POLA RELASI EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF PADA PENYUSUNAN LEGISLASI DAERAH (STUDI DI PEMBAHASAN APBD KABUPATEN BURU SELATAN 2015)

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Desember merupakan bulan Politik Anggaran, begitulah istilah yang seringkali digunakan untuk menggambarkan interaksi aktor politik daerah. Akhir bulan Desember adalah babak akhir dari pertulangan para aktor politik dalam melakukan pertarungan baik itu kepentingan politik, kepentingan ekonomi maupun kepentingan konstituen. Sejatinya, praktek desentralisasi politik anggaran bukan memperkuat model check and balances antara eksekutif dan legislatif daerah, namun sebaliknya menjadi arena perebutan konstetasi kepentingan bagi kedua aktor politik dalam melakukan perumusan kebijakan penganggaran. Maka untuk mempertahankan kepentingannya dalam merebutkan sumber-sumber anggaran daerah, legislatif seringkali menggunakan dalil-dalil prosedural, efektif dan efisien yang sesuai dengan logika perundang-undangan yang berlaku. Proses tersebut


(2)

2

kemudian menjadi praktek-praktek oportunistik aktor politik untuk mencapai kepentingannya sendiri.

Interaksi aktor elit politik daerah pada realitasnya, setiap pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah selalu memunculkan konflik kepentingan antara agen atau aktor karena perilaku penyimpangan yaitu sikap pragmatis untuk menggunakan penganggaran guna menarik simpati konstituen dan memaksimalkan popularitas diri dalam menghadapi demokrasi elektoral nanti. Di aspek lain, pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja daerah (APBD) merupakan suatu tahapan proses yang sangat sulit dan sarat dengan nilai-nilai politis. Apalagi Ruang konsultasi publik bersifat sangat tertutup maka dalam mengalokasikan anggaran untuk kepentingan konstituennya.

Pelaksanaan Desentralisasi ini berimplikasi pada perubahan peta politik daerah yang sangat mendasar yaitu hubungan relasi elit antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif) dalam mengelola sumber daya Alam (SDM) atau kekayaan daerah.


(3)

3

Tahapan penyusunan dan alokasi sumber daya yang membutuhkan anggaran. Sehingga memunculkan kurang lebih dua paradigma yang mengindikasikan adanya konflik sebagai Principil. Dalam hubungannya dengan rakyat, dan pihak legislatif sebagai agen yang membela kepentingan rakyat.

Sedangkan Menurut (Abdullah, 2006) bahwa kondisi dan situasi powerful yang dimiliki legislatif menyebabkan tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar, sehingga membuat eksekutif sulit menolak “rekomendasi” legislatif dalam pengalokasian sumberdaya yang memberikan keuntungan kepada legislatif, yang akan menyebabkan outcome anggaran dalam bentuk pelayanan publik mengalami distorsi dan merugikan publik. Dengan demikian, meskipun penganggaran merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk mengurangi oportunisme agen. kenyataannya dalam proses pengalokasian sumberdaya selalu muncul konflik. Dugaan adanya misalokasi dalam anggaran


(4)

4

karena politisi memiliki kepentingan pribadi dalam penganggaran.

Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan sebuah proses yang cukup rumit dan mengandung muatan politis yang cukup signifikan (Abdullah dan asmara, 2006). Proses pengalokasian dalam anggaran merupakan ruang bagi legislatif atau DPRD untuk memasukkan kepentingan konstituen yang diwakilinya. Disisi lain sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pejabat eksekutif lebih dominan dan memiliki wewenang serta tanggung jawab yang lebih besar dalam menyusun APBD. Eksekutif juga memiliki power yang lebih besar karena memiliki pemahaman terhadap birokrasi dan administrasi, seluruh aturan dan perundang-undangan yang melandasinya serta hubungan langsung dengan masyarakat yang telah berlangsung dalam waktu lama mengakibatkan penguasaan informasi eksekutif lebih baik dari pada legislatif (Florensia, 2009). Selain lebih dominan dalam proses penyusunan anggaran, pejabat eksekutif juga


(5)

5

bertindak sebagai pelaksana anggaran, sehingga memiliki informasi keuangan yang lebih baik dibanding pejabat legislatif. Hal inilah yang memberi peluang kepada penyusun anggaran baik legislatif maupun eksekutif untuk berperilaku oportunistik. Perilaku oportunistik ini merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal kepentingan di antara Actors.

Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahannya dikenal ada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah yang merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintah nasional memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga ini di dalamnya terkandung 3 (tiga) hal utama yaitu Pertama, pemberian tugas dan wewenang untuk menyelesaikan sesuatu kewenangan yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif, dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaaian


(6)

6

tugas tersebut. Ketiga, dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan tersebut, mengikutsertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Setya Retnami: 2000: 1).

Penyelenggaran pemerintahan di daerah yaitu terdiri dari Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakat Daerah (DPRD). Di dalam negara kesatuan atau sering juga disebut sebagai negara Unitaris, Unitary adalah negara tunggal (satu negara) yang monosentris (berpusat satu) terdiri hanya satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, satu badan legislatif yang berlaku bagi seluruh wilayah negara bersangkutan. Dalam melakukan aktifitas keluar maupun kedalam, diurus oleh satu pemerintahan yang merupakan langkah kesatuan, baik pemerintah pusat maupun daerah. (Budi sudjijono: 2003: 1). Senada dengan apa yang di sampaikan oleh Abdurrahman (1987: 5). Bahwa Negara kesatuan adalah Negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu pemerintah pusat. Sedangkan menurut


(7)

7

Sri Soemantri adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonomi bukanlah hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, akan tetapi karena masalah itu merupakan hakekat negara kesatuan.(Sri Soemantri: 1981: 17).

Pola Relasi dalam penyelengaraan pemerintahan daerah dan DPRD, kedua organ pemerintahan daerah tersebut mempunyai kedudukan yang sejajar dan menjadi mitra hubungan kerja (Hubungan kewenangan). DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki fungsi pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah. (Siswanto Sunarno: 2008: 67).

Dari sekian banyak jenis hubungan dan wewenang antara DPRD dengan Kepala Daerah tersebut diatur dalam


(8)

8

peraturan perundang-undangan, sehingga terlihat bahwa Kepala Daerah bukan merupakan penguasa tunggal di daerah, karena penyelenggara pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD, hal ini diharapkan agar tercipta iklim demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kemudian terjadi check and balance, gambaran tersebut dapat diklarifikasikan menjadi tiga jenis hubungan, yaitu hubungan kemitraan (partnership), dan hubungan anggaran (budgeting), seperti halnya hubungan antara DPR dengan Presiden pada Pemerintah Pusat (Astawa: 2008: 112). Atas dasar pola hubungan antara elit lokal dalam pelaksanaan pembentukan produk legislasi daerah, pada prakteknya di kehidupan demokrasi modern sebagai lembaga demokrasi mempunyai fungsi yang sentral untuk menjewantahkan mandat kedaulatan rakyat. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa lembaga DPRD merupakan wadah yang ideal untuk menyalurkan segala kebutuhan demi kesejahteraan rakyat secara kolektif. Sehingga kepala daerah sebagai lembaga eksekutif dapat mengimplementasikan kebijakan publik yang sudah


(9)

9

ditetapkan oleh lembaga legislatif sebagai cerminan kehendak rakyat di daerah.

Secara umum DPRD mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu: fungsi perwakilan, fungsi pembuatan kebijakan (legislasi), dan fungsi pengawasan. Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi legislasi dinilai oleh banyak kalangan sebagai fungsi yang paling sedikit (kurang) mendapat perhatian dari para anggota dewan. Untuk dapat melaksanakan fungsi ini dengan baik memang sangat diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap persoalan yang dihadapi, wawasan yang luas, dan tentu saja kemampuan teknis yang memadai. Selain itu tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk dapat menghasilkan suatu produk legislasi yang berkualitas, memerlukan proses yang tidak gampang (Wismar E, 2004). Sedangkan Menurut Marbun (2005: 08) bahwa berdasarkan pada UU No.32 tahun 2004 sera perubahan UU No.12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pasal 19 dijelaskan bahwa dalam Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dalam tugasnya DPRD tidak menjadi satu


(10)

10

dengan kepala daerah tetapi DPRD dipisahkan dari Kepala Daerah. Kedudukan DPRD, Kabupaten/ Kota merupakan lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah kabupaten/ kota.

Sehingga Pola hubungan elit lokal antara dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), pemerintah daerah (Pemda), dan kelompok interest group (kelompok kepentingan), memiliki peranan yang sangat strategis karena peranan yang di mainkan dalam mengontrol segala kebijakan legislasi daerah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kontrol yang dilakukan merupakan bentuk relasi untuk mengawasi arak kebijakan, produk legislasi daerah, dan pembangunan nasional maupun daerah demi kesejahteraan masyarakat secara kolektif. Para elit lokal terpolarisasi dari keberagaman yang direkrut melalui partai politik dan terpilih melalui proses pemilihan umum. Mandat rakyat di emban di lembaga legislastif atau yang lebih di kenal sebagai dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).


(11)

11

Pola hubungan elit politik lokal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlihat dari aktivitas tugas dan fungsinya, yakni sebagai pemberi legislasi, menetapkan anggaran yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta sebagai kelompok yang mampu memberikan kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai pemberi legitimasi, elit politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilihat dari perannya dalam membuat peraturan daerah (Perda), sebagai pemberi legitimasi mereka juga memiliki kepentingan dalam menetapkan anggaran terutama dalam menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta dapat melakukan kontrol (pengawasan) terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pada hakekatnya fungsi utama dari legilatif adalah membuat Undang-Undang (legislasi), hal ini juga sejalan dengan fungsi-fungsi yang lain seperti fungsi pengawasan (controlling) juga merupakan bagian dari fungsi legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya


(12)

12

terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Begitu juga fungsi anggaran (budgeting) yang merupakan sebagian dari fungsi legislasi karena untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga ditetapkan dengan Peraturan Daerah APBD setiap tahun anggaran. (Arbit Sani: 1984: 48-52).

