Fenomena Tawuran Antar Mahasiswa: Studi Deskriptif Pada Mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara
Lampiran
Draft Wawancara
1. Bagaimana tanggapan yang dapat diberikan oleh informan mengenai terjadinya tawuran antar mahasiswa?
2. Bagaimana situasi ataupun keadaan yang dapat digambarkan oleh informan (pelaku/mahasiswa yang hanya menyaksikan) pada saat terjadinya tawuran?
3. Apa tanggapan informan mengenai penyebab terjadinya tawuran antar mahasiswa? 4. Bagaimana menurut informan bentuk solidaritas yang ada di antara mahasiswa yang
merupakan pelaku tawuran?
5. Hal-hal apa saja menurut informan yang menyebabkan pecahnya tawuran pada 30 Oktober 2011?
6. Bagaimana gambaran kejadian tawuran yang melibatkan baik mahasiswa maupun mahasiswi terutama pada saat lempar-melempar batu berlanngsung antara dua kelompok mahasiswa?
7. Apa saja yang dapat digambarkan informan kerusakan yang ditimbulkan setelah tawuran mereda?
8. Bagaimana tanggapan informan mengenai solidaritas mahasiswa yang semestinya memiliki makna posisitif malah mengarah ke makna yang negatif seperti tindak kekerasan berupa tawuran?
9. Kalangan mahasiswa mana sajakah menurut informan yang ikut terlibat dalam tawuran?
10. Apa tanggapan informan mengenai kejadian tawuran yang melibatkan kalangan mahasiswa yang seharusnya menjadi kaum intelektual/cendekiawan?
(2)
Daftar Gambar
Gambar 1 Suasana pada saat terjadinya tawuran antara mahasiswa Fakultas Teknik dengan mahasiswa Fakultas Pertanian di depan kompleks Fakultas Ekonomi. Tampak ada mahasiswa yang sedang memakai pakaian putih-hitam yang menandakan saat itu sedang berlangsung ujian.
(http://www.jakcity.com/news/2011/10/31/1478/mahasiswa-usu-tawuran diakses pada tanggal 5 November 2011)
(3)
Gambar 2 Suasana malam hari setelah tawuran sudah sedikit mereda.
(http://news.liputan6.com/read/352716/saling-ejek-mahasiswa-usu-baku-pukul diakses pada tanggal 17 November 2011)
Gambar 3 Pembubaran mahasiswa yang terlibat tawuran oleh pihak Polresta Medan. (http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=222148:pasc a-bentrok-mahasiswa-usu-libur&catid=77:fokusutama&Itemid=131 diakses pada 05 November 2011).
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2000. Sosiologi: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Arikunto, Suharsini. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Bernard, Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Raja Grafindo Persada. Harskamp van Anton. 2005. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kanisius Kartasapoetra, G, dan Kreimers, JB. 1987. Sosiologi Umum. Jakarta: Bina Aksara. Margaret, M. Poloma. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Narwoko, Dwi, dan Suyanto, Bagong. 2006. Sosiologi: Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada.
Nawawi, Hadari. 1992. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Novri, Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada.
Pruitt G. Dean; Rubin Z. Jeffreyy. 2011. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Purwanto, M. Ngalim. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Rahmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ritzer, George, dan J. Goodman, Douglas. 2008. Teori Sosiologi Modern (Edisi Keenam). Jakarta: Kencana.
Robbins, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi, Buku 1. Jakarta: Salemba Empat. Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sunarto, Kamanto, 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
(5)
Sumber Internet:
(http://daerah.sindonews.com/read/2014/03/05/25/841472/tawuran-mahasiswa-samratulangi-3-gedung-fakultas-teknik-dibakar diakses pada 8 Maret 2014) (http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik diakses pada 10 Oktober 2012) (http://kamusbahasaindonesia.org/tawur diakses pada 10 Oktober 2012)
(http://metropolitan.inilah.com/read/detail/1796903/tawuran-mahasiswa-gedung-kampus-unhas-terbakar diakses pada 20 November 2011)
(http://regional.kompas.com/read/2012/10/11/17303281/Tawuran..2.Mahasiswa.Tewas.di.Ma kassar diakses pada 12 Oktober 2012)
[email protected] 2011. Konformitas dan Penyimpangan. (Internet). (http://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2011/04/21/konformitas-dan
penyimpangan/ diakses pada 20 November 2011)
[email protected]. 2011. Sosiologi Konflik dan Kekerasan. (Internet). (http://www.scribd.com/doc/24472806/Sosiologi-Konflik-Kekerasan diakses pada 20 Desember 2011)
(http://www.antaranews.com/berita/282379/dua-kelompok-mahasiswa-usu-tawuran diakses pada 20 November 2011).
(6)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2006: 3). Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati.
Metode kualitatif digunakan dengan tiga pertimbangan. Pertama, menggunakan metode kualitatif lebih mudah digunakan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan; dan Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2006: 5).
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif merupakan prosedur penelaahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) atau peristiwa pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini merupakan langkah-langkah
(7)
melakukan representasi obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang di selidiki (Nawawi, 1992:39).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), Jl. Dr Mansyur No. 9. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi ini untuk penelitian karena lingkungan Universitas Sumatera Utara merupakan tempat berkumpul maupun tempat di mana mahasiswa sebagai informan baik itu yang merupakan informan utama maupun informan biasa dapat ditemui dalam melakukan aktifitas mereka pada proses perkuliahannya sehari-hari.
3.3 Unit Analisa dan Informan
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1997: 132). Adapun yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah:
Pada penelitian ini peneliti menggunakan informan sebagai sumber data penelitian, tidak menggunakan populasi dan sampel karena bentuk penelitiannya merupakan deskriptif dengan analisa kualitatif sehingga untuk memperoleh data yang dibutuhkan secara jelas, mendetail, akurat dan terpercaya hanya bisa diperoleh melalui informan.
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian, jadi ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian, ia berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal, segai anggota tim dengan kebaikannya dan dengan kesukarelaannya informan tersebut dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan kebudayaannya yang menjadi latar penelitian tersebut.
(8)
Dengan demikian, penulis menetapkan pihak-pihak yang menjadi informan utama, informan biasa pada penelitian ini secara sengaja, yakni dengan perincian
sebagai berikut:
a. Informan Utama
Yang menjadi informan utama dalam penelitian ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang pernah melihat (menyaksikan) secara langsung suatu tawuran mahasiswa antar fakultas ataupun yang terlibat secara langsung dalam kasus tawuran mahasiswa antar fakultas yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU).
b. Informan Biasa
Sedangkan yang menjadi informan biasa dalam penelitian ini adalah mahasiswa/i USU yang akan dimintai pendapatnya dan pandangannya tentang berbagai kasus tawuran mahasiswa antar fakultas di berbagai perguruan tinggi di Indonesia umumnya dan di Universitas Sumatera Utara khususnya yang makin sering terjadi akhir-akhir ini.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu:
a. Observasi
Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi ini bertujuan untuk memperoleh data yang dapat mendukung dari hasil wawancara sistematik. Aspek yang diobservasi, antara lain: interaksi kehidupan sosial supir baik di lingkungan kerja
(9)
maupun di dalam keluarga, meliputi: cara berbicara atau berinteraksi dan pola hidup sehari-hari yang tampak di lapangan, seperti makan, minum, sistem kerja dan sebagainya.
b. Wawancara sistematik
Wawancara sistematik (Bungin, 2001: 134) adalah wawancara yang dilakukan dengan terlebih dahulu pewawancara mempersiapkan pedoman (guide) tertulis tentang apa yang hendak ditanyakan kepada informan. Pedoman wawancara tersebut digunakan oleh pewawancara sebagai alur yang harus diikuti, mulai dari awal sampai akhir wawancara, karena biasanya pedoman tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga merupakan sederetan daftar pertanyaan, dimulai dari hal-hal yang mudah dijawab oleh informan sampai dengan hal-hal yang lebih kompleks. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih memuaskan, peneliti juga menggunakan wawancara mendalam (depth interview).
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Metode dokumentasi yang diterapkan ialah dengan cara mengumpulkan berbagai bahan, data, literatur dan tulisan tersebar lain yang berhubungan dengan berbagai tawuran antar fakultas di berbagai Universitas ataupun Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia.
3.5. Interpretasi Data
Bogdan dan Biklen (Moleong, 2006: 248) menjelaskan interpretasi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola,
(10)
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan objektivitas dan relevansi dengan masalah yang diteliti. Setiap data yang diperoleh, direkam dalam catatan lapangan, baik itu data utama hasil wawancara maupun data penunjang lainnya. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan interpretasi data yang mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil observasi diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data secara keseluruhan. Dari berbagai data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya akan dapat diperoleh kesimpulan dari penelitian ini.
(11)
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1 Sejarah Singkat Serta Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara
Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini.
Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro dan sekretaris Mr. Djaidin Purba.
Sebagai hasil kerjasama dan bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengandua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya dua orang wanita.
Kemudian disusul dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1954), Fakultas Keguruandan Ilmu Pendidikan (1956),dan Fakultas Pertanian (1956).
(12)
Pada tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia.
Pada tahun 1959, dibuka Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I. kemudian disusul berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960) di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua fakultas di Banda Aceh.
Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965),Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2006), dan Fakultas Psikologi (2007), serta Fakultas Keperawatan (2009).
Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).
Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan USU telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh. Kemudian disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan (UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah itu, berdiri Politeknik Negeri Medan (1999) yang semula adalah Politeknik USU.
