ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ( Studi Putusan Perkara Penggelapan No : 380/Pid.B/2010/PN.TK)

(1)

Bella Asih Cyntia

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

( Studi Putusan Perkara Penggelapan No : 380/Pid.B/2010/PN.TK)

Oleh Bella Asih Cyntia

Tindak pidana penggelapan termasuk kejahatan terhadap kekayaan yang diatur dalam Pasal 372 sampai Pasal 377 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu contoh kasus tindak pidana penggelapan yaitu kasus penggelapan di PT. Balisena Utama Mandiri yang dilakukan oleh salah satu karyawannya yang bekerja menjadi kasir di PT. Balisena Utama Mandiri tersebut di wilayah hukum Bandar Lampung pada bulan Maret 2008 sampai bulan Desember 2008. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, pelaku tindak pidana penggelapan harus mempertanggungjawabkan perbuatanya dengan sanksi pidana. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah : (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan No : 380/Pid.B/2010/PN.TK ? (2) apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan tindak pidana penggelapan No : 380/Pid.B/2010/PN.TK ?

Penelitian skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data, terdiri dari data primer yang bersumber dari lapangan, berupa hasil wawancara dengan responden yang terdiri 2 Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 1 Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung, dan 1 Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung dan data sekunder bersumber dari kepustakaan. Analisis yang digunakan adalah kualitatif kemudian diambil kesimpulan secara deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan (1) pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam putusan perkara No: 380/Pid.B/2010/PN.TK dengan terdakwa Rihna Utami binti Bustami dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dalam masa percobaan selama 8 (delapan) bulan. Selama persidangan tidak ditemukannya alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat menghapus pertanggungjawaban terdakwa (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa adalah dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan seperti keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan semua barang bukti yang diajukan dimuka persidangan, dan mempertimbangkan unsur-unsur dari pasal yang didakwakan. Hakim dalam menjatuhkan putusan ini mengacu pada teori


(2)

Bella Asih Cyntia

keseimbangan dan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

Penulis menyarankan agar diharapkan hakim dalam memberikan putusan suatu perkara diharapkan berdasarkan pada rasa keadilan dan ketentuan hukum pidana, serta hakim juga harus melihat latar belakang pelaku seperti apakah terdakwa merupakan orang yang mampu bertanggung jawab dan juga hakim diharapkan lebih bijaksana dalam menjatuhkan sanksi dan hukumannya seharusnya lebih berat dari yang dijatuhkan karena jika terlalu ringan akan bermunculan kembali pelaku-pelaku tindak pidana penggelapan lainnya dan setiap putusan seorang hakim harus menyampaikan dasar-dasar pertimbangan hakim terhadap perkara yang sedang diperiksa, hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu putusan hakim sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


(3)

(4)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

( Studi Putusan Perkara Penggelapan No : 380/Pid.B/2010/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

Bella Asih Cyntia

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 13

B. Pengertian Penggelapan ... 15

C. Macam-macam Tindak Pidana Penggelapan dan Unsur-unsurnya 18 D. Dasar Pertimbangan Hakim ... 22

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 25

B. Sumber dan Jenis Data ... 25

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 27

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 28

E. Analisis Data ... 29

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 30 B. Gambaran Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor :


(8)

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana

terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan ……… 41

V. PENUTUP

A. Simpulan... 53 B. Saran... 55


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Kehidupan masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah, penghormatan atas nilai-nilai hukum yang ada mulai bergeser, masyarakat mulai berfikir materialistis dan egois dalam menghadapi kehidupan ini, hal ini juga menyebabkan mulai melemahnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap sesama individu.

Kecenderungan usaha untuk mencapai kesejahteraan material dengan mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat mulai tampak, sehingga mulai banyak bermunculan pelanggaran dan pemanfaatan kesempatan secara ilegal untuk kepentingan diri sendiri tanpa mengabaikan hak-hak dari orang lain serta norma-norma yang ada. Hal ini diperburuk dengan semakin meluasnya tindak pidana penggelapan, dimana tindak pidana penggelapan akan membawa sisi negatif yaitu pelanggaran hak-hak sosial serta lunturnya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dilakukan oleh pelaku tindak pidana penggelapan.


(10)

Tindak pidana penggelapan merupakan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan kepercayaan dan harta kekayaaan. Tindak pidana penggelapan diatur dalam Buku Kedua Bab XXIV Pasal 372, 373, 374, 375, 376, dan 377 KUHP. Penggelapan dengan segala macam bentuknya merupakan suatu jenis tindak pidana yang cukup berat bila dilihat dari akibat yang ditimbulkan dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Hal tersebut berbanding lurus dengan upaya pemberantasannya, yang semakin berat untuk dilakukan.

