Pola Hubungan Legislatif dan Eksekutif Dalam Penyusunan Anggaran Pembelanjaan Biaya Daerah Tahun 2015 di Kabupaten Labuhanbatu

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 diberikan kekuasaan bagi
tiap – tiap daerah untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya masing – masing
yang tentunya harus sesuai dengan pedoman penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang terdapat di dalam Undang – Undang tersebut. Kekuasaan yang
diberikan kepada masing – masing daerah tentunya memberikan kekuasaan lebih
kepada legislatif dalam hal ini DPRD serta eksekutif dalam hal ini
Bupati/Walikota dalam menjalankan roda pemerintahan di daerahnya tersebut. 1
Dengan adanya dua lembaga yang memegang kekuasaan besar di daerah
tentunya diperlukan adanya sinergitas antar kedua lembaga tersebut agar roda
pemerintahan di daerah dapat berjalan dengan baik. Kemitraan yang timbul
diantara kedua lembaga tersebut hendaknya memberikan manfaat yang baik bagi
masyarakat sebagai objek dari setiap kebijakan yang dihasilkan oleh kedua
lembaga tersebut. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Bupati/Walikota
dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah
untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing
sehingga di antara kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang
sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama
lain dalam melaksanakan fungsi masing - masing. Segala aktivitas yang

dilaksanakan oleh eksekutif berdasarkan pada desain pembangunan dan alokasi
1

Sumber Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

1
Universitas Sumatera Utara

pembiayaan yang memerlukan persetujuan DPRD. Dalam pelaksanaannya, DPRD
melakukan pengawasan, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan
anggaran pembangunan yang telah disepakati.
DPRD sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap setiap
kegiatan ataupun kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif diharapkan
mampu aktif menjalankan hal tersebut dan menjalankannya sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Instrumen pertanggung jawaban Kepala Daerah dalam hal
ini Bupati atau Walikota kepada DPRD dimaksudkan sebagi upaya dalam rangka
pemberdayaan DPRD. Namun, dalam praktiknya tidak jarang menjadi salah satu
sumber potensi dari terjadinya konflik antara Bupati atau Walikota dan DPRD.
Bahkan, merupakan sarana bagi sebagian besar daripada anggota DPRD untuk
menjatuhkan Kepala Daerah.

Dalam bentuk yang lain, hubungan antara kedua organ atau lembaga
daerah ini tidak hanya berpotensi menimbulkan konflik, tetapi juga dapat
berbentuk kolusi yang diwarnai dengan money politic. Bidang-bidang kegiatan
yang berpeluang untuk terjadinya money politic, yaitu dalam proses pemilihan
kepala daerah, penyusunan RAPBD, penyusunan keuangan DPRD, penyusunan
Raperda, pengawasan oleh DPRD, pertanggung jawaban Kepala Daerah,
pengangkatan Sekretaris Daerah.
Selama ini, masih sering ditemukan adanya persepsi yang berbeda antara
pihak eksekutif dan legislatif di daerah. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan
disharmonisasi yang bermuara pada konflik antar kedua pihak tersebut. Dalam hal
penyusunan Peraturan Daerah yang mayoritas diinisiasi oleh pihak Pemerintah

2
Universitas Sumatera Utara

Daerah tidak sesuai dengan keinginan DPRD. Penentuan alokasi anggaran pun
sering menghadapi kendala, baik dalam hal proses, indikator maupun besarannya.
Terlebih jika melihat pada mekanisme pengawasan yang jamak dikeluhkan oleh
pihak eksekutif, karena tidak adanya kesamaan pada fase perencanaan. Berbagai
permasalahan yang timbul tersebut lebih disebabkan oleh belum terbangunnya

tata hubungan/mekanisme yang terstruktur dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang antara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana
kerja Pemerintah Daerah yang diperhitungkan dalam bentuk uang dengan
memperkirakan penerima dan pengeluaran uang dalam periode tertentu yaitu satu
tahun anggaran. Untuk mencapai belanja daerah yang mampu membiayai
pemerintah danpembangunan dearah memerlukan suatu pengawasan dalam
pelaksanaan anggaran. Penyelenggaraan pemerintah daerah diperlukan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang mampu membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah diperlukan perencanaan yang matang dalam penyusunannya.
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang telah disusun
oleh pemerintah daerah dibahas dan ditetapkan oleh DPRD menjadi peraturan
daerah, dan peraturan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah berada di
bawah pengawasan DPRD.
Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pada pasal 65 yakni Pemerintah Daerah bersama DPRD
bersama – sama menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),

