Komponen tutur tersebut disingkat yang kemudian dikenal dengan SPEAKING setting dan scene, participants, ends, act sequence,key, norms of interaction and
interpretation, and genre.
2.3 Kajian Pustaka yang Berupa Jurnal
Di negara-negara berkembang, untuk menumbuhkan industri yang berbasiskan buruh diperlukan baca: direkonstruksi dan dimanipulasi dengan ideologi
pendisiplinan yang dikombinasikan dengan represi politik dan perwakilan kepentingan. Hal itu juga tampak di Indonesia pada era Pemerintahan Soeharto.
Menurut Hiariej 2007, Soeharto dalam memerintah dengan cara menguasai wacana negara secara represif, kasar, otoriter, dan dengan memanipulasi ideologi. Namun di
luar itu semua, hal itu karena keberhasilan neoliberalisme dalam merekonstruksi “persetujuan politik” yang oleh Gramsci disebutnya sebagai common sense.
“Persetujuan politik” ini dicapai melalui penetrasi ideologi melalui berbagaai saluran, seperti perusahaan, media, sekolah, universitas, lembaga agama, lembaga swadaya
masyarakat, dan lembaga profesional. Hal lain yang sering dilupakan kaitannya dengan “persetujuan politik” adalah
bahwa pemahaman dominasi tidak selamanya berasal dari negara. Sebab, dominasi bisa berasal dari keluarga, media massa, dan dunia pendidikan. Hasil penelitian ini
akan dimanfaatkan untuk melihat, apakah dalam dunia pendidikan juga terdapat praktik-praktik kerepresifan, keotoriteran, dan pemanipulasian ideologi untuk
mencapai konsensus “semu” dalam kegiatan belajar mengajar. Atau sebaliknya, bahwa negara sudah tidak lagi memiliki dominasi tunggal.
Menurut Faisal 2007, di era postmodern ruang sosial berubah 180 derajat yaitu dengan ditandai hadirnya ruang public sphere. Ruang public sphere dipahami
sebagai sebuah ruang relasi sosial yang telah terdekonstruksi dengan kemunculan ruang cyberspace. Kemunculan cyberspace ini tidak dapat dikontrol dan cenderung
anarkhis serta tanpa dominasi. Sebab, ruang ini merupakan ruang yang tidak ada relasi-kuasa. Pertanyaannya adalah apakah “demam internet” akhir-akhir ini di
kalangan para generasi muda, khususnya para siswa berimbas pada pola pikir dan pola tindakan para siswa dalam bertutur di kelas? Penelitian ini diharapkan akan
menemukan korelasi dan signifikansinya. Temuan Kinanti 2008 yang menarik dan relevasinya dengan rencana
penelitian ini adalah pembedaan karakter masyarakat Barat dan Asia. Menurutnya,
14
Asian values pada intinya mengusung dua nilai besar, yaitu komunitarianisme dan signifikansi religi dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat komunitarianisme melihat
bahwa hubungan sosial terbentuk dalam kerangka relasi antarkelompok yaitu keluarga, clan keluarga besar, komunitas, jejaring, bangsa, dan negara. Di dalamnya
terdapat individu yang selalu diidentifikasi sebagai bagian dari suatu kelompok dan tidak pernah diposisikan sebagai agen tunggal yang berdiri sendiri Selanjutnya, dalam
masyarakat yang komuniter dipandang bahwa keutuhan kelompok dan communal harmony adalah dua hal yang harus diperjuangkan melalui pencapaian konsensus
serta sikap menghargai dan hormat terhadap kalangan yang dituakan paternalisme. Menurutnya, masyarakat Asia termasuk Indonesia umumnya memilih untuk
tidak memisahkan agama dari aspek kehidupan lainnya. Dalam derajat yang beragam, nilai-nilai agama misalnya,istikharoh, istighosah akan dirujuk, misalnya dalam
mengambil keputusan penyelesaian pertikaian, ujian nasional, dsb. Temuan ini akan dimanfaatkan untuk melihat apakah Asian values tercermin dalam komunikasi verbal
di dalam kegiatan belajar mengajar di SMP Semarang. Sementara, Sundrijo 2008 dalam hasil penelitiannya menawarkan “jalan
tengah” agar komunikasi pada masyarakat yang multikultural , seperti di Indonesia berjalan efektif yaitu dengan prinsip akomodatif multikultural, yang meliputi a
membuat varian khusus yang tidak mengedepankan individualisme, tetapi lebih pada menampung semangat komunitas, b tidak menggunakan pendekatan yang sama
untuk segala bentuk permasalahan, tetapi hendaknya melihat aspek situasi dan kondisi serta konteks masyarakat tersebut, c tidak mengembangkan konsep top-down, tetapi
menggunakan pendekatan buttom-up. Untuk menerapkan secara konsisten akamodatif multikultural tersebut diperlukan tiga tahapan. Pertama, identifikasi karakter budaya.
Kedua, membangun dialogtindak tutur yang fair and free di mana setiap pihakorang dapat mengekspresikan identitas dan mengartikulasikannya secara terbuka. Ketiga,
adalah pelaksanaan hasil komunikasi, setiap orangpihak hendaknya memahami latar belakang dan alasan masing-masing yang semuanya itu bermuara pada
kepentingan kelompok serta communal harmony. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan ini kaitannya dengan
prinsip akomodatif multikultural. Masih dalam konteks multikulturalisme meskipun agak berbeda, Halimi
2008 meneliti tentang manfaat koreksi kesalahan berbahasa antara mahasiswa dan dosen di Universitas Indonesia. Hasilnya, antara hasil koreksi satu dosen dan
15
lainnya mahasiswa sering bertentangan. Hal ini terjadi karena antara dosen dan mahasiswa memiliki keyakinan yang berbeda-beda.Namun, mereka sependapat
adanya manfaat tersebut dalam kegiatan belajar mengajar. Untuk mengatasi “jurang pemisah” tersebut hanya bisa dicapai dengan atau melalui komunikasi yang seimbang
dan intensif dengan prinsip saling terbuka dan mau menerima pendapat pihak lain. Temuan ini akan dimanfaatkan dalam penelitian ini khususnya untuk membangun
mengadopsi model komunikasi yang seimbang, jujur, terbuka, dan saling menerima satu sama lain.
Hasil penelitian Ramelan 2008 menyebutkan bahwa pemahaman teks ekspositori berkorelasi dengan kemapuan berpikir deduktif,tetapi tidak berkorelasi
dengan berpikir induktif. Hasil ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Kintsch dalam Contruction Integration Jay, 2003 via Halimi, 2008. Temuan ini akan
digunakan untuk mencari jawaban apakah dalam interaksi verbalkomunikasi verbal juga akan tampak pada siswa SMP Negeri 32 Semarang.
2.4 Kerangka Teori