GAMBARAN PERILAKU SEKSUAL PADA KELOMPOK HOMOSEKSUALITAS YANG BERESIKO MENULARKAN HIV/AIDS DI YOGYAKARTA

(1)

GAMBARAN PERILAKU SEKSUAL PADA KELOMPOK HOMOSEKSUALITAS YANG BERESIKO MENULARKAN

HIV/AIDS DI YOGYAKARTA

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh: AHMAD MUSLIMIN

20120320109

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini saya persembahkan kepada :

1. Kedua orang tua saya, untuk ayah Kawadin dan ibu saya Muntari yang telah memberikan dukungan dan senantiasa memberikan semangat serta do’a kepada putranya.

2. Kakak dan adik saya Romanah dan Waliyah yang telah memberikan semangat dan semoga kita semua menjadi anak yang membanggakan kedua orang tua.

3. Ibu Nur Azizah Indriastuti, S.Kep., Ns., M.Kep terimakasih atas waktu, ilmu dan kesabaranya dalam membimbing hingga peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

4. Semua dosen maupun asisten dosen di PSIK FKIK UMY yang telah memberikan ilmu kepada saya.

5. Yayasan Vesta Indonesia dan semua responden yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

6. LSM Victory Plus yang telah membantu jalanya penelitian ini.

7. Rully Widanarko, S.Pd, Ahmad Hidayat, S.K.M., M.P.H, Titis Wijayanti yang telah memberikan bantuan, doa dan dukungan sehingga peneliti menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

8. Teman-teman Winda, Desi, Novia, Novi, Viki, Banu, Erna, Elok, Adelia, Denda, Zuliani dan Erik yang telah menemani selama hampir empat tahun dan senantiasa memberikan motivasi untuk menjadi lebih baik.


(3)

v

9. Teman-teman lorong Muhammad Abduh UNIRES UMY (Banu, Deri, Barqi, Ariq, Candra Kusuma, Mas Adnan, Mas, Fadil, Galih, Rijal, Candra Rega, Arif dan Yoga teman seperjuangan pertama di Jogja.

10. Teman-teman lorong Muhammad Abduh Unires UMY angkatan 2012 dan teman-teman kos putra A’Yani.

11. Teman-teman satu bimbingan dalam KTI ini yaitu Amel, Very, Fikri, Hikmah, Maulida.

12. Seluruh teman-teman PSIK FKIK UMY angkatan 2012, terimakasih atas semua dukungan, pertemanan dan motivasi semua.


(4)

vi

HALAMAN MOTTO

“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi

manusia” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, ad-Daruqutin)

“Masa lalu telah berlalu, begitu pula dengan kesedihan yang telah dibuatnya pun harusnya ikut berlalu bersama datangnya hari ini”

(Mario Teguh)

“Berikan yang terbaik dari apa yang engkau miliki dan itu mungkin tidak akan pernah cukup. Tetapi tetaplah berikan yang

terbaik. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan atas perbuatan baik yang engkau lakukan. Percayalah bahawa TUHAN

tertuju pada orang-orang yang jujur dan DIA melihat ketulusan hatimu” (Bunda Teresa)

Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (Hasan. at-Tirmidzi : 1899, HR. al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir :

14368, al-Bazzar : 2394)


(5)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkah dan limpahan rahmat-Nya maka peneliti dapat menyelesaikan Proposal Karya Tulis Ilmiah dengan tepat waktu yang berjudul “Gambaran Perilaku Seksual pada Kelompok Homoseksualitas yang Beresiko Menularkan HIV/AIDS di Yogyakarta”.

Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umat dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan

Penulisan Karya Tulis Ilmiah diajukan sebagai syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing peneliti, baik tenaga, ide-ide maupun pemikiran. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(6)

viii

2. Sri sumaryani, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Mat., HNC selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Shanti Wardaningsih, Ns., M.Kep., Sp.Jiwa., Ph.D selaku dosen koordinator Karya Tulis Ilmiah Program Studi Ilmu Keperawatan 2012 yang telah memberikan pengarahan dan motivasi guna terselesainya penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

4. Nur Azizah Indriastuti, S.Kep., Ns., M.,Kep selaku dosen pembimbing saya yang penuh kesabaran, kelembutan dan penuh pengorbanan sehingga beliau mampu membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah.

5. Dewi Puspita, S.Kp., M.Sc selaku dosen penguji saya yang telah membimbing, menguji dan memberikan masukan yang sangat berguna sehingga ilmu, arahan dan bimbingan penyusunan Karya Tulis Ilmiah mendekati kesempurnaan.

6. Yayasan Vesta Indonesia yang telah memberikan izin pada penelitian dalam melakukan penelitian serta membantu dan memberi dukungan dalam terlaksananya penelitian ini.

7. Responden peneliti yang telah membantu berpartisipasi dalam jalanya penelitian.

8. Ibunda, Ayahanda, Kakak, Adek dan saudara-saudara beserta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, dukungan


(7)

ix

dan bantuan materi sehingga peneliti menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

9. Teman-teman mahasiswa PSIK UMY 2012, terimakasih atas bantuan dan dukunganya selama peneliti menyelesaikan Proposal Karya Tulis Ilmiah.

Peneliti sangat menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dalam materi mupun teknik penyajianya. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 3 Agustus 2016


(8)

x DAFTAR ISI

DAFTAR JUDUL………...……...i

LEMBAR PENGESAHAN…………..…..………...…ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN………..…….………..iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………..……….iv

HALAMAN MOTTO………….………..………vi

KATA PENGANTAR………...………..….vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL……….………..xiii

DAFTAR LAMPIRAN………...………xiv

DAFTAR SINGKATAN……….……….xv

INTISARI………xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5


(9)

xi

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Landasan Teori ... 9

1. HIV/AIDS ... 9

2. Perilaku seksual ... 19

3. Homoseksualitas ... 25

B. Kerangka konsep ... 40

C. Pertanyaan peneliti………...………..41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Populasi dan Sampel ... 42

C. Lokasi dan Waktu ... 44

D. Variabel Penelitian ... 44

E. Definisi Operasional ... 44

F. Instrumen Penelitian ... 45

G. Cara pengumpulan data ... 46

H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 48

I. Pengolahan dan Analisis Data ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52


(10)

xii

B. Hasil Penelitian ... 54

C. Pembahasan ... 59

1) Karakteristik Responden ... 59

2) Perilaku seksual responden penelitian ... 60

D. Kelemahan Penelitian ... 66

BAB V PENUTUP ... 67

A. KESIMPULAN ... 67

B. SARAN ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(11)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS………….…... 17 Tabel 3.1 Definisi operasional ……… 44 Tabel 3.2 Kisi-kisi perilaku seksual………. 46 Tabel 4.1 Distribusi frekuensi data demografi homoseksualitas….…… 56 Tabel 4.2 Gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas

mengenai perilaku beresiko……….……. 57 Tabel 4.3 Gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas

mengenai perilaku anal seks………. 57 Tabel 4.4 Gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas

mengenai perilaku anal seks……….. 58 Tabel 4.5 Gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas

mengenai perilaku bergantian memasukan jari keanus………. 58 Tabel 4.6 Gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas

mengenai perilaku oral anal/rimming………. 59 Tabel 4.7 Gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas

mengenai interfemoral coitus……… 60 Tabel 4.8 Gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas


(12)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Permohonan dan Persetujuan Responden Lampiran 2. Lembar Kuesioner

Lampiran 3. Hasil olah Data Penelitian Lampiran 4. Hasil Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5. Surat Keterangan Kelayakan Etika Lampiran 6. Surat Izin Penelitian

Lampiran 7. Surat Balasan dari Tempat Penelitian


(13)

xv

DAFTAR SINGKATAN

HIV/AIDS : Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrom

STBP : Survei Terpadu Biologi dan Perilaku ASI : Air Susu Ibu

KPAN : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

AusAID : Australian Agency of International Development LSM : Lembaga Sosial Kemasyarakatan

VCT : Voluntery Conceling Test HTL : Human T Lymphotropic

LAV : Lymphadenophaty Associaterd Virus RNA : Retrovirus Ribonucleic Acid

DNA : Deoxy Nucleic Acid

CDC : Centers For Disease Control WHO : World Health Organization

PCP : Pneumocytis Caranii Pneumonia

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Atas ARV : Anti Retro Viral

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay PITC : Provider Treatment and Conceling PCR : Polymerase Chain Reaction


(14)

(15)

xvi INTISARI

Homoseksual merupakan salah satu faktor resiko penularan HIV/AIDS, hal ini dikarenakan perilaku seksual pada kelompok homoseksual mempunyai peranan penting dalam penularan HIV/AIDS, seperti tidak menggunakan kondom, anal seks, oral seks dan bergonta-ganti pasangan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkan HIV/AIDS di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan rancangan survey

deskriptif. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 78 responden dengan

menggunakan teknik accidental sampling. Analisa data menggunakan univariat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mayoritas kelompok homoseksualitas usia 17-25 tahun (53,8%), pendidikan terakhir SMA (60,3%), sudah disirkumsisi (96,2%). Mayoritas kelompok homoseksual kadang-kadang melakukan perilaku seksual beresiko, yaitu melakukan hubungan seksual lebih dari satu orang/thereesome (52,6%), penggunaan kondom (50%), seksual anal (53,8%), mengeluarkan sperma didalam anus (52,6%), seksual oral (47,4%), mengeluarkan sperma didalam mulut (51,6%), bergantian memasukan jari ke anus, responden (51,3%) dan pasanganya (50%), rimming pada responden tidak pernah (51,3%) dan pasanganya kadang-kadang (62,8%), interfemoral coitus, responden (53,8%) dan pasanganya (52,6%). Perilaku seksual pada kelompok homoseksual di Yogyakarta tergolong beresiko menularkan HIV/AIDS.


