Makna Simbol Pengretret Rumah Adat Batak Karo (Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce Mengenai Makna Simbol Pengretret Rumah Adat Batak Karo di Sumatera Utara)
MAKNA SIMBOL PENGRETRET RUMAH ADAT BATAK KARO (Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce Mengenai Makna Simbol Pengretret
Rumah Adat Batak Karo di Sumatera Utara)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana S1 Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik
Oleh : JUFLI FAUZI NIM : 41807109
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
(2)
(3)
(4)
LEMBAR PENGESAHAN ... i
SURAT PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.2.1 Rumusan Masalah Makro ... 9
1.2.2 Rumusan Masalah Mikro ... 9
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10
1.3.1 Maksud Penelitian ... 10
(5)
Hal
1.4 Kegunaan Penelitian ... 11
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 13
2.2 Tinjauan Pustaka... 19
2.2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi ... 19
2.2.1.1 Komunikasi Sebagai Ilmu ... 19
2.2.1.2 Pengertian Komunikasi... 21
2.3 Kerangka Pemikiran ... 25
2.3.1 Tinjauan Semiotika Charles Sanders Pierce ... 25
BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN ... 33
3.1 Objek Penelitian ... 33
3.1.1 Rumah Adat Batak Karo ... 33
3.1.2 Fungsi Rumah Adat ... 36
3.1.3 Simbol Pengretret (cicak) ... 38
3.1.4 Simbol-Simbol Rumah Adat ... 40
3.2 Metode Penelitian... 41
3.2.1 Desain Penelitian ... 42
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 43
(6)
3.2.4 Teknik Analisa Data ... 46
3.2.5 Uji Keabsahan Data... 48
3.2.5.1 Triangulasi Data ... 48
3.2.5.2 Menggunakan Bahan Referensi ... 48
3.2.5.3 Member Check ... 49
3.2.5.4 Uraian Rinci ... 49
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ... 50
3.3.1 Waktu Penelitian ... 50
3.3.2 Tempat Penelitian... 50
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 52
4.1 Deskripsi Hasil Observasi ... 53
4.2 Deskripsi Indentitas Informan ... 55
4.3 Hasil Penelitian ... 56
4.3.1 Makna Klasifikasi Tanda Yang Terkandung Pada Simbol Pengretret Rumah Adat Batak Karo ... 56
4.3.2 Makna Klasifikasi Objek Yang Terkandung Pada Simbol Pengretret Rumah Adat Batak Karo ... 60
4.3.3 Makna Klasifikasi Objek Yang Terkandung Pada Simbol Pengretret Rumah Adat Batak Karo ... 63
(7)
Hal
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 74
5.1 Kesimpulan ... 74
5.2 Saran-saran ... 75
5.2.1 Saran Bagi Universitas ... 75
5.2.2 Saran Bagi Masyarakat ... 76
5.2.3 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN... 81
(8)
Puji dan syukur seraya peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala rahmat dan karunia Nya, peneliti diberikan kekuatan, kemudahan, kelancaran, petunjuk dan ketabahan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Penyusunan penelitian ini yaitu berjudul, “MAKNA SIMBOL
PENGRETRET RUMAH ADAT BATAK KARO (Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce Mengenai Makna Simbol Pengretret Rumah Adat Batak Karo di Sumatera Utara )”, dan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna mendapat nilai akhir bagi kelulusan di tingkat srata satu (S1).
Dalam penelitian ini tidak sedikit peneliti menghadapi kesulitan serta hambatan baik teknis maupun non-teknis. Namun atas izin Tuhan Yang Maha Esa, juga berkat usaha, doa, semangat, bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya peneliti tujukan kepada kedua orang tua yang selalu membantu dan memberikan dukungan baik moral, spiritual dan material serta doa kepada peneliti hingga detik ini.
(9)
Pada kesempatan kali ini, dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan rasa hormat, terimakasih, dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Yth. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan FISIP Universitas Komputer Indonesia Bandung. Yang telah memberikan izin peneliti untuk melakukan penelitian.
2. Yth. Drs.Manap Solihat, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UNIKOM Bandung. Yang telah memberikan tanda tangan pengesahan serta ilmu pengetahuan yang selama ini peneliti dapatkan selama perkuliahan bapak dan selaku ketua sidang, peneliti ucapan terimakasih sebesar-besarnya atas masukan serta saran yang membangun kepada peneliti.
3. Yth. Melly Maulin, S.Sos.,M.Si. selaku sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations UNIKOM Bandung. Yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang peneliti dapatkan selama perkuliahan.
4. Yth. Rismawaty, S.Sos., M.Si selaku dosen wali sekaligus pengajar Pengantar Ilmu Komunikasi UNIKOM Bandung. Yang telah membantu dalam proses perwalian dalam perkuliahan dan telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang peneliti dapatkan selama perkuliahan.
(10)
6. Yth. Adiyana Slamet, S.ip., M.Si selaku dosen penelaah seminar UP dan penguji siding skripsi yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti bagi peneliti.
7. Yth. Kepada seluruh staf Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah telah memberikan ilmu dan pengetahuannya.
8. Yth. Ibu Astri Ikawati, A.Md.Kom, ibu Ratna Widiastuti, A. Md, selaku Sekretariat Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations Universitas Komputer Indonesia Bandung, yang telah membantu penulis dalam hal administrasi perkuliahan.
9. Untuk keluargaku, abang Walsen, Wan Hendra dan kakak Maya Safitri. Yang senantiasa mendukung saya baik dalam materi maupun doa.
10.Seluruh informan yang telah memberikan informasi yang berguna bagi peneliti.
11.Terimakasih juga saya ucapkan kepada pacar saya, Valentina M. W. B yang selalu senantiasa memberikan semangat, doa, dan dengan sabar menghadapi
(11)
saya selama ini. Semoga Tuhan merestui hubungan ini menjadi ikatan yang kuat.
12.Terimakasih juga saya ucapkan kepada sahabat-sahabat peneliti Ricky Sulastomo, Ratih Gema Utami, Dwi Asri, Nico Octo Van Roy, Maria Magdalena.S, Bastyan Philip Lasamahu, Beri, Karta.M, Cherry Ginting,
yang telah memberikan masukan dan semangat dari kalian, semoga pertemanan ini akan selalu abadi.
13.Teman – teman IK Jurnal dan teman-teman IK Humas serta pihak lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, semoga persahabatan dan persaudaraan kita tetap abadi selamanya.
Dalam penelitian ini, peneliti sangat mengharapkan sekali kritik serta saran yang membangun sehingga tercapai kesempurnaan dalam penulisan penelitian ini. Dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi mahasiswa komunikasi konsentrasi jurnalistik.
Bandung, Juli 2013 Peneliti
Jufli Fauzi NIM. 41807109
(12)
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang. Indonesia Tera.
Mulyana, Deddy, 2006, Metodologi Penelitian Kalitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Samaria Ginting & A.G. Sitepu, 1995/1996, Ragam Hias Rumah Adat Karo,
Departement of Education And Culture Directorate General Of Culture North Sumatra Goverment Museum. Medan
Hasibuan, Jamaludin S. Seni Budaya Batak. Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 1985.
Martin L. Peranginangin, Sora Mido. Orang Karo Diantara Orang Batak. Jakarta Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: PT Jalasutra
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
(13)
79
Danesi, Marcel,2010, Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Yogyakarta, Jalasutra.
Sumber Lain:
Ratmanto, Teguh. 2004. Tulisan Dengan Judul: ”Pesan: Tinjauan Bahasa Semiotika, dan Jeurmetika. ”. Bandung: Mediator Jurnal Komunikasi Didin Rohedi, 2010, Analisis Semiotika Tentang Foto Tragis Anak Kecil Dalam
Konflik di Sudan Tahun 1993. Universitas Komputer Indonesia. Program Studi Ilmu Komunikasi.
Imas Kartini, 2011. MAKNA SIMBOLIK PADA FOTO ‘‘CROP CIRCLE’’ SLEMAN YOGYAKARTA DI MEDIA INTERNET (Studi Semiotika Makna
Simbolik Pada Foto ‘‘Crop Circle” Sleman Yogyakarta Di Media
Internet).” Universitas Komputer Indonesia. Program Studi Ilmu Komunikasi.
Heri Wibowo, 2012. REPRESENTASI KONSUMERISME PADA LIRIK LAGU BELANJA TERUS SAMPAI MATI (Analisis Semiotika Charles Pierce Tentang Konsumerisme Pada Teks Lirik Lagu Belanja Terus Sampai Mati Karya Efek Rumah Kaca)." Universitas Komputer Indonesia. Program Studi Ilmu Komunikasi.
Fauzi Nur Hidayat, 2009. Makna Foto Feature Tema Budaya (Studi deskriptif kualitatif analisis semiotik Roland Barthes pada rubrik Foto Pekan ini di surat kabar KOMPAS edisi November 2008-Maret 2009). Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang, Program Studi Ilmu Komunikasi.