Kampus USU berlokasi di Padang Bulan, sebuah area yang hijau dan rindang seluas 120 ha yang terletak di tengah-tengah Kota Medan. Zona akademik seluas 90 ha menampung
(13)
hampir seluruh kegiatan perkuliahan dan praktikum mahasiswa. Sistem pembelajaran didukung oleh fasilitas perpustakaan dan lebih dari 200 laboratorium. Perpustakaan menyediakan berbagai jenis sumber belajar baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. Perpustakaan USU merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia saat ini. Kampus USU Padang Bulan juga didukung oleh infrastruktur teknologi informasi untuk memfasilitasi akses terhadap berbagai sumber daya informasi dan pengetahuan untuk mendukung proses pembelajaran dan penelitian mahasiswa dan tenaga pendidik.
Pimpinan Universitas Sumatera Utara
1958-1962 Z. A. Soetan Koemala Pontas, Ketua Presidium
1957-1958 Prof. Dr. Ahmad Sofian, Presidium
1962-1964 Prof. Mr. Mahadi, Ketua Presidium
1964-1965 Ulung Sitepu, Presidium
1965-1966 Drg. Nazir Alwi, Rektor
1966 (Mei-Nov) Prof. Dr. S. Hadibroto, M.A., Pejabat Rektor
1966-1970 Dr. S. Harnopidjati, Rektor
1970-1978 Harry Suwondo, SH, Rektor
1978 (Mei-Juli) O. K. Harmaini, SE, Ketua Rektorium
(14)
1986-1994 Prof. M. Jusuf Hanafiah, Rektor
1994-2010 Prof. Chairuddin P. Lubis, D.T.M.&H., Sp.A.(K), Rektor
2010-2015 Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A.(K)
4.2 Interpretasi Data Penelitian
4.2.1 Temuan Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Konflik kekerasan dalam bentuk tawuran mahasiswa yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU) yang dilakukan antar fakultas dengan fakultas lainnya, fakultas dengan kelompok mahasiswa adalah bentuk sebuah fenomena konflik kekerasan sebagai perwujudan dari konflik yang tidak dapat diselesaikan secara damai. Bentuk konflik yang dilakukan oleh mahasiswa adalah konflik kekerasan yang ditandai dengan adanya perusakan, penyerangan, pembakaran dan bahkan mungkin pembunuhan. Apabila ditelaah dari sifat konflik tawuran mahasiswa di USU dapat disimpulkan bahwa konflik mahasiswa dapat berupa aksi kekerasan personal pada mulanya dan kemudian menjadi aksi kekerasan yang bersifat kolektif dan menyeluruh. Sebagian besar konflik kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa berawal dari konflik dan aksi kekerasan personal, seperti tindakan saling mengejek, pemukulan terhadap mahasiswa dari fakultas lain, kelompok atau jurusan, kemudian membentuk solidaritas fakultas ke arah yang sifatnya ‘bersatu untuk menyerang’, selanjutnya menjadi konflik kekerasan yang sifatnya kolektif.
Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik di kampus USU biasa di awali oleh masalah-masalah sepele seperti pemukulan terhadap mahasiswa baru, ada
(15)
pihak lain yang memprovokasi mahasiswa, dan adanya pelemparan isu yang dapat menyebabkan konflik antar mahasiswa. Kemudian massa puncak konflik adalah pada saat penerimaan mahasiswa baru. Proses sebelum menuju konflik biasanya dibicarakan terlebih dahulu oleh mahasiswa dari masing-masing fakultas yang terlibat konflik. Apabila banyak mahasiswa yang tidak setuju untuk melakukan aksi balas dendam maka konflik tersebut pasti tidak akan terjadi, begitu pula sebaliknya.
Sisi lainnya sebagai sumber pemicu konflik adalah terbatasnya sumber sosialisasi positif yang dibutuhkan mahasiswa, lemahnya norma yang mengikat mereka, melemahnya solidaritas kolektif, atau semangat perguruan tinggi (semangat akan menjadi mahasiswa Universitas, bukan fakultas), bergeser ke semangat fakultas ataupun kelompok. Begitupun bergesernya semangat bersatu dalam perbedaan. Selain itu yang menjadi salah satu faktor utama penyebab konflik antar mahasiswa adalah pada saat pengkaderan tingkat fakultas, yang dimana pada saat pengkaderan tersebut mahasiswa baru didoktrin oleh senior mereka bahwa kalian disini tidaklah sendiri tetapi banyak saudara-saudara kalian yang siap membantu bila kalian mengalami masalah nantinya.
Salah seorang mahasiswa yang ikut dalam kasus tawuran antara mahasiswa Fakultas Teknik dengan mahasiswa Fakultas Pertanian Oktober 2011, AG, mengklaim bahwa memang ada rasa solidaritas yang sangat tinggi di antara mahasiswa yang terlibat tawuran. Dia menceritakan bagaimana peristiwa tawuran tersebut terjadi, terutama ketika aksi saling lempar batu berlangsung. Bahkan ia mengambarkan pada saat saling lempar batu terjadi di antara kedua belah pihak, ada beberapa mahasiswi yang ikut ‘ambil bagian’.
“Aslilah kejadiannya seru-seram ‘kali, bang. Lempar-lempar batu mulai dari perbatasan teknik itu, sampe kami bikin orang itu mundur ke dekat Fakultas Hukum. Kalo yang cowok udah habis
(16)
batunya, yang cewek-cewek ikutlah bantuin; nyari trus ngasih batu-batu ke cowok-cowoknya biar ada yang bisa dilemparkan.”
Dia menambahkan, dampak kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya pada gedung serta fasilitas kampus saja, tetapi juga pada sejumlah kendaraan roda dua yang merupakan milik beberapa mahasiswa, meski dia dengan tidak detail menjelaskan bagaimana bentuk kerusakannya.
“…ada sekitar dua kereta yang rusak, bang. Nggak tahu kereta siapa aja itu. Beneran mencekam suasananya, apalagi pas udah malamnya itu, bang.”
Salah seorang pelaku tawuran tersebut, TS, mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi antara mahasiswa Fakultas Pertanian dengan Fakultas Teknik, bukanlah merupakan hal yang baru terjadi. Bahkan ia mengatakan dengan setengah berseloroh bahwa perselisihan antara Fakultas Pertanian dengan Fakultas Teknik sudah seperti sebuah el clasico. Karena pada beberapa tahun sebelumnya juga pernah terjadi perkelahian antar kedua fakultas ini. Namun, permasalahan diantara kedua belah pihak tidak pernah lagi sampai pada ‘skala besar’ sampai dengan kejadian pada tanggal 30 Oktober 2011 yang lalu. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 Oktober 2011 yang lalu juga diawali dengan beberapa kejadian yang akhirnya memicu perkelahian yang lebih besar.
“Kalo gak salah, kejadiannya di hari kedua PMB, dek. Hanya karna persoalan sepele ajanya. Barislah adek-adek Maba kami itu di lapangan, sebagian memang ada yang sampe ke trotoar, nah, pas itu datanglah barisan orang itu, kesenggollah barisan belakang Maba kami. Udah gitu, layas ‘kali pula lagi gayanya, sambil kayaknya ngejek gitu. Mulai dari situ, sebagian senior kami datangi orang itu. Bukan cuma dari satu jurusan, hampir semua
(17)
pun mendatangi orang itu. Udah gitu, entah gimana pas didatangi senior-senior kami itu, pecahlah perang ‘tu.”
Berdasarkan kutipan wawancara diatas, dapat dilihat bahwa permasalahan yang sederhana dapat memunculkan perkelahian. Meskipun permasalahan tersebut mungkin hanya dialami oleh mahasiswa Departemen Teknik Mesin, namun mahasiswa Fakultas Teknik lainnya (selain Departemen Teknik Mesin) juga turut membela kepentingan Departemen lainnya. Tidak bisa dipungkiri, hal ini mencerminkan solidaritas fakultas yang sangat tinggi.
Hal itu diamini oleh seorang informan penulis, SA:
“Faktor penyebabnya karena ketika begitu kita masuk ke kampus kita kemudian memiliki identitas yang berbeda-beda yang mana kemudian melahirkan sebuah perbedaan pastinya karena kita masuk ke kampus akhirnya kita punya budaya dan cara pandang yang berbeda dan akhirnya kita diberikan identitas yang berbeda bukan ada dengan sendirinya karena itu merupakan sistem yang diatur yang pada akhirnya kita punya kultur yang berbeda”.
Solidaritas yang ada di antara mahasiswa yang berasal dari fakultas yang sama sayangnya diwujudkan ke dalam tindak kekerasan. Salah seorang mahasiswa yang diwawancari penulis dari Fakultas Pertanian, PD, mengatakan ada sebuah rasa kolektifitas yang sangat besar di antara mahasiswa fakultas tersebut, terlebih jika konteksnya merupakan bentuk ancaman fisik dari kelompok mahasiswa dari fakultas lain. Dia juga menambahkan, hal ini ditambah ada rasa gengsi yang tinggi bahwa ‘rivalitas; yang sudah menahun dan mendalam di antara kedua fakultas, yaitu Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik, yang sudah dianggap bagi banyak kalangan merupakan yang paling disegani di USU.
(18)
“Gak ada ceritalah kalo bicara soal solidaritas di Fakultas Pertanian, dek. Satu orangnya nanti misalnya dari Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan kena pukul, kawannya yang lain nanti bisa langsung teriak ke kawan-kawan Pertanian lain; ‘Wooooiiii…. PERTANIAN diserang!’. Jadi gak cuma satu Jurusan nanti yang gerak, tapi langsung satu fakultas kita ini, dek.”
