HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DI RSUD ABDUL MOELOEK LAMPUNG

(1)

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DI RSUD ABDUL MOELOEK

LAMPUNG

Oleh

MUHAMMAD ADIN ARCHIETOBIAS

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

RELATIONSHIP BETWEEN THE DEGREE OF SEVERITY ATOPIC DERMATITIS WITH QUALITY OF LIFE PATIENTS IN ABDUL MOELOEK

HOSPITAL LAMPUNG

MUHAMMAD ADIN ARCHIETOBIAS

ABSTRACT

Atopic dermatitis is a chronic inflammatory skin diseases, recurrent that related to atopic symptoms such as allergic rhinitis , allergic conjunctivitis and bronchial asthma. Atopic dermatitis is a health problem that can affect the patient's quality of life . Quality of life is an individual perception about their position in life in the context of culture and value systems where they live and in relation to their goals, expectations, standards and concerns.

The purpose of this study was to determine the relationship of the severity of atopic dermatitis with quality of life in patients in Abdul Moeloek Hospital of Lampung Province. This research used observational analytic cross sectional approach with amount of sample is 46 people. This research was conducted at the General Hospital Abdul Moeloek Lampung Province. Getting data was started from November to December 2013, until the number of sample was collected. Based on this research, average score severity of atopic dermatitis patients in Abdul Moeloek Hospital of Lampung is 40.26 and quality of life is 10.41. There is relation between the severity with quality of life in dermatitis atopic patient, p value is <0,05.


(3)

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DI RSUD ABDUL MOELOEK

LAMPUNG

MUHAMMAD ADIN ARCHIETOBIAS

ABSTRAK

Dermatitis Atopik merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, berulang yang berhubungan dengan simptom atopik lain seperti rhinitis alergi, konjungtivitis alergi dan asma bronkial. Dermatitis atopik masih menjadi masalah kesehatan sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dan dalam kaitannya dengan tujuan mereka, harapan, standar dan kekhawatiran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 46 orang. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Pengambilan data dimulai dari November hingga Desember 2013, sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.

Dari penelitian ini diperoleh hasil rerata skor tingkat keparahan pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 40,26 dan rerata skor kualitas hidup pasien sebesar 10,41. Didapatkan hubungan yang bermakna antar tingkat keparahan dengan kualitas hidup pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek.


(4)

(5)

(6)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR DIAGRAM ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

DAFTAR BAGAN ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Teori ... 5

1.6 Kerangka Konsep... 5

1.7 Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik ... 7

2.1.1 Etiopatogenesis ... 15

2.1.2 Gambaran Klinis ... 19

2.1.3 Diagnosis... 21


(7)

ii

2.2.1 Komponen Kualitas Hidup ... 30

2.2.2 Pengukuran Kualitas Hidup ... 31

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 33

3.2 Desain Penelitian ... 33

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

3.4 Subyek Penelitian ... 33

3.5 Variabel Penelitian... 35

3.6 Definisi Operasional ... 36

3.7 Cara Pengumpulan Data ... 36

3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 39

3.8 Ethical Clearence ... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 40

4.1.1 Karakteristik Responden ... 40

4.1.2 Analisis Univariat ... 41

4.1.2.1 Tingkat Keparahan ... 41

4.1.2.2 Kualitas Hidup ... 42

4.1.3 Analisis Bivariat... 43

4.2 Pembahasan ... 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(8)

vii DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(9)

iii DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1Definisi Operasional ... 36

4.1Karakteristik Responden ... 40

4.2Skor Tingkat Keparahan Dermatitis Atopik ... 41

4.3Skor Kualitas Hidup Dermatitis Atopik ... 42


(10)

v DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Tabel Penentuan Jumlah Sampel dari Populasi Tertentu ... 53

2. Lembar Penjelasan ... 54

3. Lembar Informed Consent ... 55

4. Kuesioner Penelitian ... 56

5. Kuesioner DLQI ... 58

6. Kuesioner SCORAD ... 60

7. Hasil Pengolahan SPSS ... 61


(11)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, berulang yang berhubungan dengan simptom atopik lain seperti rhinitis alergi, konjungtivitis alergi dan asma bronkial. Dermatitis atopik biasa mulai sebelum usia dua tahun dan merupakan simptom atopik pertama yang menunjukan tanda klinis. Kelainan kulit pada DA ditandai dengan papul, kadang vesikel yang gatal, kemudian dapat menjadi eksoriasi dan likenifikasi, serta predileksi yang khas (Patrick, 2008).

Dermatitis atopik masih menjadi masalah kesehatan, terutama pada bayi dan anak, karena sifatnya yang kronik residif, sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dermatitis atopik paling sering pada bayi, namun dapat juga pada anak dan dewasa. Pada sebagian besar pasien, dermatitis atopik merupakan manifestasi klinis atopi yang pertama, dan banyak diantara mereka kemudian akan mengalami asma dan rinitis alergik. Predisposisi genetik adalah salah satu faktor risiko paling penting, peningkatan prevalensi DA di negara-negara industri menunjukkan bahwa faktor lingkungan (pajanan mikroba dan nutrisi) juga mempunyai peran cukup penting (Schultz, dkk., 1996 dalam Gondokaryono, 2009; Leung, 2007; Wisesa, 2009; Dharmadji, 2006).


(12)

World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan bahwa kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap posisi mereka dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan serta perhatian mereka. Hal ini merupakan konsep tingkatan yang terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan mereka kepada karakteristik lingkungan mereka (WHOQOL, 1997).

