Analisis Prosedur Dan Standar Pembuktian
Analisis Prosedur Dan Standar Pembuktian Dalam Non Conviction
Base Asset Forfeiture Di Indonesia
Oleh: Rimas Kautsar, S.H., M.H.
Dalam sistem hukum Indonesia Non Conviction Base Asset Forfeiture (penyitaan
aset tanpa pemindahan) yang diatur dalam United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,1
meskipun demikian, pelaksanaan norma-norma dalam UNCAC belum sepenuhnya
dapat terlaksana dengan baik karena belum ada instrumen undang-undang yang
menunjang pelaksanaannya. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana dan naskah akademiknya sudah ada sejak tahun 2012, 2 namun
sampai dengan saat ini RUU tersebut masih dalam proses pembahasan di DPR. 3
Meskipun demikian, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan
Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Latar
belakang MA menerbitkan PERMA No.1/2013 adalah MA berpendapat terdapat
kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
sehingga perlu dibentuk Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur mengenai hukum
acara penanganan harta kekayaan, sedangkan di sisi lain MA berwenang membuat
1 Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Against Crruption,
2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), UU No. 7 Tahun 2006, LN.
No. 32 Tahun 2006, TLN. 4620.
2Laporan Akhir naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana
diakses
pada Minggu, 11 Mei 2014.
3Pembahasan RUU Perampasan Aset Akan Kental Nuansa Politik
diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.
peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
dalam jalannya peradilan.4
Ruang Lingkup
Di dalam PERMA No. 1/2013 diatur mengenai prosedur dan standar pembuktian
NCB, di dalam PERMA No. 1/2013 perampasan atau penyitaan aset merupakan suatu
pokok perkara bukan merupakan suatu upaya paksa atau hukuman tambahan yang
dijatuhkan di dalam putusan pidana. PERMA No. 1/2013 ruang lingkupnya berlaku
terhadap permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan oleh Penyidik dalam
hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.5Meskipun terkesan ada pembatasan mengenai konsep
NCB Asset Forfeituredalamsistem hukum di Indonesia, yaitu hanya terbatas kepada
tindak pidana pencucian uang, namun perlu diingat bahwa predicate crime dari tindak
pidana pencucian uang setidaknya berjumlah 26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana, 6
sehingga meliliki sifat yang lentur dalam penerapannya yang bisa menjangkau aset
4Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain,
PERMA No. 1 Tahun 2013, BN. No. 711 Tahun 2013.Konsideran Menimbang huruf b dan c.
Yang menarik adalah pada konsideran Menimbang huruf b kewenangan MA untuk
mengisi kekuarangan atau kekosongan hukum dalam jalannya peradilan didasarkan pada
Penjelasan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
5Ibid. Pasal 1.
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pasal 67 ayat (2) dan (3)Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang , yang berbunyi,
ayat (2) “Dalam hal yang diduga sebagaipelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu
30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau
dikembalikan kepada yang berhak”
ayat (3) “Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari.”
6 Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang,UU No. 8 Tahun 2010, LN. No. Tahun, TLN.Pasal 2.
hasil tindak pidana asal (predicate crime) sepanjang dikaitkan dengan tindak pidana
pencucian uang. Pembatasan lain dalam konsep NCB Asset Forfeitureyang diterapkan
saat ini adalah permohonan penanganan harta kekayaan hanya bisa dilakukan oleh
Penyidik terhadap aset hasil tindak kejahatan dalam hal yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana tidak ditemukan, 7 sedangkan kegunaan dan manfaat perampasan aset
NCB memiliki lingkup yang lebih luas dari itu. 8
Dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010, 26 (dua puluh enam) predicate crime yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Korupsi;
2) Penyuapan;
3) Narkotika;
4) Psikotropika;
5) Penyelundupan tenaga kerja;
6) Penyelundupan imigran;
7) Di bidang perbankan;
8) Di bidang pasar modal;
9) Di bidang perasuransian;
10) Kepabeanan;
11) Cukai;
12) Perdagangan orang;
13) Perdagangan senjata gelap;
14) Terorisme;
15) Penculikan;
16) Pencurian;
17) Penggelapan;
18) Penipuan;
19) Pemalsuan uang;
20) Perjudian;
21) Prostitusi;
22) Di bidang perpajakan;
Oleh karena dasar dari NCB Asset Forfeiture sebagaimana diatur dalam PERMA
No. 1/2013 adalah undang-undang tindak pidana pencucian uang, maka Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam PERMA No. 1/2013 adalah merujuk pada ketentuan
mengenai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 9, yang
didalam penjelasan Pasal 74 disebutkan yaitu antara lain:
23) Di bidang kehutanan;
24) Di bidang lingkungan hidup;
25) Di bidang kelautan dan perikanan; atau
26) Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
7Ibid. Pasal 67 ayat (2).
8 Menurut Greenberg, Samuel, Grant, dan Gray dalam Buku “Stolen Asset Recovery:
A Good Practice for Non-Conviction Based Asset Forfeiture”, ruang lingkup konsep NCB dapat
digunakan dalam berbagai keadaan, seperti yang dinyatakan sebagai berikut,
“NCB asset forfeiture is useful in variety of context, particularly when criminal forfeiture is
not possible or available (see box 2 for case examples), as in the following examples:
a. The violator is a fugitive. A criminal conviction is not possible if accused is a fugitive.
b. The violator is dead or dies before conviction. Death brings an end to criminal
proceedings.
c. The violator is immune from criminal prosecution.
d. The violator is so powerful that a criminal investigation or prosecution is unrealistic or
impossible.
e. The violator is unknown and assets are found (four examples, assets found in the
hands of a courier who is not involved in the commission of the criminal offense). If
the asset is derived from crime, an owner or violator may unwilling to defend civil
recovery proceedings for fear that this would lead to criminal prosecution. This
uncertainty makes a criminal prosecution of a violator very difficult, if not impossible.
f.
The relevant property is held by a third party who was not been charged with a
criminal offense but is aware – or is willfully blind to the fact – that the property is
tainted. While criminal forfeiture may not reach the property held by bona fide third
parties, NCB asset can forfeit the property from third party without a bona fide
defense.
g. There is insufficient evidence to proceed with criminal prosecution.