AP, mahasiswa FISIP yang kebetulan berada di lokasi menyaksikan kejadian tersebut, mengatakan keadaannya saat itu betul-betul kacau tak terkendali. Dia juga mengatakan betapa solidaritas antar mahasiswa yang berasal dari fakultas yang sama sangat kuat. Seperti pada saat ia hendak mengabadikan kejadian tersebut dengan kamera ponselnya, tiba-tiba datang seorang mahasiswa dari salah satu fakultas yang bertikai mengancam agar ia mengurungkan niatnya untuk mengabadikan kejadian tersebut, yang mana langsung diikuti oleh kawan-kawannya yang lain terhadap orang-orang yang hendak melakukan hal yang serupa.
“Suasananya kaco, lae. Anak Pertanian terdesak sama anak Teknik. Trus pas aku mau motoin orang itu, tiba-tiba ada yang ngacungin balok kayunya ke aku sambil bilang; ‘simpan kameramu itu, sempat ku campakkan nanti itu!’. Ada juga kami liat pas disitu juga entah wartawan dari media mana itu kena intimidasi sama orang itu biar dihapus itu gambar-gambarnya dari kameranya si wartawan.”
Terbentuknya solidaritas fakultas, kelompok ataupun jurusan lebih pada upaya untuk memperjuangkan nilai -nilai, status sosial, kekuasaan dan berbagai sumberdaya yang langkah dengan cara melemahkan, merusak ataupun menghancurkan pihak lawan. Hal
(19)
ini tampak dalam setiap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa, selain berdampak adanya korban jiwa juga terjadinya perusakan pada sarana dan prasarana seperti gedung kuliah, sekretariat kemahasiswaan dan fasilitas-fasilitas rutin mahasiswa.
Konflik antar mahasiswa yang terjadi di dalam lingkungan kampus pemicunya terkadang kurang jelas, bahkan hanya berupa isu, kemudian meningkat menjadi aksi saling tuding di antara dua kelompok mahasiswa hingga akhirnya berujung pada tindak kekerasan. ZL, salah seorang yang ikut ke dalam pertikaian tersebut memberikan gambaran bagaimana kronologi timbulnya tawuran tersebut.
“Yang tanggal 31 Oktober itu udah tinggal masalah kecil aja. Tapi karna memang udah ‘panas’ sebelumnya, ya jadinya cepat ‘tebakar’-nya langsung. Jadi, kemaren itu adalah anak Teknik 2011 yang lagi jalan lewat Pertanian. Baru tiba-tiba dari belakang adalah yang tereak-tereak entah apa, ‘kan gitu. Gitu nyampe di kampus, dikesitau si adek inilah sama kawan-kawannya, sama seniornya juga yang kebetulan ada disitu. Geraklah semua datangi Pertanian. Disitulah mulai kami yang serang orang itu, lempar batu, trus anak Mesin bawa peralatannya masing-masing. Peranglah pas situ. Malamnya pun, masing-masing ngatur strategi. Kami ngumpul di kampus semua untuk bicarakan rencana berikutnya gimana. Mereka pun ngumpul juga, dengar-dengar katanya di Kampung Susuk. Soalnya kemaren ada yang bilang jalan dari Kampung Susuk ke kampus ditutup, jadi harus mutar kalo mau ke kampus. Malamnya tiba-tiba kami diserang duluan sama Pertanian.
(20)
Makanya lab-lab kami ada yang rusak. Kami pun serang baleklah. Pas polisi datang, mulailah belarian semua.”
Seorang mahasiswi, LM, yang juga menjadi informan penulis ikut memberikan keterangan mengenai gambaran tentang tawuran tersebut:
“Tepat pas lempar-lempar batu itu aku berdua sama kawan cuma bisa lihat sekilas aja dari kejauhan. Memang ada kami liat cewek-ceweknya yang ngasih batu ke yang cowoknya. Tapi kami nggak mau ikutlah. Takut kena pulak jadinya. Udah kayak perang apalah pas kejadiannya itu, bang. Rusuh ‘kali.”
Sementara hasil wawancara penulis dengan salah seorang mahasiswa dari Fakultas ISIPOL, AM, ketika dimintai pendapatnya bagaimana kejadian semacam ini dapat terjadi, dia berkata:
“Pendapat saya hal itu terjadi dikarenakan adanya disorientasi akan fungsi mahasiswa. Penyebabnya dikarenakan adanya kelompok tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok-kelompoknya sendiri. Dalam hal ini, ada ego yang bermain. Akhirnya ketika kepentingannya diusik/diganggu, maka orang/kelompok tersebut akan merasa tersinggung dan timbullah perilaku massa yang tak terkendali yang disebut dengan tawuran. Selain itu karena merasa harga dirinya dilecehkan. Walaupun masalahnya itu sepele, misalnya ‘panggilan’ atau ‘julukan’ yang diberikan oleh kelompok lain kepada anggota kelompoknya, dapat memicu perselisihan. Meskipun cuma satu anggota yang diejek, tapi semua anggota kelompok merasa tersinggung. Terjadilah tawuran. Trus, karna kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan yang
(21)
positif. Misalnya kegiatan organisasi mahasiswa yang bisa membuat mahasiswa melakukan sesuatu yang berguna baginya dan bagi orang-orang disekitarnya. Kalau mahasiswa yang mengikuti sebuah organisasi akan memiliki kegiatan, sedangkan mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan organisasi akan cenderung untuk ikut-ikutan dalam aksi-aksi seperti tawuran ini. Karena ga ada kerjaannya yang lain.
Pertanyaan yang demikian juga penulis tanyakan kepada salah seorang mahasiswi Fakultas Ekonomi, NHA. Dia menanggapi bahwa sudah ada semacam salah dalam memaknai yang sebenarnya dari konsep solidaritas mahasiswa pada satu fakultas, yang mengakibatkan timbulnya pola perilaku negatif.
“Kalo menurutku, yang jadi penyebab tawuran itu bisa muncul karna adanya salah paham akan hal yang sepele dan juga salah paham akan konsep solidaritas yang mereka dapatkan di fakultas masing-masing. Jelasnya gini, bang, udah gak sesuai lagi pemahaman mereka itu tentang solidaritas antar mahasiswa satu fakultas yang sebenarnya. Akibatnya perilaku yang gak bener yang ditunjukkan”.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah seorang informan, TKD , dia menyebutkan bahwa persoalannya adalah kadang-kadang dimulai dari persoalan personal ataupun pribadi kemudian melibatkan etnisitas, golongan dan institusi baik itu jurusan, kelompok, maupun fakultas. Selain itu, adanya ikatan pertemanan dalam satu kelompok tertentu turut mewarnai aksi kolektifitas sehingga masalah personal tersebut menjadi masalah besar.
(22)
“Persoalannya kadang-kadang persoalan pribadi satu orangnya, dek. Tapi bisa jadi merembet ntah gimana ke persoalan suku, trus lanjut ke persoalan jurusan atau kelompok tertentu. Mungkin kebetulan pula orang-orang yang didalamnya yang udah ‘sesepuh’, ‘kan. Jadinya gampanglah persoalannya jadi besar entah kemana-mana jadinya arahnya.”
Pandangan di atas jelas didukung kenyataan bahwa terkadang—bahkan seringkali terjadi—tawuran mahasiswa diawali oleh masalah yang sifatnya sepele, seperti rasa ketersinggungan yang berawal dari bersenggolan di jalan, pemukulan, perasaan akan disepelekan atau diremehkan oleh mahasiswa fakultas lain. Hal ini pula yang menjelaskan bahwa di dalam benak mahasiswa yang terlibat ke dalam perselisihan tersebut sudah cenderung tertanam solidaritas kelompok in-group dan out-group yang memandang mahasiswa yang berasal dari luar fakultasnya merupakan saingan atau bahkan merupakan lawan bagi fakultasnya.
Adanya sebuah pemikiran mengenai solidaritas kelompok in-group dan out-group yang ‘dianut’ oleh mahasiswa pelaku tawuran yang mana dapat pula dikatakan sebagai ego fakultas di dalam konteks permasalahan ini telah mengarahkan pemikiran orang-orang yang berada di luar kelompok tersebut memilki anggapan yang cenderung negatif terhadap mahasiswa tersebut. Sebagai contoh, mahasiswa di luar Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian akan mengatakan bahwa semua mahasiswa Fakultas Teknik atau Fakultas Pertanian semuanya—dengan langsung mengeneralisir—‘tukang berkelahi’ atau ‘tukang buat rusuh’.
Seperti hasil kutipan wawancara penulis mengenai hal di atas dengan salah satu mahasiswa, ESN, berikut ini:
“Kalo menurutku, ada ego yang ditunjukkan anak-anak Teknik sama Pertanian. Ego fakultas,‘gitu kali, ya? Jadi ‘kan kesannya
(23)
orang itu asal ada masalah dikit aja sama anak fakultas lain kayaknya langsung mau main berantam aja. Dikit aja ada masalah, langsung panas ‘kali jadinya.”
Lembaga kemahasiswaan yang kental dengan semangat pengkaderan telah menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan sebagai wujud mengepresikan peran dan fungsi mahasiswa dalam konteks pemberdayaan potensi mahasiswa. Realitas dilembaga kemahasiswaan bahwa pengkaderan menggunakan konsep yang beragam. Bahkan dalam setiap penerimaan mahasiswa baru sering ditemukan berbagai dogmatis dilakukan kelompok senior yang berdampak pada munculnya rasa lebih, kebencian, rasa perlawanan, terhadap kelompok-kelompok lainnya apakah berbeda fakultas, jurusan bahkan dendam lama yang terus dipertahankan.