(14)
Internet Searching:
http://www.sinabungjaya.com/?p=36137/KEHANGATANDANKEKERABATA NDALAMRUMAHADATKARO/di akses 09 April 2013/pukul 02.00 Wib.
http://www.sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/17/another-representasi-budaya/Okti, Rosita & Agung K/Another Representasi Budaya/di akses 12 April 2013/pukul 22.00 Wib.
http://www.variety-indonesia.blogspot.com/2011/05/rumah-adat-batak-karo.html/ Akrie Maulana /Indonesia Warna Warni/di akses 15 April 2013/pukul 23.00 Wib.
http://www.fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/fahri firdusi/PERSPEKTIF Bisnis – Politik – Komunikasi/diakses 11 April 2013
http://www.herusu71.wordpress.com/2011/09/21/medan-energi-metafisik-elemen-dekorasi-arsitektur-rumah-kurung-manik-batak-karo/Heru
Subiyantoro/Ruang Arsitektur/di akses 14 April 2013/Pukul 01.00 Wib.
http://www.budayaindo.com/rumah-adat-karo-sumatera-utara./ Budaya Indonesia seni dan budaya Indonesia/Rumah Adat Karo Sumatera Utara/ di akses
April 2013/pukul 00.54 Wib.
http://www.karokabanjahe.blogspot.com/2012/06/sejarah-dan-kesain-kuta
gurukinayan.html/ Kesain Rumah Derpih/ JohnF.Purba/diakses pada tanggal 16 Juli 2013/pukul 00.41 Wib.
http://www.jurnal.isi-ska.ac.id / Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak Karo Di Sumatera Utara/ F Erdansyah/diakses pada tanggal 16 Juli 2013, pukul 00.41 Wib http://
(15)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Batak karo memiliki sistem kekerabatan yang disebut rakut sitelu. Secara harfiah arti rakut sitelu adalah ikatan yang menjadi satu (rakut = ikat, sitelu = yang tiga). Dalam praktik sosialnya rakut sitelu terbentuk dari hubungan perkawinan yang kemudian membentuk pranata sosial dengan menempatkan tiga unsur keluarga yaitu pihak pemberi dara disebut kalimbubu dan pihak penerima dara disebut anak beru dan pihak saudara dari kedua belah pihak masing-masing disebut senina. Ketiga unsur keluarga ini membentuk sistem kekerabatan yang menjadi tradisi masyarakat batak karo. Masing-masing unsur keluarga dalam sistem rakut sitelu memiliki perannya masing-masing. Kalimbubu adalah pihak yang paling dihormati dan memegang peranan sebagai penasihat atau konsultan yang berkaitan dengan peristiwa adat seperti perkawinan, pendirian rumah, atau juga pada peristiwa kematian.
Sistem kekerabatan lain yang turut mempererat hubungan kekerabatan adalah “marga.” Bagi masyarakat batak pada umumnya, marga menjadi panggilan yang terhormat bagi seseorang. Penempatan marga diletakkan di belakang nama pertama, misalkan Gunawan Tarigan, Gunawan (nama pertama), Tarigan (marga). Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, panggilan marga pada seorang suku Batak merupakan hal yang lazim. Rasinta Tarigan mengatakan: “Memanggil marga bagi
(16)
orang Batak itu menunjukkan keakraban dan terdengar lebih sopan”(Tarigan, wawancara 20 April 2010).1
Di atas telah dijelaskan, bahwa sistem kekerabatan masyarakat karo dapat dilihat dari penggunaan marga, termasuk kedudukan dan fungsinya dalam adat istiadat telah diatur secara turun-temurun. Demikian juga status keluarga (Kinship) juga di atur oleh adat istiadat berdasarkan ruang ketika berada di dalam rumah adat (jabu). Sistem kekerabatan lainnya juga tercermin pada simbol rumah adat batak karo, yaitu pada simbol pengretret (cicak).
Pengretret (cicak) merupakan salah satu dari sekian banyak ornamen yang menghiasi rumah adat batak karo, keberadaan raja-raja telah menghadirkan cikal bakal rumah adat beserta dengan ornamen-ornamen, sekaligus membawa pengaruh dan mewariskan tradisi rumah adat kepada masyarakat tradisional dan pengaruh Hindu yang mengimplementasikan adanya Tuhan pada rumah adat beserta ornamennya. Adapun bentuk dari simbol pengretret dapat dilihat seperti gambar dibawah ini :
1SIMBOL DAN PEMAKNAAN GERGA PADA RUMAH ADAT BATAK KARO DI SUMATRA UTARA
http://herusu71.wordpress.com/2011/09/21/medan-energi-metafisik-elemen-dekorasi-arsitektur-rumah-kurung-manik-batak-karo/ Akses tanggal 27 Maret 2013
(17)
3
Gambar 1.1
Simbol Pengretret dengan warna asli, pada rumah ketua adat Siwaluh Jabu
(rumah delapan)
.
Pada gambar 1.1 dapat dilihat bentuk dan warna simbol yang khas bagi masyarakat karo, ini adalah warna asli yang ada pada simbol pengretret yang sampai saat ini masih dapat dilihat di rumah ketua adat siwaluh jabu di desa Lingga. Medan. Sumatera Utara. Tepat di depan rumah ketua adat ini terdapat rumah adat siwaluh jabu lain dengan simbol atau motif pengretret sebagai berikut,
Gambar 1.2
Simbol Pengretret dengan warna baru, pada rumah adat Siwaluh Jabu
(rumah delapan)
Pada gambar 1.2 terlihat ada perubahan warna yang terjadi disini, tetapi faktor berubahnya warna ini tidak memiliki makna apa-apa, hanya karena faktor zaman yang semakin modern, dan letak rumah adat yang memiliki simbol
pengretret dengan warna baru ini tepat di depan rumah ketua adat siwaluh jabu. Sumber : Dokumentasi pribadi November 2012
(18)
Dari contoh gambar diatas, dapat dilihat bahwa pengretret adalah nama binatang mitos bagi orang batak karo; binatang ini sejenis cicak, tetapi memiliki dua kepala. Dalam mitos masyarakat batak karo, hewan ini terdapat di hutan yang dipercaya dapat membantu menunjukkan jalan pulang bagi orang yang tersesat di hutan. Oleh karena itu motif hewan ini disebut sebagai makhluk legenda. Masyarakat batak Toba menyebut pengretret ini dengan “brihaspati” (Sanskerta)
yang menunjukkan sifat kedewataan. Motif pengretret ini terbuat dari tali ijuk berwarna hitam, tali tersebut dirajutkan dengan cara melubangi derpih (dinding) rumah membentuk segitiga wajid dan sekaligus sebagai pengikat derpih.
Pengretret memiliki tiga warna yaitu, hitam, merah, putih, tetapi pada gambar bagian bawah atau kedua seperti gambar diatas warna pengretret telah berubah karena faktor zaman semakin modern.
Pola yang terbentuk dari tali itu adalah pola geometris yang berulang dan sama pada semua sisinya. Pada setiap kepala pengretret terdapat sepasang organ tubuh seperti kaki, dan masing-masing ujung kaki terdapat tiga buah jari.
Pengretret diletakkan secara horizontal pada derpih rumah di samping kedua sisi pintu. Ukuran panjang motif gerga pengretret (hiasan cicak) seluruhnya sekitar ± 400 cm dan lebar ± 15–20 cm. Motif ini sangat khas bagi masyarakat batak pada umumnya, sebab setiap masyarakat batak memperlakukan motif ini sebagai simbol magis.
Keberadaan pengretret lebih mendominasi rumah adat batak karo, terletak dalam dua bagian, derpih (dinding rumah), ayo (bagian paling atas rumah
(19)
5
adat) yang mengelilingi setiap dinding rumah adat tersebut dan tampak dominan dibanding dengan simbol atau ornamen lainnya.
Fungsi ragam hias tersebut kadangkala mengandung makna-makna tertentu yang bersifat simbolik. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek kebudayaan, simbol-simbol tersebut merupakan representasi perasaan, pikiran atau juga pandangan hidup masyarakatnya. Setiap simbol harus ditempatkan terlebih dahulu dalam kebudayaan suku berdasarkan habitat budayanya. Simbol-simbol seni pra-modern adalah Simbol-simbol-Simbol-simbol kolektif kepercayaan suku.
Makna-makna simbolik seni dalam kebudayan masyarakat tradisional merupakan konvensi komunitasnya, sehingga kadangkala tidak dapat dijangkau oleh kelompok di luar sukunya. Jakob Sumardjo mengatakan untuk memahami secara rasional (konsep) simbol-simbol seni etnik Indonesia, mau tidak mau kita harus memasuki kebudayaan atau cara berpikir komunitas penghasil simbol seni tersebut (Sumardjo, 2006:46-47).2
2SIMBOL DAN PEMAKNAAN GERGA PADA RUMAH ADAT BATAK KARO DI SUMATRA UTARA
http://herusu71.wordpress.com/2011/09/21/medan-energi-metafisik-elemen-dekorasi-arsitektur-rumah-kurung-manik-batak-karo/ Akses tanggal 27 Maret 2013
(20)
Berakhirnya kekuasaan raja serta diterimanya agama-agama wahyu, maka ekspresi nilai kepercayaan maupun makna dari simbol-simbol semakin lama semakin hilang. Berkurangnya rumah-rumah adat akibat tidak dihuni oleh pemiliknya atau di tinggalkan, sehingga usia rumah adat semakin tua sehingga semakin lapuk, roboh atau hancur dan simbol-simbol rusak. Kondisi ini diperparah dengan pertambahan jumlah penduduk akan rumah hunian yang sesuai dengan tuntutan hunian masa kini, sehingga rumah adat batak karo semakin ditinggalkan.