In such scenarios, NCB asset forfeiture is possible because it is an in rem action against the
property, not the person, or a criminal conviction is not required, or both. NCB asset
forfeiture can also useful in the following situations:
a. The violator has been acquitted of underlying criminal offense as a result of lack of
admissible evidence or failure of meeting the burden of proof. This applies in
jurisdictions in which NCB asset forfeiture is established of a standard of proof that is
lower than the criminal conviction standard. While there may be insufficient evidence
1. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
2. Penyidik Kejaksaan;
3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
4. Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN);
5. Penyidik Direktorat Jenderal Pajak;
6. Penyidik Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Prosedur Permohonan, Kewenangan Mengadili, dan Putusan
Dalam PERMA No. 1/2013 terdapat tiga tahapan, yaitu, pertama, tahap
Permohonan Penanganan Harta Kekayaan. Kedua, tahapPengumuman Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan. Ketiga, tahap Pemeriksaan Permohonan Penanganan
Harta Kekayaan.
Prosedur pengajuan permohonan penanganan harta kekayaan, adalah sebagai
berikut:
1. Permohonan diajukan oleh penyidik harus memuat: 10
a. Nama dan jenis harta kekayaan;
for a criminal conviction beyond reasonable doubt, there still could be sufficient
evidence to show the assets are derived from illegal activity on a balance
probabilities.
b. The forfeiture is uncontested. In jurisdiction in which NCB asset forfeiture is
conducted as a civil proceeding, default judgment procedures are used to forfeit the
assets, resulting in tie and cost savings.”
9Bunyi Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut, “Penyidikan tindak
pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan
hukum acaradan ketentuan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UndangUndang ini.” Penulis memiliki kritik terhadap pengaturan Pasal 74 ini sebab rumusan pasal
dimaksud sebenarnya memiliki rumusan tentang penyidik yang luas, sehingga bisa
memasukkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di berbagai Kementrian semisal
Kementerian Tenaga kerja dan Kementerian Lingkungan Hidup, Penyidik Polisi Militer TNI,
dan penyidik Otoritas Jasa Keuangan, namun di sisi lain Penjelasan Pasal 74 UU No. 8 Tahun
2015 dalam rumusannya membatasi definisi penyidik dalam UU tersebut hanya berasal dari
penyidik Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, sehingga menurut penulis rumusan penjelasan Pasal 74 ini adalah sesuatu hal
yang tidak perlu sebab akan membatasi kewenangan penegakan hukum tindak pidana
pencucian uang oleh penyidik di luar penyidik Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Direktorat Jenderal
Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai padahal di sisi lain berdasarkan rumusan pasal
mengenai 26 (dua puluh enam) jenis predicate crime mereka juga berwenang untuk
menyidik tindak pidana pencucian uang juga.
10Op. Cit. PERMA No. 1 Tahun 2013.Pasal 2 ayat (1).
b. Jumlah harta kekayaan;
c. Tempat, hari, dan tanggal penyitaan;
d. Uraian singkat yang memuat alasan diajukannya permohonan penanganan harta
kekayaan.
2. Permohonan diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh Penyidik yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.11
3. Permohonan yang diajukan dilengkapi dengan: 12
a. Berita acara penghentian sementara seluruh atau sebagian transaksi terkait
harta kekayaan yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana atas
permintaan PPATK;
b. Berkas perkara hasil penyidikan; dan
c. Berita acara pencarian tersangka.
Di tahap Pengadilan sebelum pemeriksaan permohonan penanganan harta
kekayaan, dapat dijabarkan prosedur sebagai berikut:
1. Sebelum pemeriksaan permohonan penanganan harta kekayaan, Ketua Pengadilan
negeri
wajib
melakukan
pemeriksaan
terhadap
kelengkapan
permohonan
penanganan harta kekayaan.13
2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan kepada seorang Hakim untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan permohonan penanganan harta
kekayaan.14
3. Dalam hal permohonan penanganan harta kekayaan belum memenuhi ketentuan
PERMA, Ketua
Pengadilan Negeri atau Hakim yang mendapat delegasi
kewenangan wajib memberi petunjuk kepada Penyidik untuk memperbaiki dan
melengkapi permohonan penanganan harta kekayaan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak petunjuk diterima oleh Penyidik. 15
11Ibid. Pasal 2 ayat (2).
12Ibid. Pasal 3.
13Ibid. Pasal 4 ayat (1).
14Ibid. Pasal 4 ayat (2).
15Ibid. Pasal 4 ayat (3).
4. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak petunjuk diterima oleh
Penyidik, Penyidik belum melengkapi permohonan penanganan harta kekayaan,
Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang menerima delegasi wewenang
mengembalikan permohonan penanganan harta kekayaan kepada Penyidik. 16
5. Terhadap permohonan yang dikembalikan, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja Penyidik wajib melengkapi dan menympaikan kembali permohonan
penanganan harta kekayaan.17
Kewenangan mengadili pengadilan untuk mengadili permohonan penanganan
harta kekayaan dalam PERMA No. 1/2013, adalah sebagai berikut: 18
1. Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan penanganan harta kekayaan adalah Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat keberadaan harta kekayaan.
2. Apabila terdapat beberapa harta kekayaan yang dimohonkan untuk dimintakan
penanganan harta kekayaandalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri,
Penyidik dapat memilih salah satu dari Pengadilan Negeri tersebut untuk
mengajukan permohonan penanganan harta kekayaan.
3. Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Pengadilan Negeri
memeriksa suatu permohonan penanganan harta kekayaan, Mahkamah Agung
menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain yang layak untuk memeriksa
permohonan dimaksud berdasarkan usul dari pimpinan instansi Penyidik yang
bersangkutan.
4. Dalam hal harta kekayaan yang dimohonkan untuk dimintakan penanganan harta
kekayaan berada di luar negeri, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta kekayaan.
16Ibid. Pasal 4 ayat (4).
17Ibid. Pasal 4 ayat (5).
18Ibid. Pasal 5 s.d. Pasal 7.
