Makna kalung (Tato) Dayak bahau di Kalimantan Timur ( Analisis Semiotik Charles sanders Pierce, Mengenai Makna kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan)

(1)

MAKNA KALUNG (TATO) DAYAK BAHAU DI KALIMANTAN

TIMUR

(Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce mengenai Makna Kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana S1 Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Disusun Oleh:

ARYE ELIGIUS BELAWING

41807148

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

(3)

(4)

x

Hal

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii

LEMBAR PERNATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1 Maksud Penelitian ... 11

1.3.2 Tujan Penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12

1.4.1 Kegunaan Teoritis... 12


(5)

xi

2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 14

2.2 Tinjauan Komunikasi ... 25

2.2.1 Pengertian Komunikasi... 25

2.2.2 Tujuan Komunikasi ... 30

2.2.3 Komunikasi Non Verbal ... 32

2.3 Tinjauan Makna ... 37

2.3.1 Pengertian Makna ... 37

2.4 Tinjauan Tato ... 40

2.4.1 Pengertian Tato ... 40

2.4.2 Kalung (Tato) Dayak Bahau ... 47

2.4.2.1 Macam-Macam Kalung (Tato) Dayak Bahau………… 51

2.5 Tinjauan Semiotik ... 53

2.5.1 Semiotika Charles Pierce ... 56

2.6 Kerangka Pemikiran ... 61

2.6.1 Kerangka Teoritis ... 61

2.6.2 Kerangka Konseptual ... 66

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN ... 70

3.1 Tato ... 70

3.1.1 Sejarah Perkembangan Tato ... 70

3.1.2 Sejarah dan Perkembangan Tato di Indonesia ... 81


(6)

xii

3.1.3.2 Kalung Bunga Terong ... 89

3.1.4 Dayak Bahau... 91

3.2 Metode Penelitian ... 92

3.2.1 Desain Penelitian ... 93

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 95

3.2.2.1 Studi Pustaka ... 95

3.2.2.2 Studi Lapangan ... 96

3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 97

3.2.4 Teknik Analisa Data ... 98

3.2.5 Uji Keabsahan Data ... 99

3.2.5.1 Triangulasi Data ... 99

3.2.5.2 Menggunakan Bahan Referensi ... 100

3.2.5.3 Member Check ... 101

3.2.5.4 Uraian Rinci... 102

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ... 102

3.3.1 Waktu Penelitian ... 102

3.3.2 Tempat Penelitian ... 102

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 104

4.1 Deskripsi Hasil Observasi ... 105

4.2 Deskripsi Identitas Informan ... 107


(7)

xiii

4.3.1 Makna Klasifikasi Tanda Yang Terkandung Pada

Gambar Kalung Bunga Terong... 108

4.3.2 Makna Klasifikasi Objek Yang Terkandung Pada Gambar Kalung Bunga Terong.... 113

4.3.3 Makna Klasifikasi Interperentan Yang Terkandung Pada Gambar Kalung Bunga Terong ... 119

4.2 Pembahasan ... 121

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 128

5.1 Kesimpulan ... 128

5.2 Saran-saran ... 129

5.2.1 Saran Bagi Universitas ... 130

5.2.2 Saran Bagi Masyarakat ... 130

5.2.3 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 132

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 134


(8)

xiv

Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 20 Tabel 3.1 Informan Penelitian ... 98 Tabel 3.2 Waktu Penelitian ... 103


(9)

xv

Gambar 1.1 Kalung (tato) Rengkong ... 6

Gambar 1.2 Kalung (tato) Bunga Terong ... 7

Gambar 1.3 Kalung (tato) Pada Perempuan Dayak Bahau ... 8

Gambar 2.1 Segi tiga Semiotik C.S.Pierce ... 60

Gambar 2.2 Model Triadic Charles Pierce ... 62

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran menurut Peneliti ... 69


(10)

xvi

Lampiran 1: Pedoman Observasi ... 135

Lampiran 2: Pedoman Wawancara ... 137

Lampiran3 : Dokumentasi ... 145

Lampiran4 : Surat Persetujuan Pembimbing ... 148

Lampiran5 : Berita Acara Bimbingan ... 149

Lampiran6 : Rekomendasi Sidang Skripsi Dari Pembimbing ... 150

Lampiran7 : Surat Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Serjana ... 151


(11)

vi

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada TUHAN YME, atas berkat dan rahmat-NYA peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan penelitian ini

yang berjudul : “MAKNA KALUNG (TATO) DAYAK BAHAU DI

KALIMANTAN TIMUR (Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce Mengenai Makna Kalung (Tato) Dayak Bahau Di Kalimantan Timur) merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna mendapat nilai akhir bagi kelulusan di tingkat srata satu (S1).

Dalam penelitian ini tidak sedikit peneliti menghadapi kesulitan serta hambatan baik teknis maupun non-teknis. Namun atas izin Tuhan YME, juga berkat usaha, doa, semangat, bantuan, bimbingan serta dukungan yang peneliti terima, baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya peneliti tujukan kepada

kedua orang tua Mama dan Papa, yang selalu membantu dan memberikan

dukungan baik moral, spiritual dan material serta doa kepada peneliti hingga detik ini. Terima kasih juga untuk kakak tercinta Desli Darius Lung, adik tersayang Ranelia Pura Kiring dan seluruh keluarga besar untuk semua kasih sayang, dukungan dan doanya sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankan peneliti menghaturkan rasa hormat dan banyak terimakasih kepada :


(12)

vii

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung yang telah mengeluarkan surat pengantar untuk melakukan penelitian dan memberikan penandatanganan surat izin serta surat-surat administrasi lainya yang diajukan peneliti.

2. Yth, Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu

Komunikasi dan Public Relation FISIP UNIKOM sekaligus dosen wali peneliti,

yang telah membantu peneliti dalam masalah administrasi seperti perwalian, surat rekomendasi pembimbing, persetujuan usulan penelitian dan lain-lain.

3. Yth, Bapak Olih Solihin.,S.Sos.,M.I.Kom selaku dosen pembimbing peneliti yang telah memberikan arahan, dukungan, kesabaran dan semangat kepada peneliti.

4. Yth, Ibu Melly Maulin P., S.Sos.,M.Si selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia. Selaku dosen tetep Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memotivasi peneliti dalam setiap perkuliahanya.

5. Yth, Ibu Rismawaty S.Sos.,M.Si selaku Dosen tetap Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, yang telah memotivasi peneliti dalam setiap perkuliahanya.

6. Kepada Seluruh Jajaran Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia. Ibu Desayu Eka Surya, S.Sos., M.Si, Bapak Arie Prasetio S.Sos., M.Si, Bapak Adiyana Slamet, S.IP., M.Si, Bapak Yadi Supriadi S.Sos., M.Phil, Bapak Inggar


(13)

viii

S.Ikom, yang telah memberikan banyak ilmunya melalui proses perkuliahan, memberikan semangat dan masukan kepada peneliti

7. Yth, Ibu Astri Ikawati., A.Md.Kom selaku sekertariat Ilmu Komunikasi yang telah banyak membantu penulis mengurus surat-surat perijinan, pengesahan dan lain-lain.

8. Yth, Ibu Ratna Widiastuti, A.Md selaku Sekrtaris Dekan FISIP UNIKOM yang telah membantu peneliti dalam hal adminitrasi.

9. Terimakasih Untuk Teman – teman kost BJ 34 Feri, Pandi, Radian, Fahmi, Boby, Ibu kost, Bapak Kost yang selalu memberi dukungan sehingga peneliti dapat menyelsaikan Proposal Usulan Penelitian ini.

10. Terimakasih Juga Saya ucapkan kepada sahabat-sahabat Boim, Soleh, Vidun, Niko, Ucok, Diplong, Gen-Gen, Algi, Gani, Mega, Ganda, Gani, Ismet yang telah memberikan masukan dan semangat dari kalian, semoga persahabatan ini akan selalu abadi.

11. Teman-teman IK Jurnal, IK Jurnal dan teman-teman CB Bandung serta pihak lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, semoga pertemanan dan persaudaraan kita tetap abadi selamanya.

12. Kepada Informan Bapak Yohanes Bit Doq, yang telah memberikan informasi yang sangat berguna untuk peneliti.

13. Serta semua pihak yang telah membantu sebelum dan selama peneliti penyusunan


(14)

ix

yang terlibat saat penulis skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna, oleh karena itu koreksi dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan, sehingga dimasa yang akan datang dapat menjadi bahan yang lebih menarik dan lebih bermanfaat. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi peneliti pada khususnya.

Bandung, 22 Agustus 2013 Peneliti

Arye Eligius Belawing NIM: 41807148


(15)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy, 2006, Metodologi Penelitian Kalitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.

Olong, Hatib Abdul Kadir. 2006. Tato. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Wiryanto, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Gramedia

Widiasarana.

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: PT Jalasutra

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Danesi, Marcel,2010, Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Yogyakarta, Jalasutra.


(16)

Sumber Lain:

Ana Sari Sri Rejeki Rahayu, Universitas Sebelas Meret, Surakarta 2010.

“PEMAKNAAN TATO PADA PENGGUNA TATO DI KELURAHAN

JEBRES, KECAMATAN JEBRES, KOTA SURAKARTA”.