3
Universitas Sumatera Utara


pada point tersebut diharapkan timbulnya kesamaan pandangan dalam proses
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana
kerja Pemerintah Daerah yang diperhitungkan dalam uang dengan memperkirakan
penerima dan pengeluaran uang dalam periode tertentu yaitu satu tahun anggaran.
Untuk mencapai belanja daerah yang mampu membiayai pemerintah dan
pembangunan dearah memerlukan suatu pengawasan dalam pelaksanaan
anggaran.
Penyusunan APBD merupakan salah satu bentuk dari hubungan yang
timbul antara Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah dan DPRD Kabupaten
atau Kota tersebut ialah eksekutif sebagai pihak yang mengajukan Anggaran
Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) sedangkan legislatif yang bertindak
sebagai pihak yang membahas dan menyetujui Anggaran Belanja dan Pendapatan
Daerah (APBD) yang telah diajukan oleh eksekutif. Anggaran Belanja dan
Pendapatan Daerah (APBD) tersebut sepenuhnya digunakan demi pembangunan
daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan yang ada di suatu
daerah yang tentunya akan memberikan manfaat yang cukup baik bagi masyarakat
di daerah tersebut.
Penyelenggaraan pemerintah daerah diperlukan Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah (APBD) yang mampu membiayai penyelenggaraan pemerintah
daerah diperlukan perencanaan yang matang dalam penyusunannya. Rancangan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang telah disusun oleh
pemerintah daerah dibahas dan ditetapkan oleh DPRD menjadi peraturan daerah,

4
Universitas Sumatera Utara

dan peraturan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah berada di bawah
pengawasan DPRD. Undang-Undang RI No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintah
Daerah. Hubungan kerja eksekutif dan Legislatif yaitu: DPRD dan Kepala Daerah
bersama-sama membahas dan menetapkan peraturan daerah (Perda), DPRD dan
Kepala Daerah bersama-sama membahas dan menyetujui rancangan peraturan
daerah (perda) tentang APBD, DPRD memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada Kepala Daerah terhadap rencana perjanjian di Daerah.2
Penyusunan APBD merupakan salah satu bentuk dari hubungan yang
timbul antara Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah dan DPRD Kabupaten
atau Kota tersebut ialah eksekutif sebagai pihak yang mengajukan Anggaran
Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) sedangkan legislatif yang bertindak
sebagai pihak yang membahas dan menyetujui Anggaran Belanja dan Pendapatan

Daerah (APBD) yang telah diajukan oleh eksekutif. Anggaran Belanja dan
Pendapatan Daerah (APBD) tersebut sepenuhnya digunakan demi pembangunan
daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan yang ada di suatu
daerah yang tentunya akan memberikan manfaat yang cukup baik bagi masyarakat
di daerah tersebut.
Kabupaten Labuhanbatu sebagai salah satu daerah otonom di Sumatera
Utara yang baru di mekarkan atau dibagi menjadi tiga Kabupaten yakni
Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten
Labuhanbatu. Sebagai daerah yang baru di mekarkan tentunya terjadi perubahan
di Kabupaten Labuhanbatu terutama terkait kondisi sosial politik di daerah
2

Sumber Undang- Undang No. 12 Tahun 2008..

5
Universitas Sumatera Utara

tersebut. Kabupaten Labuhanbatu yang beribukota di Kota Rantau Prapat
merupakan daerah perkebunan penghasil kelapa sawit dan karet. Kedua komoditas
tersebut


menjadi

penunjang

perekonomian

di

Kabupaten

Labuhanbatu,

masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Labuhanbatu menggantungkan roda
perekonomiannya dari dua komoditas hasil perkebunan tersebut.
Sebagai suatu daerah otonom yang baru melakukan pemekaran wilayah
tentunya tak luput dari masalah dalam tubuh pemerintahan daerah, entah itu
masalah yang muncul dari internal pemerintah daerah ataupun masalah yang
timbul dari eksternal pemerintah daerah. Permasalahan yang timbul umumnya
berasal dari eksekutif dan legislatif yang ada di Kabupaten Labuhanbatu. Salah

satu contoh permasalahan yang timbul dari interaksi antara eksekutif dan legislatif
yakni, permasalahan terkait penyusunan Rancangan Perubahan Anggaran Belanja
dan Pendapatan Daerah (R-PAPBD) tahun 2015 yang menghambat terbentuknya
Peraturan Daerah Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) tahun 2015. 3
Terhambatnya pembentukan Peraturan Daerah Anggaran Belanja dan
Pendapatan Daerah (APBD) tahun 2015 disebabkan Bupati sebagai pihak
eksekutif dan DPRD sebagai pihak legislatif sama – sama mempertahankan
pendapat dalam membahas Rancangan Perubahan Anggaran Belanja dan
Pendapatan Daerah (R-PAPBD) tahun 2015. Permasalahan yang timbul ini
memberikan dampak kepada masyarakat sebagai objek dari kebijakan yang
dihasilkan pemerintah daerah. Kinerja dari Bupati dan DPRD mendapat sorotan
dari masyarakat terkait permasalah yang timbul tersebut.
3