Tahap selanjutnya dalam penanganan permohonan penanganan harta kekayaan
di pengadilan adalah Pengumuman Permohonan Penanganan Harta Kekayaan, yaitu
meliputi:19
1. Setelah permohonan dinyatakan lengkap sesuai dengan prosedur PERMA No.
1/2013, Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan Panitera untuk mencatat
permohonan penanganan harta kekayaan tersebut dalam buku register.
2. Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan Panitera untuk mengumumkan
permohonan penanganan harta kekayaan pada papan pengumuman Pengadilan
Negeri dan/atau media lain guna memberikan kesempatan kepada pihak yang
merasa berhak atas harta kekayaan untuk mengajukan keberatan.
3. Pengumuman permohonan penanganan harta kekayaan pada papan pengumuman
Pengadilan Negeri dan/atau media lain dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari kerja.
4. Bentuk pengumuman permohonan penanganan harta kekayaan diatur di dalam
lampiran PERMA No. 1/2013.
Tahap selanjutnya adalah Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta
Kekayaan.Pemeriksaan permohonan dibedakan menjadi dua, pertama, Pemeriksaan
Permohonan
Penanganan
Harta
Kekayaan
Dalam
Hal
Tidak
Terdapat
Keberatan.Kedua, Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal
terdapat Keberatan.Tahap pemeriksaan diakhiri dengan adaya putusan Hakim atas
perkara dimaksud. Selanjutnya dapat dijelaskan mengenai Pemeriksaan Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal Tidak Terdapat Keberatan, adalah dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut: 20
1. Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta
kekayaan dalam masa pengumuman, Ketua Pengadilan Negerimenunjuk Hakim
Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta
kekayaan.
2. Hakim Tunggal yang ditunjuk menetapkan hari sidang dan memerintahkan Panitera
untuk memanggil Penyidik agar hadir di persidangan.
19Ibid. Pasal 8.
20Ibid. Pasal 9 s.d. Pasal 10.
3. Berdasarkan permohonan penanganan harta kekayaan dan alat bukti dan/atau
barang bukti yang diajukan oleh Penyidik selaku pemohon penanganan harta
kekayaan, Hakim memutus harta kekayaan tersebut sebagai aset negara atau
dikembalikan kepada yang berhak.
4. Hakim harus memutus permohonan penanganan harta kekayaan paling lama 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama.
5. Putusan atas permohonan penanganan harta kekayaan diumumkan pada papan
pengumuman
Pengadilan
Negeri
dan/atau
media
lain
guna
memberikan
kesempatan kepada pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan untuk
mengajukan keberatan.
6. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan
penanganan harta kekayaan segera setelah putusan diucapkan.
7. Salinan putusan disampaikankepada Jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di
daerah huku Pengadilan Negeri yang memutus permohonan penanganan harta
kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna
kepentingan eksekusi.
Setelah putusan diucapkan, pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan
sebagaimana dimaksud, masih diberikan kesempatan pengajuan keberatan terhadap
putusan permohonan penanganan harta kekayaan. Adapun prosedurnya adalah
sebagai berikut:
1. Terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan, pihak yang merasa
berhak atas harta kekayaan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri yang bersangkutan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah putusan Pengadilan diucapkan.21
2. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan keberatan penanganan harta kekayaan. 22
21Ibid. Pasal 11 ayat (1).
22Ibid. Pasal 11 ayat (2).
3. Majleis Hakim yang ditunjuk menentukan hari sidang pertama dan memerintahkan
Panitera untuk memanggil Penyidik dan Pemohon Keberatan agar hadir di
persidangan.23
4. Dalam hal Pemohon Keberatan adalah korporasi, panggilan disampaikan kepada
pengurusdi tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. 24
5. Salah seorang pengurus korporasi Pemohon Keberatan wajib menghadap di siding
Pengadilan mewakili korporasi.25
6. Pemohon Keberatan harus mengajukan alasan-alasan keberatan disertai dengan
alat-alat bukti dan/atau barang bukti yang diperlukan, serta menghadiri sendiri
persidangan, baik disampingi oleh kuasa hukumnya atau tidak. 26
7. Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Hakim membuka persidangan dan
menyatakan sidang terbuka untuk umum.27
8. Hakim Memerintahkan Pemohon Keberatan untuk membacakan keberatan terhadap
putusan permohonan penanganan harta kekayaan. 28
9. Pemohon Keberatan menyampaikan alat bukti dan/atau barang bukti yang
mendukung keberatan terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan
dimaksud.29
10. Dalam hal diperlukan, Hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap harta
kekayaan di tempat harta kekayaan tersebut berada. 30
11. Hakim memerintahkan Pemohon keberatan untuk membuktikan asal usul bahwa
harta kekayaan yang diajukan permohonan penanganan harta kekayaan tersebut
bukan merupakan hasil tindak pidana.31
23Ibid. Pasal 11 ayat (3).
24Ibid. Pasal 11 ayat (4).
25Ibid. Pasal 11 ayat (5).
26Ibid. Pasal 11 ayat (6).
27Ibid. Pasal 12.
28Ibid. Pasal 13.
29Ibid. Pasal 14.
30Ibid. Pasal 15.
31Ibid. Pasal 16.
12. Dalam hal diperlukan, Hakim dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula
meminta agar diajukan bahan baru.32
13. Hakim mempertimbangkan seluruh dalil-dalil dan alat bukti yang telah diperiksa di
persidangan, untuk selanjutnya memutus harta kekayaan tersebut dinyatakan
sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak. 33
14. Putusan Majelis Hakim yang memutus keberatan terhadap putusan permohonan
penanganan harta kekayaan bersifat final dan mengikat. 34
15. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak menghadiri sendiri persidangan, Hakim
menyatakan keberatan tersebut gugur dan putusan yang dimohonkan keberatan
tetap berlaku.35
16. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak mengajukan alasan-alasan dan/atau tanpa
disertai alat-alat bukti yang cukup, Hakim menolak keberatan tersebut dan putusan
yang dimohonkan keberatan tetap berlaku. 36
17. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan
penanganan harta kekayaan dan Pemohon Keberatan segera setelah putusan
diucapkan.37
18. Salinan putusan disampaikan kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di
daerah hukum Pengadilan negeri yang memutus permohonan penanganan harta
kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna
kepentingan eksekusi.38
Selanjutnya penjelasan mengenai Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta
Kekayaan Dalam Hal Terdapat Keberatan, dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
32Ibid. Pasal 17.