Ada beberapa persoalan yang menjadi sorotan terhadap kinerja DPRD antara lain. Pertama, DPRD hanya berfungsi sebagai lembaga pengawasan, sementara fungsi legislasi daerah tidak pernah dijalankan oleh DPRD. Kedua, adanya kecenderungan anggota DPRD merendahkan martabat dirinya dari posisi terhormat menjadi sekedar profesi, yang tercermin dalam antusiasme tanpa henti dalam menetapkan honor untuk dirinya. Yang terasa ganjil adalah berkaitan dengan anggaran DPRD yang dikelola dan dirancang langsung oleh DPRD, namun dimasukan kedalam bagian pengeluaran APBD. Anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang


(13)

13

dijalankan oleh pemerintah daerah harus dipertanggungjawabkan kepada DPRD. Mestinya anggaran yang dirancang dan dikelola langsung oleh DPRD juga dipertanggungjawabkan oleh DPRD. Kepada siapa Dewan Perwakilan rakyat daerah (DPRD) harus mempertanggungjawabkan memang belum di atur oleh UU. Ketiga, masih terdapat kelemahan moralitas, pengetahuan, dan visi pada sebagian besar anggota Dewan Perwakilan rakyat daerah (DPRD). (Haryadi: 2003: 157). Sedangkan menurut Sirajudin, dkk (2008: 85) bahwa kedudukan dan peranana DPRD dalam UU Otonomi daerah sering menjadi sasaran dan sumber kontroversi. Alasannya karena yang mendasari bermacam-macam, salah satunya karena DPRD tidak lagi memperjungakan kepentingan-kepentingan konstituennya yang memberikan legitimasi kekuasaan.

Ada beberapa persoalan mendasar dalam pelaksanaan fungsi legislasi daerah di Kabupaten Buru Selatan yaitu Pertama, pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 telah merubah komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat


(14)

14

daerah (DPRD) Kabupaten Buru Selatan yaitu anggota DPRD hasil pemilu legislatif 2009 nyaris tidak ada partai politik yang dominan sehingga terjadi polarisasi kekuatan politik yang harmonis dan damai. Sedangkan hasil pemilu 2014 telah terjadi perubahan keanggotaan dewan di Kabupaten Buru Selatan yang di dominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Partai Demokrat dan Partai Amanat nasional (PAN). Sehingga terjadi pola kekuatan baru dan tidak permanen, akibatnya terjadi kurangnya harmonis pola hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Kabupaten Buru Selatan dan Pemerintah daerah (Pemda) dalam melaksanakan pembahasan APBD Tahun 2015.

Tabel 1.1 Hasil Pemilu DPRD di Buru Selatan 2014

No Partai Politik Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase

(1) (2) (3)

1 PDI Perjuangan 3 1 4 20

2 Partai Demokrat 3 0 3 15

3 Partai Amanat Nasional

3 0 3 15

4 Partai Gerindra 3 0 3 15

5 Partai NasDem 2 0 2 10


(15)

15

No Partai Politik Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase Pembangunan

7 Partai Golkar 1 0 1 5

8 Partai Kebangkitan Bangsa

1 0 1 5

9 Partai Keadilan Sejahtera

1 0 1 5

10 Partai Hanura 1 0 1 5

Total Keseluruhan 19 1 20 100

Sumber: Sekretariat DPRD Kabupaten Buru Selatan dan KPUD Buru selatan tahun 2014

Dengan komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buru Selatan hasil pemilihan legislatif 2014 yang berasal dari multipartai dan lebih pluralistik. Dampaknya muncul masalah antara Bupati dan anggota DPRD baru terpilih dalam proses pembahasan Anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) tahun anggaran 2015 dimana anggota DPRD baru terpilih belum memiliki pengalaman atau keterampilan. Dilain pihak Bupati harus bertanggung jawab kepada anggota DPRD. Di tahun terakhir masa jabatan Bupati Tagob Sudarsono Soulissa dan wakil bupati Burce Saleky mengalami masalah teknis dengan anggota DPRD yang tak cukup mempunyai pengalaman atau “Keterampilan” dalam melakukan pembahasan APBD Buru


(16)

16

Selatan tahun 2015 yang mengakibat keterlambatan berlarut-larut dan belum ada titik temu penganggran APBD 2015.

Biaya mahal pada pemilu 2014, menjadi alasan bagi anggota DPRD Buru Selatan untuk menggunakan Anggaran APBD untuk kebutuhan politik pasca kontestasi elekoral. Fenomena perdebatan antara Pemerintah Kabupaten Buru Selatan dan DPRD dalam Pembahasan APBD tahun 2015, di mana anggaran berada dalam kendali elit lokal dan tidak tersentuh oleh warga sehingga perdebatan di tingkat RKA-SKPD menjadi modus opotunistik para anggota untuk melakukan perilaku-perilaku yang menyimpang dan tidak berdasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas dalam melakukan pembahasan anggaran publik.

Kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu Perda bersifat insentil dan Perda yang bersifat rutin. Perda yang bersifat insentil adalah Perda Non APBD, sedangkan Perda yang bersifat rutin dinamakan perda APBD.(B.N Marbun: 1983: 162).


(17)

17

APBD merupakan proses anggaran di sektor publik sudah sepantasnya menjadi prioritas dan menjadi perhatian bagi pemerintah daerah. Keterlambatan dalam penetapan APBD apabila terus terjadi akan menjadi patologi-patologi legislasi yang akan terus secara berlanjut maka akan berimplikasi pada terhambatnya pembangunan daerah. Sehingga pemerintah daerah serta DPRD berupaya untuk mengatasi pengaruh keterlambatan pada pembahasan pada tingakat Rencana Kerja Anggaran (RKA) akan mempengaruhi ketermlabatan pada penetapan dan pengesahan legislasi daerah. Keterlambatan dalam penyusunan APBD akan dapat mengakibatkan lambannyannya penetapan anggaran untuk di undangkan menjadi peraturan daerah (Perda). Akibat keterlambatan ini ialah berupa sangsi penundaan penyaluran dana perimbangan bahkan hingga potongan anggaran.


(18)

18

Tabel 1.2 Penetapan APBD Kabupaten Buru Selatan NO Perda APBD Diundangkan Ditetapkan Batas Waktu 1 Nomor 01 Tahun

2010

12 Nopember 2010

12 Nopember 2010

31 Desember 2010

2 Nomor 01 Tahun 2011

08 Januari 2011

31 Desember 2012

3 Nomor 30 Tahun 2012

24 Nopember 2012

24 Nopember 2012

31 Desember 2012

4 Nomor 01 Tahun 2013

25 Januari 2013 25 Januari 2013

31 Desember 2013

5 Nomor 01 Tahun 2014

18 Januari 2014 18 Januari 2014

31 Desember 2014

6 Nomor 01 Tahun 2015

20 Januari 2015 20 Januari 2015

31 Desember 2015

Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Buru Selatan

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mempunyai peran yang sangat penting dalam menyusun prioritas perencanaan pembangunan daerah. Maka akibat keterlambatan dalam penetapan APBD Buru Selatan pada Enam tahun terakhir akan sangat berdampak pada pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah menjadi tidak efektif dan efisien. Sehingga faktor keterlambatan penetapan anggaran karena kurangnya komitmen dan kompeten tentang proses pembahasan APBD. ataukah faktor lain yang dapat di analisis yaitu faktor komunikasi dan koordinasi antara eksekutif- legislatif yang


(19)

19

kurang mampu membangunan mitra kerja yang harmonis karena kurangnya ruang-ruang publik baik secara formal maupun informal.

Sejak Kabupaten Buru Selatan diimplementasikan menjadi daerah otonomi baru pada tahun 2008 pola hubungan eksekutif dan legislatif telah terjadi berulang-ulang proses keterlambatan Penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Banyaknya fenomena keterlambatan/tidak aspiratif tersebut dikarenakan proses pembahasannya yang elitis.sifat elitisme ini ditunjukan dengan adanya perilaku aktor-aktor yang terlimbat dalam pembahasan APBD Buru Selatan tahun 2015 yaitu Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (Legislatif) yang sangat lamban dalam menetapkan anggaran daerah untuk di undangkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Karena dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Buru Selatan menjadi acuan dan dasar hukum tetap Pemerintah daerah dalam menjalankan program-program pembangunan untuk pagu anggaran satu tahun.


(20)

20

Keterlambatan penetapan karena pola hubungan elit lokal yaitu antara legislatif dan eksekutif masih berbeda persepsi yaitu: Menurut ketua DPRD Buru Selatan Arkilaus Solissa menegaskan pembahasan APBD tahun anggran 2015 tidak ada penetapan jika pemerintah daerah (pemda) belum menyerahkan dokumen Rencana Kerja anggran (RKA) yang harusnya diserahkan oleh pemerintah kabupaten buru selatan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas secara bersama-sama. Sebab Rencana Kerja Anggaran (RKA) menjadi acuan sekaligus prinsip dalam pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Landasannya tertuang di Permendagri No 21 Tahun 2011 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah pasal 106 ayat 1 yaitu ”Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (3C) tidak menetapkan persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya”. Senada dengan apa yang


(21)

21

disampaikan oleh anggota DPRD Buru Selatan dari Fraksi PAN yaitu Thaib Souwakil bahwa hingga kini dewan belum menerima dokumen Rencana Kerja Anggaran (RKA) untuk di bahas di tingkat badan anggaran karena menurutnya DPRD tidak mau membahas perencaaan Angggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tanpa dokumen-dokumen sebagai standar Operasional tidak ada RKA yang menjadi objek pembahasan APBD tahun 2015.

Interaksi aktor politik daerah sudah kelihatan dari pembahasan APBD Tahap III selalu di warnai pengaruh dari fraksi dan komisi di DPRD Kabupaten Buru Selatan. Sehingga berdampak pada pola interaksi antara pemerintah daerah dan DPRD, dalam kaitannya dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Buru Selatan ketika melakukan pembahasan APBD Tahun 2015. Kekuatan politik yang di miliki oleh tiap fraksi tidak mampu mengimbangi wewenang pemerintah daerah sehingga interaksi yang terjadi ketika membahasan rancangan APBD tidak seimbang. Aspek lain yang harus di tinjau pada pembahasan APBD Buru Selatan tahun 2015


(22)

22

yaitu, Peratma, perbedaan persepsi antara pemerintah daerah dan DPRD tentang wewenang masing-masing ketika membahas rancangan APBD dan perbedaan persepsi internal DPRD yang mengarah pada pengotak internal dalam DPRD Buru Selatan. Kedua, keterbatasan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kelembagaan DPRD dalam memahami proses dan materi penganggaran daerah serta kontravensi DPRD. Ketiga, perbedaan persepsi antara pemerintah daerah dengan DPRD Buru Selatan ini dalam perkembangannya dapat menjadi kontravensi (pertentangan tertutup) yang di landasi oleh sikap ketidakpercayaan.