Zaman modern ini sangat banyak masyarakat batak Karo yang tahu, bahkan seluruh masyarakat batak karo di daerah maupun diluar daerah mengetahui simbol pengretret ini. Tetapi apa yang ditangkap atau dicerna oleh khalayak, khususnya masyarakat batak karo, masih kurang mengetahui apa makna sebenarnya yang ada di balik simbol pengretret tersebut, sehingga asumsi dan persepsi kebanyakan masyarakat batak karo hanya lebih mengenal simbol pengretret sebagai sebuah karya seni yang dibuat pada rumah adat batak karo, dan dituangkan kedalam motif bangunan sekolah, gedung-gedung perkantoran, tugu, sebagai hiasan belaka.
Masyarakat karo zaman sekarang menganggap makna simbol pengretret
hanya sebagai hiasan dan beberapa masyarakat batak karo yang masih berasumsi bahwa sebenarnya simbol pengretret bukan hanya hiasan seni, melainkan simbol sakral bagi rumah adat karo yang memiliki makna simbolisasi bagi pemilik rumah adat terdahulu (raja-raja).
(21)
7
Pola estetika masyarakat batak karo merupakan pola kebudayaan tradisional yang berkembang bersama dengan kebudayaan lainnya. Demikian juga dengan bentuk keseniannya, seperti gerga (ragam hias) dan arsitektur rumah adat. Unsur seni yang berkembang menunjukkan polanya secara spesifik karena konsep kebudayaannya. Pola kesenian demikian dapat juga terjadi pada kelompok etnik lainnya, namun tetap memiliki kekhususan.
Gerga sebagai elemen estetik memiliki karakteristik tersendiri berdasarkan pola estetikanya. Bahkan simbol-simbol yang mengambil referen faktual pun harus dikembalikan kepada polanya, apakah pola dua, tiga, empat semua memiliki strukturnya dan setiap unsur simbol memiliki tempatnya, apakah di bawah, di atas, di kiri atau di kanan, berhadapan atau berlawanan, pola demikian sering diabaikan dalam membaca makna rasional simbol sebagai salah satu karya seni di Indonesia.
Berkaitan dengan simbol pengretret yang sarat akan pesan dan tanda yang terkandung, maka yang akan menjadi perhatian peneliti di sini adalah segi semiotikanya, dimana semiotika sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda di dalam fenomena kebudayaan mempunyai cakupan yang sangat luas, di mana selama unsur-unsur kebudayaan mengandung di dalam dirinya makna tertentu, maka ia adalah sebuah tanda, dan dapat menjadi objek kajian semiotik,ini akan sangat membantu peneliti dalam menelaah arti kedalaman suatu bentuk komunikasi dan mengungkap makna yang ada di dalamnya.
(22)
Menurut keilmuan, semiotika berasal dari bahasa Yunani, Semeion yang berarti tanda. Kemudian diturunkan dalam bahasa Inggris menjadi Semiotics. Dalam bahasa Indonesia, semiotika atau semiologi diartikan sebagai ilmu tentang tanda. Dalam berperilaku dan berkomunikasi tanda merupakan unsur yang terpenting karena bisa memunculkan berbagai makna sehingga pesan dapat dimengerti.
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indera kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung.3
3http://fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/ 27 maret 2013.
(23)
9
Terkait dengan tanda tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti simbol
pengretret dalam studi semiotika. Untuk mengetahui makna dari tanda yang terdapat pada simbol pengretret ini, Begitu banyak karya seni yang dihasilkan oleh masyarakat karo, rumah adat adalah karya yang terbesar bagi mereka, juga bagi orang lain. Terbukti dari hasil kunjungan para turis dan mereka sungguh-sungguh mengagumi arsitek bangunan rumah adat tersebut. Selain karena tanpa penggunaan paku/ besi, proses pembangunannya pun turut menjadi hal yang cukup spektakuler bagi banyak orang. Ditambah lagi nilai kerja sama atau gotong royong dalam proses pembangunannya pada zaman dewasa ini.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin kita carikan jawabannya (Suriasumantri, 2010:312). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti mengambil rumusan masalah melalui pertanyaan makro dan pertanyaan mikro.
1.2.1. Rumusan Masalah Makro
Bagaimana makna simbol pengretret rumah adat batak karo?
1.2.2. Rumusan Masalah Mikro
Untuk menjelaskan pertanyaan makro di atas, maka peneliti menjabarkan pertanyaan tersebut ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik, yaitu:
(24)
1. Bagaimana makna Tanda, pada simbol pengretret rumah adat batak karo?
2. Bagaimana makna Objek, pada simbol pengretret rumah adat batak karo?
3. Bagaimana makna Interpretan, pada simbol pengretret rumah adat batak karo?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang makna simbol pengretret rumah adat batak karo.
1.3.2. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui makna Tanda yang terkandung pada simbol
pengretret rumah adat batak karo.
2. Untuk mengetahui apa makna Objek yang terkandung pada simbol pengretret rumah adat batak karo.
3. Untuk mengetahui apa makna Interpretan yang terkandung pada simbol pengretret rumah adat batak karo.
(25)
11
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berkaitan dengan pengembangan Ilmu Komunikasi, secara umum dibidang jurnalistik maupun secara khusus dalam semiotika dalam membedah makna dan tanda yang terdapat dalam sebuah karya ataupun media lainya. Dalam penelitian ini lebih khusus membahas tentang semiotika yang terdapat dalam sebuah simbol dalam rumah adat.
1.4.2. Kegunaan Praktis 1. Bagi Peneliti
Dapat dijadikan sebagai bahan pengalaman dan pengetahuan, khususnya mengenai analisis semiotika Charles Sanders Pierce mengenai representasi kekerabatan pada simbol pengretret rumah adat batak karo. Serta untuk mengaplikasikan ilmu yang selama studi diterima oleh peneliti secara teori.
2. Bagi Universitas
Bagi mahasiswa UNIKOM, khususnya program studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Ilmu Jurnalistik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi ilmu untuk pengembangan disiplin ilmu bersangkutan dan dapat dijadikan sebagai literatur untuk penelitian di bidang yang sama.
(26)
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang kajian semiotik secara menyeluruh mengenai sebuah pemaknaan yang ada didalam sebuah simbol. Serta menambah pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat karo tentang arti makna simbol pengretret.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam kajian pustaka, peneliti mengawali dengan menelaah penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan serta relevansi dengan penelitian yang dilakukan.Dengan demikian, peneliti mendapatkan rujukan pendukung, pelengkap serta pembanding yang memadai sehingga penulisan skripsi ini lebih memadai.
Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat kajian pustaka berupa penelitian yang ada. Selain itu, karena pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menghargai berbagai perbedaan yang ada serta cara pandang mengenai objek-objek tertentu, sehingga meskipun terdapat kesamaan maupun perbedaan adalah suatu hal yang wajar dan dapat disinergikan untuk saling melengkapi.
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Pada penelitian terdahulu, peneliti mempelajari dari beberapa hasil penelitian yang telah dibuat, untuk dapat memperkuat pemahaman peneliti. Berikut hasil dari beberapa penelitian terdahulu :
“Didin Rohedi, 2010.Universitas Komputer Indonesia, judul skripsi.
Analisis Semiotika Tentang Foto Tragis Anak Kecil Dalam Konflikdi Sudan Tahun 1993.”
(28)
Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Semiotika Tentang Foto Tragis Anak Kecil Dalam Konflikdi Sudan Tahun 1993”, Tipe penelitian ini adalah Pendekatan kualitatif, dengan menggunakan analisis semiotika (semiotic analysis) Charles Sander Pierce. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, dokumentasi, studi pustaka dan internet searching. Subjek penelitian dari penelitian ini terdiri dari orang-orang yang memahami dan mengerti tentang ilmu semiotika foto.Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling lalu dilanjutkan dengan triangulasi data, lalu hasil wawancara dideskripsikan berdasarkan interprestasi peneliti yang didasarkan oleh teori-teori yang ada.
Persamaannya terletak pada pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan kualitatif dengan metode analisis semiotika Charles Sander Pierce, dimana yang ditelitiapa makna tanda, objek, dan interpretan. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti. Kemudian peneliti melihat dan meperbandingkan tingkat persamaan dan perbedaan pada penelitian lainnya yaitu,
“Imas Kartini,2011. Universitas Komputer Indonesia, judul skripsi.
MAKNA SIMBOLIK PADA FOTO ‘‘CROP CIRCLE’’ SLEMAN
YOGYAKARTA DI MEDIA INTERNET (Studi Semiotika Makna
Simbolik Pada Foto ‘‘Crop Circle” Sleman Yogyakarta Di Media
Internet).”
Dalam penelitiannya yang berjudul “MAKNA SIMBOLIK PADA FOTO ‘‘CROP CIRCLE’’ SLEMAN YOGYAKARTA DI MEDIA
INTERNET (Studi Semiotika Makna Simbolik Pada Foto ‘‘Crop Circle”
(29)
15
Pendekatan kualitatif, dengan menggunakan analisis semiotika (semiotic analysis) Charles Sanders Pierce. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara kecil, studi pustaka dan internet searching. untuk memastikanbahwa narasumber mengetahui tentang crop circle dan didukung oleh studi literature.Setelah mendapatkan bahan tentang crop circle, peneliti melakukan kategorisasi dan hasil tersebut di analisis secara semiotika
Persamaannya terletak pada pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan kualitatif dengan metode analisis semiotika Charles Sander Pierce, dimana yang ditelitiapa makna tanda, objek, dan interpretan. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti.Kemudian penelitian sebelumnya peneliti mengambil dari hasil penelitian terdahulu, yaitu :
"Heri Wibowo, 2012. Universitas Komputer Indonesia. Judul Skripsi. REPRESENTASI KONSUMERISME PADA LIRIK LAGU BELANJA TERUS SAMPAI MATI (Analisis Semiotika Charles Pierce Tentang Konsumerisme Pada Teks Lirik Lagu Belanja Terus Sampai Mati Karya Efek Rumah Kaca)."