Pemberantasan tindak pidana penggelapan harus dituntut dengan cara yang sesuai dengan yang terdapat di dalam KUHP, serta melibatkan potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Penegakkan hukum di Indonesia dilakukan oleh aparat negara yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Polisi, Jaksa, dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang, dan kewajiban sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Aparat penegak hukum merupakan unsur yang menjalankan tugasnya sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana. Para penegak hukum ini masing-masing mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya. Ketiganya secara bersama-sama mempunyai kebersama-samaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para narapidana.

Penjatuhan sanksi pidana oleh hakim yang terlalu ringan akan memberikan dampak negatif yaitu akan munculnya pelaku-pelaku yang lain untuk melakukan tindak pidana, karena penjatuhan pidana yang relatif ringan oleh hakim, padahal hakim dalam menjatuhkan pidana haruslah menyadari apa makna pemidanaan itu,


(11)

serta harus menyadari apa yang hendak dicapai dengan ia menjatuhkan sanksi kepada seseorang yang telah melanggar ketentuan Undang-Undang. Hakim juga dalam menetapkan hukum tidak semata-mata hanya menegakkan hukum dari hukum itu sendiri melainkan untuk mengejar kemanfaatan sosial.1

Salah satu kasus penggelapan yang terjadi dalam perkara yang diputus Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor : 380/Pid.B/2010/PN.TK tentang tindak pidana penggelapan yang dilakukan terdakwa RIHNA UTAMI binti BUSTAMI yang bekerja di PT. Balisena Utama Mandiri yang bergerak di bidang jual beli sepeda motor merk Honda dan berkedudukan di Jalan Teuku Umar no. 07 Kedaton, Bandar Lampung. Sejak bulan Febuari 2005 sebagai Sales Counter sampai dengan bulan Febuari 2008 dan selaku kasir dari bulan Maret hingga bulan Desember 2008 melakukan penggelapan terhadap nota discount yang kejadiannya dari bulan Maret 2008 sampai dengan bulan Desember 2008, sehingga PT. Balisena Utama Mandiri mengalami kerugian sebesar Rp.125.000.000,- ( seratus dua puluh lima juta rupiah).

Putusan pengadilan itu menyatakan antara lain :

- Terdakwa RIHNA UTAMI binti BUSTAMI terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 372 KUHP dalam surat dakwaan ketiga.

- Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) bulan dalam masa percobaan selama 8 (delapan) bulan. Memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak akan dijalankan kecuali kalau dikemudian hari ada perintah

1


(12)

lain dalam putusan hakim oleh karena terpidana sebelum lewat masa percobaan selama 8 ( delapan ) bulan melakukan perbuatan yang di hukum.

- Barang bukti berupa :

a. Buku pengeluaran biaya nota discount

b. Kwitansi tanda terima Maghligai Travelindo tertanggal 12 Oktober 2008 senilai Rp. 1.088.000,- ( satu juta delapan puluh delapan ribu rupiah ) serta beberapa nota diskon yang dilampirkan dalam berkas - Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000 (seribu

rupiah )

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor : 380/Pid.B/2010/PN.TK, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa berupa pidana penjara selama 6 (enam) bulan dalam masa percobaan selama 1 (satu) tahun, padahal menurut keterangan saksi-saksi dan fakta yang terungkap di persidangan sudah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 372 KUHP, sedangkan Vonis hukuman yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa hanya berupa pidana penjara selama 4 (empat) bulan dalam masa percobaan selama 8 (delapan), jelas sekali disini Hakim tidak melakukan tuntutan maksimum yang harusnya sesuai dengan Pasal 372 KUHP dimana seharusnya dituntut 4 (empat) tahun penjara. Putusan tersebut sepertinya sangat tidak sesuai dengan rasa keadilan dimasyarakat, karena ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim.

Uraian-uraian diatas menarik perhatian penulis untuk diteliti lebih lanjut. Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Analisis


(13)

Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Perkara Penggelapan Nomor : 380/Pid.B/2010/PN.TK )

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di belakang , penelitian ini hanya terbatas pada ruang lingkup yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan Nomor: 380/Pid.B/2010/PN.TK ?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan tindak pidana penggelapan Nomor : 380/Pid.B/2010/PN.TK ?

