Keterkaitan Antara Modal Sosial Dan Kemiskinan Menurut Tahapan Perkembangan Desa Di Provinsi Gorontalo

KETERKAITAN ANTARA MODAL SOSIAL DAN KEMISKINAN
MENURUT TAHAPAN PERKEMBANGAN DESA
DI PROVINSI GORONTALO

SHERLY GLADYS JOCOM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keterkaitan
antara Modal Sosial dan Kemiskinan menurut Tahapan Perkembangan Desa
di Provinsi Gorontalo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi

ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Sherly G Jocom
NIM 162100011

RINGKASAN
SHERLY G JOCOM. Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kemiskinan
menurut Tahapan Perkembangan Desa di Provinsi Gorontalo. Dibimbing
oleh D.S. PRIYARSONO, BAMBANG JUANDA dan ERNAN RUSTIADI
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kemiskinan
umumnya merupakan fenomena umum di perdesaan dan pertanian.
Berbagai kajian tentang kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa
penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang
terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu komponen terpenting dari upaya
pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di Indonesia. Sebagai salah

satu provinsi baru pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi
Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang
diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi ternyata tidak serta merta menurunkan kemiskinan di Provinsi
Gorontalo. Fenomena menarik yang terjadi di Provinsi Gorontalo adalah
meskipun laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari waktu ke waktu
namun tingkat kemiskinan di Provinsi Gorontalo juga sangat tinggi dengan
laju penurunan kemiskinan di daerah perdesaan lebih cepat dibandingkan di
daerah perkotaan. Himanshu et al. (2011) menawarkan solusi untuk
mengatasi persoalan kemiskinan di kawasan perdesaan
dengan
transformasi perdesaan melalui diversifikasi non pertanian. Junaidi 2012
selanjutnya mengkaji transformasi perdesaan melalui tahapan
perkembangan desa yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2009).
Di Indonesia, Grootaert (2001), Miller et al. (2006) dan Brata (2004)
menunjukkan bahwa modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk
mengatasi masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan ketersediaan
modal di tingkat rumah tangga. Budaya Huyula sebagai salah satu wujud
dari modal sosial di Provinsi Gorontalo mulai terkikis (Yunus, 2013).
Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang berkaitan

dengan kemiskinan perdesaan di Provinsi Gorontalo (2) Mengidentifikasi
komponen/dimensi modal sosial yang dominan di perdesaan Provinsi
Gorontalo (3) Menganalisis pengaruh dimensi modal sosial (trust, network
dan norm) dan interaksi masing-masing dimensi terhadap kemiskinan di
Provinsi Gorontalo (4) Menganalisis keterkaitan antara modal sosial (trust,
network dan norm) dan kemiskinan perdesaan pada berbagai tingkat
perkembangan desa di Provinsi Gorontalo.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Logit dan
Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling). Data yang
digunakan adalah data primer dan sekunder. Untuk melihat pengaruh modal
sosial terhadap kemiskinan, dipilih dua kabupaten yaitu Kabupaten
Gorontalo yang relatif dekat dengan ibukota provinsi dan Kabupaten
Pohuwato yang relatif jauh dari ibukota provinsi. Disamping itu Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato merupakan kabupaten dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi di Provinsi Gorontalo. Selanjutnya di pilih dua
kecamatan di masing-masing kabupaten secara sengaja yaitu Kecamatan

Tibawa dan Kecamatan Tolangohula untuk Kabupaten Gorontalo serta
Kecamatan Randangan dan Kecamatan Popayato untuk Kabupaten
Pohuwato yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak serta memiliki