Pengkaderan tingkat fakultas juga sangat beresiko untuk terjadinya konflik. Karena tiap fakultas masing-masing mau menunjukkan bahwa fakultas merekalah yang terbaik diantara fakultas lain. Apalagi fakultas teknik mereka merasa bahwa fakultas merekalah yang paling berkuasa di kampus.
Tawuran yang terjadi antarmahasiswa di kampus Universitas Sumatera Utara hanya terjadi di dalam kampus saja. Itu dikarenakan tiap fakultas harus menjaga fakultas mereka jangan sampai dihancurkan oleh fakultas lain dan faktor solidaritas yang tinggi yang membuat mahasiswa bersatu untuk melawan fakultas yang lain. Tidak seperti dikampus-kampus lainnya yag mana jikalau terjadi tawuran antar mahasiswa di dikampus-kampus itu akan berlanjut hingga di luar kampus dan bahkan sampai menelan korban jiwa.
Tindakan kekerasan yang terwujud dalam tawuran mahasiswa ini juga dapat diartikan sebagai pelepasan ketegangan sebagai akibat dari perubahan sosial yang cepat dan ekstensif yang menciptakan ketidakpastian, kebimbangan, dan tekanan yang berakumulasi sehingga orang mencari kesempatan untuk melepaskannya dalam bentuk protes kekerasan dan aksi
(24)
massa. Kerusuhan dan kekacauan merupakan reaksi orang kebanyakan yang sudah lama ada terhadap kesukaran dan keluhan. Sekelompok massa dengan masalah, keluhan atau harapan yang sama menjadi sadar akan kesamaan nasibnya, sehingga menimbulkan respon terhadap ketegangan yang tak terpecahkan.
Salah satu faktor utama yang menjadikan mahasiswa berani untuk melakukan tindak kekerasan terhadap mahasiswa lain karena pada saat pengkaderan tingkat fakultas para mahasiswa baru tersebut di tanamkan secara mendalam oleh senior mereka bahwa mereka dikampus itu tidaklah sendiri tetapi banyak saudara-saudara mereka yang akan siap membantu bila mereka mendapat masalah nantinya. Karena faktor itulah yang membuat para mahasiswa baru siap melakukan apa saja yang di “perintahkan” oleh senior-seniornya. Itulah yang menjadi faktor mengapa mereka berani untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap mahasiswa fakultas lain karena pada saat mereka didoktrin oleh senior mereka itu sudah terbangun pola pikir yang baru bagi mahasiswa baru bahwa di kampus ini saya tidak sendiri.
(25)
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tawuran yang terjadi antar mahasiswa ini merupakan wujud fenomena delikuensi situasional yang mendorong mereka spontan melakukan tawuran sekalipun kadang yang menjadi sumber masalah sangat sepele. Dalam perspektif sosiologi, tawuran antara mahasiswa disebabkan adanya pemahaman yang sempit dalam melihat keberadaan kelompoknya sebagai in-group dan orang di luar kelompoknya dipandang sebagai sebuah out-group yang menganut nilai-nilai yang berbeda sekalipun berada dalam satu kelompok sosial yang sama, yakni universitas. Begitulah apa yang yang tergambar pada kasus tawuran di Universitas Sumatera Utara.
Rasa dendam terhadap kelompok mahasiswa lain yang diikuti oleh kesetiakawanan (solidaritas) menjadi pemicu utama terjadinya tawuran. Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi, maka sekelompok orang membalas perlakuan yang disebabkan kelompok lain yang dianggap merugikan individu dalam kelompok atau mencemarkan nama baik kelompok tersebut, meski pada awalnya merupakan hasil dari singgungan masalah sepele. Dua faktor yang mendasar ini dapat dengan jelas kita pahami sebagaimana dengan hasil dari beberapa gambaran serta tanggapan mahasiswa/i di atas.
Adanya pemahaman yang salah soal solidaritas antara mahasiswa dalam setiap fakultas yang menyebabkan lebih kuatnya pemaknaan solidaritas dalam arti sempit. Solidaritas dimaknai sebagai urusan kita bersama dan harus kita selesaikan secara bersama-sama. Kuatnya ego antar fakultas juga turut menjadi pendorong terjadinya tawuran karena satu sama lain merasa lebih hebat dari fakultas lain.
(26)
Faktor lain yang menjadi pemicu tawuran antar mahasiswa karena lingkungan kampus tidak bisa lagi menyediakan ruang untuk berdialog dan berkomunikasi di antara mahasiswa yang berbeda fakultas. Artinya adanya semacam sekat-sekat sosial yang dibangun secara tidak sadar oleh kalangan civitas akademika di tingkat fakultas di antara mahasiswa yang berbeda fakultas.
Hal yang demikian ini menyebabkan sulit untuk melakukan dialog dan komunikasi. Kohesi sosial yang seharusnya bisa diciptakan antara mahasiswa yang berbeda fakultas, justru tidak terwujudkan yang terjadi adalah ego yang melihat fakultas lain sebagai out group yang berbeda satu sama sama lain sekalipun berada dalam universitas yang sama.
Dengan demikian, dapat dirangkum beberapa kesimpulan yang menyebabkan tawuran serta menggambarkan solidaritas yang terjalin di antara mahasiswa seperti yang telah diuraikan di atas sebagai berikut:
1. Tindakan tawuran yang terjadi dikampus Universitas Sumatera Utara diakibatkan karena “doktrin” beberapa senior kepada junior untuk menunjukkan kekuasaan serta fakultas mereka-lah yang terbaik di kampus. Kemudian kurangnya komunikasi yang baik antar fakultas serta kurangnya kegiatan seni atau hal apapun yang berkaitan dengan kretifitas kemahasiswaan antar fakultas yang membuat mahasiswa tidak menyadari bahwa konflik yang terjadi dikampus tidak berdampak positif baik untuk mahasiswa sendiri dan para alumni karena masing-masing fakultas lebih mementingkan ego. Sehingga melahirkan sebuah istilah ego fakultas, yang dilandasi oleh “semangat korsa” di antara mahasiswa. 2. Tawuran yang terjadi antar mahasiswa di kampus Universitas Sumatera Utara
diakibatkan oleh kesalahpahaman antar mahasiswa fakultas yang berbeda, ketersinggungan antar mahasiswa yang berbeda fakultas, dan hal lainnya yang
(27)
sebenarnya merupakan masalah sepele dikarenakan oleh irasional berpikir yang berakar dari ego fakultas seperti yang telah disebutkan di atas.
5.2 Saran
Sejatinya, semua gejala-gejala yang dapat memicu terjadinya tawuran dalam sebuah universitas apalagi yang bersifat destruktif hendaknya sejak awal dapat diantisipasi oleh semua pimpinan universitas. Sangat memalukan rasanya bila mahasiswa yang dianggap sebagai kelompok intelektual masih lebih mengandalkanotot dari pada otak dalam menyelesaikan masalah. Di samping itu bisa dikatakan bahwa tawuran yang terjadi antara mahasiswa dalam satu universitas sesungguhnya lebih menunjukan adanya sesuatu yang tidak sehat sedang terjadi di lingkungan kampus dalam proses interaksi di antara mahasiswa yang beda fakultas.
Diharapkan adanya keefektifan dan pembinaan yang berkelanjutan serta penguatan nilai-nilai sosial yang mampu membangun rasa kebersamaan, soliditas dan solidaritas di kalangan mahasiswa dan bukan sebaliknya muncul kebersamaan. soliditas dan solidaritas yang dimaknai secara sempit yang hanya melihat kelompoknya sebagai sebuah in group yang menganut nilai-nilai yang berbeda dengan kelompok lainnya sekalipun mereka berada dalam sebuah komunitas besar yang disebut dengan universitas. Selama adanya persepsi mahasiswa yang melihat kelompoknya (fakultasnya) sebagai sebuah in-group dan fakultas lain sebagai sebuah out-group, maka akan mudah menyulut terjadinya tawuran antara mahasiswa yang berbeda fakultas dengan masalah pemicu yang tidak besar.
Universitas sebagai sebuah rumah besar seharusnya bisa lebih mendorong pembinaan mahasiswa kearah yang lebih mengkuatkan rasa kebersamaan, soliditas dan solidaritas yang mampu mewujudkan kesamaan pandang bahwa sesunggunhya kampus merupakan tempat
(28)
tinggal komunitas akademik yang berisi civitas akademika yang sama-sama bertanggungjawab untuk menjaga kondusifnya lingkungan kampus sebagai pusat pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Dialog dan komunikasi yang terus menerus yang melibatkan semua civitas akademika harus mampu ditumbuh kembangkan di lingkungan kampus sehingga tidak terjadi lagi gap komunikasi dan pandangan in-group dan out-group di antara mahasiswa yang berbeda fakultas. Pemahaman yang lebih menekankan kepada terbangunnya semangat dan nilai-nilai kebersamaan, soliditas dan solidaritas dalam sebuah rumah besar yang disebut dengan universitas seharusnya telah tertaman dalam diri setiap civitas akademika.
Terciptanya hubungan yang didasarkan kepada semangat gemeinschaft—memakai pemikiran sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies—menjadi sesuatu yang sangat penting artinya untuk dipupuk terus sehingga mewujudkan hubungan ikatan batin yang kuat, murni dan sifatnya jangka panjang dalam rangka mewujudkan esprit de corps di antara semua mahasiswa yang merupakan warga kampus. Dengan kata lain ada rasa persaudaraan yang erat di antara mahasiswa dengan tidak lagi memandang perbedaan yang didasarkan pada fakultas kapan dan dimanapun.
Berikut merupakan beberapa saran yang kiranya dapat menjadi masukan bagi semua kalangan yang ada hubungannya dengan fenomena tawuran antar mahasiswa ini.