Penelitian Monti, dkk tahun 2011 di Italia menyebutkan ada hubungan kuat antara keparahan DA dan kualitas hidup. Penelitian Aziah, dkk tahun 2002 juga menerangkan bahwa pasien dan keluarga yang menderita DA sedang dan berat memiliki dampak yang lebih besar dalam kualitas hidup dibandingkan dengan DA ringan (Aziah, et al., 2002; Monti, et al., 2011). Penelitian Chamlin, dkk tahun 2004 juga menunjukkan bahwa Dermatitis atopik sangat mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini merupakan kerangka konseptual yang komprehensif merangkum cara di mana dermatitis atopik mempengaruhi kualitas hidup. Hasil penelitian Chamlin ini mendorong untuk mengembangkan kerengka konsep instrumen kualitas hidup (Chamlin, et al., 2004).

Prevalensi penyakit dermatitis atopik di Bandar Lampung pada tahun 2011 adalah 3252 penderita baru dan 557 penderita lama dari 16542 penderita penyakit kulit dan jaringan. Sedangkan prevalensi penyakit dermatitis atopik di Bandar Lampung pada tahun 2012 adalah 8785 penderita baru dan 1334


(13)

penderita lama dari 45254 penderita penyakit kulit dan jaringan. Dilihat dari data tersebut, dermatitis atopik adalah dermatitis kedua terbanyak yang sering diderita masyarakat Bandar Lampung (Data dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2012-1013).

Berdasarkan data perevalensi yang cukup tinggi dan penelitian sebelumnya tentang dermatitis atopik dari berbagai negara serta anjuran dari WHO untuk meneliti tingkat kualitas hidup dari setiap penyakit , maka penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan antara tingkat keparahan Dermatitis Atopik dengan Kualitas Hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Lampung“. 1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara tingkat keparahan Dermatitis Atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Lampung?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menggambarkan Tingkat Keparahan pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2. Menggambarkan Kualitas Hidup pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung


(14)

3. Mencari hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : a. Bagi Penulis

Menambah pengalaman penulis dalam melakukan penelitian mengenai hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik terhadap kualitas hidup penderitanya

b. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi bagi masyarakat mengenai hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik terhadap kualitas hidup mereka

c. Bagi Pendidikan

Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan tentang hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik dan kualitas hidup dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan


(15)

1.5 Kerangka Teori

Bagan 1. Kerangka Teori

\

1.6 Kerangka Konsep

Bagan 2. Kerangka Konsep

Emosional

Pekerjaan

atau

Pendidikan

Aktivitas

Rekreasi

Kehidupan

Sosial

Kualitas

Hidup

Independent Variabel Dependent Variabel

Tingkat Keparahan Dermatitis Atopik

Kualitas Hidup Tingkat Keparahan


(16)

1.7Hipotesis

Terdapat hubungan antara tingkat keparahan yang berat dermatitis atopik dengan kualitas hidup yang buruk pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik (DA) adalah suatu penyakit keradangan kulit kronik, ditandai rasa gatal, eritema, vesikel dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya.(Nurul, et al.2009).

Gambar 1. Dermatitis Atopik (Williams, 2005)

Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3% (Williams et al, 1999 dalam Leung, et al., 2007; Schultz


(18)

dan Hanifin, 2002 dalam Leung dan Bieber, 2003). Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1 (Kuster, et al., 1990 dalam Abramovits, 2005). Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onsetdermatitis atopic). Empat puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50% anak-anak yang terkena dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memilikitanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi jauh lebih peka selama masa dermatitis atopik (Illi et al., 2004 dalam Bieber, 2008). Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa ( late onset dermatitis atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada tanda-tandasensitisasi yang dimediasi oleh IgE (Novak dan Bieber, 2003 dalam Bieber, 2008).

Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum sepenuhnya dimengerti. Riwayat keluarga yang positif mempunyai peran yang penting dalam kerentanan terhadap dermatitis atopik, namun faktor genetik saja tidak dapat menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Dari hasil observasi yang dilakukan pada negara-negara yang memiliki etnis grup yang sama didapatkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik (Flohr, et al., 2005 dalam Gondokaryono, 2009; Tay, 2002 dalam Leung, et al., 2007). Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan yang dihubungkan


(19)

dengan “hygiene hypothesis”, yang mendalilkan bahwa ketiadaan pemaparan terhadap agen infeksi pada masa anak-anak yang dini meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi (Williams dan Flohr, 2006 dalam Bieber, 2008; Zutavern, et al., 2005 dalam Bieber, 2008).

Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, alergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2006).

a. Faktor Endogen 1. Sawar kulit

Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering baik di daerah lesi maupun non lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstraselular stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal, kulit akan makin kering dan merupakan port d’entryuntuk terjadinya penetrasi alergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien


(20)

dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo, 2009). Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah (Boediardja, 2006). 2. Genetik

Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam keluarga. Jumlah penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA, 75% bila kedua orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%. Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau keluarga sering terdapat riwayat rinitis alergik dan alergi pada saluran napas. Mekanisme imunologik berkaitan erat dengan ekspresi gen penyandi, diantaranya (Boediardja, 2006):  Ekspresi human leucocyte antigen (HLA)-DR pada sel Langerhans


(21)

 Aktivasi sel T oleh sel penyaji antigen atau antigen presenting cells (APC) atau sel Langerhans dengan ekspresi kuat reseptor IgE

(FcεRI). Selain itu ditemukan peningkatan jumlah IgE (100-1000 kali lipat) pada sel Langerhans di epidermis lesi DA yang sangat efisien untuk mempresentasikan alergen tungau debu rumah ke sel T.