http://suarasumut.com/arsip/perda-apbd-t-a-2015-terancam-tak-terbentuk/

6
Universitas Sumatera Utara

1.2 Perumusan Masalah

Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 terdapat pemisahan
antara pemerintah daerah dengan legislatif sehingga memiliki tugas yang jelas,
eksekutif yang melaksanakan peraturan daerah dan legislatif yang mengawasi
pelaksanaan peraturan. Hubungan yang ideal antara eksekutif dan legislatif sangat
diperlukan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah agar pencapaian visi dan misi
daerah dapat dioptimalkan. Namun, yang menjadi tinjauan kritis adalah hal
tersebut tidak selalu dapat diplementasikan secara konkret di daerah, salah satu
kasus yang dibahas adalah pola hubungan antara eksekutif dan legislatif di
Kabupaten Labuhanbatu. Hal ini kemudian dikhawatirkan berimplikasi pada
berbagai aspek, diantaranya pada pengelolaan keuangan daerah atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan salah satu hal penting
dalam

penyelenggaran

pemerintahan

daerah

dan


untuk

mewujudkan

pembangunan di daerah. Dinamika pola hubungan antara lembaga eksekutif dan
legislatif di Labuhanbatu pada proses penyusunan R-APBD 2015 menarik
perhatian publik.4 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai mengenai pola hubungan eksekutif dan legislatif di Kabupaten
Labuhanbatu yang mempengaruhi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten Labuhanbatu tahun 2015 yang nantinya juga dapat
menjelaskan kendala apa yang menghambat penyusunan anggaran serta upaya
penanganannya.

4

ibid.

7
Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, yang menjadi
permasalahan pola hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif di Kabupaten
Labuhanbatu, antara lain :
1. Lembaga tersebut sama-sama mendapat legitimasi oleh masyarakat dan
keduanya dipilih oleh rakyat langsung. Pada akhirnya memunculkan
dinamika pandangan antara DPRD dan Pemerintah daerah dalam
penyusunan R-APBD karena masing–masing lembaga tersebut merasa
memiliki legitimasi kekusaaan yang sama.
2. Pola hubungan yang dilakuakn antar kedua lembaga yang yang
mengakibatkan terlambatnya alur proses pengesahan PERDA APBD
Tahun 2015.5
3. Terlambatnya pernyerahan APBD tahun 2015 kepada Pemprov Sumatera
Utara. 6
1.3 Permasalahan Penelitian
Permasalahan penelitian ini adalah usaha untuk menetapkan masalah
dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Permasalahan penelitian ini berguna
untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah
penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian
tersebut. Adapun permasalahan yang akan diteliti adalah mengkaji Pola Hubungan

5
6

http://suarasumut.com/arsip/perda-apbd-t-a-2015-terancam-tak-terbentuk/
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/01/14/140645/tiga-kabupaten-kota-di-sumutbelum-serahkan-apbd-2015/#.VyEdJNR97IU

8
Universitas Sumatera Utara

Legislatif dan Eksekutif Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah tahun 2015 di Kabupaten Labuhanbatu.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015 di Kabupaten Labuhanbatu.
2. Untuk menganalisis bagaimana pola hubungan antara Legislatif dan
Eksekutif terkait penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kabupaten Labuhanbatu.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
baik secara langsung maupun tidak bagi kepustakaan Departemen Ilmu
Politik dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik untuk
mengeksplorasi kembali kajian tentang implementasi pola hubungan
Legislatif dan Eksekutif.

2.

Secara

subjektif.

Sebagai

suatu

sarana

untuk

melatih

dan

mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis dan metodologis
penulis dalam menyusun berbagai kajian literature untuk menjadikan
suatu

wacana

baru

dalam

memperkaya

khazanah

kepustakaan

pendidikan.

9
Universitas Sumatera Utara

3.

Secara praktis. Sebagai Dalam hal ini memberikan data dan informasi
yang berguna bagi semua kalangan terutama bagi mereka yang secara
serius mengamati permasalahan yang timbul antara Legislatif dan
Eksekutif.

1.6 Kerangka Teori
Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu
kerangka teori.Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti
perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan
dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Teori adalah
serangkaian asumsi, konsep dan kontrak definisi dan proporsi untuk menerangkan
suatu fenomenal sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep.7
1.6.1 Teori Kebijakan Publik
Menurut Parsons, kata “publik” berisi kegiatan aktivitas manusia yang
dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial,
atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dipandang sebagai suatu ruang
atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual,
tetapi milik bersama atau milik umum. Sedangkan kata “kebijakan” menurut
Heclo adalah istilah yang banyak disepakati bersama. Dalam penggunaan yang

7

Singarimbun, 2008.Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 2002, Kiat Meningkatkan
Produktivitas, Jakarta, Erlangga. hal. 37.