jarak terdekat dan terjauh dari ibukota kabupaten.
Pemilihan desa kemudian dilakukan di masing–masing kecamatan
sebanyak empat desa dan masing-masing desa ditetapkan jumlah sampel
sebanyak 40 responden yang terdiri dari 20 rumah tangga miskin dan 20
rumah tangga tidak miskin, sehingga total populasi adalah 640 rumah
tangga. Pemilihan desa didasarkan pada tahap perkembangan desa yang
dikemukakan oleh Rustiadi dan diperbaharui oleh Junaidi (2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) faktor yang berkaitan
dengan
kemiskinan kawasan perdesaan di Provinsi Gorontalo adalah
modal manusia yang direpresentasikan dengan umur, pendidikan kepala
keluarga dan jumlah tanggungan kepala keluarga, modal fisik yaitu akses
terhadap energi listrik (PLN) dan akses terhadap telekomunikasi, modal
finansial berupa kepemilikan modal fisik, modal sumberdaya alam yaitu
domisili dekat hutan serta modal sosial yang di proxy dengan partisipasi
dalam kegiatan kemasyarakatan dan jumlah jam kerja (2) komponen
dominan yang membentuk modal sosial di perdesaan Gorontalo adalah rasa
percaya (3) komponen atau dimensi yang memiliki keterkaitan dengan
kemiskinan di perdesaan Gorontalo adalah norma, jaringan dan interaksi
rasa percaya dan jaringan (4) desa-desa yang memiliki taraf perkembangan

yang lebih maju dicirikan dengan keragaman bentuk-bentuk modal sosial
yang berpengaruh dalam pengurangan kemiskinan di Provinsi Gorontalo.
Kata kunci : Modal sosial, interaksi, perdesaan, model persamaan struktural

SUMMARY
SHERLY G. JOCOM. The Correlation between Social Capital and Poverty
based on Village Development Phases in Gorontalo Province. Supervised by
D.S. PRIYARSONO, BAMBANG JUANDA and ERNAN RUSTIADI.
In developing countries, including Indonesia, poverty is a common
phenomenon in rural and agricultural areas. Various studies about poverty in
Indonesia have demonstrated that the decrease in rural poverty is one of the
major contributors to the decrease in aggregate poverty, and that economic
growth is one of the most important components in poverty reduction efforts
in Indonesia. Gorontalo Province is a new province which was developed
from the North Sulawesi Province and has been developing rapidly and has
become one of the provinces that is considered important in the Eastern
Indonesia Zone. The rapid economic growth in Gorontalo Province has not
automatically reduced its poverty level yet. An interesting phenomenon
observed in Gorontalo Province is that even though the economic growth
rate continues to increase, the poverty level in Gorontalo Province remains

high with a poverty decreasing rate that is faster in rural areas compared to
that of the urban areas. Himanshu et al. (2011) suggested a solution to the
issue of poverty in rural areas by transfroming rural areas through nonagricultural diversification. Junaidi (2012) then studied rural transformation
through village development phases as described by Rustiadi et al. (2009).
In Indonesia, Grootaert (2001), Miller et al. (2006) and Brata (2004)
demonstrated that social capital is one of the alternatives in overcoming the
issues of poverty, health, education, and availability of capital at household
level. The ‘huyula’ tradition as one of the forms of social capital in
Gorontalo Province has started to vanish (Yunus 2013). This study aims to
(1) analyze the factors pertaining to rural poverty in Gorontalo Province (2)
identify the components/dimensions of social capital which are dominant in
villages in Gorontalo Province (3) analyze the effect of social capital
dimensions (trust, network and norms) and the interaction between each of
the dimensions and poverty in Gorontalo Province (4) analyze the
correlation between social capital (trust, network and norms) and rural
poverty at various village development phases in Gorontalo Province.
The method employed in this study were the Logit Model and the
Structural Equation Modeling. The data used are both primary and
secondary data. In order to observe the effect of social capital on poverty,
two regencies were selected, Gorontalo Regency, which is relatively close to

the provincial capital, and Pohuwato Regency, which is relatively far from
the capital. In addition, Gorontalo and Pohuwato Regencies are regencies
with high poverty levels in Gorontalo Province. Then two sub-districts in
each of these regencies were purposefully selected Tibawa Sub-district and
Tolangohula Sub-district in Gorontalo Regency and Randangan Sub-district
and Popayato Sub-district in Pohuwato Regency. These sub-districts were
chosen because they had the largest number of poor citizens and were the
closest and the farthest from the capital of their respective regency.