1. Para pendidik (dosen) serta orang tua dari mahasiswa harus mampu memberikan pemahaman, pengertian dan penilaian ekstra bahwa hal-hal yang seperti tawuran ini jangan dijadikan sebagai edukasi konyol dan pengalaman buruk yang mana hal yang didapatkan hanyalah kehancuran/kerusakan dan ketidaknyaman dalam mengejar pendidikan serta ilmu yang nantinya mahasiswa akan diaplikasikan.
2. Para peserta didik (mahasiswa) harus lebih dekat dalam upaya membantu bangsanya sendiri dengan gerakan berhadapan dengan birokrasi sosial sebagai salah satu akibat
(29)
dari adanya kebijakan seharusnya mahasiswa mempunyai perubahan dengan gerakan moral perkembangan karakter sebagai kontrol sosial dan sebagai perubahan.
3. Pengambilan kebijakan serta keputusan tidak boleh bertindak gegabah serta tidak sepihak dalam memutuskan hal-hal seperti itu, tapi setidaknya orang-orang yang berhak memutuskan suatu sanksi dalam resiko konflik ini adalah mahasiswa yang tidak memiliki rasa akuntabilitas serta tanggung jawab secara relevan dan harus diberi sanksi dan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang di lakukan oleh mahasiswa.
4. Adanya sosialisasi yang berkelanjutan dari pihak Universitas mengenai rasa kekeluargaan yang secara menyeluruh bagi setiap mahasiswa yang ada di Universitas Sumatera Utara dengan tidak membeda-bedakan setiap fakultas diluar dari fakultasnya sendiri. Perlu diterapkan hal-hal yang mampu menjalin dan meningkatkan esprit de corps (semangat korsa) pada diri semua mahasiswa tanpa ada sekat dikarenakan perbedaan fakultas. Sehingga mampu menunjukkan eratnya tali persaudaraan di Universitas Sumatera Utara.
(30)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Fungsionalisme Struktural
Teori Fungsionalisme struktural jika dilihat dari etimologinya terdiri dari fungsi/fungsional yang berarti penggunaan sesuatu hal (dengan imbuhan -isme) faham mengenai penggunaan atas sesuatu hal, dan struktural berkenaan dengan struktur berarti susunan atau bangunan yang disusun dengan pola tertentu. Teori fungsionalisme pertama kali dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons. Talcott Parsons adalah seorang sosiolog yang lahir pada tahun 1902 di Colorado, Amerika Serikat. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang memiliki latar belakang yang saleh dan intelek. Ayahnya adalah seorang pendeta gereja Kongregasional, seorang profesor dan presiden dari sebuah kampus kecil. Parsons mendapat gelar sarjana dari Amherst College tahun 1924 dan melanjutkan kuliah pasca sarjana di London School of Economics. Pada tahun berikutnya, dia pindah ke Heidelberg, Jerman. Max Weber menghabiskan sebagian kariernya di Heidelberg, dan meski dia wafat lima tahun sebelum kedatangan Parsons, Weber tetap meninggalkan pengaruh mendalam terhadap kampus tersebut dan jandanya meneruskan pertemuan-pertemuan di rumahnya, yang juga diikuti oleh Parsons.
Parsons sangat dipengaruhi oleh karya Weber dan sebagian disertasi doktoralnya di Heidelberg membahas karya Weber. Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber, Auguste Comte, Emile Durkheim dan Vilfredo Pareto. Hal tesebutlah yang menyebabkan teori Struktural Fungsional Talcott Parsons bersifat kompleks.
(31)
A. Konsep Pemikiran Teori Fungsionalisme Struktural
Teori Fungsionalisme Struktural dipengaruhi oleh adanya asumsi kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
B. Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma.
(32)
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
C. Analisis Fungsional Struktural dan Diferensiasi Struktural
Sebagaimana telah diuraikan bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Talcott Parsons menyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan evolusioner. Perlu diketahui bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang
(33)
menunjuk pada sibernetika teori sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.
D. Relevansi Teori Fungsionalisme Struktural Terhadap Fenomena Tawuran Antar Mahasiswa
Berangkat dari asumsi dasar bahwa mahasiswa/pelajar sebagai masyarakat yang terintegrasi atas dasar kesepakatan, akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga para mahasiswa tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian para mahasiswa merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Ini menjelaskan bahwa ketika telah disepakati sebagai seorang peserta didik (mahasiswa) dengan berbagai hal yang terkait seperti mengenai hak dan kewajiban siswa sebagai kaum terdidik ialah merasa bersatu antara satu dengan yang lainnya, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Hendaknya dari sudut pandang teori ini mampu mencapai tujuan yakni menciptakan kultur persatuan dan kebersamaan, tidak malah saling menyerang, menyalahkan dan terjadi perpecahan.
E. Analisis Teori Fungsionalisme Struktural Terhadap Fenomena Tawuran Antar Mahasiswa Tawuran yang terjadi antar mahasiswa ini dapat dianalisis melalui struktur dan tindakan. Ini melalui perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang melibatkan persyaratan fungsional tersebut. Berdasarkan teori ini hendaknya terjadi suatu kesadaran
(34)
diantara pelajar karena berdasarkan ide dan nilai (norma-norma) untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya tindakan terjadi dengan kondisi yang unsurnya sudah pasti. Tawuran sebagai tindakan pada suatu kondisi yang mungkin unsur-unsur yang terdapat diantara alat, tujuan, situasi, dan norma ada yang tidak benar (salah). Dalam kejadiannya individu mahasiswa tidak hanya dipengaruhi oleh unsur tersebut namun juga oleh orientasi subjektifnya masing-masing.
Teori fungsional struktural secara ideal menganggap organisasi biologis dan struktural sosial merupakan sebuah asumsi yang sama saling berhubungan dan saling ketergantungan serta terintegrasi berdasarkan, ide, nilai dan norma yang dipengaruhi oleh fungsi dan syarat dalam mencapai tujuan yang disepakati yaitu kesadaran dan kebersamaan dalam masyarakat. Terjadinya tawuran merupakan sebuah tindakan menyimpang karena individu maupun kelompok lupa atau tidak menyadari terhadap fungsi yang telah disepakatinya sebagai mahasiswa dalam mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Hal ini dapat dipengaruhi oleh unsur tindakan yang menyeleweng atau dari diri (orientasi subjektifnya) sendiri.
2.2 Kelompok Sosial
A. Pengertian Kelompok Sosial
Secara sosiologis pengertian kelompok sosial adalah suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai hubungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama. Disamping itu terdapat beberapa definisi dari para ahli mengenai kelompok sosial.
(35)
Menurut Josep S Roucek dan Roland S Warren kelompok sosial adalah suatu kelompok yang meliputi dua atau lebih manusia, yang diantara mereka terdapat beberapa pola interaksi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan.
B. Proses Terbentuknya Kelompok Sosial
Menurut Abdul Syani, terbentuknya suatu kelompok sosial karena adanya naluri manusia yang selalu ingin hidup bersama. Manusia membutuhkan komunikasi dalam membentuk kelompok, karena melalui komunikasi orang dapat mengadakan ikatan dan pengaruh psikologis secara timbal balik. Ada dua hasrat pokok manusia sehingga ia terdorong untuk hidup berkelompok, yaitu:
-Hasrat untuk bersatu dengan manusia lain di sekitarnya -Hasrat untuk bersatu dengan situasi alam sekitarnya
C. Syarat Terbentuknya Kelompok Sosial
Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama dan saling berinteraksi. Untuk itu, setiap himpunan manusia agar dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Setiap anggota kelompok memiliki kesadaran bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan.
2. Ada kesamaan faktor yang dimiliki anggota-anggota kelompok itu sehingga hubungan antara mereka bartambah erat.
Faktor-faktor kesamaan tersebut, antara lain : -Persamaan nasib
-Persamaan kepentingan -Persamaan tujuan
(36)
-Persamaan ideologi politik -Persamaan musuh
3. Kelompok sosial ini berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku. Kelompok sosial ini bersistem dan berproses.
D. Macam-Macam Kelompok Sosial 1. Klasifikasi Tipe-tipe Kelompok Sosial
Menurut Soerjono Soekanto dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu: a. Berdasarkan besar kecilnya anggota kelompok
Menurut George Simmel, besar kecilnya jumlah anggota kelompok akan memengaruhi kelompok dan pola interaksi sosial dalam kelompok tersebut. Dalam penelitiannya, Simmel memulai dari satu orang sebagai perhatian hubungan sosial yang dinamakan monad. Kemudian monad dikembangkan menjadi dua orang atau diad, dan tiga orang atau triad, dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Hasilnya semakin banyak jumlah anggota kelompoknya, pola interaksinya juga berbeda.
b. Berdasarkan derajat interaksi dalam kelompok
Derajat interaksi ini juga dapat dilihat pada beberapa kelompok sosial yang berbeda. Kelompok sosial seperti keluarga, rukun tetangga, masyarakat desa, akan mempunyai kelompok yang anggotanya saling mengenal dengan baik (face-to-face groupings). Hal ini berbeda dengan kelompok sosial seperti masyarakat kota, perusahaan, atau negara, di mana anggota-anggotanya tidak mempunyai hubungan erat.
c. Berdasarkan kepentingan dan wilayah
Sebuah masyarakat setempat (community) merupakan suatu kelompok sosial atas dasar wilayah yang tidak mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Sedangkan asosiasi
(37)
(association) adalah sebuah kelompok sosial yang dibentuk untuk memenuhi kepentingan tertentu.
d. Berdasarkan kelangsungan kepentingan
Adanya kepentingan bersama merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya sebuah kelompok sosial. Suatu kerumunan misalnya, merupakan kelompok yang keberadaannya hanya sebentar karena kepentingannya juga tidak berlangsung lama. Namun, sebuah asosiasi mempunyai kepentingan yang tetap.
e. Berdasarkan derajat organisasi
Kelompok sosial terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang terorganisasi dengan rapi seperti negara, TNI, perusahaan dan sebagainya. Namun, ada kelompok sosial yang hampir tidak terorganisasi dengan baik, seperti kerumunan.