2. Ruang Lingkup

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kejaksaan Tinggi Lampung dan ruang lingkup waktu pada tahun 2013. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini membahas tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan serta apakah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya terhadap perkara tersebut. Untuk lingkup bidang ilmu, lingkupnya yaitu bidang hukum pidana.


(14)

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan ?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana penggelapan ?

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk :

a. Manfaat Teoritis

Mengembangkan pemahaman teoritis tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dan dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan informasi yang lebih kongkrit serta memberikan solusi dalam menanggulangi tindak pidana penggelapan yang sering terjadi di masyarakat, dan juga penelitian ini diharapkan selain untuk meningkatkan pengetahuan serta memperluas wawasan bagi penulis, maka diharapkan juga penelitian ini dapat memberikan masukkan pemikiran penegak hukum dalam menangani perkara pidana.


(15)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstrak dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.2

Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai kesatuan yang logis untuk menjadi landasan, acuan , dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.3

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

1. Menentukan-menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.4

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi

2

Soerjono Soekanto, Penghantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986, hlm. 125.

3

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya, 2004, hlm.73.

4

Moeljatno, 1987, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Umum, , Bandung,Bina Aksara,1987 hlm.1.


(16)

masyarakat menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut.5

Pertanggungjawaban pidana atas kesalahan dalam arti luas mempunyai 3 (tiga) bidang antara lain :

a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan pertanggungjawaban.

b. Hubungan batin ( sikap psikis ) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya ;

1. Perbuatan yang ada kesengajaan atau

2. Perbuatan yang ada alpa, lalai, kurang hati-hati (culpa, schuld in engerzin).

c. Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi pembuat.6

Mengenai subjek atau pelaku perbuatan pidana secara umum hukum hanya mengakui sebagai perilaku, sedangkan pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan, yang bearti untuk dapat menjatuhkan pidana kepada pembuat delik di samping harus memenuhi unsur-unsur rumusan delik juga harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab.7

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian. Pembuktian mengenai ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang untuk membuktikan kesalahan yang di dakwakan serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah cara atau proses hukum yang dilakukan untuk mempertahankan dalil-dalil yang ada sesuai hukum acara yang berlaku.

5

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Angkasa, 1982, hlm.84.

6

Soedarto, Hukum Pidana Jilid 1, Semarang, Universitas Diponogoro, 1975, hlm. 91.

7


(17)

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana.8

Mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP yaitu “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Mengenai alat bukti yang sah dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu“ keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk ,dan keterangan terdakwa.

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 53 ayat (2) menyatakan bahwa : “ Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud dalam pemeriksaan dan memutuskan perkara harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.

Secara kontekstual ada 3 (tiga) yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kehakiman, yaitu :

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim, dan

c. Tidak boleh ada konsekuensi pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.9

8

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm.94.

9


(18)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan dan diteliti.10

Penulis akan menjelaskan pengertian-pengertian pokok yang akan digunakan dalam penelitian dan penulisan ini dengan tujuan untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Analisis adalah cara pemeriksaan salah satu soal dengan tujuan menemukan suatu unsur dasar, hubungan antara unsur-unsur yang bersangkutan.11

b. Pertanggungjawaban Pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.12

c. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang memenuhi semua rumusan delik.13

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.14

e. Tindak Pidana Penggelapan adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta pelakunya

10

Soerjono Soekanto,Op.Cit.,hlm.132.

11

Suharso,Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa indonesia, Semarang, Widya Karya, 2012,hlm.15.

12

Roeslan Saleh,Op.Cit., hlm.75.

13

Barda Nawawi Arif, Op.Cit., hlm.32.

14


(19)

diancam dengan hukuman pidana, yang diatur dalam Pasal 372, Pasal 373, Pasal 374, Pasal 375, Pasal 376, dan Pasal 377 KUHP.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman yang berisikan tentang pengertian penggelapan, macam-macam tindak pidana penggelapan dan unsur-unsurnya, uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya akan digunakan sebagi bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan yang ada.


(20)

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah yaitu dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan dari permasalahan yang terdapat dalam tulisan ini melalui data primer dan sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Menjelaskan permasalahan yaitu bagaimana tuntutan jaksa dalam tindak pidana penggelapan dan bagaimana putusan hakim dalam tindak pidana perkara penggelapan tersebut.

V.PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang akan ada dalam penulisan karya ilmiah skripsi ini .