Galuh Candra Kirana, Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, Malang

2010. “TATO SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL”.

Hendra Yana, Universitas Komputer Indonesia, Bandung 2012. “ KONSEP DIRI PENGGUNA TATO DIKALANGAN MAHASISWA KOTA

BANDUNG SEBAGAI GAYA HIDUPNYA”.

Internet Searching:

http://www.slideshare.net/akang_tri_yuniarko/budaya

http://affiliate-tattoo-piercing.prositelab.com/id/16/tato-history-a-brief-history-of-tattoos-and-body-art/

http://fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/ http://riswantohidayat.wordpress.com/komunikasi/komunikasi-non-verbal/ http://id.wikipedia.org/wiki/Rajah/22.01.2011/20.17

http://moreng178.blogspot.com/2011/04/tato-bagi-masyarakat-dayak.html http://asal-usul-motivasi.blogspot.com/2003/23/asal-usul-sejarah-tato.html http://desaryp.blogspot.com/2009/08/sejarah-perkembangan-tattoo.html http://irakbuzz.blogspot.com/2012/01/MelukisTubuh.html

http://hurahura.wordpress.com/2012/02/24/sejarah-tato-di-indonesia/

http://indonesiaindonesia.com/f/95547-rajah-tato-khas-borneo-suku-dayak-bahau/ http://putratonyooi.wordpress.com/2011/09/01/seluk-beluk-suku-dayak-bahau/


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Zaman demi zaman selalu disertai oleh tanda dan simbol. baik dalam bentuk visual maupun non visual. Manusia merupakan pelaku utama penanda itu, manusia adalah mahkluk yang penuh daya cipta, ide, estetika, kreativitas, serta rasa kemanusiaannya. Dalam kehidupan komunal, manusia menyepakati berbagai aturan dan norma, bahasa, dan akhirnya menyepakati tanda, dan lambang sebagai identitas bersama. Eksistensi identitas itulah yang menuntun manusia mengurangi, menambah, mengatur dan mengubah bagian tubuh alamiahnya.

Saat ini semakin banyak dilakukan penelitian yang menempatkan kebudayaan sebagai teks yang dapat ditafsirkan, serta gagasan ilmu-ilmu sosial lainnya membuat upaya penafsiran terhadap kebudayaan menjadi semakin tidak dapat dibatasi. Dalam arti ini, manusia dengan segala peristiwa dan tindakan-tindakan di dalam hidupnya menjadikan simbol-simbol berupa teks yang dapat ditafsirkan untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya.

Dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol dimana kita dapat membaca dan menemukan nilai-nilai sebagai ekspresi tindakan manusia. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dalam ungkapan-ungkapan simbolis, sehingga bukan tanpa alasan apabila salah seorang filsuf Yahudi


(18)

yaitu Ernst Cassirer cenderung untuk menandai manusia sebagai animal symbolicum.

Tato adalah contoh penanda itu, karya seni hasil peradaban itu sendiri. Sekaligus merupakan sebuah media dalam masyarakat dan kelompok tertentu untuk saling mengenal dan berkomunikasi dan menunjukkan eksistensinya. Tato ada dalam tradisi seluruh benua dibelahan bumi ini. Di Indonesia budaya tato sudah ada dejak zaman dalulu. Jadi jangan terkejut jika masuk ke daerah pedalaman Kalimantan Timur, disana kita akan berjumpa dengan orang-orang tua yang dihiasi oleh berbagai macan tato indah di beberapa bagian tubuh mereka.

Menurut pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hatib Abdul Kadir, tato di Indonesia saat ini mencapai tahap yang makin terbuka. Bergerak dari tren fashion masyarakat perkotaan, meski masih dilakukan di tempat tertutup ruang praktek artis tato-menjadi perayaan yang terbuka. Fenomena ini merupakan pergeseran dari fase kriminalisasi, ketika orang bertato identik dengan penjahat.

Tato yang sekarang ini telah mengalami pergeseran dan memasuki rana antroposentris. Sebelumnya tato hanya bernilai religius transendental dan magis pada masyrakat suku pedalaman Kalimantan. Tato yang kini telah menjadi fenomena kebudayaan masif yang mampu menimbulkan kesan intepretatif.

Tato pada dasarnya diaplikasikan pada bagian-bagian tubuh yang sesuai dengan kehendak penggunanya. Tangan, kaki, pergelangan tangan,


(19)

jari, daun telinga, kulit kepala,wajah, leher, pinggul, betis dan bagian tubuh lainnya. Bahkan bagian-bagian tubuh yang terdengar tidak lazim juga menjadi media aplikasi gambar tato, seperti bola mata (melalui jalan operasi), gigi, lidah, dan bagian-bagian intim. Untuk kelompok atau komunitas dalam kaitannya sebagai suatu keanggotaan, terkadang tato dibuat pada bagian tubuh yang sama pada setiap anggotanya menurut kesepakan atau ketentuan yang telah ada. Hal ini sebagai suatu penunjuk keanggotaan, solidaritas, syarat, atau sebagai identitas dari kelompok bersangkutan.

Penggunaan gambar tato sangat beragam seperti halnya ikon-ikon tertentu yang memiliki nilai pribadi pada diri pengguna tato. Seperti wajah idola, nama orang yang dikasihi, simbol zodiak, shio, hewan favorit, dan lain sebagainya biasa menjadi pilihan. Gambar-gambar unik tato memiliki nilai historical, simbol-simbol tertentu, sampai dengan gambar yang cenderung abstrak karena memiliki alur cerita yang hanya dimengerti oleh pemilik tato juga dapat diaplikasikan sesuai kehendak pengguna tato. Kebebasan pengguna tato menentukan gambar dan posisi tatonya tersebut, tentu memberikan banyak sekali keberagaman pada arti tato masing-masing individu. Pengertiannya bahwa dengan adanya perbedaan tersebut berarti setiap individu memiliki pemahaman sendiri mengenai letak dan gambar tato yang digunakannya.

Keberagaman pada gambar tato setiap pengguna tato, diyakini memiliki pesan tersendiri. Pesan yang dibuat untuk dapat menjadi bahan


(20)

pengingat dirinya atau pun orang lain. Pesan yang dengan sengaja di buat melalui ukiran gambar tato pada tubuh penggunanya, sangat memiliki esensi dalam menyampaikan sesuatu. terkadang orang lain juga dapat mengerti pesan yang dimaksud dengan sekilas melihat gambar tato, tetapi terkadang juga si pemilik tato bahkan tidak mengetahui apa pesan yang ingin disampaikan dalam gambar tatonya.

Kegiatan komunikasi yang dipraktekan pengguna tato melalui serangkaian objek tato dan elemen pendukungnya, seharusnya menjadi salah satu bagian yang dapat di integrasikan oleh pemiliknya. Sejalan dari penjelasan di atas, dapat dilihat kutipan dari Onong Uhjana Effendy yang menjelaskan mengenai pengertian komunikasi yang paling mendasar berdasarkan paradigma Lasswell, bahwa “Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu .”(Effendy, 2000: 10)

Pengertian pesan sendiri dapat dilihat dari kutipan selanjutnya dari Onong Uhjana Effendy yang menunjukan pemahamannya dalam

paradigm Lasswell, bahwa “Pesan merupakan seperangkat lambing

bermakna yang disampaikan oleh komunikator.” (Effendy, 2000: 18). Pesan merupakan konsep penting yang dipergunakan dalam banyak ulasan teoritis, praktis dan empiris tentang komunikasi manusia. Sistem yang menjadikan pesan sebagai pandangan yang paling popular tentang komunikasi manusia meliputi adanya variasi yang amat besar dalam maknanya. Dari adanya pesan dalam setiap gambar tato


(21)

penggunanya, berarti juga merujuk pada alasan mengapa pesan tersebut disampaikan melalui gambar tertentu.

Dipedalaman Kalimantan Timur tepatnya di Kabupaten Mahakam Ulu, disana ada Suku Dayak Bahau, yang mengartikan bahawa tato itu adalah Kalung. Kalung atau tato bagi masyarakat Dayak Bahu bukan sekadar hiasan, tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. Tato bagi masyarakat Dayak Bahau, tidak boleh dibuat sesuka hati sebab tato adalah bagian dari tradisi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Oleh karena itu, ada peraturan tertentu dalam pembuatan tato dan pilihan gambarnya.

Bagi Laki-Laki Dayak Bahau, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Semakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa.

Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa. Tato untuk sang pemberani dimedan perang biasanya diukir atau digambarkan pada bagian leher, bahu dan pada bagian dada mereka.

Motif tato yang berada dibagian leher dikenal dengan nama Kalung Rengkong. Motif rengkong dapat berupa sayap kupu-kupu, kalajengking merayap dan kepiting. Intinya cenderung berbebtuk motif binatang. Bagi masyarakat Dayak Bahau, seseorang yang mendapatkan


(22)

ukiran rekong adalah orang yang mempunyai kedudukan masyarakatnya, seperti Temanggung dan Panglima atau orang yang di tuakan di kampung halamannya.