10
Universitas Sumatera Utara

umum, istilah kebijakan dianggap berlaku untuk sesuatu yang “lebih besar”
ketimbang keputusan tertentu, tetapi “lebih kecil” ketimbang gerakan sosial8.
Jadi, kebijakan (policy) adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan
maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Heclo mengatakan bahwa ada
perbedaan pendapat mengenai apakah kebijakan itu merupakan tindakan yang
diniatkan (intended) atau tidak. Sebuah kebijakan mungkin saja merupakan
sesuatu yang tidak disengaja, tetapi ia tetap dilaksanakan dalam implementasi atau
praktik administrasi. Pengertian konsep publik dan kebijakan diatas, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah tindakan maupun keputusan yang
pemerintah lakukan atau tidak dengan tujuan untuk mengatur masyarakat di suatu
wilayah. Ini sama seperti pendapat Thomas R. Dye yang menyatakan bahwa
kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan
tidak dilakukan9. Maknanya adalah Dye hendak menyatakan bahwa apapun
kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan.
Interpretasi dari kebijakan menurut Dye harus dimaknai dengan dua hal penting,
yaitu: pertama, kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua,
kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah.
Selain Dye, James E. Anderson mendefenisikan kebijakan publik sebagai
suatu arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor
atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Kebijakan publik dalam kerangka substantif adalah segala aktifitas yang
8
9

Parsons. Wayne. 2005. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktek. Hal. 3.
Indiahono. Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis

11
Universitas Sumatera Utara

dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang dihadapi.
Kebijakan publik haruslah diarahkan untuk memecahkan masalah publik untuk
memenuhi kepentingan dan penyelenggaraan urusan-urusan publik.
Menurut Jones kebijakan publik terdiri dari beberapa komponen10, yakni :
Goals atau tujuan yang diinginkan,
Plans atau rancangan yang spesifik untuk mencapai tujuan,
Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,
Decision atau keputusan yaitu tindakan untuk menentukan tujuan,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program, dan
5. Efect yaitu dampak dari program baik disengaja maupun tidak dan primer
maupun sekunder.
Keputusan yang dihasilkan oleh aktor kebijakan tersebut diturunkan dalam
1.
2.
3.
4.

berbagai bentuk variasi. Adapun bentuk-bentuk kebijakan tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan pembuatnya, terdiri atas ; a) Pusat,
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang
berkedudukan di pusat dan digunakan untuk mengatur seluruh warga
negara dan wilayah Indonesia, b) Daerah, kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di daerah dan
digunakan untuk mengatur daerahnya masing-masing.
2. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan tujuannya, terdiri atas ; a) Law
Order adalah Kebijakan mengenai hukum dan tatanan hukum. Adapun
bentuk kebijakan ini umumnya berupa undang-undang atau peraturanperaturan yang diumumkan oleh pemerintah, b) Distributive Order adalah
kebijakan yang bersifat mengarahkan penguasa dalam mendistribusikan
10

Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: Lukman. Hal. 17.

12
Universitas Sumatera Utara

sumber daya yang dimilikinya dalam rangka pencapaian tujuan yang
diinginkan oleh negara. Misalnya perijinan usaha, kekuasaan kepada
kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain, c) Re-Distributive Order adalah
kebijakan yang bersifat mengarahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi
terhadap pelaksanaan tata pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan
negara secara umum. Bentuk kebijakan ini umumnya berupa kewajiban
pembayaran pajak bagi warga negara.
3. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan wujudnya, terdiri atas ; a) Gerakan
(contohnya): Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA), Gerakan Penghijauan,
b) Peraturan perundangan: Peraturan Walikota No 23 Tahun 2011 Tentang
Perizinan Usaha Warung Internet, c) Pidato atau pernyataan pejabat
publik: Pidato Presiden, d) Program: Program KB, dan e) Proyek: Proyek
Padat Karya
Dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kebijakan publik, Dunn
mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan, yaitu: 11
1. Agenda setting: adalah proses pengumpulan isu-isu dan masalah publik
yang mencuat ke permukaan melalui proses problem structuring. Menurut
Dunn problem structuring memiliki empat fase yaitu: pencarian masalah,
pendefenisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah.
Woll mengatakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang menjadi
agenda kebijakan apabila memenuhi syarat : a) Memiliki efek yang besar

11

Ibid. Hal. 11.