 Secara konsisten terdapat peningkatan sintesis IgE spesifik terhadap banyak alergen. Hal tersebut berkaitan dengan kromosom 5q gen penyandi IgE terangkai dengan penyandi interleukin (IL)-4

 Peningkatan activated cutaneous lymphocyte antigen (CLA) dan sel T, serta jumlah IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2, yang secara genetik menunjukkan adanya polimorfisme. Terdapat asosiasi genotip antara gen pengkode sel T dengan gen pengkode IL-4 pada DA. Peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 berperan penting pada induksi produksi IgE.

 Peningkatan sekresi IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2 sesuai penemuan para peneliti imunogenetik, yaitu adanya polimorfisme :  Gen pada 5q3.33 merupakan gen penyandi 5, 9, 10,

IL-13.

 Gen pada 5q31-33 merupakan gen penyandi IL-4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) produksi sel Th2.

 Ditemukan peningkatan IL-6 (dihasilkan sel keratinosit), selain sitokin lain yang sudah ditemukan sebelumnya, yaitu 4,


(22)

IL-8, IL-10, IL-12, GM- CSF danregulated on activation normal T-cell expressed and secreted (RANTES).

 Terdapat penurunan kadar interferon (IFN) produksi sel Th1 pada DA :

 IFN- memediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menghambat produksi IgE.

 Pada DA kronik didominasi peningkatan IFN- bersama-sama dengan peningkatan IL-12.

 Eosinofil pada lesi DA fase akut :

 Terdapat peningkatan kadar sitokin yang dihasilkan sel T helper (ThCD4+), yaitu : IL-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin tersebut yang sangat berperan penting sebagai induksi molekul adhesi (E selectin) sel endotel pada inflamasi dan reaksi alergik, sehingga mampu menarik eosinofil dan sel inflamasi lainnya.

 IL-5 berfungsi memacu perkembangan, aktivitasi, kemotaksis dan kelangsungan hidup sel eosinofil dalam menghasilkan granul protein sitotoksik, major basic protein (MBP) pada lesi DA.  Ditemukan gen yang berkaitan dengan reseptor, yaitu gen 14q12

penyandi reseptor α sel T (TCRα) dan gen 11q1γ penyandi reseptor subunit reseptor subunit IgE (FcεRI ).

 Bukti polimorfisme lainnya, antara lain adalah polimorfisme keterikatan DA dan asma pada gen reseptor di 11q12-13. Pada DA terdapat keterikatan gen di kromosom 3q21 (penyandi CD80 dan CD86). Keterikatan antara kromosom 1q21 dan 17q21, kedua lokus


(23)

tersebut berdekatan dengan lokus gen penyandi psoriasis (1q21 dan 17q25).

3. Hipersensitivitas

Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN- , dan peningkatan IL-4. Produksi IFN- juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga terjadi peningkatan produksi

IFN-, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif (pada food challenge test) (Boediardja, 2006).

4. Faktor psikis

Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA bertambah buruk akibat stress emosi (Boediardja, 2006).

b. Faktor eksogen 1. Iritan

Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat


(24)

gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol (Boediardja, 2006).

2. Alergen

Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara lain:

 Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik) (Boediardja, 2006).

 Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind placebo food challenge test (DBPFCT) (Boediardja, 2006).

Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami inflamasi ditemukan 107 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah satu cara S.aureus menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal enterotoin A,B,C,D - SEA- SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut


(25)

meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi

TNF-α oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo, 2009).

3. Lingkungan

Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB (Boediardja, 2006).

2.1.1 Etiopatogenesis

Menurut Tanjung tahun 2012 dermatitis atopik ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik.

a. Faktor Genetik

DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 – 33 karena mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM – CSF


(26)

(granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan DA tetapi

tidak dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine protease yang diproduksi sel mas kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi pada resiko genetik DA.

b. Respons imun pada kulit

Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis. Bila antigen ditangkap IgE sel mas (melalui

reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross linking dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi sel mas dan akan keluar histamin dan faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel eosinofil. Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein), kemudian diproses untuk selanjutnya dengan bekerja sama dengan MHC


(27)

II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaive) yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN- , TNF, IL-2 dan 17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Pada pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL

dan sel mas, IgE juga berafinitas tinggi dengan FcεRI yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil.

Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro

inflamasi epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA. Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN- yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis. Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi oleh sel B.


(28)

c. Respons sistemik

Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut : - Sintesis IgE meningkat.

- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat. - Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat. - Respons hipersensitivitas lambat terganggu

- Eosinofilia

- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat - Sekresi IFN- oleh sel TH1 menurun

- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.

- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan PGE2

d. Sawar kulit

Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum meningkat air) menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk. Garukan ini menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengansegala akibat-akibatnya.

e. Faktor lingkungan

Peran lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap remeh. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Jenis


(29)

makanan yang menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan pada dewasa sea food dan kacang-kacangan. Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan alergen hirup yang berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi dapat menjadi faktor pencetus DA. 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat menjadi masalah bagi penderita DA. Hubungan psikis dan penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik residif dapat mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal. Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya mikroorganisme dan bahan iritan (seperti sabun, detergen, antiseptik, pemutih, pengawet) memasuki kulit.

2.1.2 Gambaran Klinis

Ada 3 fase klinis DA yaitu DA infantil (2 bulan – 2 tahun), DA anak (2 – 10 tahun) dan DA pada remaja dan dewasa. DA infantil (2 bulan – 2 tahun) DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada bulan kedua. Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor


(30)

ekstremitas. Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak.