Four villages were then selected from each sub-district and from each
village 40 respondents which consisted of 20 poor households and 20 nonpoor households were chosen as respondents, making a total sample
population of 640 households. The villages were chosen based on the
village development phases presented by Rustiadi and revisited by Junaidi
(2012).
The results of this study demonstrated that (1) the factors that are
related to poverty in the rural areas of Gorontalo Province are human capital
which were represented by the age and education of the head of household,
and the number of people supported by the head of the household, physical
capital which include access to electricity (National Electricity Company,
PLN), and access to telecommunication, financial capital in the form of

possession of physical capital, and social capital which was proxied by
participation in community activities and number of hours worked , (2) the
dominant component which forms social capital in the rural areas of
Gorontalo is trust (3) the component of dimensions that are related to
poverty in rural Gorontalo are norms, network, and the interaction between
trust and network (4) villages that are in a more developed phase of
development have a more varied social capital form in relation to the
reduction of poverty in Gorontalo Province.
Keywords: Social capital, interaction, rural areas, structural equation
modeling

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KETERKAITAN ANTARA MODAL SOSIAL DAN KEMISKINAN
MENURUT TAHAPAN PERKEMBANGAN DESA
DI PROVINSI GORONTALO

SHERLY GLADYS JOCOM

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP
( Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu, Kementerian
Desa, PDT dan Transmigrasi )
2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
( Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia, IPB )

Penguji pada Sidang Promosi:
1. Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP
( Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu, Kementerian
Desa, PDT dan Transmigrasi )
2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
( Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia, IPB)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TuhanYesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian adalah Modal sosial dan Kemiskinan, dengan judul Keterkaitan
antara Modal Sosial dan Kemiskinan menurut Tahapan Perkembanga Desa di
Provinsi Gorontalo.
Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan dari berbagai pihak,

terutama dari komisi pembimbing. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS, Prof. Dr. Ir.
Bambang Juanda, MS, dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr, atas bimbingannya,
sejak pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan
dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda selaku ketua program studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Dr Ir Eka Intan Kumala Putri,
MSi selaku Sekretaris Program Studi PWD, Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi
dan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,MSc sebagai penguji pada ujian kualifikasi
tahap II, Dr. Ir Suprayoga Hadi, MSP dan Dr.Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku
dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi.
2. Rektor dan Dekan Universitas Sam Ratulangi atas kesempatan tugas belajar
dan diberikan sehingga penulis dapat menempuh program S-3 ini.
3. Dirjen Pendidikan Tinggi atas bantuan beasiswa yang diberikan sehingga
penulis dapat menempuh program S-3 ini.
4. Kepala Bappeda Kabupaten Gorontalo dan Pohuwato serta Ayahanda dan
Ibunda (Kepala Desa) yang menjadi sampel penelitian atas bantuan dan
dukungan dalam pengumpulan data.
5. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD), khususnya angkatan 2010, atas kebersamaan
dan kekompakan yang selalu terjalin.
6. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan
sampai selesainya disertasi ini.
7. Seluruh teman-teman Mahasiswa Sam Ratulangi di Asrama Bogor Baru 1,
Asrama Bogor Baru 2 dan Asrama Sempur atas dukungan doa dan
kebersamaan selama ini.
8. Orang tua penulis, adik serta keluarga besar Jocom Mantiri atas doa dan
dukungannya selama ini.
9. Terima kasih kepada suami tercinta Steven Tolu, SE untuk kritik dan support
yang senantiasa diberikan sehingga memotivasi penulis untuk menghasilkan
disertasi ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat
disertasi ini jauh dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya
ini bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2015
Sherly Gladys Jocom

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

1
1
3
8
8
8

2 TINJAUAN TEORETIS
Teori Kemiskinan
Konsep Kemiskinan
Jenis dan Pengukuran Kemiskinan
Faktor Penyebab Kemiskinan
Program Penanggulangan Kemiskinan
Tahapan Perkembangan Desa
Modal Sosial: Trust, Network dan Norm, bagaimana ketiganya terkait?
Konsekuansi Negatif dari Modal Sosial
Modal Sosial dan Kemiskinan
Structural Equation Modeling (SEM)
Penelitian Terdahulu

10
10
12
15
17
18
19
22
25
27
29
31

3 KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran
Hipotesis

33
33
38

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Penentuan Sampel
Variabel Indikator Modal Sosial dan Kemiskinan
Metode Analisis
Definisi Pengukuran Variabel