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang, maka orang tersebut patut dipertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan kesalahannya.1 Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana ) jika ia tidak melakukan perbuatan pidana. Orang yang telah melakukan tindak pidana tidaklah akan selalu dapat dipidana, dikarenakan orang yang melakukan tindak pidana jika dijatuhi hukuman pidana haruslah mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat

(liability based on fault) dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur

suatu tindak pidana. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam suatu tindak pidana. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen Straf

Zonder Schuld) , walaupun asas ini tidak secara tegas tercantum dalam KUHP

1


(22)

maupun peraturan lainnya, tetapi berlakunya asas ini sudah tidak diragukan lagi dengan kata lain suatu tindak pidana berpijak pada perbuatan maupun orangnya.2

Kemampuan bertanggung jawab hanya dapat dilakukan oleh orang yang diminta pertanggungjawabannya. Pada umumnya seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan suatu perbuatan3

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskan secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan. Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP, seseorang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan dikarenakan dua alasan yaitu ;

a. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan b. Jiwanya terganggu karena penyakit

2

Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung,Universitas Lampung,2011, hlm.91.

3

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.89.


(23)

Menentukan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang harus memperhatikan dua hal yaitu :

a. Dapat dipidana perbuatannya (strafbaarheid van het f’eit)

b. Dapat dipidananya orang atau pembuatnya ( strafbaarheid van de

person).4

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan suatu unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggungjawaban harus dibuktikan, namun untuk membuktikannya ada kemampuan bertanggungjawab yang sangat sulit, membutuhkan waktu, dan biaya , maka dalam praktek dipaki faksi yaitu dimana setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain. Pelaku yang dapat dipidanakan diisyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang dan memiliki sifat melawan hukum.

B. Pengertian Penggelapan

Kata penggelapan adalah suatu terjemahan dari kata “Verdeuistering” dalam

Bahasa Belanda.5 Kamus umum bahasa Indonesia istilah “ penggelapan” berasal dari kata gelap yang memiliki arti tidak kelam, lalu ditambah dengan awalan pe- menjadi penggelap yang mengandung arti pelaku dari suatu perbuatan, yaitu orang yang melakukan perbuatan yang tidak terang-terangan, ditambah lagi

4

Tri Andrisman, Op.Cit., hlm.96.

5

PAF Lamintang dan C.Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap


(24)

dengan akhiran an- menjadi penggelapan yang mempunyai arti perbuatan penggelapan.6

Menurut sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tindak pidana pada umumnya dibagi dalam dua golongan, yakni kejahatan dan pelanggaran. Menurut doktrin, perbedaaan antara kejahatan dan pelanggaran menurut KUHP adalah apabila kejahatan didasarkan kepada “Recht Delicten” ,

artinya perbuatan itu menimbulkan ketidakadilan oleh karena itu perbuatan tersebut harus dibalas dengan ketidakadilan, sedangkan yang dijadikan dasar pelanggaran adalah pembentuk undang-undang yang menyatakan demikian atau sering disebut “Wets Delicten”.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Hukum menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan apa yang bersifat melawan hukum. Hukum tidak membiarkan perbuatan yang melawan hukum, hukum akan menggarap secara intensif perbuatan yang melawan hukum, baik perbuatan yang bersifat melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu), maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).7 Perhatian dan penggarapan perbuatan melawan hukum yang terjadi dan yang mungkin akan terjadi tersebut merupakan penegakan hukum.

Sanksi pidana dalam KUHP diatur dalam Pasal 10 yang terdiri dari pidana pokok meliputi pidana mati, penjara, kurungan, dan denda. Disamping pidana pokok ada pidana tambahan yang boleh dijatuhkan bersama dengan pidana pokok. Pidana

6

WSJ. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Bina Pustaka, 1986, hlm.306.

7


(25)

tambahan meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Mengenai kejahatan yang diatur dalam Buku II KUHAP, dapat diperinci menjadi :

1. Kejahatan terhadap negara; 2. Kejahatan terhadap harta benda

3. Kejahaatn terhadap badan dan nyawa orang; 4. Beberapa kejahatan lain.8

Berdasarkan penjelasan diatas, tindak pidana penggelapan termasuk dalam golongan terhadap harta benda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang tindak pidana penggelapan diatur dalam Buku II Bab XXIV dari Pasal 372 sampai Pasal 377. Pengertian tindak pidana penggelapan menurut KUHP dalam bentuk yang pokok diatur dalam Pasal 372 yang menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

8

R.Soesilo, KUHP Beserta Komentarnya terhadap Pasal Demi Pasal, Bogor, Poletea, 1985, hlm.IV.


