BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dilakukan agar penelitian ini terfokus dan tidak mengulang penelitian yang sudah ada. Kajian pustaka juga merupakan bahasan tentang
penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dibuat, sehingga tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menampilkan perbedaan dengan
penelitian terdahulu dan memberikan kebaruan terhadap penelitian yang akan dibuat. Terdapat beberapa penelitian yang mengangkat mengenai media
tradisional dan alat komunikasi. Penelitian pertama merupakan penelitian dari S. Bekti Istiyanto 2013
dengan judul “Penggunaan Media Komunikasi Tradisional Sebagai Upaya Pengurangan Jatuhnya Korban Akibat Bencana Alam” dengan lokasi penelitian di
Kabupaten Banyumasan. Dalam penelitian
Istiyanto 2013 dijelaskan bahwa
masyarakat tidak meninggalkan media komunikasi tradisional yang ada dan digunakan oleh masyarakat Banyumas, walaupun pemerintah daerah Kabupaten
Banyumas sudah memberikan beberapa hal sebagai sebuah upaya pencegahan jatuhnya korban akibat bencana alam. Upaya dari pemerintah tersebut seperti
pemasangan teknologi sistem peringatan dini yang tergolong modern di daerah yang dianggap rawan bencana, sosialisasi tentang kebencanaan, hingga penjagaan
secara reguler situasi yang sedang terjadi. Media komunikasi tradisional seperti seni pertunjukan rakyat berupa Wayang Kulit Gagrak Banyumasan dan Gending
Banyumasan sudah menjadi kekuatan budaya masyarakat Banyumas sendiri. Keduanya dapat digunakan sebagai sarana berinteraksi antar anggota masyarakat
dan mendapatkan informasi terkini tentang apa yang sedang terjadi di wilayahnya, termasuk masalah kebencanaan dan pencegahan jatuhnya korban yang bisa
dilakukan. Kedua media seni pertunjukan rakyat tersebut digunakan sebagai media sosialisasi pelengkap yang mempermudah masyarakat memahami dan
mencerna pesan yang disampaikan karena kedua pertunjukan tersebut menggunakan bahasa lokal Banyumas dan berisi realitas pembahasan situasi yang
akan disampaikan. Selain itu, bunyi-bunyian dari alat komunikasi tradisional masyarakat berupa kenthongan dan bedug dapat melambangkan situasi keamanan
wilayah yang sedang terjadi. Kedua alat komunikasi tradisional tersebut masih sangat dibutuhkan untuk masyarakat di daerah Banyumas.
Kelebihan dari media kenthongan dan bedug ini adalah lebih murah biayanya, ada dalam kehidupan
masyarakat sendiri, mudah penggunaannya, dan bersifat massif. Kedua alat
tradisional ini juga dapat berfungsi dengan baik bila teknologi baru justru mengalami
gangguan dan
tidak setiap
anggota masyarakat
mampu mengoperasikan dengan betul.
Metode penelitian yang digunakan oleh Istiyanto adalah deskriptif
kualitatif. Dalam pengumpulan data, Istiyanto memperoleh data melalui wawancara mendalam indepth interview, pengamatan observasi, dan
dokumentasi. Untuk menguji keabsahan data penelitian, Istiyanto menggunakan teknik triangulasi data. Istiyanto menggunakan uji validitas data dengan teknik
triangulasi data, yaitu dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan
hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive
sampling
.
Perbedaan penelitian Istiyanto dengan penelitian ini terletak pada obyek penelitiannya yaitu antara
Wayang Kulit Gagrak Banyumasan, Gending Banyumasan, kenthongan, bedug
dan kulkul. Walaupun sama-sama merupakan media komunikasi tradisional, kulkul bukan sebuah pagelaran seni, berbeda
dengan Wayang Kulit Gagrak Banyumasan dan Gending Banyumasan
yang dapat dijadikan sebagai hiburan dengan menyelipkan
informasi tentang apa yang sedang terjadi di wilayahnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
metode studi kasus analisis situasional, berbeda dengan penelitian Isyanto yaitu penelitain deskriptif kualitatif.