39
39
39
42
43
49

5 GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
Karakteristik Responden
Karakteristik Spesifik Wilayah Penelitian

50
50
52

6 DESKRIPSI MODAL SOSIAL PROVINSI GORONTALO
Modal Sosial Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
Modal Sosial Desa-desa pada Tahapan Industri Awal Primer dan

56
58

Industri Lanjut Primer
7 FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN KEMISKINAN
KAWASAN PERDESAAN DI PROVINSI GORONTALO
8 IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL MASYARAKAT DI PERDESAAN
PROVINSI GORONTALO
Pengukuran Validitas dan Reliabilitas
Komponen Pembentuk Modal Sosial Masyarakat Perdesaan
di Provinsi Gorontalo

60
64
72
72
74

9 KETERKAITAN DIMENSI MODAL SOSIAL DAN KEMISKINAN
DI PROVINSI GORONTALO
Dimensi Modal Sosial, Effek Interaksi dan Keterkaitannya dengan
Kemiskinan
Keterkaitan Modal Sosial dan Kemiskinan Menurut Tahapan
Perkembangan Desa

81

10 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

85
85
86

DAFTAR PUSTAKA

87

LAMPIRAN

92

RIWAYAT HIDUP

77
77

135

DAFTAR TABEL
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

16
17
18
19
20

Jumlah dan persentase penduduk miskin, indeks kedalaman dan
indeks keparahan kemiskinan Provinsi Gorontalo tahun 2005 2013
Deskripsi teori utama tentang kemiskinan
Penelitian terdahulu
Tahapan perkembangan desa (Rustiadi 2009 dan Junaidi 2012)
Variabel, indikator modal sosial dan kemiskinan
Matriks Pendekatan Studi
Rata-rata Anggaran yang dikucurkan untuk PNPM di desa Sampel
selama 5 tahun terakhir (2010-2014)
Karakteristik wilayah penelitian di Kabupaten Gorontalo, 2014
Karakteristik wilayah penelitian di Kabupaten Pohuwato, 2014
Uji beda rataan indikator modal sosial di desa-desa pada tahapan
industri awal primer dan industri lanjut primer, 2014
Pengujian model kemiskinan dengan menggunakan ukuran BPS
dan US $ 2 (Word Bank)
Kelayakan model kemiskinan dengan menggunakan ukuran BPS
dan US $ 2 (Word Bank)
Klasifikasi model Keminskinan dengan menggunakan ukuran BPS
dan US $ 2 (Word Bank)
Hasil pendugaan model persamaan logit faktor yang berkaitan
dengan kemiskinan di Provinsi Gorontalo dengan ukuran GK BPS
Hasil pendugaan model persamaan logit faktor yang berkaitan
dengan kemiskinan di Provinsi Gorontalo dengan ukuran
kemiskinan US$ 2
Pengukuran validitas dan reliabilitas
Ukuran goodness of fit test (GFT)
Jumlah kelompok tani di Provinsi Gorontalo tahun 2014
Model keterkaitan dimensi modal sosial dan kesejahteraan rumah
tangga di Provinsi Gorontalo
Keterkaitan modal sosial dan kesejahteraan rumah tangga pada
tahapan industri awal primer dan industri lanjut primer

