HUBUNGAN KADAR IgE SPESIFIK DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK

  Artikel Asli

HUBUNGAN KADAR IgE SPESIFIK DENGAN DERAJAT KEPARAHAN

DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK

  

' S " ) S 5 U SS5 ( S

O P

S V& ) W X Q'() ( Y

SS V& ) U Q'() ( X

  ABSTRAK kondisi atopi lain, pada DA terdapat peningkatan konsentrasi serum antibodi IgE terhadap alergen hirup dan ! " #

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan derajat keparahan DA pada anak dengan ! " # $% & & '() ( * + $-.$ memenuhi kriteria inklusi. Derajat keparahan diukur dengan scoring atopic dermatitis (01' & ! " # " 2 & + ( 3- -4

  5 (01' 67 %8 .$ -9 : %8 7- ; $- $% <% 8= (01' >9- 9 .4 9= (01' .4+9- $ < <= (01' 3.4 ? ! " # @ B- 8<6 B- 8<6 B- 8<6 B- 888 (p=1,000), dan apel (p=1,000) tidak memiliki hubungan bermakna dengan derajat keparahan DA.

  Dapat disimpulkan bahwa kadar IgE spesifik alergen birch, tungau debu rumah, susu sapi, beras, kentang, dan apel tidak berpengaruh terhadap derajat keparahan DA.

  Kata kunci : ! " # (01' ABSTRACT

   @ @ @ @ K @ @ @ 0 @ @ @ serum concentrations of IgE antibodies against inhaled allergens and food allergens, which can be considered "L @ #@ ! " M @ K @ N @ @ ! " @ #@

  N @ + @ @ $% @ @ @ O P 0 @ ( 5

  • * + @ $-.$ N @ (01' (@ @ ( @ #@ ! " " 2 M + @ & +( #@ @ 3- -4 N @ (01' L 67 %8 .$ -9 %8 7- ; $- $% <% 8= @ (01' >9- 9Q$% .4 9= @ (01' .4 9- $Q$% < <= @ (01' 3.4

  Korespondensi: @ + @ #@ ! " B -8<6 B- 8<6 @ R B- 8<6 @

  Gedung Radiopoetro lantai 3

   B- 888 B. --- B. --- #@ @ Jalan Farmako, Yogyakarta

  ! @ @ @ + + + @ + + + @ #@ ! " 55281

   @ Telp/Fax: 0274 560700 email: danarti@ugm.ac.id

  Keywords: @ @ #@ ! " @ (01'

  PENDAHULUAN

  kulit yang bersifat kronis, dimulai pada masa bayi, dengan perjalanan penyakit yang sering kambuh. 1,2 Patofisiologi DA sangat kompleks meliputi interaksi antara predisposisi genetik dan faktor pemicu eksogen, antara lain alergen hirup, makanan, bahan iritatif, dan mikroorganisme misalnya Staphylococcus aureus dan Malassezia sp. Semua faktor tersebut berkontribusi terhadap perkembangan dan keparahan DA.1 Hasil penelitian di Eropa Utara menunjukkan bahwa prevalensi dermatitis atopik pada anak bervariasi antara 1-20%. Pada sekitar 45% anak, awitan DA terjadi pada 6 bulan awal kehidupan, 60% selama tahun pertama kehidupan, dan 85% sebelum usia 5 tahun. Pada anak dengan awitan kurang dari 2 tahun, 20% mengalami manifestasi persisten dan 17% dengan gejala intermiten hingga usia 7 tahun.3 Sayangnya sebagian besar penelitian tentang DA berdasarkan pada populasi negara barat, dan hanya sedikit data didapatkan pada populasi negara berkembang.