13
Universitas Sumatera Utara

terhadap kepentingan masyarakat, b) Membuat analog dengan cara
memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan, c) Isu
tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau politik
yang ada, d) Terjadinya kegagalan pasar, dan e) Tersedianya teknologi
atau dana untuk menyelesaikan masalah publik.
2. Policy formulation: adalah mekanisme proses untuk menyelesaikan
masalah publik, dimana pada tahap ini para analis mulai menerapkan
beberapa teknik untuk menentukan sebuah pilihan yang terbaik yang akan
dijadikan kebijakan. Dalam menentukan kebijakan tersebut, aktor
kebijakan dapat menggunakan analisis biaya dan manfaat dan analisis
keputusan, dimana keputusan yang harus diambil tidak ditentukan dengan
informasi yang serba terbatas. Para aktor kebijakan tersebut harus
mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui
psoses

peramalan

(forecasting)untuk

memecahkan

masalah

yang

didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang
akan dipilih.
3. Policy adoption: adalah penetapan keputusan yang sudah ditetapkan untuk
menjadi solusi dari masalah publik tersebut. Tahap ini dilakukan setelah
mendapatkan rekomendasi melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a) Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah
untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan

14
Universitas Sumatera Utara

langkah terbaik dalam mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan
masyarakat luas.
b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan dipilih untuk
menilai alternatif yang akan direkomendasikan.
c) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan
kriteria yang relevan agar efek posisi alernatif lebih besar dari efek
yang terjadi.
4. Policy implementation: adalah proses pelaksanaan kebijakan yang sudah
ditetapkan tersebut oleh unit-unit eksekutor tertentu dengan memobilisasi
sumber dana dan sumber daya lainnya dan pada tahap ini proses
monitoring sudah dapat dilakukan. Tahapan implementasi kebijakan
merupakan kegiatan yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah
suatu kebijakan ditetapkan dengan menghasilkan output yang jelas dan
dapat diukur.
5. Policy assessment atau penilaian kebijakan: pada tahap ini semua proses
implementasi dinilai apakah sudah sesuai dengan rencana dalam program
kebijakan dengan ukuran kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Proses
penilaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring dan
evaluasi. Monitoring dilakukan sewaktu proses pelaksanaan kebijakan
masih berjalan dan bertujuan untuk melihat bagaimana program tersebut
berjalan, biasanya dalam bentuk penelitian/ riset dan rekomendasi. dan
evaluasi dilakukan setelah kebijakan tersebut telah selesai dilakukan.

15
Universitas Sumatera Utara

Evaluasi dilakukan terhadap program yang sudah selesai dan bertujuan
untuk mengetahui bagaimana hasil dari program tersebut apakah mencapai
sasaran.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah ditetapkan, kebijakan tersebut tidak
akan berhasil dan terwujud bilamana tidak diimplementasikan. Suatu program
kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang
diinginkan. Implementasi kebijakan dalam arti luas dapat diartikan sebagai alat
administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang
bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan.Sementara itu, Van Meter dan Van Horn menyebutkan
implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individuindividu (atau kelompok - kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
kebijakan sebelumnya 12. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan - keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam
kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk
mencapai perubahan-perubahan yang besar dan kecil yang ditetapkan oleh
keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses
dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa
yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur

12

Winarno. Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik.

16
Universitas Sumatera Utara

kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan
kebijakan yang diinginkan.
Menurut Jones, terdapat tiga kegiatan utama yang paling penting dalam
implementasi, yaitu : 13
1. Penafsiran: yaitu kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam
pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2. Organisasi: merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program
kedalam tujuan kebijakan.
3. Penerapan: berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah
dan lainnya.
Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung
secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model, yaitu:
1.6.1.a Model Van Meter dan Van Horn (1975)
Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam
proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan
dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu
pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan
dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan
kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-

13

Tangkilisan, Ibid. Hal. 11.

17
Universitas Sumatera Utara

prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka
permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah: 14
a. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan
dalam organisasi.
b. Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada
setiap jenjang struktur, masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang
paling rendah dalam organisasi yang bersangkutan.
c. Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam
organisasi (masalah kepatuhan).
Dari pandangan tersebut maka Van Meter dan Van Horn membuat tipologi
kebijakan menurut Jumlah masing-masing perubahan yang akan terjadi dan
jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam proses implementasi.
Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implementasi itu
akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian
bahwa implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif
sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari para implementor di
lapangan relatif tinggi. Hal lain yang dikemukakan mereka bahwa yang
menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas
yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah:

14

Winarno, Ibid. Hal. 16.