(26)

C. Macam-Macam Tindak Pidana Penggelapan dan Unsur-unsurnya

Tindak pidana penggelapan ini diatur dalam Buku II Bab XXIV KUHP dari Pasal 372-377 KUHP. Berdasarkan perumusan yang dibuat dalam pasal-pasal diatas tindak pidana penggelapan dapat digolongkan dalam empat macam :

1. Penggelapan biasa (Pasal 372 KUHP) 2. Penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP)

3. Penggelapan dengan kualifikasi (Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP) 4. Penggelapan yang dilakukan dalam lingkungan keluarga

1. Penggelapan Biasa (dalam bentuk pokok)

Penggelapan dalam bentuk ini diatur dalam Pasal 372 KUHP, yang merupakan bentuk pokok tindak pidana penggelapan. Pasal 372 ini menyatakan : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Pernyataan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa tindak pidana penggelapan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur objektif terdiri dari: a. Memiliki

b. Barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagiannya adalah kepunyaan orang lain

c. Barang yang ada padanya atau dikuasainya bukan karena kejahatan Unsur subjektif terdiri dari :


(27)

a. dengan sengaja (met opzettelijke) b. dengan melawan hukum.9

2. Penggelapan Ringan

Penggelapan ringan hal ini diatur dalam Pasal 373 KUHP yang menyatakan : “perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Pernyataan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa penggelapan ringan sama saja dengan tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP, hanya saja diisyaratkan bahwa “apabila yang digelapkan itu bukan binatang ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah“. Pernyataan Pasal 373 KUHP, maka dapat kita uraikan unsur-unsur sebagai berikut :

a. Unsur-unsur penggelapan sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 372 KUHP

b. Ditambah dengan unsur-unsur yang meringankan : - bukan ternak;

- Harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.10

“Bahwa yang digelapkan itu haruslah bukan ternak, karena pencurian ternak justru merupakan unsur memberatkan pidana sebagaimana diatur undang-undang yang

9

Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP Buku II ), Bandung, Alumni, 1990,hlm.35.

10


(28)

memandang ternak sebagai suatu “benda khusus”, hal ini berdasarkan penjelasan J.Jonkers.11

Menurut pendapat Tresna bahwa “letak khususnya bahwa ternak atas hewan di negara agraris seperti Indonesia adalah milik rakyat yang penting sekali artinya, baik sebagai harta kekayaan maupun sebagai alat untuk mengerjakan pertanian, sehingga pembentuk undang-undang memandang perlu menjamin keamanan binatang-binatang ternak itu.12

1. Penggelapan dengan Kualifikasi

Tindak pidana penggelapan dengan kualifikasi diatur dalam Pasal 374 KUHP dan Pasal 375 KUHP. Pasal 374 KUHP yang menyatakan : “penggelapan yang dilakukan oleh orang yang menguasai barang itu karena jabatannya atau karena pekerjaannya atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun “.

Pernyataan Pasal 374 KUHP tersebut, maka unsur-unsur tndak pidana penggelapan sebagaimana yang diatur dalam pasal tersebut adalah :

1. Unsur-unsur penggelapan sebagaimana diatur dan ditentukan dalam Pasal 372

2. Ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan hukuman bagi seseorang yang menguasai barang karena;

a. Hubungan pekerjaannya; b. Mendapatkan upah.13

11

PAF Lintang dan C. Djisman Samosir,Op.Cit., hlm. 209.

12

Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta,Pradnya Paramita, 1975, hlm.224.

13


(29)

Hubungan kerja antara pelaku yang diberi kepercayaan dan orang yang memberi kepercayaan memperlihatkan suatu hubungan sosial yang memberitahukan tentang dua status orang yang yaitu pelaku dalam status yang lemah, sedangkan pihak lainnya itu yang memberikan kepercayaan dalam status yang kuat.14

Menurut Pasal 375 KUHP yang menyatakan : “penggelapan yang dilakukan oleh orang kepadanya barang itu terpaksa diberikan untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurua atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Penggelapan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu ini dalam kewajibannya adalah sebagai akibat dari hubungan orang itu dengan barang-barang yang harus diurusnya.