33Ibid. Pasal 18 ayat (1).
34Ibid. Pasal 18 ayat (2).
35Ibid. Pasal 19 ayat (1)
36Ibid. Pasal 19 ayat (2)
37Ibid. Pasal 20 ayat (1)
38Ibid. Pasal 20 ayat (2).
1. Dalam hal terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta kekayaan
yang diajukan dalam masa pengumuman 30 (tiga puluh) hari, Ketua Pengadilan
Negeri menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan penanganan harta kekayaan.39
2. Dalam hal terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta kekayaan
yang diajukan dalam proses pemeriksaan sidang (bukan di dalam masa
pengumuman 30 [tiga puluh] hari), Hakim Tunggal yang memeriksa permohonan
penanganan harta kekayaan tersebut melaporkan adanya keberatan tersebut
kepada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menunjuk
MajelisHakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan
harta kekayaan.40
3. Majelis Hakim yang ditunjuk menentukan hari sidang pertama dan memerintahkan
Panitera untuk memanggil Penyidik dan Pemohon Keberatan agar hadir di
persidangan.41
4. Tata cara pemeriksaan persidangan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan
Dalam Hal Terdapat Keberatan dilakukan sebagaimana tata cara pemeriksaan
persidangan pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Permohonan Penanganan
Harta Kekayaan yang Diajukan Setelah Putusan Diucapkan. 42
5. Putusan Majelis Hakim yang memutus keberatan terhadap putusan permohonan
penanganan harta kekayaan bersifat final dan mengikat. 43
6. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak menghadiri sendiri persidangan, Hakim
menyatakan keberatan tersebut gugur dan putusan yang dimohonkan keberatan
tetap berlaku.44
39Ibid. Pasal 21 ayat (1).
40Ibid. Pasal 21 ayat (2).
41Ibid. Pasal 22 ayat (1).
42Ibid. Pasal 22 ayat (2).
43Ibid. Pasal 22 ayat (2).
44Ibid. Pasal 23.
7. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak mengajukan alasan-alasan dan/atau tanpa
disertai alat-alat bukti yang cukup, Hakim menolak keberatan tersebut dan putusan
yang dimohonkan keberatan tetap berlaku. 45
8. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan
penanganan harta kekayaan dan Pemohon Keberatan segera setelah putusan
diucapkan.46
9. Salinan putusan disampaikan kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di
daerah hukum pengadilan negeri yang memutus permohonan penanganan harta
kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna
kepentingan eksekusi.47
Alat Bukti
Dalam PERMA No. 1/2013 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam PERMA No. 1/2013, 48
dengan demikian hal-hal seperti ketentuan bukti dalam PERMA No. 1/2013 adalah
mengacu kepada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yaitu:49
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
45Ibid. Pasal 23.
46Ibid. Pasal 23.
47Ibid. Pasal 23.
48Ibid. Pasal 24.
49 Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981,
LN No. 76 Tahun 1982, TLN No. 3209.Pasal 184 ayat (1).
Selain alat bukti permohonan penanganan harta kekayaan mengacu pada KUHAP, oleh
karena ruang lingkup penanganan harta kekayaan adalah permohonan penanganan
harta kekayaan yang diajukan oleh Penyidik dalam hal yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
maka alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 73 huruf bUndang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
juga berlaku dalam pembuktian di pengadilan, yang berbunyi,
“Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah: alat
bukti
lain
berupa
informasi
yang
diucapkan,
dikirimkan,
diterima,
atau
disimpansecara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan
Dokumen.”50
PERMA No. 1/2013 telah memberikan jalan yang cukup baik bagi penegak
hukum dalam melaksanakan NCBAsset Forfeiture, meskipun memiliki keterbatasan
namun hal tersebut lebih disebabkan karena NCBAsset Forfeiture di Indonesia masih
dibatasi pada tindak pidana pencucian uang, hal ini dikarenakan tidak adanya undangundang yang secara khusus mengatur mengenai NCB Asset Forfeiture bagi tindak
pidana selain tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Namun demikian tindak
pidana pencucian uang memiliki “kelenturan” sebab predicate crime dari tindak pidana
pencucian uang di Indonesia menurut undang-undang terdapat 26 (dua puluh enam)
jenis tindak pidana. Selain itu pengaturan prosedur NCB Asset Forfeiture tindak pidana
pencucian melalui Peraturan Mahkamah Agung dirasa masih kurang greget, sebab
akan lebih baik jika substansi PERMA No. 1/2013 diatur di dalam undang-undang.
Penulis juga berpendapat bahwa apabila Penyidik mampu memanfaatkan NCB Asset
Forfeiture sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1/2013 dalam pengembangkan
penegakan hukum di bidang tindak pidana pencucian uang, hal ini akan sangat
bermanfaat bagi keuangan negara karena merupakan salah satu langkah dalam
pengembalian harta kekayaan kekayaan negara yang telah dicuri dan mampu menekan
gerak gerik pelaku tindak pidana pencucian uang sebab uang atau aset yang terkait
50Op. Cit. UU No. 8 Tahun 2010.Pasal 73 huruf b.
tindak pidana pencucian uang yang merupakan tujuan terjadinya tindak pidana atau
sarana terjadinya tindak pidana dapat dirampas oleh negara dan untuk kepentingan
negara melalui suatu prosedur hukum yang sederhana tanpa mengurangi bobot dari
substansi terwujudnya keadilan.
Daftar Pustaka
Greenberg, Theodore S. dkk.Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide For NonConviction Based Asset Forfeiture. Washington D.C.: The International bank for
Reconstruction and Development. 2009.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Against Crruption,
2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), UU No. 7
Tahun 2006, LN. No. 32 Tahun 2006, TLN. 4620.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN. No. Tahun, TLN.
Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN
No. 76 Tahun 1982, TLN No. 3209.
Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak
Pidana Lain, PERMA No. 1 Tahun 2013, BN. No. 711 Tahun 2013.
Laporan Akhir naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana
diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.