(16)

xvii ABSTRACT

Homosexual is a risk factor for transmission of HIV / AIDS, this is due to sexual behavior in homosexual groups have an important role in the transmission of HIV / AIDS, such as not using a condom, anal sex, oral sex and changing partners.

This study aimed to describe homosexuality sexual behavior in groups who has risk of transmitting HIV / AIDS in Yogyakarta. This research was descriptive quantitative descriptive survey design. The sample in this study were 78 respondents were using accidental sampling technique. Data were analyzed using univariate.

These results indicated that the majority of homosexuality attain the age of 17-25 years (53.8%), High School education background (60.3%), already circumcised (96.2%). The majority of homosexuals sometimes do risky sexual behavior, such as sexual intercourse more than one person / threesomes (52.6%), the use of condoms (50%), anal sex (53.8%), releasing the sperm inside the anus (52 , 6%), oral sex (47.4%), releasing the sperm into the mouth (51.6%), alternately insert a finger into the anus, the respondents (51.3%) and their partners (50%), rimming the respondents have never (51.3%) and her partner could sometimes (62.8%), interfemoral coitus, the respondents (53.8%) and her partner (52.6%). Sexual behavior in homosexual groups in Yogyakarta classified as at risk of transmitting HIV / AIDS.


(17)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency

syindrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

utama di dunia. Di tingkat global, AIDS menempati rangking keempat diantara penyakit-penyakit utama penyebab kematian. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan epidemi HIV/AIDS paling pesat di dunia. Masalah HIV/AIDS ini telah menjadi program utama untuk penanganan penyakit yang berbahaya. Pemerintah sering melakukan pendataan secara statistik untuk mengetahui meningkatnya perkembangan epidemi ini yang telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan laporan Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, hingga saat ini perkembangan penyakit HIV/AIDS kedepannya akan terus ditemukan kasusnya bila dibandingkan dengan Asia Timur dan Pasifik, seiring dengan semakin banyak layanan yang dapat mendeteksi HIV/AIDS (Kemenkes, 2013).

Menurut laporan Ditjen PP dan PL Kemenkes (2014), kasus HIV yang ditemukan sampai September 2014 adalah 2011 kasus, sedangkan untuk kasus AIDS sudah mencapai 952 kasus. Pada kasus HIV/AIDS berdasarkan rasio cara penularan dan kelompok umur yaitu lebih banyak laki-laki (54%) daripada perempuan (29%), sementara itu 17% tidak dilaporkan jenis kelaminya. Faktor-faktor resiko penularan HIV/AIDS sangat beragam, ditunjukan dengan adanya


(18)

perilaku seksual dan hubungan dengan partner seks yang tidak memakai kondom. Faktor lain adalah penularan secara perinatal dan riwayat penyakit infeksi menular seksual yang pernah diderita sebelumnya. Penularan virus HIV melalui beberapa cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI (Air Susu Ibu).

Dari laporan Kemenkes (2014) cara penularan kasus HIV/AIDS kumulatif yang dilaporkan adalah heteroseksualitas (61,5%), pengguna narkoba jarum suntik (15,2%), homoseksualitas (2,4%), biseksualitas (0,6%), perinatal (0,3%), tranfusi darah (0,2%), dan tidak diketahui (17,1%). Pada awal epedemi HIV/AIDS diketahui, penyakit ini lebih banyak diidentifikasikan oleh laki-laki homoseksualitas. Hal ini teridentifikasikan di Asia Timur dan Asia Pasifik yang saat ini mengalami peningkatan yang cepat. Menurut perkiraan para ahli dan Badan PBB dengan memperhitungkan jumlah penduduk lelaki dewasa, jumlah homosekualitas saat ini diperkirakan lebih dari tiga juta orang. Sedangkan berdasarkan perkiraan tahun 2009 angkanya hanya sekitar 800 ribu (Candra, 2011). Berdasarkan laporan Kementrian kesehatan 2012 estimasi populasi homoseksualitas di Indonesia mencapai 1.095.970 orang dan di Yogyakarta sendiri mencapai 8.443 orang (Kemenkes, 2012). Menurut Survei terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2013 dari kelompok homoseksualitas di Indonesia yang positif HIV/AIDS mencapai 12,8%. Di Yogyakarta tahun 2011 dan Tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan prevalensi HIV pada populasi homoseksualitas. Di kota Yogyakarta sendiri mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Hasil survei STBP pada tahun 2009-2013 menunjukkan prevalensi pada


(19)

kaum homoseksualitas yang terkena HIV/AIDS adalah 7,9% menjadi 20,3% (Praptorahardjo dkk, 2014).

Tang dan Tasoi (2008) melaporkan bahwa homoseksualitas di Asia 19 kali lebih mungkin tertular HIV dari pada yang bukan homoseksualitas. Ada proyeksi yang mengatakan bahwa sekitar 50% dari jumlah kasus baru infeksi HIV pada tahun 2020 di Asia akan disebabkan oleh kaum homoseksualitas. Keadaan ini memperlihatkan bahwa perilaku seks beresiko di kalangan homoseksualitas mempunyai peranan penting dalam proses penularan HIV/AIDS (Loretz, Brown, dan Soroker 2007).

Di Indonesia, fenomena baru penyebaran HIV/AIDS terjadi pada tahun 2002 yang ditularkan melalui perilaku seksual. Kondisi ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, bahwa sebanyak 55% dari keseluruhan infeksi baru HIV/AIDS disebabkan oleh hubungan seks heteroseksualitas maupun homoseksualitas. Data estimasi populasi rawan tertular HIV pada kaum homoseksualitas di Indonesia tahun 2009 adalah 696.026 dari sekitar 800 ribu kaum homoseksualitas (Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes RI, 2011). Hal mencerminkan bahwa pergeseran utama epidemi HIV/AIDS di Indonesia saat ini adalah melalui transmisi seksual beresiko, terutama pada kalangan kaum homoseksualitas yang tersembunyi. Menurut estimasi The Asian

Epidemic Model, jika tidak ada perubahan dalam hubungan seksual beresiko,

maka jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 648.322 orang (KPAN & AusAID, 2011).


(20)

Homoseksualitas adalah kelompok dengan persentase tertinggi (2,5%) dari kasus yang terdiri dari 555 kasus HIV dan 56 kasus AIDS, yang berhubungan seks dengan banyak pasangan dan beresiko tertular HIV/AIDS. Hal ini disebabkan karena jaringan homoseksualitas yang luas dan terselubung sehingga menyebabkan jangkauan terhadap homoseksualitas saat ini masih kurang. Selain itu, sedikit dari komunitas tersebut yang mempedulikan perilaku seks yang aman, padahal sebagian besar dari mereka sudah pernah dibekali pendidikan kesehatan (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Yayasan Vesta Indonesia di dapatkan data populasi homoseksualitas di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 2.158 orang. Sedangkan di kota Yogyakarta sendiri mencapai 1.515 orang. Data tersebut didapatkan berdasarkan jangkauan dari bulan Januari-Desember 2014 yang terdapat dari berbagai latar belakang dan umur tetapi kebanyakan dari data adalah yang dari kalangan umur produktif yaitu 19-30 tahun. Dari hasil laporan Yayasan Vesta Indonesia homoseksualitas yang pernah mengikuti VCT (Voluntery Conceling Test) didapatkan 358 orang, dan dari jumlah tersebut 7,7% di dapatkan positif HIV. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap satu orang yang positif HIV/AIDS dan dua orang yang negatif HIV/AIDS adalah orang yang postif HIV/AIDS dalam melakukan hubungan seksual jarang memakai kondom dengan alasan tidak nyaman, melakukan oral seks, anal seks, bergonta-ganti pasangan bahkan melakukan hubungan seksual dengan dua orang sekaligus dalam satu waktu, melakukan


(21)

pasangan jika pasangan tidak mau di anal untuk mendapatkan kepuasan seksualnya. Dari dua orang yang negatif HIV/AIDS mengatakan selalu memakai kondom, satu orang setia pada pasanganya dan satu orang beronta-ganti pasangan, melakukan oral seks, anal seks, memasukan jari ke anus, dan melakukan rimiing.

Dari beberapa hasil penelitian menggambarkan bahwa berhubungan seksual di antara pasangan homoseksualitas berpotensi menularkan HIV/AIDS, apalagi salah satu dari pasangan tersebut positif mengidap HIV/AIDS. Selain itu, kerentanan terinfeksi HIV/AIDS di kalangan homoseksualitas yang berperilaku seks beresiko relatif tinggi (Sugiarto, 2011 dalam Ford at. al. 2009).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkan HIV/AIDS di Yogyakarta ?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Untuk mengetahui perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkan HIV/AIDS di Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Keperawatan/Tenaga Kesehatan

a. Dapat menjadi bahan evaluasi pada pencapaian dan target dari 3 goal


(22)

mengendalikan penyebaran HIV/AIDS, sehingga terjadi penurunan jumlah kasus pada populasi homoseksualitas.

b. Dapat menjadi konsep dasar dalam merumuskan inovasi strategi untuk pelaksanaan kegiatan dan kebijakan program pencegahan HIV/AIDS khususnya pada kelompok homoseksualitas.

2. Bagi Yayasan Vesta Indonesia

Penelitian ini berguna untuk dijadikan konsep dasar merumuskan strategi inovasi untuk pelaksanaan kegiatan dan kebijakan pencegahan HIV/AIDS pada kelompok homoseksualitas.

