagrak 4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cikembar

Jenis tanah yang ada di wilayah kecamatan Cibadak di dominasi oleh tiga jenis tanah yaitu:

a. Latosol dengan macam tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat, fodsolik merah kekuningan dan litosol dengan bahan induk batuan endapan dan volkon.


(19)

b. Kompliks Grumosol, Regosol, dan Medeteran dengan bahan induk batu kapur dan napal.

c. Latosol coklat dengan bahan induktif volkan ontermedier.

Secara demografis, Kecamatan Cibadak memiliki jumlah penduduk 100.133 jiwa terdiri dari laki-laki 50.962 jiwa, perempuan 49.171 jiwa mempunyai 7.405 KK tani yang tersebar di 10 desa.

Dari data demografi tersebut dapat diketahui Sex Ratio (SR) 104 (kabupaten Sukabumi 64,53), Man Land Ratio (MLR) 18, dan kepadatan penduduk 1.604/KM2 (Kabupaten Sukabumi 567.25/KM2). Angka Kematian Bayi (AKB) 38 per 10.000 (Kabupaten Sukabumi 55 per 10.000), Laju Pertumbuhan Penduduk 0,99 (Kabupaten Sukabumi 0,40) dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) 5,95.1

B. Sumber-sumber Ekonomi

Perekonomian penduduk kecamatan Cibadak sebagian besar bersumber pada pertanian dan data statistik mata pencaharian kecamatan Cibadak tahun 2006 menjelaskan bahwa petani berjumlah 7415, berikut ini tabel mata pencaharian kecamatan cibadak:

1

Tim Akselerasi IPM, IMPLEMENTASI AKSELERASI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA,


(20)

JUMLAH KEPALA KELURGA

BERDASARKAN MATA PENCAHARIAN TAHUN 2006 KECAMATAN CIBADAK

No Desa/Kel Jmlh KK PNS TNI/POLRI Petani Pedagang Buruh Pensiun Jumlah

1 Cibadak 6187 364 46 567 1189 2218 198 4582

2 Sekarwangi 2587 191 98 470 154 976 40 1929

3 Tenjojaya 1291 12 0 515 63 433 31 1065

4 Karangtengah 3096 178 150 763 92 1124 62 2369

5 Ciheulangtonggoh 2368 38 17 377 91 107 23 653

6 Batununggal 1566 36 26 299 193 395 36 985

7 Pamuruyan 1764 25 1057 98 150 53 1383

8 Warnajati 2017 34 25 1280 45 476 35 1895

9 Sukasirna 2231 16 5 1308 60 195 43 1627

10 Neglasari 1456 10 779 30 373 1192


(21)

Sedangkan Income perkapita di kecamatan Cibadak secara keseluruhan menunjukan angka Rp 3.947.557 per tahun (kabupaten Sukabumi Rp 3.456.656). sedangkan indeks Daya Beli (IDB) baru mencapai 60,55% (kabupaten Sukabumi 58%). Angka-angka tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh:

a. Tingginya angka pengangguran dari 29,518 angkatan kerja di kecamatan Cibadak yang sudah bekerja 18.457 (62,53%) dan sebanyak 11,061 (37,47%) sebagai pengangguran.

b. Rendahnya skala usaha berdasarkan strata pemilikan lahan di kecamatan Cibadak menunjukan bahwa pemilikan lahan berada pada strata sebagai berikut.

- 0,0-0,25 sebanyak 2.784 orang (53%) - 0,26-0,50 sebanyak 1,587 orang (30%) - > 0,51 sebanyak 902 orang (17%).

Angka tersebut menunjukan bahwa skala usaha petani <0,50 Ha dengan jumlah keluarga minimal 4 orang tidak masuk kepada kelayakan usaha apalagi bila petani tersebut bersetatus penggarap.

c. Rendahnya pendapatan petani kecil

Indikator petani kecil salah satunya mempunyai pendapatan 320 kg setara beras pertahun perorang. Di kecamatan Cibadak terdapat 37 KPK P4K dengan jumlah anggota sebanyak 463 orang (463 KK) serta jenis usaha yang bervariatif diantaranya warung kecil dan pengrajin. Tingkat kepercayaan BRI Cibadak di bawah 1 %


(22)

d. Tingkat Produktifitas

Komoditas padi sawah di kecamatan Cibadak pada tahun 2006 terdapat luas panen 2.465 Ha dengan rata-rata produktivitas 51,9 kwintal GKG per hektar dengan jumlah produksi 12.974,6 ton. Rata-rata produktivitas tersebut masih bisa ditingkatkan terutama menyangkut kualitas gabah atau beras, berdasarkan hasil penilaian standar penerapan teknologi kecamatan Cibadak pada tahun 2006 mencapai rata-rata 63%. Titik lemah penerapan teknologi pada penggunaan KCI baru mencapai 7,5 kg perhektar menjadi 50 kg per hektar.2

Mengenai pendanaan IPM yang berlokasi di kecamatan Cibadak secara khusus tidak bisa disajikan karena dari tingkat sendiri tidak memiliki dana khusus mengenai IPM baik yang bersumber dari APBN maupun APBD, namun, masing-masing dari instansi yang dikoordinir oleh Kasi Pembangunan kecamatan Cibadak kurang lebih sebesar Rp 13.000.000.000 ini diharapkan mempunyai dampak terhadap peningkatan daya ungkit IPM.3

C. Tingkat Pendidikan

Rasia lama sekolah (RLS) kecamatan Cibadak menunjukan rata-rata 7.8 (Kabupaten Sukabumi 6,45). Ada tiga indikator yang mempengaruhi RLS diantaranya:

2

Ibid, h.7

3


(23)

a. Terjadinya DO pada tingkat SD dan SLTP sebesar 1042 orang dengan rincian 1) pada usia 7-12 tahun sebanyak 526 orang 2) pada usia 13-15 tahun sebanyak 516 orang. Untuk usia 13-15 terdapat siswa yang belum ditangani sebanyak 97 orang b. Jumlah Daya Tampung

Jumlah daya tampung adalah sebagai berikut: 1). Jumlah SLTP sederajat 20

2). Jumlah ruangan tersedia 117 3). Jumlah pombel 128

4). Jumlah murid SLTP kelas satu 1.560 5). Jumlah murid kelas enam SD 1980 orang Kekurangan daya tampung 420 orang (11 rombel). c. Angka Melek Huruf

Angka melek huruf di kecamatan Cibadak tahun 2006 sebesar 98,23 (Kabupaten Sukabumi sebesar 96,23). Angka melek huruf (AMH) dan buta huruf dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). Jumlah penduduk usia 9 sampai dengan 40 tahun sebanyak 47,261 jiwa 2). jumlah buta hurup 836 (1,77%)

3). Jumlah angka melek hurup 46,427 jiwa (98,23%)

Angka tersebut menunjukan bahwa kecamatan Cibadak berada di atas rata-rata kabupaten. Berikut ini tabel situasi tentang pendidikan kecamatan Cibadak Sukabumi


(24)

Data Situasi Pendidikan Kecamatan Cibadak

URAIAN SATUAN 2006

A. PARTISIPASI SEKOLAH

1 Jumlah Anak Umur 7-12 tahun Orang 13.435

Jumlah Anak Umur 7-12 Tahun yang bersekolah Orang 12.738

2 Jumlah Anak Umur 13-15 Tahun Orang 7.391

Jumlah Anak Umur 13-15 Tahun yang bersekolah Orang 6.583

3 Jumlah Anak Umur 16-18 Tahun Orang 7.974

Jumlah Anak Umur 16-18 Tahun ayng bersekolah Orang 5.837

B. TINGKAT DROP OUT

1 Jumlah anak DO di SD Orang 524

2 Jumlah anak DO di SLTP Orang 311

3 Jumlah anak DO di SLTA Orang 1.167

C. FASILITAS PENDIDIKAN

1 Jumlah Sekolah Tingkat SD Unit 54

1. Desa Batununggal Unit 2

2. DesaCiheulangtonggoh Unit 4

3. Desa Karangtengah Unit 7

4. Desa Sekarwangi Unit 6

5. Desa Tenjojaya Unit 3

6. Desa Warnajati Unit 4

7. Desa Pamuruyan Unit 4

8. Desa Sukasirna Unit 5

9. Desa Neglasari Unit 3


(25)