4. Penggelapan yang Dilakukan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan yang dilakukan dalam lingkungan keluarga diatur dalam Pasal 376 KUHP, yang menyatakan : “ ketentuan Pasal 367 KUHP berlaku bagi kejahatan -kejahatan yang diterangkan dalam bab ini.Menurut pasal tersebut pada prinsipnya sama halnya dengan tindak pidana pencurian, maka tindak pidana penggelapan apabila dilakukan dalam lingkungan keluarga berlaku pula ketentuan yang termuat dalam Pasal 367 KUHP.

Hubungan antara keluarga tersebut akan hancur, atas dasar itu maka soal penggelapan dalam lingkungan keluarga ini diserahkan penyelesaiannya kepada keluarga itu sendiri, tetapi apabila mereka tidak dapat menyelesaikan dan

14


(30)

memerlukan penyelesaian melalui alat perlengkapan negara, maka diperlukannya suatu pengaduan sebagai syarat untuk melakukan penuntutan. Tetapi kadang kala terjadi pada saat alat perlengkapan negara telah campur tangan, lalu orang atau keluarga yang bersangkutan menyadari keterlanjutannya, sehingga mereka melakukan perdamaian. Selama perkara itu belum diperiksa oleh hakim, perkara itu dapat ditarik kembali, jika pengaduan sudah ditarik kembali, maka tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya.15

D. Dasar Pertimbangan Hakim

Pemidanaan adalah suatu proses, sebelum proses itu berjalan , peranan hakim sangatlah penting. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Hakim dalam menjatuhkan pidana sangatlah banyak hal-hal yang mempengaruhinya, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaaan baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang.

Hakim mempunyai substansi untuk menjatuhkan pidana, akan tetapi dalam menjatuhkan pidana tersebut hakim dibatasi oleh aturan-aturan pemidanaaan, masalah pemberian pidana ini bukanlah masalah yang mudah seperti perkiraan orang, karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana, dan tinggi rendahnya pidana.

Peranan seorang hakim sebagi pihak yang memberikan pemidanaaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat

15


(31)

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebebasan hakim sangat dibutuhkan untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan.

Hakim memberikan putusan-putusannya dalam hal-hal sebagai berikut :16

a. Keputusan mengenai peristiwanya b. Keputusan mengenai hukumannya, dan c. Keputusannya mengenai pidananya.

Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa “dalam memeriksa dan memutuskan perkara, Hakim bertanggung jawab atas penerapannya dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Adanya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka kebebasan hakim menjadi semakin besar, atau dapat dikatakan hakim tidak hanya dapat menetapkan tentang

16


(32)

hukumannya, tetapi hakim juga dapat menemukan hukum dan akhirnya menetapkannya sebagi putusan dalam suatu perkara.


(33)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan dua macam pendekatan yaitu :

1. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari, melihat, dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berkenaan dengan permasalahan mengenai analisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan.

2. Pendekatan secara yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari kenyataan yang ada di lapangan guna mendapatkan data dan informasi yang dapat dipercaya kebenarannya mengenai analisis pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana penggelapan.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini, memerlukan bahan atau keterangan yang terkait dengan permasalahan yang berupa data, yaitu :


(34)

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan terutama dari orang-orang yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penulisan skripsi. Data primer ini akan diambil dari praktisi hukum yaitu jaksa dan hakim pada Kejaksaan Tinggi Lampung yang melakukan penuntutan pada perkara tersebut.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas,1 yang terdiri antara lain:

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma-norma atau kaedah-kaedah dasar perundang-undangan, KUHP, maupun yang terkandung dalam hukum-hukum yang lain yang berhubungan dengan materi penulisan.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini seperti yurisprudensi, teori-teori yang dikemukakan para ahli, keputusan-keputusan peradilan lainnya, aturan-aturan pelaksanaan perundang-undangan dan sebagainya.

1


(35)

3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti ; literatur, kamus, surat kabar, internet, dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.2 Penelitian ini yang akan dijadikan populasi adalah praktisi hukum dan teoritis hukum. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purpsive sampling” atau penarikan sampel yang bertujuan

dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.3

Adapun responden yang akan penulis jadikan sampel dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang 2. Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 2 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang

: 4 orang

2

Ibid. hlm.72.

3

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian dan Survey,_____, Jakarta, 1987, hlm.152.


(36)

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.

a. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan buku-buku, membaca, mencatat,dan mengutip buku-buku, peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah mengajukan pertanyaan yang telah disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahsan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan,buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.


(37)

2. Klasifikasi data, yaitu hasil identikasi data yang selanjutnya dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif. 3. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sitematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut di lanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus.


