PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI LAVENDER DAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP SKALA NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI LAVENDER DAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP SKALA NYERI PADA

PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Ilmu Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh ZERLINDA GHASSANI

20120320146

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI LAVENDER DAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP SKALA NYERI PADA

PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Ilmu Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh ZERLINDA GHASSANI

20120320146

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Zerlinda Ghassani

NIM : 20120320146

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang penulis tulis ini benar-benar merupakan hasil karya penulis sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka penulis bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, Agustus 2016 Yang membuat pernyataan,


(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tiada nikmat yang paling indah selain nikmat yang Allah SWT berikan kepada saya. Nikmat sehat, nikmat kekuatan, dan atas nikmat lindungan yang Dia berikan sehingga saya akhirnya dapat menyelesaikan karya tulis

ini.

Karya tulis ini saya persembahkan untuk orang-orang yang sangat saya sayangi dan mudahan yang selalu menyayangi saya sampai kapanpun.

Saya persembahkan karya tulis ini untuk:

Ibu Nia yang selalu memanjatkan doa untuk saya dan yang selalu memberikan semangat, Ayah Rostan yang selalu memberikan dukungan financial, dan Saudara laki-laki yang saya banggakan (Adryan Sanjani,

Gusnandar Abdi Negara, dan Fahmi Adiyatma Makkaratte).

Selain itu saya persembahkan juga kepada sahabat-sahabat saya yaitu Aris Handoko dan Agus Gunadi yang selalu menjadi sahabat saya dan

selalu direpotkan, dan Hafidha Fatma Sari, Ma’rifatul Fadilat, serta Ardhina Permata Sari sahabat wanita saya.


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT, Sang pengatur kehidupanyang telah memberikan kesempatan dan kemampuan sehingga Karya Tulis Ilmiah (KTI) berjudul ’’Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping’’ ini dapat tersusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan ilmu keperawatan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Peneliti menyadari masih banyak kemungkinan kesalahan dan kekurangan yang terjadi dalam penulisan KTI, walaupun peneliti telah mengerjakan dengan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan KTI ini, terutama kepada:

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An., M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Sri Sumaryani S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Mat., HNC selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Erfin Firmawati, Ns., MNS selaku dosen pembimbing yang telah membimbing saya hingga menyelesaikan KTI ini.

4. Arianti., M.Kep., Ns., Sp.Kep.MB selaku dosen penguji yang telah menguji dan memberikan saran-saran untuk KTI ini.

Penulis sangat mengharapkan bimbingan, kritik dan saran demi kemajuan bersama. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada para pembaca semoga Allah SWT melindungi kita semua.

Wassalammu’alaikum Wr Wb


(6)

vi DAFTAR ISI

KARYA TULIS ILMIAH ... i 

HALAMAN PENGESAHAN KTI ... Error! Bookmark not defined.  PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii 

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv 

KATA PENGANTAR ... v 

DAFTAR ISI ... vi 

DAFTAR TABEL ... x 

DAFTAR GAMBAR ... xi  INTISARI ... Error! Bookmark not defined.  ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined.  BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.  A.  Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined.  B.  Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined.  C.  Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  D.  Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  E.  Penelitian Terkait ... Error! Bookmark not defined.  BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.  A.  Landasan Teori ... Error! Bookmark not defined.  1.  Konsep Fraktur ... Error! Bookmark not defined.  2.  Nyeri ... Error! Bookmark not defined.  3.  Relaksasi Nafas Dalam ... Error! Bookmark not defined.  4.  Aromaterapi Lavender ... Error! Bookmark not defined.  5.  Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam ... Error! Bookmark not defined.  B.  Kerangka Konsep ... Error! Bookmark not defined.  C.  Hipotesis ... Error! Bookmark not defined.  BAB III METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined.  A.  Desain Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  B.  Populasi dan Sampel Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  C.  Lokasi dan Waktu Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  D.  Variabel Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  E.  Definisi Operasional ... Error! Bookmark not defined.  F.  Instrumen Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  G.  Cara Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined.  H.  Uji Validitas dan Reliabilitas ... Error! Bookmark not defined.  I.  Pengolahan dan Metode Analisis Data ... Error! Bookmark not defined.  J.  Prinsip Etik dalam Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined.  A.  Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  1.  Gambaran Umum Lokasi Penelitian .... Error! Bookmark not defined.  2.  Karakteristik Responden ... Error! Bookmark not defined.  3.  Perbedaan Skala Nyeri Pre Test dan Post Test Tiap Kelompok .. Error! Bookmark not defined. 


(7)

vii

4.  Perbedaan Skala Nyeri Pre Test dan Post Test Antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... Error! Bookmark not defined.  B.  Pembahasan ... Error! Bookmark not defined.  1.  Karakteristik Responden ... Error! Bookmark not defined.  2.  Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas ... Error! Bookmark not defined.  C.  Kekuatan dan Kelemahan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  1.  Kekuatan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  2.  Kelemahan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined.  A.  Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined.  B.  Saran ... Error! Bookmark not defined.  DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.  LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.  Lembar Penjelasan Penelitian Kelompok IntervensiError! Bookmark not defined. 

Lembar Penjelasan Penelitian Kelompok Kontrol . Error! Bookmark not defined.  Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... Error! Bookmark not defined.  Data Penelitian Intervensi ... Error! Bookmark not defined.  Data Penelitian Kontrol ... Error! Bookmark not defined.  Protokol Pelaksanaan Pemberian Intervensi ... Error! Bookmark not defined.  Data Demografi Kelompok Kontrol ... Error! Bookmark not defined.  Data Demografi Kelompok Intervensi ... Error! Bookmark not defined.  Skala Nyeri Kelompok Intervensi ... Error! Bookmark not defined.  Skala Nyeri Kelompok Kontrol ... Error! Bookmark not defined.  Karakteristik Demografi dan Skala Nyeri Kelompok IntervensiError! Bookmark not defined. 

Karakteristik Demografi dan Skala Nyeri Kelompok KontrolError! Bookmark not defined. 

Tes Normalitas ... Error! Bookmark not defined.  Uji Wilcoxon ... Error! Bookmark not defined.  Mann-Whitney Pre test ... Error! Bookmark not defined.  Mann-Whitney Post test ... Error! Bookmark not defined. 


(8)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori Usia ... 35 Tabel 2. Desain Penelitian Pre-Post Test With Control Group ... 61 Tabel 3. Definisi Operasional ... 61 Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden Penelitian di RS PKU Muhammadiyah Gamping ... 77 Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Skala Nyeri Responden Penelitian di RS PKU Muhammadiyah Gamping ... 79 Tabel 6. Karakteristik Demografi dengan Skala Nyeri di RS PKU Muhammadiyah Gamping ... 80 Tabel 7. Perbedaan Skala Nyeri pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Perlakuan dengan Uji Wilcoxon ... 82 Tabel 8. Perbedaan Skala Nyeri antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol dengan Uji Mann-Whitney U ... 82


(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tipe Patahan Tulang ... 16

Gambar 2. Visual Analogue Scale (VAS) ... 42

Gambar 3. Skala Nyeri Oucher ... 43

Gambar 4. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale ... 44

Gambar 5. Numeric Rating Scale ... 45


(10)

(11)

The Effect Of Giving Lavender Aromatherapy and Deep Breathing

Relaxation Technique Towards Pain Scale in Postoperative Patients With

Fracture Extremity At PKU Muhammadiyah Gamping Hospital

Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping

Zerlinda Ghassani1, Erfin Firmawati2

1Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan FKIK UMY, 2Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FKIK UMY

ABSTRACT

Background: Pain is the most common symptom in postoperative patients with fracture extremity. Pharmacology and non-pharmacology are interventions that can used by nurses to reduce the pain in patients. One form of non-pharmacology intervention that can be given is lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique. The purpose of this study was to know the effect of giving lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique toward pain scale in postoperative patients with fracture extremity at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital.

Methods: This research was a quantitative with Quasi-Experimental pre-test and post-test control group design which was conducted from June-July 2016. Respondents were selected by accidental sampling and purposive sampling into small groups of 15 people in intervention group which received lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique for 15 minutes and 15 people in the control group. Data had been analyzed using Wilcoxon and Mann-Whitney U test.

Results: The result of this research indicated that there was an effect on reducing pain significantly by giving lavender aromatherpy and deep breathing relaxation technique toward pain scale in postoperative patient with fracture extremity with the value of p=0,000.

Conclusion and Recommedation: Giving lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique has effect to reduce pain in postoperative patient with fracture extremity. Nurses are expected to use interventions in this study into one of intervention in the hospital. For the next researcher in order to control the intervention’s time and confounding factors.

Keywords: Lavender Aromatherapy, Extremity fracture, Postoperative, Pain scale, Deep breathing relaxation technique


(12)

Latar Belakang: Nyeri merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada pasien post operasi fraktur ekstremitas. Tindakan farmakologi dan non farmakologi merupakan tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk mengurangi nyeri pada pasien. Salah satu tindakan non farmakologi yang dapat diberikan adalah aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan Quasy-Experimental with pre-test and post-pre-test control group design yang dilaksanakan pada Juni hingga Juli 2016. Responden dipilih dengan teknik accidental sampling dan purposive sampling terdiri dari 15 orang kelompok intervensi yang diberikan aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam selama 15 menit dan 15 orang kelompok kontrol. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon dan Mann-Whitney U.

Hasil Penelitian: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan menurun pada pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas dengan nilai p=0,000.

Kesimpulan dan Saran: Pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam berpengaruh untuk mengurangi nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas. Perawat diharapkan dapat menjadikan intervensi dalam penelitian ini menjadi salah satu intervensi di rumah sakit. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengontrol waktu pemberian intervensi dan mengendalikan faktor-faktor pengganggu.