2 Jumlah Sekolah Tingkat SLTP Unit 19

1. Desa Batununggal Unit 2

2. Desa Ciheulangtonggoh Unit 1

3. Desa Karangtengah Unit 3

4. Desa Sekarwangi Unit 2

5. Desa Tenjojaya Unit 1

6. Desa Warnajati Unit 1

7. Desa Pamuruyan Unit 1

8. Desa Sukasirna Unit 1

9. Desa Neglasari Unit -

10.Kelurahan Cibadak Unit 7

3 Jumlah Sekolah Tingkat SLTA Unit 13

1. Desa Batununggal Unit 1

2. DesaCiheulangtonggoh Unit 1

3. Desa Karangtengah Unit 3

4. Desa Sekarwangi Unit 3

5. Desa Tenjojaya Unit 1

6. Desa Warnajati Unit -

7. Desa Pamuruyan Unit 1

8. Desa Sukasirna Unit -

9. Desa Neglasari Unit -

10.Kelurahan Cibadak Unit 3

4 Fasilitas Pendidikan Non Format (Paket A dan B) Unit -

1. Desa Batununggal Unit -

2. Desa Ciheulangtonggoh Unit -


(26)

4. Desa Sekarwangi Unit 4/1

5. Desa Tenjojaya Unit -

6. Desa Warnajati Unit -/1

7. Desa Pamuruyan Unit -

8. Desa Sukasirna Unit 2/4

9. Desa Neglasari Unit -

10.Kelurahan Cibadak Unit 3/1

D. Jumlah Guru

1. Tingkat SD Orang 538

2. Tingkat SLTP Orang 336

3. Tingkat SLTA Orang 399

D. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi

Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 69 Tahun 1963. dasar pembentukannya adalah keputusan menteri Agama No. 4 tahun 1967 tanggal 17 Januari 1967. Jadi, dasar hukum dari sejarah pembentukan Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi adalah:

1. Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 69 Tahun196 3

2. Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 4 Tahun 1967 tanggal 17 Januari 2067 Adapun tugas dan wewenangPengadilan Agama berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 adalah sebagai berikut:


(27)

Ayat (1): Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1.Perkawinan

2.Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam 3.Waqaf dan shadaqah

Susunan Pengadilan Agama secara umum, termasuk Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi, diatur dalam UU No. 7 tahun 1989, yaitu:

1. Secara Hirarki Institusional

Susunan hirarki Pengadilan Agama secara institusional diatur dalam pasal 6 UU No. 7 tahun 1989, yang menurut pasal ini lingkungan Pengadilan Agama terdiri dari dua tingkat, yaitu:

a. Pengadilan Agama tingkat pertama b. Pengadilan Tinggi Agama

2. Secara Struktural

Bedasarkan UU No. 7 tahun 1989 dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 004 tahun 1990 serta Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 303 tahun 1990 ditetapkan bahwa struktur organisasi Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi sebagaimana berlaku pada Pengadilan Agama di lingkungan Depertemen Agama RI, adalah sebagai berikut:

a. Ketua (dibantu oleh wakil ketua) b. Dewan Hakim


(28)

c. Panitera atau Sekretaris (di Bantu oleh wakil), yang membawahi sub-sub sebagai berikut: Sub Kepaniteraan Permohonan, Sub Kepaniteraan Gugatan, Sub Kepaniteraan Hukum, Sub Bagian Kepagawaian, Sub Bagian Keuangan, Sub Bagian Umum.


(29)

21

A. Pengertian Cerai gugat

1. Pengertian Secara Etimologi

Cerai gugat dalam Islam dikenal dengan istilah Khulu’. Khulu’ secara etimologi adalah pencabutan, pelepasan.1 Abdurrahman Al-Jazili mengatakan bahwa Al-Khol’u dengan mem-fhathah-kan kha adalah masdar qiyasi yang mengandung pengertian An-Naz’u yaitu melepaskan atau menanggalkan. Sedangkan Al-Khul’u dengan men-dlamahkan-kan huruf kha adalah masdar sima’I dari khoola’’a yang juga secara etimologi mengandung pengertian melepas atau menanggalkan. Tapi penggunaan yang terakhir ini, secara majaz adalah melepaskan hubungan suami-istri, karena keduanya merupakan pakaian bagi yang lainnya. Apabila keduanya melepaskan pakaian tersebut, maka berarti mereka melepaskan hubungan suami istri.2

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah, mengartikan Khulu’ secara etimologi sebagai berikut:

1

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressef, 1997), Edisi Terlengkap, h. 361.

2

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh a’la al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Daar al-Kutu, t.th) h. 386


(30)

َوْا

ُﺨﻟ

ْﻠــ

ُﻊ

ﱠﻟا

ِﺬ

ْي

َأ

َﺎﺑ

َﺣ

ُﮫ

ْﺳ ﻹا

َﻼ

ُم

َﻣْﺄ

ُﺧ

ْﻮـ

ٌ ذ

ِﻣ

ْﻦ

َـﺧ

ْﻠــ

ِﻊ

ﱠﺜـــﻟا

ْﻮ

ِب

ِإ

َاذ

َأ

َز

َﮫﻟا

ُ

َﻷ

ن

َﻤﻟا

ْﺮ

َء

َة

ِﻟَﺒ

س ﺎ

ﱠـــﻟا

ُﺟﺮ

ِﻞ

َو

ﱠــــﻟا

ُﺟﺮ

ِﻞ

ِﻟ

َﺎﺒ

ٌس

ﱠﮭﻟ

َ

٣ Artinya:

Khulu’ yang dibenarkan hukum Islam tersebut berasal dari kata ”khal’uts tsaubi”, artinya menanggalkan pakaian, karena perempuan sebagai pakaian laki-laki dan laki-laki sebagai pakaian bagi perempuan.”

Pengertian ini diambil dari firman Allah:

...

ِﻟ ﱠﻦُھ

َﺎﺒ

ٌس

ﱠﻟُﻜ

ْﻢ

َو

َأﻧ

ْـــ

ُﺘْﻢ

ِﻟ

َﺎﺒ

ٌس

ُﱠﮭﻟ

ﱠﻦ

...

)

ةﺮﻘﺒﻟا

:


(31)

2. Pengertian Secara Terminologi

Cerai gugat adalah perceraian yang terjadi atas gugatan isteri yang ditujukan kepada suaminya melalui Pengadilan Agama, dengan alasan-alasan yang dapat diterima oleh hakim pengadilan dan harus atas putusan pengadilan agama. Menurut Hasbi Ash Shidieqy gugatan atau dakwaan ialah pengaduan yang dapat diterima di sisi Hakim, dengan dimaksudkan dia, menuntut suatu hak pada pihak lain.7

Dalam literatur fiqh, cerai gugat disebut sebagai khulu’ yaitu suatu perceraian yang diminta oleh seorang isteri dengan adanya tebusan dari pihak isteri, tentunya disertai dengan alasan-alasan yang rasional. Khulu’ tersebut bisa terjadi ketika sang isteri sedang dalam keadaan suci atau tidak haid, karena khulu’ itu sendiri terjadi akibat permintaan isteri. Namun dalam hal ini si suami tidak boleh dipaksa menerima permintaan talak tebus (khulu’).8

Menurut Sayyid Sabiq khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan memberi ganti rugi kepadanya.9 Selanjutnya Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa, khulu’ harus mempunyai alasan (sebab-sebab) seperti: suami cacat badan atau jelek akhlaknya, atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap isterinya,

7

Hasbi Ash Shiddiqy, Pengadilan dan Hukum Acara Islam, (Bandung: PT. Alma’arif, 1973), h. 90

8

Muhammad Ibnu Qasim, Fathul Qarib (terj. Imran Abu Amar), (Kudus: Menara Kudus, 1982), Cet. I, h. 58

9


(32)

sedang isteri khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka tidak wajib bagi isteri menggaulinya dengan baik.

Dengan demikian secara istilah khulu’ berarti perceraian yang disertai sejumlah harta sebagai iwadl yang diberikan oleh isteri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun thalak.10

3. Menurut PendapatUlama

Syaikh Zainuddin bin Abdi Al-Aziz menjelaskan:

ٍﻊْــــﻠُﺧ ْوَأ ٍقَ ﻼَﻃ ِﻆْﻔَﻠِﺑ ٍجْوَﺰِﻟ ٍضَﻮِﻌـِﺑ ٌﺔَﻗْﺮُﻓ َﻮُھ ُﻊْـﻠـُـﺨﻟا

11

”Khulu’ merupakan bentuk perceraian dengan’iwadh yang diberikan kepada suami dengan menggunakan lafadz talaq atau khulu’.”

Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarof dalam bukunya Minhaj At-Thalibin, menerangkan:

ٍجْوَز ِﺔَﮭِﺠـــِـﻟ ٍضَﻮِﻌِﺑ ٌﺔَﻗْﺮُﻓ َﻮُھ ُﻊْــﻠــــــُــﺨﻟا

12

”Khulu’ adalah perceraian dengan’iwadh yang pemberiannya ditujukan kepada suami.”

Ahmad bin Husein, memberikan pengertian tentang khulu’ sebagai berikut:

10

Anshori Umar Situnggal, fiqh Almar’atul Muslimat (terj.), (Semarang: CV. Asy-Syifa, t.th), h. 432

11

Zainudin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu’in, (Semarang :Toha Putra, t.th ), h. 111

12

Abi Zakaria Yahya binti Syarief, Minhaj ath Tholibin, (Surabaya : Percetakan Ahmad bin Sa’id, t.th), h. 47


(33)

(34)

Artinya: “Khulu’ adalah lafadz yang menunjukan terhadap perceraian bagi sepasang suami istri”.

Menurut golongan Hanabilah mengartikan khulu’ sebagai berikut:

ْﻦِﻣ ُجْوﱠﺰﻟا ُهُﺬُﺧ ْﺄَﯾ ٍضَﻮِﻌِﺑ ِﮫَِﺗأَﺮْﻣا ِجْوﱠﺰﻟا ُقاَﺮِﻓ َﻮُھ ُﻊْﻠُﺨـــــــــْﻟا

ٍﺔَﺻْﻮُﺼْــﺨَﻣ ٍظﺎَﻔْﻟَﺄِﺑ ﺎَھِﺮْﯿَﻏ ْوَأ ِﮫِﺗَأَﺮْﻣإِ

18

Artinya: Khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dengan ‘iwadh yang diambil oleh suami istrinya dari istrinya orang lain, dengan menggunakan lafadz khusus.”

Syekh Mahmudunnasir, memberikan definisi tentang khulu’ sebagai berikut: “Khulu’ adalah suatu pengertian hubungan pernikahan dengan izin dan atas keinginan istri yang dalam hal itu setuju untuk memberikan ganti rugi kepada suami untuk pembebasannya dari ikatan perkawinan.”19

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama mengenai khulu’ adalah proses thalaq yang dijatuhkan oleh suami sebagai akibat dari istri menebusnya dengan suatu harga tertentu, dengan menggunakan lafadz, khuli’ atau yang semakna dengan itu.

Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa seorang suami atau isteri dibolehkan mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama, dengan alasan-alasan yang dapat diterima. Jadi, hak untuk memutuskan perkawinan bukan hanya

18

Ibid., h. 393

19

Syekh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 509


(35)

milik suami, isteripun berhak untuk mengajukan permintaan cerai jika rumah tangga sudah tidak mungkin lagi dipertahankan.

KHI pasal 113 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: a) kematian, b) perceraian dan c) atas putusan pengadilan. Selanjutnya pasal 114 disebutkan: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalak atau berdasarkan gugatan perceraian”,20 dijelaskan pula tentang macam-macam perceraian, yaitu: thalaq, khulu’ dan li’an

Selain alasan di atas, dalam KHI pasal 116 menambahkan alasan-alasan perceraian yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama, yaitu:

a. Suami melanggar taklik thalak, dan

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak-rukunan dalam rumah tangga.

Menurut UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama cerai gugat adalah suatu cara yang dilakukan oleh isteri yang ingin berpisah, atas permintaan atau gugatan dari isteri yang dilakukan melalui Pengadilan Agama yang ditujukan kepada suaminya, seperti yang tercantum dalam pasal 73 disebutkan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.21

20

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001), h.56

21


(36)

4. Dasar Hukum khulu’

Dalil yang menjadi dasar hukum dibolehkannya khulu’ adalah sebagai berikut: a. Firman Allah

...

َﯾ َﻻَو

ﺎَﻤْﯿِﻘُﯾ ﱠﻻَأ ﺎَﻓﺎَﺨﱠﯾ ْنَأﱠ ﻻِإ ًﺄْﯿَﺷ ﱠﻦُھ ْﻮُﻤُﺘْﯿــَﺗَأ ﺎـﱠﻤﻣِ ُهْوُﺬُﺧ ْﺄَﺗ ْنَأ ْﻢُﻜَﻟ ﱡﻞِﺤـ

ﺎَﻤْﯿِﻘُﯾ ﱠﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِﺈَﻓ ِﷲا َدْوُﺪُﺣ

ْتَﺪَﺘْﻓ ا ﺎَﻤْﯿِﻓ ﺎَﻤِﮭْﯿَﻠَﻋ َحَﺎﻨُﺟَ ﻼَـﻓ ِﷲا َدْوُﺪُﺣ

ِﮫِﺑ

...

)

ةﺮﻘﺒﻟا


(37)

Selain dasar hukum yang penulis kemukakan diatas, masih banyak lagi kasus-kasus khulu’ dari permulaan sejarah yang bisa dijadikan dasar hukum diantaranya:

Tsabit menpunyai dua orang istri, salah seorang diantaranya adalah jamilah, saudara perempuan kaum munafik, Abdullah bin Ubay. Jamilah tidak menyukai wajah Tsabit. Ia mendekati dengan permohonan khulu’. Ia berkata: ”Wahai Rasulullah, tak ada yang mampu mempersatukan kami, ketika aku mengangkat cadarku aku melihat, aku melihat ia datang ditemani oleh beberapa orang laki-laki. Aku dapat melihat bahwa dialah yang paling hitam, paling pendek dan paling jelek diantara mereka semua. Demi Allah aku bukan tidak menyukai karena kekurangan dalam keimanannya atau moralnya. Kejelekannyalah yang aku tidak sukai. Bila aku tidak takut kepada Allah, aku pasti telah menamparnya ketika dia masuk mendatangiku. Wahai Rasulullah, anda dapat melihat betapa cantiknya aku, tetapi Tsabit jelek sekali aku tidak menemukan kesalahan dalam agama dan moralnya, tetapi aku takut kekecewaanku akan menyeretku kepada kekafiran.”

Dalam menjawab permohonannya, Nabi bertanya: Maukah kau mengembalikan kebun (sebagai mahar) yang diberikan kepadamu?” ia menjawab: ”Tentu wahai Rasulullah, aku siap memberinya lebih dari itu.” ” Tidak, tidak lebih dari itu, hanya kembalikanlah kebun itu.” kata Rasulullah.


(38)

Beliau memanggil Tsabit dan memberitahukanya untuk menerima kebun itu dan menceraikan wanita tersebut.24

Selain kasus di atas, juga terdapat kisah tentang khulu’ yang diabadikan oleh Imam Malik dan Abu Daud, sebagaimana dikutip oleh Abu Al-A’la Al-Maududi, sebagai berikut: ”Istri kedua Tsabit adalah Habibah. Suatu pagi, ketika Nabi Muhammad SAW, keluar melalui pintu rumahnya, beliau mendapati Habibah menanti disana. Beliau menanyakan apa yang dia inginkan. Ia langsung menjawab: ”Wahai Rasulullah, aku tidak dapat hidup bersama Tsabit.” Tsabit dipanggil. Habibah mengulangi permohonannya. ”Wahai Rasulullah, aku membawa semua yang diberikan Tsabit kepadaku.” Nabi SAW. menyuruh Tsabit mengambil kembali apa yang telah diberikannya dan menyuruhnya untuk menceraikan wanita tersebut.25

Seorang laki-laki dan seorang wanita dibawa kehadapan Khalifah Umar bin Khottob. Wanita itu mengajukan khulu’. Umar menasihatinya agar bertahan dan mencoba untuk bersatu dengan laki-laki itu. Ia membangkang, Umar memerintahkan agar perempuan itu ditinggalkan sendiri dan ditempatkan dalam penjara selama tiga hari. Pada hari keempat, dia dibawa kehadapan Khalifah. Ketika ditanya bagaimana perasaannya, ia bersumpah bahwa itulah tiga malam yang paling damai yang pernah dirasakannya selama

24

Abu Al-A’la Al-Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Daar El-Ulum, 1987), Cet. ke-3, h. 43

25


(39)

bertahun-tahun. Umar terharu mendengar isi hatinya. Ia memanggil suami perempuan itu dan memberikan putusannya: ”Ceraikanlah ia walaupun dengan mengembalikan anting-antingnya.” 26