18
Universitas Sumatera Utara

1. Standar dan Sasaran Kebijakan, harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan
terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara agen
implementasi.
2. Sumber Daya, implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik
sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia seperti dana
yang digunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.
3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas, dalam implementasi program perlu
dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat
tercapai.
4. Karakteristik Agen Pelaksana, mencakup struktur birokrasi, normanorma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua
hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.
5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik, mencakup sumber daya yang dapat
mendukung

keberhasilan

implementasi

kebijakan,

sejauh

mana

kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi
implementasi kebijakan, karaktersitik para partisipan yakni menolak atau
mendukung, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan
apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi Implementor, mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor
terhadap

kebijakan

yang

akan

dipengaruhi

kemauannya

untuk

melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana

19
Universitas Sumatera Utara

terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni
preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
1.6.1.b Model Merilee S. Grindle (1980)
Merilee

menyatakan

bahwa

keberhasilan

implementasi

kebijakan

ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model
Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan,
khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan
arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan
selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi
kebijakan yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses
implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada
kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi
oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. 15
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi ; Kepentingan yang terpenuhi oleh
kebijakan (interest affected), Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit),
Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), Kedudukan
pembuat kebijakan (site of decision making), Para pelaksana program (program
emplementation), dan Sumber daya yang dikerahkan (resources commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud meliputi ; Kekuasaan
(power), Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors
involved), Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime
15

Winarno, Ibid. Hal. 16.

20
Universitas Sumatera Utara

characteristics), serta Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and
responsiveness)

.
1.6.1.c Model Mazmanian dan Sabatier (1983)
Model ini disebut sebagai model kerangka analisis implementasi.
Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan
kedalam tiga variabel, yaitu: 16
1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) sering disebut
dengan variabel independen. Indikatornya adalah:
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan.
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran.
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi.
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.
2. Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure
implementation) sering disebut dengan istilah variabel intervening,
indikatornya adalah:

16

Winarno, Ibid. Hal. 16.

21
Universitas Sumatera Utara

a. Kejelasan isi kebijakan.
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis.
c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan
tersebut.
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai
institusi pelaksana.
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.
f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi
dalam implementasi kebijakan.
3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation)
sering disebut dengan istilah dependen. Indikatornya adalah:
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan
teknologi.
b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan.
c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups).
d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

22
Universitas Sumatera Utara

1.6.1.d Model George C. Edward III (1980)
George Edward III melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses
yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut ditampilkan guna
mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan. Menurut
George Edward III, dalam pendekatan studi implementasi harus dimulai dengan
suatu pernyataan abstrak seperti yang dikemukakan sebagai berikut: 17
a. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan
implementasi kebijakan?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, George Edward III mengajukan
empat faktor yang berperan penting dalam keberhasilan implementasi, yaitu:
i. Komunikasi (communication).
Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan
tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab
dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan
dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana.
Konsistensi

atau

keseragaman

dari

ukuran

dasar

dan

tujuan

perlu

dikomunikasikan sehingga pelaku kebijakan mengetahui secara tepat apa yang
menjadi isi, tujuan, kelompok sasaran kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat
menyiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan,
17

Winarno, Ibid. Hal. 16.

23
Universitas Sumatera Utara

agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan secara efektif dan sesuai dengan
tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang
amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan
tertentu, atau menyebarluaskannya.
Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan
interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang
bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah
mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus
diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat
mengenahi maksud dan tujuan kebijakan.

Jika para aktor pembuat kebijakan

telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak
mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan
bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak
akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para
implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.Komunikasi
implementasi mencakup beberapa hal yaitu: (a) transformasi informasi, (b)
kejelasan informasi, dan (c) konsistensi informasi.
ii. Sumber Daya (resource)
Bukan hanya isi sebuah kebijakan saja yang dikomunikasi secara jelas,
sumber daya juga harus tetap dipersiapkan untuk dapat melaksanakan
implementasi kebijakan. Ketersediaan sumber daya dalam implementasi kebijakan
memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif
bilamana saumber-sumber pendukungnya tidak memadai. Komponen sumber

24
Universitas Sumatera Utara

daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang
relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan
sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang
menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yang diharapkan, serta
adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan
program seperti dana dan sarana prasarana.
Sumber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan)
berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka
tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana
kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan
para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen
SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan
pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan
hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini
membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai
teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan sumberdaya penting bagi
pelaksanaan kebijakan.
Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara
menyelesaikankebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan
apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan
kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa
tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan.
Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki

25
Universitas Sumatera Utara

konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana
tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi
kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan
pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan
untuk

menentukan

bagaimana

program

dilakukan,

kewenangan

untuk

membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf,
maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan
kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang
mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
iii. Disposisi (sikap)
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan
adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari
kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi
akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor
terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk
merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon
tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun
seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena
mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi
mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan
para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.

