18 3.
Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, dan pelepah pisang Kemenkes RI,
2010. Hasil penelitian Aprianto Jacob dkk tahun 2014 menunjukkan bahwa
nyamuk Aedes spp tidak hanya mampu hidup pada perindukan air jernih saja, tapi dapat juga bertahan hidup dan tumbuh normal pada air got yang didiamkan dan
menjadi jernih. Pada air sumur gali dan PAM ketahanan hidup nyamuk Aedes spp sangat rendah dan tidak dapat tumbuh normal, serta air limbah sabun mandi tidak
memungkinkan untuk hidup nyamuk Aedes spp. Penelitian yang dilakukan oleh Yudhastuti tahun 2005 menunjukkan
hasil bahwa jenis kontainer atau penampungan air mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti dimana TPA untuk keperluan sehari-hari bak
mandi, bak WC, drum, tempayan, tandon, dan ember sebanyak 94 ditemukan adanya jentik Aedes aegypti dan hanya 6 ditemukan jentik di TPA bukan untuk
keperluan sehari-hari vas bunga dan tempat minum hewan piaraan.
2.1.1.5. Perilaku
Nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan nyamuk betina menghisap darah.
Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia daripada darah binatang bersifat antropofilik dan bisanya nyamuk betina ini menghisap darah manusia pada siang
hari yang dilakukan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah
19 matahari terbit 08.00-10.00 dan sebelum matahari terbenam 15.00-17.00
Kemenkes RI, 2010. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahribulan 2012 di
Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa waktu aktivitas menghisap darah Aedes aegypti baik dengan metode umpan orang dalam UOD maupun dengan metode
umpan orang luar UOL tertinggi ditemukan pada pukul 17.00-18.00 WITA. Hasil penelitian Hadi dkk 2012 menunjukkan bahwa aktivitas menggigit Aedes
aegypti tidak hanya hanya di siang hari, tetapi juga malam hari baik di dalam maupun luar rumah.
Tempat istirahat berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di halaman kebun pekarangan rumah, serta benda-
benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah, dan sebagainya. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari,
sedangkan di laboratorium mencapai 2 bulan. Aedes aegypti mampu terbang jauh sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbang adalah pendek yaitu kurang
lebih 40 meter Sutanto, 2008.
2.1.1.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Larva Aedes
aegypti
Berbagai faktor yang berhubungan dengan perkembangan larva Aedes aegypti, diantaranya sebagai berikut:
1. Suhu Udara
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan larva Aedes aegypti. Gandham 2013 menjelaskan bahwa
20 rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27
C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu 10
C atau 40
C. Hasil penelitian Arifin dkk 2013 menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu dalam rumah dengan keberadaan larva dengan p=0,040.
Penelitian Oktaviani 2012 menunjukkan hasil bahwa suhu udara berpengaruh terhadap perkembangan larva Aedes aegypti dengan
presentase sebesar 59,2. 2.
Kelembaban Udara Menurut Yudhastuti 2005, kelembaban udara yang optimal untuk
proses embriosasi dan ketahan embrio nyamuk berkisar antara 81,5- 89,5. Kelembaban udara 60 dapat menghambat kehidupan larva
Aedes aegypti. Hasil penelitian Yudhastuti 2005 menunjukkan bahwa pada kelembaban udara 81,5 atau 89,5 tidak ditemukan adanya
larva Aedes aegypti dengan presentase 78,6. Hasil penelian Ridha dkk 2013 menunjukkan bahwa kelembaban udara dapat mempengaruhi
perkembangan larva Aedes aegypti. Begitu pula hasil penelitian Oktaviani 2012 yang menunjukkan bahwa kelembaban udara
berpengaruh terhadap densitas nyamuk A. aegypti pada stadium larva dengan presentase sebesar 58,5.
3. Pencahayaan
Larva Aedes aegypti lebih menyukai tempat yang tidak terkena cahaya secara langsung. Kuswati 2004 menguji pengaruh pencahayaan dan
bentuk kontainer terhadap jumlah larva Aedes aegypti dalam kontainer,
21 dan penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna di antara
empat perlakuan, yaitu pada tempayan kondisi gelap, jambangan vas kondisi gelap, tempayan kondisi terang, dan jambangan kondisi terang.
Jumlah larva dengan nilai rata-rata tertinggi ditemukan pada jambangan dengan kondisi gelap.
4. pH Air
pH air dimana larva Aedes aegypti dapat tumbuh dan berkembang yaitu antara 5,8-8,6. Di luar kondisi tersebut, pertumbuhan dan perkembangan
larva Aedes aegypti dapat terhambat sehingga larva akan mati. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridha dkk
2013 menunjukkan bahwa air dengan pH 6 atau 7,8 tidak ditemukan adanya larva Aedes aegypti.
5. Suhu Air
Suhu air dapat mempengaruhi kematian larva Aedes aegypti pada kisaran 25
C atau 32 C. Berdasarkan hasil penelitian Ridha dkk 2013
menunjukkan bahwa pada suhu air 27 C atau 30
C tidak ditemukan keberadaan larva Aedes aegypti dengan presentasi sebanyak 75,1. Pada
penelitian Arifin 2013 menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara suhu air dengan keberadaan larva dengan p=0,036.
2.1.1.7. Pengendalian Vektor