Pembahasan
RUU
Perampasan
Aset
Akan
Kental
Nuansa
Politik
diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.
Base Asset Forfeiture Di Indonesia
Oleh: Rimas Kautsar, S.H., M.H.
Dalam sistem hukum Indonesia Non Conviction Base Asset Forfeiture (penyitaan
aset tanpa pemindahan) yang diatur dalam United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,1
meskipun demikian, pelaksanaan norma-norma dalam UNCAC belum sepenuhnya
dapat terlaksana dengan baik karena belum ada instrumen undang-undang yang
menunjang pelaksanaannya. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana dan naskah akademiknya sudah ada sejak tahun 2012, 2 namun
sampai dengan saat ini RUU tersebut masih dalam proses pembahasan di DPR. 3
Meskipun demikian, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan
Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Latar
belakang MA menerbitkan PERMA No.1/2013 adalah MA berpendapat terdapat
kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
sehingga perlu dibentuk Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur mengenai hukum
acara penanganan harta kekayaan, sedangkan di sisi lain MA berwenang membuat
1 Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Against Crruption,
2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), UU No. 7 Tahun 2006, LN.
No. 32 Tahun 2006, TLN. 4620.
2Laporan Akhir naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana
diakses
pada Minggu, 11 Mei 2014.
3Pembahasan RUU Perampasan Aset Akan Kental Nuansa Politik
diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.
peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
dalam jalannya peradilan.4
Ruang Lingkup
Di dalam PERMA No. 1/2013 diatur mengenai prosedur dan standar pembuktian
NCB, di dalam PERMA No. 1/2013 perampasan atau penyitaan aset merupakan suatu
pokok perkara bukan merupakan suatu upaya paksa atau hukuman tambahan yang
dijatuhkan di dalam putusan pidana. PERMA No. 1/2013 ruang lingkupnya berlaku
terhadap permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan oleh Penyidik dalam
hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.5Meskipun terkesan ada pembatasan mengenai konsep
NCB Asset Forfeituredalamsistem hukum di Indonesia, yaitu hanya terbatas kepada
tindak pidana pencucian uang, namun perlu diingat bahwa predicate crime dari tindak
pidana pencucian uang setidaknya berjumlah 26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana, 6
sehingga meliliki sifat yang lentur dalam penerapannya yang bisa menjangkau aset
4Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain,
PERMA No. 1 Tahun 2013, BN. No. 711 Tahun 2013.Konsideran Menimbang huruf b dan c.
Yang menarik adalah pada konsideran Menimbang huruf b kewenangan MA untuk
mengisi kekuarangan atau kekosongan hukum dalam jalannya peradilan didasarkan pada
Penjelasan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
5Ibid. Pasal 1.
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pasal 67 ayat (2) dan (3)Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang , yang berbunyi,
ayat (2) “Dalam hal yang diduga sebagaipelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu
30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau
dikembalikan kepada yang berhak”
ayat (3) “Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari.”
6 Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang,UU No. 8 Tahun 2010, LN. No. Tahun, TLN.Pasal 2.
hasil tindak pidana asal (predicate crime) sepanjang dikaitkan dengan tindak pidana
pencucian uang. Pembatasan lain dalam konsep NCB Asset Forfeitureyang diterapkan
saat ini adalah permohonan penanganan harta kekayaan hanya bisa dilakukan oleh
Penyidik terhadap aset hasil tindak kejahatan dalam hal yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana tidak ditemukan, 7 sedangkan kegunaan dan manfaat perampasan aset
NCB memiliki lingkup yang lebih luas dari itu. 8
Dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010, 26 (dua puluh enam) predicate crime yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Korupsi;
2) Penyuapan;
3) Narkotika;
4) Psikotropika;
5) Penyelundupan tenaga kerja;
6) Penyelundupan imigran;
7) Di bidang perbankan;
8) Di bidang pasar modal;
9) Di bidang perasuransian;
10) Kepabeanan;
11) Cukai;
12) Perdagangan orang;
13) Perdagangan senjata gelap;
14) Terorisme;
15) Penculikan;
16) Pencurian;
17) Penggelapan;
18) Penipuan;
19) Pemalsuan uang;
20) Perjudian;
21) Prostitusi;
22) Di bidang perpajakan;
Oleh karena dasar dari NCB Asset Forfeiture sebagaimana diatur dalam PERMA
No. 1/2013 adalah undang-undang tindak pidana pencucian uang, maka Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam PERMA No. 1/2013 adalah merujuk pada ketentuan
mengenai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 9, yang
didalam penjelasan Pasal 74 disebutkan yaitu antara lain:
23) Di bidang kehutanan;
24) Di bidang lingkungan hidup;
25) Di bidang kelautan dan perikanan; atau
26) Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
7Ibid. Pasal 67 ayat (2).
8 Menurut Greenberg, Samuel, Grant, dan Gray dalam Buku “Stolen Asset Recovery:
A Good Practice for Non-Conviction Based Asset Forfeiture”, ruang lingkup konsep NCB dapat
digunakan dalam berbagai keadaan, seperti yang dinyatakan sebagai berikut,
“NCB asset forfeiture is useful in variety of context, particularly when criminal forfeiture is
not possible or available (see box 2 for case examples), as in the following examples:
a. The violator is a fugitive. A criminal conviction is not possible if accused is a fugitive.
b. The violator is dead or dies before conviction. Death brings an end to criminal
proceedings.
c. The violator is immune from criminal prosecution.
d. The violator is so powerful that a criminal investigation or prosecution is unrealistic or
impossible.
e. The violator is unknown and assets are found (four examples, assets found in the
hands of a courier who is not involved in the commission of the criminal offense). If
the asset is derived from crime, an owner or violator may unwilling to defend civil
recovery proceedings for fear that this would lead to criminal prosecution. This
uncertainty makes a criminal prosecution of a violator very difficult, if not impossible.
f.
The relevant property is held by a third party who was not been charged with a
criminal offense but is aware – or is willfully blind to the fact – that the property is
tainted. While criminal forfeiture may not reach the property held by bona fide third
parties, NCB asset can forfeit the property from third party without a bona fide
defense.
g. There is insufficient evidence to proceed with criminal prosecution.