Dalam penelitiannya yang berjudul “REPRESENTASI KONSUMERISME PADA LIRIK LAGU BELANJA TERUS SAMPAI MATI (Analisis Semiotika Charles Pierce Tentang Konsumerisme Pada Teks Lirik Lagu Belanja Terus Sampai Mati Karya Efek Rumah Kaca).”Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis Semiotika Charles Sanders Pierce yaitu menganalisis tanda berdasar representamen, objek, dan interpretan.Objek yang dianalisis adalah kata-kata yang terdapat dalam lirik lagu tersebut yang kemudian dikaitkan dengan konsumerisme.
(30)
Persamaannya terletak pada pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan kualitatif dengan metode analisis semiotika Charles Sanders Pierce, dimana yang ditelitiapa makna representamen, objek, dan interpretan. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti. Dapat dilihat seperti tabel di bawah ini ;
(31)
(32)
(33)
19
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi 2.2.1.1. Komunikasi Sebagai Ilmu
“We cannot not communicate,” “kita tidak dapat tidak berkomunikasi”. Begitulah yang dikatakan oleh Waltzlawick, Beavin dan Jackson (Mulyana, 2007:60).Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan komunikasi.Bahkan pada saat berdoa sekalipun.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Pawito menyebutkan kegiatan (ber) komunikasi dapat dikatakan bersifat sentral dalam kehidupan manusia bahkan mungkin sejak awal keberadaan manusia sendiri.Nyaris semua kegiatan dalam kehidupan manusia membutuhkan atau setidaknya disertai komunikasi. Oleh karena itu, kajian ilmiah tentang gejala atau realitas komunikasi mencakup bidang yang sangat luas, meliputi segala bentuk hubungan antarmanusia dan menggunakan lambang-lambang, misalnya bahasa verbal (lisan atau tertulis) dan bahasa nonverbal yang meliputi bentuk-bentuk ekspresi simbolik lainnya, seperti lukisan, pahatan, gerak tubuh dalam beraneka jenis tari dan musik (Pawito, 2008:1).
Ashley Montagu (1967:450) dengan tegas menulis: “The most
important agency through which the child learns to be human is
(34)
(Lembaga yang paling penting di mana anak belajar untuk menjadi manusia adalah komunikasi, verbal juga nonverbal) (Rakhmat, 2004:2). Hal ini menyiratkan akan pentingnya komunikasi, bukan hanya sekedar untuk “berkomunikasi”, namun juga bagaimana perilaku seorang individu amat dipengaruhi oleh komunikasi itu sendiri.
Poedjawijatna (1983) menyatakan, komunikasi sudah memiliki syarat-syarat sebagai ilmu pengetahuan.Hal itu dapat dibuktikan dengan syarat bahwa sebagai suatu ilmu pengetahuan, harus memiliki objek kajian. Ilmu komunikasi memiliki objek materia yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial, sedangkan objek formanya adalah komunikasi itu sendiri, yakni usaha penyampaian pesan antar manusia.1
Sebagai ilmu, komunikasi menembus banyak disiplin ilmu. Sebagai jala perilaku, komunikasi dipelajari bermacam-macam disiplin ilmu, antara lain sosiologi dan psikologi (Rakhmat, 2004:3).Ilmu komunikasi merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Dapat dikatakan bahwa lahirnya ilmu komunikasi dapat diterima baik di Eropa maupun di Amerika Serikat, bahkan di seluruh dunia.Hal tersebut merupakan hasil perkembangan dari publisistik dan ilmu komunikasi massa yang dimulai dengan adanya pertemuan antara tradisi Eropa yang mengembangkan ilmu publisistik dengan tradisi Amerika yang mengembangkan ilmu komunikasi massa.
1http://chanprima666.student.umm.ac.id/2010/08/24/ilmu-komunikasi-sebagai-ilmu-pengetahuan/
(35)
21
2.2.1.2. Pengertian Komunikasi
Sebagai mahluk sosial setiap manusia secara alamiah memiliki potensi komunikasi, bahkan ketika manusia itu diam manusia itu sedang berkomunikasi, mengkomunikasikan keadaan perasaannya. Baik secara sadar maupun tidak manusia pasti berkomunikasi, komunikasi pun dapat kita temukan di semua sendi-sendi kehidupan, dimana setiap proses interaksi antara manusia dengan manusia lain pasti terdapat komunikasi.
Ilmu Komunikasi merupakan ilmu sosial terapan, bukan ilmu sosial murni, ilmu komunikasi tidak bersifat absolut, sifat ilmu komunikasi dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, hal tersebut dikarenakan ilmu komunikasi sangat erat kaitannya dengan tindak-tanduk perilaku manusia, sedangkan perilaku atau tingkah laku manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk perkembangan zaman.
Sifat ilmu komunikasi adalah interdisipliner atau multidisipliner.Maka dari itu ilmu komunikasi dapat menyisip dan berhubungan erat dengan ilmu sosial lainnya. Hal itu disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama ilmu sosial kemasyarakatan.
Banyak definisi dan pengertian tentang komunikasi para ahli komunikasi untuk dapat menjelaskan apa itu komunikasi. Wiryanto dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi menjelaskan bahwa, “Komunikasi mengandung makna bersama-sama (common). Istilah komunikasi berasal
(36)
dari bahasa Latin, yaitu communication yang berarti pemberitahuan atau pertukaran.Kata sifatnya communis, yang bermakna umum bersama-sama.” (Wiryanto, 2004:5)
Effendy menjelaskan lebih jauh, bahwa dalam perkembangan selanjutnya, komunikasi dapat berlangsung melalui banyak tahap, bahwa sejarah tentang komunikasi massa dianggap tidak tepat lagi karena tidak menjangkau proses komunikasi yang menyeluruh. Penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld, Bernald Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Robert Merton, Frank Stanton, Wilbur Schramm, Everett M. Rogers, dan para cendekiawan lainnya menunjukkan bahwa:
”Gejala sosial yang diakibatkan oleh media massa tidak hanya berlangsung satu tahap, tetapi banyak tahap. Ini dikenal dengan two-step flow communication dan multistep flow communication. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar hasil komunikasi antarpersona (interpersonal communication) dan komunikasi kelompok (group communication) sebagai kelanjutan dari komunikasi massa (mass communication)” (Effendy, 2005 : 4).
Pengertian komunikasi lainnya bila ditinjau dari tujuan manusia berkomunikasi adalah untuk menyampaikan maksud hingga dapat mengubah perilaku orang yang dituju, menurut Mulyana sebagai berikut, “Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain)”. (Mulyana, 2003:62).
Selain itu, Joseph A Devito menegaskan bahwa komunikologi adalah ilmu komunikasi, terutama komunikasi oleh dan di antara manusia.Seorang komunikologi adalah ahli ilmu komunikasi. Istilah
(37)
23
komunikasi dipergunakan untuk menunjukkan tiga bidang studi yang berbeda: proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan studi mengenai proses komunikasi.
Luasnya komunikasi ini didefinisikan oleh Devito sebagai:
“Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang mendapat distorsi dari ganggua-ngangguan, dalam suatu konteks, yang menimbulkan efek dan kesempatan arus balik. Oleh karena itu, kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen sebagai berikut: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian atau proses
encoding, penerimaan atau proses decoding, arus balik dan efek. Unsur-unsur tersebut agaknya paling esensial dalam setiap pertimbangan mengenai kegiatan komunikasi.Ini dapat kita namakan kesemestaan komunikasi; Unsur-unsur yang terdapat pada setiap kegiatan komunikasi, apakah itu intra-persona, antarpersona, kelompok kecil, pidato, komunikasi massa atau komunikasi antarbudaya.” (Effendy, 2005 : 5)
Menurut Roger dan D Lawrence (1981), mengatakan bahwa komunikasi adalah : “Suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam” (Cangara, 2004 :19)
Sementara Raymond S Ross, melihat komunikasi yang berawal dari proses penyampaian suatu lambang:
“A transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in such a way as to help another elicit from his own experiences a meaning or responses similar to that intended by the source.”
(Proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk
(38)
mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber.) (Rakhmat, 2007:3).
Dari beberapa pengertian mengenai komunikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses pertukaran pesan atau informasi antara dua orang atau lebih, untuk memperoleh kesamaan arti atau makna diantara mereka.
Pendapat para ahli tersebut menggambarkan bahwa komponen-komponen pendukung komunikasi termasuk efek yang ditimbulkan, antara lain adalah:
1. Komunikator (communicator, source, sender)
2. Pesan (message)
3. Media (channel)
4. Komunikan (communican, receiver)
5. Efek (effect)
Dari beberapa pengertian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa komunikasi merupakan proses pertukaran makna/pesan baik verbal maupun nonverbal dari seseorang kepada orang lain melalui media dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain.