3. Bagi Responden

Diharapkan meningkatkan kesadaran bagi kelompok homoseksualitas terhadap resiko penularan HIV/AIDS dengan berperilaku seksualitas yang aman.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi dalam penelitian yang berkaitan dengan perilaku seksualitas pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkan HIV/AIDS.


(23)

E. Keaslian Penelitian

Peneliti belum menemukan judul penelitian yang sama dengan judul yang akan dilakukan oleh peneliti saat ini, namun peneliti menemukan penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

1. Winarsih (2014), dengan judul penelitian “Perilaku Seksual Komunitas Gay Kaitanya dengan HIV/AIDS”. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan jenis studi kasus. Hasil penelitian menunjukan bahwa perilaku seksual yang dilakukan komunitas gay menjadi salah satu faktor yang memberikan pengaruh dalam penularan HIV/AIDS. Persamaan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan diteliti adalah sama-sama menggunakan metode penelitian deskriptif. Perbedaanya adalah penelitian sebelumnya metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dan dalam pengambilan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi dan penelitian yang akan diteliti metode penelitian yang digunakan kuantitatif deskriptif dan dalam teknik pengambilan data menggunakan accidental sampling.

2. Dwilaksono (2013), dengan judul penelitian “Kontrol Diri dan Perilaku Seksual Permisif pada Gay”. Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif dimana untuk melakukan analisis data digunakan uji korelasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap komponen dari kontrol diri, yaitu kontrol perilaku, kognitif, dan keputusan memiliki korelasi negative dengan semua bentuk perilaku seksual permisif pada gay, kecuali control perilaku dengan seks oral. Hal ini memperlihatkan bahwa pada


(24)

dasarnya pria gay membutuhkan control diri yang baik guna mengendalikan perilaku seksual permisifnya sebagai gay. Persamaan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan diteliti adalah sama-sama menggunakan metode kuantitatif. Perbedaan penelitian sebelumnya adalah teknik pengambilan data menggunakan snowball sampling dan penelitian yang akan diteliti teknik pengambilan data menggunakan accidental sampling.


(25)

9

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. HIV/AIDS a. Definisi

AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency

Syndrome, yaitu menurunya kekebalan tubuh terhadap penyakit karena

infeksi virus HIV (Human Immunodeviciency Virus) (Djoerban & Djazuli, 2006). Dari keterangan tersebut jelas bahwa sebelum seseorang menderita AIDS dalam tubuhnya, terlebih dahulu terjadi kerusakan sistem kekebalan tubuh. Akibat kerusakan kekebalan tubuh tersebut tubuh penderita menjadi peka terhadap infeksi kuman yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman bentuk ini disebut infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul karena mikroba yang berasal dari luar tubuh maupun dalm tubuh manusia, namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh (Yunihastuti, 2005).

b. Penyebab

AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama, yaitu HTL II, LAV, RAV, yang nama ilmiahnya disebut dengan Human

Immunodeficency Virus (HIV), yang berupa agen viral yang dikenal


(26)

terhadap limfosit T (Depkes, 2009). Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen antiviral yang disebut HIV dari kelompok Retrovirus

Ribonucleic Acid (RNA).

Retrovirus mempunyai afinitas yang kuat terhadap limfosit T (Hudak & Gallo, 2010). Disebut retrovirus RNA karena virus tersebut menggunkan RNA sebagai molekul pembawaan informasi genetik dan memiliki Enzim Reverse Transciptase. Enzim ini memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk

Deoxy Nucleic Acid (DNA) yang kemudian diintegrasikan pada informasi

genetik sel limfosit yang diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk menduplikasi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri HIV (Widoyono, 2011).

Menurut Bratawijaya & Rengganis (2010), tipe HIV ada 2, yaitu Tipe 1 (HIV-1), penyebab utama AIDS yang merupakan bentuk virus yang paling virulen, prevalensinya lebih banyak dan bermutasi lebih cepat. Tipe 2 (HIV-2), menyebabkan penyakit yang serupa dengan HIV-1. Patogenesisnya lebih rendah dibandingkan dengan HIV-1 (Mandal at. al, 2008).

Keduanya merupakan virus yang menginfeksi sel CD4+T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV. Setelah infeksi oleh HIV, terjadi penurunan sel CD4 secara bertahap yang menyebabkan peningkatan gangguan imunitas yang diperantarai sel dengan akibat


(27)

kerentanan terhadap berbagai infeksi opertunistik (Bratawijaya & Rengganis, 2010).

c. Tanda dan gejala

Menurut Nursalam (2006), tanda dan gejala penderita yang terinfeksi HIV/AIDS biasanya penderita mengalami berat badanya menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat, demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan), diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan), batuk perkepanjangan (lebih dari satu bulan), kelainan kulit dan iritasi (gatal), infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan, serta pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha.

Menurut WHO dan CDC (2002, dalam Widoyono, 2011), manifestasi klinis HIV/AIDS pada penderita dewasa berdasarkan stadium klinis yang disertai skala fungsional dan kalisifikasi klinis, yaitu:

Stadium klinis I: pada skala I memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana klien tetap melakukan aktivitas secara normal maupun disertai adanya limfadenopati presistent generalisata. Stadium klinis II: pada skala II memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana klien tetap melakukan aktivitas normal tetapi disertai adanya penurunan berat badan <10% dari berat badan sebelumnya, manifestasi mukokotaneius minor (dermatitis


(28)

berulang, cheilitis angularis), herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, dan ISPA berulang.

Stadium III: pada skala III memperlihatkan adanya kelemahan, berbaring di tempat tidur <50% sehari dalam 1 bulan terakhir disertai penurunan berat badan >10%, diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bulan, demam dengan penyebab yang tidak jelas (intermitent atau tetap) >1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TB pulmoner dalam satu tahun terakhir, dan infeksi bacterial berat (misal: pneumonia, piomiostitis).

Stadium klinis IV: pada skala IV memperlihatkan kondisi yang sangat lemah, selalu berada ditempat tidur > 50% setiap hari dalam bulan-bulan terakhir disertai HIV wasting syndrome (sesuai yang ditetapkan CDC), peneumocystis carinii pneumonia (PCP), encephalitis toksoplasmosis, diare karena cryptosporidiosis >1 bulan, cryptococcosis

ekstrapulmoner, infeksi virus sitomegalo, infeksi herpes simpleks >1

bulan, berbagai infeksi jamur berat (histoplasma, coccoidioidomycosis),

kandidiasis esophagus, trachea atau bronkus, mikobakteriosis atypical,

salmonelosis non tifoid disertai eptikemia, TB ekstrapulmoner, limfoma


(29)

d. Komplikasi

Menurut Gunawan (2006), komplikasi dari penyakit HIV/AIDS menyerang paling banyak pada bagian tubuh seperti:

1) Oral lesi

Lesi ini disebabkan karena jamur kandidia, herpes simpleks,

sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis, periodonitis HIV,

leukoplakia oral, penurunan berat badan, keletihan, dan cacat.

2) Neurologik

Pada neurologik, virus ini dapat menyebabkan kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfagia, dan isolasi sosial. Enselopaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensepalitis. Dengan efek seperti sakit kepala, malaise demam, paralise, total/parsial, infrak serebral

kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik

endokarditis.

3) Gastrointestinal

Pada gastrointestinal dapat menyebabkan beberapa hal seperti: diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat illegal, alkoholik.


(30)

Dengan anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.

4) Respirasi

Infeksi karena pneumocitis, carinii, cytomegalovirus, virus

influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas

pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, dan gagal nafas. 5) Dermatologik

Lesi kulit stafilokukus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.

6) Sensorik

Pada bagian sensorik virus menyebabkan pandangan pada sarcoma kaposis pada konjuntiva berefek kebutaan. Pendengaran pada otitis eksternal dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

e. Cara penularan

Cairan tubuh yang potensial menjadi media penularan HIV adalah darah, cairan mani, cairan vagina, dan di dalam air susu ibu (ASI). Pada umumnya resiko penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seksual (homoseksualitas maupun heteroseksualitas). Penularan melalui darah


(31)

biasanya dengan perantara transfusi darah/produk darah, alat suntik atau alat medis lain (narkoba, tato), perinatal (ibu hamil ke janin) (Nursalam, 2006).

Penyebaran virus HIV dapat melalui aktivitas yang melibatkan kontak dengan cairan tubuh (Farnan & Enriquez, 2012). Secara lebih terperinci, virus ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh, semen, vagina, air susu ibu, serebrospinal, sinoval, dan amnion (Ahluwalia, 2005).

f. Faktor resiko

Faktor risiko penularannya HIV/AIDS yang terjadi, yaitu : 1. Hubungan seksual secara heteroseksualitas maupun homoseksualitas. 2. Penggunaan jarum suntik.

3. Parenatal dan perinatal dari ibu kepada anaknya (Guerrant el. al, 2011 & Volberding et. al, 2008).

g. Tindakan pencegahan

Menurut Widoyono (2005), tindakan pencegahan yang dilakukan adalah menghindari hubungan seksual dengan penderita HIV atau penderita AIDS, mencegah hubungan dengan pasangan yang bergonta-ganti atau dengan orang yang mempunyai banyak pasangan, menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika obat suntik, melarang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok beresiko tinggi untuk melakukan donor darah, memberikan transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar memerlukan, dan memastikan sterilitas alat suntik.