Kata Kunci: Aromaterapi lavender, Fraktur ekstremitas, Pasien post operasi, Skala nyeri, Teknik relaksasi nafas dalam


(13)

1

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi dimana kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare, 2013;

American Academy Orthopaedic Surgeons [AAOS], 2013). Kementrian

Kesehatan Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2010 menyatakan bahwa di Indonesia kasus fraktur mencapai 8 juta akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan trauma benda tajam atau tumpul. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2011 menyatakan bahwa di Indonesia, kasus fraktur ekstremitas merupakan yang sering terjadi dengan prevalensi 46,2%. Berdasarkan data rekam medik RS PKU Muhammadiyah Gamping, jumlah pasien yang mengalami fraktur ekstremitas pada bulan Januari - Oktober 2015 berjumlah 317 pasien.

Fraktur ekstremitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, pergelangan tangan, lengan, siku, lengan atas, dan bahu) dan ekstremitas bawah (pinggul, paha, lutut, kaki bagian bawah, pergelangan kaki) (UT Southwestern Medical Center, 2016). Fraktur ekstremitas dapat terjadi akibat trauma ringan atau berat dan penekanan yang melebihi daya absorpsi tulang (Helmi, 2012). Fraktur dapat menyebabkan pembengkakan pada area fraktur, hilangnya fungsi normal tulang yang terkena, perubahan bentuk, kemerahan, krepitasi, rasa nyeri, dan


(14)

membutuhkan penanganan untuk memperbaiki tulang maupun jaringan disekitarnya (AAOS, 2013; UT Southwestern Medical Center, 2016).

Salah satu penanganan kasus fraktur yaitu proses pembedahan misalnya melalui Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau dengan Open Reduction and External Fixation (OREF) (AAOS, 2013). Pembedahan ORIF dilakukan untuk mengimmobilisasi fraktur dengan memasukkan alat (paku, kawat, atau pin) ke dalam area fraktur untuk mempertahankan fragmen tulang sampai penyembuhan tulang baik sedangkan metode pembedahan OREF dengan pembalutan, gips, bidai, atau pin (Smeltzer & Bare, 2013). Proses insisi pada pembedahan akan menyebabkan luka insisi yang menimbulkan nyeri yang muncul pada dua jam setelah operasi akibat hilangnya pengaruh anestesi (Ayudianingsih, 2009; Potter & Perry, 2010). Luka insisi akan merangsang mediator kimia seperti prostaglandin, histamin, bradikinin, dan asetilkolin yang meningkatkan sensitifitas reseptor nyeri dan menyebabkan rasa nyeri (Smeltzer & Bare, 2013). Meskipun fragmen tulang telah direduksi, tetapi efek yang ditimbulkan dari proses pembedahan seperti pemasangan alat fiksasi yang menembus tulang akan menyebabkan nyeri hebat. Hal ini disebabkan oleh fase inflamasi yang disertai edema jaringan pada area yang terpasang dan berlangsung selama berjam-jam dan berhari-hari sebagai proses perbaikan fragmen tulang (Helser, 2010).

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan akibat rusaknya jaringan yang aktual atau potensial atau dirasakan pada tempat kerusakan (International Association for the Study Of Pain [IASP],


(15)

3

2011). Nyeri merupakan keluhan yang paling sering dijumpai dan hal yang menakutkan bagi pasien post operasi. Nyeri yang sering muncul pada pasien post operasi adalah nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan secara mendadak dari intensitas ringan sampai berat dan lokasi nyeri dapat diidentifikasi (Potter & Perry, 2010). Pasien dengan tipe ini dapat menunjukkan lokasi nyeri dan akan merasakan pengurangan sejalan dengan penyembuhan (Septiani, 2011). Nyeri yang dirasakan pasien post operasi merupakan pengalaman yang bersifat subjektif atau tidak dapat dirasakan oleh orang lain (Potter & Perry, 2010). Nyeri post operasi dirasakan oleh 20%-71% pasien fraktur ekstremitas di ruang rawat inap pada hari ke-1 hingga hari ke-4 yang mengalami nyeri sedang sampai berat (Sommer, et al, 2008). Berdasarkan penelitian Hadindra (2016) didapatkan hasil bahwa intensitas nyeri berat terjadi pada 5 orang (20%), nyeri sedang pada 19 orang (63,2%), dan nyeri ringan pada 6 orang (16,7%) pada pasien fraktur ekstremitas.

Nyeri post operasi fraktur ekstremitas yang dirasakan pasien akan menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot, penurunan kemampuan fungsional, dan disability (Apley, 2010). Menurut Kusumayanti (2015), nyeri post operasi pada lokasi pembedahan akan menyebabkan pasien sulit untuk memenuhi Activiy Daily Living. Jika dibiarkan maka akan berdampak pada proses penyembuhan yang lebih lama dan mengakibatkan pasien lebih lama dirawat di rumah sakit. Hal ini akan menimbulkan komplikasi seperti sumbatan vena akibat imobilisasi yang terlalu lama, kekakuan sendi akibat oedem, dan infeksi (Apley, 2010).


(16)

Respon fisik terhadap nyeri ditandai dengan perubahan keadaan umum, suhu tubuh, wajah, denyut nadi, sikap tubuh, pernafasan, kolaps kardiovaskuler, dan syok (Potter & Perry, 2010). Respon psikis akibat nyeri akan merangsang respon stres yang mengganggu sistem imun dan penyembuhan (Potter & Perry, 2010). Pasien post operasi yang mengalami nyeri akut harus dikendalikan agar perawatan lebih optimal dan tidak menjadi nyeri kronis (IASP, 2011). Nyeri yang tidak diatasi akan memperlambat masa penyembuhan atau perawatan, menimbulkan stres, dan ketegangan yang akan menimbulkan respon fisik dan psikis sehingga memerlukan upaya penatalaksanaan yang tepat (IASP, 2011; Potter & Perry, 2010).

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi nyeri yaitu dengan manajemen nyeri meliputi tindakan farmakologi dan non farmakologi (Potter & Perry, 2010). Tindakan farmakologi merupakan tindakan kolaborasi antara perawat dengan dokter yang menekankan pada pemberian obat analgesik (Potter & Perry, 2010). Menurut Mulyono dan Harnawatiaj (2008), meskipun tersedia analgesik yang efektif, namun nyeri post operasi tidak dapat diatasi dengan baik dan sekitar 50% pasien tetap merasakan nyeri yang mengganggu kenyamanan serta dapat menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, gelisah, dan rasa ngantuk (Ayudianingsih, 2009; Sari, 2014). Tindakan lain yaitu non farmakologi yang dapat dilakukan oleh perawat secara mandiri (World Union of Wound Healing Society [WUWHS], 2007). Tindakan non farmakologi merupakan terapi yang mendukung terapi farmakologi dengan metode yang lebih sederhana, murah, praktis, dan tanpa


(17)

5

efek yang merugikan (Potter & Perry, 2010). Tindakan non farmakologi yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri post operasi antara lain dengan memberikan aromaterapi dan teknik relaksasi nafas dalam (Koensomardiyah, 2009; Yunita, 2010).

Aromaterapi merupakan sebuah terapi komplementer dengan wewangian yang berasal dari minyak esensial yang dapat digunakan dengan cara dihirup (Brooker, 2009; Turan et al, 2010 cit Demir, 2012). Salah satu aromaterapi yang dapat digunakan adalah aromaterapi lavender yang mempunyai efek menenangkan dan bersifat analgesik (Koensomardiyah, 2009). Menghirup aroma lavender yang mengandung linalyl asetat dan linalool bermanfaat untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan efek relaksasi karena akan menstimulasi gelombang alfa di otak dan akan melancarkan sirkulasi darah (Turan et al, 2010 cit Demir, 2012). Tindakan ini dapat mempengaruhi sistem limbik otak yang merupakan pusat emosi, mengatur suasana hati dan mood, dan memori untuk menghasilkan bahan neurohormon serotonin yang akan menghilangkan ketegangan, stres, dan kecemasan dan menghasilkan endorphin dan encephalin sebagai penghilang rasa nyeri (Smeltzer & Bare, 2013). Mary (2014) telah melakukan penelitian terhadap 30 pasien OREF yang mengalami nyeri dengan memberikan aromaterapi lavender metode inhalasi. Hasil yang didapatkan yaitu pemberian terapi tersebut mampu menurunkan skala nyeri yang dirasakan pasien secara signifikan dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan perlakuan.


(18)

Tindakan lain yang dapat menurunkan rasa nyeri adalah teknik relaksasi nafas dalam yang mana perawat dapat mengajarkan klien cara melakukan nafas dalam secara perlahan melalui hidung dan menghembuskan nafas secara perlahan melalui mulut selama 5-10 menit per hari (Nordin, 2002 cit Demir, 2012; Karagoz, 2006 cit Demir, 2012). Teknik relaksasi nafas dalam merupakan salah satu tindakan yang dapat menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan opioid endogen yaitu endorphin dan enfekalin yang memiliki sifat seperti morfin dengan efek analgesik (Smeltzer & Bare, 2013). Berdasarkan penelitian Ayudianningsih (2009), teknik relaksasi nafas dalam mampu menurunkan nyeri hebat pada pasien pasca operasi fraktur femur menjadi nyeri sedang dan ringan.

Penelitian ini menggunakan aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam agar mendapatkan efek yang lebih optimal untuk mengurangi nyeri. Hal ini berdasarkan hasil studi dari Pratiwi tahun 2012 bahwa latihan teknik relaksasi pernapasan menggunakan aromaterapi lavender memiliki perbedaan yang signifikan terhadap skala nyeri sebelum dan sesudah terapi. Penurunan intensitas nyeri terjadi karena ibu post sectio caesarea dapat menggunakan terapi tersebut dengan benar selama kurang lebih 15 menit saat ibu merasakan nyeri pada area lukanya.