Juga kasus lain, tentang Ruqayyah, anak perempuan Mu’awwiz, menginginkan perceraian dengan suaminya, dengan memgembalikan semua yang ia terima dari laki-laki itu. Suaminya tidak mau menerima pemberian itu. Persoalan itu dibawa kehadapan Khalifah Utsman. Kemudian Utsman menerima permohonan wanita itu dan memperbolehkan laki-laki itu untuk menerima semua yang menjadi milik wanita tadi, termasuk kerudung penutup kepalanya sebagai imbalan dari perceraian tersebut. 27

Ada pendapat yang mengatakan, bahwa khulu’ itu sudah terjadi pada zaman Jahiliyah. Bahwa Amir bin Zharib kawin dengan kemenakan perempuan Amir bin Harits. Tatkala istrinya masuk ke rumah Amir bin Zharib, seketika itu istrinya melarikan diri. Lalu Amir bin Zharib mengadukan hal ini kepada mertuanya. Maka jawabnya: ”Aku tidak setuju kau kehilangan istri dan hartamu, dan biarlah aku pisahkan (khulu’) dia dari kamu dengan mengembalikan apa yang pernah kau berikan kepadanya.” 28

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa khulu’ sudah pernah terjadi sejak

26

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, (Beirut: Daar El-Fikr, 1987), Juz I, h. 275

27

Abu Al-A’la Al-Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam, ke-3, h. 45

28


(40)

zaman Jahiliyyah hingga masa Rasulullah, juga hingga masa kini dan masa yang akan datang.

5. Hukum Khulu’

Khulu’ merupakan salah satu bagian dari talaq. Hukum talaq ada kalanya wajib, haram, mubah dan sunnah. Talaq wajib, yaitu talaq yang dijatuhkan oleh pihak hakam (penengah), karena perpecahan suami-istri yang sudah berat. Talaq haram, yaitu talaq yang tanpa alasan. Talaq diharamkan karena merugikan bagi suami-istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang hendak dicapai dengan perbuatannya itu. Jadi talaq-nya haram, seperti haramnya merusakkan harta benda. Talaq dibenci, jika tidak ada suatu alasan yang benar, sekalipun Nabi menamakan talaq sebagai perbuatan yang halal, karena ia merusakan perkawinan yang mengandung kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Talaq sunnah, yaitu karena istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya, padahal suami tak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya tersebut, atau istri kurang rasa malunya.29

Hukum-hukum pada talaq tersebut juga berlaku dalam khulu’ , hanya saja khulu’ dibolehkan pada saat dilarangnya menjatuhkan talaq, sebagaimana khulu’ dibolehkan pada saat wanita dalam keadaan haid, nifas, atau dalam keadaan suci. Kebolehan dijatuhkan khulu’ pada saat wanita dalam keadaan haid, nifas atau dalam keadaan suci itu dikarenakan didalam Al-Qur’an tidak ada keterangan yang menetapkannya secara khusus, Allah berfirman:

29


(41)

ِﮫِﺑ ْتَﺪَﺘْﻓ ا ﺎَﻤْﯿِﻓ ﺎَﻤِﮭْﯿَﻠَﻋ َحَﺎﻨُﺟ َﻼَـﻓ

)...

ةﺮﻘﺒﻟا


(42)

Selain hadits di atas Ibnu Katsir juga mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

ُﺔَﺣِءاَر ﺎَﮭْﯿَﻠَﻋ ٌماَﺮَﺤَﻓ ٍسْﺄَﺑ ﺎَﻣ ِﺮْﯿَﻏ ِﻲﻓ َﺎﮭَﻗ َﻼَﻃ ﺎَﮭَﺟْوَز ْﺖَﻟ َﺄَﺳ ٍةَأَﺮْﻣِإ ﺎَﻤّﯾَأ

ِﺔﱠﻨــــَﺠْﻟا

Barang siapa diantara wanita yang meminta perceraian kepada suaminya tanpa adanya alasan yang nyata, maka diharamkan baginya mencium harumnya syurga.” (HR. Ashabussunan dan disahkan oleh Turmudzi).” 32

Selain itu, suami juga diharamkan menahan sebagian hak-hak istri karena ingin menyakiti hatinya, sehingga istri minta lepas dan menebus dirinya dengan cara khulu’ . Apabila sampai terjadi demikian, maka khulu’-nya batal.33

Perbuatan tersebut diharamkan, karena Islam menjaga agar perempuan yang sudah ditinggal oleh suaminya tidak dihabiskan pula hartanya. Allah berfirman:

ا اْﻮُﺛِﺮَﺗ ْنَأ ْﻢُﻜَﻟ ﱡﻞِﺤَﯾ َﻻ اْﻮُﻨَﻣَأ َﻦْﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾ َأ ﺎَﯾ

ﱠﻦُھ اْﻮُـﻠُﻀْﻌـــَﺗ َﻻَو ﺎًھْﺮَﻛ َءﺎـــَﺴﱢﻨﻟ

ٍِﺔَﻨﱢﯿَﺒﱡﻣ ٍﺔَﺸِﺣﺎَﻔِﺑ َﻦْﯿِﺗْﺄَﯾ ْنَأ ﱠﻻِإ ﱠﻦُھ ْﻮُﻤُْﺘَﯿﺗَ أ ﺎَﻣ ِﺾــْﻌَﺒـِﺑ اْﻮُﺒَھْﺬَِﺘﻟ

)...

ءﺎﺴﻨﻟا


(43)

Dan firman Allah SWT:

َرَأ ْنِإَو

ُﮫْﻨِﻣ اْوُﺬُﺧ ْﺄَﺗ َﻼَﻓ اًرﺎَﻄْﻨِﻗ ﱠﻦُھاَﺪْﺣِإ ُﻢُﺘْﯿَﺗَأ َو ٍجْوَز َنﺎَﻜَﻣ ٍجْوَز َلاَﺪْﺒِﺘْﺳا ُﻢُﺗْد

ﺎـــــــًـــﻨْﯿِﺒﱡﻣ ﺎًﻤْﺛإِ ﱠو ًﺎﻧﺎَﺘْﮭُﺑ ُﮫَﻧْوُﺬُﺧ ﺄَﺗَأ ًﺄْﯿَﺷ

).

ءﺎﺴﻨﻟا


(44)

ia berikan kepada istrinya. Tetapi jika istri yang ingin bercerai, ia harus menyerahkan kembali sebagian atau semua apa yang pernah ia terima.34

Apabila seorang istri ingin melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan, maka ia dapat mengajukan khulu’ kepada suami dengan membayar ’iwadh (tebusan) sebagai imbalan pelepasan dirinya dari ikatan perkawinan. Setelah suami menyetujui apa yang menjadi kehendak istri, maka suami harus mengucapkan ijab dengan kata khulu’, talaq, atau yang semakna dengan itu, seperti kata suami: ”Saya khulu’ kamu dengan ’iwadh sejumlah ... (sekian).”. Bila suami telah mengucapkan ijab maka istri harus menjawabnya sesuai dengan apa yang diucapkan suami dalam ijab tersebut, seperti jawab istri: ”Saya terima khulu’-nya dengan ’iwadh sejumlah ... (sekian).” jawaban istri dalam khulu’ disebut qabul. Apabila telah terjadi ijab dan qabul antara suami dan istri dalam perkara khulu’ , maka putuslah hubungan suami-istri antara keduanya, dan bagi suami berhak atas ’iwadh yang telah diberikan oleh istri kepadanya.

