Tugas hukum perdata internasional

Macam-macam kualifikasi
1.

Kualifikasi menurut lex fori

Menurut pendirian ini kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil sang hakim.
Pengertian-pengertian yang dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus dikualifikasikan menurut
sistem hukum negara asing hakim sendiri. Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan
Bartin (Prancis).
Franz kahn lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori
karena ada alasan-alasan :
a.

Kesederhanaan ( simplycity)

Kesederhanaan ( simplycity) sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan lex fori,
pengertian, batasan dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara
adalah pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.
b.

Kepastian (certainty)


Kepastian (certainty) sebab pihak-pihak yang berperkara akan telah mengetahui terlebih dahulu
sebagai peristiwa atau hubungan hukum apakah perkara mereka akan dikualifikasikan oleh
hakim beserta segala kosekuensi yuridiknya.
Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara
lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep hukum lex fori yang paling
dikenal oleh hakim. Dilain pihak kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya
ketidakadilan kerena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran
yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing seharusnya diberlakukan atau bahkan
dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.

Contoh kasus dalam kualifikasi lex fori : ogden vs Ogden (1908)
Kasus posisi
A.
B.
C.
D.
E.

F.

G.

H.
I.

J.
K.

Philip, pria warga negara Prancis, berdomisili di Prancis, dan berusian 19 tahun.
Philip menikah dengan sarah (wanita) yang berwarganegaraan Inggris
pernikahan Philip dan Sarah dilangsungkan dan diresmikan di Inggris (tahun 1898)
Philip menikah dengan Sarah tanpa izin orang tua Philip. Izin orang tua ini diwajibkan
oleh hukum Prancis ( Pasal 148 Code civil)
Pada tahun 1901 Philip pulang ke Prancis dan mengajukan permohonan dipengadilan
Prancis untuk pembatalan perkawinannya dengan Sarah dengan alasan bahwa
perkawinan itu dilangsungkan tanpa izin orang tua
Permohonan dikabulkan oleh pengadilan Prancis dan Philip kemudian menikah dengan
seorang wanita Prancis di Prancis
Sarah kemudian menggugat Philip di Inggris karena Philip dianggap melakukan
perzinahan dan meninggalkan istrinya terlantar. Gugatan itu ditolak karena alasan

yuridiksi
Pada tahun 1904, Sarah sudah merasa tidak terikat dalam perkawinan denga Philip,
kemudian menikah kembali dengan Odgen dilangsungkan di Inggris.
Pada tahun 1906 Odgen menggangap bahwa Sarah masih terikat dengan perkawinan
dengan Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan Philip dan Sarah belum
dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris
Odgen kemudian mengajukan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar
hukum bahwa istrinya telah berpoligami
Permohoan diajukan di pengadilan Inggris

Proses penyelesaian sengketa
1. Untuk menerima atau menolak Odgen, maka hakim harus menentukan terlebih
dahulu apakah perkawinan Philip dengan Sarah adalah sah atau tidak. Dalam hal titiktitik tau menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai hukum dari tempat peresmian
perkawinan dah hukum Prancis karena salah satu pihak (Philip) adalah pihak yang
berdomisili di Prancis
2. Pokok perkaranya mengenai izin orang tua sebagai persyaratan perkawinan terutama
dalam menetapkan apakah Philip memang memiliki kemampuan hukum untuk
menikah.
3. Kaidah HPI Inggris menetapkan
a) Persyaratan essential (dasar) untuk sahnya perkawinan, temasuk persoalan

kemampuan hukum seseorang pria untuk menikah harus daiatur dalam lex
domicili ( menunjuk pada hukum Prancis)
b) Persayaratan formal (resmi) untuk sahnya perkawinan harus tunduk pada
hukum dari tempat peresmian perkawinan lex leci celebrationis). Jadi dalam
hal ini menunjuk pada hukum Inggris
c) Karena hakim pertama-tama menunjuk arah hukum Prancis sebagai lex cause,
untuk menentukan kemampuan hukum A untuk menikah, pada tahap ini
didasari bahwa berdasarkan Pasal 148 Code civil Prancis, dapat disimpulkan