Secara umum tipe-tipe kelompok sosial adalah sebagai berikut.
a. Kategori statistik, yaitu pengelompokan atas dasar ciri tertentu yang sama, misalnya kelompok umur.
b. Kategori sosial, yaitu kelompok individu yang sadar akan ciri-ciri yang dimiliki bersama, misalnya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia).
c. Kelompok sosial, misalnya keluarga batih (nuclear family)
d. Kelompok tidak teratur, yaitu perkumpulan orang-orang di suatu tempat pada waktu yang sama karena adanya pusat perhatian yang sama. Misalnya, orang yang sedang menonton sepak bola.
e. Organisasi Formal, yaitu kelompok yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditentukan terlebih dahulu, misalnya perusahaan.
2. Kelompok Sosial dipandang dari Sudut Individu
Pada masyarakat yang kompleks, biasanya setiap manusia tidak hanya mempunyai satu kelompok sosial tempat ia menjadi anggotanya. Namun, ia juga menjadi anggota beberapa
(38)
kelompok sosial sekaligus. Terbentuknya kelompok-kelompok sosial ini biasanya didasari oleh kekerabatan, usia, jenis kelamin, pekerjaan atau kedudukan. Keanggotaan masing-masing kelompok sosial tersebut akan memberikan kedudukan dan prestise tertentu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah sifat keanggotaan suatu kelompok tidak selalu bersifat sukarela, tapi ada juga yang sifatnya paksaan. Misalnya, selain sebagai anggota kelompok di tempatnya bekerja, Pak Tomo juga anggota masyarakat, anggota perkumpulan bulu tangkis, anggota Ikatan Advokat Indonesia, anggota keluarga, anggota Paguyuban masyarakat Jawa dan sebagainya.
3. In-Group dan Out-Group
Sebagai seorang individu, kita sering merasa bahwa aku termasuk dalam bagian kelompok keluargaku, margaku, profesiku, rasku, almamaterku, dan negaraku. Semua kelompok tersebut berakhiran dengan kepunyaan “ku”. Itulah yang dinamakan kelompok sendiri (in-group) karena aku termasuk di dalamnya. Banyak kelompok lain dimana aku tidak termasuk keluarga, ras, suku bangsa, pekerjaan, agama dan kelompok bermain. Semua itu merupakan kelompok luar (out group) karena aku berada di luarnya.
In-group dan out-group dapat dijumpai di semua masyarakat, walaupun kepentingan-kepentingannya tidak selalu sama. Pada masyarakat primitif yang masih terbelakang kehidupannya biasanya akan mendasarkan diri pada keluarga yang akan menentukan kelompok sendiri dan kelompok luar seseorang. Jika ada dua orang yang saling tidak kenal berjumpa maka hal pertama yang mereka lakukan adalah mencari hubungan antara keduanya. Jika mereka dapat menemukan adanya hubungan keluarga maka keduanya pun akan bersahabat karena keduanya merupakan anggota dari kelompok yang sama. Namun, jika mereka tidak dapat menemukan adanya kesamaan hubungan antara keluarga maka mereka adalah musuh sehingga merekapun bereaksi.
(39)
Pada masyarakat modern, setiap orang mempunyai banyak kelompok sehingga mungkin saja saling tumpang tindih dengan kelompok luarnya. Siswa lama selalu memperlakukan siswa baru sebagai kelompok luar, tetapi ketika berada di dalam gedung olahraga mereka pun bersatu untuk mendukung tim sekolah kesayangannya.
4. Kelompok Primer (Primary Group) dan Kelompok Sekunder (Secondary Group)
Menurut Charles Horton Cooley, kelompok primer adalah kelompok-kelompok yang ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama yang erat yang bersifat pribadi. Sebagai salah satu hasil hubungan yang erat dan bersifat pribadi tadi adalah adanya peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok sehingga tujuan individu menjadi tujuan kelompok juga. Oleh karena itu hubungan sosial di dalam kelompok primer berisfat informal (tidak resmi), akrab, personal, dan total yang mencakup berbagai aspek pengalaman hidup seseorang.
Di dalam kelompok primer, seperti: keluarga, klan, atau sejumlah sahabat, hubungan sosial cenderung bersifat santai. Para anggota kelompok saling tertarik satu sama lainnya sebagai suatu pribadi. Mereka menyatakan harapan-harapan, dan kecemasan-kecemasan, berbagi pengalaman, mempergunjingkan gosip, dan saling memenuhi kebutuhan akan keakraban sebuah persahabatan.
Di sisi lain, kelompok sekunder adalah kelompok-kelompok besar yang terdiri atas banyak orang, antara dengan siapa hubungannya tida perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng. Dalam kelompok sekunder, hubungan sosial bersifat formal, impersonal dan segmental (terpisah), serta didasarkan pada manfaat (utilitarian). Seseorang tidak berhubungan dengan orang lain sebagai suatu pribadi, tetapi sebagai seseorang yang berfungsi dalam menjalankan suatu peran. Kualitas pribadi tidak begitu penting, tetapi cara kerjanya.
(40)
Konsep paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies. Pengertian paguyuban adalah suatu bentuk kehidupan bersama, di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah, serta kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Bentuk paguyuban terutama akan dijumpai di dalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga, dan sebagainya. Secara umum ciri-ciri paguyuban adalah:
- Intimate, yaitu hubungan yang bersifat menyeluruh dan mesra - Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi
- Exclusive, yaitu hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang lain di luar “kita”
Di dalam setiap masyarakat selalu dapat dijumpai salah satu di antara tiga tipe paguyuban berikut :
a. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu gemeinschaft atau paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Misalnya keluarga dan kelompok kekerabatan.
b. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong-menolong. Misalnya kelompok arisan, rukun tetangga.
c. Paguyuban karena jiwa pikiran (gemeinschaft of mind), yaitu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang walaupun tidak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa, pikiran, dan ideologi yang sama. Ikatan pada paguyuban ini biasanya tidak sekuat paguyuban karena darah atau keturunan. Sebaliknya, patembayan (gesellschaft) adalah ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu tertentu yang pendek. Patembayan bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis seperti sebuah mesin. Bentuk
(41)
gesellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang bersifat timbal balik. Misalnya, ikatan perjanjian kerja, birokrasi dalam suatu kantor, perjanjian dagang, dan sebagainya.
6. Formal Group dan Informal Group
Menurut Soerjono Soekanto, formal group adalah kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja diciptakan oleh anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan antar sesamanya. Kriteria rumusan organisasi formal group merupakan keberadaan tata cara untuk memobilisasikan dan mengoordinasikan usaha-usaha demi tercapainya tujuan berdasarkan bagian-bagian organisasi yang bersifat khusus.
Organisasi biasanya ditegakkan pada landasan mekanisme administratif. Misalnya, sekolah terdiri atas beberapa bagian, seperti kepala sekolah, guru, siswa, orang tua murid, bagian tata usaha dan lingkungan sekitarnya. Organisasi seperti itu dinamakan birokrasi. Menurut Max Weber, organisasi yang didirikan secara birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tugas organisasi didistribusikan dalam beberapa posisi yang merupakan tugas-tugas jabatan.
b. Posisi dalam organisasi terdiri atas hierarki struktur wewenang. c. Suatu sistem peraturan memengaruhi keputusan dan pelaksanaannya.
d. Unsur staf yang merupakan pejabat, bertugas memelihara organisasi dan khususnya keteraturan organisasi.
e. Para pejabat berharap agar hubungan atasan dengan bawahan dan pihak lain bersifat orientasi impersonal.
f. Penyelenggaraan kepegawaian didasarkan pada karier.
Sedangkan pengertian informal group adalah kelompok yang tidak mempunyai struktur dan organisasi yang pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk karena
(42)
pertemuan-pertemuan yang berulang kali. Dasar pertemuan-pertemuan tersebut adalah kepentingan-kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang sama. Misalnya klik (clique), yaitu suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul dalam kelompok-kelompok besar. Klik tersebut ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan timbal balik antar anggota yang biasanya hanya “antara kita” saja.
7. Membership Group dan Reference Group
Mengutip pendapat Robert K Merton, bahwa membership group adalah suatu kelompok sosial, di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Batas-batas fisik yang dipakai untuk menentukan keanggotaan seseorang tidak dapat ditentukan secara mutlak. Hal ini disebabkan perubahan-perubahan keadaan. Situasi yang tidak tetap akan memengaruhi derajat interaksi di dalam kelompok tadi sehingga adakalanya seorang anggota tidak begitu sering berkumpul dengan kelompok tersebut walaupun secara resmi dia belum keluar dari kelompok itu.
Reference group adalah kelompok sosial yang menjadi acuan seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Dengan kata lain, seseorang yang bukan anggota kelompok sosial bersangkutan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tadi. Misalnya, seseorang yang ingin sekali menjadi anggota TNI, tetapi gagal memenuhi persyaratan untuk memasuki lembaga pendidikan militer. Namun, ia bertingkah laku layaknya seorang perwira TNI meskipun dia bukan anggota TNI.