(32)

HIV dan AIDS adalah penyakit menular yang bisa dicegah. HIV tidak menular melalui jabat tangan, berciuman, menggunakan peralatan makan, kerja sama, berbagi ruangan, gigitan nyamuk, dan kontak sosial biasa (KPAN, 2011).

h. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan klinis infeksi HIV/AIDS dikonsentrasikan pada terapi umum dan terapi khusus serta pencegahan penularan yang meliputi penderita dianjurkan untuk berisitirahat dan meminimalkan tingkat kelelahan akibat infeksi kronis, dukungan nutrisi yang adekuat berbasis makronutrien dan mikronutrien, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, motivasi dan pengawasan dalam pemberian antiretroviral

therapy (ARV), membiasakan gaya hidup sehat antara lain dengan

berolahraga yang ringan dan teratur, mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau orang yang mempunyai banyak pasangan.

i. Pemeriksaan diagnostik

Untuk membantu menegakkan diagnosa infeksi HIV/AIDS harus berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan pembagian gejala klinis baik mayor maupun minor. Dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS apabila pemeriksaan tes HIV enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dari metode yang berbeda menunjukkan hasil reaktif dan telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan western bolt serta didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor (Nasronudin, 2007).


(33)

Diagnosa HIV pada umumnya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut dan merupakan masalah yang paling sering di bidang klinik. Untuk mengubah hal ini perlu ditingkatkan kepedulian terhadap infeksi HIV, perluasan fasilitas diagnosis serta diterapkanya PITC (Provider Treatment

and Conceling) (Djauzi, 2010).

Tabel 2.1 Gejala Mayor dan Minor Infeksi HIV/AIDS

No Gejala Karakteristik

1 Mayor - Berat badan menurun >10% dari bulan. - Diare kronis yang berlangsung > 1 bulan. - Demam lama berlangsung > 1 bulan.

- Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.

- Tuberkolosis.

- Ensefalopati HIV

2 Minor - Batuk menetap

- Dermatitis generalisata

- Kandidiasis orofaringeal.

- Herpes zoster multisegmental berulang - herpes simplek

- Limfadenopati generalisata

(Sumber: Modifikasi dari Nasrodin, 2007 dan Kurniawan & Nursalam, 2008)

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan dalam menegakkan infeksi HIV, yaitu:

a) ELISA

Merupakan pemeriksaan serologi standart/uji penapsian terhadap antibodi HIV. Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi (Carroll, 2007)


(34)

b) Western Bolt

Merupakan tes konfirmasi uji pemastian terhadap komponen protein HIV. Spesifitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Widoyono,2011).

c) PCR (Polymerase Chain Reaction)

Tes ini banyak digunakan pada bayi, karena ini dapat meminimalkan kerja dari zat antimaternal yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut (Mandal at. al, 2008). j. Peran perawat spesialis klinis HIV/AIDS

Program penanggulangan HIV/AIDS mempunyai tantangan yang cukup besar sehubungan dengan angka prevalensi HIV/AIDS yang terus meningkat. Peran tenaga kesehatan khususnya perawat spesialis dituntut untuk berperan aktif dalam program tersebut melalui upaya pencegahan dan pengelolaan pelayan keperawatan secara langsung. Dalam melakukan perananya, perawat spesialis bertanggungjawab mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi asuhan keperawatan HIV/AIDS yang komperehensif yang sangat bermanfaat dalam program pengendalian lanjut infeksi HIV (Kurniawati & Nursalam, 2008).


(35)

2. Perilaku seksual a. Pengertian

Perilaku seksual segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Dalam hal ini, perilaku seksual dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama (Sarwono, 2006)

b. Hal yang menyebabkan timbulnya perilaku seksual

Menurut Sarwono (2006), secara garis besar perilaku seksual disebabkan oleh:

1) Meningkatnya libido seksual

Didalam upaya mengisi peran sosial, seseorang mendapatkan motivasinya dari meningkatnya energi seksual atau libido, energi seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik.

2) Penundaan usia perkawinan

Dengan meningkatnya taraf pendidikan masyarakat, dengan makin banyak anak-anak perempuan yang bersekolah, makin tertunda kebutuhan untuk mengawinkan anak-anak untuk sekolah dulu sebelum mengawinkan mereka.

3) Tabu/ larangan

Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana orang tidak boleh melaksanakan hubungan seksual


(36)

sebelum menikah. Pada masyarakat modern bahkan larangan tersebut berkembang lebih lanjut pada tingkah yang lain seperti berciuman dan masturbasi.

4) Kurangya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi

Seseorang yang sudah mulai berkembang kematangan seksual secara lengkap kurang mendapat pengarahan dari orang tua mengenai kesehatan reproduksi khususnya tentang akibat-akibat perilaku seksual pranikah maka mereka sulit mengendalikan rangsangan-rangsangan dan banyak kesempatan seksual pornografi melalui media massa yang membuat mereka melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahui resiko-resiko yang dapat terjadi.

5) Pergaulan semakin bebas

Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar, banyak kebebasan pergaulan antara jenis kelamin.

c. Bentuk-bentuk perilaku seksual

Menurut Sarwono (2007) bentuk dari perilaku seksual bermacam-macam dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse

1) Kissing

Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual seperti di bibir disertai dengan meraba pada bagian sensitive yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir


(37)

tertutup merupakan ciuman umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut

french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam/

soul kiss.

2) Necking

Berciuman disekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitat leher dan pelukan yang lebih dalam.

3) Petting

Perilaku menggesek-gesekan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, bahu dada, kaki, dan kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

4) Intercourse

Bersatunya dua organ seksualitas yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan pria ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksualnya.

d. Perilaku seksual beresiko

Perilaku seksual beresiko akan meningkatkan kemungkinan seseorang terinfeksi HIV/AIDS. Faktor yang menentukan seseorang berperilaku seksual beresiko antara lain jumlah pasangan seksual, praktek seksual tertentu, pemilihan seseorang sebagai pasangan seksual dan


(38)

penggunaan kondom. Variabel-variabel demografik merupakan faktor yang telah lama dihubungkan dengan penularan HIV/AIDS. Variabel demografik tersebut antara lain umur, jenis kelamin, status perkawinan, etnis, migrasi, sosial ekonomi dan pendidikan. Perilaku seksual beresiko dikelompokan menjadi tiga bagian (Sonestein et. al, 1997) dalam Angreani, S (2005), yakni:

1) Kelompok tidak beresiko

Kelompok tidak beresiko apabila tidak pernah berhubungan seksual.

2) Kelompok beresiko rendah

Apabila pernah berhubungan seksual dengan satu pasangan saja, atau berhubungan seksual dengan banyak pasangan namun selalu menggunakan kondom dengan baik dan benar.

3) Kelompok beresiko tinggi

Apabila berhubungan seksual dengan lebih satu pasangan tidak menetap atau komersial dan tidak menggunakan kondom secara rutin.


(39)

Macam-macam perilaku seksual terdiri dari dua macam, yaitu perilaku seksual beresiko dan perilaku seksual yang aman (KPA, 2012). 1) Perilaku seksual beresiko

Kegiatan seksual beresiko tertular HIV antara lain :

a) Melakukan seks bersama orang yang sudah terinfeksi HIV tanpa menggunakan kondom. Baik hubungan seks antara pria dengan wanita, ataupun pria dengan pria.

b) Memiliki banyak pasangan seksual (bergonta-ganti pasangan). c) Hubungan seks anal yang merupakan kegiatan seks yang paling

beresiko menularkan HIV/AIDS pada penerima penis, sedangkan pada kegiatan seks vaginal, perempuan mempunyai resiko tertular yang lebih tinggi.

2. Perilaku seksual yang aman

Seks aman adalah istilah yang telah ada sejak tahun-tahun awal epidemi HIV. Hal ini terdapat banyak hal yaitu :

a) Tidak melakukan hubungan seks.

b) Membatasi jumlah pasangan seksual, membatasi alkohol dan penggunaan narkoba.

c) Menghindari pertukaran cairan tubuh, menggunakan alat kontrasepsi (seperti kondom pria atau wanita).

d) Penggunaan obat HIV untuk mencegah penularan virus bahkan seks yang lebih aman sering melibatkan kombinasi dari pendekatan ini (AidsMeds, 2012).


(40)

e. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual beresiko terhadap HIV/AIDS

1) Umur

Menurut Green (1990) dalam Angreani, S (2005) merupakan salah satu variabel demografik yang menjadi faktor prediposisi terjadinya perilaku berhubungan dengan kesehatan umur dan juga merupakan variabel penting dalam penelitian sosial kesehatan. Sering dengan adanya perkembangan HIV/AIDS, kelompok tertentu ditemukan lebih rentan memiliki perilaku seksual beresiko terhadap HIV/AIDS. Hal ini salah satunya berhubungan dengan variasi perilaku beresiko berdasarkan umur. Kelompok umur remaja dikatakan merupakan masa kritis dimana pemahaman terhadap penyakit kesehatan masih belum cukup matang. Walaupun kelompok remaja memiliki kemampuan kognitif untuk menentukan perilaku yang sehat, pada prakteknya remaja sering terdorong oleh kekuatan lain yang membuat mereka tidak berperilaku secara sehat. Hal ini termasuk perilaku mencoba atau memulai hubungan seksual. Berbeda dengan remaja, kelompok umur dewasa kurang memiliki perilaku beresiko. Kelompok umur dewasa melakukan perilaku yang sehat (Sarafino, 1994) dalam Angreani, S (2005).

2) Pendidikan

Pendidikan berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerima dan merespon terhadap berbagai informasi. Dimana tingkat


(41)

pendidikan yang setingkat SMA atau lebih mempunyai kemampuan menyerap informasi yang bersifat mendidik yang diberikan. Hal ini berarti dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kemampuan menyerap pesan kesehatan akan lebih baik. Responden dengan pendidikan yang lebih baik akan lebih baik pengetahuan dan tingkat kepedulianya terhadap HIV/AIDS (Utomo at. al, 1998 dalam Angreani, S, 2005).