 DA pada anak (2 – 10 tahun)

Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri (de novo). Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher. Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan.

 DA pada remaja dan dewasa

Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher, dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi hiperpigmentasi. Pruritus adalah gejala subjektif yang paling dominan dan terutama dirasakan pada malam hari. Bagaimana mekanisme timbulnya pruritus masih belum jelas. Histamin yang keluar akibat degranulasi sel mas bukanlah satu-satunya penyebab pruritus. Disangkakan sel peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat kekeringan kulit,


(31)

perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, bahan iritan konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan timbulnya pruritus. Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan dan sebagian kecil sampai tua. Berbagai kelainan kulit dapat menyertai DA (termasuk dalam kriteria minor) (Tanjung, 2012).

2.1.3 Diagnosis

Berbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris dikoordinasi oleh William. Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.

Kriteria Mayor : - Pruritus

- Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak - Dermatitis di fleksura pada dewasa

- Dermatitis kronis atau residif

- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Kriteria Minor - Xerosis

- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks) - Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki


(32)

- Pitiriasis alba

- Dermatitis di papila mame

- White dermatografism dan delayed blanched response - Keilitis

- Lipatan infra orbital Dennie – Morgan - Konjungtivitis berulang

- Keratokonus

- Katarak subkapsular anterior - Orbita menjadi gelap

- Muka pucat dan eritema - Gatal bila berkeringat - Intolerans perifolikular

- Hipersensitif terhadap makanan

- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi - Tes alergi kulit tipe dadakan positif

- Kadar IgE dalam serum meningkat - Awitan pada usia dini

2.1.4. Tingkat keparahan penyakit

Tingkat keparahan penderita DA dinilai dengan menggunakan sistem SCORAD, yang terdiri dari beberapa kriteria :

A. Luasnya lesi


(33)

B. Intensitas lesi

Kriteria ini meliputi eritema, edema/papulasi, krusta, ekskoriasi, likenifikasi, dan xerosis, yang dinilai dengan skor 0-3

C. Keluhan penderita

Dua kriteria yang mencerminkan keluhan subyektif penderita yaitu gatal dan gangguan tidur, yang dinyatakan dalam skor 0-10 untuk masing-masing kriteria. Dari ketiga kriteria di atas dapat dihitung SCORAD dengan rumus A/5 + 7B/2 + C. Pada penelitian ini derajat keparahan DA dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu :

a. Ringan : < 25 b. Sedang : 25-50 c. Berat : > 50

2.1.5. Penatalaksanaan a. Non-Medika Mentosa

Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut.

- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll)

- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi. - Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.


(34)

- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.

- Menghindarkan stres emosi.

- Mengobati rasa gatal (Tanjung, 2012) b. Medika Mentosa

1. Pengobatan topikal a) Hidrasi kulit

Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi.

b) Kortikosteroid topikal

Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol, kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu.

c) Imunomodulator topikal  Takrolimus

Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan


(35)

0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat.

 Pimekrolimus

Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.

d) Antihistamin

Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif.

2. Pengobatan sistemik a. Kortikosteroid

Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen.

b. Antihistamin

Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik,


(36)

aktifitas penderita dll. Antihistamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamin H1 dan H2.

c. Anti infeksi

Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S.aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau kaltromisin. Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.

d. Interferon

IFN bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan

proliferasi sel TH1. Pengobatan IFN rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

e. Siklosporin

Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.


(37)

f. Terapi sinar (phototherapy)

Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet atau

kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi SL dan mengubah produksi sitoksin keratinosit. Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra

violet atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi SL dan m engubah produksi sitoksin keratinosit (Tanjung, 2012)

2.2 Kualitas Hidup

Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dan dalam kaitannya dengan tujuan mereka, harapan, standar dan kekhawatiran. Ini adalah konsep yang luas dan kompleks yang dipengaruhi kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi dan hubungan mereka dengan lingkungan mereka (WHO, 1997).

Ventedogt tahun 2003 mengatakan, kualitas hidup berarti hidup yang baik, hidup yang baik sama seperti hidup dengan kehidupan yang berkualitas tinggi. Dalam hal ini dapat dikelompokkan dalam 3 bagian yang berpusat pada aspek hidup yanng baik yaitu (Ventedogt, et al. 2003)


(38)

a. Kualitas hidup subjektif yaitu suatu hidup yang baik yang dirasakan oleh masing–masing individu yang memilikinya. Masing – masing individu secara personal mengevaluasi bagaimana mereka menggambarkan sesuatu dan perasaan mereka.

b. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang merupakan level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu dapat hidup dalam keharmonisan

c. Kualitas objektif yaitu bagaimana hidup sesorang dirasakan oleh dunia luar. Kualitas objektif dinyatakan dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi pada nilai– nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.

Ketiga aspek kualitas hidup ini keseluruhan dikelompokkan dengan pernyataan yang relevan pada kualitas hidup yang dapat ditempatkan dalam suatu rentang spektrum dari subjektif ke objektif, elemen eksistensial berada diantaranya yang merupakan teori kualitas hidup meliputi kesejahteraan, kepuasan hidup, kebahagiaan, makna dalam hidup dan pemenuhan kebutuhan, biologis dan mencapai potensial hidup.

a. Kesejahteraan

Kesejahteraan berhubungan dengan bagaimana sesuatu berfungsi dalam suatu dunia objektif dan faktor eksternal hidup. Ketika kita membicarakan tentang perasaan baik maka kesejahteraan merupakan pemenuhan kebutuhan dan realisasi diri.