(39)
25
2.3 Kerangka Pemikiran
2.3.1. Tinjauan Semiotika Charles Sanders Pierce
”Menurut Pierce salah satu bentuk adalah kata, Sedangkan objek adalah tanda yang ada dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. (Sobur, 2002:115)”. Pierce juga mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah kedua, dan penafsiran unsur pengantara adalah contoh dari ketigaan. Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama satu penafsiran (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi lain (yaitu dari suatu makna dan penanda) bisa ditangkap oleh penafsiran lainnya. Penafsiran ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, penangkap) membentuk tiga jenis penafsiran yang penting.Agar bisa ada sebagai suatu tanda, makna tersebut harus ditafriskan yang dikupas teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan seperti gambar berikut :
(40)
Gambar 2.1
Segi tiga Semiotik C.S.Pierce
Sumber : (Sumbo Tinarbuko, 2008, dalam buku semiotika komunikasi visual)
Menurut Pierce tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu.tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan, tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melaui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang system tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukan oleh Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik.
Bagi Charles Sander Pierce (Pateda, 2001:44 dalam Sobur, 2003:41), tanda ”is something which stand to somebody for something in some resfect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bias berfungsi , oleh Pierce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau represntamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,
(41)
27
Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan ligisign. Berdasarkan Objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Dan Berdasarkan Interpretantnya dibagi atas rheme, dicent sign atau decisign dan
argument. Berikut tanda yang dikaitkan dengan ground :
1. Qualisigns, Sinsigns, dan Legisigns
Untuk mempelajari lebih jauh lagi mengenai sign atau tanda, dapat dilihat pada ground-nya. ”Ground adalah latar belakang tanda. Ground ini dapat berupa bahasa atau konteks sosial” (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32).
Dalam kaitannya tanda dengan ground-nya, Pierce membaginya menjadi tiga yaitu:
1. Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan sifat. Contoh, sifat merah merah mungkin dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu
qualisigns karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar benar-benar menjadi tanda, qualisigns harus memperoleh bentuk, karena suatu qualisigns dalam bentuknya yang murni tidak pernah ada. Merah akan benar-benar menjadi tanda kalau ia dikaitkan dengan sosialisme, atau mawar, bahaya atau larangan. Misalkan bendera merah, mawar merah, dan lain-lain.
(42)
2. Sinsigns
Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsigns. Misal jerit kesakitan, heran atau ketawa riang. Kita dapat mengenal orang dan cara jalan, ketawanya, nada suara yang semuanya itu merupakan
sinsigns.
3. Legisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu aturan yang berlaku umum atau konvensi.Tanda-tanda lalu-lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisional, seperti mengangguk yang berarti ”ya”, mengerutkan alis, cara berjabatan tangan. Semua tanda bahasa merupakan legisigns karena bahasa merupakan kode yang aturannya disepakati bersama (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32).
Berdasarkan objeknya, tanda di bagi menjadi tiga bagian seperti di bawah ini :
2. Ikon, Indeks, dan Simbol
Kaitan tanda juga dapat dilihat berdasarkan denotatum-nya. Menurut Peirce, denotatum dapat pula disebut objek. ”Denotatum tidak selalu harus
konkret, dapat juga sesuatu yang abstrak. Denotatum dapat berupa sesuatu yang ada, pernah ada, atau mungkin ada”(Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32).
(43)
29
Peirce membedakan tiga macam tanda menurut sifat hubungan tanda dengan denotatum-nya, yaitu:
1. Ikon
Tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ikon adalah tanda yang keberadaanya tidak bergantung kepada denotatum-nya. Definisi ini mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Foto, patung-patung naturalis, yang mirip seperti aslinya dapat disebut sebagai contoh ikon.
2. Indeks
Sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum. Dalam hal ini hubungan antara tanda dan denotatum-nya adalah bersebelahan.Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa indeks adalah tanda yang keberadaannya bergantung pada denotatum-nya. Kita dapat mengatakan bahwa tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Asap dapat dianggap sebagai tanda api sehingga dalam kaitannya dengan api, asap ini dapat merupakan indeks. Segala sesuatu yang memusatkan perhatiannya pada sesuatu dapat merupakan indeks, berupa jari yang diacungkan, penunjuk arah angin, dan lain-lain.
(44)
3. Simbol
Tanda yang hubungan antara tanda dan denotatum-nya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku secara umum. Secara umum, yang dimaksud dengan simbol adalah bahasa (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32-33).
Berdasarkan interpretannya terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
4. Rheme, Dicisign, dan Argument
Selain kaitan tanda dengan ground dan denotatum-nya, tanda juga dapat dilihat pada interpretan-nya. Peirce menyebutkan bahwa: ”Hal ini sangat bersifat subjektif karena hal ini berkaitan erat dengan pengalaman individu. Pengalaman objektif individu dengan realitas di sekitarnya sangat bermacam-macam. Hal ini menyebabkan pengalaman individu pun berbeda-beda, yang pada gilirannya nanti akan menyebabkan pengalaman subjektif individu pun berbeda” (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:33). Terdapat tiga hal, menurut Peirce, dalam kaitan tanda dengan interpretan-nya:
1. Rheme
Tanda merupakan rheme bila dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari kemungkinan denotatum. Misal, orang yang matanya merah dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun atau ingin tidur.
(45)
31
2. Dicisign (atau dicent sign)
Tanda merupakan dicisign bila ia menawarkan kepada interpretan-nya
suatu hubungan yang benar. Artinya, ada kebenaran antara tanda yang ditunjuk dengan kenyataan yang dirujuk oleh tanda itu, terlepas dari cara eksistensinya.
3. Argument
Bila hubungan interpretative tanda itu tidak dianggap sebagai bagian dan suatu kelas. Contohnya adalah silogisme tradisional. Silogisme tradisional selalu terdiri dari tiga proposisi yang secara bersama-sama membentuk suatu argumen; setiap rangkaian kalimat dalam kumpulan proposisi ini merupakan argumen dengan tidak melihat panjang pendeknya kalimat-kalimat tersebut (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:33).
(46)
Gambar 2.2. Model kerangka Pemikiran
Rumah Adat Batak Karo
Representasi Kekerabatan Pada Simbol Pengretret
Rumah Adat Batak Karo Simbol
Pengretret
Semiotik Charles Sanders Pierce Sign
Interpretant Object
(47)
BAB III
OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana representasi kekerabatan pada simbol pengretret rumah adat batak Karo. Adapun objek dalam penelitian ini adalah simbol pengretret, dengan fokus penelitian yaitu makna simbol pengretret rumah adat batak Karo.
3.1.1. Rumah adat batak Karo
Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabu-nya (rumah tangga) didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Berikut contoh gambar rumah adat batak Karo :
(48)
Gambar 3.1 Rumah Adat Batak Karo
Rumah adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen-ornamennya yang kaya akan nilai-nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna rumah adat Karo menggambarkan hubungan yang erat antara masyrakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Pemilihan bahan untuk membangun rumah adat Karo serta proses pembangunannya yang tanpa menggunakan paku besi atau pengikat kawat, melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan rumah adat Karo.
Keberadaan rumah adat Karo juga tak terlepas dari pembentukan
Kuta (kampung) di tanah Karo yang berawal dari Barung (rumah sederhana), Sumber : Dokumentasi pribadi, November 2012
(49)
35
kemudian menjadi Talun, dan menjadi Kuta (kampung) dan di dalam Kuta
yang besar terdapat Kesain (halaman/pekarangan). Pada sebuah Barung
biasanya hanya terdapat sebuah rumah sederhana, ketika sebuah Barung
berkembang dan sudah terdapat 3 rumah di dalamnya disebut dengan Talun
dan bila telah terdapat lebih dari 5 rumah adat disebut sebagai Kuta. Ketika
Kuta sudah berkembang lebih pesat dan lebih besar maka Kuta dibagi atas beberapa Kesain (halaman/pekarangan), disesuaikan dengan merga-merga
(marga-marga) yang pertama manteki (mendirikan) Kuta tersebut.
Pembangunan rumah adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah adat menggambarkan kebesaran suatu Kuta, karena dalam pembangunan sebuah rumah adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembangunan rumah adat dilakukan secara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan. Kegiatan gotong-royong ini terutama digerakkan oleh Sangkep Sitelu (sukut, kalimbubu dan
anak beru) yang dibantu oleh Anak Kuta (masyarakat kampung setempat).
Hal ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan sebuah Kuta
menggambarkan struktur sosial dan tatanan organisasi yang tinggi pada masyarakat Karo, yang terdiri dari pihak Simantek Kuta (pendiri kampung),
Ginemgem (masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Simantek Kuta) dan Rayat Derip (penduduk biasa). Pembangunan sebuah
(50)
Rumah adat pada jaman dahulu harus mengikuti ketentuan adat dan tradisi masyarakat Karo yang telah ada secara turun-temurun. Sebelum membangun rumah adat diawali dengan ‘Runggu’ (musyawarah) dalam menentukan hari baik untuk memulai pembangunan, pada hari pembangunan diadakan sebuah upacara untuk meletakkan pondasi rumah dan meminta petunjuk dan perlindungan dari para leluhur orang Karo agar pelaksanaan pembangunan berjalan dengan baik. Demikian juga ketika Rumah Adat telah selesai dibangun, maka diadakan lagi upacara Mengket Rumah Mbaru
(memasuki rumah baru). Upacara ini juga diawali dengan Runggu, untuk menentukan hari baik untuk mengketi (mendiami) rumah baru tersebut. Pada hari yang ditentukan diadakan upacara pengucapan syukur kepada leluhur, dan memohon agar rumah yang telah selesai dibangun dapat bertahan lama dan para penghuninya hidup harmonis serta menjadi berkat dan dijauhkan dari bencana.