Penelitian berikutnya adalah penelitian dari I Dewa Gede Ari Pemayun dan Anak Agung Putu Swabawa 2014 dengan judul “Eksistensi Kulkul di Era
Kemajuan Teknologi Informasi”. Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk melihat peranan kulkul sebagai alat komunikasi tradisional di Bali dan melihat
eksistensi kulkul di era teknologi informasi. Ari Pemayun dan Swambawa menyimpulkan bahwa eksistensi kulkul masih tetap terjaga pada era
teknologi informasi karena di masing-masing
desa di Bali masih menggunakan kulkul
sebagai alat komunikasi sampai sekarang, di samping
adanya pengerajin kulkul yang masih
beroperasi sampai saat ini. Hal ini berarti bahwa kemajuan teknologi
tidak berpengaruh terhadap eksistensi kulkul di Bali. Dijelaskan juga bahwa fungsi kulkul sebagai alat komunikasi
tradisional sangat penting bagi masyarakat Hindu di Bali terutama berperan untuk
beberapa penanda tentang kegiatan
upacara adat dan beberapa peristiwa. Dalam penelitian I Dewa Gede Ari Pemayun dan Anak Agung Putu Swabawa 2014, metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode obervasi, wawancara dan library research. Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif
kualitatif yaitu teknik untuk menguraikan dan menganalisis data yang telah terkumpul dan membantu untuk mengambil kesimpulan.
Perbedaan penelitian mereka dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah setting sosial di mana penelitian dilakukan. Penelitian Ari
Pemayun dan Swambawa hanya mengambil satu lokasi penelitian yaitu di desa Singapadu Gianyar. Lokasi tersebut dianggap masih melestarikan kulkul, terlihat
dengan adanya pengrajin kulkul di desa tersebut dan kulkul masih digunakan untuk berbagai fungsi. Berbeda halnya dengan penelitian ini, penulis memilih dua
konteks lokasi yang berbeda, di mana desa adat Kuta merupakan suatu daerah yang tergolong sangat modern, merupakan pusat destinasi pariwisata, suatu
wilayah yang orientasinya pada uang dalam artian investor masuk begitu banyak, sedangkan desa pakraman Sukahet yang sebagian besar wilayahnya merupakan
tanah persawahan, perkebunan, dan sebagian di antaranya juga merupakan tanah perbukitan. Kehidupan masyarakat di desa pakraman Sukahet tidak terlalu urban
suasana perkotaan seperti di desa adat Kuta, yang terkait dengan kehidupan industrialisasi, konsumsi gaya hidup modern, dan sosialita kehidupan gemerlap.
Kehidupan masyarakat desa pakraman Sukahet masih lekat oleh kehidupan pedesaan dengan mayoritas mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani dan
berkebun. Dalam penelitian ini, teknik analisis yang digunakan adalah analisis
interactive model Milles dan Huberman, berbeda dengan penelitian Isyanto yang menggunakan
metode deskriptif kualitatif yaitu teknik untuk menguraikan dan menganalisis data yang telah terkumpul dan membantu untuk mengambil
kesimpulan. Penelitian selanjutnya adalah penelitian dari A.Saleh dan N.Rizkawati
2009 yang berjudul “Efektifitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi” dengan kasus di Desa Bedoyo,
Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa wayang purwa tidak secara teoritis dalam mengajarkan ajaran dan nilai-nilai, melainkan
pengajaran secara kongkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang kongkret sebagai teladan. Wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nilai-
nilai itu secara kaku atau akademis. Di samping mengajak penonton untuk berpikir dan mencari sendiri, wayang juga mendidik penonton melalui hati dan
perasaannya dengan jalan cerita yang berisi adegan-adegan lucu, adegan mengharukan atau menyentuh hati, atau membuat hati geram.