Sehingga solusi yang dilakukan dalam mengatasi kesenjangan antara eksekutif dan legislatif dengan melakukan komunikasi dan koordinasi yang intensif dari Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kabupaten Buru Selatan. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Gubernur Maluku, Said Assagaff telah melayangkan surat kepada Bupati Buru Selatan Tagop Sudarsono Soulissa. Surat Gubernur tertanggal 16 Januari 2015 No: 170/122/ untuk


(23)

23

menindak lanjuti surat Menteri dalam Negeri RI No: 902/3224/SJ/ tanggal 24 Juni 2014 pasca putusan Mahkamah Konstitusi Surat gubernur itu juga ditembuskan ke DPRD Kabupaten Buru Selatan. Surat dilayangkan oleh Gubernur Maluku untuk berkaitan dengan belum rampungnya pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan tahun 2015. Surat Gubernur Maluku membalas surat Bupati Buru Selatan No: 902/21/tanggal 14 Januari 2015, berkaitan dengan pem-bahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2015 antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buru Selatan dengan DPRD yang sampai saat ini belum mendapatkan kesepakatan penetapan APBD tahun 2015 untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Oleh karena itu, berdasarkan surat yang di sampikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kepada Para Gubernur dan Walikota/Bupati seluruh Indonesia dalam rangka pembahasan APBN tahun 2014, sehingga ada beberapa poin penting yang di sampaikan yaitu:


(24)

24

Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No: 35/PUU-XI/2013 yang membatalkan kewenangan DPR dalam pembahasan APBN secara rinci hingga tingkat kegiatan dan belanja satuan (Satuan Tiga) serta kewenangan dalam pembintangan anggranan dan memperhatikan hasil sidang kabinet paripurna tanggal 4 juni 2014, sekretaris kabinet menegaskan bahwa para pejabat pemerintah daerah di wajibkan untuk: (a). Mematuhi dan melaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No: 35/PUU-XI/2013 dalam melaksanakan pembahasan APBD dengan DPRD. (b). Tidak melakukan upaya pendekatan/ lobi dengan oknum Anggota DPRD tertentu dalam upaya meningkatkan anggaran dan tidak meminta bantuan kepada oknum Anggota DPRD tertentu untuk dapat mencegah penghematan dan pemotongan anggaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam rangka pengendalian dan pengamanan pelaksanaan APBD.


(25)

25

Oleh sebab itu Gubernur Maluku, Said Assagaf dalam suratnya menjelaskan beberapa hal, yaitu:

Pertama Sesuai ketentuan peraturan Perundangan-Undangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota maka dibentuk alat kelengkapan dewan (AKD) yang termaktub dalam tentang Tata Tertib (Tatib) DPRD. Kedua, Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 35/PUU-XI/2013 yang menerangkan ketika DPR melalui Badan Anggaran memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga), maka pada saat itu DPR telah melewati kewenangan dalam melakukan fungsi anggaran dan telah terlalu jauh memasuki pelaksanaan perencanaan anggaran yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif. Ketiga Surat Edaran Mendagri No: 903/5671/SJ/tanggal 19 Oktober 2014, perihal Penetapan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2014 dan APBD tahun 2015 terkait pergantian Anggota DPRD masa bakti 2009-2014, secara tegas menjelaskan


(26)

26

bahwa untuk menjamin kepastian dan keberlangsungan penetapan APBD sesuai pasal 52 Peraturan Pemerintah No: 58 tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang pada intinya menyebutkan bahwa: apabila Badan Anggaran DPRD belum terbentuk, Pimpinan DPRD sementara dapat memberikan persetujuan bersama terhadap Rapedra APBD tahun anggaran 2014 dan penyempurnaan hasil evaluasi dilakukan oleh ke-pala daerah bersama pimpinan DPRD definitif. Terhadap putusan MK dan surat edaran Mendagri maka kewenangan untuk membahas kegiatan dan jenis belanja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan mekanisme pembahasan perubahan APBD tahun 2014 dan APBD 2015 tidak dilakukan pada Badan Anggaran sepanjang Badan Anggaran DPRD belum terbentuk. (kabartimur.co.id Di akses pada hari jumat 05/03/2015).


(27)

27

Dari sini terlihat bahwa permasalahan yang mendasari keterlamabatan pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015, selain kurang transparannya pemerintah daerah sehingga berimplikasi terhadap sedikitnya waktu pembahasan juga di karenakan ketidakmampuan Panitia Anggaran DPRD Kabupaten Buru Selatan dalam memahami RKA-SKPD. Pola interaksi antar aktor politik lokal yaitu komisi dan fraksi juga tak terlepas untuk memperjuangankan agar dapat dimasukan dalam penganggaran daerah yang cenderung bersifat politik karena berkaitan dengan kelompok pendukung dan konstituennya.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Buru selatan tahun 2014-2019 merupakan representasi dari masyarakat buru selatan, sebagai wakil rakyat di tuntut harus menguasai secara teknis materi dan bahasa hukum dalam peraturan daerah dan harus membangun pola relasi kerja yang harmonis serta berkelajutan dalam melaksanakan pembahasan APBD tahun 2015. karena itu merupakan salah satu hal yang


(28)

28

mendasar dalam melaksanakan fungsi legislasi. Selama lima tahun sebagai wakil rakyat mulai dari pembahasan sampai di paripurnakan menjadi peraturan daerah. Dari pola hubungan dalam pembahasan peraturan daerah sebagian merupakan usulan dari pihak eksekutif masalah ini disebabkan karena kurangnya kemampuan anggota DPRD pada umumnya tentang ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pemhasan APBD Tahun 2015 baik secara materi maupun secara teknis dan ketepatan waktu dalam pembahasan jarang sesuai dengan penetapan waktu pembahasan.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola relasi eksekutif dan Legislatif pada proses pembuatan legislasi daerah di Kabupaten Buru Selatan tahun 2015?


(29)

29

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola relasi Eksekutif dan Legislatif pada pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan tahun 2015?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas maka secara umum peneliti bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis tentang Pola Relasi Elit Lokal melalui proses pembuatan produk legislasi daerah pada

pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan tahun 2015. Adapun maksud dan tujuan secara khusus penelitian ini yaitu:

1. Untuk menganalisis dan menggambarkan pola relasi Eksekutif dan Legislatif pada proses pembuatan produk legislasi daerah pada pembahsan APBD Tahun 2015 di Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015. 2. Untuk menganalisis dan menggambarkan


(30)

30

dan Legislatif dalam melakukan pembahasan APBD Buru Selatan tahun 2015 untuk menciptakan produk legislasi daerah yang dapat di pertanggungjawa

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis

1. Untuk memberikan masukan pada para akademisi dalam menambah kontribusi terhadap pengembangan literatur Politik legislasi terutama dalam pengembangan kapasitas dalam memahami dan mengetahuan tentang proses pembahasan produk legislasi dan dapat di gunakan untuk peneliti selanjutnya.

2. Memperkaya Khasanah kajian-kajian ilmu legislasi dari perspektif politik yang masih minim minat untuk mengkaji dinamika pola hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam melakukan analisis tentang Legislative Drafting.


(31)

31 1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi pemerintah daerah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan dalam melaksanakan otonomi daerah, khususnya dalam peningkatan kinerja DPRD yang berkaitan dengan pengawasan anggaran (APBD) untuk mewujudkan good government (pemerintah yang baik), dan dapat dijadikan acuan bagi partai politik dalam merekrut anggota DPRD serta pengembangan kader partai. 2. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat

dijadikan sebagai bahan referensi atau bukti empiris mengenai pengaruh partisipasi mayarakat dan transparansi kebijakan publik terhadap hubungan antara eksekutif (Pemkab) dengan legislatif (DPRD) Dalam melakukan pembahasan angaran pendapatan belanja daerah (APBD).


(32)

32

BAB II

TINJAUAN TEORI

II.1

Kajian Pustaka

Dalam setiap melakukan penelitian yaitu kajian pustaka mempunyai fungsi membantu penentuan tujuan dan alat penelitian dengan memilih konsep-konsep yang tepat. Kajian pustaka digunakan sebagai kerangka dasar dalam melakukan analisis terhadap permsalahan yang akan di teliti. Sehingga pada dasarnya sangat penting dalam melakukan kajian pustaka karena mempunyai fungsi untuk menjelaskan hubungan yang akan dipergunakan untuk menjelaskan gejala dan permasalahan yang akan di teliti dengan kajian yang sudah di lakukan terhadap literatur penelitian untuk membedakan dengan objek kajian yang sekarang. Sehingga pada bab ini membuat uraian secara sistematis tentang hasil penelitian terdahulu tentang persoalan yang akan di kaji dalam penelitian. Adapun hasil-hasil penelitian terdahulu anatara lain:

Sementara hasil Penelitian yang dilakukan oleh Ida Ayu Gede Sutha Megasari (2015). Dengan judul tesis “Pengaruh


(33)

33

Pendapatan Asli Daerah, selisih lebih perhitungan anggaran dan flypaper effect pada perilaku oportunistik penyusun anggaran”. Adapun hasil penelitian dapat di uraikan sebagai berikut: (1). Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh negatif pada perilaku oportunistik penyusun Anggaran Kabupaten/Kota di Bali, hal ini bermakna bahwa semakin rendah jumlah PAD Kabupaten/Kota di Bali, maka akan menyebabkan perilaku oportunistik penyusun anggaran yang semakin tinggi. (2). Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Bali, hal ini bermakna bahwa semakin tinggi SiLPA Kabupaten/Kota di Bali, maka akan menyebabkan perilaku oportunistik penyusun anggaran yang semakin tinggi. (3). Flypaper effect berpengaruh negatif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Bali, hal ini bermakna bahwa, semakin rendah jumlah Flypaper effect yang terjadi di Kabupaten/Kota di Bali, maka akan menyebabkan perilaku oportunistik penyusun anggaran yang semakin tinggi.