8. Kelompok Okupasional dan Volunteer
Pada awalnya suatu masyarakat, menurut Soerjono Soekanto, dapat melakukan berbagai pekerjaan sekaligus. Artinya, di dalam masyarakat tersebut belum ada pembagian kerja yang jelas. Akan tetapi, sejalan dengan kemajuan peradaban manusia, sistem pembagian kerja pun berubah. Salah satu bentuknya adalah masyarakat itu sudah berkembang menjadi suatu masyarakat yang heterogen. Pada masyarakat seperti ini, sudah berkembang sistem
(43)
pembagian kerja yang didasarkan pada kekhususan atau spesialisasi. Warga masyarakat akan bekerja sesuai dengan bakatnya masing-masing. Setelah kelompok kekerabatan yang semakin pudar fungsinya, muncul kelompok okupasional yang merupakan kelompok terdiri atas orang-orang yang melakukan pekerjaan sejenis. Kelompok semacam ini sangat besar peranannya di dalam mengarahkan kepribadian seseorang terutama para anggotanya.
Sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi, hampir tidak ada masyarakat yang tertutup dari dunia luar sehingga ruang jangkauan suatu masyarakatpun semakin luas. Meluasnya ruang jangkauan ini mengakibatkan semakin heterogennya masyarakat tersebut. Akhirnya tidak semua kepentingan individual warga masyarakat dapat dipenuhi.
Akibatnya dari tidak terpenuhinya kepentingan-kepentingan masyarakat secara keseluruhan, muncullah kelompok volunteer. Kelompok ini mencakup orang-orang yang mempunyai kepentingan sama, namun tidak mendapatkan perhatian masyarakat yang semakin luas jangkauannya tadi. Dengan demikian, kelompok volunteer dapat memenuhi kepentingan-kepentingan anggotanya secara individual tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara luas.
Beberapa kepentingan itu antara lain:
-Kebutuhan akan sandang, pangan dan papan -Kebutuhan akan keselamatan jiwa dan harta benda -Kebutuhan akan harga diri
-Kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri -Kebutuhan akan kasih sayang
E. Kelompok Sosial yang Tidak Teratur 1. Kerumunan (Crowd)
(44)
Kerumunan adalah sekelompok individu yang berkumpul secara kebetulan di suatu tempat pada waktu yang bersamaan. Ukuran utama adanya kerumunan adalah kehadiran orang-orang secara fisik. Sedikit banyaknya jumlah kerumunan adalah sejauh mata dapat melihat dan selama telingan dapat mendengarkannya. Kerumunan tersebut segera berakhir setelah orang-orangnya bubar. Oleh karena itu, kerumunan merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat sementara (temporer).
Secara garis besar Kingsley Davis membedakan bentuk kerumunan menjadi: a. Kerumunan yang berartikulasi dengan struktur sosial
Kerumunan ini dapat dibedakan menjadi:
1) Khalayak penonton atau pendengar formal (formal audiences), merupakan kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan tujuan yang sama. Misalnya, menonton film, mengikuti kampanye politik dan sebagainya.
2) Kelompok ekspresif yang telah direncanakan (planned expressive group), yaitu kerumunan yang pusat perhatiannya tidak begitu penting, akan tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpul dalam aktivitas kerumunan tersebut.
b. Kerumunan yang bersifat sementara (Casual Crowd) Kerumunan ini dibedakan menjadi:
1) Kumpulan yang kurang menyenangkan (inconvenient aggregations). Misalnya, orang yang sedang antri tiket, orang-orang yang menunggu kereta.
2) Kumpulan orang yang sedang dalam keadaan panik (panic crowds), yaitu orang-orang yang bersama-sama berusaha untuk menyelamatkan diri dari bahaya. Dorongan dalam diri individu-individu yang berkerumun tersebut mempunyai kecenderungan untuk mempertinggi rasa panik. Misalnya, ada kebakaran dan gempa bumi.
3) Kerumunan penonton (spectator crowds), yaitu kerumunan yang terjadi karena ingin melihat kejadian tertentu. Misalnya, ingin melihat korban lalu lintas.
(45)
c. Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum (Lawless Crowd) Kerumunan ini dibedakan menjadi:
1) Kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs), yaitu kerumunan yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Misalnya aksi demonstrasi dengan kekerasan.
2) Kerumunan yang bersifat immoral (immoral crowds), yaitu kerumunan yang hampir sama dengan kelompok ekspresif. Bedanya adalah bertentangan dengan norma-norma masyarakat. Misalnya, orang-orang yang mabuk.
2. Publik
Berbeda dengan kerumunan, publik lebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi, seperti pembicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, televisi, film, dan sebagainya. Alat penghubung semacam ini lebih memungkinkan suatu publik mempunyai pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih besar. Akan tetapi, karena jumlahnya yang sangat besar, tidak ada pusat perhatian yang tajam sehingga kesatuan juga tidak ada.
F. Masyarakat Setempat (Community)
Masyarakat setempat adalah suatu masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu. Faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar di antara anggota dibandingkan dengan interaksi penduduk di luar batas wilayahnya.
Secara garis besar masyarakat setempat berfungsi sebagai ukuran untuk menggaris bawahi kedekatan hubungan antara hubungan sosial dengan suatu wilayah geografis tertentu. Akan tetapi, tempat tinggal tertentu saja belum cukup untuk membentuk suatu masyarakat setempat. Hal ini masih dibutuhkan adanya perasaan komunitas (community sentiment).
(46)
Beberapa unsur komunitas adalah: 1. Seperasaan
Unsur perasaan akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut. Akibatnya, mereka dapat menyebutnya sebagai “kelompok kami” atau “perasaan kami”.
2. Sepenanggunan
Setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam kelompok.
3. Saling memerlukan
Individu yang bergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitas yang meliputi kebutuhan fisik maupun biologis.
Untuk mengklasifikasikan masyarakat setempat, dapat digunakan empat kriteria yang saling berhubungan, yaitu:
a. Jumlah penduduk
b. Luas, kekayaan, dan kepadatan penduduk
c. Fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh masyarakat d. Organisasi masyarakat yang bersangkutan
2.3 Perilaku menyimpang
A. Pengertian Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Sedangkan pelaku yang melakukan penyimpangan itu disebut devian (deviant). Adapun perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat disebut konformitas.
(47)
Ada beberapa definisi perilaku menyimpang menurut sosiologi, antara lain sebagai berikut: Pengertian Perilaku menyimpang menurut para ahli
1. James Vender Zender Perilaku menyimpang adalah perilaku yang dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas toleransi oleh sejumlah besar orang.
2. Bruce J Cohen Perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
3. Robert M.Z. LawangPerilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku tersebut.
B. Ciri-ciri Perilaku Menyimpang
Menurut Paul B. Horton penyimpangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Penyimpangan harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya.
2. Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak.
3. Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya ditentukan oleh frekuensi dan kadar penyimpangan.
4. Penyimpangan terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya budaya ideal adalah segenap peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Antara budaya nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan.
5. Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma penghindaran adalah pola perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka.
(48)
6. Penyimpangan sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.
C. Sifat-sifat Penyimpangan
Penyimpangan sebenarnya tidak selalu berarti negatif, melainkan ada yang positif. Dengan demikian, penyimpangan sosial dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan positif dan penyimpangan negatif.
1. Penyimpangan positif
Penyimpangan positif merupakan penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan, meskipun cara yang dilakukan menyimpang dari norma yang berlaku. Contoh seorang ibu yang menjadi tukang ojek untuk menambah penghasilan keluarga.
2. Penyimpangan negatif
Penyimpangan negatif merupakan tindakan yang dipandang rendah, melanggar nilai-nilai sosial, dicela dan pelakunya tidak dapat ditolerir masyarakat. Contoh pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya.
D. Jenis-jenis Perilaku Menyimpang
Menurut Lemert (1951) Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk yaitu penyimpangan primer dan sekunder.
1. Penyimpangan Primer
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: pengemudi yang sesekali melanggar lalu lintas.
(49)
2. Penyimpangan Sekunder
Penyimpangan yang dilakukan secara terus menerus sehingga para pelakunya dikenal sebagai orang yang berperilaku menyimpang. Misalnya orang yang mabuk terus menerus. Contoh seorang yang sering melakukan pencurian, penodongan, pemerkosaan dan sebagainya.
Sedangkan menurut pelakunya, penyimpangan dibedakan menjadi penyimpangan individual dan penyimpangan kelompok.
1. Penyimpangan individual
Penyimpangan individual adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang atau individu tertentu terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Contoh: seseorang yang sendirian melakukan pencurian.
2. Penyimpangan kelompok
Penyimpangan kelompok adalah penyimpangan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap norma-norma masyarakat. Contoh geng penjahat.
E. Sebab-sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang
1. Penyimpangan sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna
Karena ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses sosialisasi yang tidak sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Contohnya seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua orang tuanya tidak dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia tidak mengetahui hak-hak dan kewajibanya sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota
(50)
masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lain-lain.
2. Penyimpangan karena hasil proses sosialisasi subkebudayaan menyimpang
Subkebudayaan adalah suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan. Unsur budaya menyimpang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang bertentangan dengan tata tertib masyarakat. Contoh kelompok menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai narkoba, geng penjahat, dan lain-lain. 3. Penyimpangan sebagai hasil proses belajar yang menyimpang
Proses belajar ini melalui interaksi sosial dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman. Penyimpangan inipun dapat belajar dari proses belajar seseorang melalui media baik buku, majalah, koran, televisi dan sebagainya.