3.1.2. Fungsi Rumah Adat
Ragam fungsi adat dalam rumah adat suku Karo ada delapan rumahtangga. Tiap fungsi diemban oleh satu rumahtangga dan petak huniannya yang unik pun sudah ditentukan oleh adat. Begitu pula hubungan kekerabatan di dalam rumah adat ditentukan oleh adat. Jadi tidak sembarang rumahtangga dapat menempati petak hunian di dalam rumah adat, hal ini merupakan kekhasan dan sekaligus mencirikan rumah adat suku Karo. Rumah adat adalah hunian untuk mengaplikasikan fungsi adat yang diembannya.
(51)
37
Searah jam, kalau masuk dari pintu hilir. Nama jabatan adat, tugas dan fungsi, hubungan keluarga dengan kepala rumah adat, sebagai berikut:
1. Sukut. Kepala Rumah Adat (KRA). Turunan pendiri desa.
2. Anak beru Minteri. Saksi keputusan musyawarah. Keluarga adik perempuan dari mantu laki.
3. Kalimbubu, Mengajar dan menaikkan mantera. Orang yang disegani/dukun 4. Kalimbubu, Penasehat dan memberi restu.Orang tua istri.
5. Anakberu. Pelaksana perintah dan wakil KRA. Mantu laki. 6. Anakberu cekuh baka. Menyambut tamu. Anak dari Anakberu.
7. Puang Kalimbubu. Pemberi restu kesepakatan. Keluarga istri Kalimbubu no.4.
8. Sembuyak. Sumber informasi. Anak laki
Rumah adat menjadi kesatuan warga penghuni yang dipimpin oleh
Sukut. Mereka bermusyawarah dengan melaksanakan masing masing tugas dan fungsinya sebagai satu kesatuan. Setiap penghuni akan mengemban satu jabatan adat pula pada pertemuan adat diluar rumah adat. Misalnya mengemban jabatan adat sukut, kalau dia mengawinkan anak atau memasuki rumah baru atau ada anggota keluarga meninggal. Warga lainnya yang hadir masing masing mengemban fungsi adat.
(52)
3.1.3. Simbol Pengretret (cicak)
Derpih atau dinding rumah adalah bidang yang penting pada rumah adat sebagai penyekat udara dingin. Masyarakat tradisional Batak Karo meyakini bahwa kekuatan magis dapat dihembuskan dari luar, masuk ke dalam rumah melalui celah-celah derpih dan masuk menyerang penghuni rumah. Oleh karena itu pengretret ini ditempatkan di dinding rumah untuk menangkal serangan magis dari luar.
Pengretret adalah nama binatang mitos bagi orang Batak Karo; binatang ini sejenis cecak, tetapi memiliki dua kepala. Dalam mitos masyarakat Batak Karo, hewan ini terdapat di hutan yang dipercaya dapat membantu menunjukkan jalan pulang bagi orang yang tersesat di hutan. Oleh karena itu motif hewan ini disebut sebagai makhluk legenda. Masyarakat Batak Toba menyebut pengretret ini dengan “brihaspati” (Sanskerta) yang menunjukkan sifat kedewataan. Di India nama brihaspati dipakai untuk menyebut nama bintang Yupiter (Hasibuan, 1985:243).
Motif Pengretret ini terbuat dari tali ijuk berwarna hitam, tali tersebut dirajutkan dengan cara melubangi derpih rumah membentuk segitiga wajid dan sekaligus sebagai pengikat derpih. Pola yang terbentuk dari tali itu adalah pola geometris yang berulang dan sama pada semua sisinya. Pada setiap kepala
pengretret terdapat sepasang organ tubuh seperti kaki, dan masing-masing ujung kaki terdapat tiga buah jari. Pengretret diletakkan secara horizontal pada derpih rumah di samping kedua sisi pintu. Ukuran panjang motif gerga pengretret seluruhnya sekitar ± 400 cm dan lebar ± 15–20 cm. Motif ini sangat khas bagi
(53)
39
masyarakat batak pada umumnya, sebab setiap puak batak memperlakukan motif ini sebagai simbol magis. Seperti gambar di bawah ini,
Gambar 3.2
Motif Pengretret (cicak)
Fungsi magis pengretret adalah untuk menangkal setan dan roh jahat. Dua kepalanya yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama merupakan simbol kejujuran masyarakat karo, yaitu satu kata dengan perbuatan. Dua sisi kepala itu sering di maknai sebagai pertalian kekerabatan, atau lambang persatuan dan lambang penyelesaian masalah dalam kehidupan sosial. Seiring dengan perjalanan waktu, pengretret tidak hanya dimaknai sebagai benda simbolik yang memiliki kekuatan magi, tetapi juga berkembang menjadi ikon budaya batak karo. Saat ini gambar ukiran pengretret terdapat pada setiap bangunan tradisional, rumah-rumah biasa, kantor-kantor, gapura atau jambur (tempat pertemuan adat), maupun kuburan leluhur.
(54)
3.1.4. Simbol-simbol Rumah Adat
Gerga sebagai ragam hias Batak Karo lahir atas dorongan kebutuhan estetik yang telah berakar sejak berabad-abad silam, bahkan dorongan ini muncul bersama pengetahuan tradisi lainnya. Sistem kekerabatan dan sistem kepercayaannya paling menonjol mempengaruhi kehadiran gerga dan arsitektur rumah adatnya, kedua sistem ini berkembang dan kemudian membentuk pranata sosial menjadi dasar kebudayaan masyarakat Batak Karo, Fungsi ragam hias tersebut kadangkala mengandung makna-makna tertentu yang bersifat simbolik. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek kebudayaan, simbol-simbol tersebut merupakan representasi perasaan, pikiran atau juga pandangan hidup masyarakatnya. Setiap simbol harus ditempatkan terlebih dahulu dalam kebudayaan suku berdasarkan habitat budayanya. Simbol-simbol seni pra-modern adalah Simbol-simbol-Simbol-simbol kolektif kepercayaan suku. Hal ini sama seperti simbol-simbol dalam agama Kristen atau Islam (Sumardjo, 2006:46). Berdasarkan uraian diatas, berikut ringkasan macam-macam simbol yang terdapat pada rumah adat batak karo :
1. Gerga pada melmelen
Posisi melmelen (palang dapur) tepat sejajar dengan lantai. Secara estetis melmelen dikategorikan sebagai wilayah bawah. Motif-motif yang terdapat pada melmelen ini adalah motif-motif Tapak Raja Sulaiman, Bindu Natogog, Embun Sikawiten, Bunga Gundur dan Pantil Manggis, Teger Tudung, dan Takal Dapur.
(55)
41
2. Gerga Pada Derpih (Dinding) Rumah Adat Batak Karo.
Gerga yang terletak di bagian tengah rumah adat batak Karo jumlahnya lebih sedikit daripada gerga yang di bawah. Penempatan gerga
di sini terletak pada bagian derpih, pintu rumah, dan sudut rumah. Motif gerga-gerga tersebut adalah Cikepen Pengaloalo, Pengretret, dan Cuping-cuping. Gerga Cikepen Pengalo-ngalo terdapat pada bagian tengah dan terletak di sisi pintu berfungsi sebagai pegangan ketika hendak memasuki rumah, Pengretret berfungsi sebagai pengikat dinding, dan Cuping-cuping
yang terletak pada sudut rumah tidak memiliki fungsi konstruksi, melainkan berfungsi simbolik.
3. Gerga pada bagian Ayo Rumah Adat Batak Karo
Gerga pada ayo rumah adat batak Karo menempati bagian paling atas rumah adat. Motif-motifnya terdiri dari motif ipen-ipen, motif
pengretret, motif desa siwaluh, motif geometris, dan motif kepala kerbau, tetapi beberapa di antara motif tersebut juga terdapat di bagian melmelen yaitu motif desa siwaluh dan motif geometris lainnya. Dan memiliki fungsi dan makna masing-masing.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian berisi tentang strategi dan prosedur penelitian yang digunakan atau ditempuh (termasuk cara pengambilan sampel yang akan digunakan terutama kalau penelitian melibatkan subjek manusia dengan jumlah yang besar), teknik pengumpulan data, teknik triangulasi, analisis data (Pawito,
(56)
2008:80).
3.2.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Pierce. Dengan paradigma konstruktivis. Mulyana (2003:150) menyatakan:
“Metode penelitian kualitatif tidak perlu mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Pembicaraan yang sebenarnya, isyarat, dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mental untuk analisis kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif.”
Penelitian komunikasi kualitatif tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi, mengemukakan prediksi-prediksi, atau untuk menguji teori apapun, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2008:35).
