Bagi Hasil Pembebanan Hak Atas Tanah Land Encumbering

pemberian hak kepada pihak ketiga diproses melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972 jo. Nomor 5 tahun 1973, hubungan antara pemegang Hak Pengelolaan dengan penerima Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai tidak putus. Jangka waktu hak kepada pihak ketiga sesuai dengan ketentuan haknya, apabila berakhir, statusnya kembali menjadi bagian dari Hak Pengelolaan. Akan tetapi dengan ketentuan Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 9 tahun 1999, maka semua pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan menjadi kewenangan Kepala Kantor Pertanahan untuk memberikan keputusan pemberian haknya. Dengan demikian jelas bahwa Hak Pengelolaan dapat dibebani dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, dengan ketentuan sebagaimana asas dari pembebanan hak bahwa apabila Hak Pengelolaan hapus maka secara hukum hak-hak atas tanah yang dibebaninya akan hapus juga. Patut dicatat juga bahwa bila dari Hak Pengelolaan diterbitkan Hak Milik, maka tanah dengan Hak Milik tersebut secara hukum terlepas dari Hak Pengelolaan karena status dari Hak Milik sebagai hak yang terkuat dan terpenuh lebih tinggi dari Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan yang diterbitkan dengan Hak Milik misalnya untuk tanah perumahan rakyat yang diterbitkan di atas tanah Hak pengelolaan oleh Perum Perumnas dan untuk tanah para transmigran di atas Hak Pengelolaan Departemen Transmigrasi.

d. Bagi Hasil

Sungguhpun istilah bagi hasil ini telah lama dikenal dalam literatur di bidang keagrariaanpertanahan bahkan telah diatur dalam Undang Undang-undang Nomor 2 tahun 1960, namun jika diteliti ternyata ketentuan tentang Bagi Hasil ini tidak ada pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 sehingga tidak dikenal adanya pendaftaran atas tanah berdasarkan Perjanjian Bagi Hasil. Bagi Hasil ini dapat dikategorikan sebagai pembebanan hak karena petani penggarap diberi legitimasi oleh Pemerintah melalui prosedur tertentu untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah milik orang lain yang didahului dengan suatu perjanjian. Perjanjian Bagi Hasil tersebut menurut Undang Undang Nomor 2 tahun 1960 harus dibuktikan dengan suatu bentuk tertulis antara petani penggarap dengan pemilik tanah yang dibuat di hadapan Kepala DesaKelurahan dengan disaksikan oleh 2 dua orang saksi masing-masing dari pihak penggarap dan pihak pemilik tanah, selanjutnya perjanjian tersebut diumumkan Kepala DesaLurah di setiap ada kerapatan desa dan pada setiap bulan harus dilaporkan kepada Camat untuk memperoleh pengesahan dan selanjutnya setiap 3 tiga bulan oleh Camat dilaporkan kepada Panitia Landreform KabupatenKota. 14 Obyek tanah untuk bagi hasil tersebut adalah tanah pertanian berupa sawah dan atau tanah kering dengan komoditas tanaman muda palawija, dengan luas tanah yang dapat dikuasai hanya seluas 3 tiga Ha. Perjanjian bagi hasil tersebut hanya berlaku untuk tanah sawah sekurang-kurangnya 3 tiga tahun dan tanah kering sekurang-kurangnya 5 lima tahun. 14 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang Undang Pokok Agraria Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005, halaman 138 Perjanjian bagi hasil tersebut hanya merupakan salah satu dari progam landreform di Indonesia yang dulu sangat gencar dilaksanakan dalam membantu masyarakat ekonomi lemah terutama para petani penggarap atau tunakisma tidak punya tanah karena pada saat corak perekonomian bangsa masih bersifat agraris, sementara untuk saat ini perjanjian bagi hasil kurang diminati bahkan secara faktual tidak ditemukan lagi sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 serta secara formal tidak ada aturan pelaksanaannya, hal ini disadari karena telah terjadinya pergeseran paradigma pembangunan yang memprioritaskan pembangunan di sektor industri dan jasa dan ”menganaktirikan” sektor pertanian, sehingga wajar jika dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tidak ada pengaturan untuk pendaftarannya. Apalagi tindakan ini dalam konsepsinya adalah tindakan yang berhubungan dengan tanah bukan tindakan terhadap tanah. Dengan demikian dirasakan sebagai yang belum perlu dilakukan pendaftarannya seperti tindakan Hak Tanggungan .

e. Sewa