(39)

b. Kepuasan hidup

Menjadi puas berarti merasakan bahwa hidup yang seharusnya, ketika pengharapan–pengharapan, kebutuhan dan gairah hidup diperoleh di sekitarnya maka sesorang puas. Kepuasan adalah pernyataan mental yaitu keadaan yang kognitif.

c. Kebahagiaan

Ini merupakan perasaan yang spesial yang berharga dan sangat diinginkan tetapi sulit diperoleh. Tidak banyak orang percaya bahwa kebahagiaan diperoleh dari adaptasi terhadap budaya seseorang, kebahagiaan diasosiasikan dengan dimensi–dimensi non rasional seperti cinta, ikatan erat dengan sifat dasar tetapi bukan dengan uang.

d. Makna dalam hidup

Makna dalam hidup merupakan suatu konsep yang sangat penting dan jarang digunakan. Pencarian makna hidup melibatkan suatu penerimaan dari ketidakberartian dan kesangat berartian dari hidup.

e. Pemenuhan kebutuhan

Kebutuhan dihubungkan dengan kualitas hidup dimana ketika kebutuhan seseorang terpenuhi maka kualitas hidupnya tinggi. Kebutuhan merupakan suatu ekspresi sifat dasar kita yang pada umumnya dimiliki oleh makhluk hidup.

f. Pencapaian potensial hidup

Teori pencapaian potensial hidup merupakan suatu teori dari hubungan antara sifat dasarnya / titik permulaan biologis. Ini tidak mengurangi


(40)

kekhususan dari makhluk hidup tetapi hanya tingkat dimana pertukaran informasi yang bermakna dalam sistem hidup dari sel ke organisme sosial. g. Gambaran biologis kualitas hidup

Gambaran biologis kualitas hidup yaitu sistem informasi biologis dan tingkat keseimbangan eksistensial dilihat dari segi kesehatan fisik. Kesehatan fisik mencerminkan tingkat sistem informasi biologi seperti sel

– sel dalam tubuh membutuhkan informasi yang tepat untuk berfungsi secara benar dalam menjaga kesehatan dan keseimbangan tubuh. Kesadaran kita dan pengalaman hidup juga terkondisi secara biologis. Pengalaman dimana hidup bermakna atau tidak, dapat dilihat sebagai kondisi dari sistem informasi biologis.

2.2.1 Komponen kualitas hidup

Felce, et al. (1995) menyebutkan bahwa ada tiga komponen dalam pengukuran kualitas hidup, yakni komponen objektif, komponen subjektif, dan komponen kepentingan. Komponen objektif berkaitan dengan data objektif atau kondisi kehidupan yang sebenarnya pada berbagai aspek kehidupan. Komponen subjektif merupakan penilaian individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini pada berbagai aspek kehidupan, dan komponen kepentingan merupakan seberapa penting suatu aspek kehidupan dalam mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

WHOQOL Group (1998) menyatakan komponen dilihat dari seluruh kualitas hidup dan kesehatan secara umum :


(41)

a. Kesehatan fisik

Penyakit dan kegelisah, tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat dan bantuan medis, kapasitas pekerjaan.

b. Psikologis

Perasaan positif, berfikir; belajar; mengingat; dan konsentrasi, self-esteem, penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif, kepercayaan individu.

c. Hubungan sosial

Pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual. d. Lingkungan

Kebebasan; keselamatan fisik dan keamanan, lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh keterampilan dan informasi baru, keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi, aktivitas di lingkungan, transportasi.

2.2.2 Pengukuran Kualitas Hidup

Menurut Patrick (1973), Brook (1983) dalam Hendromartono (2000), kualitas hidup dipengaruhi pengalaman, kepercayaan, harapan, serta persepsi orang tersebut, yang secara kolektif disebut persepsi sehat.

Setiap domain dari kualitas hidup tersebut diukur dalam dua dimensi yaitu pengukuran fungsi status sehat yang bersifat objektif dan persepsi sehat yaitu subjektif. Meskipun dimensi objektif penting dalam menentukan tingkat kesehatan seseorang, namun persepsi serta harapan penderita dapat


(42)

mengartikan pengukuran objektif ke dalam kualitas hidup yang sebenarnya. Harapan terhadap kesehatan dan kemampuan mangatasi sesuatu dengan keadaan yang terbatas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap persepsi sehat serta kepuasan hidup. Oleh karena itu ada dua pasien dengan status kesehatan yang sama dapat mempunyai kualitas hidup yang berbeda. Tiap-tiap domain sehat memiiki banyak komponen yang perlu diukur, misalnya gejala, kemampuan fungsional, dan ketidakmampuan. Menerjemahkan berbagai domain serta komponen sehat menjadi nilai kuantitaif yang menunjukkan kualitas hidup merupakan usaha yang kompleks. Hal tersebut mencakup bidang klinimetrik, psikometrik, dan klinik (Hendromartono, 2000).


(43)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan desain potong lintang yang bertujuan untuk menganalisis adanya hubungan antar variabel (Dahlan, 2010) dimana dalam hal ini variabel penelitian adalah dermatitis atopik dan kualitas hidup pasien. Pengukuran dan pengambilan variabel dilakukan pada satu saat yang bersamaan.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Pengambilan data dimulai dari November hingga Desember 2013, sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.

3.4 Subyek Penelitian a. Populasi


(44)

1. Populasi Target

Pasien Dermatitis Atopik yang pernah berobat atau sedang berobat 2. Populasi Terjangkau

Pasien Dermatitis Atopik yang pernah atau sedang berobat di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung

b. Sampel

Sampel kasus dari pasien Dermatitis atopik dalam kurun waktu November 2012 - November 2013 yang datang berobat ke poli klinik kulit-kelamin RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung dan melalui data sekunder (catatan medik) untuk melihat data pasien, kemudian mendatangi pasien dermatitis atopik dan memberi kuesioner sebagai data primer.