Analisis semiotik (semiotical analysis) merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang (signs) baik yang terdapat pada media massa (seperti berbagai tayangan televisi, karikatur media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk iklan) maupun yang terdapat di luar media massa (seperti
(57)
43
karya lukis, patung, candi, monumen, fashion show, dan menu masakan pada suatu food festival). Urusan analisis semiotik adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks berupa lambang-lambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik (Pawito, 2008:155-156).
Usaha dalam meneliti makna simbol pengretret rumah adat batak karo akan meliputi pengkajian terhadap makna-makna tanda, objek dan interpretan mengenai simbol pengretret. Oleh karena itu untuk melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam terhadap makna tanda, objek dan interpretan, maka pada pembahasan selanjutnya, peneliti akan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Pierce sebagai bagian dari varian tradisi kualitatif.
3.2.2. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi pustaka yang meliputi internet searching. Serta studi lapangan yang meliputi observasi, wawancara dan studi dokumentasi.
3.2.2.1. Studi Pustaka
Pada studi pustaka, hal-hal yang dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data adalah sebagai berikut:
(58)
1. Internet Searching
Teknik yang dilakuakan untuk mendapatkan informasi dengan melalui media internet. Dimana di dalamnya terdapat berbagai reverensi yang mendukung penelitian ini.
3.2.2.2 Studi Lapangan
Pada studi lapangan, hal-hal yang dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data adalah sebagai berikut:
1. Observasi
Dalam konteks ilmu komunikasi, penelitian dengan metode pengamatan atau observasi (observation reaserch) biasanya dilakukan untuk melacak sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultur masyarakat (Pawito, 2007:111).
Observasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu observasi terhadap simbol pada rumah adat batak Karo yaitu simbol pengretret yang menjadi objek penelitian.
2. Wawancara
Memperoleh informasi dari kepala suku atau informan penting dalam rumah adat dan pihak-pihak yang lain ditunjuk oleh peneliti untuk lebih memberikan informasi atau pandangan tentang isi , apa benar simbol tersebut bermuatan kekerabatan. Seperti halnya studi kepustakaan,
(59)
45
wawancara dan korespondensi ini juga merupakan data sekunder yang akan mendukung data primer.
3. Studi Dokumentasi
Mengamati simbol pengretret dan juga mengikuti sejarah jalan cerita dengan teliti. Data yang diperoleh, makna pesan simbol, kode, dan tanda yang terdapat dalam pengretret akan diamati dengan cara mengidentifikasikan tanda-tanda yang terdapat dalam motif/simbol ini. Hal ini dilakukan untuk mengetahui makna-makna yang dikonstruksi di dalam simbol pengretret tersebut. Guna memperoleh data primer melalui studi dokumentasi, simbol pengretret terlebih dahulu akan dipisahkan sesuai dengan apa yang akan peneliti teliti.
3.2.3. Teknik Penentuan Informan
Informan penelitian adalah seseorang yang karena memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti, dimintai informasi mengenai objek penelitian tersebut. Pada penelitian ini, teknik penentuan informan yang dilakukan oleh peneliti adalah teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono, “teknik purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu”(Sugiyono, 2009 : 300).
(60)
Berikut adalah daftar nama informan, yang akan dimintai informasi oleh peneliti :
Tabel 3.1 Informan Peneliti
No Nama Keterangan
1 Bpk. Ferdinan Ginting Ketua adat sekaligus pakar Karo Sumber : Peneliti 2013
3.2.4. Teknik Analisa Data
Menurut Bogdan, analisis data adalah, “Proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain” (Sugiyono, 2008:244)”.
Terdapat beberapa tahap dalam analisa data yang umum dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu (Huberman dan Miles dalam Bungin, 2003:69)
1. Kategorisasi dan reduksi data, peneliti mengumpulkan informasi informasi yang penting yang terkait dengan masalah penelitian, dan selanjutnya mengelompokan data tersebut sesuai dengan topik masalahnya.
2. Sajian data. Data yang telah terkumpul dan dikelompokan itu kemudian disusun sistematis sehingga peneliti dapat melihat dan menelaah komponen-komponen penting dari sajian data.
(61)
47
3. Penarikan kesimpulan. Pada tahap ini, peneliti melakukan interpretasi data sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan penelitian. Dari interpretasi yang dilakukan akan diperoleh kesimpulan dalam menjawab masalah penelitian.
Setelah memperoleh data penelitian, maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan tanda-tanda yang menjadi objek penelitian dengan memisahkan dari simbol keseluruhan, karena tidak semua simbol tersebut menandakan atau mewakili pokok utama yang dijadikan acuan permasalahan penelitian, apa yang akan peneliti teliti sesuai tujuan dan memilih apa yang menjadi pokok pikiran di setiap bentuk simbol tersebut.
2. Menganalisi sesuai apa yang menjadi tujuan penelitian dengan menganalisis simbol pengretret tersebut yang sesuai dengan apa yang peneliti akan analisis dengan menggunakan teori Semiotika Charles Pierce.
Semiotik Charles Pierce menggunakan tiga pembedahan makna dalam sebuah objek yang akan diteliti, melihat dari tanda/representamen yang terdapat dalam simbol pengretret tersebut, melihat dari analisis objek yang terdapat dalam simbol pengretret tersebut , serta interpretan yang terdapat dalam simbol
(62)
3.2.5. Uji Keabsahan Data 3.2.5.1. Triangulasi Data
Triangulation is qualitative cross-validation. It assesses the sufficiency of the data according to the convergence of multiple data sources or mutltiple data collection procedures (William Wiersma, 1986 dalam Sugiyono, 2007:125). Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu. Tetapi untuk kepentingan peneliti hanya mengambil salah satu dari triangulasi data ini.
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi Sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Kemudian dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana yang spesifik. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan sumber data tersebut.
3.2.5.2. Menggunakan Bahan Referensi
Yang dimaksud dengan bahan referensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Sebagai contoh, data hasil wawancara perlu didukung adanya rekaman wawancara. Data tentang interaksi manusia atau gambaran suatu keadaan perlu didukung oleh foto-foto. Alat-alat bantu perekam data dalam
(63)
49
penelitian kualitatatif, seperti kamera, handycam, alat rekam suara sangat diperlukan untuk mendukung kredibilitas data yang telah ditemukan oleh peneliti. Dalam laporan penelitian, data-data yang dikemukakan perlu dilengkapi dengan foto-foto atau dokumen autentik, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya (Sugiyono, 2007:128).
3.2.5.3. Member Check
Member Check adalah, proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check adalah mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti datanya tersebut valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya, tetapi apabila data yang ditemukan peneliti dengan berbagai penafsirannya tidak disepakati oleh pemberi data, maka peneliti perlu melakukan diskusi dengan pemberi data, dan apabila perbedaannya tajam, maka peneliti harus merubah temuannya, dan harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Jadi tujuan member check adalah agar informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan (Sugiyono, 2007:129).
3.2.5.4. Uraian Rinci
Teknik ini dimaksud adalah suatu upaya untuk memberi penjelasan kepada pembaca dengan menjelaskan hasil penelitian dengan penjelasan yang serinci-rincinya. Suatu temuan yang baik akan dapat
(64)
diterima orang apabila dijelaskan dengan penjelasan yang terperinci dan gamblang, logis, dan rasional. Sebaliknya penjelasan yang panjang lebar dan berulang-ulang akan menyulitkan orang memahami hasil penelitian itu sendiri (Bungin, 2008:259).
3.3. Waktu dan Tempat Penelitian 3.3.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan 6 bulan, terhitung dari bulan Februari 2013 hingga bulan Juli 2013.
3.3.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lingga Kab. Karo. Kabanjahe. Medan. Sumatera Utara. Sekaligus dimaknai di Bandung.
(65)
51
Tabel 3.2
Rancangan Penelitian Skripsi
No Kegiatan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Persiapan:
Studi
Pendahuluan
Pengajuan Judul Acc Judul Persetujuan Pembimbing 2. Pelaksanaan Penyusunan: Bab I dan
Bimbingan Acc Bab I Bab II dan
Bimbingan Acc Bab II Bab III dan
Bimbingan Acc Bab III Seminar UP Bab IV dan
bimbingan Bab V dan
bimbingan Acc Bab IV
dan V Sidang
Kompre
(66)
A. DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Jufli Fauzi Nama Panggilan : Uzhi
Tempat/TglLahir : Medan, 02 Juli 1987 Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Belum Menikah Agama : Kristen Protestan Golongan Darah : O
Hoby : Hunting Photo, Editing photo & Video, Touring
Telepon/HP : 085793663841
Alamat : JL.Haruman Sari No.22 RT.02 RW.07. Ujungberung. Bandung Timur 40611
(67)
113
B. PENDIDIKAN FORMAL
No Tahun Uraian Keterangan
1 2007-2013
Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik. Universitas Komputer Indonesia, Bandung.