3) Status pernikahan

Menurut Utomo at. al (1998) dalam Angreani, S (2005) status pernikahan menunjukan apakah seseorang telah menikah atau belum menikah. Pernikahan pada prinsip dasarnya adalah meningkatkan hubungan seseorang untuk lebih terikat. Keterikatan tersebut salah satunya dalam berhubungan seksual yang berhubungan dengan fungsi reproduksi yaitu menghasilkan keturunan. Namun status pernikahan telah menikah terkadang meningkatkan seseorang berperilaku seksual dengan banyak pasangan.

3. Homoseksualitas a. Pengertian

Homoseksualitas atau homoseksual adalah masalah kompleks yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial maupun agama. Dalam buku Hawari (2009) menyatakan bahwa istilah homoseksualitas mengacu kepada salah satu bentuk perilaku seks yang


(42)

menyimpang, yang ditandai dengan adanya ketertarikan (kasih sayang, hubungan emosional, dan secara erotik) dengan jenis kelamin yang sama. Sedangkan menurut Carroll (2007) berpendapat bahwa homoseksualitas adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kecenderungan umum seks dengan orang lain yang berjenis kelamin yang sama.

Homoseksualitas dapat dijelaskan dalam beberapa dimensi. Termasuk di antaranya adalah sikap untuk mendeskripsikan hubungan seksual atau kecenderungan erotis, kesadaran akan konsep diri homoseksualitas, atau hubungan seks dengan sesama jenis. Orang yang menjalani perilaku homoseksualitas ini berasal dari semua sosial, tingkat pendidikan bervariasi, mewakili semua jenis pekerjaan dan profesi, mempunyai bermacam-macam kepentingan dan kegemaran, dan mungkin sudah menikah atau masih single (Siahaan, 2009; Irianto, 2010).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan homoseksualitas mengacu pada individu yang memiliki preferensi, perilaku seksual, dan ketertarikan baik secara psikososial, sosial, dan seksualitas dengan individu lain, yang memiliki jenis kelamin sama serta komunitas yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai kaum homoseksualitas.

b. Ekspresi homoseksualitas

Dalam keseharianya, kaum homoseksualitas memperlihatkan ekspresi homoseksualitasnya (Kaerono, 2009; Irianto, 2010), antara lain aktif, bertindak sebagai pria yang agresif. Pasif, bertingkah laku dan


(43)

berperan pasif-feminim seperti wanita. Bergantian peran. Biasa sebagai pria atau wanita dalam berhubungan seks.

Jeffires (2007) melaporkan bahwa pria latin yang melibatkan diri dalam berhubungan sesama jenis lebih cenderung bertindak sebagai pria yang agresif/aktif melalui orientasi seks yaitu penetrasi anak dibandingkan dengan bukan pria latin. Hal ini dikarenakan lebih kepada peran jati diri dalam bentuk maskulinitas hemoragik. Peran maskulinitas ini adalah salah satu cara bagi pria latin untuk menununjukkan dominasi sosial terhadap pasangan seks yang berperan pasif.

Menurut Firdaus (2010) dan kartono (1989) ekspresi homoseksualitas dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

a) Kategori homoseksualitas aktif (Top)

Kategori yang berperan sebagai laki-laki dalam hubungan dan dalam kegiatan seksual, tipe ini yang melakukan penetrasi penis. Kategori ini tidak selalu memiliki sifat maskulin, ada beberapa yang mempunyai sifat feminim.

b) Kategori homoseksualitas pasif (Bottom)

Kategori yang berperan sebagai perempuan dalam hubungan dan dalam kegiatan seksual, tipe ini yang menjadi objek sodomi. Kategori ini tidak selalu memiliki sifat feminim, ada beberapa yang mempunyai sifat maskulin.


(44)

c) Kategori homoseksualitas aktif-pasif atau netral (Versatile)

Kategori yang bergantian peran dan dalam kegiatan seksual, tipe ini dapat berperan sebagai objek maupun yang melakukan sodomi. Tipe ini dapat berperan sebagai laki-laki maupun perempuan dalam suatu hubungan.

c. Tiga aspek acuan perilaku homoseksual

Menurut Adesla (2009), perilaku homoseksual mengacu pada 3 aspek yaitu :

a) Orientasi seksual

Ketertarikan atau dorongan atau hasrat untuk terlibat secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat romantis) terhadap orang yang berjenis kelamin sama.

b) Perilaku seksual (sexual behavior)

Perilaku yang dilakukan antara dua orang yang berjenis kelamin sama, tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender.

c) Identitas seksual (sexual identity)

Yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku atau orientasi homoseksualitas.

d. Bentuk hubungan homoseksual

Kaum homoseksualitas cenderung memiliki banyak partner seks. Mereka lebih menyukai hubungan yang bersifat impersonal daripada hubungan yang permanen. Alasan mereka menjalin hubungan impersonal


(45)

tersebut supaya kerahasiaan identitas homoseksualitasnya tetap terjaga (Siahaan, 2009).

Menurut Bell dan Weinberg (1978, dalam Siahaan, 2009), beberapa bentuk hubungan homoseksual, yaitu:

a. Close Coupled, yaitu hidup bersama dalam hubungan seperti nikah.

Mereka cenderung tidak mempunyai atau mencari pasangan lainya, serta tidak menemui banyak masalah dalam hubungan tersebut.

b. Open Coupled, yaitu tinggal bersama dengan pasangan tetapnya, namun

tetap terlibat hubungan seksual dengan partner seks lainya. Perilaku yeng cenderung membuat mereka rentan terhadap infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS.

c. Functional, yaitu melakukan hubungan seksual dengan banyak

pasangan yang tidak tetap dan berhubungan yang terjadi bersifat impersonal. Mereka mengalami beberapa masalah dalam hubungan tersebut.

d. Asexual, yaitu memiliki sedikit hubungan homoseksual dan banyak

mengalami masalah seksualitas serta menyesali orientasi seksualnya. e. Karakteristik homoseksualitas

Menurut Pratikno (2005), beberapa karateristik kaum homoseksualitas yang dapat diidentifikasikan adalah naluri homoseksualitas tetap naluri seorang pria. Dalam berkomunikasi, gaya bicaranya cenderung feminim, seadanya atau bahkan talkactive. Sebagian


(46)

dari mereka berlaku pendiam saat berada dalam lingkungan umum namun justru aktif dalam lingkunganya (sesama homoseksualitas). Mereka nyaris tidak pernah kehabisan banyak pembicaraan. Ada saja yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, baik dengan kelompoknya atau dengan orang sekelilingnya.

Hal tersebut umum dilakukan oleh pria homoseksualitas yang sudah open status. Sedangkan untuk pria homoseksualitas tertutup, mereka lebih banyak pendiam. Dimana kepribadian cenderung tertutup dan jika tidak tahu, orang akan keliru menafsirkan bahwa ia pria yang berwibawa. Perfeksionis, mereka cepat melihat ketidaksempurnaan dan segera memperbaikinya. Karena sifat mereka yang kadang cenderung perfeksionis dan teliti maka terkadang orang menilainya menjadi sangat hati-hati dan jarang mengambil keputusan beresiko. Dalam pekerjaan, dia akan teliti dan tampak rapi, termasuk bagaimana mengatur ruangan dan meja kerja, akan sangat rapi dan bersih. Bahkan akan menempatkan benda-benda atau aksesoris tambahan, seperti bunga ataupun pernak-pernik lain. Cenderung sensitif, dia tahu dengan pasti apa yang kita rasakan pada saat yang sangat tepat. Mereka lebih perhatian dan memiliki empati yang lebih dalam ketika memperlakukan wanita ketimbang pria normal yang cenderung menunjukkan otoritasnya di hadapan wanita. Berpenampilan rapi, bersih dan modis, hampir sebagian besar pria


(47)

homoseksual sangat memperhatikan dan menjaga penampilannya dengan rapi dan semodis mungkin.

Selalu memakai pengharum tubuh dengan wewangian yang memikat. Hal ini dilakukan agar aroma tubuhnya dapat menarik perhatian sekelilingnya. Dan penggunaan parfum ini menyesuaikan dengan penampilan rapi dan modisnya. Menyukai fitness, latihan fitness dilakukan dengan tujuan untuk membentuk body atletis. Hal ini dikarenakan mereka sangat memperhatikan penampilan. Sering menggunakan bahasa tubuh sebagai alat komunikasi antar sesama homoseksualitas, yaitu:

a. Tatapan mata yang lebih teduh.

b. Dengan menggunakan tatapan mata, maka dapat memperkenalkan diri kepada kelompok yang diidentifikasikan sebagai kaum homoseksualitas.

c. Mengandalkan feeling yang dimiliki, menjadi penentu identifikasi sesama kaum homoseksualitas.

d. Menunjukkan posisi tangan.

e. Dengan mengapitkan kedua telapak tanganya, dimana jari-jarinya saling menyilang dan menggerak-gerakan kedua ibu jarinya menandakan suatu pemberian sandi/tanda kepada sesama kaum homoseksualitas.


(48)

f. Perkembangan homoseksualitas

Teori tentang homoseksualitas yang berkembang saat ini pada dasarnya dibagi menjadi dua golongan (Carroll, 2007), yaitu:

a) Esensialisme berpendapat bahwa homoseksualitas berbeda dengan

heteroseksual sejak lahir, hasil dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa perdebatan yang menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan penyakit.

b) Konstruksionis berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah

peran sosial yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda, dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksualitas secara ilmiah.