Gambar 1.1 Kalung (tato) Rengkong

Sumber : Google.com

Motif tato yang berada dibagian bahu dan bagian dada dikenal

dengan nama Kalung Bunga Terong. Motif Bunga Terong ini berupa daun

bunga terong yang bersayap sebanyak enam buah. Bunga terong merupakan bunga kebanggaan masyarakat Dayak Bahau. Kalung Bunga Terong memiliki makna pangkat atau kedudukan sebab umumnya ukiran pertama dibagian bahu dan kemudian diukir pada bagian dada.

Gambar 1.2


(23)

Sumber : Google.com

Jika pada laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan tato lebih bermakna religius. Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari pengaruh roh-roh jahat dan selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa. pembuatan tato juga terkait dengan harga diri perempuan, sehingga dikenal istilah kalung kayaan, yang berarti perempuan tak bertato dianggap lebih rendah derajatnya dibanding dengan yang bertato.

Gambar 1.3


(24)

Sumber : Google.com

Secara religi tato memiliki makna yang sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai obor penerang dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian.

Karena itu, semakin banyak tato, akan semakin terang jalan menuju alam keabadian dan semakin lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat secara sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat.

Tato (baik dengan ritual tradisi atau tidak) merupakan anak kandung seni yang lahir dari kebudayaan, akan menjadi batu dan kerikil bila di pertemukan dengan konsep moralitas agama. Sebab (mungkin) agama akan mengurainya secara hitam dan putih, surga dan neraka. Indonesia sepantasnya berbangga bahwa tato tradisi Dayak diakui sebagai bagian dari rupa tato kuno yang hingga saat ini sebagian kecil masih bertahan eksistensinya. Tato tradisi dalam masyarakat Dayak adalah salah satu acuan dan referensi kebudayaan dunia. Untuk itu ada baiknya ia


(25)

diteliti, dipelajari dan dipahami sebagai identitas budaya di Kalimantan sendiri. Sehingga ia tidak lagi disalah arti menjadi simbol sebuah ancaman ketertiban dan keamanan, ketidakberadaban.

Untuk itu dalam setiap tato yang digunakan oleh Masyarakat Dayak Bahau, terdapat banyak pesan yang memiliki makna yang akan disampaikan kepada khahalayak. Berkaitan dengan banyaknya motif atau gambar tato yang menghiasi bagian tubuh orang-orang dari Suku Dayak Bahau, maka yang akan menjadi perhatian peneliti di sini adalah salah satu motif atau gambar tato yang digunakan oleh kaum lelaki Suku Dayak

Bahau, yang dikenal dengan nama kalung bunga terong.

Dalam peneliti makna yang terdapat pada kalung (tato) Dayak Bahau ini, dibutuhkan suatu metode tersendiri yang dikenal dengan analisi semiotik. Analisi ini dimaksudkan agar kita dapat memahami maksud dari tanda-tanda yang ada pada Kalung Dayak Bahau yang telah diuraikan di atas.

Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indera kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari


(26)

saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung.

Dari kutipan tersebut diatas, peneliti merasa tertarik untuk mengangkat tato ini menjadi bahan penelitian lebih lanjut, karena terdapat makna dan arti dalam tato yang digunakan oleh Masyarakat Dayak Bahau itu sendiri. Dari sinilah peneliti berusaha menangkap pesan itu dalam

penelitian ini dengan judul “ MAKNA KALUNG (TATO) DAYAK

BAHAU DI KALIMANTAN TIMUR (Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce Mengenai Makna Kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur).


(27)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti mengambil rumusan masalah melalui pertanyaan makro dan pertanyaan mikro.

1.2.1. Pertanyaan Makro

Bagaimana makna Kalung (Tato) Dayak Bahau di

Kalimantan Timur?

1.2.2. Pertanyaan Mikro

Berdasarkan dari pertanyaan makro diatas, maka peneliti dapat merumuskan pertanyaan mikro sebagai berikut :

1. Bagaimana makna Tanda dalam Kalung (tato) Dayak Bahau di

Kalimantan Timur?

2. Bagaimana makna Objek dalam Kalung (tato) Dayak Bahau di

Kalimantan Timur?

3. Bagaimana makna Interpretan dalam Kalung (tato) Dayak

Bahau di Kalimantan Timur? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk menggali, mengkaji, mengetahui Makna kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur ( Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce mengenai makna kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur).


(28)

1.3.2. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui makna Tanda yang terkandung dalam

Kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur.

2. Untuk mengetahui makna Objek yang terkandung dalam

Kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur.

3. Untuk mengetahui makna Interpretan yang terkandung dalam

Kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur. 1.4. Kegunaan Penelitian

Peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan hasil yang bermanfaat, sejalan dengan tujuan penelitian yang sudah diuraikan diatas. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis.

1.4.1. Kegunaan Teoritis

Peneliti berharap agar penelitian ini dapat mengembangkan kajian ilmu komunikasi khususnya mengenai Makna Kalung (Tato) Dayak Bahau di Kalimantan Timur ( Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce mengenai makna kalung (Tato) dayak bahau dikalimantan timur).


(29)

1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Kegunaan Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti yaitu sebagai aplikasi dari keilmuan yang selama perkuliahan hanya diterima secara teori. Penelitian ini diharapkan dapat member pengetahuan dan pengelaman bagi peneliti.

2. Kegunaan Bagi Universitas

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi mahasiswa Universitas Komputer Indonesia khususnya Program Studi Ilmu Komunukasi, sebagai literatur dan perolehan informasi tentang penelitian yang sama.

3. Kegunaan Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan

pengetahuan baru, pandangan positif kepada masyarakat mengenai kalung atau tato yang digunakan oleh Suku Dayak Bahau di Kalimantan Timur.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Studi Penelitian Terdahulu

Dalam kajian pustaka, peneliti mengawali dengan menelaah penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan serta relevansi dengan penelitian yang dilakukan. Dengan demikian, peneliti mendapatkan rujukan pendukung. Tentunya studi terdahulu tersebut harus yang relevan baik dari konteks penelitian maupun metode penelitian yang digunakan.

Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat kajian pustaka berupa penelitian yang ada. Selain itu, karena pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menghargai berbagai perbedaan yang ada serta cara pandang mengenai objek-objek tertentu, sehingga meskipun terdapat kesamaan maupun perbedaan adalah suatu hal yang wajar dan dapat disinergikan untuk saling melengkapi.

2.1.1. Skripsi Ana Sari Sri Rejeki Rahayu, Universitas Sebelas Meret, Surakarta 2010.

Penelitian Ana Sari Sri Rejeki Rahayu, NIM. 30403524,

dengan judul “PEMAKNAAN TATO PADA PENGGUNA TATO DI KELURAHAN JEBRES, KECAMATAN JEBRES, KOTA

SURAKARTA”.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan fenomena tato dalam masyarakat dari zaman kuno sampai sekarang. Banyak kelompok


(31)

etnis tradisional berpikir bahwa tato adalah hal yang penting dalam kehidupan ritual mereka dalam budaya mereka, sehingga beberapa membuat tato sebagai identitas sosial mereka, keyakinan, trend fashion, dan sebagainya.

Di Indonesia sendiri ada waktu tato yang dianggap sebagai hal yang buruk. Orang, yang menggunakan tato, yang menilai bahwa hal itu berkaitan dengan pidana, geng preman jalanan, dan Roue. Terutama, sekelompok orang yang tinggal di jalan selalu dianggap sebagai pengganggu ketenangan di masyarakat. Mereka interpretasi buruk tidak langsung mendapatkan legalisasi tahun 1980-an ketika ada perhiasan selama ribuan racke dan pidana di beberapa kota di Indonesia. Hiasan ini biasanya disebut dengan petrus (penembak misterius).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang menyebabkan tato menato tubuh mereka, untuk menganalisis makna tato untuk tato di Desa Jebres, Jebres kabupaten, Surakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data adalah studi pustaka dan studi lapangan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab faktor internal tato tubuh mereka adalah karena mereka ingin mencoba atau melakukan untuk bersenang-senang, untuk mengabadikan momen spesial dalam hidup mereka, mencari perhatian dan


(32)

sebagai aksesori. Sedangkan, faktor eksternal seperti karena solidaritas, mendapatkan pengaruh dari teman-teman mereka, dan karena tren atau mode. Makna tato menunjukkan bahwa itu mengekspresikan pemikiran mereka, sebagai ekspresi seni dan artistik, identitas, melepaskan masalah mereka dan sebagai spiritual (keyakinan).

2.1.2. Skripsi Galuh Candra Kirana, Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, Malang 2010.

Penelitian Galuh Candra Kirana NIM.06410016, dengan judul “TATO SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL”.

Dalam penelitian ini peneliti mencoba meneliti tato sebagai identitas sosial pada kelompok sosial yang berada di jombang atau dikenal dengan kelompok Manunggal Sejati Ning Panguripan. Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok yang menganut aliran kebatinan atau sekarang lebih dikenal dengan kepercayaan. Aliran kepercayaan ini adalah suatu sistem kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan bukan termasuk kedalam kepercayaan adat. Perguruan kebatinan ini dipimpin oleh guru kebatinan yang mengajarkan ilmunya kepada para pengikutnya.

Kelompok Manunggal Sejati Ning Panguripan yang sudah

disebutkan diatas merupakan kelompok kebatinan yang

menggunakan tato sebagai simbol sebuah kelompoknya. Dimana tato yang dilukiskan ke tubuh adalah tato yang bergambar Macan.