Berdasarkan hal diatas, aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam merupakan metode penawar nyeri, sehingga hal ini sesuai dengan Hadits Riwayat Bukhari sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW:


(19)

7

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR. Bukhari). Selain itu, pada hadist Musnad Imam Ahmad yang juga diriwayatkan dari Abu Mas’ud secara marfu menyebutkan bahwa “Setiap kali Allah menurunkan penyakit, Allah pasti menurunkan penyembuhnya. Hanya saja ada manusia yang mengetahui dan ada yang tidak mengetahuinya”.

Berdasarkan studi pendahuluan dan pengambilan data di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta data dari Rekam Medik jumlah pasien fraktur ekstremitas post operasi bulan Januari - Oktober 2015 berjumlah 317 pasien. Tindakan farmakologi untuk manajemen nyeri yang dilakukan oleh perawat berupa pemberian analgesik hasil kolaborasi dengan dokter seperti ketorolak. Tindakan non farmakologi yang diberikan pada pasien yang mengalami nyeri adalah nafas dalam dan kompres hangat. Lama perawatan yang dijalani oleh pasien post operasi fraktur ekstremitas rata-rata 3 hari dengan catatan skala nyeri bervariasi dari 2 pasien sebagai berikut: di hari post operasi skala nyeri 7 dan 8, hari pertama 6 dan 5, hari kedua 6 dan 3, dan hari ketiga 5 dan 2. Menurut tenaga kesehatan di bangsal Ar-Royan, belum pernah dilakukan pemberian aromaterapi lavender kepada pasien sebagai tindakan manajemen nyeri.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui pengaruh dari pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.


(20)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik demografi dan skala nyeri pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping. b. Mengetahui perbedaan skala nyeri kelompok intervensi sebelum

(pretest) dan sesudah (postest) diberikan aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

c. Mengetahui perbedaan skala nyeri pada kelompok kontrol sebelum (pretest) dan sesudah (postest) 15 menit dengan hanya diberikan prosedur standar pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

d. Mengetahui perbedaan skala nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum (pretest) diberikan perlakuan pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.


(21)

9

e. Mengetahui perbedaan skala nyeri sesudah (postest) perlakuan antara kelompok intervensi yang diberikan aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam dan kelompok kontrol diberikan prosedur standar pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan dalam intervensi keperawatan pain management non farmakologi dalam upaya menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas. 2. Bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu metode non farmakologi dalam menurunkan skala nyeri pasien dan membantu rumah sakit dalam meningkatkan mutu dan kualitas pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Dapat memberikan informasi dan data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan pemanfaatan aromaterapi lavender dengan teknik relaksasi nafas dalam untuk menurunkan intensitas nyeri bagi pasien post operasi fraktur ekstremitas atau pasien lainnya. 4. Bagi Pasien dan Keluarga

Memberikan informasi mengenai salah satu cara dalam mengurangi rasa nyeri yang dialami. Diharapkan pasien dapat menerapkan penggunaan


(22)

aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam dan mengalami penurunan nyeri sehingga menunjang proses penyembuhan.

E. Penelitian Terkait

1. Pratiwi (2012), melakukan studi dengan judul “Penurunan Intensitas Nyeri Akibat Luka Post Sectio Caesarea Setelah Dilakukan Latihan Teknik Relaksasi Pernapasan Menggunakan Aromaterapi Lavender di Rumah Sakit Al Islam Bandung”, memiliki 30 responden wanita post sectio caesarea yang memiliki skala nyeri sedang dan berat hari pertama didapatkan bahwa latihan teknik relaksasi pernapasan menggunakan aromaterapi lavender selama kurang lebih 15 menit memiliki perbedaan yang signifikan terhadap skala nyeri sebelum dan sesudah terapi. Hasil penelitian menunjukkan intensitas skala nyeri sebelum dilakukan perlakuan adalah 6,6 dan setelah perlakuan adalah 3,6. Penurunan intensitas nyeri terjadi karena ibu post sectio caesarea dapat menggunakan terapi tersebut dengan benar selama kurang lebih 15 menit saat ibu merasakan nyeri pada area lukanya.

a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :

1) Pada penelitian sebelumnya menggunakan pasien post SC sebagai sampel, sedangkan penelitian ini menggunakan pasien fraktur ekstremitas post operasi sebagai sampel.

2) Pada penelitian sebelumnya menggunakan metode one group pre test and post test, sedangkan penelitian ini menggunakan metode pre-test and post-test with control group.


(23)

11

b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah : 1) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan

intervensi pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam.

2. Mary (2014), melakukan studi dengan judul “Effect Of Aromatherapy On Physiological Parameters and Activites of Daily Living Among Patients with External Fixators at A Selected Hospital In Chennai”, responden sebanyak 30 kelompok kontrol dan 30 intervensi yang mengalami nyeri sedang hingga berat saat dilakukan pretest. Penelitian ini dilakukan pada post operasi fraktur dengan fiksasi eksternal dari hari kedua hingga hari kelima dengan menggunakan aromaterapi lavender metode inhalasi yang diaplikasikan dengan cara menuangkan aromaterapi lavender di atas tisu sebanyak 2 ml dan diberikan selama 5 menit. Pretest dan postest dilakukan setiap hari untuk mengkaji psikologis melalui tingkat nyeri dan Activity Daily Living (ADL). Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa aromaterapi lavender mampu menurunkan tingkat nyeri pada pasien post operasi fraktur dengan fiksasi eksternal.

a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah:

1) Pada penelitian sebelumnya jenis fraktur tidak diketahui, penelitian ini mengambil pasien fraktur ekstremitas post operasi sebagai sampel.

2) Penelitian sebelumnya melakukan pengukuran selama 4 hari, sedangkan penelitian ini melakukan pengukuran sehari saja.


(24)

3) Penelitian sebelumnya dilakukan selama 5 menit dan 4 hari, sedangkan penelitian ini dilakukan 1 kali dalam 15 menit.

b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah: 1) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan

observasi sebelum dilakukan intervensi (pretest) dan sesudah dilakukan intervensi (postest) dengan melibatkan kelompok kontrol.

2) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya menggunakan instrumen aromaterapi lavender dengan metode inhalasi.

3. Ayudianningsih (2009), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta”, metode penelitian Quasi Experiment dengan desain penelitian pre and post test with control group. Jumlah responden sebanyak 20 kelompok kontrol dan 20 kelompok intervensi yang memiliki skala nyeri sedang dan berat. Sebanyak 12 responden kelompok intervensi sebelum perlakuan mengalami nyeri hebat, sedangkan sesudah perlakuan sebagian mengalami nyeri sedang dan ringan. Tingkat nyeri 14 responden kelompok kontrol sebelum perlakuan mengalami nyeri hebat, sedangkan sesudah perlakuan rata-rata masih mengalami nyeri hebat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur antara kelompok intervensi dan kontrol.


(25)

13

a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :

1) Pada penelitian sebelumnya menggunakan pasien fraktur femur post operasi sebagai sampel, sedangkan penelitian ini menggunakan pasien fraktur ekstremitas post operasi.

2) Pada penelitian sebelumnya hanya menggunakan teknik relaksasi nafas dalam, sedangkan penelitian ini menggunakan aromaterapi lavender dengan teknik relaksasi nafas dalam.

b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah : 1) Menggunakan metode penelitian yang sama yaitu metode kuasi

intervensi.

2) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan observasi sebanyak dua kali yaitu sebelum dilakukan intervensi (pretest) dan sesudah dilakukan intervensi (postest) dengan melibatkan kelompok kontrol .

4. Bangun (2013), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Aromaterapi Lavender terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Pasca Operasi di Rumah Sakit Dustira Cimahi”, jumlah 10 responden pasca operasi hari kedua dengan skala nyeri ringan hingga berat yang dipilih secara purposive sampling. Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,001 yang menunjukkan adanya perbedaan skala nyeri antara sebelum dan sesudah diberikan aromaterapi lavender selama 10 menit.


(26)

a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :

1) Pada penelitian sebelumnya menggunakan pasien post operasi sebagai sampel, sedangkan penelitian ini menggunakan pasien fraktur ekstremitas post operasi sebagai sampel.

2) Pada penelitian sebelumnya hanya menggunakan aromaterapi lavender sebagai media penelitian, sedangkan penelitian ini menggunakan media aromaterapi lavender dengan teknik relaksasi nafas dalam.

3) Pada penelitian sebelumnya menggunakan metode pre intervensi, sedangkan penelitian ini menggunakan metode kuasi intervensi. b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :

1) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan observasi sebanyak dua kali yaitu sebelum dilakukan intervensi (pretest) dan sesudah dilakukan intervensi (postest).

2) Kelompok usia yang dipilih dalam penelitian ini dan sebelumnya adalah 18-45 tahun.


(27)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Konsep Fraktur

a. Definisi Fraktur dan Fraktur Ekstremitas

Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi dimana kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang pada disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis

(Smeltzer & Bare, 2013; American Academy Orthopaedic Surgeons

[AAOS], 2013).

Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak tubuh yang disebut dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, pergelangan tangan, lengan, siku, lengan atas, dan bahu) dan ekstremitas bawah (pinggul, paha, lutut, kaki bagian bawah, pergelangan kaki, dan kaki) (UT Southwestern Medical Center, 2016).

b. Klasifikasi Fraktur

Fraktur dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka dan tertutup tergantung pada luka yang menghubungkan fraktur dengan lingkungan luar. Fraktur terbuka ditunjukkan dengan fraktur yang terhubung dengan lingkungan luar, kulit yang sobek, tulang yang terlihat, dan menyebabkan cidera jaringan lunak sedangkan fraktur


(28)

tertutup ditandai dengan fraktur yang tidak terhubung denganlingkungan luar, kulit yang tetap utuh atau tidak sobek namun tetap terjadi pergeseran tulang didalamnya (Smeltzer & Bare, 2013; Lewis, 2011).

Fraktur juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur complete dan

incomplete. Fraktur complete berarti fraktur yang mengenai seluruh

tulang sedangkan fraktur incomplete adalah fraktur yang patahan

tulangnya hanya sebagian tetapi tulang masih tetap utuh (Lewis, 2011). Berdasarkan bentuk patahan tulang atau garis patah tulang, fraktur dapat diklasifikasikan menjadi linear, oblik, transversal, longitudinal, dan spiral (Lewis, 2011).

Fraktur juga diklasifikasikan kedalam fraktur displaced dan non

displaced. Fraktur displaced ditandai dengan ujung tulang yang patah terpisah satu sama lain dan keluar dari posisi normal misalnya fraktur comminuted dan oblik. Fraktur non displaced ditandai dengan periosteum tetap utuh dan tulang masih dalam posisi normal atau

masih sejalan misalnya transversal, greenstick, dan spiral (Lewis,

2011).


(29)

17

c. Faktor Penyebab Fraktur

Menurut Helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur adalah:

1) Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau

berat yang mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.

2) Fraktur stres, disebabkan karena tulang sering mengalami

penekanan.

3) Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi

patologis penyakit yang akan menimbulkan fraktur. d. Manifestasi Klinis Fraktur

Manifestasi klinis menurut UT Southwestern Medical Center

(2016) adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas/perubahan bentuk, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna. Adapun penjelasan dari manifestasi klinis adalah sebagai berikut:

1) Nyeri yang dirasakan terus menerus dan akan bertambah beratnya

selama beberapa hari bahkan beberapa minggu. Nyeri yang dihasilkan bersifat tajam dan menusuk yang timbul karena adanya infeksi tulang akibat spasme otot atau penekanan pada syaraf sensoris (Helmi, 2012; AAOS, 2013).

2) Setelah terjadinya fraktur, bagian yang terkena tidak dapat

digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah dari tulang yang normal. Bergesernya fragmen pada fraktur akan


(30)

menimbulkan perubahan bentuk ekstremitas (deformitas) baik terlihat atau teraba yang dapat diketahui dengan membandingkan bagian yang terkena dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang menjadi tempat melekatnya otot (Smeltzer & Bare, 2013).

3) Pada kasus fraktur panjang akan terjadi pemendekan tulang

sekitar 2,5 sampai 5 cm yang diakibatkan adanya kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah titik terjadinya fraktur (Smeltzer & Bare, 2013).

4) Saat pemeriksaan palpasi pada bagian fraktur ekstremitas, teraba

adanya derik tulang yang disebut sebagai krepitus. Derik tulang tersebut muncul akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lain (Smeltzer & Bare, 2013; Dent, 2008).

5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi

karena trauma dan perdarahan saat terjadinya fraktur. Tanda ini biasanya terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera (AAOS, 2013).

Tidak semua manifestasi klinis diatas dialami pada setiap kasus fraktur seperti fraktur linear, fisur, dan impaksi. Diagnosis tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien akan mengeluh adanya cidera pada area tersebut (Smeltzer & Bare, 2013).


(31)

19

e. Stadium Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan pada kasus fraktur berbeda-beda tergantung ukuran tulang yang terkena dan umur pasien. Faktor lain yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan fraktur adalah tingkat kesehatan pasien secara keseluruhan dan status nutrisi yang baik (Smeltzer & Bare, 2013). Beberapa tahapan atau fase dalam proses penyembuhan tulang, antara lain:

1) Fase Inflamasi, yaitu adanya respon tubuh terhadap trauma yang

ditandai dengan perdarahan dan timbulnya hematoma pada tempat terjadinya fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya aliran darah yang akan menyebabkan inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Fase ini berlangsung selama beberapa hari sampai pembengkakan dan nyeri berkurang (Smelzer & Bare, 2013).

2) Fase Proliferasi, hematoma pada fase ini akan mengalami

organisasi dengan membentuk benang fibrin dalam jendalan darah yang akan membentuk jaringan dan menyebabkan

revaskularisasi serta invasi fibroblast dan osteoblast. Proses ini

akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid) yang berlangsung setelah hari ke lima (Smeltzer & Bare, 2013).


(32)

3) Fase Pembentukan Kalus, pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran pada tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang bergabung dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Waktu yang diperlukan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4 minggu (Smeltzer & Bare, 2013).

4) Fase Penulangan Kalus/Osifikasi, yaitu proses pembentukan kalus

mulai mengalami penulangan dalam waktu 2-3 minggu melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar saling menyatu hingga keras. Pada orang dewasa normal, kasus fraktur panjang memerlukan waktu 3-4 bulan dalam proses penulangan (Smeltzer & Bare, 2013).

5) Fase Remodelling/Konsolidasi, yaitu tahap akhir pada proses

penyembuhan fraktur. Tahap ini terjadi perbaikan fraktur yang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelum terjadinya patah tulang. Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun (Smeltzer & Bare, 2013).

f. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur

Beberapa faktor dapat mempengaruhi cepat dan terhambatnya proses penyembuhan fraktur, antara lain:

1) Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu imobilsasi


(33)

21

penyembuhan tulang optimal, kontak fragmen tulang maksimal, aliran darah baik, nutrisi tepat, latihan pembebanan berat untuk tulang panjang, hormon-hormon pertumbuhan mendukung seperti tiroid, kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolik akan mempercepat perbaikan tulang yang patah, serta potensial listrik pada area fraktur (Smeltzer & Bare, 2013).

2) Faktor yang menghambat penyembuhan fraktur, yaitu trauma

lokal ekstensif, kehilangan tulang, imobilisasi tidak optimal, adanya rongga atau jaringan diantara fragmen tulang, infeksi, keganasan lokal, penyakit metabolik, nekrosis avaskuler, fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan), usia (lansia akan sembuh lebih lama), dan pengobatan kortikosteroid menghambat kecepatan penyembuhan fraktur (Smeltzer & Bare, 2013).

g. Komplikasi fraktur

1) Komplikasi awal (dini)

Komplikasi ini terjadi segera setelah terjadinya fraktur seperti syok hipovolemik, kompartemen sindrom, emboli lemak yang dapat mengganggu fungsi ekstremitas permanen jika tidak segera ditangani (Smeltzer & Bare, 2013).


(34)

2) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya fraktur pada pasien yang telah menjalani proses pembedahan. Menurut kutipan dari Smeltzer dan Bare (2013), komplikasi ini dapat berupa:

a) Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap

dan penyakit degeneratif sendi pasca trauma.

b) Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur yang

tidak normal (delayed union, mal union, non union),

osteomielitis, osteoporosis, dan refraktur.

c) Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan ruptur tendon

lanjut.

d) Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf

menebal akibat adanya fibrosis intraneural. h. Penatalaksanaan Fraktur

Sjamsuhidayat dan Jong (2005) mendefinisikan pembedahan sebagai suatu tindakan pengobatan secara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani.

Pembedahan yang dapat dilakukan untuk fraktur ekstremitas yaitu:

1) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and

Internal Fixation/ORIF), dilakukan untuk mengimmobilisasi fraktur dengan memasukkan paku, kawat, plat, sekrup, batangan logam, atau pin ke dalam tempat fraktur dengan tujuan


(35)

23

mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang baik (Smeltzer & Bare, 2013).

2) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and

Enternal Fixation/OREF), digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yang melibatkan kerusakan jaringan lunak. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, traksi kontinu, bidai, atau pin. Ekstremitas dipertahankan sementara dengan gips, bidai, atau alat lain oleh dokter. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat ini akan memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif (Smeltzer & Bare, 2013).

3) Graft tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk

menstabilkan sendi, mengisi defek atau perangsangan dalam proses penyembuhan. Tipe graft yang digunakan tergantung pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah tulang yang hilang akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari tulang pasien

sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft)


(36)

i. Tanda dan Gejala Post Operasi Fraktur

Menurut Apley (2010), tanda dan gejala post operasi fraktur ekstremitas adalah:

1) Oedem di area sekitar fraktur, akibat luka insisi sehingga tubuh

memberikan respon inflamasi atas kerusakan jaringan sekitar.

2) Rasa nyeri, akibat luka fraktur dan luka insisi operasi serta oedem

di area fraktur menyebabkan tekanan pada jaringan interstitial sehingga akan menekan nociceptor dan menimbulkan nyeri.

3) Keterbatasan lingkup gerak sendi, akibat oedem dan nyeri pada

luka fraktur maupun luka insisi menyebabkan pasien sulit bergerak, sehingga akan menimbulkan gangguan atau penurunan lingkup gerak sendi.

4) Penurunan kekuatan otot, akibat oedem dan nyeri dapat

menyebabkan penurunan kekuatan otot karena pasien tidak ingin menggerakkan bagian ekstremitasnya dan dalam jangka waktu

yang lama akan menyebabkan disused atrophy. Kebanyakan

pasien merasa takut untuk bergerak setelah operasi karena merasa nyeri pada luka operasi dan luka trauma (Smeltzer & Bare, 2013). 5) Functional limitation, akibat oedem dan nyeri serta

penyambungan tulang oleh kalus yang belum sempurna sehingga pasien belum mampu menumpu berat badannya dan melakukan aktifitas sehari-hari, seperti transfer, ambulasi, jongkok berdiri,


(37)

25

naik turun tangga, keterbatasan untuk berkemih dan Buang Air Besar (BAB).