In such scenarios, NCB asset forfeiture is possible because it is an in rem action against the
property, not the person, or a criminal conviction is not required, or both. NCB asset
forfeiture can also useful in the following situations:
a. The violator has been acquitted of underlying criminal offense as a result of lack of
admissible evidence or failure of meeting the burden of proof. This applies in
jurisdictions in which NCB asset forfeiture is established of a standard of proof that is
lower than the criminal conviction standard. While there may be insufficient evidence
1. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
2. Penyidik Kejaksaan;
3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
4. Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN);
5. Penyidik Direktorat Jenderal Pajak;
6. Penyidik Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Prosedur Permohonan, Kewenangan Mengadili, dan Putusan
Dalam PERMA No. 1/2013 terdapat tiga tahapan, yaitu, pertama, tahap
Permohonan Penanganan Harta Kekayaan. Kedua, tahapPengumuman Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan. Ketiga, tahap Pemeriksaan Permohonan Penanganan
Harta Kekayaan.
Prosedur pengajuan permohonan penanganan harta kekayaan, adalah sebagai
berikut:
1. Permohonan diajukan oleh penyidik harus memuat: 10
a. Nama dan jenis harta kekayaan;
for a criminal conviction beyond reasonable doubt, there still could be sufficient
evidence to show the assets are derived from illegal activity on a balance
probabilities.
b. The forfeiture is uncontested. In jurisdiction in which NCB asset forfeiture is
conducted as a civil proceeding, default judgment procedures are used to forfeit the
assets, resulting in tie and cost savings.”
9Bunyi Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut, “Penyidikan tindak
pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan
hukum acaradan ketentuan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UndangUndang ini.” Penulis memiliki kritik terhadap pengaturan Pasal 74 ini sebab rumusan pasal
dimaksud sebenarnya memiliki rumusan tentang penyidik yang luas, sehingga bisa
memasukkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di berbagai Kementrian semisal
Kementerian Tenaga kerja dan Kementerian Lingkungan Hidup, Penyidik Polisi Militer TNI,
dan penyidik Otoritas Jasa Keuangan, namun di sisi lain Penjelasan Pasal 74 UU No. 8 Tahun
2015 dalam rumusannya membatasi definisi penyidik dalam UU tersebut hanya berasal dari
penyidik Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, sehingga menurut penulis rumusan penjelasan Pasal 74 ini adalah sesuatu hal
yang tidak perlu sebab akan membatasi kewenangan penegakan hukum tindak pidana
pencucian uang oleh penyidik di luar penyidik Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Direktorat Jenderal
Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai padahal di sisi lain berdasarkan rumusan pasal
mengenai 26 (dua puluh enam) jenis predicate crime mereka juga berwenang untuk
menyidik tindak pidana pencucian uang juga.
10Op. Cit. PERMA No. 1 Tahun 2013.Pasal 2 ayat (1).
b. Jumlah harta kekayaan;
c. Tempat, hari, dan tanggal penyitaan;
d. Uraian singkat yang memuat alasan diajukannya permohonan penanganan harta
kekayaan.
2. Permohonan diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh Penyidik yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.11
3. Permohonan yang diajukan dilengkapi dengan: 12
a. Berita acara penghentian sementara seluruh atau sebagian transaksi terkait
harta kekayaan yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana atas
permintaan PPATK;
b. Berkas perkara hasil penyidikan; dan
c. Berita acara pencarian tersangka.
Di tahap Pengadilan sebelum pemeriksaan permohonan penanganan harta
kekayaan, dapat dijabarkan prosedur sebagai berikut:
1. Sebelum pemeriksaan permohonan penanganan harta kekayaan, Ketua Pengadilan
negeri
wajib
melakukan
pemeriksaan
terhadap
kelengkapan
permohonan
penanganan harta kekayaan.13
2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan kepada seorang Hakim untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan permohonan penanganan harta
kekayaan.14
3. Dalam hal permohonan penanganan harta kekayaan belum memenuhi ketentuan
PERMA, Ketua
Pengadilan Negeri atau Hakim yang mendapat delegasi
kewenangan wajib memberi petunjuk kepada Penyidik untuk memperbaiki dan
melengkapi permohonan penanganan harta kekayaan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak petunjuk diterima oleh Penyidik. 15
11Ibid. Pasal 2 ayat (2).
12Ibid. Pasal 3.
13Ibid. Pasal 4 ayat (1).
14Ibid. Pasal 4 ayat (2).
15Ibid. Pasal 4 ayat (3).
4. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak petunjuk diterima oleh
Penyidik, Penyidik belum melengkapi permohonan penanganan harta kekayaan,
Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang menerima delegasi wewenang
mengembalikan permohonan penanganan harta kekayaan kepada Penyidik. 16
5. Terhadap permohonan yang dikembalikan, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja Penyidik wajib melengkapi dan menympaikan kembali permohonan
penanganan harta kekayaan.17
Kewenangan mengadili pengadilan untuk mengadili permohonan penanganan
harta kekayaan dalam PERMA No. 1/2013, adalah sebagai berikut: 18
1. Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan penanganan harta kekayaan adalah Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat keberadaan harta kekayaan.
2. Apabila terdapat beberapa harta kekayaan yang dimohonkan untuk dimintakan
penanganan harta kekayaandalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri,
Penyidik dapat memilih salah satu dari Pengadilan Negeri tersebut untuk
mengajukan permohonan penanganan harta kekayaan.
3. Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Pengadilan Negeri
memeriksa suatu permohonan penanganan harta kekayaan, Mahkamah Agung
menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain yang layak untuk memeriksa
permohonan dimaksud berdasarkan usul dari pimpinan instansi Penyidik yang
bersangkutan.
4. Dalam hal harta kekayaan yang dimohonkan untuk dimintakan penanganan harta
kekayaan berada di luar negeri, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta kekayaan.
16Ibid. Pasal 4 ayat (4).
17Ibid. Pasal 4 ayat (5).
18Ibid. Pasal 5 s.d. Pasal 7.