(33)

Macan yang digambarkan adalah sebuah macan yang jenis macan kumbang. Macan kumbang yang diartikan kelompok ini adalah sebuah simbol dari kebringasan, kekuasaan, kekejaman. Tato ini terletak di bagian belakang tubuh mereka karena menurut mereka belakang tubuh adalah sebuah tempat yang strategis. Pernyataan ini tentunya menimbulkan sebuah pertanyaan baru mengapa di letakkan di belakang tubuh apa arti dan makna dari itu semua.

Dalam penelitiannya. Kirana, menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naratif untuk menggali data tentang bagaiman individu mengkonstruksi makna.

Tujuan penelitiannya adalah pemahaman makna yang dikonstruksi individu sebagai bagian dari budaya tertentu. Pemahaman terhadap diri seseorang, mencakup tindakan, pikiran, hasrat, keyakinan, teori, dan nilai yang merupakan unsure kepribadian, dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap cerita-ceritanya yang ditata secar sekuensial.

Penelitian ini bermaksud memahami fenomena tato dijadikan sebagai identitas sosial dalam sebuah kelompok Kebatinan yang mereka sebut dengan kelompok Manunggal Sejati Ning Panguripan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anggota dari kelompok ini adalah adalah Untuk mengenal satu sama lain dalam kelompok ini mereka menggunakan tato sebagai simbol atau lambing yang melakat pada salah satu bagian


(34)

tubuh mereka. Gambar tato yang di gunakam dalam kelompok ini adalah gambar Macan. Tato macan, dipandang sebagai lambang dari kekerasan. Diketahui bahwa paguyuban ini menginginkan sesuatu perubahan yaitu mereka tidak ingin menunjukkan kekerasan dalam sebuah perilaku akan tetapi menurut mereka kekerasan itu tidak untuk diperlihatkan oleh karena itulah mereka menandakan sebuah kekerasan itu dengan menato.

2.1.3. Hendra Yana, Universitas Komputer Indonesia, Bandung 2012.

Penelitian Hendra Yuna NIM.41806804, dengan judul “

KONSEP DIRI PENGGUNA TATO DIKALANGAN

MAHASISWA KOTA BANDUNG SEBAGAI GAYA

HIDUPNYA)”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep Diri Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya. Untuk mengetahui Pandangan, maka peneliti mengangkat sub fokus Pandangan Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya, Perasaan Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya, Konsep Diri Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dengan informan yang berjumlah 6 (enam)


(35)

orang. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, internet searching.

Hasil penelitian adalah, 1) Pandangan Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya mereka memandang tato sebagai suatu seni, cara mengekspresikan diri, sebagai jati diri, pembeda antara diri mereka dan orang lain. 2) Perasaan Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya mereka mempunyai kepuasaan tersendiri atas dirinya yang mempunyai tato terlepas dari persepsi yang negatif dari orang-orang sekitarnya. 3) Konsep Diri Pengguna Tato Dikalangan Mahasiswa Kota Bandung Sebagai Gaya Hidupnya pengaruh perilaku yang mereka kaitkan dengan tato lebih kepada motivasi, mereka menilai tato bisa membuat lebih percaya diri. 2.2. Tinjauan Komunikasi

2.2.1. Pengertian Komunikasi

Pengertian mengenai komunikasi banyak diungkapkan oleh para ahli komunikasi dengan menilainya dari sudut kepentingan dan keteraturannya sendiri mengenai makna inti dari komunikasi. Onong Uchjana Effendy, melihat pengertian komunikasi secara etimologi, bahwa “Istilah komuniksi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.” (Effendy, 2003: 9).


(36)

Komunikasi merupakan alat utama yang digunakan dalam rangka melakukan interaksi yang berkesinambungan untuk beragam kepentingan. Komunikasi bersifat fundamental karena berbagai maksud dan tujuan yang ingin dicapai memerlukan adanya suatu pengungkapan atas dasar-dasar tujuan tersebut, maka dalam hal ini komunikasi menjadi alat utama yang digunakan untuk menyampaikan tujuannya. Komunikasi sangat mendasari berbagai pemaknaan yang akan dibuat dan yang akan terbuat setelahnya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Fisher (1986: 17) yang dikutip oleh Wiryanto bahwa, “Ilmu komunikasi mencakup semua dan bersifat eklektif.” (Wiryanto, 2004: 3). Penjelasan mengenai hakikat komunikasi juga diungkapkan oleh Charles R. Berger dan

Steven H. Chaffe dalam buku “Handbook Communication

Science” (1983:17) yang dikutip oleh Wiryanto, bahwa:

Communication science seeks to understand the production, processing and effect of symbol and signal system by developing testable theories containing lawful generalization, that explain phenomena associated with production, processing and effect (Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahami mengenai produksi, pemerosesan dan efek dari simbol serta sistem sinyal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum


(37)

generalisasi guna menjelasken fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya).” (Wiryanto, 2004: 3).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sarah Trenholm dan

Arthur Jensen (1966: 4) dalam buku “Interpersonal

Communication” yang dikutip oleh Wiryanto menerangkan bahwa,

A process by which a source transmits a message to a receiver through some channel (Komunikasi adalah suatu proses dimana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran).” (Wiryanto, 2004: 6).

Raymond S. Ross (1983: 8) dalam buku “Speech

Communication; Fundamentals and Practice” sebagimana yang

dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Komunikasi sebagai

suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh sang komunikator.” (Wiryanto, 2004: 6).

Everett M. Rogers dan D. Lawrence Kincaid (1981: 8)

dalam buku “Communication Network: Towards a New Paradigm

for Research” sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto

menerangkan bahwa, “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.” (Wiryanto, 2004: 6).


(38)

Bernard Berelson dan Gary A. Steiner (1964: 527) dalam

buku “Human Behavior: An Inventory of Scientific Finding”

sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Communication: the transmission of information, ideas,

emotions, skills, etc. by the uses of symbol… (Komunikasi adalah

transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya,

dengan menggunakan simbol-simbol, dan sebagainya).”

(Wiryanto, 2004: 7).

Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949) dalam buku

“The Mathematical Theory of Communication” sebagaimana yang

dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi.” (Wiryanto, 2004: 7).

Dari beragam definisi dan pengertian komunikasi yang telah dikemukakan menurut beberapa ahli komunikasi, dapat dilihat bahwa nilai penting yang digaris bawahi di dalamnya adalah adanya proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain melalui media. Ada beberapa pandangan tentang banyaknya unsur komunikasi yang mendukung terjadi dan terjalinnya komunikasi yang efektif. secara garis besar komunikasi telah cukup didukung oleh tiga unsur utama yakni sumber, pesan


(39)

dan penerima, sementara ada juga yang menambahkan umpan balik dan lingkungan selain ketiga unsur yang telah disebutkan.

Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani Kuno

menerangkan dalam bukunya “Rhetorica” sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara mengatakan bahwa, “Suatu proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang mendukung, yakni siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang mendengarkan.” (Cangara, 2005: 21).

Pandangan Aristoteles, ini oleh sebagian pakar komunikasi dinilai lebih tepat untuk mendukung suatu proses komunikasi publik dalam bentuk pidato atau retorika, karena pada zaman Aristoteles retorika menjadi bentuk komunikasi yang sangat populer bagi masyarakat Yunani.

Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949), dua orang insinyur listrik yang mendasari hasil studi yang mereka lakukan mengenai pengiriman pesan melalui radio dan telepon, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara menyatakan bahwa, “Terjadinya proses komunikasi memerlukan lima unsur yang mendukung, yakni pengirim, transmitter, signal, penerima dan tujuan.” (Cangara, 2005: 22).

Awal tahun 1960-an David K. Berlo membuat formula komunikasi sederhana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Formula ini dikenal dengan nama "SMCR", yakni: Source


(40)

(pengirim), Message (pesan), Channel (saluran-media), dan Receiver (penerima).” (Cangara, 2005: 22).

Selain Shannon dan Berlo, juga tercatat Charles Osgood, Gerald Miller dan Melvin L. De Fleur menambahkan lagi unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara, “Unsur efek dan umpan balik (feedback) sebagai pelengkap dalam membangun komunikasi yang sempurna.” (Cangara, 2005: 22). Kedua unsur ini nantinya lebih banyak dikembangkan pada proses komunikasi antar pribadi (persona) dan komunikasi massa.

Perkembangan terakhir adalah munculnya pandangan dari Joseph de Vito, K. Sereno dan Erika Vora yang menambahkan unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak

kalah pentingnya dalam mendukung terjadinya proses

komunikasi.” (Cangara, 2005: 22).

Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain, komunikasi adalah proses membuat pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Onong Uchjana Effendy:

“Pertama komunikator menyandi (encode) pesan yang

akan disampaikan kepada komunikan. ini berarti ia memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam


(41)

lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan komunikator itu. ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator berfungsi sebagai penyandi (encoder) dan komunikan berfungsi sebagai pengawa-sandi (decoder).” (Effendi, 2003: 13).

Bagian penting dalam proses penyandian (coding) ialah bahwa komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi hanya ke dalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam pengalamannya masing-masing.