26
Universitas Sumatera Utara

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program
dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan
ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan
pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan
keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi
yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif
bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total
dalam melaksanakan kebijakan/program.

iv. Struktur Birokrasi (bereaucratic structure)
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari
struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan polapola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang
mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka
miliki dalam menjalankan kebijakan.

1.6.2 Teori Koalisi
Teori koalisi telah lama berkembang di negara - negara Eropa khususnya
dan negara-negara dengan sistem parlementer pada umumnya. Dalam sistem
pemerintahan presidensil yang multipartai, kaolisi adalah suatu keniscayaan untuk
membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah membentuk
pemerintahan yang kuat (strong government), mandiri (autonomous), dan tahan
lama (durable).18 Hingga detik ini, koalisi antara partai politik tidak ada yang

18

Bambang Cipto, Partai, Kekuasaan dan Militerisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, hal. 22

27
Universitas Sumatera Utara

ideal, tidak ada satu pun koalisi yan digalang para elit yang menghasilkan paduan
yang kuat, mandiri, dan tahan lama. Namun seringkali koalisi yang dibangun
membingungkan. Kompleksnya kekuatan politik, aktor dan ideologi menjadi
faktor yang menyulitkan. Secara teoritis, koalisi partai hanya akan berjalin bila
dibangun di atas landasan pemikiran yang realistis dan layak. 19
Menurut studi Huang Wang, seorang peneliti dari New York University,
yang menyatakan bahwa di dalam setiap masyarakat kerap terdapat berbagai
kerjasama dalam suatu pengelompokan yang tepat (proper subset) dari aktor-aktor
– baik berupa kelompok-kelompok sosial (melalui organisasi) atau individuindividu untuk bertarung menghadapi aktor-aktor lainnya jika terdapat tiga aktor
atau lebih. Pengelompokan aktor-aktor itu bisa disebut dengan koalisi. Melihat
dari hasil penelitian Huang Wang, besar kemungkinan rencana munculnya wacana
koalisi antarorganisasi dimulai dari ide-ide dari individu yang ada (elit-elit kedua
organisasi yang ada).
Varian koalisi di Indonesia memang tidak terbangun berdasarkan landasan
yang kuat. Dalam teori, koalisi partai politik hanya akan berjalan jika dibangun
dengan pemikiran yang realistis dan rasional yang dapat dilakukan kedua pihak.
Koalisi tidak sekadar dimaknai sebagai pertemanan akan tetapi harus dibangun
dengan sasaran yang jelas. Teori koalisi tidak terlepas dari adanya kepentingan
elit dibelakangnya. Kepentingan elit yang bermain dalam menemukan arah koalisi
ini menyebabkan terkadang tidak dapat dijabarkan di tingkatan bawah
(konstituen).
19

Winarno, Ibid, Hal 27.

28
Universitas Sumatera Utara

Menurut William Riker dalam bukunya The Theory of Political Coalition,
koalisi partai politik dimaknai sebagai, “....three-or-more-person game, the
mainactivity of the players is to select not only strategies, but patners. Patners
once they become such, then select a strategy”. Pada saat rekanan (partner) ini
bergabung, danbekerjasama hanya dengan sejumlah aktor lain, dan bertarung
mengadapi aktor-aktor lainnya di luar mereka, setiap koalisi pada dasarnya
mencari pengaruh langsung di antara aktor-aktor tanpa adanya mediasi yang
berbentuk material oleh karenanya bersifat politis.
didasarkan pada tujuan-tujuan yang bersifat material (misalnya uang) melainkan
tujuan-tujuan yang bersifat politis.
Koalisi permanen ini memang tidak bisa dibentuk dengan sembarangan.
Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang
bisa diterapkan di Indonesia, Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip
dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin
memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk
diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara
terbanyak akan mencari partaiyang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara
mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai
paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Dasar dari teori ini adalah
memudahkan proses tawar-menawar dan negosiasi karena anggota atau rekanan
koalisi hanya sedikit. Keempat, minimal rangecoalition, dimana dasar dari koalisi
ini adalah kedekatan pada kecenderunganideologis untuk memudahkan partaipartai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet. Dasar dari teori ini adalah

29
Universitas Sumatera Utara

kedekatan pada kecenderungan ideologis. Kelima, minimal connected winning
coalition, dimana dasar berpijak teori ini adalah bahwa partai-partai berkoalisi
karena masing-masing memiliki kedekatan dalam orientasi kebijakannya. 20
Hubungan teori di atas dengan perumusan masalah adalah bahwa koalisi
yang terjadi dalam sebuah pertarungan politik adalah election (pemilihan) sangat
menentukan arah pengambilan keputusan dalam proses rekrutmen politik (mulai
dari penjaringan sampai penetapannya) yang dilakukan. Ini dikarenakan dalam
koalisi terdapat lebih dari satu elemen kepentingan yang bermain. Oleh karena itu
diperlukan kesepatakan bersama dalam menentukan langkah - langkah untuk
mencapai tujuan bersama.