Sebagaimana halnya dalam talaq, dalam khulu’-pun disyaratkan adanya shigat. Shigat khulu’ itu hampir sama dengan shigat talaq, hanya saja dalam khulu’ disyaratkan bagi istri menerima ikrar talaq beserta ’iwadh yang diucapkan oleh suami. Seperti kata suami: ”Saya menalakmu, meng-khulu’-mu dengan

34

Abu Al-A’la Al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), h. 49


(45)

’iwadh sebuah ... uang sejumlah ... ” lalu dijawab oleh istrinya: ”Saya menerima ikrar itu berikut ’iwadh-nya (sekian).”35

Sayyid Sabiq, menjelaskan bahwa para ahli fiqh berpendapat, disyaratkan penggunaan kata khulu’ atau kata yang terambil dari kata dasar khulu’ atau kata lain yang memiliki arti seperti itu, seperti mubara’ah (berlepas diri) dan fidyah (tebusan) dalam shigat khulu’. jika tidak dengan kata khulu’ atau kata lain yang memiliki maksud yang sama, misalnya suami berkata pada istrinya: ”Engkau ter-talaq sebagai imbalan daripada barang/uang seharga sekian.” lalu istri menerimanya, maka perbuatan seperti ini adalah talaq dengan imbalan harta bukan khulu’.36

Ibnu Al-Qayyim berpendapat: ”Barang siapa memikirkan hakekat dan tujuan aqad atau perjanjian, serta tidak hanya melihat kepada kata-kata (lafadz), maka ia akan menganggap khulu’ sebagai fasakh, sekalipun dengan kata talaq. Alasannya ialah bahwa Nabi SAW. pernah menyuruh Tsabit bin Qais agar menalak istri secara khulu’ dengan sekali talaq. Selain itu Nabi SAW. menyuruh istri Tsabit ber-iddah sekali haid. Hal ini jelas menunjukan fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan talaq. 37 Allah menghubungkannya dengan hukum fidyah, karena memang ada fidyah-nya. Sudah maklum bahwa fidyah

35

Ibid, 175

36

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Ibid. h. 253

37


(46)

tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kata khusus dan Allah-pun tidak menetapkan lafazd yang khusus untuk itu.38

Adapun syarat dan rukun khulu’ adalah sebagai berikut: 1. Rukun Khulu’

Sebagaimana halnya talaq, dalam khulu’-pun terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi demi sahnya perbuatan khulu’ tersebut. Rukun khulu’ ada 6 (enam) yaitu:

a. Multazim al-’iwadh (pihak yang memegang ’iwadh); b. Al-Bud’u (yang dimiliki wanita/farju);

c. Al-’iwadh (imbalan yang diberikan kepada suami sebagai bandingan penguasaan talaq);

d. Al-Jawzu (suami);

e. Al-Ishmah (kekuasaan suami untuk memegang talaq) dan f. Al-Shighah (ijab dan qabul).

2. Syarat Khulu’

Yang dimaksud dengan syarat khulu’ ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun khulu’ itu, yaitu:

a. Multazim al ‘iwadh, dengan syarat wanita orang lain yang sudah cakap

38


(47)

berbuat (ahliyah al-ada al-kamilah). Tidak ada khulu’-nya orang bodoh dan orang yang belum dewasa.

b. Al-Bud’u dengan syarat barang tersebut dimiliki oleh suami walaupun dalam keadaan talaq raj’i.

c. Al-’iwadh dengan syarat harta tersebut tidak berbahaya, suci dan milik sah (bukan ghasab).

d. Al-Jauzu (suami), dengan syarat orang tersebut sudah cakap untuk melakukan talaq, seperti tidak bodoh, berakal dan baligh.

e. Al-Ishmah, dengan syarat tersebut tidak dilimpahkan kepada orang lain.

f. Al-Shighah, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Harus berupa ucapan yang menunjukan kepada talaq dan khulu’.

2. Hendaknya qabul itu dilakukan dalam suatu majlis, kecuali jika suami menangguhkan pelaksanaannya. Dalam ijab dan qabul disyaratkan adanya persesuaian dalam jumlah harta (’iwadh).39

39

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Maczhab al-Arba’ah, (Beirut: Daar el-Kutub, t.th.), Juz IV, h.420


(48)

Secara umum Zaini Ahmad Noeh dalam bukunya Perceraian Orang Jawa, menyebutkan alasan sorang suami/isteri yang ingin bercerai adalah terdapat beberapa faktor, yaitu:40

1). Ekonomi, menunjukkan kondisi suami tidak mampu untuk menghidupi isteri 2). Krisis moral, perselingkuhan

3). Dimadu

4). Meninggalkan kewajiban

5). Faktor biologis, seperti suami impoten

6). Pihak ketiga, adanya campur tangan keluarga atau orang tua dalam urusan rumah tangga anaknya

7). Faktor politik

Dari penjelasan Zaini Ahmad Noeh di atas, dapat dipahami bahwa ekonomi menjadi alasan yang pertama yang mempengaruhi isteri melakukan gugatan cerai. Hal ini sering terjadi karena ekonomi merupakan kebutuhan utama dalam keluarga, dan tidak jarang para suami mengabaikan tanggung jawabnya meskipun mereka berada dalam strata ekonomi yang tinggi ataupun sebaliknya. Dengan demikian masalah ekonomi sangat berpengaruh terhadap perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama dan dalam hal ini diajukan oleh seorang isteri dalan cerai gugat.

40

Zaini Ahmad Noeh, Perceraian Orang Jawa, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h. 34


(49)

C. Alasan untuk Terjadinya Khulu’

Khulu’ dapat dibenarkan apabila ada sebab yang menghendaki adanya khulu’.

Misalnya karena suami cacat jasmani atau jelek kelakuannya, atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami, dan istri takut kalau melanggar hukum Allah karena tidak taat kepada suaminya. Ada ulama yang mengatakan bahwa perselisihan yang datang dari pihak istri cukup untuk adanya khulu’. ada pula yang berpendapat bahwa khulu’ tidak diminta sebelum adanya syiqaq atau perselisihan.41

Mahmud Yunus menerangkan bahwa kesimpulan yang dapat ditarik dari firman Allah (Q.S. (2) Al-Baqarah: 229) dan hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang sebab-sebab yang membolehkan terjadinya khulu’ adalah sebagai berikut.

1. Jika kedua suami-istri tidak dapat mendirikan hukum-hukum Allah, yaitu pergaulan secara ma’ruf;

2. Karena istri sangat benci kepada suaminya lantaran sebab-sebab yang tidak disukainya, sehingga ia takut tidak akan dapat mematuhi suminya itu.42

41

H. S. A. Alhamdani, Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam,.

42

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1986), Cet Ke-12, h.230


(50)

Sayyid Sabiq, mengutip pendapat para ulama sebagai berikut. Syaukani berkata: ”Menurut dzahir hadits-hadits tentang masalah khulu’ ini, bahwa ketidak senangan istri sudah boleh menjadi alasan khulu’ .” Akan tetapi Ibnu Mundzir mengatakan tidak boleh sebelum rasa tidak senang itu pada kedua belah pihak, karena berpegang pada ayat-ayat al-Quran. Demikian pendapat Thawus, sya’by, dan segolongan besar tabi’in. Tetapi segolongan lain seperti Thobari, beliau menjawab bahwa yang dimaksudkan oleh ayat al-Quran itu ialah jika istri tidak dapat melaksanakan hak-hak suaminya, maka hal ini telah menimbulkan kemarahan suami terhadap istrinya.43

Mengenai keadaan-keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan khulu’, maka Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa khulu’ boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami-istri, selama kerelaan itu tidak mengakibatkan kerugian pada pihak istri. Dasar kebolehan ini adalah firman Allah:

ِﺗْﺄَﯾ ْنَأ ﱠ ﻻِإ ﱠﻦُھ ْﻮُﻤُﺘْﯿَﺗَ أ ﺎَﻣ ِﺾــْﻌَﺒـِﺑ اْﻮُﺒَھْﺬَﺘِـﻟ ﱠﻦُھ اْﻮـُﻠُﻀْﻌــَـﺗ َﻻَو

ٍﺔَﺸِﺣﺎَﻔِﺑ َﻦْﯿ

ٍﺔَﻨﱢﯿَﺒﱡﻣ

)...

ءﺎﺴﻨﻟا


(51)

ﺎَﻤْﯿِﻘُﯾ ﱠ ﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِﺈَﻓ

ِﮫِﺑ ْتَﺪَﺘْﻓ ا ﺎَﻤْﯿِﻓ ﺎَﻤِﮭْﯿَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻼـَﻓ َ ﷲا َدْوُﺪُﺣ

)...

ةﺮﻘﺒﻟا


(52)

terdapat kekhawatiran jika suami istri itu tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Kelima, pendapat yang membolehkan, kecuali jika disertai kerugian (maka

tidak boleh). Ini pendapat yang terkenal.

Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan, bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain-lain yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah hukuman berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;


(53)

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Syed Mahmudunnasir, menerangkan bahwa dalam pasal 2 Undang-undang perceraian Islam 1939 di India dan Pakistan, memberikan alasan-alasan tertentu untuk memperoleh perceraian dari suami melalui pengadilan. Undang-undang itu memberikan daftar yang agak lengkap mengenai alasan-alasan bagi seorang istri muslim, agar dapat memperoleh status perceraian secara hukum. Alasan-alasan menurut Undang-undang itu adalah sebagai berikut;

1. Bahwa tempat tinggal suami belum diketahui selama masa empat tahun;

2. Bahwa suami telah menelantarkan atau tidak memberikan biaya hidupnya selama masa dua tahun;

3. Bahwa suami telah dihukum penjara untuk masa tujuh tahun atau lebih;

4. Bahwa tanpa sebab yang memadai, suami tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban bersuami-istri selama masa tiga tahun;

5. Bahwa suami impoten pada masa pernikahan dan tetap demikian;

6. Dan suami telah menjadi gila selama dua tahun atau menderita penyakit lepra atau kelamin yang ganas;


(54)

7. Bahwa istri yang telah dinikahkan oleh pihak bapak atau walinya sebelum mencapai usia lima belas tahun (sekarang enam belas tahun di Pakistan) menolak pernikahan sebelum mencapai usia delapan belas tahun, asal pernikahan itu belum sempurna (belum terjadi hubungan seksual);

8. Bahwa suami memperlakukan istri dengan kejam, yaitu:

a. Biasa menganiaya atau membuat kehidupannya menderita karena kekejaman prilaku itu tidak sampai berupa penganiayaan fisik, Berhubungan dengan perempuan keji atau menempuh kehidupan baru,;

b. Berusaha memaksanya untuk menempuh kehidupan yang tidak bermoral.

c. Meniadakan harta kekayaannya atau menghalanginya melaksanakan hak-hak yang sah atas harta kekayaan itu, Menghalangi praktek keagamaan,

d. Jika suaminya mempunyai istri lebih dari satu, tidak memperlakukannya dengan adil sesuai dengan ketetapan-ketetapan al-Quran;

9. Karena alasan lain yang diakui keshahihannya oleh hukum Islam untuk memutuskan pernikahan.


(55)

D. Pengertian Stratifikasi Sosial Di Bidang Ekonomi

Sebelum menjelaskan apa itu pengertian stratifikasi sosial di bidang ekonomi, ada baiknya penulis memaparkan terlebih dahulu tentang stratifikasi sosial secara umum. Dalam sosiologi dikenal dengan istilah Social Stratification

yang berarti sistem lapisan dalam masyarakat. Kata Stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan. Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas rendah. 45 Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertetntu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi dari hal-hal- tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya, maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan fihak-fihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat atau dikenal dengan istilah staratifikasi sosial, -dan dalam hal ini dibidang ekonomi- yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.

45

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982), h 252


(56)

Menurut Selo Soemarjdan dan Soelaeman Soemardi, bahwa lapisan masyarakat didasarkan pada ukuran sebagai berikut:46

1. Ukuran Kekayaan 2. Ukuran Kekuasaan 3. Ukuran kehormatan 4. Ukuran Ilmu Pengetahuan

Ukuran tersebut di atas, tidaklah bersifat limitatif, karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran di atas amat menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.

Selanjutnya Ralph Linton yang dikutip Kamanto Sunarto47, bahwa stratifikasi seseorang dapat dibentuk oleh dua hal, yakni stratifkasi berdasarkan perolehan dan stratifikasi berdasarkan raihan. Stratifikasi yang dibentuk berdasarkan perolehan didapatkan dengan sendirinya, anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas.

Sedangkan stratifikasi yang didasarkan pada raihan diantaranya adalah48: 1. Stratifikasi Pendidikan

46

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi I, Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, h. 257

47

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 2000. h. 86

48 Ibid.


(57)

Stratifikasi pendidikan yaitu hak dan kewajiban masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih.

2. Stratifikasi Pekerjaan

Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya pembedaan antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif; antara asiten dosen, lektor, dan guru besar, antara tamtama, bintara, pedesaira pertama, pedesaira menengah, pedesairah tinggi.

3. Stratifikasi Ekonomi

Stratifikasi Ekonomi yaitu pembedeaan masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, hal ini juga merupakan suatu kenyataan sehari-hari.

Stratifikasi ekonomi adalah salah satu faktor dominan yang menentukan kelangsungan hidup rumah tangga seseorang. Apabila ekonominya berada pada tingkat atas mungkin tidak akan menjadi persoalan dalam segi kebutuhan materi, akan tetapi tidak sedikit fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa banyak para suami yang berhura-hura dengan hartanya, misalnya dengan mabuk-mabukan, main perempuan dan lain-lain. Hal ini sering menjadi pemicu kerusakan rumah tangga dikarenakan seorang istri yang berakhir pada gugatan cerai.

Begitu juga sebaliknya ketika ekonomi seseorang berada di tingkat menengah sampai tingkat bawah juga bisa menjadi persoalan dalam rumah tangga,


(58)

karena dengan ekonomi yang lemah sering kali kebutuhan runah tangga tidak tercukupi sehingga menyebabkan sering terjadi percekcokan dalam rumah tangga dan tidak sedikit sang isteri melakukan tuntutan cerai kepada suaminya yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dengan demikian, maka stratifikasi sosial dibidang ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya perceraian yang sebagian besar menjadi tuntutan bagi isteri, hal ini dikenal dengan istilah cerai gugat.


(59)

51

A. Proses Cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi

Tata cara gugatan perceraian diatur dalam PP No. 9/1975 Bab V pasl 20-30 yang dilengkapi dan disempurnakan lebih lanjut oleh KHI seperti tercantum dalam Bab XVI tentang Putusnya Perkawinan yaitu pasal 113-148. bahkan oleh UU No. 7/1989 diperbarui lagi ke arah yang dinamis, praktis dan realistis,, seperti tercantum dalam pasal 73-89 mengenai tata cara cerai gugat.

Proses cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi, berlandaskan pada hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan lingkungan Pengadilan Agama. Hukum acara yang berlaku pada lingkungan Pengadilan Agama disebutkan pada UU No. 7 Tahun 1989 bab IV mulai dari pasal 54 sampai dengan 92. dalam pasal 54 ditegaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama ialah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Umum.

Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama mengacu pada hukum acara perdata pada umumnya kecuali yang diatur secara khusus, yaitu dalam memeriksa perkara sengketa perkawinan. Dalam memeriksa sengketa perkawinan pada umumnya dan utamanya dalam perkara perceraian berlaku hukum acara khusus yaitu yang diatur dalam:1

1

Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), Cet. II, h. 201


(60)

1. UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 tentang perkawinan 2. Inpres No. 1/1991 tentang KHI

3. PMA No. 2/1987 tentang Wali Hakim

4. Peraturan-peraturan lain yang berkenaan dengan sengketa perkawina

Pada hakekatnya sifat utama hukum acara perdata Pengadilan Agama adalah pemeriksaan perdata dimulai, dilanjutkan dan ditetukan atas kemauan penggugat sebagai orang perseorangan. Negara dan pemerintah tidak campur tangan, ini sesuai dengan sifat dan hak dan kewajiban dalam hukum acara perdata.2

Di lingkungan Pengadilan Agama dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang pertama disebut

“permohonan”, yang kedua disebut “gugatan”.3dalam bahasa sehari hari, kedua istilah tersebut kita kenal dengan “gugat biasa” dan “gugat permohonan.

Oleh karena itu Pengadilan Agama hanya mengatur 2 (dua) prosedur untuk melakukan perceraian, yaitu:

a. Permohonan thalak dari pihak suami, yang diatur dalam pasal 66 sampai dengan 72 UU No. 7/1989

b. Mengajukan gugatan cerai dari pihak isteri, yang diatur dalam pasal 73-86 UU No. 7/1989.

2

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1975), Cet. Ke-8, h.34

3

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama; UU No. 7/1989,


(61)

Adapun prosedur cerai gugat itu sendiri sebagai berikut: 1). Mengajukan surat gugatan

Perceraian atas inisiatif isteri (cerai gugat) ini seperti dimaksud pada pasal 38 huruf (c) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, memiliki tata cara tersendiri, tata cerai gugat ini diatur dalam pasal 20 sampai 36 PP No. 9/1975. selanjutnya pasal 39 Undang-Undang Perkawinan memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan itu adalah ketentuan serasi demi kepentingan hukum dengan penentuan mengenai pencatatan akad nikah yang dilakukan pihak-pihak. Artinya diawal perikatan akadnya harus dicatatkan di kantor yang ditentukan yaitu pengadilan.4

Adapun prosedur mengajukan gugatan perceraian (cerai gugat) sebagi berikut: Mengajukan surat gugatan harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil yaitu surat gugatan ditulis di atas kertas bermaterai dan ditanda tangani oleh penggugat atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus. Sedangkan syarat materil yaitu surat gugatan memuat identitas para pihak, duduk perkara (posita) dan tuntutan hukumnya (petitum). Petitum ini harus jelas dan lengkap, karena menurut pasal 178 HIR, Hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan dilarang untuk memutuskan lebih dari pada yang diminta.5

4

Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h.4

5

Arso Sostroatmojo, Diktat Kuliah Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah, 1983), h.7


(62)

Pada pasal 73 UU tentang Pengadilan Agama, memuat penjelasan tentang gugatan secara tertulis atau secara lisan kepada Pengadilan Agama, yakni;

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasa hukumnya kepada yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. (2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian

diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Jakarta Pusat

Suatu gugatan cerai jangan sampai diajukan secara keliru atau tidak tepat, maka dalam mengajukan gugatan, pihak isteri harus benar-benar mengajukan secara tepat kepada badan pengadilan yang berwenang untuk mengadili persoalan tersebut, dalam hal ini menyangkut prihal tempat mengajukan gugatan.