6) Disability, akibat nyeri dan oedem serta keterbatasan fungsional sehingga pasien tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

j. Komplikasi Post Operasi Fraktur

Menurut Apley (2010), hal-hal yang dapat terjadi pada pasien post operasi fraktur adalah:

1) Deep Vein Trombosis, sumbatan pada vena akibat pembentukan trombus pada lumen yang disebabkan oleh aliran darah yang statis, kerusakan endotel maupun hiperkoagubilitas darah. Hal ini diperberat oleh immobilisasi yang terlalu lama setelah operasi akibat nyeri yang dirasakan. Trombosis akan berkembang menjadi penyebab kematian pada operasi apabila trombus lepas dan terlepas oleh darah kemudian menyumbat daerah vital seperti jantung dan paru. Kemungkinan trombosis lebih besar pada penggunaan ortose secara general dari pada lokal maupun lumbal. 2) Stiff Joint (kaku sendi), kekakuan terjadi akibat oedem, fibrasi kapsul, ligamen, dan otot sekitar sendi atau perlengketan dari jaringan lunak satu sama lain. Hal ini bertambah jika immobilisasi berlangsung lama dan sendi dipertahankan dalam posisi ligamen memendek, tidak ada latihan yang akan berhasil sepenuhnya merentangkan jaringan ini dan memulihkan gerakan yang hilang.


(38)

3) Sepsis, teralirnya baksil pada sirkulasi darah sehingga dapat mengakibatkan infeksi.

k. Prognosis Post Operasi Fraktur

Menurut Apley (2010), prognosis pada pasien post operasi fraktur ekstremitas meliputi:

1) Quo ad vitam,baik apabila pasien telah dilakukan tindakan operasi dengan fiksasi. Selain itu, dengan adanya pemberian anestesi, risiko terjadi kegagalan ataupun kematian dimeja operasi jarang sekali terjadi bahkan tidak pernah terjadi.

2) Quo ad sanam, baik apabila telah direposisi dan difiksasi dengan baik maka fragmen pada area fraktur akan stabil sehingga mempercepat proses penyembuhan tulang.

3) Quo ad fungsionam, berkaitan dengan tingkat kesembuhan atau sanam. Semakin cepat tulang menyambung maka pasien dapat segera kembali melakukan aktivitas fungsional. Namun, proses ini menjadi terhambat karena adanya sensasi nyeri, oedem, dan penyambungan tulang oleh callus yang belum sempurna.

4) Quo ad cosmeticam, baik apabila fragmen yang telah direposisi dan difiksasi dengan baik sehingga tidak terjadi deformitas dan tidak mengganggu penampilan.


(39)

27

l. Perawatan Post Operasi Fraktur Ekstremitas

Menurut Reeves et al (2001) dalam Yanty (2010), asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien post operasi fraktur ekstremitas adalah:

1) Monitor neurovaskuler setiap 1-2 jam,

2) Monitor tanda-tanda vital selama 4 jam, kemudian setiap 4 jam

sekali selama 1-3 hari dan seterusnya,

3) Monitor hematokrit dan hemoglobin,

4) Monitor karakteristik dan cairan yang keluar, laporkan

pengeluaran cairan dari 100-150 mL/hr setelah 4 jam pertama,

5) Atur posisi klien setiap 2 jam dan sediakan trapeze gantung yang

dapat digunakan pasien untuk melakukan perubahan posisi,

6) Letakkan bantal diantara kaki klien untuk memelihara kesejajaran

tulang (fraktur esktremitas bawah),

7) Ajarkan dan bantu klien untuk melakukan teknik non farmakologi

seperti teknik nafas dalam dan batuk,

8) Kolaborasi pemberian obat analgesik, obat relaksasi otot, dan

antikoagulan atau antibiotik,

9) Minta klien untuk melakukan weight bearing yang sesuai kondisi


(40)

2. Nyeri

a. Pengertian Nyeri

Menurut “The International Association for the Study Of Pain

(2011), nyeri adalah suatu pengalaman seseorang yang meliputi

perasaan dan emosi tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan sebenarnya atau potensial pada suatu jaringan yang dirasakan di area terjadinya kerusakan. Nyeri merupakan perasaan tubuh atau bagian tubuh seseorang yang menimbulkan respon tidak menyenangkan dan nyeri dapat memberikan suatu pengalaman alam rasa (Judha, 2012). Nyeri juga diartikan sebagai suatu kondisi yang membuat seseorang menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang dapat menimbulkan ketegangan (Hidayat, 2006 cit Budi, 2012).

Nyeri merupakan pengalaman yang bersifat subjektif atau tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai stimulus seperti mekanik, termal, kimia, atau elektrik pada ujung-ujung saraf. Perawat dapat mengetahui adanya nyeri dari keluhan pasien dan tanda umum atau respon fisiologis tubuh pasien terhadap nyeri. Sewaktu nyeri biasanya pasien akan tampak meringis, kesakitan, nadi meningkat, berkeringat, napas lebih cepat, pucat,

berteriak, menangis, dan tekanan darah meningkat (Lukas, 2004 cit


(41)

29

b. Mekanisme Nyeri

Reseptor nyeri berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh ini berperan hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri bermyelin dan ada juga yang tidak bermyelin dari syaraf perifer (Potter & Perry, 2010).

Nyeri merupakan campuran dari reaksi fisik, emosi, dan tingkah. Nyeri dapat dirasakan penderita jika reseptor nyeri menginduksi serabut saraf perifer aferen, yaitu serabut A-delta dan serabut C. Serabut A-delta memiliki myelin yang menyampaikan impuls nyeri dengan cepat, menimbulkan sensasi yang tajam, dan melokalisasi sumber nyeri serta mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C tidak memiliki myelin sehingga menyampaikan impuls lebih lambat dan berukuran sangat kecil. Serabut A-delta dan serabut C akan menyampaikan rangsangan dari serabut saraf perifer ketika mediator-mediator biokimia yang aktif terhadap respon nyeri seperti pottasium dan prostaglandin dibebaskan akibat adanya jaringan yang rusak (Potter & Perry, 2010).

Transmisi stimulus nyeri berlanjut disepanjang serabut saraf aferen (sensori) dan berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Neurotransmitter di dalam kornu dorsalis seperti substansi P dilepaskan sehingga menimbulkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Impuls atau informasi nyeri


(42)

selanjutnya disampaikan dengan cepat ke pusat thalamus (Potter & Perry, 2010).

c. Klasifikasi Nyeri

Nyeri berdasarkan serangannya dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Nyeri kronis

Nyeri yang terjadi lebih dari 6 bulan dan tidak dapat diketahui sumbernya. Nyeri kronis merupakan nyeri yang sulit dihilangkan. Sensasi nyeri dapat berupa nyeri difus sehingga sulit untuk mengidentifikasi sumber nyeri secara spesifik (Potter & Perry, 2010).

2) Nyeri akut

Nyeri yang terjadi kurang dari 6 bulan yang dirasakan secara mendadak dari intensitas ringan sampai berat dan lokasi nyeri dapat diidentifikasi. Nyeri akut mempunyai karakteristik seperti meningkatnya kecemasan, perubahan frekuensi pernapasan, dan ketegangan otot (Potter & Perry, 2010; Nanda, 2012). Cidera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan seperti kasus fraktur ekstremitas. Kasus tersebut membutuhkan pengobatan yang dapat menurunkan skala nyeri sejalan dengan proses penyembuhan tulang (Smeltzer & Bare, 2013).


(43)

31

Berdasarkan World Union of Wound Healing Society (WUWHS)

(2007), nyeri pada luka berdasarkan penyebab terjadinya dibedakan menjadi 4, yaitu:

1) Nyeri Background, nyeri yang dirasakan saat beristirahat dan

ketika tidak ada manipulasi luka yang sering terjadi. Nyeri ini mungkin berkesinambungan (misalnya sakit gigi) atau intermiten

(misalnya kram atau nyeri tengah malam). Nyeri background

dikaitkan dengan faktor penyebab terjadinya luka, luka lokal yang mendasar (misalnya ischemia, infeksi, dan kelelahan), dan lainnya yang terkait patotologi seperti diabetes neuropati, penyakit pembuluh daraf perifer, rheumatoid arthritis, dan dermatological kondisi (WUWHS, 2007).

2) Nyeri insiden, nyeri pada luka yang bisa terjadi saat seseorang

melakukan kegiatan sehari-hari seperti mobilisasi, ketika batuk, atau saat ganti pakaian (WUWHS, 2007).

3) Nyeri tindakan, nyeri yang terjadi secara rutin saat dilakukan

suatu prosedur, seperti perawatan luka. Nyeri prosedur adalah akibat adanya pelepasan substansi kimia dari sel yang mengalami kerusakan, respon inflamatori, dan kerusakan neuron saat prosedur dilakukan. Persepsi nyeri yang dialami seseorang tidak selalu berhubungan dengan jumlah sel yang cidera namun jenis dari cidera yang mungkin akan meningkatan persepsi nyeri tersebut. Persepsi nyeri dimulai saat prosedur hingga beberapa


(44)

saat setelah prosedur dan akan menghilang tergantung pada jenis prosedur yang dijalani (Monday, 2010). Nyeri ini dipengaruhi oleh keterampilan orang yang melaksanakan prosedur, lama prosedur, analgetik yang digunakan, penggunaan anestesi sebelumnya, dan pengalaman nyeri klien terhadap prosedur yang sama. Jenis-jenis prosedur yang akan menimbulkan nyeri antara lain pindah tempat tidur, suction trakea, pemasangan cateter

intravena, pelepasan selang dada, pengangkatan drain, insersi

arteri, ganti balutan, dan perawatan luka (Punctilo, 2011).