2.2.2. Tujuan Komunikasi

Setiap individu dalam berkomunikasi pasti mengharapkan tujuan dari komunikasi itu sendiri, secara umum tujuan berkomunikasi adalah mengharapkan adanya umpan balik yang diberikan oleh lawan berbicara kita serta semua pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh lawan bicara kita dan adanya efek yang terjadi setelah melakukan komunikasi tersebut. Menurut

Onong Uchjana, dalam bukunya “ Ilmu Komunikasi Teori dan

Praktek” mengatakan ada pun beberapa tujuan berkomunikasi: a. Perubahan sikap(attitude change)

b. Perubahan pendapat(opinion change) c. Perubahan perilaku(behavior change)


(42)

Joseph Devito dalam bukunya “Komunikasi Antar Manusia” menyebutkan bahwa tujuan komunikasi adalah sebagai berikut:

1. Menemukan

Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Komunikasi juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar, dunia yang dipenuhi obyek, peristiwa, dan manusia lain.

2. Untuk berhubungan

Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain.

3. Untuk meyakinkan

Media massa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar mengubah sikap dan perilaku kita.

4. Untuk bermain

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik, dan film sebagian besar untuk hiburan.


(43)

2.2.3. Komunikasi Non Verbal

Manusia menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal, dimana penyampaiannya bukan dengan kata-kata ataupun suara tetapi melalui gerakan-gerakan anggota tubuh yang sering dikenal dengan istilah bahasa isyarat atau body language. Selain itu juga, penggunaan bahasa non verbal dapat melalui kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan penggunaan simbol-simbol.

Menurut Drs. Agus M. Hardjana, M.Sc., Ed. menyatakan bahwa: “Komunikasi non verbal yaitu komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk non verbal, tanpa kata-kata”.

Sedangkan menurut Atep Adya Barata mengemukakan bahwa: “Komunikasi non verbal yaitu komunikasi yang diungkapkan melalui pakaian dan setiap kategori benda lainnya (the object language), komunikasi dengan gerak (gesture) sebagai sinyal (sign language), dan komunikasi dengan tindakan atau gerakan tubuh (action language).

Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan bahasa non verbal sering digunakan oleh seseorang, seperti:

 Menganggukan kepala yang berarti setuju,


(44)

 Melambaikan tangan kepada orang lain, yang berarti seseorang tersebut sedang memanggilnya untuk datang kemari,

 Menunjukkan jari kepada orang lain diikuti dengan

warna muka merah, berarti ia sedang marah,

 Gambar pria dan wanita di sebuah toilet, berarti

seseorang boleh masuk sesuai dengan jenisnya.

Bentuk-bentuk komunikasi non verbal terdiri dari tujuh macam yaitu:

A. Komunikasi visual

Komunikasi visual merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan berupa gambar-gambar, grafik-grafik, lambang-lambang, atau simbol-simbol.

Dengan menggunakan gambar-gambar yang relevan, dan penggunaan warna yang tepat, serta bentuk yang unik akan membantu mendapat perhatian pendengar. Dibanding dengan hanya mengucapkan kata-kata saja, penggunaan komunikasi visual ini akan lebih cepat dalam pemrosesan informasi kepada para pendengar.


(45)

B. Komunikasi sentuhan

Ilmu yang mempelajari tentang sentuhan dalam komunikasi non verbal sering disebut Haptik. Sebagai

contoh: bersalaman, pukulan, mengelus-ngelus,

sentuhan dipunggung dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk komunikasi yang menyampaikan suatu maksud/tujuan tertentu dari orang yang menyentuhnya.

C. Komunikasi gerakan tubuh

Kinesik atau gerakan tubuh merupakan bentuk komunikasi non verbal, seperti, melakukan kontak mata, ekspresi wajah, isyarat dan sikap tubuh. Gerakan tubuh digunakan untuk menggantikan suatu kata yang diucapkan. Dengan gerakan tubuh, seseorang dapat mengetahui informasi yang disampaikan tanpa harus mengucapkan suatu kata. Seperti menganggukan kepala berarti setuju.

D. Komunikasi lingkungan

Lingkungan dapat memiliki pesan tertentu bagi orang yang melihat atau merasakannya. Contoh: jarak, ruang, temperatur dan warna. Ketika seseorang


(46)

menyebutkan bahwa ”jaraknya sangat jauh”, ”ruangan ini kotor”, ”lingkungannya panas” dan lain-lain, berarti seseorang tersebut menyatakan demikian karena atas dasar penglihatan dan perasaan kepada lingkungan tersebut.

E. Komunikasi penciuman

Komunikasi penciuman merupakan salah satu

bentuk komunikasi dimana penyampaian suatu

pesan/informasi melalui aroma yang dapat dihirup oleh indera penciuman. Misalnya aroma parfum bulgari, seseorang tidak akan memahami bahwa parfum tersebut termasuk parfum bulgari apabila ia hanya menciumnya sekali.

F. Komunikasi penampilan

Seseorang yang memakai pakaian yang rapi atau dapat dikatakan penampilan yang menarik, sehingga mencerminkan kepribadiannya. Hal ini merupakan bentuk komunikasi yang menyampaikan pesan kepada orang yang melihatnya. Tetapi orang akan menerima


(47)

penampilannya buruk (pakaian tidak rapih, kotor dan lain-lain).

G. Komunikasi citrasa

Komunikasi citrasa merupakan salah satu bentuk

komunikasi, dimana penyampaian suatu

pesan/informasi melalui citrasa dari suatu makanan atau minuman. Seseorang tidak akan mengatakan bahwa suatu makanan/minuman memiliki rasa enak, manis, lezat dan lain-lain, apabila makanan tersebut telah memakan/meminumnya. Sehingga dapat dikatakan

bahwa citrasa dari makanan/minuman tadi

menyampaiakan suatu maksud atau makna.

2.3. Tinjauan Makna

2.3.1. Pengertian Makna

Makna merupakan konsep yang abstrak, yang telah menarik perhatian pada ahli filsafat dan para teoretisi ilmu sosial

semenjak 2000 tahun yang silam. Semenjak Plato

menkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan

“ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang amat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner, tetapi pengungkapan makna dari makna


(48)

terkesan menemukan jalan buntu karena konsepsi yang cenderung tidak dapat di konsepsikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jerold Katzyang dikutip oleh Fisher, bahwa “Setiap usaha untuk memberikan jawaban langsung telah gagal. Beberapa seperti misalnya jawaban Plato, telah terbukti terlalu samar-samar dan spekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban yang salah.” (Fisher, 1986: 343).

Judul-judul buku seperti misalnya “The Meaning of

Meaning” dan “Understanding Understanding” bersifat provokatif akan tetapi cenderung untuk lebih banyak berjanji dari pada apa yang dapat diberikannya. Barangkali alasan mengapa terjadi kekacauan konseptual tentang makna ialah adanya kecenderungan yang meluas untuk berpikir tentang makna sebagai konsep yang bersifat tunggal. Brodbeck (1963), misalnya, mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda. Penjelasan mengenai tiga konsep makna tersebut dikutip oleh Fisher, sebagai berikut:

“Menurut Tipologi Brodbeck, yang pertama makna referensial yakni makna suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditujukan oleh istilah itu. Kedua dari Brodbeck adalah arti istilah itu. Dengan kata lain, lambang atau istilah itu „berarti‟ sejauh ia berhubungan dengan „sah‟ dengan istilah konsep yang lainnya. Tipe


(49)

makna yang ketiga, mencakup makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti bahwa arti suatu istilah lambang tergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.” (Fisher, 1986: 344).

Sekalipun demikian, tiga makna dari makna Brodbeck itu hanyalah merupakan satu hampiran saja untuk memahami konsep itu. Rubenstain mengemukakan tiga buah teori makna yang cenderung formal dan bersifat amat berlainan, seperti yang dikutip oleh Aubrey Fisher, yakni “Makna mencakup teori referensial, teori ideasional, dan berbagai subvariasi dari teori psikologis.” (Fisher, 1986: 345).

Rubenstein berusaha untuk mengungkapkan hakikat maknayang diadaptasi pada studi bahasa. Brodbeck terutama memperhatikan makna istilah dalam teori ilmiah. Tujuannya berbeda, karena itu berbeda pula penjelasan tentang makna itu. Dua buah contoh diatas menggambarkan adanya kekacauan konseptual secara filosofis atau pun empiris mengenai makna dari makna, tetapi tujuannya bukan untuk menemukan hakikat makna yang “sebenarnya” dari konsep makna itu. Pembahasan terdahulu ditujukan untuk menunjukan adanya fakta yang jelas mengenai makna merupakan konsep yang tersebar secara luas dan bermuka majemuk. Bergantung pada tujuan dan perspektif seseorang, konsep itu sendiri dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.


(50)

Dengan menyampingkan semua kekacauan filosofis mengenai makna, sebenarnya kita semua memiliki intuitif tentang apa itu makna. Dengan kata lain, kita mungkin tidak dapat menerangkan penjelasan teoritis yang tepat tentang makna, namun kita dapat mengatasi konsep makna dalam percakapan. Pengertian makna itu sendiri bergantung pada perspektif yang kita pergunakan untuk mengkaji proses komunikatif, oleh karena itu penggunaan konsep makna secara konsisten dipergunakan seakan-akan kita tahu sepenuhnya tentang makna dari makna itu.