5
10
31
40
42
43
53
54
55
61
64

65
65
66

67
72
77
78
79
82

DAFTAR GAMBAR

1 Pertumbuhan ekonomi nasional, Provinsi Gorontalo dan Sulawesi tahun
2001 -2013
2 Kemiskinan Indonesia menurut provinsi tahun, 2014
3 Perkembangan persentase penduduk miskin di Desa dan Kota di
Provinsi Gorontalo tahun 2007 – 2013
4 Hipotesis tahapan perkembangan desa untuk kawasan transmigrasi
5 Model baru tahapan perkembangan desa
6 Kerangka pemikiran penelitian
7 Lokasi penelitian
8 Kerangka pemilihan sampel
9 Model penelitian
10 Tingkat pendidikan responden berdasarkan tahapan perkembangan
desa
11 Pekerjaan responden berdasarkan tahapan perkembangan desa
12 Modal sosial berdasarkan tahapan perkembangan desa
13 Persentase rumah tangga miskin di desa-desa pada tahapan industri awal
primer dan industri lanjut primer
14 Tingkat kepercayaan masyarakat perdesaan di Provinsi Gorontalo,
tahun 2014
15 Jaringan kerja masyarakat perdesaan di Provinsi Gorontalo, tahun 2014
16 Norma masyarakat perdesaan di Provinsi Gorontalo, tahun 2014
17 Tingkat kepercayaan masyarakat di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Pohuwato, tahun 2014
18 Jaringan kerja masyarakat perdesaan di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Pohuwato, tahun 2014
19 Norma masyarakat perdesaan di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten
Pohuwato,tahun 2014
20 Pemetaan wilayah berdasarkan kepercayaan pada etnis
21 Pemetaan wilayah berdasarkan percaya pada tetangga dan partisipasi
untuk kepentingan umum
22 Pemetaan wilayah berdasarkan kepercayaan pada tetangga dan
kemudahan mendapat pertolongan
23 Tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Provinsi Gorontalo, tahun
2012
24 Komponen pembentuk modal sosial di Provinsi Gorontalo, 2014
25 Hasil analisis jalur keterkaitan dimensi modal sosial dan kesejahteraan
rumah tangga

3
4
5
20
21
37
39
41
47
50
51
51
52
56
57
58
59
59
60
61
62
62
68
74
79

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian
2 Persentase rumah tangga miskin desa sampel di Kabupaten Gorontalo
dan Kabupaten Pohuwato
3 Uraian kegiatan PNPM-MPd pada desa sampel tahun 2010-2014
4 Analisis model logit faktor-fakor yang berkaitan dengan kemiskinan
dengan ukuran GK BPS
5 Analisis model logit faktor-fakor yang berkaitan dengan kemiskinan
dengan ukuran GK US $ 2
6 Hasil analisis 2nd Confirmatory factor analysis modal sosial individu di
perdesaan Provinsi Gorontalo
7 Hasil analisis SEM effek interaksi dimensi modal sosial di perdesaan
Provinsi Gorontalo
8 Hasil analisis SEM effek interaksi pada tahapan perkembangan desa
industri awal primer dan industri lanjut primer
9 Kegiatan kluster 1 penanggulangan kemiskinan di Provinsi Gorontalo

92
97
98
100
102
104
110
120
132

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global yang dihadapi
setiap bangsa. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang bebas dari kemiskinan.
Kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan
dan peradaban. Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan
dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang, baik akibat ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan hidup maupun akibat ketidakmampuan negara atau
masyarakat dalam memberikan perlindungan sosial kepada warganya.
Kemiskinan juga merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan
ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju
maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati
oleh para peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya
sangat buruk bagi kehidupan masyarakat.
Data World Bank (2010) menunjukkan bahwa sekitar 20.63 persen
penduduk dunia masih tergolong miskin. Kemiskinan di Indonesia jika dihitung
berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari US$
1.25 maka penduduk yang tergolong miskin adalah sebesar 16.2 persen dan jika
dihitung dengan US$ 2 maka penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
adalah sebesar 43.3 persen (World Bank 2011). Sementara itu jumlah penduduk
miskin Indonesia berdasarkan garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS pada
tahun 2011 mencapai 30.02 juta orang atau sebesar 12.49 persen dan mengalami
penurunan pada tahun 2013 yaitu menjadi sebesar 28.55 juta jiwa (11.47 persen).
Yudhoyono dan Harniati (2004), mengemukakan bahwa kemiskinan
mempunyai dampak yaitu menurunkan kualitas hidup, menimbulkan beban sosial
ekonomi masyarakat, menurunkan kualitas sumberdaya manusia, dan menurunkan
ketertiban umum. Selain sebagai permasalahan nasional, kemiskinan menjadi
permasalahan dunia yang menarik perhatian bagi banyak negara untuk segera
dicari solusi penanggulangannya. Kepedulian dunia dalam upaya menanggulangi
kemiskinan diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium
(Millenium Declaration) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara
anggota PBB termasuk Indonesia. Deklarasi tersebut menyepakati delapan tujuan
pembangunan millenium atau yang lebih dikenal dengan Millenium Development
Goals (MDGs). Delapan tujuan tersebut antara lain adalah: (1) menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua kalangan;
(3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan
angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan keberlanjutan
lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan. Sejalan
dengan hal tersebut maka dalam RPJM 2010-2014 pemerintah telah menyusun
tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan kemiskinan.