(34)

34

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sulton Siklus (2014) dengan judul “Politik Anggaran di Kabupaten Ponorogo (Studi Kasus Dana Hibah dan Bantuan Sosial APBD 2013)”. Hasil penelitian yang ditemukan yaitu, (1). Sikap oportunis dapat mendorong keduanya menggunakan kebijakan ekspansif fiskal pra-pemilu sesuai kepentingan politiknya, sehingga dana hibah-bansos menjadi arena kontestasi kepentingan masing-masing. Fenomena loby, bargaining, kompromi, manipulasi, manuver dan tekanan politik, dominasi, pemangkasan, serta pengambilan keputusan tertutup menjadi aktivitas utama yang melingkupi keputusan alokasi anggaran dimaksud. (2). Modus penyimpangan umumnya berupa pemberian bantuan tanpa pengajuan, melebihi alokasi, pemotongan bantuan, tidak adanya pertanggungjawaban penggunaan, dan proposal atau bantuan fiktif. Hal ini terjadi karena adanya korupsi politik, yaitu unsur ekspliotasi politik yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif daerah dalam upaya memperoleh keuntungan politik sehingga memberikan dampak bagi keadaan politik maupun ekonomi negara. berlaku. (3). Agar anggaran dapat berfungsi maksimal, maka dalam pengalokasian


(35)

35

dana hibah-bansos hendaknya memprioritaskan kebutuhan dasar masyarakat, karena anggaran pada dasarnya adalah “alat perjuangan” kolektif masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dan juga sebagai sumber daya agar mampu meraih kemakmuran dan kesejahteraan bersama. memperjelas dan mempertegas peraturan daerah yang menjadi landasan teknis pelaksanaannya.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andi Ilham (2014), dengan judul yaitu sebagai berikut, “Hubungan legislatif eksekutif dalam Proses pembuatan perda APBD tahun 2013 Provinsi Sulawesi Selatan”. Berdarakan hasil penelitian dapat di simpulkan sebagai berikut: (1) Dalam proses pembuatan perda APBD ini banyak kendala yang dialami baik oleh DPRD maupun Pemerintah Daerah. kewenangan yang telah diberikan UU pada kedua institusi ini masih terlihat tumpang tindih dalam prakteknya, terlihat kurangnya koordinasi diantara kedua institusi tersebut. (2) Buruknya koordinasi antara DPRD dan Pemerintah Daerah membuat penyerahan naskah APBD diberikan akhir November dimana idealnya pada bulan September mengakibatkan pembahasan APBD molor dan untuk tidak kena


(36)

36

penalty berupa pengurangan 25% DAU dari Mendagri pembahasannya dipercepat agar seseuai aturan.

Sedangkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Muh Irvan Nur Iva (2014), dengan judul yaitu “Proses Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (R-APBD) Tahun 2013 Kota Pare-Pare”. Oleh karenanya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat di simpulkan bahwa sebagai berikut: (1) Keterlambatan naskah APBD diserahkan kepada DPRD oleh pemerintah, dimana idealnya pada bulan September 2012 mengalami keterlambatan hingga pertengahan Januari 2013, hal ini berimplikasi pada pembahasan yang tidak efektif dan terkesan terburu-buru.(2) Buruknya koordinasi antara DPRD dan Pemerintah Daerah membuat penyerahan naskah APBD diberikan awal Januari dimana idealnya pada bulan September mengakibatkan pembahasan APBD mengalami keterlambatan dan untuk tidak kena berupa pengurangan 25% DAU dari Mendagri pembahasannya dipercepat.Selain itu minimnya alokasi APBD untuk tahun 2013, keterlambatan pemeriksaan oleh Badan


(37)

37

Pemeriksa Keuangan Pembahasan APBD yang terburu-buru mengakibatkan tidak optimalnya penyusunan APBD.

Penelitian yang dilakukan oleh Bangun Susilo (2013) dengan judul “Identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD (Studi kasus Kabupaten Pesawaran Tahun anggaran 2012 )”. Hasil penelitian dapat di Simpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 adalah sebagai berikut: (1). Adanya ketidakharmonisan antara pihak Eksekutif dengan Pihak Legislatif yang bertanggung jawab dalam proses penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 menyebabkan pembahasan APBD menjadi terhambat, sehingga penetapan yang semestinya dilakukan 1 bulan sebelum tahun anggaran berjalan baru bisa ditetapkan pada bulan juni 2012 atau bulan ke enam tahun anggaran berjalan. (2). Dalam proses penyusunan yang sempat terjadi deadlock faktor komunikasi politik berperan penting dalam menghadapi kondisi tersebut, keadaan deadlock lebih disebabkan oleh adanya konflik


(38)

38

politik antara Bupati dengan DPRD Kabupaten Pesawaran, sehingga APBD dijadikan alat politik bagi masing-masing pihak yang berkonflik. Rancangan APBD yang kemudian disepakati bersama oleh eksekutif dan legislatif mengindikasikan political corruption (Korupsi Politik).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Agus riyanto (2012) dengan judul “Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah : Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008-2010”. Dari penelitian mengenai realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2008 sampai 2010 ini dapat disimpulkan sebagai berikut : (1). Secara umum realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2008 sampai 2010 menunjukkan adanya kenaikan nominal maupun pertumbuhan pendapatan daerah dan belanja daerah, sementara untuk pembiayaan daerah netto mengalami fluktuasi. Sedangkan dari sisi pencapaian target menunjukkan realisasi pendapatan daerah dan pembiayaan daerah netto yang selalu melebihi target dari perencanaan APBD, namun untuk realisasi belanja daerah selalu di bawah target perencanaan penganggaran sehingga


(39)

39

menghasilkan angka SILPA tahun berkenan yang selalu naik. (2). Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2010 menunjukkan kinerja yang baik dalam realisasi pendapatan daerah yang ditunjukkan dengan naiknya nominal dan pertumbuhan PAD serta meningkatnya kemampuan PAD terhadap belanja daerah. (3). Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 sampai 2010 dalam realisasi belanja daerah belum sepenuhnya optimal meskipun ada kenaikan baik nominal maupun pertumbuhannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Frans C. Singkoh (2012) dengan judul “Peran elit politik dalam proses penetapan Kebijakan di DPRD Kota Manado”. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peran para Elit politik DPRD dalam tugas dan fungsinya sebagai pemberi legitimasi, menetapkan anggaran serta sebagai kelompok yang mengawasi penyelenggaraan pemerinatahan di daerah diharapkan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan yang akan menjadi panduan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya penyelenggaraan pemerintahan di Kota Manado. Sidang pleno


(40)

40

DPRD yang dihadiri ketua partai yang merangkap kepala pemerintahan (wali kota), mengakibatkan para elit politik segan ataupun tidak berani memberikan argument apalagi mengkritik kebijakan yang akan ditetapkan sekalipun bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu sebaiknya seorang kepala pemerintahan tidak merangkap sebagai ketua partai politik, dan perlu ada kebijakan yang mengatur hal tersebut.

Tabel 2.I Tinjauan Pustaka

No Peneliti Judul Temuan atau hasil penelitian 1 Ida Ayu

Gede Sutha Megasari (2015) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Selisih Lebih Perhitungan Anggaran Dan Flypaper Effect Pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran

Adapun hasil temuan penelitian dapat di uraikan bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) berpengaruh positif pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran Kabupaten/Kota di Bali, hal ini bermakna bahwa semakin tinggi SiLPA Kabupaten/Kota di Bali, maka akan menyebabkan perilaku oportunistik penyusun anggaran yang semakin tinggi.

2 Sulton Siklus (2014 Politik Anggaran di Kabupaten Ponorogo (Studi Kasus Dana Hibah

Hasil temuan penelitian yang ditemukan bahwa sikap oportunis dapat mendorong keduanya menggunakan kebijakan ekspansif pra-pemilu sesuai kepentingan politiknya, sehingga dana Hibah-Bansos menjadi arena kontestasi kepentingan


(41)

41

No Peneliti Judul Temuan atau hasil penelitian dan Bantuan

Sosial APBD 2013)

masing-masing. Fenomena loby, bargaining, kompromi, manipulasi, dan tekanan politik, dominasi, pemangkasan, serta pengambilan keputusan tertutup menjadi aktivitas utama yang melingkupi keputusan alokasi anggaran.

3 Andi Ilham (2014) Hubungan legislatif eksekutif dalam Proses pembuatan perda APBD tahun 2013 Provinsi Sulawesi Selatan

Berdasarkan temuan hasil penelitian bahwa buruknya koordinasi antara DPRD dan Pemerintah Daerah membuat

penyerahan Naskah APBD diberikan akhir November dimana idealnya pada bulan September mengakibatkan pembahasan APBD molor dan untuk tidak kena penalti berupa pengurangan 25% DAU dari Mendagri

pembahasannya dipercepat agar seseuai aturan.

4 Muh Irvan Nur Iva (2014) Proses Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (R-APBD) Tahun 2013 Kota Pare-Pare

Berdasarkan temuan hasil penelitian bahwa buruknya koordinasi antara DPRD dan Pemerintah Daerah membuat

penyerahan naskah APBD diberikan awal Januari dimana idealnya pada bulan September mengakibatkan pembahasan APBD mengalami keterlambatan dan untuk tidak kena berupa pengurangan 25% DAU dari Mendagri

pembahasannya dipercepat. 5 Bangun

Susilo (2013) Identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambata n dalam Penyusunan APBD ( studi

Temuan hasil penelitian bahwa dalam proses penyusunan yang sempat terjadi deadlock faktor komunikasi politik berperan penting dalam menghadapi kondisi tersebut, keadaan deadlock lebih disebabkan oleh adanya konflik politik antara Bupati dengan DPRD Kabupaten Pesawaran, sehingga APBD dijadikan


(42)

42

No Peneliti Judul Temuan atau hasil penelitian kasus Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012

alat politik bagi masing-masing pihak yang berkonflik. Rancangan APBD yang kemudian disepakati bersama oleh eksekutif dan legislatif mengindikasikan political corupption (Korupsi Politik). 6 Agus

riyanto (2012) Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah : Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008-2010

Dari temuan penelitian bahwa realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2010 menunjukkan kinerja yang baik dalam realisasi pendapatan daerah yang ditunjukkan dengan naiknya nominal dan pertumbuhan PAD serta meningkatnya kemampuan fiskal PAD terhadap belanja daerah..

7 Frans C. Singkoh (2012) Peran Elit Politik dalam Proses Penetapan Kebijakan Publik di DPRD Kota Manado

Hasil temuan penelitian ini menunjukan bahwa peran para Elit politik DPRD dalam tugas dan fungsinya sebagai pemberi legitimasi, menetapkan anggaran serta sebagai kelompok yang mengawasi penyelenggaraan pemerinatahan di daerah diharapkan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik akan menjadi panduan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya penyelenggaraan pemerintahan di Kota Manado.