2.4. Tinjauan Tato

2.4.1. Pengertian Tato

Tato secara bahasa mempunyai istilah yang nyaris sama di seluruh penjuru dunia, diantaranya, tatoage, tatuar, tatouge, tatowier, tatuaje, tattoos, tattueringar, tatuagens, tatoveringer, dan tatu. Tato yang merupakan dari body painting adalah suatu produk dari kegiatan menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda yang dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihias dengan pigmen warna-warni.

Pengertian dasar mengenai tato, dijelaskan oleh Hatib Abdul Kadir Olong yang menjelaskan, bahwa:

“Dalam bahasa Indonesia, kata tato merupakan pengindonesiaan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar atau lambang yang membentuk sebuah design


(51)

pada kulit tubuh. Di dalam “Ensiklopedia Indonesia” dijelaskan bahwa tato merupakan lukisan berwarna permanen pada kulit tubuh. Sedangkan dalam “Ensiklopedia Amerika” disebutkan bahwa tattoo, tattooing is the production of pattern on the face and body by serting dye under the skin some anthropologist think the practice developed for the painting indications of status, or as mean of obtaining magical protection (Menato adalah kegiatan dalangkhasilkan suatu pola pada wajah dan tubuh dengan memasukan atau membentuknya di bawah kulit yang bagi sebagian antropolog diindikasikan sebagai nilai status atau juga memiliki nilai magis tersendiri)” (Olong, 1996: 83).

Konon kata tato berasal dari Tahiti, yakni tatau yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat pemburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Anne Nicholas dalam “The Art of New Zealand” menjelaskan bahwa kata tato yang berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks yang pertama kali bersandar di Tahiti pada tahun 1769, dan disana ia mencatat berbagai fenomena manusia Tahiti yang tubuhnya dipenuhi oleh tato.


(52)

Dalam “The American Heritage Desk Dictionary” ditulis bahwa kata tato berasal dari bahasa Tahiti Tatau. Joseph Banks yang kapalnya mencapai Tahiti pada tahun 1769, mencatat fenomena tubuh penuh tato yang dilihatnya dari penduduk asli Tahiti, tetapi Kapten Bougainville-lah yang memperkenalkan kata “tatau” ke dalam bahasa Inggris.

Dalam hal penandaan, Victor Turner membagi dua macam teknik penandaan, seperti yang dikutip oleh Olong berikut ini:

1. Scarification, yaitu teknik penandaan pada tubuh dengan cara penggoresan sehingga membuat luka yang membuat panjang dan lurus di permukaan kulit tubuh. 2. Cicatrization, yaitu penandaan tubuh dengan cara

menyobek kulit dan menyumpalkan sesuatu barang kedalam kulit tersebut. Dalam menghasilkan penandaan pada tubuh tersebut, bahan pewarnanya dapat berupa arang, cat, tinta, pasta, hingga bubuk. Penggunaan tato berdasar dua hal diatas dapat kita jumpai pada masyarakat Kepulauan Pasifik, Afrika dan Amerika. (Olong, 2006: 87).

Menurut situs Ensiklopedia bebas “wikipedia.com” yang menjelaskan mengenai arti spesifik mengenai tato, diketahui bahwa:

“Kata “tato” berasal dari kata Tahitian/Tatu, yang memilki arti: menandakan sesuatu. Rajah atau tato


(53)

(Bahasa Inggris: tattoo) adalah suatu tanda yang dibuat dengan memasukkan pigmen ke dalam kulit. Dalam istilah teknis, rajah adalah implantasi pigmen mikro. Rajah dapat dibuat terhadap kulit manusia atau hewan. Rajah pada manusia adalah suatu bentuk modifikasi tubuh, sementara rajah pada hewan umumnya digunakan sebagai identifikasi.”

Amy Krakov mengungkapkan secara teknis bahwa tato adalah pewarnaan permanen pada tubuh secara diresapkan dengan benda tajam pada kulit (dermis). Proses penusukan jarum dengan tangan (manual) hingga kini masih terdapat di berbagai kebudayaan dunia seperti, Samoa, Maori, Mentawai, Burma, hingga Thailand. Dalam bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama meskipun berbeda, yakni dari kata “tatu” yang memiliki kesejajaran makna “luka” atau “bekas luka” yang menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya baik di tubuhnya sendiri maupun perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain.

Dengan bermacam bentuk dan desain, ini menunjukan sebuah perkembangan tato ke tahap inovasi, sehingga pada

kelanjutannya maupun menggeser image tabu dan jahat menuju

ekspresi diri yang kreatif dan inovatif.

Pada zaman dulu, orang-orang masih menggunakan teknik manual dengan bahan-bahan tradisional untuk menato. Orang Eskimo misalnya menggunakan jarum dan tulang binatang. Paska


(54)

ditemukannya alat-alat tato modern, orang-orang pun mulai menggunakan jarum dari besi, yang kadang-kadang digerakkan dengan mesin dynamo untuk “mengukir”. Pembuatan gambar tersebut secara garis besar dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan retas tubuh, yang dalam bahasa Inggris disebut scarification, menggores permukaan kulit dengan benda tajam hingga menimbulkan luka dan tanda (tonjolan) pada permukaan kulit. Kedua, dengan cara melubangi permukaan kulit dengan benda tajam yang runcing sesuai dengan gambar yang diinginkan, kemudian tinta/zat cair berwarna yang dimasukkan ke bawah permukaan kulit.

Pengertian Tato pun dapat dilihat dari penjelasan Marianto dan Barry yang melihat tato dari terminologi umum, bahwa:

“Kata tato berasal dari resapan kata tattoo, yang berarti goresan lukisan. Disain, gambar atau lambang yang dibuat pada kulit secara permanen. Pembuatan gambar permanen pada tubuh secara garis besar telah dilakukan dalam dua cara yaitu:

1. Retas tubuh, dalam bahasa Inggris berarti scarification, yaitu menggores permukaan kulit dengan benda tajam, sehingga menimbulkan luka, dan ketika luka ini sembuh akan terbentuk tonjolan pada permukaan kulit.

2. Melubangi permukaan kulit dengan benda yang runcing


(55)

lubang-lubang itulah tinta/zat cair berwarna dimasukkan kebawah permukaan kulit. (Marianto dan Barry, 2000: 2).

Praktek menato ada di semua benua yang ada pada dunia ini. Seperti yang diungkapkan oleh Marianto dan Barry, bahwa:

“Sebagai ilustrasi kecil ada berbagai kata untuk tato, diantaranya: Moko (dalam bahasa Maori), Ire Zumi (dalam bahasa Jepang), Titi (dalam bahasa Mentawai), Hedi (dalam bahasa Tetun). Jadi kalau dilihat dari eksistensi tato di berbagai masyarakat atau budaya, dapat dikatakan bahwa sebenarnya tato bukanlah suatu perkara sederhana, katakanlah misalnya hanya untuk sekedar menghiasi tubuh, atau semata pemenuhan kebutuhan akan keindahan.” (Marianto dan Barry, 2000: 2).

Dalam berbagai kebudayaan tato didasarkan pada keyakinan religius, tetapi dalam berbagai kesempatan dibuatnya tato bisa dikarenakan nafsu, sadisme, kekerasan atau ketahayulan. Pada prinsipnya, ada banyak alasan mengapa orang menato diri dan menato orang lain. Berikut ini petikan oleh Henk Schiffimacher dari karya Christoper Scott mengenai tato komprehensif yaitu bukunya yang berjudul “Skin deep. Art, Sex

and Simbols” yang kemudian dikutip oleh Marianto dan Barry,

bahwa:

“Tato yang berfungsi sebagai kamuflase dalam berburu tato yang berdasarkan alasan-alasan religius, dengan ini yang berharap ia bisa memperoleh tempat disurga, dan


(56)

tato dipakai untuk memvisualkan devosi mereka, tato yang dibuat untuk mengatasi periode-periode sulit, misalnya selama pubertas atau masa mengandung atau dipakai untuk mengatasi sakit dan kesedihan.”

Tato yang dipakai sebagai sarana inisiasi sebagaimana yang dipraktekkan dalam berbagai budaya, misalnya inisiasi dari anak lelaki ke orang dewasa, dari gadis ke perempuan dewasa, ada pula tato yang dipakai untuk keperluan media, yaitu untuk memvaksinasi. Tato difungsikan pula sebagai komunikasi, misalnya untuk mengatakan mengenai satu perbuatan berani, keberhasilan dalam perburuan yang berbahaya, dan tentang ketahanan dan kekuatan. Tato juga difungsikan sebagai upaya menakuti orang lain, tato juga dilakukan sebagai bentuk protes atau perlawanan. Tato yang dipergunakan untuk menciptakan rasa erotik, untuk membuat tubuh lebih merangsang secara seksual. Tato sebagai kenangan, untuk mengenang tanggal-tanggal penting atau tempat signifikan yang pernah dicapai. Tato dapat dipakai sebagai satu sarana dengan apa penyandangnya teridentifikasi dan mengidentifikasi dirinya. Ada juga tato dilakukan secara cukup penuh pada tubuh sebagai penunjang untuk mencari nafkah. Tato seperti ini sebagai penguat daya tarik atraksi ketika penyandangnya tampil dan sebagai trademark guna mengukuhkan identitas dirinya. (Marianto dan Barry, 2000:17).