  Terdapat berbagai kriteria untuk mendiagnosis DA, yang tersering dipakai untuk kepentingan penelitian adalah DA ditegakkan berdasarkan 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kriteria mayor meliputi rasa gatal, kemerahan pada wajah dan/atau sisi ekstensor pada bayi dan anak, besar, kecenderungan kekambuhan dermatitis secara kronis, dan terdapat riwayat penyakit atopik, yaitu asma, rinitis alergika, dan dermatitis atopik pada diri sendiri maupun keluarga. Kriteria minor meliputi kulit kering, lipatan Dennie-Morgan pada kelopak mata, allergic shiners, wajah pucat, pitiriasis alba, keratosis pilaris, iktiosis vulgaris, ! ! konjungtivitis, keratokonus, katarak subkapsular anterior, peningkatan IgE serum, dan reaktivitas terhadap tes kulit tipe cepat. 4 Sekitar 80% DA pada dewasa dikaitkan dengan peningkatan kadar IgE serum (>150 kUI

  • -1 ), sensitisasi alergen hirup dan alergen makanan dan/atau alergi makanan yang terjadi bersamaan, rinitis alergi, dan asma. Data epidemiologis saat ini menunjukkan kontribusi IgE terhadap awitan dan perjalanan DA, khususnya pada pasien dengan kondisi yang parah.
  • 1 " # antigen lingkungan dapat dideteksi pada sebagian besar pasien DA. Hampir 100% anak dengan atopi respiratorik, pemeriksaan radioallergosorbent test (RAST) menunjukkan hasil positif terhadap aeroalergen dan 80% positif terhadap alergen makanan. Pada anak dengan DA saja, peningkatan " # $&' " # ! " # terhadap aeroalergen atau alergen makanan. Kadar IgE secara umum berkaitan dengan keparahan dermatitis dan meningkat secara pesat bila disertai atopi respiratorik yang terjadi bersamaan. 5 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat keparahan DA pada

      " #

    BAHAN DAN CARA

      Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik potong lintang. Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari - Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria eksklusi yaitu 1). sedang dalam terapi imunomodulator sistemik, 2). penggunaan kortikosteroid topikal, dan 3). konsumsi antihistamin. Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan kelaikan etik dari Komite Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

      Derajat keparahan DA diukur dengan Scoring

      atopic dermatitis (SCORAD) oleh satu peneliti yang

      tidak melakukan pemeriksaan fisik untuk mengurangi bias. Pada penelitian ini indeks SCORAD yang dinilai adalah SCORAD objektif, yaitu dengan menghilangkan parameter subjektif berupa gatal dan gangguan tidur. Dengan demikian, kriteria yang diukur dengan SCORAD pada penelitian ini berupa keparahan lesi (luas area yang mengalami lesi) dan intensitas (eritema, edema/papul, ! ! M Q@ , dan kekeringan kulit). Total nilai SCORAD dihitung dengan rumus A/5 + 7B/2. Pada formula ini A adalah keparahan lesi (rentang nilai 0-100) dan B adalah intensitas (rentang nilai 0-18). Hasil indeks SCORAD objektif dalam penelitian ini digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu ringan (nilai <15), sedang (nilai 15-40), dan berat (nilai >40).

      Kadar IgE spesifik diukur menggunakan " 2

      test kit yang menggunakan metode M test (EAST). " 2 merupakan

      semikuantitatif untuk mendeteksi antibodi terhadap alergen hirup dan makanan. Inkubasi pertama dilakukan setelah test strip dilembabkan dan direaksikan dengan serum pasien. Apabila sampel darah positif terhadap alergen, " # * mendeteksi ikatan antibodi tersebut diperlukan inkubasi kedua menggunakan M + @ +

      human IgE yang mengkatalisis reaksi warna. Darah subjek

      penelitian diambil dari vena mediana cubiti. Dua puluh alergen diujikan meliputi @

      mugwort, birch, kucing, anjing, kuda, tungau debu rumah,

    R Danarti, dkk. 5 ! " # Cladosporium herbarum, Alternaria alternata, putih telur, ! ; ! ! ! ; ! hazelnut, wortel, kentang, dan apel. 5 Pada penelitian ini, nilai positif apabila konsentrasi IgE <0,35 kU/l, dan nilai negatif apabila konsentrasi IgE >0,35 kU/l. Hubungan " # dengan uji non-parametrik Kolmogorov-Smirnov dengan kemaknaan p<0,05.

      HASIL PENELITIAN Dua puluh enam anak menjalani pemeriksaan klinis.

      Diagnosis DA ditegakkan dengan kriteria Hanifin dan Rajka. Subjek yang bersedia ikut dalam penelitian ini dan terpilih berdasarkan kriteria penelitian sebanyak 26 orang terdiri atas 15 laki-laki (57,7%) dan 11 perempuan (42,3%) dengan rentang usia 1 hingga 18 tahun (rerata 8,23 tahun; simpang baku 4,24 tahun). Nilai median indeks SCORAD objektif adalah 38,69 (bervariasi antara 12,04 – 69,80); sebanyak 20 orang dari 26 subjek penelitian (76,9%) nilai SCORAD objektif >40 (DA berat), 4/26 (15,4%) nilai SCORAD objektif antara 15 dan 40 (DA sedang), dan 2/26 (7.7%) nilai SCORAD objektif <15 (DA ringan).

      Alergen terbanyak yang memberikan nilai positif pada penelitian ini adalah beras (65,38%), apel (65,38%), kentang (61,54%), birch (53,85%), tungau debu rumah (53,85%), dan susu sapi (53,85%). Hubungan antara IgE Tabel 1.

      MDVI P 96 ? $ N $-.%; 89+ 87

      ? L " # " # Derajat keparahan DA n (%) p Ringan Sedang Berat Jumlah

    Birch Positif 0 (0) 9 (34,6) 5 (19,2) 14 (53,8) 0,973

      

    Negatif 2 (7,7) 5 (19,2) 5 (19,2) 12 (46,1)

    Tungau debu rumah Positif 1 (3,8) 6 (23,1) 7 (26,9) 14 (53,8) 0,973

    Negatif 1 (3,8) 8 (30,8) 3 (11,5) 12 (46,1)

    Susu sapi Positif 0 (0) 6 (23,1) 8 (30,8) 14 (53,9) 0,973

    Negatif 2 (7,7) 8 (30,8) 2 (7,7) 12 (46,2)

    Beras Positif 2 (7,7) 6 (23,1) 9 (34,6) 17 (65,4) 0,999

    Negatif 0 (0) 8 (30,8) 1 (3,8) 9 (34,6)

    Kentang Positif 1 (3,8) 8 (30,8) 7 (26,9) 16 (61,5) 1,000

    Negatif 1 (3,8) 6 (23,1) 3 (11,5) 10 (38,4)

    Apel Positif 1 (3,8) 9 (34,6) 7 (26,9) 17 (65,3) 1,000

    Negatif 1 (3,8) 5 (19,2) 3(11,5) 9 (34,5)

    14. *p<0.05 menggunakan Kolmogorov-Smirnov DA= dermatitis atopik

      Hasil uji statistik dengan Kolmogorov-Smirnov W X " #

      birch, tungau debu rumah, susu sapi, beras, kentang, dan

      apel tidak memiliki hubungan secara bermakna dengan derajat keparahan DA (p>0,05).

      DISKUSI

      Faktor eksogen maupun endogen, antara lain alergen X ; alergi. Sebagian pasien DA juga dilaporkan menderita alergi makanan. Meskipun pola reaksi klinis terhadap alergen makanan dapat dijelaskan dengan baik, namun patogenesisnya belum sepenuhnya dapat dipahami. 6 IgE spesifik berperan penting dalam inflamasi kulit melalui aktivasi sel mast dan sel dendritik. Pelepasan histamin yang diperantarai IgE oleh sel mast akan memicu

      DA melalui siklus gatal-garuk. Selain itu, keparahan limfosit T, sel penyaji antigen, dan keratinosit. 1 Penyakit alergi seperti rinitis alergika, asma, dermatitis ! ! obat, racun serangga, dan alergen lain membutuhkan identifikasi pemicu spesifik untuk dapat ditatalaksana dengan tepat. Respons terhadap alergi yang diperantarai antibodi IgE dapat dideteksi dengan uji atau uji kulit. 7 Pada penelitian ini dilakukan uji IgE spesifik terhadap alergen hirup dan makanan. Alergen hirup mampu menembus epidermis dan memengaruhi keparahan DA melalui tiga mekanisme, yaitu aktivitas enzim proteolitik, aktivasi + @ @ +$ (PAR-2), serta ikatan IgE yang selanjutnya akan menyebabkan 8 Dua alergen hirup terbanyak yang didapatkan pada penelitian ini adalah birch (53,85%) dan tungau debu rumah (53,85%). Birch merupakan pollen yang dalam studi terdahulu dinyatakan berkontribusi sebagai pemicu eksaserbasi rinitis alergika, konjungtivitis, asma, dan DA akibat aktivitas protease yang dihasilkan. Protease tersebut menimbulkan sensitisasi atau eksaserbasi dengan memfasilitasi alergen untuk menembus sawar jaringan, memecah berbagai molekul, serta memodulasi fungsi berbagai sel dan respons imun. 9 Sementara itu, tungau debu rumah (Dermatophagoides sp.) merupakan salah satu alergen hirup tersering yang mempengaruhi lebih dari 15- 20% populasi negara industri. 10 Protein yang dihasilkan tungau debu rumah memiliki aktivitas proteolitik di kulit yang akan merusak sawar kulit pasien DA. Protease ! ! serta mengaktivasi keratinosit sehingga memproduksi interleukin (IL)-6, IL-8, dan @ + @ @ + @ (GM-CSF). 8 Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan antara kadar " # ; keparahan DA, masing-masing dengan nilai p=0,973. Hal ini berbeda dengan studi sebelumnya yang menyatakan " # DA secara bermakna. 5 Hipersensitivitas terhadap makanan pada DA dapat terjadi akibat hipersensitivitas yang diperantarai IgE atau hipersensitivitas tipe lambat. Prevalensi hipersensitivitas terhadap makanan pada DA sangat bervariasi di berbagai kelompok usia, negara, saat dilakukan penelitian, serta bergantung pada metode pengujian. 11 Sejumlah studi menunjukkan perbaikan DA setelah menghindari makanan tertentu. Hasil studi di laboratorium juga mendukung peran IgE spesifik makanan dalam patogenesis DA, meliputi pola ekspresi sitokin pada Th2 pada lesi akut DA. 12 Alergi makanan merupakan faktor risiko perkembangan, persistensi, dan eksaserbasi DA. Dalam satu studi dinyatakan makanan memicu DA pada 30-40% anak dengan DA sedang hingga berat. 13 Alergen makanan terbanyak yang didapatkan pada penelitian ini adalah beras

      (65,38%), apel (65.38%), kentang (61,54%), dan susu sapi (53,85%), namun tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar IgE spesifik terhadap berbagai alergen makanan tersebut dengan keparahan DA.

      Beberapa kemungkinan terkait dengan hasil penelitian ini adalah bahwa penelitian dilakukan secara potong lintang sehingga terdapat satu kelemahan yaitu jumlah subjek pada kedua kelompok tidak seimbang. Perbedaan antara jumlah subjek pada kelompok DA derajat ringan yaitu 2 orang (7,7%); DA derajat sedang 4 orang (15,4%); sedangkan DA derajat berat 20 orang (76,9%). Perbedaan tersebut memungkinkan terjadi ketidakbermaknaan hubungan antara kadar IgE spesifik dengan derajat keparahan DA. Jumlah subjek dalam penelitian ini juga sedikit, yaitu 26 orang, sehingga belum bisa mewakili populasi pasien DA di Yogyakarta, khususnya yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. berdasarkan ada tidaknya IgE spesifik terhadap alergen lingkungan dan makanan. Tipe intrinsik menunjukkan kadar IgE normal, tidak terdapat IgE spesifik, tidak berkaitan dengan penyakit respirasi misalnya asma bronkial maupun rinitis alergika, serta hasil uji tes tusuk negatif terhadap alergen hirup maupun makanan. Pasien DA tipe infantil lebih cenderung alergi makanan, sedangkan alergen lingkungan lebih sering terjadi pada dewasa. 2 Pada pasien

      DA anak, kadar IgE yang rendah dan sensitisasi tidak terdeteksi dapat berkembang menjadi varian ekstrinsik DA, yaitu terjadi peningkatan kadar IgE serum dan sensitisasi terhadap alergen hirup maupun makanan dalam periode kehidupan selanjutnya. 1 Dalam penelitian ini, masih ada kemungkinan DA pada subjek merupakan tipe intrinsik.

      KESIMPULAN

      Kadar IgE spesifik terhadap alergen birch, tungau debu rumah, beras, apel, kentang, dan susu sapi, tidak berpengaruh pada derajat keparahan DA. Meskipun terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini, namun diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi untuk lebih memahami kaitan antara keparahan dermatitis " #

      Penelitian ini didanai sebagian oleh Hibah Penelitian Dana Masyarakat tahun 2011 Fakultas Kedokteran UGM. Ucapan terima kasih ditujukan kepada semua pasien yang bersedia ikut serta pada penelitian ini.

      L [ X ? ? X ; ! ; ! \ ; ; " # in the development of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. 2009;129:1878-

      91.

      2. Tokura Y. Extrinsic and intrinsic types of atopic dermatitis. J Dermatol Sci.

      2010;58:1-7.

      3. Akdis C, Akdis M, Bieber T, Bindslev-Jensen C, Boguniewicz M, Eigenmann P, dkk. Diagnosis and treatment of atopic dermatitis in children and adults: European Academy of Allergology and Clinical Immunology/ American Academy of Allergy, Asthma and Immunology/PRACTALL Consensus Report. J Allergy Clin Immunol. 2006;118:152-69. ] ^ _ ! # ; ^`! q W ;{ ; | Wolff K, Leffel DJ, Paller AS, Gilchrest BA, Katz SI, Goldsmith LA, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies; 2012. h. 165-74. ~  € X \ ; ; " # " of atopic dermatitis. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2008;74:100-5.

      

    R Danarti, dkk. 5 ! " #

    UCAPAN TERIMA KASIH

    DAFTAR PUSTAKA

      6. Heratizadeh A, Wichmann K, Werfel T. Food allergy and atopic dermatitis: How are they connected? Curr Allergy Asthma Rep. 2011;11:284-91. „  ;  ! [ ; | * \ ; ; IgE tests. Pediatrics. 2012;129:193-7.

      8. Hostetler SG, Kaffenberger B, Hostetler T, Zirwas MJ. The role of airborne proteins in atopic dermatitis. J Clin Aesthet Dermatol. 2010;3:22-31.

      9. Gunawan H, Takai T, Ikeda S, Okumura K, Ogawa H. Protease activity of allergenic pollen of cedar, cypress, juniper, birch and ragweed. Allergol Int.

      2008;57:83-91.

      10. Jacquet A. Innate immune responses in house dust mite allergy. ISRN Allergy. 2013. Article ID:735031.

      11. Kim HO, Cho SI, Kim JH, Chung BY, Cho HJ, Park CW, dkk. Food hypersensitivity in patients with childhood atopic dermatitis in Korea. Ann Dermatol. 2013;25:196-202. L$ ˆ ‰! \! Š ˆ\_! ^ ! ‹ Œ\[ ? ; ; ; ; X X ; ; " #" ‰] X ; ; ; Ž

      Immunol. 2007;18:63-70.

      13. Lee J-M, Yoon J-S, Jeon S-A, Lee S-Y. Sensitization patterns of cow’s milk and mayor components in young children with atopic dermatitis. Asia Pac Allergy. 2013;3:179-85.

      MDVI P 96 ? $ N $-.%; 89+ 87