1. Kriteria Inklusi

 Responden yang menderita Dermatitis Atopik  Mampu untuk komunikasi dengan baik

 Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed consent yang telah disediakan

2. Kriteria Eksklusi

 Responden yang tidak mengisi dengan lengkap lembar kuesioner yang telah disediakan

 Responden menolak untuk mengisi lembar kuisioner  Responden dengan penyakit penyerta lain


(45)

c. Besar sampel

Menurut Isaac dan Michael dalam Sugiyono (2007) :

s = Jumlah sampel N = Jumlah populasi

Diketahui populasi pasien dermatitis atopik yang berobat ke RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode November 2012 – November 2013 sebanyak 48 pasien (Data rekam medik RSUD Abdul Moeloek, 2013).

λ2 = Chi Kuadrat, dengan dk = 1, taraf kesalahan 1%, 5% dan 10% Peneliti memilih kesalahan 5%.

d = 0,05 P = Q = 0,5

Mengacu pada tabel penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu dengan taraf kesalahan 1%, 5%, dan 10% (lampiran), maka besar sampel minimal dalam penelitian ini menjadi 46 pasien dermatitis atopik yang datang berobat atau pernah berobat ke poli kulit-kelamin RSUD Abdul Moeloek periode November 2012 – Desember 2013.

3.5 Variabel Penelitian

a. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas pada penelitian ini adalah tingkat keparahan dermatitis atopik


(46)

b. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kualitas hidup pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung

3.6 Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan membatasi penelitian, maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara

pengukuran Hasil Skala

Tingkat Keparahan Dermatitis atopik Derajat keparahan dermatitis atopik yang dinilai berdasarkan SCORAD. 1. Anamnesis 2. Pemeriksan fisik 3. Status dermatologi

a. Ringan : < 25 b. Sedang : 25-50 c. Berat : > 50 (SCORAD) Nominal Kualitas Hidup Kemampuan seseorang untuk melakukan fungsi hidupnya dalam beraktivitas secara normal sesuai kondisi kesehatan atau keluhan yang ada menurut persepsinya

Wawancara dengan kuesioner

kualitas hidup dermatologi

Tidak ada efek, apabila total skoring 0 – 1

Efek kecil, apabila total skoring 2 – 5 Efek sedang, apabila total skoring 6 – 10 Efek besar, apabila total skoring 11 – 20 Efek parah, apabila total skoring 21 – 30 (DLQI)

Ordinal

3.7 Cara Pengumpulan Data a. Bahan

Penelitian dilakukan dengan observasi analitik dengan sampel penelitian manusia (penderita dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung)


(47)

b. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen kuesioner. Pada penelitian ini digunakan instrumen kuesioner I, II

1. Kuesioner I untuk mengetahui data demografi pasien dermatitis atopik. 2. Kuesioner II untuk dengan menggunakan instrumen kuesioner kualitas

hidup dermatologi.

3. Kuesioner III untuk menilai tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kuesioner SCORAD.

c. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang merupakan data dari hasil kuesioner yang diisi oleh responden, dan data sekunder yang merupakan data dari catatan medik responden di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung

d. Cara kerja

Pengambilan data dan penelitian dilakukan selama 1 bulan dan pengelolaan serta analisis data dilakukan selama 1,5 bulan berjalannya pengambilan data dan penelitian. Kuesioner dibagikan, kemudian dikumpulkan segera setelah diisikan. Melalui catatan medik telah dicatat data dasar dari masing-masing subyek yang diperlukan dalam penelitian, dengan sebelumnya melakukan prosedur izin dari RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(48)

e. Alur Penelitian

Bagan 3. Alur Penelitian

Prosedur perizinan penelitian ke RSUD Abdul Moeloek

Survei pendahuluan

(data prevalensi dan rekam medis pasien)

Sampel kasus (pasien dermatitis atopik) yang didatangi ke tempat sampel yang bersedia mengikuti penelitian dibuktikan dengan mengisi dan menandatangani

informed consent

Pengumpulan Data Sampel kasus (pasien dermatitis

atopik) yang datang ke poli klinik kulit-kelamin yang bersedia mengikuti penelitian dibuktikan dengan mengisi dan menandatangani

informed consent

Kuesioner dibagikan dan diisi oleh responden


(49)

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

Data diolah dengan alat bantu program analisis statistik, untuk analisis data digunakan analisis data univariat dan bivariat yaitu untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Uji hipotesis yang sesuai guna pengambilan keputusan yang sahih (Dahlan, 2010).

Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square, jika memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat uji Chi Square, maka digunakan uji alternatifnya, yaitu uji Fischer (Dahlan, 2010).

3.9 Ethical Clearance

Proposal penelitian ini sudah disetujui oleh komisi etik penelitian kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor ethical clearance: 038/UN26/8/DT/2014


(50)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Rerata skor tingkat keparahan pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 40,26 dengan sebagian besar responden berada dalam kategori keparahan tingkat sedang yaitu sebanyak 24 (52,17%) responden.

2. Rerata skor kualitas hidup pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 10,41 dengan sebagian besar responden berada dalam kategori gangguan kualitas hidup sedang yaitu sebanyak 20 (43,41%) responden.

3. Terdapat hubungan yang bermakna antar tingkat keparahan dengan kualitas hidup pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek.