F. Teori-Teori Penyimpangan
Penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat dapat dipelajari melalui berbagai teori, diantaranya sebagai berikut.
1. Teori Labeling
Menurut Edwin M. Lemert, seseorang menjadi orang yang menyimpang karena proses labelling berupa julukan, cap dan merk yang ditujukan oleh masyarakat ataupun lingkungan sosialnya. Mula-mula seseorang akan melakukan penyimpangan primer (primary deviation) yang mengakibatkan ia menganut gaya hidup menyimpang (deviant life style) yang menghasilkan karir menyimpang (deviant career).
(51)
Menurut Edwin H. Sutherland, agar terjadi penyimpangan seseorang harus mempelajari terlebih dahulu bagaimana caranya menjadi seorang yang menyimpang. Pengajaran ini terjadi akibat interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain yang berperilaku menyimpang.
3. Teori Anomi Robert K Merton
Robert K. Merton menganggap anomi disebabkan adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang diapakai untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Merton terdapat lima cara pencapaian tujuan budaya, yaitu:
a. Konformitas
Konformitas adalah sikap yang menerima tujuan budaya yang konvensional (biasa) dengan cara yang juga konvensional.
b. Inovasi
Inovasi adalah sikap seseorang menerima secara kritis cara-cara pencapaian tujuan yang sesuai dengan nlai-nilai budaya sambil menempuh cara baru yang belum biasa dilakukan.
c. Ritualisme
Ritualisme adalah sikap seseorang menerima cara-cara yang diperkenalkan sebagai bagian dari bentuk upacara (ritus) tertentu, namun menolak tujuan-tujuan kebudayaannya.
d. Retreatisme
Retreatisme adalah sikap seseorang menolak baik tujuan-tujuan maupaun cara-cara mencapai tujuan yang telah menajdi bagian kehidupan masyarakat ataupun lingkungan sosialnya.
(1)
FENOMENA TAWURAN ANTAR-MAHASISWA
(Studi Deskriptif Pada Mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara)SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ANDRY BINSAR RIZKY SIMANJUNTAK
070901019
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(2)
ABSTRAK
Mahasiswa sejatinya merupakan kaum cendekiawan yang merupakan kaum yang
pada dasarnya harus mengedepankan sikap untuk bertindak berdasarkan akal sehat atau rasionalitas berpikir. Ini dikarenakan oleh mahasiswa berada pada tingkatan yang terdidik atau yang terpelajar di antara masyarakat. Karena itu pulalah mahasiswa disebut sebagai agen perubahan (agent of change), dimana masyarakat akan bertumpu pada mereka ketika ada sebuah persoalan bangsa yang terjadi yang mana mahasiswa memiliki peran utama berakar dari intelektualitas serta rasionalitas yang mereka dapatkan dari perguruan tinggi. Namun belakangan, seiring dengan banyaknya bermunculan berbagai kasus tawuran antar mahasiswa itu sendiri, publik menjadi punya sudut pandang yang berbeda; mahasiswa negeri ini diidentikkan dengan yang menyukai tindak kekerasan tanpa ada pemikiran bahwa yang mereka lakukan itu sifatnya destruktif atau merusak, baik itu pada fasilitas yang ada di Universitas maupun berbagai sarana dan prasarana yang dimiliki kampus. Tak heran pula jika dampak yang ditimbulkan berupa korban luka maupun korban jiwa.
Kasus tawuran antar mahasiswa di Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu contohnya. Dengan dilandasi berbagai faktor, kejadian ini jelas tidak menggembirakan karena pada dasarnya Universitas Sumatera Utara seperti halnya perguruan tinggi lainnya di negeri ini merupakan tempat menuntut ilmu agar mahasiswa dapat menjadi berguna di tengah-tengah masyarakat kelak. Universitas Sumatera Utara jelas menjadi sedikit tercoreng dengan konflik kekerasan yang dipertontonkan mahasiswa ini. Hal ini jelas tidak bisa terus-menerus terjadi jika tidak mau nama besar perguruan tinggi yang terbesar di luar pulau Jawa ini menjadi tenggelam. Karena itulah diperlukan adanya resolusi bagaimana agar hal semacam ini tidak terulang lagi ke depannya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif secara deskriptif yang mencoba memberikan gambaran bagaimana fenomena tawuran ini bisa terjadi di Universitas Sumatera Utara serta mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana solidaritas yang terbangun di antara mahasiswa yang malah berujung pada tindakan kekerasan. Lokasi penelitian ini dilakukan di kompleks Universitas Sumatera Utara serta beberapa wawancara yang dilakukan di tempat tinggal beberapa informan dengan tujuan agar penulis maupun informan mampu melakukan wawancara dengan suasana yang tenang dan santai.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan cara menginterpretasi
data-data penelitian, baik hasil observasi maupun hasil wawancara, tawuran yang terjadi disebabkan oleh adanya kesalahpahaman dalam memaknai arti solidaritas yang sebenarnya. Atau mungkin boleh dikatakan adanya pergeseran makna akan solidaritas antar mahasiswa di dalam fakultas yang sama yang mengarah untuk berperilaku kasar ketika dihadapkan pada masalah yang sebenarnya sepele yang berkaitan dengan kelompok mahasiswa yang telah dianggap merupakan pesaing dalam hal fakultas dengan mahasiswa yang paling disegani di Universitas Sumatera Utara. Hal mana yang cukup disayangkan karena solidaritas yang seharusnya merupakan sebuah jalan adanya hubungan yang sifatnya positif, bukannya malah negatif – destruktif.
Kasus tawuran antar mahasiswa ini jelas tidak diinginkan lagi terjadi ke depannya.
Apalagi jika masalah pemicunya merupakan masalah sepele, yang menjadi besar dikarenakan oleh pemahaman yang salah tentang makna solidaritas yang dianut. Setiap kelompok mahasiswa yang terlibat mengedepankan apa yang diesbut sebagai ego fakultas. Pandangan yang menyatakan bahwa kelompoknya yang in-group akan jelas tidak menerima keberadaan kelompok lain yang out-group karena dianggap jelas perbedaan yang tak bisa diterima. Sehingga dengan demikian tercipta sekat-sekat sosial di antara mahasiswa itu.
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas limpahan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah membukakan hati dan pikiran hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Betapa besarnya karunia yang Tuhan telah berikan kepada penulis untuk mengadakan penelitian serta menyusunnya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “Fenomena Tawuran Antar Mahasiswa: Studi Deskriptif Pada Mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara”. Karya ini saya persembahkan kepada ibu dan saudara-saudara saya yang tidak pernah mengenal lelah dalam memberikan dukungan materi dan yang terutama dukungan moril yang luar biasa besar selama penelitian dan penulisan dilakukan.
Penulis juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini.namun penulis telah berusaha dengan semaksimal mungkin untuk mempersembahkannya dan semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Keberhasilan yang dicapai oleh penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak
terlepas dari semua pihak yang senantiasa ikhlas membantu memberikan bimbingan, dukungan, dorongan yang tak henti-hentinya demi kelancaran dalam pembuatan skripsi ini.
Dan dengan segala hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM & H MSc. (CTM) SpA (K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, MSi., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
politik
3. Dra. Lina Sudarwati, MSi., selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
(4)
4. Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, MSi, selaku Pembimbing I yang telah cukup sabar dalam memberikan tuntunan dan nasehat demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Drs. Henry Sitorus, MSi, selaku Pembimbing II yang juga turut memberikan
bimbingan serta arahan kepada penulis.
6. Segenap Dosen Sosiologi dan Staf Departemen Sosiologi FISIP USU yang telah
memberikan wejangan maupun khasanah pengetahuan tentang keilmuan Sosiologi yang bermanfaat untuk menjadi bahan masukan skripsi ini.
7. Keluarga penulis, ibunda L. br. Pandiangan yang telah dengan luar biasa dalam
membimbing, menuntun dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya serta meneruskan keinginan ayahanda (alm.) S. Simanjuntak untuk selalu mengajarkan kami anak-anaknya memiliki karakter yang kuat.
8. Seluruh saudara-saudara yang terkasih dan tercinta atas dukungannya, khususnya
kepada kakanda Marietha Hasianna br. Simanjuntak atas dukungannya yang luar biasa besar.
9. Seluruh informan yang dengan tulus-ikhlas menerima keadaan penulis di
tengah-tengah mereka dalam memberikan informasi yang membantu terselesaikannya skripsi ini.
10. Teman-teman Sosiologi, Hadi Syahputra, Ngadino, Helen, Magdalena, Ridwan, Emby, Marlina serta semua teman-teman Sosiologi lainnya.
11. Teman-teman satu fakultas lainnya, Parlaungan Hutahaean, Bobby Chandra Pane, atas dukungannya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk
(5)
penulis. Oleh karena itu, penulis akan menerima dengan hati dan pikiran terbuka atas segala kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Selanjutnya penulis berharap agar karya ini dapat berguna dan bermanfaat bagi peningkatan ilmu pengetahuan sosial terutama pada disiplin ilmu sosiologi.
Medan, 13 April 2014
(6)
DAFTAR ISI
Abstrak ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Definisi Konsep ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Fungsionalisme Struktural ... 12
2.2 Kelompok Sosial ... 16
2.3 Perilaku Menyimpang ... 29
2.4 Konflik dan Kekerasan ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 43
3.2 Lokasi Penelitian ... 44
3.3 Unit Analisa dan Informan ... 44
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 45
3.5 Interpretasi Data ... 46
BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48
4.1.1 Sejarah Singkat Serta Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara ... 48
4.2 Interpretasi Data Penelitian ... 51
4.2.1 Temuan Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 51
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 62
5.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 67