(38)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan dalam bab IV, maka dapat diambil simpulan bahwa :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penggelapan dengan terdakwa Rihna Utami binti Bustami harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena terdakwa telah melakukan perbuatan yang sifatnya melawan hukum yaitu melakukan tindak pidana penggelapan, dan perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan yang sadar, sehat jiwanya, dan dalam persidangan tidak ditemukannya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus pertanggungjawaban dari dirinya, sehingga terdakwa divonis oleh hakim dengan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan dalam masa percobaan selama 8 (delapan) bulan , yang telah terpenuhinya sesuai Pasal 372 KUHP, serta telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu :

a. Mempunyai kemampuan bertanggungjawab yaitu Rihna Utami yang disini mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab


(39)

b. Mempunyai unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Rihna Utami

c. Perbuatan Rihna Utami tersebut merupakan perbuatannya tidak ada alasan menghapuskan pidananya.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No: 380/Pid.B/2010/PN.TK adalah dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan seperti; keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan semua alat bukti yang diajukan di muka persidangan, mempertimbangkan dari unsur-unsur pasal yang didakwakan. Pertimbangan hakim dalam putusan ini mengacu pada teori keseimbangan, utusan ini mempertimbangkan keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan perkara dan hakim juga mempertimbangakan penjatuhan putusan dengan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian dicari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Pertimbangan hakim yang lainnya adalah :

Hal-hal yang memberatkan :

a. Perbuatan terdakwa telah menyebabkan PT. Balisena Utama Mandiri mengalami kerugian .

b. Perbuatan terdakwa memberikan contoh kepada para pegawai yang lain khususnya di PT. Balisena Utama Mandiri.


(40)

Hal-hal yang meringankan :

a. Terdakwa belum pernah dihukum

b. Terdakwa berlaku sopan selama dalam persidangan c. Terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya

B. Saran

Berdasarkan simpulan, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan hakim dalam memberikan putusan suatu perkara diharapkan berdasarkan dengan rasa keadilan dan ketentuan hukum pidana , serta hakim juga harus melihat latar belakang pelaku, seperti apakah terdakwa merupakan orang yang mampu bertanggung jawab dan juga hakim diharapkan lebih bijaksana dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa dan vonis hukumannya seharusnya lebih berat dari yang dijatuhkan , sebab berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penggelapan, karena jika sanksi yang diberikan oleh hakim terlalu ringan maka akan bermunculan kembali pelaku-pelaku tindak pidana yang lainnya.

2. Setiap putusan seorang hakim diharapkan menyampaikan dasar-dasar pertimbangan hakim dan juga sebaiknya harus berdasarkan dengan rasa keadilan serta kepastian hukum agar dapat terpenuhinya rasa keadilan antara korban maupun terdakwa terhadap perkara yang sedang diperiksa . Hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu putusan hakim sesuai dengan Pasal 14


(41)

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan hakim dalam memutuskan suatu perkara harus berdasarkan dengan sistem pemidanaan yang ada di dalam KUHP.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri, 2011, Asas-asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Anwar, Moch, 1990, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni,Bandung.

Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bina Aksara, Bandung. Chazawi, Adami, 2007, Hukum Pidana, Dasar Pemidananaan, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.,

Asas-asas Hukum Pidana, 2001, Rineka Cipta, Jakarta.

Marbun, Rocky, dkk,2012, Kamus Hukum Lengkap, Visimedia, Jakarta.

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey

,______, Jakarta.

Moeljatno, 1969, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum

Pidana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta., Kejahatan-Kejahatan

terhadap Kepentingan Umum,1987, Bina Aksara, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya, Bandung.

P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir,1979, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak yang Timbul Dari

Hak Milik, Citra Aditya, Bandung.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum

Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa, Jakarta.

Soedarto,1975, Hukum Pidana Jilid I, Universitas Diponogoro, Semarang.

Soekanto,1986, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.


(43)

Poletea, Bogor.

Solahuddin,2010, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata, Visimedia, Jakarta.

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung.

Suharso dan Ana Retnoningsih, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya, Semarang.

Tresna, 1975, Asas-Asas Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta.

Utrecht,E,1979, Rangkaian Seri Hukum Pidana I, Universitas Padjajaran, Bandung.

W.S.J. Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Bina Pustaka, Jakarta.