(57)

Ada banyak jenis tato yang dikenal masyarakat. Secara garis besar tato terbagi dua. Pertama, jenis tato yang dihasilkan dengan memasukkan tinta melalui proses perlukaan kulit atau permanent tato. Kedua, gambar pada tubuh yang dibuat tanpa proses perlukaan kulit atau yang dikenal sebagai temporary tato. Karakteristik temporary tato adalah bahan pembuatannya tidak melalui kulit dan bisa hilang dalam jangka waktu pendek seperti hitungan minggu atau bulan.

Teknik pengerjaannya ialah dengan menggambari bagian tubuh secara langsung dengan tinta warna khusus yang diolah dari bahan semir rambut. Namun sekarang ini dipasaran telah beredar tinta khusus tato temporer yang dikeluarkan oleh beberapa kosmetik. Jenis gambar tato ada dua macam yaitu flash adalah tato yang banyak dipilih dan disukai, gambarnya pun sudah kita kenal seperti gambar naga, hati, atau jangkar. Sedangkan custom adalah tato yang dibuat berdasarkan keinginan atau ide dari orang yang akan ditato.

Custom ini dapat dibuat sendiri atau minta bantuan dari tato artis. Ada istilah istilah tertentu dalam gaya tato antara lain tribal

yang mempunyai ciri khas bentuk meruncing, fineline yang

mengandalkan kedinamisan garis dan komposisi warna, realis

yang membuat gambar semirip mungkin dengan obyek aslinya, oriental atau bentuk etnis timur model Cina dan Jepang, Celtic


(58)

yang mempunyai tingkat kesulitan khusus karena sebagian besar bergaya anyaman.

2.4.2. Kalung (Tato) Dayak Bahau

Seni tato pada suku Dayak Bahau dinamakan “Kalung”, kata tersebut merupakan kata benda, sementara seni membuat tato sendiri dinamakan “ngalung” yang berarti kata kerja. Secara luas tato ditemukan di seluruh masyarakat Dayak. Bagi suku ini, penatoan hanya dilakukan bila memenuhi syarat tertentu. Bagi lelaki proses penatoan dilakukan setelah ia bisa mengayau kepala musuh. Namun tradisi tato bagi laki-laki ini perlahan tenggelam sejalan dengan larangan mengayau. Maka setelah ada pelarangan itu tato hanya muncul untuk kepentingan estetika. Akan tetapi tradisi tato tak hilang pada kaum perempuan. Hingga kini, mereka menganggap tato sebagai lambang keindahan dan harga diri.

Sebuah upacara adat harus dilakukan sebelum membuat tato pada kaum lakilaki. Biasanya penatoan dilakukan dalam sebuah rumah yang memang khusus digunakan bagi upacara adat tertentu. Ketika seorang laki-laki melakukan ritual tato, sebagai rasa solidaritas seluruh keluarga diharuskan mengunakan pakaian adat. Selama proses penatoan, seluruh anggota keluarga diharuskan mengendalikan diri dan tidak meninggalkan rumah. Jika peraturan dilanggar maka dikhawatirkan kehidupan, keselamatan laki-laki yang di tato akan terancam.


(59)

Khusus bagi perempuan, tato biasa dibuat ketika mereka menginjak dewasa atau parameternya ketika mereka mengalami haid pertama. Perempuan bertato dianggap memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan yang tidak bertato. Begitu pentingnya tato bagi perempuan Dayak Bahau membuat proses penatoan dengan ritualnya bisa membutuhkan waktu hingga enam tahun. Ketika penatoan telah selesai biasanya diadakan perayaan demi menghindari hal-hal buruk yang mengancam.

Sebelum melakukan penatoan biasanya dilakukan proses persiapan ritual yaitu berdoa kepada leluhur satu hari sebelumnya. Proses ini biasa disebut dengan Mela Malam. Keesokan paginya seluruh keluarga inti perempuan akan membawa anak yang akan di tato kesanak keluarga dan tetangga yang dekat dengan rumah panjang (rumah adat dayak tempat dilakukannya prosesi adat). Selama proses penatoan berlangsung sanak famili harus mendampingi dan tidak pergi kemanapun. Agar anak yang ditato tidak bergerak, sebuah lesung besar biasanya diletakan di atas tubuh. Jika dia sampai menangis, maka tangisan tersebut harus dilakukan dengan alunan nada yang juga khusus.

Dalam membuat tato, suku Dayak Bahau menggunakan bahan alami sebagai bahan dasar pembuat tinta, yaitu jelaga dari periuk yang dibakar dapat digunakan untuk menghasilkan warna hitam. Bahan-bahan tersebut ditumbuk hingga halus dan hasilnya


(60)

kemudian dicampur dengan minyak tradisional atau cairan gula yang diracik sendiri. Bahan-bahan yang sudah tercampur inilah yang kemudian dipakai untuk membuat tato tradisional Dayak. Alat membuat tato berupa tangkai pemukul dari kayu yang disebut

“Lutedak”. Di ujung kayu ada jarum tato, kemudian jarum

dicelupkan ke tinta dan digerakan mengikuti motif yang sudah tercetak di kulit. Sebelum mengenal jarum suku Dayak membuat tato dengan menggunakan duri yang didapat dari pohon jeruk. Motif tato berasal dari cetakan kayu yang disebut “Klinge”. Kulit yang akan ditato dicap terlebih dulu dengan cetakan ini sehingga pembuat tato tinggal mengikuti motif yang sudah ada di kulit.

Tato adalah wujud penghormatan kepada leluhur. Hal tersebut terlihat dari keberadaan leluhur yang direpresentasikan lewat gambar atau simbol tertentu yang diyakini dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan kehadiran mereka di dalam alam. Keberadaan tato di tubuh mereka berikut symbol dunia yang mewakilinya inilah yang kemudian mempermudah perjalanan mereka menuju alam kematian kelak.

Akan tetapi bukan berarti setiap manusia Dayak bisa memilih sesuka hati tato yang akan dirajah ditubuhnya, terdapat aturan yang melarang digunakannya motif atau gambar tertentu pada tubuh seorang Dayak sesuai dengan tingkatan strata sosialnya dalam masyarakat. Motif yang mewakili simbol dunia atas hanya


(61)

diperuntukan bagi kaum bangsawan, keturunan raja, kepala adat, kepala kampung dan pahlawan perang; masyarakat biasa hanya dapat menggunakan motif tato yang merupakan simbol dunia tengah dan bawah. Pemeliharaan motif ini diwariskan secara turun temurun untuk menunjukkan garis kekerabatan seorang Dayak dalam masyarakat.

2.5. Tinjauan Semiotik

Menurut Preminger, semiotika adalah ilmu tentang tanda yang menganggap bahwa fenomena sosial dan masyarakat itu merupakan tanda- tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvesi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (dalam Sobur, 2001:96).

Semiotika sebagai suatu modal dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut tanda. Dengan ungkapan lain, semiotika berperan untuk melakukan interogasi terhadap kode- kode yang dipasang agar pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan (Sobur, 2001:97).

Umberto Eco mengemukakan definisi semiotika sebagai berikut: ”Semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” (Piliang, 2003:44)


(62)

Namun, Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya yang berjudul ”Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna”, Eco mengemukakan lebih lanjut:

”Bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk ‟mengungkapkan‟ apa-apa. Saya pikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai sebuah program komprehensif untuk semiotika umum (general semiotics)” (Piliang, 2003:45).

Piliang juga menjelaskan:

”Implisit dalam definisi Eco di atas adalah, bahwa bila semiotika

adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab, bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kedustaan. Dengan demikian, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, implisit didalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang implisit dalam kata malam” (Piliang, 2003:45).

Istilah semiotika sendiri berasal dari kata Yunani, semeion, yang berarti tanda atau dalam bahasa Inggris, sign, adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Dick Hartono (1984, dalam Santosa, 1993:3, dalam Sobur, 2009:96) memberi batasan, semiotik adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Luxemburg (1984, dalam Santosa 1993:3, dalam Sobur, 2009:96) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang secara sistematis


(63)

mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya dan proses pelambangan.

Preminger memberikan batasan yang lebih jelas mengenai definisi dari semiotika, bahwa:

”Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap

bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti” (Preminger, 2001:89, dalam Sobur, 2009:96).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis umtuk mengkaji tanda. Semiotika, pada dasarnya, hendak mempelajari bagaimana manusia (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001:53).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri. Makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas yang berurusan simbol, bahasa, wacana, bentuk-bentuk non verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk pada semiotik.


(64)

Semiotik mengkaji tanda dalam pengertian representamen, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu. Proses mewakili ini terjadi pada saat representamen itu ditetapkan hubungannya dengan diwakilinya dan kemudian diberi penafsiran. Proses ini disebut semiosis. Dalam konteks ini Hoed (2001:143) menyatakan : “Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yakni yang representamennya mewakili yang diwakilinya”.