Berdasarkan pada kajian literatur terdahulu di atas, maka dapat digambarkan bahwa penelitian yang akan dilakukan


(43)

43

merupakan kajian-kajian penelitian yang sangat kontemporer karena lebih menfokuskan untuk melihat pola relasi elit politik di tingkat lokal dalam melakukan proses pembentukan dan pembahasan legislasi daerah yang akuntabel, komprhensif, akuntabilitas serta aspiratif.

Maka berdasarkan pada penelitian terdahulu di atas, dapat di uraikan bahwa fokus penelitian yang akan dilakukan sangatlah berbeda dengan penelitian yang dilakukan terdahulu. Sehinggan posisi penelitian yang akan dilakukan lebih pada bagaimana melihat Pola relasi elit politik lokal pada proses pembuatan legislasi daerah, dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keterlambatan pada setiap pembahasan APBD di Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015. Selain itu, bahwa penulis akan menganlisis dan menguraikan segala permasalahan yang terjadi pada tahapan legislasi penganggaran, dengan menggunakan menggunakan analisis interkasi para elit lokal karena memang dalam setiap pembahasan penganggaran daerah para elit-elit yang berkuasa selalu mengunakan kekuatan dan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kepentingan individu atau kelompok.


(44)

44 II.2 Kerangka Teoritik

Kajian-kajian tentang pola relasi elit politik pada pembuatan legislasi daerah yang mengambil studi kasus pada pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015, Maka penulis pada Bab ini yaitu kajian teoritik dan tinjauan pustaka dapat membuat arah penelitian dalam menganalisis, memetakan bagaimana proses Pembahasan APBD Tahun 2015 Di Kabupaten Buru Selatan yang sarat dengan kepentingan-kepentingan aktor politik. Adapun kerangka teoritik yang dipakai oleh penulis yaitu sumber yang di anggap memiliki kompetensi sehingga dapat mendukung teori-teori untuk menganalisis permasalahan yang terjadi di objek penelitian ini, meliputi:

II.3 Pola Relasi Eksekutif dan Legislatif II.3.1 Teori Pola Relasi

Pola Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI) Yaitu pola adalah suatu gambar atau bentuk. Sedangkan relasi yaitu suatu hubungan atau perhubungan (KBI: 2008:190). Senada dengan apa yang di sampai oleh W.J.S Poerwadarminta (2002:937), menurutnya relasi berarti


(45)

45

hubungan, yaitu suatu kegiatan tertentu yang membawa akibat kepada kegiatan lain. Relasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (2002:943) berarti hubungan, perhubungan, pertalian. Hubungan atau relasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah relasi, hubungan pengaruh DPRD dan Pemerintah Kabupaten dalam pembahasan APBD Tahun anggaran 2015.

Sedangkan menurut Setiadi dan Kolip (2011:101) bahwa yang di maksud dengan pola dalam hal ini adalah

Mekanisme atau cara dari proses interkasi sosial tersebut berlangsung di dalam kehidupan sosial. Pola lebih menekankan pada aspek kebiasaan dalam kehidupan sosial antara satu dan lainnya memiliki perbedaan-perbedaan. Menurut Madani (2011:46), bentuk relasi antara DPRD dan pemerintah daerah sebagai wujud dari fungsi mengatur (policy formulation) dan fungsi mengurus (policy implementation) yang dimiliki oleh pemerintah daerah bersama DPRD. Relasi kedua lembaga penyelenggara pemerintahan daerah tersebut menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pemerintahan daerah walaupun sebenarnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak hanya ditentukan


(46)

46

oleh proses relasi antara DPRD dan pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan interaksi dengan berbagai institusi pusat maupun pemerintah provinsi. Rodinelli dalam kutipan Madani (2011:46) mengemukakan, bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi adalah interaksi antara penyelenggara pemerintahan di tingkat lokal. Interaksi dalam konteks ini adalah relasi antara DPRD dan pemerintah daerah sebagai institusi utama yang melaksanakan tanggung jawab mengelola urusan daerah menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Interaksi antara penyelenggara pemerintahan di tingkat lokal, menurut Rodinelli dalam kutipan Madani di atas, DPRD dan pemerintah daerah adalah wujud dari komunikasi antar sesama penyelenggara pemerintahan daerah sebagai bentuk hubungan atau keterkaitan antarinstitusi pemerintahan daerah. Menurut W.J.S Poerwadarminta (2002:934), bahwa relasi berarti hubungan, yaitu suatu kegiatan tertentu yang membawa akibat kepada kegiatan lain. Berdasarkan pada tinjauan tersebut, maka peneliti mempunyai asumsi bahwa interaksi adalah bagian


(47)

47

spesifikasi daripada relasi atau hubungan sehingga suatu relasi atau hubungan dapat dilihat dari sebuah interaksi.

Sedangkan menurut Soekanto (2006: 58) syarat terjadinya interaksi sosial adalah

Adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antara perorangan, antara orang-perorangan dengan suatu kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lainnya.

Oleh karenanya berdasarkan teori yang di kemukakan oleh Soekanto di atas. Maka relasi DPRD dan pemerintah daerah dalam penelitian ini merupakan bentuk interaksi sosial karena adanya kontak sosial dalam bentuk kelompok dengan kelompok. Interaksi kontrak sosial dilakukan dengan adanya bentuk komunikasi yang dilakukan karena pola hubungan Interest (Kepentingan) yang ingin di sampaikan baik dalam bentuk personal dengan personan, personal dengan kepompok, maupun kelompok dengan kelompok.

Sedangkan menurut Levitsky yang membagi Tipologi relasi menjadi yaitu institusi formal adalah aturan atau prosedur yang dibuat, dikomunikasikan dan bersifat memaksa untuk menembus


(48)

48

berbagai saluran/lini yang diterima sebagai aturan resmi. Sedangakan institusi informal adalah aturan sosial, biasanya tidak tertulis di mana dibuat dan dikomunikasikan serta bersifat memaksa, berada di luar aturan resmiyang menyentuh chanel tertentu. Kemunculan institusi ini di karenakan beberapa sebab diantaranya yang pertama institusi formal tidak berjalan efektif dan tidak sempurna. Kedua, institusi formal bias menjadi pilihan strategi bagi aktor yang menginginkan sesuatu tetapi tidak bisa meraih aksesnya melalui institusi formal disebabkan diantaranya institusi formal sering dianggap costless, sebagai strategi altenatif ketika institusi formal tidak efektif, dan untuk mencapai sebuah tujuan tidak harus selalu menggunakan logika penerimaan publik (Gretchen dan Levistky Steven: 2003: 7 ).

II.3.2 Model Relasi

II.3.2. 1 Model Gillin dan Gillin

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (Cooperation), persaingan (Competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian(Conflic). Suatu


(49)

49

pertikaian mungkin mendapatkan suatu penyelesaian. Mungkin penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomondasi (Accomondation) dan ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenuhnya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. (Selo Soemarjan: 1994: 177). Dari keempat interaksi sosial di atas tersebut dilakukan secara terus menerus yaitu di awali dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan dan memuncak pada pertikaiaan untuk akhirnya sampai pada akomondasi.

Sedangkan Menurut Gillin dan Gillin (1954: 504) yang melakukan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurutnya ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interkasi sosial, yaitu sebagai berikut:


(1)

akibat keterlambatan dalam penandatangan nota kesepakatan KUA-PPAS, namun saratnya kepentingan eksekutif dalam penyusunan RAPBD juga menjadi penyebab yang pada akhirnya dibutuhkan waktu yang lama dalam penyusunannya. Hal tersebut sangat terlihat pada penyusunan RAPBD untuk Tahun 2010 yang membutuhkan waktu hampir 3 bulan 25 hari, dan pada Tahun 2015 yang membutuhkan waktu hampir 4 bulan 21 hari, padahal batas waktu sesuai Permendagri 13 Tahun 2006 hanya 8 minggu. Hal tersebut membuktikan bahwa eksekutif kurang memiliki komitmen dalam mentaati jadwal penyusunan APBD, sehingga menyebabkan penyampaian RAPBD kepada DPRD mengalami keterlambatan. RAPBD yang telah disusun selajutnya disampaikan ke DPRD untuk dilakukan pembahasan. Proses pembahasan di DPRD melalui rapat Badan Anggaran serta Komisi. Pada rapat Komisi, pembahasan semua program kegiatan menggunakan RKA-SKPD. Pembahasan dilakukan per digit belanja kegiatan. Hal tersebut tentu saja memakan waktu dalam pembahasan meskipun hal tersebut baik untuk melihat detil anggaran. (Risalah Sidang DPRD Buru Selatan, 2015).

3) Pola Interaksi Non Decesional Asosiatif Pola interaksi model Nondecesional Making merupakan bentuk pertemuan antara institusi Eksekutif dan Legislatif untuk menggunakan kekuasaan wewenangnya ataupun sumber daya yang dimiliki dalam rangka untuk mempengaruhi pengambilan keputusan, baik menyangkut substansial maupun konteks APBD Kabupaten Tahun Anggaran 2015. Selain itu, bentuk pola interaksi yang digunakan antara lain penyebaran Isu publik, isu kelompok kepentingan untuk mendukung atau menentang proses penyusunan Anggaran.

Sedangkan untuk menganalisis pandangan Pemerintah Kabupaten dan DPRD menyangkut substansi dan konteks APBD Kabupaten Buru Selatan maka berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sami Latbual bahwa menurtnya:

Pada penyusunan APBD Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015 dari tahapan pembahasan Program kerja di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah di persoalkan terkait dengan substansi pembahasan anggaran, karena pada saat proses penyerahan KUA-PPAS dari Tim TPAD tidak menyerahkan Draf rangcangan dari masingm-masing SKPD. Sehingga dari pihak legislatif tetap menolak untuk melakukan pembahasan APBD pada tahapan berikutnya, karena memang SKPD harus menyerahkan draf program yang akan menjadi landasan untuk menyusun APBD Tahun 2015‖.(Hasil Wawancara Jumat 19 Agustus, Pukul 10:43 Wit ).