1.6.3 Hubungan Legislatif dan Eksekutif
Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan
kerja yang kedudukannya setara. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di
antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan
sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat
kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa
antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam
membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan
fungsi masing-masing sehingga di antara kedua lembaga itu membangun suatu
hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun

20

http://theindonesianinstitute.com/index.php/20080915264/Koalisi
-untuk-Pemerintahan-yangkuat.html, diakses pada 28Desember 2015 pukul 20.00 WIB. Lihat juga pada Bambang Cipto,
Partai, Kekuasaan, dan Militerisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, hal. 23

30
Universitas Sumatera Utara

pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Segala
aktivitas yang dilaksanakan oleh eksekutif berdasarkan pada desain pembangunan
dan alokasi pembiayaan yang memerlukan persetujuan DPRD. Legitimasi
undang-undang memberikan tugas dan wewenang kepada kedua lembaga ini
(Pemerintah Daerah dan DPRD) ditentukan dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah.
Tugas dan kewenang kepala daerah secara normatif diatur dalam
perundang-undangan yang diperuntukkan untuk itu. Pelaksanaan tugas dan
wewenang demikian berada pada porsi strategis dan berdampak luas bagi
masyarakat karena tugas dan tanggung jawab kepala daerah bersentuhan dengan
hak-hak

yang

semestinya

harus

diberikan

kepada

masyarakat

melalui

pembangunan berbagai sektor di daerah. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 65
ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah
mempunyai tugas yakni ; 1) memimpin pelaksanaan urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, 2) memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat, 3) menyusun dan mengajukan rancangan
Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk
dibahas bersama DPRD, 4) menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang
APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama,
5) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

31
Universitas Sumatera Utara

undangan, 6) mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah, dan melaksanakan
tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Wewenang kepala daerah ditentukan dalam Pasal 65 ayat (2) UndangUndang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah, kepala
daerah berwenang mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda yang telah
mendapat persetujuan bersama DPRD, menetapkan Peraturan Kepala Daerah dan
keputusan kepala daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak
yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat, melaksanakan
wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan tugas dan wewenang kepala daerah dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah pada porsi demikian sebagai konsekuensi pada sistim
otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi daerah yang
berlaku penting dilakukan pengawasan terhadap pelaksana undang-undang dan
peraturan lainnya yaitu kepala daerah. Ketika suatu pembangunan diwujudkan
baik karena kebijakan kepala daerah atau sudah ditentukan dalam undang-undang
dinilai masyarakat tidak berpihak pada kepentingan masyarakat itu sendiri, maka
reaksi masyarakat selalu berusaha sekuat mungkin melakukan protes terhadap
kebijakan publik itu.21
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat(4) Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, kedudukan DPRD adalah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

21

Jasper Pasaribu dan Majda El Muhtaf, Ilmu Negara, (Medan: Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Medan, 2008), hal. 151.

32
Universitas Sumatera Utara

daerah, ”Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah”. Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Pemerintahan Daerah
tersebut menunjukkan bahwa DPRD memiliki kedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Sehinngga menurut Undang-Undang
terdapat dua lembaga sebagai penyelenggara pemerintahan tetapi di sisi lain
memiliki dominasi fungsi, di mana DPRD dominannya sebagai regulator
sedangkan kepala daerah dominannya sebagai pelaksanaa regulasi. Kondisi ini
pada praktiknya cenderung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang
mempersulit posisi anggota DPRD sebagai lembaga pengawasan eksekutif.22
Tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota menurut Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, ditegaskan dalam Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang
Pemerintahan Daerah yakni ; 1) Membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama
bupati/wali kota, 2) Membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda
mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota; 3)
Melaksanakan

pengawasan

terhadap

pelaksanaan

Perda

dan

APBD

kabupaten/kota; 4) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali
kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian, 5) Memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap
rencana perjanjian international di Daerah, 6) Memberikan persetujuan terhadap
rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
22

Sadu Wasistiono & Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), (Bandung, Fokusmedia, 2009), hal 43

33
Universitas Sumatera Utara

kabupaten/kota, 7) Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali
kota

dalam

penyelenggaraan

Pemerintahan

Daerah

kabupaten/kota,

8)

Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah, dan 9)
Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan fungsi DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 149 s/d Pasal
153 Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah memiliki fungsi legislasi,
anggaran,

dan

pengawasan.

Sementara

Hak

dan

kewajiban

DPRD

Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 159 Undang-Undang Pemerintahan Daerah,
Pasal 160 Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hak anggota DPRD dalam
Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah memiliki hak
interpelasi, hak