Berikut adalah jabaran dari berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang terbentuknya perilaku homoseksualitas (Carroll, 2007): a. Pendekatan biologis

Teori biologis tentang homoseksualitas bersifat esensialis yang mengatakan bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini biasa disebabkan oleh genetik, hormon, urutan kelahiran atau sifat fisik yang sederhana. 1) Genetik

Hammer, et. al. (1993, dalam Carroll, 2007) menemukan bahwa pria homoseksualitas cenderung memiliki saudara homoseksualitas dari pihak ibunya, dan dengan menelusuri jejak


(49)

keberadaan gen homoseksualitas melalui garis keturunan ibu, ditemukan pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki.

2) Hormon

Teori hormon dapat berkonsentrasi baik pada ketidakseimbangan hormon sebelum kelahiran atau tingkat hormon pada orang dewasa.

a) Tingkat hormon pada perinatal

Ketika hormon tertentu diberikan ke hewan yang hamil, seperti tikus atau kelinci percobaan, pada periode kritis dari perkembangan janin, keturunanya dapat dibuat untuk menunjukkan perilaku homoseksualitas (Doner, 1976 dalam Carroll, 2007). Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa orientasi seksual dapat mempengaruhi tingkatnya hormon perinatal menjadi lebih baik pada manusia.

b) Tingkat hormon pada orang dewasa

Banyak peneliti membandingkan tingkat androgen dalam darah pada homoseksualitas dewasa dengan pria heteroseksualitas, dan umumnya tidak menemukan perbedaan signifikan (Green, 1988 dalam Carroll, 2007). Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan wanita heteroseksualitas, diantaranya tidak menemukan perbedaan tingkat testosteron atau hormon lain. Sementara dua lainya menemukan tingkat testosteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan


(50)

tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancy, 1990 dalam Carroll, 2007).

3) Urutan kelahiran

Para peneliti juga meneliti efek dari urutan kelahiran, ditemukan banyak dari pria gay telah dilahirkan lebih dari banyak saudara memiliki saudara yang lebih tua tetapi bukan kakak perempuan (Blanchard, 2004; Camperio-Ciani et. al, 2004; Ridley, 2003 dalam Carroll, 2007). Telah diperkirakan bahwa orientasi seksuali 1 dari 7 pria gay adalah hasil dari urutan kelahiran fraternal (jumlah saudara tua mereka memiliki) (Cantor et. al, 2002 dalam Carroll, 2007).

4) Fisiologi

Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak pria homoseksualitas dan heteroseksualitas (S.lEvay, 1991; Swaab& Hofman, 1990 dalam Carroll, 2007). Kedua studi ini memfokuskan pada hipotalamus, yang diketahui berperan penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria homoseksualitas berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria heteroseksualitas. Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural pada hipotalamus dalam hubungan dengan orientasi seksualitas. Melalui studi tentang panjang jari, Williams, et al (2000 dalam Carroll, 2007) menemukan bahwa lesbian memiliki


(51)

panjang jari yang lebih mirip jari pria pada umumnya. Dimana jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis. Hal ini mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testosteron yang lebih daripada wanita heteroseksualitas pada awal kehidupan.

b. Pendekatan psikologis

Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksualitas lebih sebagaian produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu. Teori perkembangan berfokus pada pola asuh seseorang dan sejarah pribadi untuk menemukan asal usul homoseksualitas. Pertama kita akan membahas teori perkembangan yang paling berpengaruh, teori psikoanalitik, dan kemudian kita akan menguji ketidaksesuaian pada gender, teori interaksi temanya sebaya, dan teori behavioristic dari homoseksualitas (Carroll, 2007).

c. Pendekatan sosiologi

Pendekatan sosiologi mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat mendefinisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berfikir budaya kita dan mengaplikasikanya pada diri kita (Carrroll, 2007).

Penggunaan istilah “homoseksualitas” yang mengacu pada perilaku sesama sejenis berkembang setelah revolusi industri yang


(52)

membebaskan orang-orang secara ekonomi di perkotaan (Adam, 1987 dalam Carroll, 2007). Oleh karena itu, pendapat bahwa apakah “homoseksualitas” atau “heteroseksualitas” bukanlah fakta biologis tetapi hanya cara berfikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial. d. Pendekatan interaksional biologis

Bem (1996, dalam Carroll, 2007) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih berkontribusi pada temperamen masa kanak-kanak yang mempengaruhi prefrensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis kelaminya atau tidak. Teori exotic-becomes-erotis yang ditemukan oleh Bem (1996, dalam Carroll, 2007). Mengatakan bahwa perasaan seksuali berubah dari pengalaman gender sejenis lebih sebagian eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis. Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih “eksotis” dan menarik

g. Jenis homoseksualitas

Menurut Sadarjoen (2005), homoseksualitas dapat dibagi atas beberapa kualitas tingkah laku yang ditampilkanya yaitu :

1) Homoseksual eksekutif

Bagi pria-pria yang memiliki kecenderungan homoseksual eksekutif, daya tarik pada wanita sama sekali tidak membuatnya


(53)

terangsang, bahkan ia sama sekali tidak mempunyai niat seksual terhadap wanita. Ia akan merasa impoten, apabila memaksakan diri untuk berhubungan seksual dengan wanita.

2) Homoseksualitas fakultatif

Pada homoseksualitas fakultatif biasanya mereka hanya pada situasi yang mendesak dimana kemungkinan untuk mendapatkan partner seks dari lawan jenis sangat sulit, sehingga tingkah laku homoseksualitas akan timbul sebagai usaha untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Kondisi ini banyak ditemukan di penjara.

3) Biseksualitas

Pada biseksualitas individu ini dapat memperoleh kepuasan erotis secara optimal baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. h. Pola aktivitas seksual beresiko pada homoseksualitas

Kaum homoseksualitas banyak yang ditemukan mengidap penyakit menular seksual bahkan terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan oleh karena keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas seksual yang promiskuitas (sering bergonta-ganti pasangan seks) dan sangat beresiko.

Jenis-jenis aktivitas perilaku seksual (Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011), yaitu:

1) Oral seks

Merupakan salah satu bentuk variasi dalam bercinta. Pada umumnya dilakukan dengan kontak mulut dengan penis (fellatio) atau kontak


(54)

mulut dengan vagina (cunnilingus). Fellatio berarti menghisap dan

cunnilingus berarti menjilat.

2) Seks anal

Yakni aktivitas seksual dengan memasukan penis ke dalam anus. Aktivitas seks ini banyak dilakukan antara pria dengan pria.

3) Seks genital

Merupakan aktivitas seksual yang paling umum dilakukan. Aktivitas ini ditandai dengan kontak fisik antar organ seksual pria dan organ seksual wanita.

Beberapa pola aktivitas seksual beresiko pada homoseksualitas (Kartono, 2009; Diggs, 2002), yaitu:

1) Anal eriotism tanpa pelindung

Intercourse seksual/sanggama melalui anus dianggap sebagai

praktik seks paling beresiko. Kurangnya pelumasan pada jenis hubungan seks anal (melalui dubur) dapat menyebabkan lecet pada penis dan mukos dubur, sehingga mudah menularkan virus. Alasan melakukan seks anal yakni untuk mencari hal yang baru dalam hubungan seks, fantasi, dan kenikmatan.

2) Oralerotism dengan ejakulasi dan tanpa pelindung

Kontak seksual antara mulut dengan penis juga bisa menularkan HIV. Apabila ada lesi di mulut atau luka di penis akibat penyakit kelamin, bisa menjadi jalan HIV dan masuk ke aliran darah.


(55)

3) Saling bertukar alat bantu

Meski HIV tidak bisa bertahan lama hidup di luar tubuh manusia, resiko penularan melalui vibrator atau jenis alat bantu seks lainya tetap ada. Resiko abrasi atau pengkikisan pada dinding anus bias menjadi jalan masuk HIV.

4) Seks oral-anal/rimming

Tipe kontak seksual yang sering dilakukan oleh kaum homoseksualitas dengan menggunakan bibir dan lidah untuk menjilat anus pasangan seksnya saat berhubungan seks. Alasan mereka melakukan seks oral anal untuk memperoleh variasi dan kenikmatan. Praktik dari tipe kontak seksual ini berdampak pada infeksi parasit usus.

5) Bergantian memasukan jari pada anus

Dalam hal peningkatan resiko penularan HIV, perilaku ini sama bahayanya dengan saling bertukar alat bantu seks. Resiko terjadi lesi pada mukosa anus dapat menjadi jalan masuk HIV ke aliran darah.

6) Interfemoral coitus

Memanipulasi penis dan zakar diantara kedua paha atau alat kemaluan pasangan. Gesekan yang terjadi saat berhubungan seks bisa menyebabkan luka pada kemaluan atau bagian organ tubuh yang menggunakan percing atau tindik dan menjadi jalan masuk HIV.


(56)

B. Kerangka konsep Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Kelompok resiko penularan HIV/AIDS:

1. Pengguna jarum suntik

2. Parenatal dan perinatal dari ibu ke anaknya

3. Heteroseksualitas

Faktor yang berhubungan dengan perilaku beresiko terhadap HIV /AIDS yaitu :

a. Umur b. Pendidikan c. Status pernikahan

Resiko penularan HIV/AIDS

Pola aktivitas seksual beresiko pada homoseksual :

a. Anal arotism tanpa

pelindung.

b. Oral erotism dengan

ejakulasi dan tanpa pelindung.

c. Seks oral anal/rimming. d. Bergantian memasukan

jari pada anus.

e. Interfemoral coitus

f. Saling bertukar alat bantu.

g. 4. Homoseksualitas

Macam-macam perilaku seksualitas :

a. Perilaku seksualitas beresiko tinggi b. Perilaku seksualitas


(57)

C. Pertanyaan peneliti

Bagaimana gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkan HIV/AIDS ?.