Berdasarkan pada hasil wawancara tersebut bahwa pembahasan APBD tahun 2015 terjadi pertentangan kepentingan antara aktor Eksekutif dan Legislatif daerah dalam memandang tentang substansi orentasi anggaran yang akan diputuskan pada rapat paripurna dilakukan oleh legislatif daerah. Pola Perilaku Aktor politik yang terjadi pada hasil kajian yang dilakukan adalah bahwa pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah (APBD) sudah tidak berjalan sesuai dengan mekanisme yang diterapkan, mulai dari pembahasan KUA, pada pembahasan PPAS, paripurna tentang penjelasan Bupati terhadap RAPBD dan Nota keuangan, paripurna tentang pandangan fraksi terhadap Nota Keuangan, pembahasan RKA-SKPD di ringkat panitia Anggaran, pembahasan tingkat komisi, penyerasian anggaran ditingkat panitia ditingkat panitia anggaran, paripurna untuk penetapan perda anggaran.

Alasan utama dimana Aktor kebijakan, terutama dari sisi pemerintah daerah mengusulkan anggaran pendapatan yang akan dilaksanakan untuk tahun 2015 adalah bahwa usulan anggaran pendapatan dan belanja yang diusulkan selalu meminta pendapat dan tanggapan mulai dari bawah hingga didiskusikan pada tahap pematangan program dan proyek lewat RAPBD. Bila diperhatikan apa yang terjadi pada saat pengamatan dilakukan seperti diutarakan diatas adalah dapat dijelaskan bahwa proses perumusan kebijakan RAPBD ternyata dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dari sisi lain perdebatan antara Aktor tidak dapat dihindarkan tatkala para Aktor kebijakan masih mempersoalkan besaran anggaran yang diusulkan oleh terutama pihak eksekutif. Kenyataan ini didukung oleh berbagai hasil pengamatan penulis yang menunjukkan bahwa sesungguhnya perdapatan antar kelompok aktor tidak bias dihindari terutama pada pembahasan ditingkat panitia anggaran yang melibatkan SKPD untuk menyampaikan RKA-nya, walaupun yang mendominasi jalannya siding adalah anggota Dewan. Dalam hal ini berarti bahwa dominasi aktor lain terhadap aktor tertentu masih tetap ada dalam proses RAPBD Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015.

TABLE VI INTERAKSI PEMERINTAH KABUPATEN DAN DPRD TAHUN ANGGARAN APBD 2015

Bentuk

Interaksi Perumusan KUA-PPAS Pembahasan APBD

Akomondasi

Pada perumusan KUA-PPAS, DPRD cencerung akomondasi-partisipatif dalam melakukan pembahasan KUA-PPAS dilaksanakan. Hal tersebut berkaitan dengan kewwenangan eksekutif.

Proses akomondatif oleh DPRD terhadap pihak eksekutif (SKPD) pada realitasnya terjadi pada saat proses pembahasan anggaran di tingkat komisi.

Dominasi

Eksekutif secara umum mendominasi proses perumusan KUA-PPAS sebagai konsekuensi dari aspek pihak Pemerintah Kabupaten dalam mengajukan untuk di bahas di institusi legislatif

Kecenderungan DPRD mendominasi proses pembahasan RAPBD baik pada sisi kemasyarakatan maupun pada alokasi sumber keuangan daerah. pola interaksi ini pada akhirnya menimbulkan konflik kepentingan.

Kompromistik

Pola interaksi antara Pemerintah Kabupaten dan DPRD pada tahapan pembahasaan KUA-PPAS tidak terjadi secara kompromi tetapi lebih diperankan oleh eksekutif

Pola aktor DPRD cenderung kompromistik apabila SKPD yang di bahas merupakan kordinasi antara sektor. Maka SKPD cenderung lebih lambat dan tidak komprmistik.

Sumber: Hasil Analisis Lapangan

Sehinggga dari beberapa penjelasan atas dari hasil di lapangan, maka dapat dianalisis ketimpangan yang terjadi dalam interaksi pemerintah Kabupaten dan DPRD dalam perumusan KUA-PPAS Kabupaten Buru Selatan Tahun


(2)

Anggaran 2015. Maka dari itu dengan menggunakan pendekatan kekuasaan dan ketergantungan power and resources depedenci dalam perspektif kekuasaan dan sumber daya yang lebih memiliki oleh pemrintahan daerah pada pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan untuk mempengaruh sikap kebijakan DPRD di lihat sangat lemah dari sisi kekuasaan atau sumber daya.

Konteks kekuasaan bukan hanya terbatas pada wewenangan politik secara normative saja, namun bisa terkait dengan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh DPRD, baik kemampuan DPRD untuk menjaring aspirasi masyarakat dan aktor yang melakukan pembahasan APBD maupun kemampuan untuk menggali data/informasi serta permsalahan rakyat secara komprhensif

2. Faktor-faktor pola relasi eksekutif dan legislatif pada pembahasan APBD

1. Faktor Interest (Kepentingan)

Faktor-faktor pola interaksi pada pembahasan anggaran mengalami polarisasi kepentingan antara kelompok-kelompok yang mendominasi dan didominasi sehingga terjadi pasang surut karena terjadi keterlambatan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015 telah berdampak pada sebagian besar wilayah Kecamatan sekitarna dan hal itu apabila telah berlangsung pada kurun waktu yang lama bahkan hingga saat ini. Kabupaten Buru Selatan merupakan salah satu daerah yang tergolong mengalami keterlambatan dalam menyusun APBD dari tahun 2010-2015. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pada kelima tahun anggaran tersebut disahkan pada kurun waktu antara 1 Januari – 31 Maret. Selain banyaknya daerah yang mengalami keterlambatan dalam penetapan APBD, adanya keterlambatan APBD dapat memberikan dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan dari keterlambatan dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya pelaksanaan program pemerintah daerah yang umumnya sebagian besar pendanaan program tersebut berasal dari APBD. Program yang terlambat dilaksanakan dapat berpengaruh pada pelayanan publik terhadap masyarakat.

Fenomena kepentingan para elit lokal pada pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan Tahun Anggaran 2015 sangatlah kompleks. Maka peneliti mencoba mewancarai ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sami Latbual menurut bahwa:

Dalam setiap perencanaan pembangunan daerah sudah tentu baik dari pemerintah Kabupaten Buru Selatan maupun DPRD mempunyai kepentingan politik. Yang menjadi persoalan mendasar kenapa banyak kepentingan dari legislatif sering kali tidak di akomodir di postur APBD. Pada dua institusi tersebut mempunyai dasar yang kuat, kami mempunyai data masalah apa-apa saja yang di butuhkan masyarakat desa karena kami dalam tiga tiga bulan malakukan reses di desa daerah pemilihan (Dapil). Sedangkan pihak eksekutif punya sarana forum musrembang yang selama ini dilaksanakan oleh Pemkab Buru Selatan baru sebatas formalitas semata, belum efektif

untuk menyerap aspirasi dan usulan-usulan dari masyarakat yang banyak dari RT-RW sampai tingkat daerah persentase jumlahnya semakin berkurang ‖. (Hasil Wawancara Jumat 19 Agustus, Pukul 10:43 Wit.)

Maka berdasarkan pada hasil wawancara tersebut di atas bahwa yang menjadi persoalan terjadi pertentangan kepentingan antara legislatif maupun eksekutif pada setiap pembahasan anggaran, karena forum-forum reses yang dilakukan oleh legislatif di pangkas pada tingkat Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD Buru Selatan. Semestinya, hasil musrembang (eksekutif) maupun reses (pihak legislatif) sebagai sarana penyerapan aspirasi masyarakat. Yang menjadi kendala dalam setiap forum ini masyarakat belum aktif secara mental dalam menyampaikan usulan basis kebutuhan mendasar bukan keinginan karena sebagian besar masyarakat yang diikut sertakan belum mampu merumuskan kebutuhannya. Selain itu, pola relasi pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dan masyarakat belum begitu efektif untuk penyerapan aspirasi masyarakat dan partisipasi masyarakat hanya berpartisipasi hanya mengusulkan tapi tidak semua usulan terakomondasi dalam dokumen RKPD dan APBD, karena yang menjadi alasan keterbatasan anggaran maka sangat perlu untuk adanya mana program yang menjadi prioritas usulan.

TABLE VII USULAN ASPIRASI DI MUSREMBANG SE-KECAMATAN BURU SELATAN 2015

Program Kec. NM

Kec. LK

Kec. WS

Kec. KM

Kec. AB

Kec. FF

Jmh Pembangunan

Gedung 2 4 3

4 3 4 20

Pembangunan

Talud/Broncong 4 3 4

4 4 4 23

Pembangunan

Jalan 3 3 4

2 0 3 23

Pembangunan

Jembatan 4 3 2

4 4 0 15

Rehabilitasi

Jembatan 3 2 3

0 0 4 13

Pengembangan

air dan limbah 4 3 2

3 3 3 18

Pengadaan

Perahu piber 4 5 4

4 5 0 22

Peningkatan pelayanan

angkutan

3 3 2

4 0 4 16

Pembangunan

drainase 4 2 4

3 2 4 19

Pembangunan

telekomunikasi 2 3 3

4 2 4 18

Jumlah 36 35 36 44 30 30 14 Keterangan:

Kec. NM : Kecamatan Namrole

Kec LK : Kecamatan Leksula

Kec. WS : Kecamatan Waesama

Kec. KM : Kecamatan Kepala Madan Kec. FF : Kecamatan Fena Fafan Sumber: Bappeda Buru Selatan 2015 (data diolah)

Pada tabel di atas bahwa memuat beberapa usulan dari masyarakat untuk di akomodir dalam APBD Tahun 2015 yaitu 164 usulan yang terdiri 11 usulan. Namun di


(3)

bandingkan dengan usulan pada tahun 2014 naik menjadi 164 usulan masyarakat, kecamatan Kapala Madan persentase usulan lebih besar yaitu 44 usulan, di ikuti Kecamatan Waesama 36 usulan, Kecamatan Leksula 35 usulan, Kecamatan Namrole 36 Usulan, Kecamatan Ambalau 30 Usulan dan Kecamatan Fena Fafan 30 usulan. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa usulan dari masyarakat di musrembang tiap tahun berubah baik jumlah maupun kelompok usulannya. Usulan tahun 2014 berjumlah 175 sedangkan usulan tahun 2015 menurun tajam menjadi 164. Sehingga dari beberapa usulan aspirasi masyarakat pada forum musrembang akan di bahas dan disetujui bersama pihak eksekutif oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD )dan legislatif oleh Badan Anggaran (Banggar) dengan melakukan analisis dan persamaan persepsi untuk mengakomodir aspirasi-aspirasi pembangunan berdasarkan pada usulan masyarakat agar masuk dalam APBD.

Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menurut Permendagri 13 Tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah merupakan tim yang di bentuk oleh Pemerintah Kabupaten Buru Selatan dengan keputusan kepala daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah yang mempunyai tugas menyiapkan serta melaksanakan kebijakan daerah dalam rangka melakukan penyusunan APBD yang beranggotakan terdiri dari Pejabat perencanaan daerah dan PPKD (Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah) dan disesuaikan dengan kebutuhan dengan tujuan di bentuk TPAD untuk menyusun dokumen perencanaan daerah untuk satu tahun anggaran. Sebelum pembahasan APBD oleh TAPD dan Banggar, disusun kebijkan umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yaitu rancangan program prioritas anggaran sebagai acuan untuk penyusunan APBD sebelum disepakati secara bersama dengan DPRD. Berikut ini wawancara dengan bapak Sahrul Pawa selaku Kepala Bappeda Kabupaten Buru Selatan sebagai berikut:

“Proses pembahasan musrembang Desa yang di undang menjadi peserta dari unsur pemerintah Desa, tokoh masyarakat, tokoh Agama, tokoh pemuda yang berjumlah 12 orang, hasil dari diskusi di forum Musrembang Desa yaitu program yang masuk di berita acara minimal 5 (lima) program untuk di jadikan acua untuk skala prioritas pada usulan Renja SKPD. Yang menjadi kendala ketika pada saat pembahasan Musrembang Kabupaten yang terdiri dari TPAD dan DPRD untuk melakukan evaluasi hasil-hasil penyusunan RKPD, rekomendasi Musrembang Desa maupun masukan dari pihak DPRD berdasarkan pada rekomendasi reses yang sudah di lakukan dan menjadi bahasan permasalahan di daerah. namun yang menjadi persoalan, kenapa banyak kepentingan Legislatif tidak di akomodir karena Musrembang Kabupaten sudah di undang secara resmi namun Institusi DPRD tidak hadir padahal hasil musrembang Kabupaten sangat stategis karena menjadi acuan bagi masing-masing SKPD untuk menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA) ”. (Hasil

Wawancara Selasa 09 Agustus 2015, Pukul 12:23 Wit).

Sedangkan Menurut wawancara dengan Ketua Fraksi KPS Bapak Masrudin Solissa mengungkapkan bahwa pada penyusunan APBD Kabupaten Buru Selatan banyak aspirasi rakyat tidak pernah di akomodir, adapun kutipan hasil wawancara sebagai berikut:

Proses penjaringan aspirasi baik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Melalui Musrembang maupun forum reses yang dilakukan oleh legislatif (DPRD) tidak pernah menemukan titik temu kepentingan pada proses pembahasan APBD. namun saya menilai bahwa

pembahasan APBD hanya dijadikan ajang

traksaksional/traksaksi berbagai macam kepentingan politik, apalagi pembahasan APBD tahun 2015 yang sudah mendekati perhelatan Pilkada serentak. Sehingga penyusunan anggaran tidak sebanding dengan hasil yang di dapat masyarakat. Di sisi lain bahwa antara eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama pada penjaringan aspirasi rakyat namun banyak sekali kepentingan DPRD dalam memperjuangan kebutuhan dasar masyatakat tidak pernah di akomodir. ‖ Berdasarkan pada uraian hasil wawancara dia atas bahwa pola interkasi kepentingan antara eksekutif dan legislatif pada pembahasan anggaran sangat sarat dengan kepentingan politik maupun ekonomi. Sehingga mengakibatkan pada penggunaan kekuatan kewenangan yang di miliki untuk mempengaruh keputusan politik anggaran yang akan diputuskan. Berakibat pada berbagai macam aspirasi selain dari masyarakat, hasil-hasil reses DPRD dengan melakukan kunjungan lapangan ke konstituen pada masing-masing daerah pemilihan yang bertujuan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Aspirasi melalui forum reses legislatif sebagai bentuk kebutuhan masyarakat yang di salurkan melalui wakil rakyat yang akan di sampaikan dan di tuangkan di berbagai program dan kegiatan yang akan diusulakan pada pembahasan APBD tahun 2015.

Pola Penyerapan aspirasi terbagi menjadi dua bentuk yaitu pola penyerapan aspirasi masyarakat oleh pihak Eksekutif (Pemda) dan pola penyerapan aspirasi masarakat oleh legislatif (DPRD). Pola interaksi aspirasi yang dilakukan oleh Eksekutif dan Legislatif melalui proses perencanaan pembangunan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Proses agregasi aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh DPRD secara langsung dengan dialog tatap muka, kunjungan lapangan saat kerja di masa sidang atau masa Reses. Tujuannya untuk bisa meyerap aspirasi, menghimpun dan menampung aspirasi masyarakat untuk di perjuangkan pada saat pembahasan APBD. sedangkan secara tidak langsung berupa konsultasi anggota legislatif dengan eksekutif setempat untuk menjadi catatan penting bagi SKPD dalam menyusun Renja Kebijakan Umum Anggaran (KUA). Hasil-hasil Reses DPRD merupakann kunjungan lapangan ke konstituen pada masing-masing daerah pemilihan dengan maksud untuk menyerap segala kebutuhan mendasar yang di butuhkan baik progrman maupun kebutuhan pemberdayaan masyarakat untuk di usulkan dalam pembahasan APBD.


(4)

2. Faktor Capacity (Kemampuan)

Fungsi anggaran terhadap pemnahasan APBD Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015 faktanya masih sangat lemah. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh keterlambatan penetapan anggaran yaitu Personal background, Political background dan pemahaman anngota DPRD tentang pengelolaan anggaran, hal ini disebabkan karena latar belakang individu dalam aktivitas politik.

a) Personal Background

TABLE VIII KOMPOSISI ANGGOTA DPRD BURU SELATAN MENERUT TINGKAT PENDIDIKAN Fraksi Tingkat Pendidikan

Jumlah SLTA Akademi S1 S2

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

PDI-P 3 0 1 0 4

Partai

Demokrat 1 0 1

1 3

Partai

Gerindra 2 0 1

0 3

PAN 1 0 2 0 3

Perubahan* 0 0 3 1 4

KPS* 1 0 2 0 3

Jumlah 8 0 10 2 20

Sumber: Sekretariat DPRD Buru Selatan, 2015 Keterangan:

Fraksi Perubahan : Nasdem, PKB, Hanura. Fraksi KPS : PPP, Golkar, PKS

Berdasakan pada hasil analisis data tentang tingkat pendidikan anggota DPRD Kabupaten Buru Selatan masih sangat minim karena masih di dominasi para legislatif yang pengalaman pendidikan belum pernah mengenyam pendidikan. Maka untuk dapat memenuhi akan tenaga kerja yang bermutu dan mampu melaksanakan program pendidikan. Pelaksanaan pendidikan di harapkan mampu kepada peningkatan ketrampilan, pengetahuan serta sikap atau perilaku pemahaman kerja yang rasional, elegan, berwibawa dan diharapkan adanya perubahan sikap dan perilaku negatif menjadi positif dalam menghasilakan produk legislasi di bidang anggaran.

Sehingga bahwa latar belakang pendidikan berpengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Artinya, semakin baik kemampuan dan bidang ilmu yang dikuasai oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan, maka terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD akan dapat dihindari. Latar belakang pendidikan ini meliputi meliputi latar belakang pendidikan formal dan informal. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal diketahui bahwa masih minimnya anggota DPRD yang memiliki latar belakang pendidikan yang terkait dengan penyusunan anggaran. Disamping itu masih minimnya pendidikan dan pelatihan terkait pengganggaran keuangan daerah yang diikuti oleh tim penyusun APBD juga menjadi penyebab anggaran disusun tidak tepat waktu.

Latar pendidikan sangat berpengaruh pada kinerja anggota DPRD Kabupaten Buru Selatan sangat

berpengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Baik Buruknya Kinerja anggota DPRD sangat berpengaruh pada tingkat pemahaman anggaran yang dicapai dari pelaksanaan program dan kebijaksanaan untuk mewujudkan visi, misi dan sasaran dari organisasi sektor publik. Artinya, semakin efektif dan efisien kinerja seseorang dalam mencapai pelaksanaan program dan kebijakan maka keterlambatan dalam penyusunan APBD dapat dihindarkan. Namun dalam prakteknya, masih banyak kendala yang muncul diantaranya, kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah daerah untuk menentukan indikator kinerja yang diperlukan dalam APBD, adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja ke dalam elemen anggaran, serta adanya perubahan peraturan perundangan yang menjadi pedoman penyusunan APBD. Berbagai kendala tersebut yang diduga menjadi penyebab APBD Buru Selatan Tahun 2015 disusun tidak tepat waktu.

b) Faktor Individual

Latar belakang pengalaman yang dimiliki oleh anggota DPRD Kabupaten Buru Selatan masih sangat minim, yaitu dari keseluruhannya anggota DPRD yang terpilih pada pemilihan legislatif sebagian besar adalah wajah baru Artinya apabila ditinjau dari pola fikir yang dimiliki oleh anggota Legislasi sudah memiliki tahapan yang baik, karena dipengaruhi oleh faktor tingkat pengalaman yang dimiliki. Namun aktivitas pengalaman yang dimiliki oleh anggota Legislasi di Buru Selatan tidak keseluruhannya karena sebagaian besar berasal dari berbagai macam latar belakang yaitu dari pengusaha, wirausaha dan sebagai kecil dari wajah lama di legislatif. Dari data yang diperoleh bahwa 9 orang anggota DPRD Buru Selatan merupakan wajah lama yang berasal dari beberpa fraksi, dan sebagian besar anggota legislatif Buru Selatan merupakan wajah baru. Fakta ini tentunya membuat kemampuan dan keahlian personal anggota DPRD Buru Selatan dalam melaksanakan tugasnya, seperti menyusun dan merumuskan kebijakan daerah sangatlah menyulitkan.