2). Membayar Uang muka biaya perkara

Pembayaran panjar biaya perkara diberikan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama sub kepaniteraan gugatan, pada meja I penggugat membayar panjar biaya dan mendapatkan SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Selanjutnya penggugat menyerahkan SKUM ke meja II untuk ditanda tangani dan diberikan nomor pada surat gugatan sesuai denga nomor yang diberikan kasir, dan selanjtnya surat gugatan dicatat dalam buku register untuk disampaikan ke ketua Pengadilan Agama.

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, ketua menunjuk majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dalam sebuah “penetapan Majelis Hakim”. Hal ini sesuai dengan pasal 93 UUPA, kemudian ketua Pengadilan membagikan semua


(63)

berkas perkara atau surat-surat yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama kepada majelis hakim untuk diselesaikan.

Untuk membantu majelis hakim dalam menyelesaikan perkara, ditunjuk seorang/lebih panitera sidang, kemudian apabila ada yang berhalangan hadir bagi anggota majelis di kemudian hari maka tugas diganti oleh anggota yang lain yang ditunjuk oleh ketua dan dicatat dalam berita acara persidangan, begitu juga apabila panitera sedang berhalangan hadir maka ditunjuk panitera lainnya untuk mengikuti sidang.6

3). Tahapan persidangan,meliputi penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, ketua pengadilan menunjuk Majelis Hakim yang bertugas untuk menangani perkara (pasal 93 UUPA), ketua membagikan berkas kepada Majelis Hakim. Ketua majelis setelah menerima berkas perkara, besama-sama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara.

Penggugat/wakilnya atau tergugat/wakilnya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan. Tata cara pemanggilan para pihak dalam perkara cerai gugat harus dilakukan secara patut dan resmi, yaitu:

a). Dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti yang sah

b). Disampaikan langsung pada pribadi yang dipanggil di tempat tinggalnya

6


(64)

c). Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus memenuhi tenggang waktu yang patut, yaitu sekurang-kurangnya 3 hari kerja sebelum sidang dibuka

d). Pangilan kepada tergugat dilampiri salinan surat gugatan

e). Apabila tergugat tempat kediamannya tidak jelas diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka panggilan dilakukan denga cara: (1). Menempelkan surat panggilan pada pengumuman di Pengadilan Agama. (2). Pengumuman melalui media atau surat kabar yang dilakukan sebanyak dua

kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dengan pengumuman kedua.

4). Pemeriksaan Cerai gugat

Secara khusus untuk perkara perceraian dalam hal-hal tertentu diatur dalam Undang-undang Pengadilan Agama. Pemeriksaan perkara cerai gugat berdasarkan pada asas-asa sebagai berikut:

a). UU No. 14/1970 pasal 15 dan penjelasan umum UU No. 14/1970, menurut aturan ini bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Kemudian dipertegas lagi dengan penjelasan umumnya bahwa pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, senada juga dengan UU No. 14/1970 pasal 17 ayat (1)

b). UU No. 7/1989, pasal 80 ayat (2) menyebutkan pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup


(65)

c). UU No. 14/1970 pasal 4 ayat (20 peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pemeriksaan 30 hari dari tanggal pendaftaran gugatan, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 80 ayat (1) UUPA

d). Pemeriksaan sidang pengadilan dihadiri suami isteri atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus dari mereka. Pemriksaan perakara perceraian tidak mesti dihadiri secara pribadi (in person) oleh suami isteri

e). Pada setiap pemeriksaan selalu dilakukan upaya perdamaian, sesuai dengan ketentuan UU No. 7/1989 pasal 82 ayat (2)

Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan. Setelah berkas perkara yang masuk diperiksa dan diterima untuk selanjutnya disidangkan. Tahapan-tahapan pemeriksaan dalam persidangan adalah sebagai berikut:

(1).Pembacan gugatan (2).Jawaban tergugat (3).Replik penggugat (4).Duplik tergugat (5).Pembuktian.

Setelah menganalisis beberapa Putusan Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi dari tahun 2006 tentang perkara cerai gugat dari awal sampai akhir dapat disimpulkan bahwa persidangan perkara cerai gugat tersebut telah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku yaitu Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1/1974 serta


(66)

penjelasannya mengenai gugatan perceraian bahwa cerai gugat terjadi atas putusan pengadilan dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (UU No. 7/1989 pasal 81 ayat 1).

B. Akibat Hukum dari Cerai gugat

Perkawinan dalam Islam merupakan ibadah dan merupakan perjanjian suci (mitsaqan ghalidzan). Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian tidak begitu saja selesi urusannya, akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan dan hendaknya menjadi pertimbangan dalam mengambil suatu langkah perceraian bagi suami atau isteri.

Adanya perceraian mengakibatkan konsekuensi hukum yang harus ditaati oleh kedua pihak, termasuk di dalamnya hak atas pengasuhan anak, hak atas dasar harta benda, dan lainnya berdasarkan keputusan pengadilan.

Di Indonesia terdapat peraturan bahwa perceraian harus atas putusan pengadilan, tak terkecuali perceraian atas gugatan cerai dari isteri (cerai gugat atau khulu’), maka “perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah thalak dan tak dapat rujuk”. 7

Sedangkan akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KHI pasal 156, yaitu:8

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia

7

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Direktorat Badan Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 200), h. 74

8


(67)

2. Anak-anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya

3. Apabila ternyata pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah

pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri.

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (b), (c) dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Perceraian yang terjadi dengan adanya gugatan dari istri (cerai gugat) mempunyai akibat hukum yaitu jatuhnya thalak bain shugra. Thalak bain sughra yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah, seperti tercantum dalam pasal 119 KHI. Akibat dari talak bain sughra ini sebagai berikut:

1. Putusnya ikatan pernikahan antara suami dan isteri


(68)

3. Jika salah satu meninggal tidak dapat saling mewarisi

4. Selama masa iddah, isteri berhak mendapat nafkah dan tinggal di rumah bekas suami dengan pisah tempat tidur.

5. Apabila rujuk, harus dengan akad nikah dan mahar baru9 6. Bagi suami, wajib membayar sisa mahar yang terhutang.10

Akibat hukum dari khulu’ yaitu putusnya perkawinan dan jatuhnya thalak ba’in sughra, artinya suaminya tidak boleh merujuknya kembali, tapi boleh akad nikah baru walaupun dalam masa ‘Iddah.

Sebagaimana tercantum dalam KHI pasal 149 huruf (b) mengenai akibat thalak, disebutkan bilamana perkawinan putus karena thalak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, makan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah,

kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Jadi bila perceraian terjadi karena gugatan dari istri maka istri tidak mendapatkan hak nafkah dalam masa iddah sekalipun.

Menurut imam mazhab yang empat, bahwa istri durhaka (istri yang dihukum nusyuz) tidak diberikan nafkah (yakni boleh, tidak diberikan nafkah).11 Menurut Abu Hanifah sendiri nafkah tidak lagi menjadi tanggungan bagi suami, terkecuali jika nafkah isterinya telah ditentukan kadarnya oleh Hakim.12

9

Kamal Mukhtar, Asas-asa Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 179

10

Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, cet. IV, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), h. 237

11

Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), cet. Ke-1, edisi kedua, h. 260

12


(69)

C. Dampak Stratifikasi Sosial di Bidang Ekonomi terhadap Cerai gugat

Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial tidaklah demikian.13stratifikasi sosial merupakan gejala universal yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Misalnya dalam segi pembagian kekuasaaan dan wewenang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan. Kekuasaan dan wewenang merupakan unsur khusus dalam sistem lapisan.