Melihat hal tersebut, metode yang digunakan untuk menambah pengetahuan penontonnya adalah melalui contoh-contoh watak yang dimainkan dalam
pertunjukan wayang purwa. Dalam pembahasan mengenai karakteristik pertunjukan wayang purwa, dijelaskan bahwa masyarakat beranggapan bahwa
pertunjukan wayang purwa yang selama ini diselenggarakan sesuai dengan prosesi bersih desa. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait
dengan berbagai hal, antara lain tempat, waktu dan pelaku dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar tersebut, dikatakan bahwa dalam seni ada
spiritualitas dan dalam tradisi ada seni. Berdasarkan hasil pembahasan tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang
purwa, terdapat penjelasan bahwa pertunjukan wayang purwa sangat berdampak positif bagi perubahan sikap dalam masyarakat. Dalam hal ini wayang merupakan
bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah. Setiap penonton yang melihat pagelaran wayang yang dilihat bukan wayangnya
melainkan masalah yang tersirat dalam tokoh pelaku dalam pewayangan itu. Dalam penelitian ini, A.Saleh dan N.Rizkawati menggunakan kuisioner
sebagai alat pengumpulan data. Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei yang bersifat deskriptif korelasional. Analisa data pada penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15 for windows, yaitu statistik deskriptif dengan menggunakan khi kuadrat dan uji korelasi Tau Kendall.
Berdasarkan hal di atas, penulis menemukan perbedaan dengan penelitian A.Saleh dan N.Rizkawati. Perbedaan pertama terlihat dari obyek penelitiannya,
yaitu antara wayang dan kulkul. Kemudian perbedaan yang kedua berdasarkan jenis penelitiannya, di mana penelitian A.Saleh dan N.Rizkawati merupakan
penelitian survei yang bersifat deskriptif korelasional dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data, sedangkan penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dalam proses pengumpulan data.
Penelitian selanjutnya yang dijadikan kajian pustaka adalah penelitian I Wayan Suwija 2008 yang berjudul “Wacana Kritik Sosial Wayang Cenk Blonk,
Joblar, dan Sidia” yang memiliki tujuan untuk membahas enam permasalahan yang berkenaan dengan ketiga wayang tersebut yaitu: 1 Eksistensi dan
peminggiran kedudukan wayang kulit Bali, 2 Kemasan wacana kritik sosial, 3 Bentuk wacana kritik sosial, 4 Fungsi wacana kritik sosial, 5 sasaran dan
amanat wacana kritik sosial, dan 6 Tanggapan penonton terhadap wacana kritik sosial wayang
Cěnk Blonk, Joblar, dan Sidia. Pementasan wayang kulit tidak hanya sebagai media hiburan dan berfungsi sebagai ritual dalam kaitannya dengan
upacara keagamaan, para dalang masih sanggup mengedepankan unsur-unsur pendidikan dan wacana kritik sosial yang cukup menarik untuk dicermati dalam
pementasan wayang kulit. Ketiga objek penelitian tersebut merupakan konsep wayang kulit kreasi baru atau inovatif dari pertunjukan wayang kulit Bali yang
telah sanggup tampil beda, penuh dengan kreativitas dan inovasi oleh para dalangnya untuk dapat memikat kembali perhatian masyarakat. Berdasarkan hasil
wawancara Suwija dengan para informan, mereka menyetujui kreativitas dalang Cěnk Blonk, Joblar, dan Sidia, karena telah berhasil menampilkan pertunjukan
yang berbeda dengan wayang tradisional lainnya serta masih sanggup mengkomunikasikan dialog-dialog yang mengandung nuansa hiburan dan
pendidikan sehingga wayang kulit Bali tetap eksis dengan sebutan tontonan yang sekaligus menjadi tuntunan.
Dalam penelitian Suwija 2008, upaya membedah wacana kritik sosial tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga landasan teori, yaitu: teori wacana
naratif, teori resepasi sastra, dan teori dekonstruksi. Metode pengumpulan data dari penelitian Suwija ini menggunakan metode observasi, wawancara, studi
dokumen, dan kepustakaan. Metode dan teknik pengolahan data dilakukan secara deskriptif kualitatif yang meliputi kegiatan transkripsi, penerjemahan, dan analisis
data. Penyajian hasil penelitian Suwija menggunakan teknik formal dan informal. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian yang dilakukan I
Wayan Suwija adalah perbedaan objek penelitiannya. Selain itu teori yang digunakan penulis juga berbeda dengan landasan teori yang digunakan oleh I
Wayan Suwija.
2.2. Kerangka Konseptual