4) Nyeri operatif, nyeri operatif adalah nyeri yang dihubungkan

dengan tindakan yang dilakukan dokter spesialis operasi dan memerlukan analgesik baik lokal maupun umum (WUWHS, 2007).

d. Nyeri Post Operasi

Tindakan pembedahan adalah suatu tindakan yang dapat mengancam integritas seseorang baik bio-psiko-sosial dan spiritual yang bersifat potensial atau aktual. Setiap tindakan pembedahan dapat

menimbulkan ketidaknyamanan seperti sensasi nyeri (Engram cit

Satriya, 2014).

Nyeri post operasi merupakan hal yang fisiologis, namun hal ini sering menjadi sebuah ketakutan dan dikeluhkan oleh pasien setelah menjalani proses pembedahan. Sensasi nyeri akan terasa sebelum klien mengalami kesadaran penuh dan meningkat seiring dengan


(45)

33

berkurangnya anestesi dalam tubuh. Adapun bentuk nyeri yang dialami oleh pasien post operasi adalah nyeri akut yang terjadi akibat luka operasi atau insisi (Potter & Perry, 2010). Luka insisi akan

merangsang mediator kimia dari nyeri seperti histamin, bradikinin,

asetilkolin, dan prostaglandin dimana zat-zat ini diduga akan meningkatkan sensitifitas reseptor nyeri dan akan menyebabkan rasa nyeri pada pasien post operasi (Smeltzer & Bare, 2013). Nyeri pembedahan dirasakan oleh 20%-71% pasien fraktur ekstremitas di ruang rawat inap pada hari ke-1 hingga hari ke-4 yang mengalami nyeri sedang sampai berat (Sommer, et al, 2008). Tingkat keparahan nyeri post operasi tergantung pada respon fisiologi dan psikologi penderita, toleransi yang ditimbulkan oleh nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma operasi, jenis agen anastesi, dan bagaimana anastesi diberikan (Smeltzer & Bare, 2013).

Nyeri yang dialami klien setelah menjalani proses pembedahan akan meningkatkan stres post operasi dan memiliki pengaruh terhadap proses penyembuhan. Dibutuhkan kontrol nyeri setelah proses pembedahan, nyeri yang dapat dikontrol dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dan dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus dilakukan untuk memastikan bahwa nyeri post operasi dapat diatasi dengan baik (Potter & Perry, 2010; Torrance & Serginson cit Satriya, 2014).


(46)

e. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Faktor yang mempengaruhi nyeri perlu diamati dan dipahami oleh perawat untuk memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan secara holistik dalam melakukan pengkajian dan perawatan klien (Potter & Perry, 2010). Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:

1) Faktor fisiologis

a) Usia, merupakan salah satu variabel yang berpengaruh

terhadap sensasi nyeri seseorang, khususnya pada bayi dan dewasa akhir karena usia mereka lebih sensitif terhadap penerimaan rasa sakit (Potter & Perry, 2010).

Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan untuk memahami rasa nyeri, mengucapkan secara verbal, dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan. Hal ini serupa dengan pengkajian nyeri pada lansia karena perubahan fisiologis dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Nyeri pada lansia dialihkan jauh dari tempat cidera atau penyakit. Persepsi nyeri berkurang akibat dari perubahan patologis yang berhubungan dengan beberapa penyakit, tetapi pada lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Judha, 2012).

Berdasarkan kutipan Turk dan Melzack (2010), orang dewasa dapat memahami rasa nyeri yang dirasakan akibat:


(47)

35

i. Kepercayaan bahwa nyeri yang dirasakan merupakan hal

yang akan dialami dalam kehidupan.

ii. Tindakan diagnostik dan terapi yang mahal dan tidak

menyenangkan.

iii. Adanya penyakit serius dan terminal.

iv. Perbedaan terminologi dalam mengungkapkan respon

nyeri.

v. Keyakinan bahwa nyeri itu tidak perlu diperlihatkan.

Pada usia remaja, respon nyeri akan timbul lebih rendah dibanding usia anak-anak. Hal ini disebabkan karena remaja cenderung dapat mengontrol perilakunya (Turk & Melzack, 2010).

Tabel 1. Kategori Usia

Kategori Usia

Masa Balita Masa kanak-kanak Masa remaja awal Masa remaja akhir Masa dewasa awal Masa dewasa akhir Masa lansia awal Masa lansia akhir Masa manula

0 – 5 tahun 5 -11 tahun 12 – 16 tahun 17 – 25 tahun 26 – 35 tahun 36 – 45 tahun 46 – 55 tahun 56 – 65 tahun 65 – sampai atas

Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009

b) Kelemahan (fatigue), dapat meningkatkan persepsi nyeri.

Rasa lelah menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping penderita (Potter & Perry, 2010).


(48)

c) Keturunan, pembentukan sel-sel genetik yang diturunkan dari orang tua kemungkinan dapat menentukan intensitas sensasi nyeri seseorang atau toleransi terhadap rasa nyeri (Potter & Perry, 2010).

d) Fungsi neurologis, merupakan faktor yang dapat

mengganggu penerimaan sensasi yang normal seperti cidera medula spinalis, neuropatik perifer, dan penyakit saraf dapat mempengaruhi kesadaran dan persepsi nyeri. Agen farmakologis seperti analgesik, sedatif, dan anestesi juga berperan dalam mempengaruhi persepsi dan respons terhadap nyeri sehingga membutuhkan sebuah tindakan pencegahan (Potter & Perry, 2010).

2) Faktor Sosial

a) Perhatian, tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya

terhadap nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian meningkat berhubungan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan nyeri dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Upaya pengalihan atau distraksi dapat diterapkan oleh perawat untuk meminimalkan atau

menghilangkan nyeri, misalnya dengan relaksasi, guided

imagery, dan massage (Potter & Perry, 2010).

b) Pengalaman sebelumnya, seseorang yang pernah berhasil


(49)

37

timbul, maka orang tersebut akan lebih mudah mengatasi nyeri yang dirasakan. Mudah tidaknya seseorang dalam mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu saat mengatasi nyeri tersebut (Smeltzer & Bare, 2013). Perawat perlu mempersiapkan klien yang tidak memiliki pengalaman terhadap kondisi yang menyakitkan melalui penjelasan tentang nyeri yang mungkin timbul dan metode-metode yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri klien. Hal ini biasanya mampu menurunkan persepsi nyeri agar tidak merusak kemampuan klien dalam mengatasi masalah (Potter & Perry, 2010).

c) Keluarga dan dukungan sosial, kehadiran orang terdekat dan

sikap mereka terhadap klien dapat mempengaruhi respon klien terhadap rasa nyeri. Nyeri akan tetap dirasakan namun kehadiran mereka yaitu keluarga atau teman dekat akan meminimalkan stres (Potter & Perry, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linton dan Shaw (2011), dukungan sosial dan perhatian dari keluarga dan orang terdekat pasien sangat mempengaruhi persepsi nyeri pasien.

Pendidikan kesehatan juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri pasien. Pendidikan kesehatan dapat membantu pasien untuk beradaptasi dengan nyerinya dan menjadi patuh


(50)

terhadap pengobatan. Selain itu pendidikan kesehatan juga dapat mengurangi dampak dari pengalaman nyeri yang buruk karena pasien mempunyai koping yang baik.

3) Faktor spiritual

Pentingnya perawat untuk mempertimbangkan keinginan klien dalam melakukan konsultasi keagamaan. Mengingat bahwa nyeri merupakan sebuah pengalaman yang meliputi fisik dan emosional klien. Oleh karena itu, perlu untuk mengobati dua aspek tersebut dalam manajemen nyeri (Potter & Perry, 2010).

Spiritualitas dan agama merupakan kekuatan bagi seseorang. Apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan agama yang lemah, maka akan menganggap nyeri sebagai suatu hukuman. Akan tetapi apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan agama yang kuat, maka akan lebih tenang sehingga akan lebih cepat sembuh. Spiritual dan agama merupakan salah satu koping adaptif yang dimiliki seseorang sehingga akan meningkatkan ambang toleransi terhadap nyeri (Moore, 2012).

4) Faktor psikologis

a) Kecemasan, hal ini seringkali meningkatkan persepsi nyeri

tetapi nyeri juga dapat menimbulkan rasa cemas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas sehingga sulit memisahkan dua sensasi tersebut (Potter & Perry, 2010). Menurut Petry (2002) dalam Budi (2012),


(51)

39

pasien yang menggunakan koping kognitif dan strategi perilaku yang positif akan mampu untuk mengurangi rasa nyeri post operasi, cepat kembali ke rumah dan proses penyembuhan akan lebih cepat.

b) Teknik koping, mempengaruhi kemampuan dalam mengatasi

nyeri. Hal ini sering terjadi karena klien merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau terhadap hasil akhir dari suatu peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya koping

mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk

mengatasi nyeri. Seseorang yang belum pernah mendapatkan teknik koping yang baik tentu respon nyerinya buruk (Potter & Perry, 2010).