-
2 2002-2005 SMA KP 2 Bandung Berijazah
3 1999-2002 SMP Negeri 1 Medan Berijazah
4 1993-1999 SD Negeri 1 Padasuka Bandung Berijazah
C. PELATIHAN DAN SEMINAR
Tahun Deskripsi Keterangan
2011
Peserta Orientasi Jurnalistik (OPJ) UIN
Bandung Bersertifikat
2010
Seminar Photografi Menggunakan Kamera Analog ( KOMPAS
GRAMEDIA) Bersertifikat
Table Manner AMAROOSA Hotel
Bandung Bersertifikat
2009
Study Tour Mass Media (Jakarta, RCTI, Media Indonesia, Aneka Yes, Metro TV, Trans TV)
Bersertifikat
Peserta Seminar “Saatnya Berkarir di Dunia Pertelevisian (WIDIYATAMA)
(68)
2008
Peserta Pelatihan Master Of Ceremony
(UNIKOM) 27 Mei Bersertifikat
Peserta Pelatihan Personal Develoment
& Brain Management (UNIKOM) Bersertifikat
D. PENGALAMAN KERJA
Tahun Deskripsi Keterangan
2005-2007 Platinum Computer Operator & Service
E. PENGALAMAN ORGANISASI
Tahun Deskripsi Keterangan
2009 - sekarang Main Mata Photowork Wakil Ketua
2004 - 2007 Street Soldier SH Crew Acara
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Bandung, Juli 2013 Peneliti,
Jufli Fauzi Nim. 41807109
(69)
(70)
MAKNA SIMBOL PENGRETRET RUMAH ADAT BATAK KARO
(Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce Mengenai Makna Simbol Pengretret
Rumah Adat Batak Karo di Sumatera Utara)
JUFLI FAUZI NIM : 41807109
(1)
bersosialisasi dengan alam lain adalah salah satu bentuk komunikasi yang
dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan spiritual kekuatan trasenden,
kemudian mengaplikasikannya kepada bentuk jelmaan makhluk legenda dan
memohon agar komunikasi ritual penjagaan terhadap penghuni rumah akan
orang-orang yang ingin berbuat jahat dapat ditolak keluar, sehingga pembuatan
pengretret menjadikan keunggulan hasil peninggalan orang karo dahulu yang
paling kuno diantara gerga lainnya.
Untuk interpretant merupakan pemahaman makna berdasarkan
penerima tanda dalam hal ini adalah peneliti, interpretant dari peneliti
ditambah dari hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber yang
menguasai tentang segala bentuk budaya karo beserta simbol-simbol yang ada
pada rumah adat.
Memunculkan Interpretasi atau pemahaman makna dari tanda dan
objek simbol tersebut sebagai suatu pemandangan yang sangat menakjubkan
bagi daerah tanah karo di Sumatera Utara. Karena dilihat dari fenomena latar
dan tempat yang terdapat dalam simbol tersebut menandakan bahwa di daerah
tersebut masih terdapat nilai-nilai karya seni tradisional yang masih kental
dengan budaya yang masih sacral yaitu adanya simbol pengretret pada rumah
adat batak karo di Sunatera Utara. Bukan hanya itu, simbol pengretret pun
telah merambah ke kota besar seperti kota Medan, dimana simbol pengretret
ini dapat ditemukan dalam arsitektur bangunan seperti bangunan sekolah,
gedung-gedung, gapura dan masih banyak lagi tempat untuk dapat menemukan
(2)
Interpretan atau pemaknaan peneliti untuk representamen sistem
kekerabatan, dan kekuatan magis (penolak bala) maupun sebagai pengikat
derpih (dinding) rumah adat. bentuk dan warnanya, mulai dari pola geometris
yang berbentuk segitiga wajid yang saling berhubungan, pola yang dibuat
tersebut memiliki arti bahwasanya ijuk yang di kumpulkan kemudian di rajut
menjadi sebuah tali dan kemudian diikatkan ke dinding yang membentuk
segitiga wajid yang saling berhubungan dan saling menyilang adalah salah satu
tanda bahwa masyarakat batak karo yang memiliki banyak rumpun marga
sesuai dengan marga masing-masing akan tetap menjalin kebersamaan dan
kekerabatan yang erat sesuai dengan adat istiadat yang telah berlaku dan tetap
menjalin hubungan yang baik antara masyarakatnya maupun masyarakat
lainnya. dua buah kepala pengretret dengan bentuk dan ukuran yang sama pada
kedua sisi, dimana dua sisi kepala itu dapat dimaknai sebagai salah satu
pertalian kekerabatan yang sangat kuat.
IV. Kesimpulan
1. Tanda, yang ada pada simbol pengretret pada rumah adat batak karo di
Sumatera Utara. Tanda pada kerangka teori Charles Sanders Pierce disebut
Representamen. Berdasarkan representamen tersebut, tanda dibagi
kedalam tiga klasifikasi yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisigns.
Qualisignnya adalah seni kerajinan tangan tradisional, sinsignnya adalah
maskot, legisignnya adalah larangan untuk orang-orang yang ingin berbuat
(3)
2. Objek yang ada pada simbol pengretret berdasar kerangka teori segitiga
makna Charles Sander Pierce, objek adalah sesuatu yang diwakili tanda.
Pada simbol pengretret yang dianalisis secara semiotik dengan teori
Semiotika Charles Sanders Pierce peneliti menempatkan kekerabatan
sebagai objek yang direpresentasikan oleh representamennya. Berdasarkan
objek tersebut tanda dibagi menjadi tiga yaitu, ikon, indeks dan simbol.
Ikonnya adalah binatang cicak atau kadal, indeksnya adalah sistem
kekerabatan, simbolnya adalah pengikat derpih (dinding), dan penolak bala
atau roh-roh jahat.
3. Interpretan adalah proses pemaknaan atau interpretasi atas suatu tanda
(representamen). Tanda berdasar interpretan adalah rheme yaitu sistem
kekerabatan, dan kekuatan magis (penolak bala) maupun sebagai pengikat
derpih (dinding) rumah adat. Dicentsignnya yaitu karya seni tradisional
yang sakral dan unik. Argumentnya adalah karya seni tradisional
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang. Indonesia Tera.
Mulyana, Deddy, 2006, Metodologi Penelitian Kalitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya
Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Samaria Ginting & A.G. Sitepu, 1995/1996, Ragam Hias Rumah Adat Karo, Departement of Education And Culture Directorate General Of Culture North Sumatra Goverment Museum. Medan
Hasibuan, Jamaludin S. Seni Budaya Batak. Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 1985.
Martin L. Peranginangin, Sora Mido. Orang Karo Diantara Orang Batak. Jakarta
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: PT Jalasutra
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Danesi, Marcel,2010, Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai
(5)
Sumber Lain:
Ratmanto, Teguh. 2004. Tulisan Dengan Judul: ”Pesan: Tinjauan Bahasa Semiotika, dan Jeurmetika. ”. Bandung: Mediator Jurnal Komunikasi Didin Rohedi, 2010, Analisis Semiotika Tentang Foto Tragis Anak Kecil Dalam
Konflik di Sudan Tahun 1993. Universitas Komputer Indonesia. Program Studi Ilmu Komunikasi.
Imas Kartini, 2011. MAKNA SIMBOLIK PADA FOTO ‘‘CROP CIRCLE’’ SLEMAN YOGYAKARTA DI MEDIA INTERNET (Studi Semiotika Makna Simbolik Pada Foto ‘‘Crop Circle” Sleman Yogyakarta Di Media Internet).” Universitas Komputer Indonesia. Program Studi Ilmu Komunikasi.
Heri Wibowo, 2012. REPRESENTASI KONSUMERISME PADA LIRIK LAGU BELANJA TERUS SAMPAI MATI (Analisis Semiotika Charles Pierce Tentang Konsumerisme Pada Teks Lirik Lagu Belanja Terus Sampai Mati Karya Efek Rumah Kaca)." Universitas Komputer Indonesia. Program Studi Ilmu Komunikasi.
Fauzi Nur Hidayat, 2009. Makna Foto Feature Tema Budaya (Studi deskriptif kualitatif analisis semiotik Roland Barthes pada rubrik Foto Pekan ini di surat kabar KOMPAS edisi November 2008-Maret 2009). Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang, Program Studi Ilmu Komunikasi.
Internet Searching:
http://www.sinabungjaya.com/?p=36137/KEHANGATANDANKEKERABATA NDALAMRUMAHADATKARO/di akses 09 April 2013/pukul 02.00 Wib.
http://www.sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/17/another-representasi-budaya/Okti, Rosita & Agung K/Another Representasi Budaya/di akses 12 April 2013/pukul 22.00 Wib.
(6)
http://www.variety-indonesia.blogspot.com/2011/05/rumah-adat-batak-karo.html/ Akrie Maulana /Indonesia Warna Warni/di akses 15 April 2013/pukul 23.00 Wib.
http://www.fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/fahri firdusi/PERSPEKTIF Bisnis – Politik – Komunikasi/diakses 11 April 2013
http://www.herusu71.wordpress.com/2011/09/21/medan-energi-metafisik-elemen-dekorasi-arsitektur-rumah-kurung-manik-batak-karo/Heru
Subiyantoro/Ruang Arsitektur/di akses 14 April 2013/Pukul 01.00 Wib.
http://www.budayaindo.com/rumah-adat-karo-sumatera-utara./ Budaya Indonesia
seni dan budaya Indonesia/Rumah Adat Karo Sumatera Utara/ di akses April 2013/pukul 00.54 Wib.
http://www.karokabanjahe.blogspot.com/2012/06/sejarah-dan-kesain-kuta
gurukinayan.html/ Kesain Rumah Derpih/ JohnF.Purba/diakses pada tanggal 16 Juli 2013/pukul 00.41 Wib.
http://www.jurnal.isi-ska.ac.id / Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak Karo Di Sumatera Utara/ F Erdansyah/diakses pada tanggal 16 Juli 2013, pukul 00.41 Wib http://