Ketidakmampuan anggota Legislatif daerah dalam merumuskan dan menyusun kebijakan daerah memang mutlak faktor latar belakang pengalaman yang dimilikinya. Walaupun adan anggota Legislasi daerah yang sudah dua periode menjadi anggota dewan, tetapi akibat bukan keahliannya menyusun dan merumuskan kebijakan daerah tentunya tetap menjadi hambatan dalam melaksanakan tugasnya. Dampak dari rendahnya kemampuan dan keahlian yang dimiliki anggota DPRD Buru Selatan membuat banyak usulan kebijakan daerah itu berasal dari pemerintah daerah. Bahkan anggota Badan Legislasi terkadang hanya menerima usulan kemudian membahasnya untuk diusulkan menjadi sebuah kebijakan daerah. Padahal seharusnya anggota dewanlah yang menyusun dan merumuskan berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang dilakukan terhadap fakta, realita dan fenomena yang berkembang di lingkungan masyarakat.

c) Faktor Organisasi

Anggota DPRD Kabupaten Buru Selatan pada pembahasan APBD Tahun 2015 dalam melaksanakan


(5)

fungsi dan kewenangan sudah cukup baik karena anggota legislatif sudah mampu mengetahui tugas dan tanggungjawab dalam melaksanakan fungsi penganggaran. Namun kenyataan yang terjadi dilapangan sering terjadi tumpang tindih kewenangan dan beban kerja yang tidak mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan oleh pihak eksekutif daerah. sehingga nampaknya pada proses penyelesaian perumusan dan penyusunan kebijakan daerah yang akan dibahas oleh masing-masing fraksi sering terlambat. Kemudian dalam pelaksanaan tugas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) buru Selatan sudah cukup mampu untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan tugas perumusan anggaran. Selain itu, pengalaman untuk menganalisis data dan informasi yang telah dikumpulkan selalu dijadikan bahan kajian dan analisis oleh setiap anggota legislatif dalam merumuskan kebijakian daerah. dari hasil pengamatan peneliti bahwa proses perumusan APBD Tahun 2015 yang dilakukan atas dasar kerjasama yang dikembangkan di internal institusi DPRD Buru Selatan untuk menjadikan bentuk kerja sama dan komitmen yang dimiliki anggota legislatif meujudja visi dan misi dalam mewujudkan perumusan kebijakan daerah yang komprehensif dan akuntabel.

Oleh karenanya lembaga DPRD Buru Selatan pada pembahasan APBD Tahun 2015 semestinya harus memainkian peran dengan baik apabila pimpinan dan anggota-anggotanya berada dalam aspek kualifikasi yang sempurna dalam arti mampu memahami hak, tugas dan kewenangannya dan mampu mengimplementasikan secara baik yaitu pengalaman politik selama menjabat maupun pengetahuan berorganisasi mampu mempengaruhi sikap dan tindakan dalam merumuskan proses penganggaran publik. Oleh sebab itu, pengetahuan anggota DPRD Buru Selatan sangat berpengaruh pada cara pandang terhadap mekanisme penyusunan anggaran mulai dari tahapan perencanaan sampai pada tahapan pertanggungjawaban serta pengetahuan anggota tentang peraturan yang mengatur pengelolan keuangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2015.

Pengalaman anggota DPRD Buru Selatan tentang anggaran sangat erat dengan fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh anggota dawan. Fungsi penganggaran yang melekat pada anggota DPRD untuk selalu ikut dalam proses pembahasan anggaran secara bersama-sama dengan eksekutif. Fungsi pengawasan DPRD memberikan kewenangan dalam pengawasan kinerja eksekutif dalam pembahasan APBD Buru Selatan. Maka dalam pelaksanaan fungsi penganggaran DPRD dituntut dapat bekerja secara efektif dalam melakukan pembahasan dan pelaksanaan anggaran. Maka untuk meningkatkan kapabilitas dalam pembahasan keuangan daerah, DPRD Buru Selatan harus menguasai keseluruhan proses penganggaran. Sehingga pengalaman dewan dalam pembahasan anggaran merupakan kemampuan anggota dewan yang diperoleh dari latar belakang pendidikan ataupun dari seminar tentang keuangan daerah yang selalu diikuti oleh anggaran dewan.

IV. KESIMPULAN (HEADING 1)

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah diuraikan di Pembahasan di atas dapat di uraikan bahwa pola interkasi eksekutif dan legislatif pada pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2015, mulai dari tahapan Perumusan KUA dan PPAS Serta Pembahasan RAPBD sampai pada tahapan pengesahan anggaran selalu diwarnai oleh beberapa fenomena interaksi antara eksekutif dan legislatif untuk melakukan fungsi kewenangan saling menguasai, mendominasi. Maka untuk menganalisis pola relasi eksekutif dan legislatif pada pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015 maka akan diuraikian sebagai berikut:

1. Pada pembahasan APBD Kabupatenn Buru Selatan Tahun 2015 ditemukan tiga pola interaksi eksekutif dan legislatif yaitu akomondasi, dominasi, dan kompromi namun di antara ketiga pola interaksi dari keseluruhan pembahasan kebijakan anggaran ditemukan adanya proses pola yang lebih mendominasi. Pola interaksi eksekutif dan legislatif pada proses pembahasan di tingkat Panitia Anggaran dan tingkat komisi yang membidangi beberapa SKPD cenderung lebih dominatif pihak DPRD.

2. Pola interaksi Eksekutif dan Legislatif pada Pembahasan APBD Kabupaten Buru Selatan Tahun 2013 lebih di dominasi Pola Interaksi Decesional Yaitu Pola pertentangan yang berlangsung pada perumusan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Platfom Anggaran Sementara (PPAS) sehingga mengakibatkan keterlmabatan penetapan APBD, pola interakasi kekuasaan yang terjadi tawar menawar (barganing) untuk melakukan pertukaran kepentingan legislatif kepada Eksekutif yang tidak diakomodir Pada Rencana Kerja Anggaran (RKA) di masing-masing SKPD.

3. Pola relasi Eksekutif dan Legislatif Pada pembahasan KUA dan PPAS di pembahasan APBD Tahun 2015 lebih di dominasi pola interaksi Anticipated Reaction yaitu Pemerintah Kabupaten Buru Selatan menerima kepentingan DPRD yang mejadi rekomendasi Reses untuk menjaga kestabilan pembahasan APBD Tahun 2015.

4. Pada pembahasan RKA Kabupaten Buru Selatan terjadi pola relasi Eksekutif dan Legislatif yang lebih didominasi oleh interaksi Non Decisional yaitu pihak legislatif menolak melakukan pembahasan KUA dan PPAS karena dari pihak eksekutif tidak menyerahkan dokumen Rencana Kerja Anggaran (RKA) dari masing-masing SKPD.

5. Pola interaksi eksekutif dan legislatif pada perumusan KUA dan PPAS ditemukan bahwa legitimasi pemerintah daerah sangat dominan dan interaksi kompromistik lebih banyak terjadi pada pembahasan akhir anggaran yang di bahasa oleh masing-masing SKPD di Kabupaten Buru Selatan. Sedangkan dominasi DPRD dalam kaitan ini lebih pada saat penetapan anggaran di mana kewenangan DPRD lebih kuat Karena mempunyai fungsi kewenangan pengawasan dan fungsi angggaran.


(6)

6. Pola relasi eksekutif dan legislatif pada proses pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) serta Prioritas Platfon Anggaran Sementara (PPAS) pada Rancangan APBD Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015 masih di dominasi oleh kepentingan politik sehingga berdampak pada berlarut-larutnya pembahasan anggaran sehingga mengakibatkan terlambatnya penetapan KUA, PPAS, serta APBD. 7. Pihak Pemerintah Kabupaten Buru Selatan

(eksekutif) pada pembahasan KUA dan PPAS pada umumnya bersifat koersif di mana masing-masing SKPD memiliki kewenangan di fungsi penganggaran.Sementara, pola relasi perilaku ofensif lebih ditonjolkan ketika telah berdialog secara bersama dengan institusi DPRD (Legislatif) untuk membahas mulai pada penyusunan rancangan maupun perumusan APBD Kabupaten Buru Selatan. 8. Pola relasi Pemerintah Kabupaten (Eksekutif) dan DPRD (Legislatif) lebih dominan pada saat rapat pembahasan RAPBD pada masing-masing komisi yang membidangi beberapa SKPD terkait, maka posisi DPRD secara umum menunjukan perilaku yang dominani pembahasan anggaran. Pola relasi DPRD cenderung melakukan negosiasi, lobby kepentingan proyek pada Sub program yang terdapat pada tiap SKPD. Maka di setiap proses pembahasan anggaran yang melibatkan DPRD selalu diwarnai oleh negosiasi anggaran publik.

9. Pola Relasi eksekutif dan legislatif pada pembahasan APBD Tahun 2015 sangat berpengaruh pada Personal Bachground, political Bachground anggota DPRD dalam melakukan pengelolaan anggaran Kabupaten Buru Selatan,

pola interakasi berpengaruh baik secara bersama-sama maupun parsial terhadapan kemampuan dan pemahaman dalam pelaksanaan pembahasan anggaran.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Amal, Ichlasul dan Winarno, Budi 2007, Metodologi Ilmu Politik.

Pusat studi Ilmu Sosial UGM.

[2] Helmke, Gretchen dan Steven, Levitsky “Informal Institution and

Comparative Politic: A Research Agenda Working

Paper#307.203”.

[3] Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor Dalam Proses

Kebijakan Publik. Graha Ilmu. Yogyakarta.

[4] Setiabudi, Elly M dan Kolip, Usman 2011. Pengatar Sosiologi

“Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: teori dan Aplikasi, dan Pemecahannya”. Jakarta. Penerbit Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

[5] Seidman, Ann, Seidman, Robert B. and Abeyserkeve, Nalin. 2001.

Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang. Terjemahan oleh Usfunan, Johanes et.al. Proyek ELIPS, Jakarta.

[6] Soekanto, Soejono 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:

Rajwali Press.

[7] Abdullah, S. 2012. Perilaku Oportunistik Legislatif dan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya: Bukti Empiris dari Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Ringkasan Disertasi. Universitas Gajah Mada.

[8] Abdullah, S. dan Asmara, J.A. 2006. Perilaku Oportunistik

Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas

Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Makalah Simposium

Nasional Akuntansi 9. Padang: 23-26 Agustus 2006.

[9] Pariury, Gabrielle Issabelle O., and Priyo Hari Adi. "Political Interest Legislatif Dalam Pengalokasian Anggaran Daerah Pada Sektor Pekerjaan Umum."