33
mengkaji seluk-beluk nilai dan norma budaya yang diinterpretasi berdasarkan makna, pesan, dan fungsi sebuah tradisi lisan. Lapisan tersebut termasuk mengkaji
kearifan lokal yang dapat diterapkan dalam menata kehidupan sosial berdasarkan nilai dan normanya. Dengan demikian, penelitian tradisi lisan secara idealnya
harus mampu mengungkapkan tiga lapisan kajian tradisi lisan atau tradisi budaya tersebut dengan karakteristik kajian masing-masing pada setiap lapisan Sibarani,
2014:20. Kajian bahasa dalam perspektif antropolinguistik dikaitkan dengan
kebudayaan Danesi, 2004; Duranti, 1997; Foley, 1997 dalam hasil penelitian Sibarani 2014:20. Dengan perspektif ini, kajian tradisi budaya yang dilakukan
bukan hanya menggali struktur bahasa dalam kaitannya dengan budaya, melainkan menggali konteks yang lebih luas seperti konteks situasi, konteks
budaya, konteks sosial, dan konteks ideology dan menggali konteks seperti unsur- unsur material dan paralinguistik yang bermanfaat untuk memahami keseluruhan
tradisi yang dikaji Sibarani, 2014:20.
2.2.2 Konsep Performansi, Indeksikalitas, dan Partisipasi
Dalam mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan manusia, pusat perhatian antropolinguistik Duranti, 1977 dalam jurnalnya
Robert Sibarani 2015:3, ditekankan pada tiga topik penting, yakni performansi performance, indeksikalitas indexicality, dan partisipasi participation.
Melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai
unsur lingual yang menyimpan sumber-sumber kultural tidak dapat dipahami
34
secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa tersebut. Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosofi Amerika Charles Sanders Pierce
yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks index, symbol symbol, dan ikon icon. Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada hubungan
alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai. Konsep indeks indeksikalitas diterapkan pada ekspresi linguistik seperti
pronominal demonstratif demonstrative pronouns, pronominal diri personal pronouns, adverbia waktu temporal expressions, dan adverbia tempat spatial
expressions. Konsep partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial social
actors.Menurut konsep ini, kajian tentang aktivitas sosial lebih penting dalam
kajian teks itu sendiri.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tradisi gotong-royongmerupakan kebiasaan berupa tindakan untuk melakukan sebuah aktivitas atau pekerjaan yang melibatkan orang-orang disekitar
kita atau kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, tradisi gotong- royong dapat juga diartikan sebagai salah satu kegiatan tradisional yang perlu
diwariskan dalam menata kehidupan sosial, terutama menyelesaikan persoalan- persoalan yang dihadapi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Tradisi
gotong-royong telah menjadi bagian dari praktik kehidupan masyarakat Batak Toba untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi sejak zaman dahulu.
Ada istilah gotong-royong dalam masyarakat Batak Toba yaitu marsirimpayang berarti mengerjakan sawah atau ladang secara bersama-sama secara bergantian
satu sama lainnya. Alasan gotong-royong disamakan dengan marsirimpa dalam Batak Toba adalah karena dalam melakukan marsirimpaditemukan unsur gotong-
royong yang dapat dimaknai dengan saling atau disebut dengan kebersamaan. Hampir semua aspek kehidupan orang Batak Toba pada zaman dahulu
diselesaikan dengan gotong-royong. Gotong-royong marsirimpa dilakukan karena seorang individu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan di ladangnya dengan
cepat. Suatu pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat kalau dilakukan secara bersama-sama. Seluruh kegiatan yang berhubungan dengan siklus mata
pencaharian yang mulai dari menanam, mengelola, dan memanen diselesaikan dengan gotong-royong. Selain itu, pelaksanaan upacara adat dalam siklus
kehidupan mulai dari upacara perkawinan sampai upacara kematian, dilakukan