Tahap selanjutnya dalam penanganan permohonan penanganan harta kekayaan
di pengadilan adalah Pengumuman Permohonan Penanganan Harta Kekayaan, yaitu
meliputi:19
1. Setelah permohonan dinyatakan lengkap sesuai dengan prosedur PERMA No.
1/2013, Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan Panitera untuk mencatat
permohonan penanganan harta kekayaan tersebut dalam buku register.
2. Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan Panitera untuk mengumumkan
permohonan penanganan harta kekayaan pada papan pengumuman Pengadilan
Negeri dan/atau media lain guna memberikan kesempatan kepada pihak yang
merasa berhak atas harta kekayaan untuk mengajukan keberatan.
3. Pengumuman permohonan penanganan harta kekayaan pada papan pengumuman
Pengadilan Negeri dan/atau media lain dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari kerja.
4. Bentuk pengumuman permohonan penanganan harta kekayaan diatur di dalam
lampiran PERMA No. 1/2013.
Tahap selanjutnya adalah Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta
Kekayaan.Pemeriksaan permohonan dibedakan menjadi dua, pertama, Pemeriksaan
Permohonan
Penanganan
Harta
Kekayaan
Dalam
Hal
Tidak
Terdapat
Keberatan.Kedua, Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal
terdapat Keberatan.Tahap pemeriksaan diakhiri dengan adaya putusan Hakim atas
perkara dimaksud. Selanjutnya dapat dijelaskan mengenai Pemeriksaan Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal Tidak Terdapat Keberatan, adalah dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut: 20
1. Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta
kekayaan dalam masa pengumuman, Ketua Pengadilan Negerimenunjuk Hakim
Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta
kekayaan.
2. Hakim Tunggal yang ditunjuk menetapkan hari sidang dan memerintahkan Panitera
untuk memanggil Penyidik agar hadir di persidangan.
19Ibid. Pasal 8.
20Ibid. Pasal 9 s.d. Pasal 10.
3. Berdasarkan permohonan penanganan harta kekayaan dan alat bukti dan/atau
barang bukti yang diajukan oleh Penyidik selaku pemohon penanganan harta
kekayaan, Hakim memutus harta kekayaan tersebut sebagai aset negara atau
dikembalikan kepada yang berhak.
4. Hakim harus memutus permohonan penanganan harta kekayaan paling lama 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama.
5. Putusan atas permohonan penanganan harta kekayaan diumumkan pada papan
pengumuman
Pengadilan
Negeri
dan/atau
media
lain
guna
memberikan
kesempatan kepada pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan untuk
mengajukan keberatan.
6. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan
penanganan harta kekayaan segera setelah putusan diucapkan.
7. Salinan putusan disampaikankepada Jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di
daerah huku Pengadilan Negeri yang memutus permohonan penanganan harta
kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna
kepentingan eksekusi.
Setelah putusan diucapkan, pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan
sebagaimana dimaksud, masih diberikan kesempatan pengajuan keberatan terhadap
putusan permohonan penanganan harta kekayaan. Adapun prosedurnya adalah
sebagai berikut:
1. Terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan, pihak yang merasa
berhak atas harta kekayaan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri yang bersangkutan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah putusan Pengadilan diucapkan.21
2. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan keberatan penanganan harta kekayaan. 22
21Ibid. Pasal 11 ayat (1).
22Ibid. Pasal 11 ayat (2).
3. Majleis Hakim yang ditunjuk menentukan hari sidang pertama dan memerintahkan
Panitera untuk memanggil Penyidik dan Pemohon Keberatan agar hadir di
persidangan.23
4. Dalam hal Pemohon Keberatan adalah korporasi, panggilan disampaikan kepada
pengurusdi tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. 24
5. Salah seorang pengurus korporasi Pemohon Keberatan wajib menghadap di siding
Pengadilan mewakili korporasi.25
6. Pemohon Keberatan harus mengajukan alasan-alasan keberatan disertai dengan
alat-alat bukti dan/atau barang bukti yang diperlukan, serta menghadiri sendiri
persidangan, baik disampingi oleh kuasa hukumnya atau tidak. 26
7. Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Hakim membuka persidangan dan
menyatakan sidang terbuka untuk umum.27
8. Hakim Memerintahkan Pemohon Keberatan untuk membacakan keberatan terhadap
putusan permohonan penanganan harta kekayaan. 28
9. Pemohon Keberatan menyampaikan alat bukti dan/atau barang bukti yang
mendukung keberatan terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan
dimaksud.29
10. Dalam hal diperlukan, Hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap harta
kekayaan di tempat harta kekayaan tersebut berada. 30
11. Hakim memerintahkan Pemohon keberatan untuk membuktikan asal usul bahwa
harta kekayaan yang diajukan permohonan penanganan harta kekayaan tersebut
bukan merupakan hasil tindak pidana.31
23Ibid. Pasal 11 ayat (3).
24Ibid. Pasal 11 ayat (4).
25Ibid. Pasal 11 ayat (5).
26Ibid. Pasal 11 ayat (6).
27Ibid. Pasal 12.
28Ibid. Pasal 13.
29Ibid. Pasal 14.
30Ibid. Pasal 15.
31Ibid. Pasal 16.
12. Dalam hal diperlukan, Hakim dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula
meminta agar diajukan bahan baru.32
13. Hakim mempertimbangkan seluruh dalil-dalil dan alat bukti yang telah diperiksa di
persidangan, untuk selanjutnya memutus harta kekayaan tersebut dinyatakan
sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak. 33
14. Putusan Majelis Hakim yang memutus keberatan terhadap putusan permohonan
penanganan harta kekayaan bersifat final dan mengikat. 34
15. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak menghadiri sendiri persidangan, Hakim
menyatakan keberatan tersebut gugur dan putusan yang dimohonkan keberatan
tetap berlaku.35
16. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak mengajukan alasan-alasan dan/atau tanpa
disertai alat-alat bukti yang cukup, Hakim menolak keberatan tersebut dan putusan
yang dimohonkan keberatan tetap berlaku. 36
17. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan
penanganan harta kekayaan dan Pemohon Keberatan segera setelah putusan
diucapkan.37
18. Salinan putusan disampaikan kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di
daerah hukum Pengadilan negeri yang memutus permohonan penanganan harta
kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna
kepentingan eksekusi.38
Selanjutnya penjelasan mengenai Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta
Kekayaan Dalam Hal Terdapat Keberatan, dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
32Ibid. Pasal 17.