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan dalam bab IV, maka dapat diambil simpulan bahwa :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penggelapan dengan terdakwa Rihna Utami binti Bustami harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena terdakwa telah melakukan perbuatan yang sifatnya melawan hukum yaitu melakukan tindak pidana penggelapan, dan perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan yang sadar, sehat jiwanya, dan dalam persidangan tidak ditemukannya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus pertanggungjawaban dari dirinya, sehingga terdakwa divonis oleh hakim dengan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan dalam masa percobaan selama 8 (delapan) bulan , yang telah terpenuhinya sesuai Pasal 372 KUHP, serta telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu :

a. Mempunyai kemampuan bertanggungjawab yaitu Rihna Utami yang disini mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab


(2)

54

b. Mempunyai unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Rihna Utami

c. Perbuatan Rihna Utami tersebut merupakan perbuatannya tidak ada alasan menghapuskan pidananya.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No: 380/Pid.B/2010/PN.TK adalah dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan seperti; keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan semua alat bukti yang diajukan di muka persidangan, mempertimbangkan dari unsur-unsur pasal yang didakwakan. Pertimbangan hakim dalam putusan ini mengacu pada teori keseimbangan, utusan ini mempertimbangkan keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan perkara dan hakim juga mempertimbangakan penjatuhan putusan dengan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian dicari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Pertimbangan hakim yang lainnya adalah :

Hal-hal yang memberatkan :

a. Perbuatan terdakwa telah menyebabkan PT. Balisena Utama Mandiri mengalami kerugian .

b. Perbuatan terdakwa memberikan contoh kepada para pegawai yang lain khususnya di PT. Balisena Utama Mandiri.


(3)

Hal-hal yang meringankan :

a. Terdakwa belum pernah dihukum

b. Terdakwa berlaku sopan selama dalam persidangan c. Terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya

B. Saran

Berdasarkan simpulan, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan hakim dalam memberikan putusan suatu perkara diharapkan berdasarkan dengan rasa keadilan dan ketentuan hukum pidana , serta hakim juga harus melihat latar belakang pelaku, seperti apakah terdakwa merupakan orang yang mampu bertanggung jawab dan juga hakim diharapkan lebih bijaksana dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa dan vonis hukumannya seharusnya lebih berat dari yang dijatuhkan , sebab berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penggelapan, karena jika sanksi yang diberikan oleh hakim terlalu ringan maka akan bermunculan kembali pelaku-pelaku tindak pidana yang lainnya.

2. Setiap putusan seorang hakim diharapkan menyampaikan dasar-dasar pertimbangan hakim dan juga sebaiknya harus berdasarkan dengan rasa keadilan serta kepastian hukum agar dapat terpenuhinya rasa keadilan antara korban maupun terdakwa terhadap perkara yang sedang diperiksa . Hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu putusan hakim sesuai dengan Pasal 14


(4)

56

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan hakim dalam memutuskan suatu perkara harus berdasarkan dengan sistem pemidanaan yang ada di dalam KUHP.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri, 2011, Asas-asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Anwar, Moch, 1990, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni,Bandung.

Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bina Aksara, Bandung. Chazawi, Adami, 2007, Hukum Pidana, Dasar Pemidananaan, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta., Asas-asas Hukum Pidana, 2001, Rineka Cipta, Jakarta.

Marbun, Rocky, dkk,2012, Kamus Hukum Lengkap, Visimedia, Jakarta.

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey ,______, Jakarta.

Moeljatno, 1969, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum

Pidana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta., Kejahatan-Kejahatan

terhadap Kepentingan Umum,1987, Bina Aksara, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya, Bandung.

P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir,1979, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak yang Timbul Dari Hak Milik, Citra Aditya, Bandung.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa, Jakarta.

Soedarto,1975, Hukum Pidana Jilid I, Universitas Diponogoro, Semarang.

Soekanto,1986, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.


(6)

Soerodibroto,Soenarto,2001,KUHP dan KUHAP, Raja Grafindo, Jakarta.

Soesilo,R, 1985, KUHP beserta Komentarnya Terhadap Pasal Demi Pasal, Poletea, Bogor.

Solahuddin,2010, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata, Visimedia, Jakarta.

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung.

Suharso dan Ana Retnoningsih, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya, Semarang.

Tresna, 1975, Asas-Asas Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta.

Utrecht,E,1979, Rangkaian Seri Hukum Pidana I, Universitas Padjajaran, Bandung.

W.S.J. Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Bina Pustaka, Jakarta.