5) Faktor budaya

a) Arti dari nyeri, persepsi nyeri tiap individu akan berbeda,

nyeri dapat memberi kesan ancaman, kehilangan, hukuman,

dan tantangan sehingga nyeri akan mempengaruhi

pengalaman nyeri dan cara beradaptasi seseorang (Potter & Perry, 2010).

b) Suku bangsa, keyakinan dan nilai budaya mempengaruhi cara

individu dalam mengatasi nyeri. Individu mempelajari sesuatu yang diharapkan dan yang diterima oleh kebudayaan mereka. Misalnya, suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri merupakan akibat yang harus diterima karena


(52)

melakukan kesalahan, sehingga mereka tidak mengeluh jika timbul rasa nyeri. Sebagai seorang perawat harus bereaksi terhadap persepsi nyeri dan bukan pada perilaku nyeri, karena perilaku berbeda antar pasien (Judha, 2012).

f. Respon Tubuh terhadap Nyeri

1) Respon fisik, timbul akibat impuls nyeri yang ditransmisikan oleh

medula spinalis menuju batang otak dan thalamus menyebabkan terstimulasinya sistem saraf otonom yang akan menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres (Tamsuri, 2007). Respon tubuh terhadap nyeri akan membangkitkan reaksi fight or flight dengan merangsang sistem saraf simpatis, sedangkan pada kategori nyeri berat, tidak dapat ditahan, dan nyeri pada organ tubuh bagian dalam, akan merangsang saraf parasimpatis. Respon fisik mencakup takikardi, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah, dan keluarnya katekolamin (Budi, 2012; Khodijah, 2011).

2) Respon perilaku, respon pada seseorang yang timbul saat nyeri

dapat bermacam-macam. Respon perilaku seseorang terhadap nyeri digambarkan dalam tiga fase:

a) Fase antisipasi, merupakan fase yang paling penting dan fase

ini memungkinkan seseorang untuk memahami nyeri yang dirasakan. Klien belajar untuk mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul dan klien juga diajarkan


(53)

41

untuk mengatasi nyeri jika terapi yang dilakukan kurang efektif (Tamsuri, 2007).

b) Fase sensasi, terjadi ketika seseorang merasakan nyeri.

Banyak perilaku yang ditunjukkan individu ketika mengalami nyeri seperti menangis, menjerit, meringis, meringkukkan badan, dan bahkan berlari-lari (Tamsuri, 2007).

c) Pasca nyeri (Fase Akibat), fase ini terjadi ketika kurang atau

berhentinya rasa nyeri. Jika seseorang merasakan nyeri yang berulang maka respon akibat akan menjadi masalah. Perawat diharapkan dapat membantu klien untuk mengontrol rasa nyeri dan mengurangi rasa takut apabila nyeri menyerang (Tamsuri, 2007).

3) Respon psikologis, respon ini berkaitan dengan pemahaman

seseorang terhadap nyeri yang terjadi. Klien yang mengartikan nyeri sebagai suatu yang negatif akan menimbulkan suasana hati sedih, berduka, tidak berdaya, marah, dan frustasi. Hal ini berbalik dengan klien yang menganggap nyeri sebagai pengalaman yang positif karena mereka akan menerima rasa nyeri yang dialami (Tamsuri, 2007).

g. Skala Nyeri

Terdapat beberapa macam skala nyeri yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri seseorang antara lain:


(54)

1) Verbal Descriptor Scale (VDS), yang dikembangkan oleh McGuire DB merupakan suatu instrumen skala nyeri dengan garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang telah disusun dengan jarak yang sama sepanjang garis. Ukuran skala ini diurutkan dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri tidak tertahan”. Perawat menunjukkan ke klien tentang skala tersebut dan meminta klien untuk memilih skala nyeri terbaru yang dirasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa tidak menyakitkan. (Potter & Perry, 2010).

2) Visual Analogue Scale (VAS), merupakan suatu garis lurus yang menggambarkan skala nyeri terus menerus yang dikembangkan pertama kali oleh Hayes dan Patterson tahun 1921. Skala ini menjadikan klien bebas untuk memilih tingkat nyeri yang dirasakan. VAS sebagai pengukur keparahan tingkat nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat menentukan setiap titik dari rangkaian yang tersedia tanpa dipaksa untuk memilih satu kata (Potter & Perry, 2010).

Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut:


(1)

perbedaan yang signifikan (nilai p=0,000) setelah perlakuan teknik relaksasi nafas dalam dengan nilai mean pre test sebesar 7,56 dan nilai mean post test sebesar5,00. Penghirupan minyak lavender secara langsung melalui rongga hidung akan bekerja lebih cepat karena molekul minyak esensial mudah menguap oleh hipotalamus. Hal ini akan merangsang pelepasan substansi seperti endorphin dan

serotonin sehingga berpengaruh langsung terhadap organ penciuman dan dipersepsikan oleh otak untuk memberikan reaksi yang mengubah fisiologis pada tubuh, jiwa, dan menenangkan (Nurachman cit Swandari, 2014). Penurunan skala nyeri pada responden yang diberikan aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam ini disebabkan oleh rasa nyaman setelah menghirup aroma lavender. Responden yang mengalami post operasi fraktur ekstremitas yang diberikan perlakuan ini mengalami penurunan skala nyeri namun

tidak menghilangkan nyeri tersebut karena luka insisi dari proses bedah akan sembuh secara bertahap sesuai stadium penyembuhan patah tulang.

Pratiwi (2012) mengatakan bahwa latihan relaksasi pernapasan menggunakan aromaterapi lavender selama kurang lebih 15 menit pada 30 ibu post sectio caesarea

memiliki perbedaan yang signifikan dalam menurunkan skala nyeri. Hal ini ditunjukkan dengan intensitas skala nyeri

pretest sebesar 6,6 dan 3,6 saat post test

dengan nilai p=0,000 pada satu kelompok. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Mary (2014), minyak lavender yang ditetes diatas kertas tisu sebanyak 2 tetes pada 30 pasien OREF mampu mengurangi nyeri pasien secara signifikan dengan nilai p=0,000. Hasil perhitungan mean pada penelitian hari ke-4 Mary menunjukkan skala nyeri pretest

(5,23) dan post test (2,26) pada kelompok intervensi, sedangkan kelompok kontrol sebesar 5,86 pada pretest dan post test


(2)

sebesar 5,56. Hal ini berarti pasien post operasi fraktur mendapatkan manfaat dari aromaterapi lavender dalam mengurangi rasa nyeri secara efektif.

Penurunan nyeri sebenarnya akan terjadi secara berbeda-beda akibat kondisi seseorang. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi nyeri seseorang, misalnya kehadiran dan dukungan sosial dari keluarga (Potter & Perry, 2010). Berdasarkan tabel 7 nilai mean pretest

pada skala nyeri kelompok kontrol sebesar 4,93 dan post test sebesar 4,53, sedangkan hasil analisis uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan nilai pretest dan

postest didapatkan nilai p=0,014 yang berarti bahwa terdapat penurunan yang lebih baik pada skala nyeri kelompok kontrol. Penurunan skala nyeri ini kemungkinan terjadi karena kehadiran keluarga disamping responden. Penelitian ini dilakukan pada saat jam kunjungan pasien, sehingga perhatian pasien terhadap

rasa nyeri mungkin saja teralihkan oleh keluarga.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linton dan Shaw (2011), dukungan dan perhatian yang diberikan keluarga terhadap pasien yang mengalami nyeri akan berdampak pada persepsi nyeri pasien. Nyeri akan tetap dirasakan namun kehadiran keluarga atau orang terdekat akan membantu untuk meminimalkan stress atau nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2010).

Faktor lain yang juga mempengaruhi skala nyeri seseorang adalah analgesik. Pada penelitian ini skala nyeri dikontrol dengan analgesik seperti ketorolak yang telah diberikan oleh perawat pada pukul 08.00 WIB, sehingga pengukuran skala nyeri dilakukan pada waktu yang bersamaan (pukul 11.00 WIB-12.00 WIB). Ketorolak merupakan salah satu obat NSAID sebagai analgesik yang digunakan sejak 1990 pada pasien post operasi. Ketorolak digunakan dalam jangka waktu


(3)

kurang dari 5 hari untuk perawatan nyeri sedang hingga berat melalui intramuscular (IM), intravena (IV), atau oral. Pasien dengan usia <65 tahun diberikan dosis 30 mg IM dan IV setiap 6 jam (maksimum 120 mg per hari) (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia [ISFI], 2008; Ferdinand, Brahmi, & Sasongko, 2014). Ketorolak bekerja pada sistem saraf pusat dengan cara menghambat prostaglandin dan

kortisol yang berperan dalam sensasi nyeri. Keuntungan dari penggunaan ketorolak yaitu tidak menimbulkan depresi ventilasi atau kardiovaskuler. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus dilakukan untuk memastikan bahwa nyeri post operasi dapat diatasi dengan baik (Ferdinand, Brahmi, & Sasongko, 2014; Potter & Perry, 2010; Torrance & Serginson cit Satriya, 2014).

Diperlukan tindakan dari permasalahan yang berkaitan dengan intensitas nyeri, hal ini agar pasien dapat mengontrol rasa nyeri dan dapat

mendukung proses penyembuhan tulang dan luka serta membantu pasien untuk melakukan Activity Daily Living sesegera mungkin. Menurut Kusumayanti (2015), ketidakmampuan pasien dalam memenuhi ADL akibat rasa nyeri dirasakan pada lokasi pembedahan. Jika dibiarkan maka akan berdampak pada proses penyembuhan dan hospitalisasi yang lebih lama (Kusumayanti, 2015). Penanganan masalah ini diperlukan adanya kolabarosi pemberian terapi farmokologi dan terapi non farmakologi secara efektif.

Berdasarkan pembahasan di atas dan hasil penelitian dalam penelitian ini diketahui bahwa metode non farmakologi yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri adalah dengan kombinasi pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam yang diharapkan dapat menjadi terapi komplementer bagi pasien post operasi fraktur yang mengeluh nyeri.