5.2 Saran

1. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari variabel-variabel yang memiliki hubungan antara kualitas hidup pasien Dermatitis atopik.


(51)

2. Bagi peneliti lain, perlu dipertimbangkan untuk memasukan responden berusia >15 tahun karena dikhawatirkan data yang kurang valid dalam malakukan anamnesis.

3. Bagi instansi kesehatan seperti rumah sakit perlu menerapkan strategi agar pasien Dermatitis Atopi yang berobat tidak hanya mendapat terapi penyakitnya namun juga dukungan untuk meningkatkan kualitas hidup. 4. Bagi Penderita Dermatitis Atopik agar segera berobat apabila gejala

kekambuhan sudah muncul tanpa menunggu kondisi menjadi berat karena akan semakin menurunkan kualitas hidup apabila penderita menunda-nunda pengobatan.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Abramovits, W., 2005. Atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. 53 (1): S86-S93 Artana, I.P. 2013. Kadar Malondialdehyde serum dan stres psikologis berkorelasi

positif dengan severitas dermatitis atopik (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.

Aziah, M. S. N., Rosnah, T., Mardziah, A., Norzila, M. Z. 2002. Childhood atopic dermatitis: a measurement of quality of life and family impact. Department of pediatrics. 57: 329-339.

Bieber, T. 2008. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 358 (14): 1483-1493.

Boediardja, S.A., 2006. Etiopatogenesis Beberapa Dermatitis pada Bayi dan Anak. Dalam: Djajakusumah, T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 11- 28.

Chamlin, S. L., Frieden, I. J., Williams, M. L., Chren, M. L. M. 2004. Effects of atopic dermatitis on young American children and their families. Pediatrics. 114: 607-611.

Dahlan, MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Ed 4. Jakarta : Salemba Medika

Dharmadji, H. T. 2006. Berbagai Dermatitis yang Sering Terjadi pada Bayi dan Anak. Dalam: Djajakusumah T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 1-10. Dina, W. 2010. Hubungan kadar Interleukin-17 dengan tingkat keparahan dermatitis

atopi di RSUP Sanglah Denpasar (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.

Fauzi, N., Sawitri, Pohan, S. S., 2009. Korelasi antara Jumlah Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada


(53)

Dermatitis Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya

Felce, D., Perry, J. 1995. Quality of Life : its definition and measurement. Welsh Centre for Learning Disabilities Applied Research Unit. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7701092

Gondokaryono, S. P. 2009. Peran Probiotik pada Dermatitis Atopik. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 56-64.

Hendromartono. 2000. Pengaruh perbaikan status aeterohemoreolgik pada kualitas hidup penderita diabetes melitus tak tergantung insulin dengan gangguan pembuluh darah perifer tungkai bawah. (Disertasi). Universitas Airlangga. Surabaya

Hendrawan, I.W. 2013. Kadar Eosinophil Cationic Protein serum Berkorelasi Positif Dengan Derajat Keparahan dermatitis atopik (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.

Hoetomo,M. 2011. Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Atopik pada Berbagai Derajat

Keparahan Dermatitis Atopik.[Disertasi] Universitas Airlangga. Surabaya Leung, D. Y. M., Bieber, T. 2003. Atopic dermatitis. The Lancet. 361: 151-160.

Monti, F., Agostini, F., Gobbi, F., Neri, E., Schianchi, S., Archangeli, F. 2011. Quality of life measures in Italian children with atopic dermatitis and their families. Italian Journal of Pediatrics.

Segre, J.A. 2006. Epidermal barrier formation and recovery in skin disorders. J Clin Invest.116: 1150-58.

Soebaryo, R. W., 2002. Masalah Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Balai Penerbitan FK UI, Jakarta. 1-8.

Sularsito, S. A. 2007. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke 5. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. hal.138-147


(54)

Tsuboi, H., Kouda, K., and Takeuchi, K. 1998. 8-Hydroxydeoxyguanosine in urine as

an index of oxidative damage to DNA in evaluation of atopic dermatitis. British J Dermatol. 2003; 149: 248-54.

Vendegodt, Merrick, Andersen. 2003. QOL I.the IQOL theory og global quality of

life concept. 3 September 2013. Diunduh dari

http://www.livskvalitet.org/pdf/QOL_theory_I_ (The_IQOL_theory).pdf

WHOQOL. 1997. Measuring Quality of Life. Geneva Switzerland: Division of Mental Health and Prevention of Substance Abuse, World Health Organization

Williams, H. C. 2005. Atopic dermatitis. The New England Journal of Medicine. 352(22):2314-2324

Wisesa, T. W. 2009. Masalah Kulit yang Sering Ditemukan pada Bayi dan Anak. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Masalah Kulit dan Keputihan Pada Bayi dan Anak. Balai Penerbitan FK UI, Jakarta. 1-8.

World Health Organization. (1998). WHOQOL-BREF. 3 September 2013, dari http://www.who.int/evidence/assesment-instruments/qol/index .htm

Zulkarnain, I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. Dalam: Boediardja, S.A, ed. Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 21- 38


(1)

39

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

Data diolah dengan alat bantu program analisis statistik, untuk analisis data digunakan analisis data univariat dan bivariat yaitu untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Uji hipotesis yang sesuai guna pengambilan keputusan yang sahih (Dahlan, 2010).

Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square, jika memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat uji Chi Square, maka digunakan uji alternatifnya, yaitu uji Fischer (Dahlan, 2010).

3.9 Ethical Clearance

Proposal penelitian ini sudah disetujui oleh komisi etik penelitian kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor ethical clearance: 038/UN26/8/DT/2014


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Rerata skor tingkat keparahan pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 40,26 dengan sebagian besar responden berada dalam kategori keparahan tingkat sedang yaitu sebanyak 24 (52,17%) responden.

2. Rerata skor kualitas hidup pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 10,41 dengan sebagian besar responden berada dalam kategori gangguan kualitas hidup sedang yaitu sebanyak 20 (43,41%) responden.

3. Terdapat hubungan yang bermakna antar tingkat keparahan dengan kualitas hidup pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek.

5.2 Saran

1. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari variabel-variabel yang memiliki hubungan antara kualitas hidup pasien Dermatitis atopik.


(3)

48

2. Bagi peneliti lain, perlu dipertimbangkan untuk memasukan responden berusia >15 tahun karena dikhawatirkan data yang kurang valid dalam malakukan anamnesis.

3. Bagi instansi kesehatan seperti rumah sakit perlu menerapkan strategi agar pasien Dermatitis Atopi yang berobat tidak hanya mendapat terapi penyakitnya namun juga dukungan untuk meningkatkan kualitas hidup. 4. Bagi Penderita Dermatitis Atopik agar segera berobat apabila gejala

kekambuhan sudah muncul tanpa menunggu kondisi menjadi berat karena akan semakin menurunkan kualitas hidup apabila penderita menunda-nunda pengobatan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abramovits, W., 2005. Atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. 53 (1): S86-S93 Artana, I.P. 2013. Kadar Malondialdehyde serum dan stres psikologis berkorelasi

positif dengan severitas dermatitis atopik (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.

Aziah, M. S. N., Rosnah, T., Mardziah, A., Norzila, M. Z. 2002. Childhood atopic dermatitis: a measurement of quality of life and family impact. Department of pediatrics. 57: 329-339.

Bieber, T. 2008. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 358 (14): 1483-1493.

Boediardja, S.A., 2006. Etiopatogenesis Beberapa Dermatitis pada Bayi dan Anak. Dalam: Djajakusumah, T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 11- 28.

Chamlin, S. L., Frieden, I. J., Williams, M. L., Chren, M. L. M. 2004. Effects of atopic dermatitis on young American children and their families. Pediatrics. 114: 607-611.

Dahlan, MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Ed 4. Jakarta : Salemba Medika

Dharmadji, H. T. 2006. Berbagai Dermatitis yang Sering Terjadi pada Bayi dan Anak. Dalam: Djajakusumah T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 1-10. Dina, W. 2010. Hubungan kadar Interleukin-17 dengan tingkat keparahan dermatitis

atopi di RSUP Sanglah Denpasar (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.

Fauzi, N., Sawitri, Pohan, S. S., 2009. Korelasi antara Jumlah Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada


(5)

50

Dermatitis Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya

Felce, D., Perry, J. 1995. Quality of Life : its definition and measurement. Welsh Centre for Learning Disabilities Applied Research Unit. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7701092

Gondokaryono, S. P. 2009. Peran Probiotik pada Dermatitis Atopik. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 56-64.

Hendromartono. 2000. Pengaruh perbaikan status aeterohemoreolgik pada kualitas hidup penderita diabetes melitus tak tergantung insulin dengan gangguan pembuluh darah perifer tungkai bawah. (Disertasi). Universitas Airlangga. Surabaya

Hendrawan, I.W. 2013. Kadar Eosinophil Cationic Protein serum Berkorelasi Positif Dengan Derajat Keparahan dermatitis atopik (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.

Hoetomo,M. 2011. Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Atopik pada Berbagai Derajat

Keparahan Dermatitis Atopik.[Disertasi] Universitas Airlangga. Surabaya Leung, D. Y. M., Bieber, T. 2003. Atopic dermatitis. The Lancet. 361: 151-160.

Monti, F., Agostini, F., Gobbi, F., Neri, E., Schianchi, S., Archangeli, F. 2011. Quality of life measures in Italian children with atopic dermatitis and their families. Italian Journal of Pediatrics.

Segre, J.A. 2006. Epidermal barrier formation and recovery in skin disorders. J Clin Invest.116: 1150-58.

Soebaryo, R. W., 2002. Masalah Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Balai Penerbitan FK UI, Jakarta. 1-8.

Sularsito, S. A. 2007. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke 5. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. hal.138-147


(6)

Tsuboi, H., Kouda, K., and Takeuchi, K. 1998. 8-Hydroxydeoxyguanosine in urine as

an index of oxidative damage to DNA in evaluation of atopic dermatitis. British J Dermatol. 2003; 149: 248-54.

Vendegodt, Merrick, Andersen. 2003. QOL I.the IQOL theory og global quality of

life concept. 3 September 2013. Diunduh dari

http://www.livskvalitet.org/pdf/QOL_theory_I_ (The_IQOL_theory).pdf

WHOQOL. 1997. Measuring Quality of Life. Geneva Switzerland: Division of Mental Health and Prevention of Substance Abuse, World Health Organization

Williams, H. C. 2005. Atopic dermatitis. The New England Journal of Medicine. 352(22):2314-2324

Wisesa, T. W. 2009. Masalah Kulit yang Sering Ditemukan pada Bayi dan Anak. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Masalah Kulit dan Keputihan Pada Bayi dan Anak. Balai Penerbitan FK UI, Jakarta. 1-8.

World Health Organization. (1998). WHOQOL-BREF. 3 September 2013, dari http://www.who.int/evidence/assesment-instruments/qol/index .htm

Zulkarnain, I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. Dalam: Boediardja, S.A, ed. Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 21- 38