laki-laki yang belum berusian 25 tahun tidak dapat menikah, apabila tidak
diizinkan oleh orangtuanya. Dengan demikian berdasarkan hukum intern
Prancis, tidak adanya izin orang tua harus menyebabkan batalnya perkawinan
antara Philip dan Sarah.
4. Dalam kenyataan, hukum Inggris memutuskan perkara dengan cara berpikir sebagai
berikut:
a) Perkawinan antara Philip dan Sarah dinyatakan tetap sah karena “izin orang
tua” dikualifikasikan berdasarkan hukum Inggris (lex fori).
Alasan yang dapat dilihat dalam keputusan sahnya perkawinan berdasarkan
hukum inggris (Lex Fori) ini terletak pada perbandingan antara dua teori ini:
1. Perancis mengkualifikasikan izin orang tua ini sebagai persyaratan

esensial atau suatu persyaratan dasar sahnya suatu pernikahan yang
terdapat di dalam pasal 148 Code Civil. karena berhubung dalam hal
ini Phillip usianya 19 Tahun, jadi pasal ini tentunya menjadi dasar
yang harus dipenuhi oleh Philip agar pernikahannya tetap sah.
2. Dalam hukum Inggris, izin orang tua ini dikualifikasikan sebagai
suatu persyaratan formil (resmi)
3. Pada bagian ke 1, jika persyaratan esensial (dasar) itu tidak
terpenuhi, maka perkawinan itu harus dibatalkan.
4. Pada bagian ke 2, jika persyaratan formil ini tidak terpenuhi maka
tidak memungkinkan bahwa perkawinan tersebut akan di batalkan,
atau dalam hal ini perkawinan ini tetap dinyatakan sah.
Jadi kesimpulannya ialah, dikarenakan perkawinan antara Philip dan
Sarah ini dilaksanakan di Inggris, jadi pernikahan tersebut tetap
dinyatakan sah.
b) Berdasarkan penyimpulan diatas, perkawinan antara Sarah dan Odgen
dianggap tidak sah karena salah satu pihak Sarah dianggap masih terikat
perkaiwinan dengan Philip dan karena itu dianggap poligami.
c) Karena itu, permohonan Odgen kemudian dikabulkan dan perkawinan Odgen
dan Sarah dibatalkan oleh pengadilan Inggris


TEORI KUALIFIKASI LEX CAUSE

Teori Kualifikasi Lex Cause sering pula disebut Kualifikasi Lex Fori yang Diperluas.
Inti Teori :
Teori ini beranggapan bahwa proses kualifikasi dalam perkara HPI dijalankan sesuai dengan
sistem serta ukuran-ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara.
Tokoh : Martin Wolff.
 Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI mana dari Lex Fori
yang paling erat kaitannya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan.
 Penentuan ini harus dilakukan dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang
dilakukan dengan memperhatikan sistem hukum asing yang bersangkutan.
 Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI mana dari Lex Fori
yang paling erat kaitannya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan.

Prof. Sunaryati Hartono :
 Kesulitan mungkin akan timbul jika sistem hukum asing tertentu ternyata tidak memiliki
sistem kualifikasi yang cukup lengkap, atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga
hukum yang sedang dihadapi dalam perkara.
 Hakim biasanya menjalankan konstruksi hukum (analogi) dengan memperhatikan caracara penyelesaian sengketa hukum yang serupa atau sejenis di dalam sistem-sistem
hukum yang dianggap memiliki dasar yang sama.

 Jika cara itu belum juga dapat membantu penyelesaian perkara, barulah kualifikasi
dilakukan berdasarkan Lex Fori.

Chesire menyarankan agar konsep-konsep seperti “kontrak”, “perbuatan melawan hukum” dan
sebagainya dalam HPI diberi pengertian yang lebih luas sehingga dapat mencakup peristiwa /
hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem hukum asing.