Fenomena kehidupan masyarakat tersebut di atas, dapat berdampak pada situasi keluarga yang hendak menggapai kehidupan yang lebih mapan atau tingkat sosial yang setara dengan kelas-kelas tertentu. Kadang mereka melakukan berbagai cara untuk memperoleh kedudukan sosial yang lebih tinggi, terutama dalam segi ekonomi. Dan kadangkala diantara orang yang mengejar ekonomi ini, sering terjebak oleh kesibukannya sehingga mengabaikan perhatian khusus pada keadaan keluarganya, yang berakibat terjadinya percekcokam yang berakhir pada perceraian.

Hal ini, tergambar dari banyaknya kasus-kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi dengan faktor penyebab perceraian karena masalah ekonomi. Dan penulis meneliti beberapa kasus yang terjadi pada tahun 2006. berikut tabel kasus perceraian di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi:14

13

Robin Williams Jr. American Society, edisi baru ke-2, A Fred A Knof. New York, 1960, h.89

14


(70)

01 20 1 4 6 3 9 2

02 17 4 5 6 - 4 1

03 19 - 4 7 2 6 -

04 14 - 5 3 6 7 3

05 29 2 3 6 4 7 -

06 28 - 8 6 4 5 2

07 13 - - 7 3 4 -

08 12 - 6 4 1 3 3

09 39 3 10 7 5 3 2

10 11 - 9 5 2 2 4

11 34 3 2 6 3 8 1

12 13 - 2 2 4 - -

Jumlah 249 13 58 65 37 58 18

Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa masalah ekonomi menjadi faktor penyebab perceraian yang dapat dikategorikan pada urutan ke-3 dari beberapa faktor penyebab lain yang mempengaruhinya. Hal ini berarti bahwa masalah ekonomi sering

Faktor Penyebab Perceraian

B u l a n P e r c e r a I a n C e m b u r u Tidak H a r m o n i s E k o n o m i P o l i g a m i Tidak Tanggung J a w a b S e l i n g k u h


(1)

73

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-fiqhail-mazahib Al-Arba’ah, Beirut, Daar al-kutub Arikunto, Suharsimi, Managemen Penelitian, Jakarta, PT. Rineka Bakti, 1993

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama Yogyakarta, Pustaka Pelajar 1998

Ash-Shiddqiey, Hasbi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1997

Ash-Shiddqy, Hasbi, Pengadilan dan Hukum acara Islam, Bandung, PT, Al-ma’arif Aziz, Abdul, Zainuddin Al-Malibary, Fathul Mu’in, Semarang, Toha Putra

Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Profil Statistik dan inikator Gender Provinsi DKI Jakarta, 2003

Basyir, azhar, Achmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1978

Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam lingkungan peradilan Agama ( direktorat pembinaan Badan pengadilan Agana Islam, 2001

Departemen Agama RI, Kompilasi HUkum Islam, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2002


(2)

74

Harahap, Yahya, M, Kedududkan kewenangan dan acara Pengadilan Agama; UU No. 7/1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1997

Ibnu Qasim, Muhammad, Fathul Qarib, Kudus, Menara Kudus, 1983

Mahmudunnasir, Sayed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung, PT. Remaja Rosada Karya, 1991

Manan, Abdullah, Masalah Taklik Thalak dalam Peradilan di Indonesia, Jakarta, PT. Intermassa

Muhammad Bin Qasim as-Syafi’I, Fath Al-Qarib, Semarang, Toha Putra

Muhammad Imam bin Ismail Al kahlani, Subulus salam, Bandung, percetakan dahlan Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulan

Bintang, 1993

Munawir, Kamu Al-Munawwir Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997 Noeh, Zaini, Ahmad, Perceraian orang Jawa, Yogyakarta, Gadjah mada University

Press, 1991

Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi, 2006

Poerwadarminta, WJS, Kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta, Balai pustaka, 1991 Rahman, A, Bakri, dan Sukarja Ahmad, Hukum Perkawinan menurut Islam,

Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata, Jakarta, Hidakarya Agung, 1981

Rosyadi, Imran, Perjanjian Perkawinan dan kapasitasnya sebagai alas an Perceraian, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, 1996


(3)

75

Situnggal, Umar, anshori, Fiqih Al-Mar’atul Muslimat, Semarang, CV. Asy-Syifa Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,

1082

Soemardjan, Selo, dan Soemardi, Soelaeman, Setangkai Bunge Sosialogi, Penerbit, Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964

Sostroatmojo, Arso, Diktat kuliah Hukum Acara Perdata, Jakarta, Fakultas Syaria’ah IAIN Syarif Hidayatullah, 1983

Subekti, Et.Al, Kamus Hukum, Jakarta, Paramadya, 1982

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbit Ekonomi Universitas Indonesia, 2000

Sutantio, Retno, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek, Bandung, Mandar maju, 1989

Undang-Undang Peradilan Agama no. 7 tahun 1989, BP. Dharma Bhakti Williams Robin, Jr American Society, A Fred A knof, New York, 1960

Yahya, Abi Zakaria binti Syarief, Minhaj ath tholibin, Surabaya, Percetakan Ahmad bin Said


(4)

PEDOMAN WAWANCARA

PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI TERHADAP CERAI GUGAT

DI PENGADILAN AGAMA CIBADAK-SUKABUMI

I. IDENTITAS RESPONDEN

Nama : Drs Candra Triswangga Jabatan : Hakim Anggota

II. DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN

P : Faktor apa saja yang menyebabkan seorang isrti mengajukan khulu’ ke pengadilan agama cibadak-sukabumi. ?

J : Yang menebabkan seorang istri mengajukan khulu’ ke pengadilan agama Cibadak-sukabumi adalah sebagai berikut

1. karena suami talah mengabaikan kewajiban (paktor ekonomi) 2. karena suami menikah lagi tanpa seizing istri atau selingkuh

3. karena seiring terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dengan istri


(5)

P : Alasan apa saja yang diterima pengadilan agama Cibadak –Sukabumi seorang istri yang mengajukan khulu’ ?

J : Alasan yang dapat di terima pengadilan agama cibadak- sukabumi seorang istri yang mengajukun khulu’ adalah alas an yang dibenarkan oleh peraturan

sebagaimana pasal 19 hurup a/ f pp No.9 tahun 1975dengan pasal HS 116 hurup a/ h kompilasi hokum islam.

P : Apakah pengadilan agama Cibadak- Sukabumi menerima gugatan pengugat yang tempay tinggal di luar wilayah cibadak-sukabumi. ?

J : Pengadilan agama cibadak –sukabumi menerima perkara berdasarkan putusan yang ditetapkan undang- undang ( pasal 49 uu. No 7 tahun 1989) mengenai kepengadilan Agama Cibadak-Sukabumi maka gugatan perdceraian diajukan acuannya pada pasal 66 UU. No. 7 tahun 1989 dan pasal 73 UU. No. 7 tahun 1989.

P : Dalam mempertimbangkan alasan khulu’ Hakim wajib membuktikan fakta. Bagaimana Hakim membuktikan khulu’ benar adanya?

J : Untuk membuktikan dalil-dalil di[persidangan semuanya dilakukan dengan alat bukti yaitu berupa surat-surat, saksi-saksi dan pengakuan dengan sumpah

P : Berapa lamakah waktu yang paling lambat dan paling cepat dalam persidangan perkara khulu’ sampai tahap putusan Hakim.

J : Cepat atau lambatnya persidangan perkara khulu’ sampai tahap putusan hakim itu tidak dapat diprediksikan sebelumnya, karena semua tergantung pada kedua belah pihak dalam hal ini suami-istri.


(6)

P : Berapakah biaya perkara persidangan yang harus dibayar oleh penggugat? J : Biaya perkara persidangan yang harus dibayar oleh penggugat adalah sama

dengan cepat atau lambatnya persudangan, semakin cepat perkaranya dapat terselesaikan maka semakin ringan ( sedikit ) biaya perkara yang harus dibayar, dan sebaliknya semakin lambat perkaranya dapat terselesaikan , maka semakin berat ( banyak ) biaya perkara yang harus dikeluarkan.

P : Jika Hakim telah mengabulkan khulu’ seorang istri, apakah dikenakan ‘Iwadh ? dan ditentukan berapakah ‘Iwadh tersebut?

J : Ya, setelah Hakim mengabulkan khulu’ maka dikenankanlah ‘Iwadh bagi seorang istri dan ‘iwadh-nya disesuaikan dengan shigat ta’lik talak yang telah diucapkan oleh suami pada waktu akad nikah.

P : Bagaimakah prosedur pengajuan khulu’ di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi ?

J : Prosedur pengajuan perkara khulu’ di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi adalah dengan terlebih dahulu mendaftarkan gugatan kemudian membayar biaya perkara dan selajutnya dip roses di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi