HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN MELASMA DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG THE RELATIONSHIP BETWEEN THE SEVERITY OF MELASMA AND PATIENTS’ QUALITY OF LIFE AT THE DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG PROVINCE

(1)

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN MELASMA DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

PROVINSI LAMPUNG

Oleh

PUTRI UTAMI HADIYATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN MELASMA DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

PROVINSI LAMPUNG

oleh

PUTRI UTAMI HADIYATI

Melasma adalah hipermelanosis didapat yang umumnya simetris berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar ultra violet. Melasma mempunyai efek yang signifikan terhadap kualitas hidup penderitanya. Penyakit ini mempengaruhi penampilan, kehidupan sosial, kesejahteraan, emosional, dan aktivitas rekreasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara melasma dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Penelitian ini adalah penelitian bersifat analitik observasional dengan pendekatan desain potong lintang menggunakan data primer dan data sekunder yang dilakukan pada bulan November-Desember 2013 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien melasma sebanyak 40 orang yang telah didiagnosis oleh dokter spesialis. Data diperoleh dengan mengisi kuesioner Dermatology Life Quality Index (DLQI) dan pengamatan


(3)

Smirnov.

Hasil penelitian didapatkan karakteristik responden terbanyak pada kelompok usia 32-47 tahun, wanita, pegawai negeri sipil, dan tipe melasma sentrofasial. Kesejahteraan emosional dan hubungan personal merupakan domain kehidupan yang paling buruk terkena dampak akibat melasma. Pasien dengan derajat keparahan melasma mendekati normal, ringan, sedang, dan berat memiliki nilai rata-rata DLQI masing-masing 3,15; 8,70; 10;30; dan 18,86. Ada hubungan antara derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup. Semakin besar derajat keparahan, semakin besar efek terhadap kualitas hidup.


(4)

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE SEVERITY OF MELASMA AND PATIENTS’ QUALITY OF LIFE AT THE DR. H. ABDUL MOELOEK

LAMPUNG PROVINCE by

PUTRI UTAMI HADIYATI

Melasma is a common acquired hipermelanosis symmetrical form of macular uneven light brown to dark brown on the exposed area of ultra violet rays. Melasma has a significant effect in the quality of life to those who suffer it. This disease will affects their appearances, social life, welfare, emotional condition, and recreational activities. This study aims to analyze the relationship between the severity of melasma and patients’ quality of life at the Dr. H. Abdul Moeloek Hospital Lampung Province.

This study is a cross-sectional design with approach analytic observational, referring primary and secondary datas was conducted in November to December 2013 at the Dr. H. Abdul Moeloek Hospital Lampung Province. The total samples involved in this study were 40 patients who had been diagnosed having by the specialist. Data obtained by filling out a Dermatology Life Quality Index (DLQI) questionnaire and determine the level of the severity of melasma, used the


(5)

The results showed that most characteristics of the respondents in the age group 32-47 years old, woman, work as civil servants, and the type of melasma sentrofasial. Emotional well-being and personal relationship to be the most adversely affected life domains due to melasma. patients with the level of the severity of melasma closed to normal, light, moderate, and severe, had the average score of DLQI ranged, from 3,15; 8,70; 10,30; and 18,86. There is a relationship between the severity of melasma with quality of life. The greater melasma severity, the greater effect on quality of life.


(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 4

1.5 Kerangka Teori ... 5

1.6 Kerangka Konsep ... 6


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Melasma... 8

2.1.1 Pendahuluan... 8

2.1.2 Epidemiologi ... 9

2.1.3 Etiopatogenesis ... 10

2.1.4 Klasifikasi ... 14

2.1.5 Manifestasi Klinik ... 16

2.1.6 Diagnosis ... 17

2.1.7 Penatalaksanaan ... 18

2.1.8 Derajat Keparahan ... 22

2.2 Kualitas Hidup ... 24

2.2.1 Definisi. ... 25

2.2.2 Klasifikasi Kualitas Hidup ... 26

2.2.3 Komponen Kualitas Hidup ... ... 29

2.2.4 Pengukuran Kualitas Hidup ……... 31

2.2.5 Skala Kualitas Hidup Dermatologi Umum... 32

2.3 Kuesioner Dermatology Life Quality Index (DLQI) ... 33

III. METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 35

3.2 Desain Penelitian ... 35

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian... 35

3.4 Subyek Penelitian ... 36

3.4.1 Populasi ... 36


(9)

3.4.3 Besar Sampel ... 37

3.5 Variabel Penelitian ... 38

3.5.1 Variabel Bebas (dependent variable) ... 38

3.5.2 Variabel Terikat (independent variable) ... 38

3.6 Definisi Operasional ... 39

3.7 Cara Pengumpulan Data ... 40

3.7.1 Bahan ... 40

3.7.2 Alat ... 40

3.7.3 Jenis Data ... 40

3.7.4 Cara Kerja ... 41

3.8 Alur Penelitian ... 41

3.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 42

3.9.1 Pengolahan Data ... 42

3.9.2 Analisis Data... 42

3.10Ethical Clearance ... 43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 44

4.1.1 Gambaran Umum Penelitian ... 44

4.1.2 Karakteristik Responden ... 44

a. Usia... ... 45

b. Jenis Kelamin ... 45

c. Pekerjaan ... 46


(10)

4.1.3 Analisis Univariat ... 47

a. Skor Melasma Area Severity Index (MASI)... 47

b. Skor Dermatology Life Quality Index (DLQI)... .... 47

4.1.4 Analisis Bivariat ... 48

4.2 Pembahasan ... 52

4.2.1 Analisis Karakteristik Responden ... 52

4.2.2 Analisis Univariat ... 54

a. Skor MASI... ... 54

b. Skor DLQI... ... 56

4.2.3 Analisis Bivariat ... 58

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 60

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 61

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.2 Kerangka Teori ... 6

1.3 Kerangka Konsep ... 6

2.1 Melasma... 16

3.1 Alur Penelitian ... 41

4.1 Grafik Rata-rata Nilai Pertanyaan DLQI ... 47

4.2 Grafik Frekuensi Hubungan antara Derajat Keparahan Melasma dengan Kualitas Hidup ... 49


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Definisi Operasional ... 39

4.1 Distribusi Usia Responden ... 45

4.2 Distribusi Jenis Kelamin Responden ... 45

4.3 Distribusi Pekerjaan Responden ... 46

4.4 Distribusi Tipe Melasma Responden ... 46

4.5 Distribusi Skor MASI ... 47

4.6 Distribusi Skor DLQI ... 48

4.7 Distribusi Responden Hubungan antara Derajat Keparahan Melasma dengan Kualitas Hidup ... 48

4.8 Distribusi Total Nilai DLQI ... 50

4.9 Hasil uji Kolmogorov-Smirnov Hubungan antara Derajat Keparahan Melasma dengan Kualitas Hidup ... 51


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang baik, bukan sekedar tidak adanya penyakit dalam diri. Hal ini menjelaskan bahwa pengukuran kesehatan dan efek dari perawatan kesehatan harus mencakup tidak hanya indikasi perubahan frekuensi dan tingkat keparahan penyakit, tetapi juga perkiraan kesejahteraan. Perkiraan kesejahteran dapat dinilai dengan mengukur kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan (WHOQOL, 1997).

Kualitas hidup didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan usia seseorang dan/atau peran utamanya di

masyarakat (Doward;Gupta, 1998). Kualitas hidup dipengaruhi oleh berbagai penyakit termasuk penyakit dermatologi. Kondisi kulit kronis dapat memiliki dampak negatif pada salah satu bagian kualitas hidup termasuk

mempengaruhi fisik maupun kesejahteraan fungsional dan emosional (Schipper;Olweny, 1996).

Salah satu penyakit kulit yang dapat mempengaruhi kualitas hidup adalah melasma. Melasma adalah hipermelanosis didapat yang umumnya simetris


(14)

berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar ultra violet. Tempat predileksi melasma pada pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu (Soepardiman, 2010). Kejadian melasma dapat mengenai semua ras akan tetapi paling sering mengenai individu berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV, V, VI), yaitu pada penduduk yang tinggal di daerah tropis dengan radiasi sinar ultraviolet (UV) yang tinggi (Sachdeva, 2006 & Dogra;Gupta, 2006). Faktor lain yang terkait dengan melasma meliputi pengaruh genetik, hormon yang berhubungan dengan kehamilan, kontrasepsi oral, bahan kosmetik, dan obat-obatan fototoksik, dengan paparan cahaya ultraviolet dan faktor genetik menjadi prediktor terkuat (Luh, 1999 & Rendon, 2004).

Melasma terutama dijumpai pada wanita, meskipun angka kejadian pada pria juga diketahui ada sekitar 10%. Di Indonesia, perbandingan antara kasus wanita dan pria adalah 24:1. Prevalensi terutama pada wanita usia subur dengan insiden terbanyak pada usia 30-44 tahun (Soepardiman, 2010). Khultanan (2005) menyatakan bahwa melasma mempunyai efek yang signifikan terhadap kualitas hidup penderitanya. Laporan mengenai wanita dengan melasma menyatakan bahwa penyakit ini mempengaruhi penampilan, kehidupan sosial, kesejahteraan, emosional, dan aktivitas rekreasi mereka (Pawaskar et al, 2007).

Dari penelitian Leeyaphan et al (2011) di Thailand bahwa pada pasien yang berobat ke klinik swasta mengalami penurunan kualitas hidup dalam


(15)

juga disebutkan oleh Ali et al (2013) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa melasma menyebabkan efek yang sangat besar pada kualitas hidup pasien. Namun, pendapat berbeda ditemukan dalam penelitian yang

dilakukan oleh Rahmawati (2011) yang menyatakan bahwa derajat keparahan melasma tidak memberikan pengaruh pada kualitas hidup.

Berdasarkan instruksi WHO bahwa setiap penyakit dianjurkan untuk ditentukan kualitas hidupnya, adanya perbedaan pendapat mengenai penelitian terdahulu terkait pengaruh melasma dengan kualitas hidup, serta belum banyak penelitian mengenai kualitas hidup melasma di Indonesia, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup penderitanya.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung


(16)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik dan frekuensi umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan tipe pasien melasma

2. Mengetahui domain kualitas hidup yang paling mempengaruhi pasien melasma

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Menambah khasanah teori dan pengembangan ilmu penyakit kulit dan kelamin

1.4.2 Manfaat praktis

a. Bagi institusi kesehatan

Memberikan informasi tentang hubungan derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup pasien sehingga dapat memberikan terapi suportif yang lebih baik

b. Bagi pasien

Pasien menerima pelayanan kesehatan yang lebih baik

sehubungan dengan meningkatnya perhatian terhadap kualitas hidup pasien oleh tenaga kesehatan


(17)

c. Bagi peneliti

Meningkatkan daya kreativitas dan ilmu peneliti mengenai hubungan derajat keparahan melasma terhadap kualitas hidup d. Bagi penelitian selanjutnya

Menjadi informasi dan data sekunder untuk penelitian lebih lanjut

1.5 Kerangka Teori

Kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap posisi mereka dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan serta perhatian mereka. Hal ini merupakan konsep tingkatan yang terangkum secara

kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan mereka kepada karakteristik lingkungan mereka (WHOQOL, 1997).


(18)

Gambar 1.2 Kerangka Teori

1.6 Kerangka Konsep

Gambar 1.2 Kerangka konsep VARIABEL BEBAS

DERAJAT KEPARAHAN MELASMA

KUALITAS HIDUP VARIABEL TERIKAT Sinar

Ultraviolet

Idiopatik Kosmetika

Ras

Genetik Obat

Hormon

Bercak Hiperpigmentasi (MELASMA)

KUALITAS HIDUP

Gejala fisik dan perasaan

Hubungan pribadi

Perlakuan Kegiatan

sehari-hari Rekreasi

Kerja atau sekolah


(19)

1.7Hipotesis

Ada hubungan antara derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Melasma

2.1.1 Pendahuluan

Komponen warna kulit manusia termasuk di dalamnya adalah melanin, darah dalam pembuluh kapiler superfisial, kolagen, dan bahan kimia lainnya yang dihasilkan secara internal dan eksternal seperti bilirubin dan karotenoid (Nordlund;Boissy, 2001). Variasi dari setiap

komponen ini dapat mengakibatkan perubahan nyata pada warna kulit (Balkrishnan et al, 2003). Soepardiman (2010) menyatakan bahwa dalam berbagai komponen tersebut, pigmen melanin yang berperan paling utama dalam penentuan warna kulit. Jumlah melanin dalam keratinosit menentukan warna dari kulit (Price;Wilson, 2005).

Melanosis adalah kelainan pada proses pembentukan pigmen melanin kulit (Soepardiman, 2010) :

1. Hipermelanosis bila produksi pigmen melanin bertambah 2. Hipomelanosis bila produksi pigmen melanin berkurang


(21)

Melasma adalah gangguan kulit yang umum diperoleh yang ditandai dengan bercak hiperpigmentasi lokal pada kulit yang terpapar sinar matahari. Secara histologi, daerah yang terkena menunjukkan peningkatan produksi dan transfer melanosom ke keratinosit (Cestari;Benvenuto, 2005). Penyebaran melasma melibatkan wajah dengan bagian tersering di dahi, pipi, dan bibir (Fauci et al, 2008). Sedangkan pada bagian leher dan lengan lebih jarang. Gangguan kulit ini ditandai dengan warna cokelat, dapat pula makula atau patch biru-abu-abu (Taylor, 2007).

2.1.2 Epidemiologi

Melasma pada dasarnya dapat mengenai semua ras terutama penduduk yang terpajan sinar matahari dengan intensitas cukup tinggi (daerah tropis) (Soepardiman, 2010). Balkrishnan et al (2003) menyatakan bahwa salah satu kondisi yang paling umum terjadinya melasma terutama pada individu keturunan Hispanik dan Asia. Sedangkan Sachdeva (2006) dan Dogra;Gupta (2006) menjelaskan tipe kulit Fitzpatrick IV-V merupakan individu yang umum terkena penyakit ini. Melasma terutama dijumpai pada wanita usia subur dengan riwayat langsung terpajan sinar matahari, meskipun didapatkan pula pada pria (± 10%). Di Indonesia, perbandingan kasus wanita dan pria yaitu 24 : 1. Insiden terbanyak pada wanita usia 30-44 tahun (Soepardiman, 2010). Berdasarkan penelitian Febrianti, Aryani Sudharmono, IGAK


(22)

Rata, Irma Bernadette di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2004 menunjukkan hasil bahwa epidemiologi melasma 97,93% wanita dan 2,07% pria. Insidens terbanyak menurut penelitian Rikyanto yang berkonsultasi ke Poli Kulit RSUD Kota Yogyakarta selama 3 tahun (Juni 2001-Juli 2003), kelompok umur kasus melasma terbanyak pada kelompok usia 31-40 tahun (42,4%), dengan frekuensi kunjungan terbanyak adalah 1x kunjungan dan pasien memiliki pekerjaaan yang umumnya adalah pegawai negeri sipil (57,3%).

2.1.3 Etiopatogenesis

Meskipun melasma memiliki banyak faktor etiologi yang diakui namun patogenesis pastinya tidak diketahui (Soepardiman, 2010). Bukti menunjukkan bahwa faktor internal dan lingkungan mungkin bertanggung jawab untuk memicu, mempertahankan, dan membuat kambuh lesi melasma (Tadokoro et al, 2002). Faktor-faktor tersebut seperti pengaruh genetik, paparan radiasi UV, kehamilan, kontrasepsi oral, terapi estrogen / progesteron, disfungsi tiroid, kosmetik, dan obat-obatan seperti obat anti kejang dan fototoksik (Im et al, 2002).


(23)

Faktor kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah (Soepardiman, 2010) :

1. Sinar ultra violet

Melanin menyerap radiasi ultra violet di seluruh spektrum yang luas tetapi sangat efektif dalam menyerap sinar ultra violet dengan panjang gelombang 280-320 nm (Rees;Flanagan, 1999). World Health Organization (2013) dalam situsnya menjelaskan bahwa panjang gelombangUV-C 100-280 nm, UV-B 280-315 nm, UV-A 315-400 nm. UV-B merupakan penyebab kerusakan biokemikal yang paling potensial (Park et al, 2008).

Spektrum sinar matahari merusak gugus sulfhidril di epidermis yang merupakan penghambat enzim tirosinase dengan cara mengikat ion Cu dari enzim tersebut. Sinar ultra violet menyebabkan enzim tirosinase tidak dihambat lagi sehingga memacu proses melanogenesis (Soepardiman, 2010). Secara histologi, terjadi peningkatan melanosit epidermal, melanosit dendrit dan perpindahan melanosom ke keratinosit, dan terjadi melanisasi yang meningkat dari melanosom individu (Park et al, 2008).

UV-A akan menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada lapisan basal. UV-B menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada lapisan epidermis, sedangkan pigmentasi akibat UV-C ringan sekali (Park et al, 2008).


(24)

2. Hormon

Hormon estrogen, progesteron, dan MSH (Melanin Stimulating Hormone) berperan pada terjadinya melasma (Soepardiman, 2010). Ranson et al (1988) menjelaskan bahwa penelitian telah

menunjukkan estrogen meningkatkan aktivitas tirosinase dan jumlah melanosit in vitro. Sel-sel kulit memiliki reseptor untuk estrogen dan progesteron, dengan ekspresi yang lebih tinggi di daerah wajah dibandingkan dengan daerah lain. Distribusi reseptor ini dapat menjelaskan lokasi preferensial melasma seperti telah diketahui (Im et al, 2002 & Jee et al, 1994).

Pada kehamilan, melasma dipengaruhi oleh faktor hormon. Ketinggian kadar estrogen dan progesteron serta meningkatnya MSH mempontensiasi aktivitas tirosinase dan dengan demikian merangsang melanogenesis (Muallem;Rubeiz, 2006). Soepardiman (2010) mengatakan bahwa melasma pada kehamilan biasanya meluas pada trimester ketiga.

Pigmentasi kulit melasma merupakan efek samping yang paling umum pada pemakaian kontrasepsi oral: 5-34% individu yang terkena dengan insiden yang lebih tinggi terlihat pada ras yang berpigmen (McKenzie, 1971 & Wade et al 1978). Pada pemakai pil kontrasepsi, melasma tampak dalam 1 bulan sampai 2 tahun setelah dimulai pemakaian pil tersebut (Soepardiman, 2010).


(25)

3. Obat

Hiperpigmentasi yang disebabkan oleh agen toksik, atau obat-obatan dianggap 10-20% dari semua kasus hiperpigmentasi yang diperoleh (Yani, 2008). Misalnya difenil hidantoin, mesantoin, klorpromasin, sitostatik, dan minosiklin dapat menyebabkan timbulnya melasma. Obat ini ditimbun di lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif dapat merangsang melanogenesis (Soepardiman, 2010).

4. Genetik

Dilaporkan adanya kasus keluarga sekitar 20-70% (Soepardiman, 2010). Faktor genetik melibatkan migrasi melanoblas dan

perkembangan serta diferensiasinya di kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas tirosinase dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol genetik (Prananingrum, 2012).Insiden melasma terbanyak terjadi pada individu dengan tipe kulit Fitzpatrick IV-V (Sachdeva, 2005 & Dogra;Gupta, 2006).

5. Ras

Melasma banyak dijumpai pada golongan Hispanik dan golongan kulit berwarna gelap (Soepardiman, 2010).


(26)

6. Kosmetika

Pemakaian kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna, atau bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan fotosensitivitas yang dapat mengakibatkan timbulnya hiperpigmentasi pada wajah, jika terpajan sinar matahari (Soepardiman, 2010).

7. Idiopatik

2.1.4 Klasifikasi

Terdapat beberapa jenis melasma ditinjau dari gambaran klinis, pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan dengan sinar Wood. Berdasarkan gambaran klinis dibedakan menjadi tiga kelompok (Soepardiman, 2010), yaitu:

1. Bentuk sentro-fasial meliputi daerah dahi, hidung, pipi bagian medial, bawah hidung, serta dagu (63%).

2. Bentuk malar meliputi hidung dan pipi bagian lateral (21%) 3. Bentuk mandibular meliputi daerah mandibula (16%)


(27)

Berdasarkan pemeriksaan histopatologik dibedakan menjadi dua kelompok (Soepardiman, 2010), yaitu :

1. Melasma tipe epidermal, umumnya berwarna coklat. Melanin terutama terdapat pada lapisan basal dan suprabasal, kadang-kadang diseluruh stratum korneum dan stratum spinosum 2. Melasma tipe dermal, berwarna coklat kebiruan. Terdapat

makrofag bermelanin di sekitar pembuluh darah di dermis bagian atas dan bawah, pada dermis bagian atas terdapat fokus-fokus infiltrat

Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar Wood, melasma dapat

dibedakan menjadi 4 kelompok (Grimes, 1995 & Soepardiman, 2010), yaitu :

1. Tipe epidermal, melasma tampak lebih jelas dengan sinar Wood dibandingkan dengan sinar biasa

2. Tipe dermal, dengan sinar Wood tak tampak warna kontras dibanding dengan sinar biasa

3. Tipe campuran, tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang lainnya tidak jelas

4. Tipe sukar dinilai karena warna kulit yang gelap, dengan sinar Wood lesi menjadi tidak jelas sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat.


(28)

Pemeriksaan dengan sinar Wood lebih bermakna pada kulit warna terang dan sedang. Pada kulit warna gelap (tipe IV), pemeriksaan dengan sinar Wood tidak bermanfaat (Park et al, 2008).

2.1.5 Manifestasi Klinik

Lesi melasma berupa makula berwarna coklat muda atau coklat tua berbatas tegas dengan tepi tidak teratur, sering pada pipi, dan hidung yang disebut pola malar seperti pada Gambar 2.1. Pola mandibular terdapat pada dagu, sedangkan pola sentrofasial di pelipis, dahi, alis, dan bibir atas. Warna keabu-abuan atau kebiru-biruan terutama pada tipe dermal (Soepardiman, 2010).


(29)

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis melasma ditegakkan hanya dengan pemeriksaan klinis. Untuk menentukan tipe melasma dilakukan pemeriksaan sinar Wood, sedangkan pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu (Soepardiman, 2010).

Soepardiman (2010) menjelaskan bahwa pemeriksaan pembantu diagnosis pada melasma diantaranya :

a. Pemeriksaan histopatologik

Terdapat dua tipe hipermelanosis, yaitu :

1. Tipe epidermal : melanin terutama terdapat di lapisan basal dan suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai stratum korneum; sel-sel yang padat mengandung melanin adalah melanosit, sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga terdapat pada keratinosit dan sel-sel stratum korneum. 2. Tipe dermal : terdapat makrofag bermelanin di sekitar

pembuluh darah dalam dermis bagian atas dan bawah; pada dermis bagian atas terdapat fokus-fokus infiltrat.

b. Pemeriksaan mikroskop elektron

Gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi kesan aktivitas melanosit meningkat.


(30)

c. Pemeriksaan dengan sinar Wood

1. Tipe epidermal : warna lesi tampak lebih kontras 2. Tipe dermal : warna lesi tidak bertambah kontras

3. Tipe campuran : lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak

4. Tipe tidak jelas : dengan sinar Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat.

2.1.7 Penatalaksanaan

Pengobatan melasma memerlukan waktu yang cukup lama, kontrol yang teratur serta kerja sama yang baik antara penderita dan dokter yang menanganinya. Kebanyakan penderita berobat untuk alasan kosmetik. Pengobatan dan perawatan kulit harus dilakukan secara teratur dan sempurna karena melasma bersifat kronis residif.

Pengobatan yang sempurna adalah yang kausal, maka penting dicari etiologinya (Soepardiman, 2010).

a) Pencegahan (Soepardiman, 2010)

1. Pencegahan terhadap timbulnya atau bertambah berat serta kambuhnya melasma adalah perlindungan terhadap sinar matahari. Penderita diharuskan menghindari pajanan langsung


(31)

sinar ultra violet terutama antara pukul 09.00-15.00. Sebaiknya jika keluar rumah menggunakan payung atau topi yang lebar. Melindungi kulit dengan memakai tabir surya yang tepat, baik mengenai bahan maupun cara pemakaiannya. Pemakaian tabir surya dianjurkan 30 menit sebelum terkena pajanan sinar matahari. Ada 2 macam tabir surya yang dikenal yaitu tabir surya fisis dan tabir surya kimiawi. Tabir surya fisis adalah bahan yang dapat memantulkan/menghamburkan ultra violet, misalnya : titanium dioksida, seng oksida, kaolin; sedang tabir surya kimiawi adalah bahan yang menyerap ultra violet. Tabir surya kimiawi ada dua jenis, yaitu :

1) Yang mengandung PABA (Para Amino Benzoic Acid) atau derivatnya, misalnya octil PABA

2) Yang tidak mengandung PABA (non-PABA), misalnya : bensofenon, sinamat, salisilat, dan antranilat.

2. Menghilangkan faktor yang merupakan penyebab melasma misalnya menghentikan pemakaian pil kontrasepsi,

menghentikan pemakaian kosmetika yang berwarna atau mengandung parfum, mencegah obat contohnya hidantoin, sitostatika, obat antimalaria, dan minosiklin (Soepardiman, 2010).


(32)

b) Pengobatan

1. Pengobatan topikal a. Hidrokinon

Hidrokinon dipakai dengan konsentrasi 2-5%

(Soepardiman, 2010). Hidrokinon menghambat konversi dari DOPA (Dihidroksi Phenil Alanin) terhadap melanin dengan menghambat aktivitas dari enzim tirosinase (Robert, 2009).Soepardiman (2010) menjelaskan bahwa krim tersebut dipakai pada malam hari disertai pemakaian tabir surya pada siang hari. Umumnya tampak perbaikan dalam 6-8 minggu dan dilanjutkan sampai 6 bulan. Efek samping adalah dermatitis kontak iritan atau alergik. Setelah penghentian penggunaan hidrokinon sering terjadi kekambuhan.

b. Asam retinoat (retinoic acid/tretinoin)

Asam retinoat 0,1% terutama digunakan sebagai terapi tambahan atau terapi kombinasi. Krim tersebut juga dipakai pada malam hari karena pada siang hari dapat terjadi

fotodegradasi. Asam retinoat saat ini digunakan sebagai monoterapi dan didapatkan perbaikan klinis secara bermakna meskipun berlangsung cukup lambat. Efek


(33)

samping berupa eritema, deskuamasi, dan fotosensitasi (Soepardiman, 2010).

c. Asam azeleat (Azeleic acid)

Asam azeleat merupakan obat yang aman untuk dipakai. Pengobatan dengan asam azeleat 20% selama 6 bulan memberikan hasil yang baik. Efek sampingnya rasa panas dan gatal (Soepardiman, 2010).

2. Pengobatan sistemik (Soepardiman, 2010) a. Asam arkobat/Vitamin C

Vitamin C mempunyai efek merubah melanin bentuk oksidasi menjadi melanin bentuk reduksi yang berwarna lebih cerah dan mencegah pembentukan melanin dengan merubah DOPA kinon menjadi DOPA.

b. Glutation

Glutation bentuk reduksi adalah senyawa sulfhidril yang berpotensi menghambat pembentukan melanin dengan jalan bergabung dengan Cuprum dari tirosinase.


(34)

3. Tindakan khusus (Soepardiman, 2010) a. Pengelupasan kimiawi

Pengelupasan kimiawi dapat membantu pengobatan

kelainan hiperpigmentasi. Pengelupasan kimiawi dilakukan dengan mengoleskan asam glikolat 50-70% selama 4 sampai 6 menit dilakukan setiap 3 minggu selama 6 kali. Sebelum dilakukan pengelupasan kimiawi diberikan krim asam glikolat 10% selama 14 hari.

b. Bedah laser

Bedah laser dengan menggunakan laser Q-Switched Ruby dan Laser Argon kekambuhan dapat juga terjadi.

2.1.8 Derajat Keparahan

Untuk lebih akurat mengukur keparahan melasma dan perbaikan selama pengobatan, Kimbrough-Green dan Griffiths

mengembangkan Melasma Area Severity Index (MASI)

(Kimbrough;Griffiths, 1994). Skor MASI merupakan pengukuran derajat keparahan melasma yang bersifat subjektif (Taylor, 2007). Perhitungan skor MASI pada mulanya didasarkan pada area psoriasis dan indeks keparahan yang diperoleh Fredriksson dan Pettersson. Skor MASI menilai 3 faktor yaitu area (A),


(35)

homogenitas (H), dan intensitas pigmentasi atau kegelapan (D). Perhitungan didasarkan pada 4 area wajah : dahi (F) , malar kanan (MR), malar kiri (ML) , dan dagu (C). Perhitungan area wajah berkorelasi dengan 30%, 30%, 30%, dan 10% dari total area masing-masing (Taylor, 2007).

Setiap area (A) kemudian diberi nilai numerik untuk persentase pigmentasi melasma yang muncul di daerah tersebut (AF, AMR, AML, dan AC ) sebagai berikut : 0 tidak ada keterlibatan, 1 keterlibatan kurang dari 10%, 2 keterlibatan 10% sampai 29% keterlibatan, 3 keterlibatan 30% sampai 49%, 4 keterlibatan 50% sampai 69%, 5 keterlibatan 70% sampai 89%, dan 6 keteribatan 90% sampai 100%. Kegelapan (D) dari pigmentasi dinilai sebagai berikut : 0 tidak ada; 1 sedikit, 2 ringan, 3 ditandai, dan 4 parah . Homogenitas pigmentasi dinilai sebagai berikut : 0 minimal, 1 sedikit, 2 ringan, 3, ditandai cukup jelas, dan 4 maksimal (Taylor, 2007).

Skor MASI kemudian dihitung dengan menambahkan kegelapan dan homogenitas, mengalikan jumlah dengan nilai numerik dari daerah yang terlibat, dan kemudian mengalikannya dengan

persentase dari 4 wilayah. Rata maksimum diperoleh adalah 48 dan minimum 0 (Taylor, 2007).


(36)

Oleh karena itu , persamaan untuk menghitung skor MASI adalah : 0.3 (DF+HF) AF x 0.3 (DMR+HMR) AMR x 0.3 (DML+HML) AM + 0.1 (DC+HC) AC.

Pada skala status hiperpigmentasi atau melasma dibagi menjadi 4 kelas dengan skor 0 (Skor MASI = 0-12) menunjukkan tidak adanya melasma, yang berarti bahwa warna lesi melasma

mendekati dari kulit normal di sekitarnya atau hiperpigmentasi sisa minimal; skor 1 (Skor MASI = 13-24) merupakan melasma ringan, yang berarti bahwa warna sedikit lebih gelap daripada kulit normal di sekitarnya; skor 2 (Skor MASI = 25-36) menunjukkan melasma sedang, yang berarti bahwa warnanya cukup gelap dibandingkan dengan kulit normal di sekitarnya; dan skor 3 (Skor MASI = 37-48) merupakan melasma berat, yang berarti bahwa warna nyata lebih gelap daripada kulit normal di sekitarnya (Taylor et al, 2003).

2.2 Kualitas Hidup

World Health Organization mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial bukan hanya tidak adanya penyakit.

Pengukuran kesehatan dan efek dari perawatan kesehatan harus mencakup tidak hanya indikasi perubahan frekuensi dan tingkat keparahan penyakit, tetapi juga perkiraan kesejahteraan. Perkiraan kesejahteraan dapat dinilai dengan mengukur kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan (WHOQOL, 1997).


(37)

2.2.1 Definisi

Hidup adalah pemanfaatan yang berarti, yakni pengupayaan tubuh dan pikiran secara harmonis. Seseorang tidak dapat mencapai kehidupan yang berarti kecuali dia dapat memanfaatkan sepenuhnya kuasa fisik dan tubuh secara sempurna dan harmonis. Hidup yang berarti

menuntut disiplin diri yang ketat dan teratur (Tambunan, 2007). Kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap posisi mereka dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan serta perhatian mereka. Hal ini merupakan konsep

tingkatan yang terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan mereka kepada karakteristik lingkungan mereka

(WHOQOL, 1997).

Doward;McKenna (1998) mendefinisikan bahwa kualitas hidup adalah kapasitas untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan usia seseorang dan/atau peran utamanya di masyarakat. Kualitas hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fisik/biologis, psikologis, dan sosiologis (Maryam, 2008).


(38)

2.2.2 Klasifikasi Kualitas Hidup

Vendegodt et al (2003) mengelompokkan kualitas hidup dalam 3 bagian yang berpusat pada aspek hidup yaitu :

a. Kualitas hidup subjektif yaitu masing-masing individu merasakan bahwa hidup yang dimilikinya adalah baik. Individu tersebut secara personal mengevaluasi bagaimana mereka menggambarkan perasaan mereka,

b. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang merupakan level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu dapat hidup dalam keharmonisan,

c. Kualitas objektif yaitu bagaimana dunia luar dapat merasakan hidup seseorang. Kualitas objektif dinyatakan dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan

menyatakan tentang kehidupannya.

Ketiga aspek kualitas hidup ini secara keseluruhan dikelompokkan dengan pernyataan yang relevan pada kualitas hidup yang dapat ditempatkan dalam suatu rentang spektrum dari subjektif ke objektif. Elemen eksistensial berada diantaranya yang merupakan teori kualitas hidup meliputi kesejahteraan, kepuasan hidup, kebahagiaan, makna dalam hidup dan pemenuhan kebutuhan, biologis dan mencapai potensial hidup (Vendegodt et al, 2003).


(39)

a. Kesejahteraan

Kesejahteraan berhubungan dengan bagaimana sesuatu berfungsi dalam suatu dunia objektif dan dengan faktor eksternal hidup. Ketika membicarakan tentang perasaan baik maka kesejahteraan merupakan pemenuhan kebutuhan dan realisasi diri.

b. Kepuasan hidup

Menjadi puas berarti merasakan bahwa hidup yang seharusnya, ketika pengharapan-pengharapan, kebutuhan dan gairah hidup diperoleh disekitarnya maka seseorang puas. Kepuasan adalah pernyataan mental yaitu keadaan yang kognitif.

c. Kebahagiaan

Perasaan spesial yang berharga dan sangat diinginkan tetapi sulit diperoleh. Tidak banyak orang percaya bahwa kebahagiaan diperoleh dari adaptasi terhadap budaya seseorang, kebahagiaan diasosiasikan dengan dimensi-dimensi non rasional seperti cinta, ikatan erat dengan sifat dasar tetapi bukan dengan uang.

d. Makna dalam hidup

Makna dalam hidup merupakan suatu konsep yang sangat penting dan jarang digunakan. Pencarian makna hidup melibatkan suatu penerimaan dari ketidakberartian dan kesangatberartian dari hidup.


(40)

e. Pemenuhan kebutuhan

Kebutuhan dihubungkan dengan kualitas hidup dimana ketika kebutuhan seseorang terpenuhi maka kualitas hidupnya tinggi. Kebutuhan merupakan suatu ekspresi sifat dasar yang pada umumnya dimiliki oleh makhluk hidup.

f. Mencapai potensial hidup

Teori pencapaian potensial hidup merupakan suatu teori dari hubungan antara sifat dasarnya/titik permulaan biologis. Teori tersebut tidak mengurangi kekhususan dari makhluk hidup tetapi hanya tingkat dimana pertukaran informasi yang bermakna dalam sistem hidup dari sel ke organisme sosial.

g. Gambaran biologis kualitas hidup

Gambaran biologis kualitas hidup yaitu sistem informasi biologis dan tingkat keseimbangan eksistensial dilihat dari segi kesehatan fisik. Kesehatan fisik mencerminkan tingkat sistem informasi biologis seperti sel-sel dalam tubuh membutuhkan informasi yang tepat untuk berfungsi secara benar dalam menjaga kesehatan dan keseimbangan tubuh. Kesadaran dan pengalaman hidup juga terkondisi secara biologis. Pengalaman dimana hidup bermakna atau tidak, dapat dilihat sebagai kondisi dari sistem informasi biologis.


(41)

2.2.3 Komponen kualitas hidup

Felce;Perry (1995) menyebutkan bahwa ada tiga komponen dalam pengukuran kualitas hidup yaitu komponen objektif, komponen subjektif, dan komponen kepentingan. Komponen objektif berkaitan dengan data objektif atau kondisi kehidupan yang sebenarnya pada berbagai aspek kehidupan. Komponen subjektif merupakan penilaian individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini pada berbagai aspek kehidupan, dan komponen kepentingan merupakan seberapa penting suatu aspek kehidupan dalam mempengaruhi kualitas hidup seseorang. University of Totonto (2004) menyebutkan kualitas hidup dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu kesehatan, kepemilikan (hubungan individu dengan lingkungan) dan harapan (prestasi dan aspirasi individu). a. Kesehatan

Kesehatan dalam kualitas hidup dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu secara fisik, psikologis, dan spiritual. Secara fisik yang terdiri dari kesehatan fisik, personal hygiene, nutrisi, olahraga, pakaian, dan penampilan fisik secara umum. Secara psikologis yang terdiri dari kesehatan dan penyesuaian psikologi, kesadaran, perasaan, harga diri, konsep diri dan kontrol diri. Secara spiritual terdiri dari nilai-nilai pribadi, standar-standar pribadi, dan kepercayaan spiritual.


(42)

b. Kepemilikan

Kepemilikan dalam kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian yaitu fisik dan sosial. Secara fisik terdiri dari rumah, tempat

kerja/sekolah, tetangga/lingkungan dan masyarakat. Secara sosial dekat dengan orang lain, keluarga, teman/rekan kerja, lingkungan dan masyarakat.

c. Harapan

Merupakan keinginan dan harapan yang akan dicapai sebagai perwujudan dari individu seperti terpenuhinya nilai (prestasi dan aspirasi individu) sehingga individu tersebut merasa berharga atau dihargai di dalam lingkungan keluarga maupun masyarakan sekitarnya melalui suatu tindakan nyata yang bermanfaat dari hasil karyanya.

WHOQOL (1997) menyatakan komponen dilihat dari seluruh kualitas hidup dan kesehatan secara umum :

1) Kesehatan fisik

Penyakit dan kegelisahan, tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat dan bantuan medis, kapasitas pekerjaan.


(43)

2) Psikologis

Perasaan positif, berfikir; belajar; mengingat; dan konsentrasi, self-esteem, penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif, kepercayaan individu.

3) Hubungan sosial

Pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual. 4) Lingkungan

Kebebasan, keselamatan fisik dan keamanan, lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh keterampilan dan informasi baru, keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi, aktivitas di lingkungan, transportasi.

2.2.4 Pengukuran Kualitas Hidup

Kualitas hidup dipengaruhi oleh pengalaman, kepercayaan, harapan, serta persepsi orang tersebut yang secara kolektif disebut persepsi sehat. Setiap domain dari kualitas hidup diukur dalam dua dimensi yaitu pengukuran fungsi status sehat yang bersifat objektif dan persepsi sehat yang bersifat subjektif. Meskipun dimensi objektif penting dalam menentukan tingkat kesehatan seseorang, namun persepsi serta harapan penderita dapat mengartikan pengukuran objektif ke dalam kualitas hidup yang sebenarnya. Harapan terhadap


(44)

kesehatan dan kemampuan mengatasi sesuatu dengan keadaan yang terbatas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap persepsi sehat serta kepuasan hidup (Hendromartono, 2000).

Oleh karena itu, ada dua pasien dengan status kesehatan yang sama dapat mempunyai kualitas hidup yang berbeda. Tiap-tiap domain sehat memiliki banyak komponen yang perlu diukur, misalnya gejala, kemampuan fungsional, dan ketidakmampuan. Menerjemahkan berbagai domain serta komponen sehat menjadi nilai kuantitif yang menunjukkan kualitas hidup merupakan usaha yang kompleks. Hal tersebut mencakup bidang klinimetrik, psikometrik, dan klinik (Hendromartono, 2000).

Salah satu cara untuk mengukur kualitas hidup adalah dengan menggunakan instrumen dalam bentuk kuesioner. Sebuah instrumen atau skala yang baik adalah haruslah mengandung unsur yang handal, valid, dan tanggap terhadap perubahan dari waktu ke waktu, terutama ketika membandingkan skor sebelum dan sesudah intervensi pengobatan (Kini;DeLong, 2012).

2.2.5 Skala Kualitas Hidup Dermatologi Umum

Skala dermatologi umum adalah spesifik untuk kulit tetapi tidak penyakit kulit tertentu. Beberapa contoh termasuk Skindex-29,


(45)

Scales (DQOLS), dan Dermatology-Specific Quality of Life ( DSQL ). Versi anak-anak dari DLQI disebut Children’s Dermatology Life Quality Index ( CDLQI ) yang tersedia dalam versi kartun berwarna (Ahmed, 2013).

2.3 Kuesioner Dermatology Life Quality Index (DLQI)

DLQI adalah salah satu kuesioner kualitas hidup yang secara khusus dirancang untuk penyakit kulit dan dapat digunakan baik untuk mengukur kualitas hidup dan untuk membandingkannya dengan penemuan pada penyakit kulit lainnya. Instrumen ini telah digunakan dalam beberapa penelitian, baik untuk menilai kualitas hidup pasien dermatologis pada umumnya dan kasus penyakit kulit tertentu dalam primer, sekunder dan layanan tersier.

Kuesioner ini dikembangkan oleh Finlay dan Khan pada tahun 1994. DLQI dapat digunakan untuk penggunaan klinis rutin oleh dokter dalam membantu proses pembuatan konsultasi, evaluasi, dan keputusan klinis.

Nilai kualitas hidup DLQI digambarkan dengan memberikan skor untuk setiap domain. Domain dinilai oleh DLQI adalah sebagai berikut : a) Gejala fisik dan perasaan (pertanyaan 1 dan 2), b) kegiatan sehari-hari (pertanyaan 3 dan 4) , c) rekreasi (pertanyaan 5 dan 6), d) kerja / sekolah (pertanyaan 7), e) hubungan pribadi (pertanyaan 8 dan 9) dan f) perlakuan (pertanyaan 10).


(46)

Setiap pertanyaan memiliki empat tanggapan alternatif: “sama sekali tidak”,

“sedikit”, “banyak” dan “sangat banyak” sesuai skor 0, 1, 2, dan 3. Skor total

dihitung dengan menjumlahkan nilai dari setiap pertanyaan, dan rentang total skor dari minimal 0 maksimal 30, dengan skor yang lebih tinggi mewakili penurunan lebih besar dari kualitas hidup. Hasil 0-1 berarti tidak ada efek penyakit pada kualitas hidup pasien, skor 2-5 berarti efek yang kecil, skor 6-10 berarti efek sedang, nilai dari 11-20 berefek besar dan sejumlah 21-30 berarti efek yang sangat penting dari penyakit pada kualitas hidup pasien.


(47)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan desain potong lintang yang bertujuan untuk menganalisis adanya hubungan antar variabel (Dahlan, 2010) dimana dalam hal ini variabel penelitian adalah derajat keparahan melasma dan kualitas hidup pasien. Pengukuran dan pengambilan variabel dilakukan pada satu saat yang bersamaan.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan November dan Desember 2013.


(48)

3.4 Subyek Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti. a. Populasi Target

Pasien Melasma yang menjalani pengobatan b. Populasi Terjangkau

Pasien Melasma yang menjalani pengobatan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung bulan November 2012-Desember 2013

3.4.2 Sampel

Sampel kasus dari pasien melasma dalam kurun waktu November 2012-Desember 2013. Data primer melalui pasien yang datang berobat ke poli klinik kulit-kelamin RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung di bulan November dan Desember 2013 dan melalui data sekunder (catatan medik) untuk melihat data pasien bulan November 2012-Oktober 2013, kemudian mendatangi pasien melasma dan memberi kuesioner sebagai data primer.


(49)

a. Kriteria Inklusi

1. Responden yang menderita melasma dengan diagnosis melasma yang telah ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Mampu untuk komunikasi verbal dan tulisan dengan baik 3. Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed

consent yang telah disediakan

4. Usia lebih dari 16 tahun b. Kriteria Eksklusi

Pasien yang berulang dijadikan sampel penelitian ini 3.4.3 Besar sampel

Rumus Isaac dan Michael (Sugiyono, 2007) :

s = Jumlah sampel N = Jumlah populasi

Diketahui populasi pasien melasma yang berobat ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode November 2012-Oktober 2013 sebanyak 38 pasien.


(50)

λ2

= Chi Kuadrat, dengan dk = 1, taraf kesalahan 1%, 5% dan 10% Peneliti memilih kesalahan 5%.

d = 0,05 P = Q = 0,5

Maka besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah 35 pasien. Peneliti mengambil angka drop out 10% sehingga total sampel penelitian menjadi 40 pasien melasma yang datang berobat ke poli kulit-kelamin RSUD Dr. H. Abdul Moeloek periode November 2012-Desember 2013.

3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel bebas (dependent variable)

Variabel bebas pada penelitian ini adalah derajat keparahan melasma 3.5.2 Variabel terikat (independent variable)

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kualitas hidup pasien melasma di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung


(51)

3.6 Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan membatasi penelitian, maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara

pengukuran

Hasil Skala

Melasma Melasma adalah hipermelanosis didapat yang umumnya simetris berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua, mengenai area yang terpajan sinar ultra violet dengan tempat predileksi pada pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu.

1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik 3. Status dermatologi (hiperpigmen tasi, makula sampai patch, berbatas tegas, iregular, multipel) 1. Ya 2. Tidak

Nominal Derajat Keparahan Melasma Nilai keparahan melasma mulai dari ringan sampai berat yang dapat diukur dengan pengukuran subjektif maupun objektif

Skor MASI 0-12 = mendekati normal, 13-24 = melasma

ringan, 25-36 = melasma

sedang, 37-48 = melasma berat Ordinal Kualitas Hidup Kemampuan seseorang untuk melakukan fungsi hidupnya dalam beraktivitas secara normal sesuai kondisi kesehatan Wawancara dengan kuesioner kualitas hidup dermatologi (Dermatology Life Quality

Tidak ada efek, apabila total skoring 0 – 1 Efek kecil, apabila total skoring 2 – 5 Efek sedang,


(52)

atau keluhan yang ada menurut persepsinya

Index) apabila total skoring 6 – 10 Efek besar, apabila total skoring 11 – 20 Efek parah, apabila total skoring 21–30

3.7 Cara Pengumpulan Data

3.7.1 Bahan

Penelitian dilakukan dengan observasi analitik dengan sampel

penelitian manusia (pasien melasma di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung)

3.7.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen kuesioner. Kuesioner yang digunakan terdiri dari kuesioner I dan II. Kuesioner I merupakan data demografi pasien sedangkan kuesioner II merupakan kuesioner indeks kualitas hidup pasien.

3.7.3 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang merupakan data dari hasil kuesioner yang diisi oleh responden.


(53)

3.7.4 Cara Kerja

Pengambilan data dan penelitian dilakukan selama 1,5 bulan dan pengelolaan serta analisis data dilakukan selama 2 minggu. Kuesioner dibagikan kemudian dikumpulkan segera setelah diisi.

3.8 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Prosedur perizinan penelitian ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Survei pendahuluan

(data prevalensi dan rekam medis pasien)

Sampel kasus (pasien melasma) yang didatangi ke tempat sampel yang bersedia mengikuti penelitian

dibuktikan dengan mengisi dan menandatangani informed consent

Pengumpulan Data Sampel kasus (pasien melasma)

yang datang ke poli klinik kulit-kelamin yang bersedia mengikuti

penelitian dibuktikan dengan mengisi dan menandatangani

informed consent

Kuesioner dibagikan dan diisi oleh responden


(54)

3.9 Pengolahan dan Analisis Data

3.9.1 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data

disederhanakan ke dalam bentuk tabel, kemudian data diolah dengan alat bantu perangkat komputer. Proses pengolahan data menggunakan komputer terdiri dari beberapa langkah :

a. Koding, untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang sesuai untuk keperluan analisis b. Data entry, memasukkan data ke dalam komputer

c. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke komputer

d. Output komputer, hasil analisis yang telah dilakukan oleh komputer dicetak

3.9.2 Analisis Data

Untuk analisis data digunakan analisis data univariat dan analisis data bivariat.

Analisis data univariat adalah analisis masing-masing variabel baik variabel bebas maupun variabel terikat. Analisis data bivariat adalah untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat.


(55)

Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Uji hipotesis yang sesuai guna pengambilan keputusan yang sahih (Dahlan, 2010). Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji Kai Kuadrat (Chi-Square), jika memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat uji Chi-Square, maka digunakan uji alternatifnya, yaitu penggabungan sel atau Kolmogorov-Smirnov (Dahlan, 2010).

3.10 Ethical Clearance

Penelitian ini telah disetujui oleh komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(56)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :

5.1.1 Simpulan Umum

Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

5.1.2 Simpulan Khusus

1. Angka kejadian melasma tertinggi pada kelompok usia 32-39 tahun (30%) dan 40-47 tahun (30%);

2. Dari total 40 responden sebanyak 38 orang (95%) adalah wanita dan 2 orang (5%) adalah pria. Perbandingan antara keduanya adalah 19 : 1;

3. Pekerjaan paling dominan dari keseluruhan responden adalah PNS, lalu ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa, pegawai swasta,


(57)

wiraswata, dan lainnya dengan persentase masing-masing 45%, 27,5%, 12,5%, 7,5%, 2,5%, dan 5%;

4. Responden dengan tipe melasma sentrofasial memiliki persentase tertinggi yaitu 32,5%;

5. Kesejahteraan emosional dan hubungan personal merupakan domain kehidupan yang paling buruk terkena dampak akibat melasma;

6. Nilai rata-rata skor DLQI pasien dihubungkan skor MASI adalah pasien dengan keparahan mendekati normal memiliki nilai rata-rata DLQI sebesar 3,15; keparahan ringan sebesar 8,70; keparahan sedang sebesar 10,30; dan keparahan berat sebesar 18,86;

7. Terdapat hubungan antara derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup dengan nilai p-value sebesar 0,002;


(58)

5.2 Saran

1. Bagi institusi kesehatan khususnya pelayanan Poli Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, diharapkan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih menyeluruh termasuk pada kesehatan psikis pasien;

2. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup menggunakan pengukuran derajat keparahan yang bersifat lebih objektif seperti Tristimulus-reflectance colorimeters dan Narrowband-reflectance spectrophometers secara tepat agar lebih akurat lagi. Selain itu, dalam penelitian perlu dilakukan pembatasan usia responden agar menghindari hasil bias pada penelitian;

3. Bagi pasien melasma agar dapat menjalani pengobatan dengan sebaik mungkin dan berusaha menerima serta beradaptasi dengan kondisi melasma agar kualitas hidup dapat menjadi lebih baik.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed A, Leon A, Butler DC, and Reichenberg J. 2013. Quality-of-life effects of common dermatological diseases. Frontline Medical Communications. DOI: 10.12788/j.sder.0009.

Ali R, Aman S, Nadeem M, and Kazmi AH. 2013. Quality of life in patients of melasma. Journal Pakistan of Dermatologists. 23 (2):143-148.

Balkrishnan R, McMichael AJ, Camacho FT, Saltzberg F, Housman TS, Grummer S, et al. 2003. Development and validation of a health-related quality of life instrument for women with melasma. Br J Dermatol. 149:572-577.

Cestari TF and Benvenuto-Andrade C. 2005. Hyperpigmentation and melasma: a physiopathologic review for the clinical dermatologist. Cosmetic Dermatology. 18(10): 703-706.

Cestari TF, Hexsel D, Viegas ML, Azulay L, Hassun K, Almeida ART, et al. 2006. Validation of a melasma quality of life questionnaire for Brazilian Portuguese language: the MelasQoL-BP study and improvement of QoL of melasma patients after triple combination therapy. British Journal of Dermatology. 156 (suppl. 1) 13-20.

Dahlan MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Ed 4. Jakarta : Salemba Medika. Hal. 1-20, 139-142.

Dogra A and Gupta S. 2006. Comparative efficacy of 20% trichloroacetic acid and 50% glycolic acid peels in treatment of recalcitrant melasma. J Pak Assoc Dermatol. 16:79-85.

Doward LC and McKenna SP. 1998 Evolution of quality of life assessment. In: Rajagopalan R, Sheretz EF, Anderson TR, eds. Care Management of Skin Diseases. New York: Marcell-Dekker. Pp. 9-94.

Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, et al. 2008. HARRISON’S Principles of Internal Medicine 17th Edition. New York : Mc Graw Hill Medical. Hal. 309.


(60)

Febrianti T, Sudharmono A, Rata IGAK, dan Bernadette I. 2004. Epidemiologi melasma di poliklinik departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin RS. Dr. Cipto mangunkusumo Jakarta tahun 2004. Perdoski (internet) dikutip di: perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-content/86. Felce D and Perry J. 1995. Quality of life : its definition and measurement. Welsh

Centre for Learning Disabilities Applied Research Unit. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7701092.

Finlay AY and Khan GK. 1994. Dermatology Life Quality Index (DLQI): A simple practical measure for routine clinical use. Clinical and Experimental Dermatology. 19: 210-216.

Grimes PE. 1995. Melasma etiologic and therapeutic considerations. Arch Dermatol. 131:1453-1457.

Hendromartono. 2000. Pengaruh perbaikan status aeterohemoreolgik pada kualitas hidup penderita diabetes melitus tak tergantung insulin dengan gangguan pembuluh darah perifer tungkai bawah. [Disertasi]. Universitas Airlangga. Surabaya

Im S, Hann S-K, and Kang WH. 2002. Melasma ed New Concept of Melasma and Postinflammatory Hyperpigmentation. 1st ed. Seoul. Korea Medical Publisher. Pp. 29-176.

Jee SH, Lee SY, Chiu HC, et al. 1994. Effects of estrogen and estrogen receptor in normal human melanocytes. Biochem Biophys Res Commun. 199: 1407-1412.

Khultanan K. 2005. Pigmentary disorder in Dermatology 2010. Bangkok: Holistic Publishing. Pp. 100-119.

Kimbrough-Green CK and Griffiths CE. 1994. Topical retinoic acid (tretinoin) for melasma in black patients. A vehicle contolled trial. Arch Dermatol. 130: 727-733.

Kini SP and DeLong LK. 2012. Overview of health status quality-of-life measures. Dermatol Clin. 30 (2): 209-221.

Leeyaphan C, Wanitphakdeedecha R, Manuskiatti W, and Kulthanan K. 2011.

Measuring melasma patients’ quality of life using willingness to pay and

time trade-off methods in thai population. BioMed Central Dermatology. 11: 16.

Luh GC. 1999. A retrospective study on the clinical presentation and treatment outcome of melasma in a tertiary dermatological referral centre in Singapore. Singapore Med J. 40: 455–458.


(61)

Maryam RS. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

McKenzie AW. 1971. Skin disorders in pregnancy. Practitioner. 206:773–780. Muallem MM and Rubeiz NG. 2006. Physiological and biological skin changes

in pregnancy. ClinDermatol. 24: 80–83

Nordlund JJ and Boissy RE. 2001. The biology of melanocytes. In: Freinkel RK, Woodley DT, eds. The Biology of the Skin. 1st ed. New York, NY: Parthenon Publishing Group. Pp. 113-132.

Pandya AG, Hynan LS, Bhore R, Riley FC, Guevara IL, Grimes P, et al. 2009. Reliability assessment and validation of the Melasma Area and Severity Index (MASI) and a new modified MASI scoring method. American Academy of Dermatology, Inc, doi:10.1016/j.jaad.2009.10.051.

Park HY, Pongpudpunth M, Lee J, and Yaar M. 2008. Biology of melanocyte. Dalam: Fitzpatrick’s TB, Wolff Klaus, editor. Dermatology in general medicine Edisi ke 7. New York. McGraw-Hill. Hal: 602.

Pawaskar MD, Parikh P, and Markowski T. 2007. Melasma and its impact on health-related quality of life in Hispanic women. J Dermatol Treat. 18: 5– 9.

Pichardo R, Vallejos Q, Feldman SR, Schluz MR, Verma A, Quandt SA, and Arcury TA. 2009. The prevalence of melasma and its association with quality of life in adult male Latino migrant workers. International Journal of Dermatolog 48 (1). 22-26.

Prananingrum DO. 2012. Faktor Risiko Penderita Melasma. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

edisi 6 volume 1. Trans Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani AD. Jakarta : EGC. Hal. 1417.

Rahmawati, N. 2011. Hubungan Antara Melasma dengan Tingkat Kualitas Hidup [Skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Dikutip dari : http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=23266.

Ranson M, Posen S, and Mason RS. 1988. Human melanocytes as a target tissue for hormones: in vitro studies with 1 alpha-25, dihydroxyvitamin D3, alpha-melanocyte stimulating hormone, and beta-estradiol. J Invest Dermatol. 91: 593-598.

Rees JL and Flanagan N. 1999. Pigmentation, melanocortins and red hair. QJM. 92: 125-131.


(62)

Rendon MI. 2004. Utilizing combination therapy to optimize melasma outcomes. J Drugs Dermatol. 3: S2 7–S3 4.

Rikyanto. 2004. Profil kasus melasma pelanggan klinik kosmetik di RSUD kota Yogyakarta. Perdoski [Internet]. Tersedia di: www.perdoski.or.id/index.php/public/information/mdvi-detail-content/87. Robert WE. Melasma. 2009. Medical treatment and procedural therapy. Dalam: Kelly AP, Taylor SC, editor. Dermatology for skin of colour. New York: McGraw-Hill. Pp. 332-336.

Sachdeva S. 2006. Comparative efficacy of 10-20% trichloroacetic acid and 35-70% glycolic acid peel in 60 cases of melasma, freckles, lentigines and postinflammatory hyperpigmentation. J Pak Assoc Dermatol. 16:74-8. Schipper HCJ and Olweny C. 1996. Quality of life and pharmacoeconomics in

clinical trials. Philadelphia. PA: Lippincott-Raven

Soepardiman L. Kelainan pigmen. 2010. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi ke 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 289-95.

Tadokoro T, Kobayashi N, Beer JZ, et al. 2002. The biochemistry of melanogenesis and its regulation by ultraviolet radiation. In: Ortonne JP, Ballotti R, eds. Mechanisms of Suntanning. London, England: Martin Dunitz. Pp. 67-76.

Tambunan EH. 2007. Kepribadian seutuhnya: Terobosan mencapai hidup berdaya guna dan sukses. Bandung: Indonesia Publishing House.

Taylor SC, Torok H, Jones T, Lowe N, Rich P, Tschen E, et al. 2003. Efficacy and safety of a new tripl-combination agent for the treatment of facial melasma. Cutis. 72: 67-72.

Taylor SC. 2007. Objective and subjective measures of melasma. Cosmetic Dermatology. New York. 20 (2).

University of Toronto. 2004. The Quality of Life Model in Quality of Life Research Unit. Toronto; Department of Occupational Therapy. Dikutip dari http://www.utoronto.ca/qol/qol_model.htm

Vendegodt, Merrick, and Andersen. 2003. QOL I.the IQOL theory og global quality of life concept. Diunduh dari http://www.livskvalitet.org/pdf/QOL_theory_I_ (The_IQOL_theory).pdf Wade TR, Wade SL, Jones HE. 1978. Skin changes and diseases associated with


(63)

WHO. 2013. Ultraviolet radiation. Diakses dari http://www.who.int/uv/en/

WHOQOL. 1997. Measuring Quality of Life. Geneva Switzerland: Division of Mental Health and Prevention of Substance Abuse, World Health Organization.

Yani MS. 2008. Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma pada Pekerja Wanita Penyapu Jalan di Kota Medan tahun 2008. [Tesis]. Medan. Universitas Sumatera Utara.


(1)

5.2 Saran

1. Bagi institusi kesehatan khususnya pelayanan Poli Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, diharapkan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih menyeluruh termasuk pada kesehatan psikis pasien;

2. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara derajat keparahan melasma dengan kualitas hidup menggunakan pengukuran derajat keparahan yang bersifat lebih objektif seperti Tristimulus-reflectance colorimeters dan Narrowband-reflectance spectrophometers secara tepat agar lebih akurat lagi. Selain itu, dalam penelitian perlu dilakukan pembatasan usia responden agar menghindari hasil bias pada penelitian;

3. Bagi pasien melasma agar dapat menjalani pengobatan dengan sebaik mungkin dan berusaha menerima serta beradaptasi dengan kondisi melasma agar kualitas hidup dapat menjadi lebih baik.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed A, Leon A, Butler DC, and Reichenberg J. 2013. Quality-of-life effects of common dermatological diseases. Frontline Medical Communications. DOI: 10.12788/j.sder.0009.

Ali R, Aman S, Nadeem M, and Kazmi AH. 2013. Quality of life in patients of melasma. Journal Pakistan of Dermatologists. 23 (2):143-148.

Balkrishnan R, McMichael AJ, Camacho FT, Saltzberg F, Housman TS, Grummer S, et al. 2003. Development and validation of a health-related quality of life instrument for women with melasma. Br J Dermatol. 149:572-577.

Cestari TF and Benvenuto-Andrade C. 2005. Hyperpigmentation and melasma: a physiopathologic review for the clinical dermatologist. Cosmetic Dermatology. 18(10): 703-706.

Cestari TF, Hexsel D, Viegas ML, Azulay L, Hassun K, Almeida ART, et al. 2006. Validation of a melasma quality of life questionnaire for Brazilian Portuguese language: the MelasQoL-BP study and improvement of QoL of melasma patients after triple combination therapy. British Journal of Dermatology. 156 (suppl. 1) 13-20.

Dahlan MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Ed 4. Jakarta : Salemba Medika. Hal. 1-20, 139-142.

Dogra A and Gupta S. 2006. Comparative efficacy of 20% trichloroacetic acid and 50% glycolic acid peels in treatment of recalcitrant melasma. J Pak Assoc Dermatol. 16:79-85.

Doward LC and McKenna SP. 1998 Evolution of quality of life assessment. In: Rajagopalan R, Sheretz EF, Anderson TR, eds. Care Management of Skin Diseases. New York: Marcell-Dekker. Pp. 9-94.

Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, et al. 2008. HARRISON’S Principles of Internal Medicine 17th Edition. New York : Mc Graw Hill Medical. Hal. 309.


(3)

Febrianti T, Sudharmono A, Rata IGAK, dan Bernadette I. 2004. Epidemiologi melasma di poliklinik departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin RS. Dr. Cipto mangunkusumo Jakarta tahun 2004. Perdoski (internet) dikutip di: perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-content/86. Felce D and Perry J. 1995. Quality of life : its definition and measurement. Welsh

Centre for Learning Disabilities Applied Research Unit. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7701092.

Finlay AY and Khan GK. 1994. Dermatology Life Quality Index (DLQI): A simple practical measure for routine clinical use. Clinical and Experimental Dermatology. 19: 210-216.

Grimes PE. 1995. Melasma etiologic and therapeutic considerations. Arch Dermatol. 131:1453-1457.

Hendromartono. 2000. Pengaruh perbaikan status aeterohemoreolgik pada kualitas hidup penderita diabetes melitus tak tergantung insulin dengan gangguan pembuluh darah perifer tungkai bawah. [Disertasi]. Universitas Airlangga. Surabaya

Im S, Hann S-K, and Kang WH. 2002. Melasma ed New Concept of Melasma and Postinflammatory Hyperpigmentation. 1st ed. Seoul. Korea Medical Publisher. Pp. 29-176.

Jee SH, Lee SY, Chiu HC, et al. 1994. Effects of estrogen and estrogen receptor in normal human melanocytes. Biochem Biophys Res Commun. 199: 1407-1412.

Khultanan K. 2005. Pigmentary disorder in Dermatology 2010. Bangkok: Holistic Publishing. Pp. 100-119.

Kimbrough-Green CK and Griffiths CE. 1994. Topical retinoic acid (tretinoin) for melasma in black patients. A vehicle contolled trial. Arch Dermatol. 130: 727-733.

Kini SP and DeLong LK. 2012. Overview of health status quality-of-life measures. Dermatol Clin. 30 (2): 209-221.

Leeyaphan C, Wanitphakdeedecha R, Manuskiatti W, and Kulthanan K. 2011.

Measuring melasma patients’ quality of life using willingness to pay and

time trade-off methods in thai population. BioMed Central Dermatology. 11: 16.

Luh GC. 1999. A retrospective study on the clinical presentation and treatment outcome of melasma in a tertiary dermatological referral centre in Singapore. Singapore Med J. 40: 455–458.


(4)

Maryam RS. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

McKenzie AW. 1971. Skin disorders in pregnancy. Practitioner. 206:773–780. Muallem MM and Rubeiz NG. 2006. Physiological and biological skin changes

in pregnancy. ClinDermatol. 24: 80–83

Nordlund JJ and Boissy RE. 2001. The biology of melanocytes. In: Freinkel RK, Woodley DT, eds. The Biology of the Skin. 1st ed. New York, NY: Parthenon Publishing Group. Pp. 113-132.

Pandya AG, Hynan LS, Bhore R, Riley FC, Guevara IL, Grimes P, et al. 2009. Reliability assessment and validation of the Melasma Area and Severity Index (MASI) and a new modified MASI scoring method. American Academy of Dermatology, Inc, doi:10.1016/j.jaad.2009.10.051.

Park HY, Pongpudpunth M, Lee J, and Yaar M. 2008. Biology of melanocyte. Dalam: Fitzpatrick’s TB, Wolff Klaus, editor. Dermatology in general medicine Edisi ke 7. New York. McGraw-Hill. Hal: 602.

Pawaskar MD, Parikh P, and Markowski T. 2007. Melasma and its impact on health-related quality of life in Hispanic women. J Dermatol Treat. 18: 5– 9.

Pichardo R, Vallejos Q, Feldman SR, Schluz MR, Verma A, Quandt SA, and Arcury TA. 2009. The prevalence of melasma and its association with quality of life in adult male Latino migrant workers. International Journal of Dermatolog 48 (1). 22-26.

Prananingrum DO. 2012. Faktor Risiko Penderita Melasma. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

edisi 6 volume 1. Trans Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani AD. Jakarta : EGC. Hal. 1417.

Rahmawati, N. 2011. Hubungan Antara Melasma dengan Tingkat Kualitas Hidup [Skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Dikutip dari : http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=23266.

Ranson M, Posen S, and Mason RS. 1988. Human melanocytes as a target tissue for hormones: in vitro studies with 1 alpha-25, dihydroxyvitamin D3, alpha-melanocyte stimulating hormone, and beta-estradiol. J Invest Dermatol. 91: 593-598.

Rees JL and Flanagan N. 1999. Pigmentation, melanocortins and red hair. QJM. 92: 125-131.


(5)

Rendon MI. 2004. Utilizing combination therapy to optimize melasma outcomes. J Drugs Dermatol. 3: S2 7–S3 4.

Rikyanto. 2004. Profil kasus melasma pelanggan klinik kosmetik di RSUD kota Yogyakarta. Perdoski [Internet]. Tersedia di: www.perdoski.or.id/index.php/public/information/mdvi-detail-content/87. Robert WE. Melasma. 2009. Medical treatment and procedural therapy. Dalam: Kelly AP, Taylor SC, editor. Dermatology for skin of colour. New York: McGraw-Hill. Pp. 332-336.

Sachdeva S. 2006. Comparative efficacy of 10-20% trichloroacetic acid and 35-70% glycolic acid peel in 60 cases of melasma, freckles, lentigines and postinflammatory hyperpigmentation. J Pak Assoc Dermatol. 16:74-8. Schipper HCJ and Olweny C. 1996. Quality of life and pharmacoeconomics in

clinical trials. Philadelphia. PA: Lippincott-Raven

Soepardiman L. Kelainan pigmen. 2010. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi ke 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 289-95.

Tadokoro T, Kobayashi N, Beer JZ, et al. 2002. The biochemistry of melanogenesis and its regulation by ultraviolet radiation. In: Ortonne JP, Ballotti R, eds. Mechanisms of Suntanning. London, England: Martin Dunitz. Pp. 67-76.

Tambunan EH. 2007. Kepribadian seutuhnya: Terobosan mencapai hidup berdaya guna dan sukses. Bandung: Indonesia Publishing House.

Taylor SC, Torok H, Jones T, Lowe N, Rich P, Tschen E, et al. 2003. Efficacy and safety of a new tripl-combination agent for the treatment of facial melasma. Cutis. 72: 67-72.

Taylor SC. 2007. Objective and subjective measures of melasma. Cosmetic Dermatology. New York. 20 (2).

University of Toronto. 2004. The Quality of Life Model in Quality of Life Research Unit. Toronto; Department of Occupational Therapy. Dikutip dari http://www.utoronto.ca/qol/qol_model.htm

Vendegodt, Merrick, and Andersen. 2003. QOL I.the IQOL theory og global quality of life concept. Diunduh dari http://www.livskvalitet.org/pdf/QOL_theory_I_ (The_IQOL_theory).pdf Wade TR, Wade SL, Jones HE. 1978. Skin changes and diseases associated with


(6)

WHO. 2013. Ultraviolet radiation. Diakses dari http://www.who.int/uv/en/

WHOQOL. 1997. Measuring Quality of Life. Geneva Switzerland: Division of Mental Health and Prevention of Substance Abuse, World Health Organization.

Yani MS. 2008. Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma pada Pekerja Wanita Penyapu Jalan di Kota Medan tahun 2008. [Tesis]. Medan. Universitas Sumatera Utara.