(4)

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Responden pada penelitian ini mayoritas berusia dewasa muda, jenis kelamin perempuan, berasal dari Suku Jawa, beragama Islam, mengalami jenis fraktur tibia, penyebab fraktur kecelakaan lalu lintas, dan tidak ada riwayat fraktur dan operasi sebelumnya.

2. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap skala nyeri pada kelompok intervensi sebelum dan setelah perlakuan.

3. Terdapat perbedaan skala nyeri pre test dan post test pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan prosedur standar dari RS.

4. Tidak terdapat perbedaan skala nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum perlakuan. 5. Terdapat perbedaan skala nyeri antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah perlakuan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi Keperawatan

Perawat diharapkan dapat mengaplikasikan pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien post operasi fraktur sebagai bentuk manajemen terapi non farmakologi untuk membantu pasien mengontrol nyeri. Selain itu, terapi ini dapat dikolaborasikan dengan penggunaan terapi farmakologi yaitu analgesik untuk mendukung penyembuhan pasien.


(5)

2. Bagi RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta

Rumah Sakit diharapkan lebih mengembangkan pelayanan dan informasi mengenai nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas sehingga pasien lebih memahami bagaimana cara mengurangi rasa nyeri tidak hanya menggunakan obat analgesik, namun dapat menggunakan terapi relaksasi dan aromaterapi lavender.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat mengembangkan penelitian dengan memberikan aromaterapi lavender atau aromaterapi jenis lain seperti jahe yang dikombinasikan dengan teknik relaksasi nafas dalam selama 10 menit. Pengukuran skala nyeri dilakukan bukan pada jam kunjungan pasien.

DAFTAR RUJUKAN

1. Smeltzer, S. C., Bare. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2013). Brunner and Suddarth Textbook of Medical

Surgical Nursing edisi 11. Philadelphia: Lippincot Williams

& Wilkins.

2. American Academy Orthopaedic Surgeons. (2013). Distal

Radius Fracture (Broken Wrist). Diakses dari

http://orthoinfo.aaos.org/PDFs/A00412.pdf.

3. Depkes, RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010.

Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 4. Data rekam medik RS PKU Muhammadiyah Gamping

Yogyakarta. (2015). Jumlah pasien fraktur ekstremitas post

operasi bulan Januari – Oktober 2015.

5. UT Southwestern Medical Center. (2016). Fractures of The

Upper and Lower Extremities. Diakses melalui

http://www.utswmedicine.org/conditions- specialties/orthopaedics/specialties/trauma-fractures/upper-and-lower-extremities.html. Texas: The University of Texas Southwestern Medical Center.

6. Potter & Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental

Keperawatan (Konsep, Proses, dan Praktik). Jakarta: EGC.

7. International Association for the Study Of Pain. (2011).

IASP Sponsori Tahun Global Melawan Nyeri Akut. Diakses

melalui

http://www.iasp-pain.org/files/Content/ContentFolders/GlobalYearAgainstP ain2/20102011AcutePain/GYAAP_PR_Indonesian.pdf.

8. Sommer, M., J.M. de Rijke., M. Van Kleef., A.G.H. Kessels., M.L. Peters., J.W.J. Geurts., H.-F.Gramke., M.A.E. Marcus. (2008). The Prevalance of Postoperative Pain in A Sample of 1490 Surgical Inpatients. European

Journal of Anaesthesiology pp 267-274 volume 25. Diakses

dari

http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromP age=online&aid=1807808&fileId=S0265021507003031.

9. Kusumayanti, Ni Luh Putu Devi. (2015). Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lamanya Perawatan Pada Pasien Pasca Operasi Laparotomi di Instalasi Rawat Inap

BRSU Tabanan. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, Bali. ojs.unud.ac.id/index.php/coping/article/view/10812/8164.

10. Apley, A. Gaham. (2010). Buku Ajar Orthopedic dan

Fraktur Sistem Apply edisi Kesembilan. Jakarta: Widya

Medika.

11. Ayudianningsih, Novarizki Galuh, dkk. (2009). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta.Jurnal Keperawatan

Fakultas Ilmu Keperawatan UMS.

12. Sari, Wulan Purnama. (2014). Jurnal Keperawatan: Efektivitas Terapi Farmakologis dan Non-Farmakologis Terhadap Nyeri Haid (Disminore) pada Siswi XI di SMA

Negeri 1 Pemangkat.Universitas Tanjungpura Pontianak.

13. Koensoemardiyah. (2009). A-Z Aromaterapi untuk

Kesehatan, Kebugaran, dan Kecantikan.Yogyakarta: Lily

Publisher.

14. Yunita. (2010). Clinical Psychology. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.


(6)

15. Demir, Yurdanur. (2012). Non Pharmacological Treatment

in Pain Management pp 492-495. Diakses melalui

http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/26152.pdf

16. Mary, Caroline et al. (2014). Effect Of Aromatherapy On Physiological Parameters And Activites Of Daily Living Among Patients With External Fixators At A Selected Hospital In Chennai. Journal of Science vol 4 pp 407-411.

Diakses melalui

http://www.journalofscience.net/File_Folder/407-411(jos).pdf

17. Pratiwi, Ratna. (2012). Penurunan Intensitas Nyeri Akibat Luka Post Sectio Caesarea Setelah Dilakukan Latihan Teknik Relaksasi Pernapasan Menggunakan Aromaterapi Lavender di Rumah Sakit Al Islam Bandung. Jurnal KeperawatanUniversitas Padjajaran Bandung.

18. Dewi AP, IGA Prima. (2013). Aromaterapi Lavender sebagai Media Relaksasi. Jurnal Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.

19. Wahyuningsih, Marni. (2014). Efektivitas Aromaterapi Lavender (Lavandula Angustifolia) dan Massage Effleurage Terhadap Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase Aktif pada Primigravida di BPD Utami dan Ruang Ponek RSUD

Karanganyar. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Kusuma Husada Surakarta.

20. Swandari, Prita. (2014). Jurnal Kebidanan: Perbedaan

Tingkat Nyeri Sebelum dan Sesudah Pemberian

Aromatherapi Lavender pada Ibu Post Sectio Caesarea di

RSUD Ambarawa. Diploma IV Kebidanan STIKES Ngudi

Waluyo Ungaran.

21. Bangun, Argi Virgona, dkk. (2013). Pengaruh Aromaterapi Lavender Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Pasca Bedah Di Rumah Sakit Dustira Cimahi. Jurnal Keperawatan Soedirman Volume 8, No.2, Juli 2013.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jendral Achmad Yani Cimahi.

22. Koulivand, Peir Hossein., Ghadiri, Maryam Khaleghi., Gorji, Ali. (2013). Lavender and The Nervous System.

JournalEvidence-Based Complementary and Alternative

Medicine. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2016 melalui

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3612440/.

23. Arfa, Muhammad. (2014). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Post-Operasi Apendisitis di Ruangan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi.

Aloei Saboe Kota Gorontalo. Tesis. Universitas Negeri

Gorontalo.

24. Margono. (2014). Efektifitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Peningkatan Adaptasi Regulator Tubuh Untuk Menurunkan Nyeri Pasien Post Operasi Fraktur di Rumah Sakit Ortopedi Soeharso Surakarta. Jurnal Ilmu Kesehatan

Vol. 1 No. 1 November 2014. Magelang : Program Studi

Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Magelang.

Diakses melalui

http://203.130.238.225:46247/public/document/penelitian/4 0116-penelitian-2014.pdf.

25. Linton & Shaw. (2011). Impact of Psychological Factors in

the Experience of Pain. Diakses pada tanggal 8Maret 2016

melalui http://ptjournal.apta.org/content/91/5/700.full.

26. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. (2008). Informasi Spesialite Obat Indonesia, Edisi farmakoterapi, Vol. XLI. Jakarta: PT. ISFI.

27. Ferdinand, Jerry., Brahmi, Nur Hajriya., Sasongko, Himawan. (2014). Pengaruh Pemberian Ketorolak dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Tikus Wistar. Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014.

Diakses melalui http://janesti.com/journal/view/article/122. 28. Satriya, Yunuzul Demo. (2014). Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Cruris di RSUD

Dr. Moewardi. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan


Dokumen yang terkait

PENGARUH RELAKSASI BENSON TERHADAP NYERI PADA PASIEN POST SECTIO CAESAREA DI RS PKU MUHAMMADIYAH BANTUL YOGYAKARTA

0 4 93

PENGARUH TEKNIK NAFAS DALAM DAN MURROTTAL TERHADAP SKALA NYERI SESUDAH PERAWATAN LUKA PADA PASIEN POST OPERASI DI RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

7 44 128

Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Laki dan Perempuan Post Operasi

0 4 9

PENGARUH PEMBERIAN MUROTTAL AL-QUR’AN TERHADAPTINGKAT NYERI PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS DI RUMAH Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Di Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta.

4 16 13

TERDAPAT PENGARUH PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP TINGKAT NYERI PADA PASIEN POST OPERASI DENGAN ANESTESI UMUM DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

0 3 9

PENGARUH TEKNIK DISTRAKSI RELAKSASI TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI DI PKU MUHAMMADIYAHGOMBONG

0 1 8

Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Fraktur

2 4 5

PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR DI RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Terapi Musik Klasik terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur di RS PKU Muhammadiyah Yo

0 0 13

NASKAH PUBLIKASI PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI LAVENDER TERHADAP KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DENGAN GENERAL ANESTESI DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

0 1 11

PENERAPAN DISTRAKSI RELAKSASI AROMATERAPI LAVENDER UNTUK MENGURANGI NYERI AKUT PADA PASIEN POST OPERASI APPENDIX DI RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG - Elib Repository

0 1 44