Proses produksi dan interpretasi tanda tidak dapat dinegasikan dan dinafikan dari kehidupan manusia sebagai agen kebudayaan. Dalam setiap gerak, langkah, aksi, tindakan keseharian, karya seni selalau terbingkai aktivitas semiosis. Seperti Kalung Dayak Bahau terdapat aktivitas semiosis di dalamnya, dimana ada tanda-tanda dan simbol-simbol tertentu yang diangkat penggunanya ataupun kemudian dinterpretasikan secara berbeda-beda oleh orang lain atau khalayak. Kalung Dayak Bahau sebagai salah satu proses komunikasi menunjukan adanya proses penandaan (reprentasi) yang menarik untuk dikaji.

2.5.1. Semiotika Charles Pierce

Charles Anders Pierce adalah tokoh yang terkenal. Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Bagi teman-teman sejamannya ia terlalu orisinal. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya

membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam


(65)

diberikan oleh teman-temannya. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya.

Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce. Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan

logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam

tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda, artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993:10).

Charles Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Charles Pierce, sebagaimana dipaparkan Lechte (2011:227), sering kali mengulang-ngulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Perumusan yang terlalu sederhana ini menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukan suatu fakta (atau objek B),


(66)

kepada penafsirannya, yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda itu tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi yang memiliki ketiga aspek tersebut.

Charles Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah kekeduaan dan penafsirnya atau bisa dikatakan unsur pengantara adalah contoh dari keketigaan. Keketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagi wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting. Agar bisa ada sebagai suatu tanda, maka tanda tersebut harus ditafsirkan, dan berarti harus memiliki penafsir (Sobur, 2006:41).

Bagi Charles Pierce (Pateda, 2001:44), tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or

capability.”Sesuatu tanda digunakan agar tanda bisa berfungsi,

oleh Pierce disebut Ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda.


(67)

Tanda yang dikaitkan dengan ground dikaitkan dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda, misalnya kata kabur atau kata keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.

Berdasarkan objeknya, Charles Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda, yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya, potret dan peta.

Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itulah adalah tanda konvensional biasa jadi disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.


(68)

Untuk memahami lebih jelas model semiotik Charles Pierce, model triadic Pierce. Agar bisa ada sebagai suatu tanda, makna tersebut harus ditafriskan yang dikupas teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan seperti gambar berikut :

Gambar 2.1

Segi tiga Semiotik C.S.Pierce Sign

Interpretant Objek

Sumber : (Sumbo Tinarbuko, semiotika komunikasi visual 2008)

Model triadik Charles Pierce ini memperlihatkan tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu:


(69)

1. Tanda (Sign), ialah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk hal lain diluar tanda itu sendiri.

2. Objek atau acuhan tanda adalah kontek sosial yang menjadi refrensi dari tanda atau suatu yang merujuk tanda.

3. Interpretant, ialah interpretasi, penafsiran,

pemahaman seseorang tentang tanda. 2.6. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan alur piker penulis yang dijadikan sebagai skema pemikiran yang melatar belakangi penelitian ini, dalam karangka pemikiran ini peneliti akan mencoba menjelaskan masalah pokok penelitian, penjelasan yang disusun akan manggabungkan antara teori dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

2.6.1. Kerangka Teoritis

Fokus pada penelitian ini adalah semiotik makna Kalung (Tato) Dayak Bahau. Dari fokus tersebut maka dipergunakan teori segitiga makna (triangle meaning) Charles Sanders Pierce, yang terdiri atas representamen (tanda), object (objek) dan interpretant (interpretan) sebagai acuan. “Menurut Pierce, salah satu bentuk adalah kata. Sedangkan objek adalah yang ada dalam benak


(1)

dan satu buah mata pancing yang melingkar didalam sebagai objek. Berdasarkan objek tersebut tanda dibagi tiga yaitu Ikon, Indek dan Simbol. Ikonnya dilihat dari tempat peletakannya yang hanya biasa diukir pada bagian bahu dan dada, Indeknya sebuah hasil karya seni gambar tradisional orang Dayak Bahau yang berbentuk daun dari buah terong, Simbolnya sebuah ritual pengayauan atau peperangan yang dilakukan orang Dayak Bahau, agar dapat menyandang kalung bunga terong tersebut.

3. Interpretant adalah proses pemaknaan atau interpretasi atas suatu tanda (representamen). Tanda berdasarkan Interprtant adalah rheme sebagai simbol atau tanda pangkat seseorang lelaki suku dayak bahau yang hidupnya sudah professional, Dicentsign merupakan suatu hasil peninggalan dan salah satu karya seni tradisional yang sakral dan indah, Argument suatu fenomena karya seni tradisional masyarakat Dayak Bahau, pada gambar kalung bunga terong di tubuh leleki suku Dayak Bahau di Kalimantan Timur.

5.2 Saran-saran

Sementara untuk saran, diharapkan saran-saran yang peneliti kemukakan, baik saran bagi Universitas, Masyarakat, maupun bagi penelitian selanjutnya, dapat dijadikan masukan yang baik dan berguna untuk semua pihak.


(2)

5.2.1. Saran Bagi Universitas

1. Harapan besar peneliti, pihak program studi lebih dapat mengadakan mata kuliah-mata kuliah yang lebih dapat mewakili kebutuhan masing-masing konsentrasi ilmu, serta mata kuliah sepert isemiotik.

2. Harapan peneliti dengan adanya tambahan mata kuliah seperti semiotik, Tujuannya, untuk dapat lebih mempertajam kemampuan mahasiswa dalam menganalisis dan mengungkap gejala atau fenomena yang terkait dengan dunia Ilmu Komunikasi, khususnya pada kajian bidang simbol-simbol, sehingga dapat merangsang dan menimbulkan keragaman serta daya tarik mahasiswa dalam melakukan penelitian untuk penulisan skripsi atau pun tugas akhirnya.

5.2.2. Saran Bagi Masyarakat

1. Analisis semiotik adalah sebuah analisis yang tepat untuk meneliti kedalaman sebuah simbol, oleh karena itu, penelitian ini sepatutnya lebih dikembangkan oleh para peneliti simbol. Dengan adanya kesinambungan pada penelitian dengan analisis semiotik, dan diharapakan mampu memberikan masukan terhadap perkembangan pemahaman suatu simbol.

2. Karena simbol merupakan salah satu media visual untuk merekam, mengabadikan atau menceritakan suatu peristiwa, dan ilmu semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Dengan


(3)

adanya pemahaman makna dan arti tanda pada sebuah simbol, melalui ilmu semiotik diharapkan kita mampu untuk melihat kejadian sebenarnya yang sedang terjadi.

5.2.3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti dan penelitian selajutnya (baik dari mahasiswa/mahasiswi Konsentrasi Ilmu Humas dan Jurnalistik), agar dapat memilih lebih selektif, unik, dan menarik untuk tema-tema penelitian yang memiliki aplikasi terhadap Ilmu Komunikasi dan konsentrasi ilmu masing-masing, melalui:

1. Studi literatur, untuk menemukan dan mengungkap hal atau fenomena yang terkait dengan dunia Ilmu Komunikasi khususnya bidang semiotik. Hal ini dapat dilakukan melalui buku-buku teoritis maupun praktis, skripsi-skripsi yang telah ada (dengan pengambilan tema penelitian dari sudut pandang atau identifikasi permasalahan yang berbeda, unik, dan menarik), ataupun melalui penelusuran media online (internet).

2. Studi pendahuluan yang mendalam dan terarah terhadap penelitian yang telah diteliti, orang yang ahli dibidang yang akan dikaji dalam penelitian, ataupun dengan dosen-dosen, untuk menemukan dan mengungkap hal atau fenomena yang terkait dengan dunia Ilmu Komunikasi khususnya bidang semiotik.


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama : Arye Eligius Belawing

Tempat/TglLahir : Long Hubung, 23 Januari 1988 JenisKelamin : Laki-Laki

Status : Belum Menikah Agama : Katolik

GolonganDarah : B

Alamat : JL.Bukit Jarian No.34 Rt.07 Rw.01 Cimbuleuit Bandung. E-mail : Arye Belawing@yahoo.com


(5)

B. Pendidikan Formal

C. Seminar Pelatihan/Workshop

Tahun Deskripsi Keterangan

2011

Peserta Orientasi Jurnalistik (OPJ) UIN Bandung 05 Maret

Bersertifikat

2010

Seminar Photografi Menggunakan Kamera Analog ( KOMPAS GRAMEDIA) 20

November Bersertifikat

Table Manner AMAROOSA Hotel Bandung 04 Maret

Bersertifikat

Pelatihan Kepemimpinan Pemuda Se-Bandung Raya RSG Gelanggang Generasi Muda (GGM)

Bersertifikat

2009

Study Tour Mass Media (Jakarta, RCTI, Media Indonesia, Aneka Yes, Metro TV, Trans TV)

Bersertifikat

Peserta Seminar “Saatnya Berkarir di Dunia Pertelevisian (WIDIYATAMA) 12

November Bersertifikat

1993-1999 SD Negeri 1 Long Hubung Berijazah 1999-2002 SMP Negeri 1 Long Hubung Berijazah

2002-2005 SMA Awang Long Berijazah


(6)

2008

Peserta Pelatihan Master Of Ceremony (UNIKOM) 27 Mei

Bersertifikat

Peserta Pelatihan Personal Develoment & Brain Management (UNIKOM) 27 Mei

Bersertifikat

Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Bandung, Juli 2013 Peneliti,

Arye Eligius Belawing Nim. 41807148