(58)

42

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Metode yang di gunakan deskriptif survey. Deskriptif survey adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis tentang tindakan seseorang, pengetahuan, kemauan, pendapat, perilaku dan nilai (Nursalam, 2013). Pemilihan desain ini didasarkan dari tujuan peneliti yang ingin mengetahui gambaran perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkan HIV/AIDS.

B. Populasi dan Sampel

1) Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah homoseksualitas yang berada di Yogyakarta. Jumlah populasi ini adalah sebanyak 358 orang.

2) Sampel penelitian

Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai subjek penelitian. Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. Accidental sampling yaitu pengambilan sampel secara aksidental (accidental) dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau bersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoadmojo, 2010)


(59)

Rumus sampel menggunakan Slovin dalam Nursalam (2011) :

� = N

1 + N(d)2 n = besar sampel

N = jumlah sampel

d = derajad penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10) 5% (0,05), atau 1% (0,01). Dan derajad penyimpangan yang diinginkan sebesar 10% (0,10).

Jadi perhitungan besar sampelnya adalah:

� = 358

1 + 358(0,10)2

� = 78,16 dibulatkan menjadi 78 sampel

Berdasarkan perhitungan sampel didata, maka jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah 78 orang

Sampel dalam penelitian ini dapat ditetapkan sebagai berikut : a) Kriteria inklusi

1) Homoseksualitas yang bergabung di Yayasan Vesta Indonesia 2) Bersedia menjadi responden

b) Kriteria ekslusi

1) Gugur dalam penelitian


(60)

C. Lokasi dan Waktu

1) Lokasi penelitian

Penelitian ini di lakukan di Yayasa Vesta Indonesia 2) Waktu penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan April- Mei 2016. D. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkan HIV/AIDS.

E. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Skala Alat Ukur Hasil Ukur 1 Seksual

beresiko pada homoseksualitas

Suatu aktivitas seksual yang dilakukan dengan pasanganya tanpa menggunakan kondom dan bergonta-ganti pasangan/threesome

Ordinal Kuesioner Beresiko

2 Anal erotism Suatu aktivitas seksual yang dilakukan melalui anus

Ordinal Kuesioner Beresiko

3 Oral erotism Suatu aktivitas seksual yang dilakukan melalui mulut

Ordinal kuesioner Beresiko

4 Bergantian memasukan jari ke anus

Suatu aktivitas seksual yang dilakukan dengan memasukan jari ke anus pasanganya secara bergantian

Ordinal kuesioner Beresiko

5 Oral

anal/rimming

Suatu aktivitas seksual yang dilakukan dengan cara menjilati anus pasanganya dengan


(61)

menggunakan lidah dan bibir

6 Interfemoral

coitus

Suatu aktivitas seksual yang dilakukan dengan menggesekan alat kelamin pria diantara dua paha pasanganya

Ordinal kuesioner Beresiko

7 Saling

bergantian alat bantu seks

Suatu aktivitas seksual yang dilakukan sengan cara menggunakan alat bantu seks kepada pasanganya

Ordinal kuesioner Beresiko

F. Instrumen Penelitian

Instrumen merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data (Arikunto, 2010). Penelitian ini menggunakan instrument penelitian berbentuk kuesioner atau angket yang diberikan kepada responden. Kuesioner ini dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama yaitu demografi yang terdiri dari usia, agama, pekerjaan, jenis kelamin, pendidikan terakhir, lama tinggal di Yogyakarta, status pernikahan. Bagian kedua berupa kuesioner perilaku seksualitas. Kuesioner yang digunakan adopsi dari Dhita (2014) dan dimodifikasi oleh peneliti. Kuesioner ini pengukuranya menggunakan skala likert yang terdiri dari 3 jawaban yaitu selalu, kadang-kadang dan tidak pernah. Kuesioner yang menggunakan pertanyaan positif (favorable) jawaban selalu diberi nilai 3, kadang-kadang diberi nilai 2, dan tidak pernah diberi nilai 1. Untuk pertanyaan negativ (unfavorable) jawaban selalu diberi nilai 1, kadang-kadang diberi nilai 2, dan tidak pernah diberi nilai 3.


(62)

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Kuesioner Perilaku Seksualitas

No. Kisi-kisi Favorable Unfavorable Jumlah

pertanyaan

1 Anal erotism - 3, 5 2

2 Oral erotism - 4, 6 2

3 Oral anal/Rimming - 9, 10 2

4 Bergantian memasukan

jari ke anus - 7,8 2

5 Interfemoral coitus - 11, 12 2

6 Seksual beresiko 2 1 2

7 Saling bertukaran alat

bantu - 13, 14 2

G. Cara pengumpulan data

Tahap pengumpulan data pada penelitian adalah sebagai berikut :

1) Peneliti ini dimulai dengan studi pendahuluan untuk mencari fenomena atau masalah yang ada. Studi pendahuluan dilakukan di Yayasan Vesta Indonesia dengan meminta izin dengan menggunakan surat.

2) Peneliti mengajukan judul penelitian kepada dosen pembimbing Karya Tulis Ilmiah.

3) Peneliti mulai menyusun proposal penelitian.

4) Peneliti melaksanakan ujuan proposal penelitian setelah proposal penelitian disetujui oleh dosen pembimbing. Setelah melakukan ujian proposal peneliti melakukan revisi dan kemudian disetujui oleh pembimbing dan penguji untuk dilakukan penelitian.

5) Peneliti mengurus surat izin penelitian dibagian pengajaran PSIK FKIK UMY. 6) Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas kepada responden yang memiliki kriteria inklusi diluar Yayasan Vesta yaitu di Yayasan Victory Plus.


(63)

7) Peneliti mengajukan surat layak etik penelitian pada tim etik FKIK UMY. 8) Peneliti mengajukan surat izin penelitian ke Yayasan Vesta Indonesia.

9) Peneliti meminta izin kepada direktur Yayasan Vesta Indonesia untuk melakukan penelitian dan pengambilan data. Pengambilan data dilakukan pada bulan April-Mei 2016 dengan dibantu oleh 3 orang asisten peneliti dari pihak Yayasan Vesta Indonesia.

10) Peneliti menjelaskan tugas dari asisten yaitu membantu pengambilan data, menjelaskan tata cara mengisi kuesioner, membagikan kuesioner dan mengumpulkan kuesioner.

11) Sebelum melakukan pengambilan data peneliti melakukan persamaan presepsi kepada asisten dan menjelaskan tiap butir pertanyaan kuesioner agar mengerti maksud dari isi tiap butir pertanyaan.

12) Untuk menentukan responden peneliti meminta bantuan dalam pengambilan data dari pihak Yayasan Vesta Indonesia untuk menentukan reponden yang homoseksualitas dan meminta bantuan asisten peneliti untuk memberikan kuesioner kepada responden apabila pada saat itu peneliti tidak ada ditempat dengan cara menitipkan kuesioner kepada asisten peneliti.

13) Sebelum dilakukan penelitian peneliti/asisten memperkenalkan diri terlebih dahulu, kemudian menjelaskan maksud kedatangan peneliti/asisten kepada reponden bahawa peneliti akan melakukan penelitian di Yayasan Vesta Indonesia dengan menjelaskan isi kueioner dan cara pengisian kuesioner dengan melihat petunjuk dilembar kuesioner, tetapi sebelum dilakukan penelitian responden diberikan lembar informed consent oleh peneliti/asisten


(64)

untuk mendapatkan persetujuan dari responden untuk dijadikan sampel dalam penelitian.

14) Setelah responden menyetujui untuk dijadikan sampel, peneliti memberikan kuesioner kepada responden untuk di isi secara jujur, sendiri- sendiri dan lengkap dengan waktu maksimal 15 menit di ruangan yang sudah disediakan di Yayasan Vesta Indonesia, setelah selesai mengisi kuesioner peneliti/asisten memeriksa kelengkapan jawaban dari kuesioner yang telah diisi oleh responden. Semua kuesioner di isi secara lengkap.

15) Setelah pengambilan data selesai peneliti kemudian melakukan pengolahan dan analisa data.

16) Peneliti membuat bab IV dan V, kemudian dikonsultasikan pada dosen pembimbing.

17) Peneliti melakukan ujian hasil penelitian setelah disetuju dosen pembimbing. H. Uji Validitas dan Reliabilitas

1) Uji validitas

Arikunto (2013), mendefinisikan validitas sebagai suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat validitas satu kesahihan instrument. Sebuah instrument akan dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang secara tepat. Uji validitas kuesioner dalam penelitian ini dilakukan di LSM Victory Plus Yogyakarta dengan diujikan pada 15 responden, sehingga didapatkan r tabel 0,514 dengan taraf signifikan 5%. Hasil uji validitas kuesioner perilaku seksualitas ini didapatkan semua butir pertanyaan valid.


(65)

Uji validitas yang digunakan adalah Produc Moment dengan rumus sebagai berikut:

� = �( )− . ( )

� �( ).( )

Keterangan :

� = koefisien korelasi

� = jumlah skor item

� = jumla skor total (item)

� = jumlah responden 2) Uji Reliabilitas

Uji reliabelitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan (Nursalam, 2013).Hasil uji reliabilitas pada kuesioner ini menunjukkan bahawa koesioner reliable dengan nilai 0,675.