33Ibid. Pasal 18 ayat (1).
34Ibid. Pasal 18 ayat (2).
35Ibid. Pasal 19 ayat (1)
36Ibid. Pasal 19 ayat (2)
37Ibid. Pasal 20 ayat (1)
38Ibid. Pasal 20 ayat (2).
1. Dalam hal terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta kekayaan
yang diajukan dalam masa pengumuman 30 (tiga puluh) hari, Ketua Pengadilan
Negeri menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan penanganan harta kekayaan.39
2. Dalam hal terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta kekayaan
yang diajukan dalam proses pemeriksaan sidang (bukan di dalam masa
pengumuman 30 [tiga puluh] hari), Hakim Tunggal yang memeriksa permohonan
penanganan harta kekayaan tersebut melaporkan adanya keberatan tersebut
kepada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menunjuk
MajelisHakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan
harta kekayaan.40
3. Majelis Hakim yang ditunjuk menentukan hari sidang pertama dan memerintahkan
Panitera untuk memanggil Penyidik dan Pemohon Keberatan agar hadir di
persidangan.41
4. Tata cara pemeriksaan persidangan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan
Dalam Hal Terdapat Keberatan dilakukan sebagaimana tata cara pemeriksaan
persidangan pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Permohonan Penanganan
Harta Kekayaan yang Diajukan Setelah Putusan Diucapkan. 42
5. Putusan Majelis Hakim yang memutus keberatan terhadap putusan permohonan
penanganan harta kekayaan bersifat final dan mengikat. 43
6. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak menghadiri sendiri persidangan, Hakim
menyatakan keberatan tersebut gugur dan putusan yang dimohonkan keberatan
tetap berlaku.44
39Ibid. Pasal 21 ayat (1).
40Ibid. Pasal 21 ayat (2).
41Ibid. Pasal 22 ayat (1).
42Ibid. Pasal 22 ayat (2).
43Ibid. Pasal 22 ayat (2).
44Ibid. Pasal 23.
7. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak mengajukan alasan-alasan dan/atau tanpa
disertai alat-alat bukti yang cukup, Hakim menolak keberatan tersebut dan putusan
yang dimohonkan keberatan tetap berlaku. 45
8. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan
penanganan harta kekayaan dan Pemohon Keberatan segera setelah putusan
diucapkan.46
9. Salinan putusan disampaikan kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di
daerah hukum pengadilan negeri yang memutus permohonan penanganan harta
kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna
kepentingan eksekusi.47
Alat Bukti
Dalam PERMA No. 1/2013 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam PERMA No. 1/2013, 48
dengan demikian hal-hal seperti ketentuan bukti dalam PERMA No. 1/2013 adalah
mengacu kepada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yaitu:49
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
45Ibid. Pasal 23.
46Ibid. Pasal 23.
47Ibid. Pasal 23.
48Ibid. Pasal 24.
49 Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981,
LN No. 76 Tahun 1982, TLN No. 3209.Pasal 184 ayat (1).
Selain alat bukti permohonan penanganan harta kekayaan mengacu pada KUHAP, oleh
karena ruang lingkup penanganan harta kekayaan adalah permohonan penanganan
harta kekayaan yang diajukan oleh Penyidik dalam hal yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
maka alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 73 huruf bUndang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
juga berlaku dalam pembuktian di pengadilan, yang berbunyi,
“Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah: alat
bukti
lain
berupa
informasi
yang
diucapkan,
dikirimkan,
diterima,
atau
disimpansecara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan
Dokumen.”50
PERMA No. 1/2013 telah memberikan jalan yang cukup baik bagi penegak
hukum dalam melaksanakan NCBAsset Forfeiture, meskipun memiliki keterbatasan
namun hal tersebut lebih disebabkan karena NCBAsset Forfeiture di Indonesia masih
dibatasi pada tindak pidana pencucian uang, hal ini dikarenakan tidak adanya undangundang yang secara khusus mengatur mengenai NCB Asset Forfeiture bagi tindak
pidana selain tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Namun demikian tindak
pidana pencucian uang memiliki “kelenturan” sebab predicate crime dari tindak pidana
pencucian uang di Indonesia menurut undang-undang terdapat 26 (dua puluh enam)
jenis tindak pidana. Selain itu pengaturan prosedur NCB Asset Forfeiture tindak pidana
pencucian melalui Peraturan Mahkamah Agung dirasa masih kurang greget, sebab
akan lebih baik jika substansi PERMA No. 1/2013 diatur di dalam undang-undang.
Penulis juga berpendapat bahwa apabila Penyidik mampu memanfaatkan NCB Asset
Forfeiture sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1/2013 dalam pengembangkan
penegakan hukum di bidang tindak pidana pencucian uang, hal ini akan sangat
bermanfaat bagi keuangan negara karena merupakan salah satu langkah dalam
pengembalian harta kekayaan kekayaan negara yang telah dicuri dan mampu menekan
gerak gerik pelaku tindak pidana pencucian uang sebab uang atau aset yang terkait
50Op. Cit. UU No. 8 Tahun 2010.Pasal 73 huruf b.
tindak pidana pencucian uang yang merupakan tujuan terjadinya tindak pidana atau
sarana terjadinya tindak pidana dapat dirampas oleh negara dan untuk kepentingan
negara melalui suatu prosedur hukum yang sederhana tanpa mengurangi bobot dari
substansi terwujudnya keadilan.
Daftar Pustaka
Greenberg, Theodore S. dkk.Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide For NonConviction Based Asset Forfeiture. Washington D.C.: The International bank for
Reconstruction and Development. 2009.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Against Crruption,
2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), UU No. 7
Tahun 2006, LN. No. 32 Tahun 2006, TLN. 4620.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN. No. Tahun, TLN.
Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN
No. 76 Tahun 1982, TLN No. 3209.
Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak
Pidana Lain, PERMA No. 1 Tahun 2013, BN. No. 711 Tahun 2013.
Laporan Akhir naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana
diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.
Pembahasan
RUU
Perampasan
Aset
Akan
Kental
Nuansa
Politik
diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.