Uji reliabilitas yang digunakan adalah Alpha Cronbach’s dengan rumus koefisiensi sebagai berikut (Arikunto, 2013)

�11 =

� −1 1−

2

�12 Keterangan :

�11 = Reabilitas Instrument k = Banyaknya butir pertanyaan


(66)

∑ab2

= Jumlah varian butir G12 = Varian total

Kuesioner diakatakan reliabel apabila member nilai >0,6 (Arikunto, 2010). I. Pengolahan dan Analisis Data

1) Pengolahan data

Menurut Notoadmodjo (2012), dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, antaranya :

a) Editing

Memastikan data atau kuesioner telah dikumpulkan kembali dan

sudah benar serta lengkap dari responden.

b) Coding data

Memberikan kode pada jawaban atau data yang telah terkumpul

sehingga dapat memudahkan dalam entry. Untuk data demografi responden pendidikan diberi kode 1 untuk SD, 2 untuk SMP, 3 untuk SMA, 4 untuk diploma, 5 untuk sarjana dan 6 untuk magister. Untuk status sikumsisi/sunat 1 yang sudah sunat dan 2 yang belum sunat. Pada kuesioner perilaku seksual jenis kuesioner favorable jawaban selalu maka diberi kode 3, kadang-kadang diberi kode 2 dan jawaban tidak pernah di beri kode 1. Untuk kuesioner unfavorable jawaban selalu diberi kode 1, kadang-kadang diberi kode 2 dan jawaban tidak pernah diberi kode 3. c) Entry data

Memasukan data yang telah diedit dengan menggunakan program


(1)

pernyataan tersebut berdasarkan hasil penelitian Dwilaksono & Rahardjo (2014) mengungkapkan bahawa fellatio (oral seks) memiliki tingkat resiko rendah terhadap penularan HIV/AIDS di banding dengan anal seks. Hal tersebut seperti diungkap oleh Kumala (2007) bahwa resiko penularan HIV/AIDS dari pasangan yang terinfeksi melalui oral seks jauh lebih kecil dibandingkan dengan anal, selain itu oral seks juga tidak menimbulkan rasa sakit saat berhubungan anal seks. Pernyataan tersebut diperkuat dari penjelasan AidsMeds (2012) yang menyatakan bahwa oral seks dapat berpotensi penularan virus HIV jika terdapat luka terbuka di mulut yang menjadi perantara penulaan virus HIV. Ejakulasi (mengeluarkan air mani) pada orang yang terkena HIV melalui

mulut penerima dan terjadi kerusakan pada jaringan dalam mulut misalnya gusi berdarah akan meningkatkan resiko penularan HIV dari seks oral.

Pelaku seksual aktif pada perilaku seksual melakukan seksual dengan memasukan jari ke anus pasangan mayoritas melakukannya baik pelaku (51,3%) ataupun penerima (50%). Berdasarkan hasil penelitian Sudin (2015) homoseksual melakukan hubungan seks dengan memasukkan jari ke anus pasanganya agar anus dibuat rileks dulu sebelum melakukan anal, karena jika langsung dimasukkan akan terasa kesakitan. Awalnya dengan menggunakan satu jari kemudian dengan menggunakan dua jari. Hal ini beresiko tertular HIV/AIDS apabila tanganya ada luka atau kukunya panjang yang mengakibatkan anusnya lecet. Menurut


(2)

AidsMed (2012) menjelaskan faktanya sampai sekarang belum pernah ada kasus penularan HIV melalui fingering (memasukkan jari keanus/ merangsang dengan jari).

Pelaku seksual dengan cara oral-anal/rimming ini adalah responden (pelaku) dan pasanganya. Namun sebagian besar responden tidak pernah melakukanya (51,3%), sedangkan mayoritas pernah melakukan (62,8%) oral-anal/rimming. Alasan homoseksualitas melakukan seks oral-anal/rimming adalah untuk memperoleh variasi dan kenikmatan, tetapi sampe saat ini belum ada yang menyatakan adanaya penularan HIV/AIDS memalui perilaku oral-anal/rimming (Kartono, 2009). Hal itu di kuatkan dari penelitian Sudin (2015) bahawa hubungan seks

oral-anal/rimming hanya sebagai variasi seks.

Dalam hasil penelitian yang diperoleh peneliti mayoritas responden kadang-kadang pernah melakukan perilaku seksualitas dengan cara menggesek-gesekkan penis diantara dua paha/interfemoral coitus baik pelaku atau penerima. Interfemoral coitus sendiri memanipulasi penis dan zakar diantara dua paha atau alat kelamin kemaluan pasanganya. Perilaku tersebut bisa menyebabkan luka pada kemaluan atau bagian yang mengunakan percing atau tindik yang menjadi jalan masuk HIV/AIDS (Kartono, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Sudin (2015) bahwa interfemoral coitus akan beresiko apabila ada luka akibat gesekan.

Hampir semua responden tidak pernah melakukan saling bertukar alat


(3)

bantu seks (vibrator) ketika berhubungan seks. Saling bertukar alat bantu seks ketika berhubungan seks akan beresiko meularkan HIV/AIDS, karena pada perilaku tersebut akan mengakibatkan resiko abrasi atau pengikisan pada dinding anus, hal itu dapat menjadi jalan masuk virus HIV. Meski HIV tidak bisa bertahan lama hidup di luar tubuh manusia, tetapi penularan melalui vibrator atau alat bantu lainya tetap ada resikonya (Kartono, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Sudin (2015) bahwa homoseksualitas jarang memakai alat bantu ketika berhubungan seks, dikarenakan ada pasanganya yang sudah memiliki alat kelamin untuk memuaskan dirinya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dari 78 responden mengenai gambaran

perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas yang beresiko menularkaan HIV/AIDS di Yogyakarta, maka dapat disimpulkan perilaku seksual pada kelompok homoseksualitas di Yogyakarta tergolong beresiko menularkan HIV/AIDS.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, ada beberapa saran yang ingin disampaikan oleh peneliti, yaitu :

1. Pihak Yayasan Vesta Indonesia Bagi Yayasan Vesta Indonesia diharapkan memberikan pengetahuan terhadap kelompok homoseksualitas terkait bahaya penularan dan dampak dari HIV/AIDS secara kontinyu.


(4)

2. Responden

Diharapkan responden mencari informasi terkait HIV/AIDS dan menghindari perilaku yang beresiko terhadap penularan HIV/AIDS dengan cara aktif dalam kegiatan yang positif seperti mengikuti seminar terkait HIV/AIDS.

3. Keperawatan/Tenaga Kesehatan Melakukan VCT secara berkala kepada kelompok homoseksualitas untuk mengetahui status HIV secara dini.

4. Peneliti Selanjutnya

a. Menganalisis lebih detail terkait perilaku seksualitas

pada kelompok

homoseksualitas dan menggabungkan antar variabel.

b. Mengeksplor lebih dalam terkait perilaku seksualitas

pada kelompok

homoseksualitas dengan metode kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

AidsMeds. (2012). How is HIV Transmitted?. Diakses 7 Februari

2016, dari

http://www.aidsmeds.com

APCOM. (2010). Addresing the Needs of Young Men Who Have Sex with Men. APCOM Policy Brief. 4:1-4

Direktoral Jendral Pengendalia Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI (Dirjen PP & PL RI). (2011). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Direktoral Jendral


(5)

Pengendalia Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI. (2014). Laporan Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Dwilaksono,W. Rahardjo, W. (2014). Kontrol Diri dan Perilaku Seksual Primisif pada Gay. Diakses pada 16 juli 2016, dari file:///C:/Users/acer/Downloads/ Kontrol%20Diri%20dan%20Peri laku%20Seksual%20Permisif%2 0pada%20Gay%20(2013)%20(2) .pdf

Hang Hong., Liang-Hong Li., Guo-Ping Ji & Dong Ye. (2009).

Condom Use Among Marriend Women at Risk FOR sexually Transmittes Infection and HIV in Rural China. International Jurnal of Gynecology &Obstetrics, Vol 106, pp. 262-265

Harsono., Suwarni, A & Murtutik, L. (2011). Perbedaan Penyembuhan Luka post Sirkumsisi Dengan Metode Elektro Counter Dan Metode Konvesional Pada Pasien Sirkumsisi Di Poliklinik Morodadi Boyolali. Diakses pada

9 Juni 2016 dari

http;//www.jurnal/usahidsolo.ac.i d

Kartono, Kartini. (2009). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: CV Mandar Maju

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). (2012). Info HIV/AIDS.


(6)

Diakses 10 Oktober 2015, dari http://aidsyogya.or.id/2015/data

-hiv-aids/1002/

Laksana & Lestari. (2013). Kontrol Diri dan Perilaku Seksual Permisif pada Gay. Diakses 26 September 2015, dari http://wahyu_r.staff.gunadarma.a c.id

Sudin. (2015). Perilaku Seksual Berisiko Antara Laki-Laki Berhubungan Seks dengan Sejenis (LSL)Terkait Penyebaran HIV Dan AIDS di Kota Makassar. Diakses pada 16 juni

2016, dari

http://repository.unhas.ac.id:4001

/digilib/files/disk1/411/--sudin-20522-1-15-sudin-).pdf

Sufa, I. G. (2013). 70 Persen Kasus HIV Baru Diderita Usia Produktif. Diakses Juni 2016, dari

http:www.tempo.co/read/news/2 013/10/28/078525282/70-Persen- Kasus-HIV-Baru-Dideritas-Usia-Produktif.

WHO. (2013). HIV/AIDS. Diakses pada 9 juni 2013, dari http;//www.who.int/features/qa/7 1/en