2

Penanggulangan kemiskinan termasuk salah satu dari 11 prioritas nasional
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 dengan
target penurunan kemiskinan absolut dari 14.1 persen pada tahun 2009 menjadi 8
-10 persen pada tahun 2014 dengan menitikberatkan pada perbaikan
distribusi pendapatan dengan perlindungan sosial yang berbasis keluarga,
pemberdayaan masyarakat dan perluasaan kesempatan ekonomi masyarakat yang
berpendapatan rendah.
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kemiskinan umumnya
merupakan fenomena perdesaan dan pertanian.
Berbagai kajian tentang
kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di daerah
perdesaan merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan kemiskinan
secara agregat, dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu komponen
terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di Indonesia.
Disamping itu kemiskinan didaerah perdesaan lebih elastis (responsif) terhadap
pertumbuhan ekonomi dibandingkan di daerah perkotaan (Asra 2000). Kajian
Booth (2000) menemukan bahwa produktivitas pertanian per hektar dan luas
pemilikan lahan merupakan determinan yang signifikan terhadap kemiskinan di
daerah perdesaan (rural poverty) di berbagai provinsi di Indonesia. Dalam kaitan
ini, pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal yang penting mendapat
perhatian untuk mengurangi
kemiskinan di Indonesia. Program-program
pembangunan perdesaan yang lebih efektif akan sangat membantu dalam
membatasi meluasnya kemiskinan perkotaan.
Dalam perspektif sosial Adi (2005), mengidentifikasi akar masalah
kemiskinan dengan mengkategorikannya dalam tiga dimensi yaitu dimensi makro,
messo dan mikro. Dimensi makro akar masalah kemiskinan adalah kesenjangan
pembangunan desa-kota, dimensi messo terkait dengan melemahnya kepercayaan
sosial (social trust) dalam komunitas dan organisasi dan dimensi mikro
berhubungan dengan mentalitas materialistik dan ingin serba cepat (instant) yang
memunculkan mentalitas korup.
Dari berbagai kajian di atas diketahui bahwa masalah kemiskinan sangat
terkait dengan aspek lokasi (spatial), aspek modal sosial dan aspek kelembagaan.
Di samping itu, berbagai kajian juga menunjukkan bahwa perbedaan kemiskinan
yang terjadi antarkawasan di Indonesia dimungkinkan karena akar masalah yang
menjadi faktor penyebab kemiskinan di setiap kawasan berbeda, sehingga
penanganan kemiskinan untuk masing-masing kawasan pun memerlukan
penanganan yang berbeda.
Sebagai salah satu provinsi baru pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara,
Provinsi Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang
diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Konsep agropolitan atau
pengembangan kota-kota pertanian diterapkan untuk mendorong pengembangan
wilayah dan perekonomian Provinsi Gorontalo. Jika dilihat dari indikator makro,
Provinsi Gorontalo sebagai provinsi muda hasil pemekaran dari Provinsi
Sulawesi Utara mengalami kemajuan yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat
dari data PDRB nominal yang meningkat dari 1 473 274.72 juta rupiah pada
tahun 2000 menjadi 2 175 816.00 juta rupiah tahun 2006 dan meningkat menjadi
3 646 551.00 juta rupiah tahun 2013.
Kontribusi terbesar pembentukan PDRB Provinsi Gorontalo
disumbangkan oleh sektor pertanian dengan sumbangan rata-rata pertahun selama

3

periode 2001-2013 sebesar 30.63 persen. Selain sektor pertanian, sektor jasa
memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan PDRB Provinsi
Gorontalo yaitu sebesar 18.31 persen. Meskipun sektor pertanian memiliki
kontribusi yang besar, laju pertumbuhannya masih di bawah sektor pertambangan
dan penggalian yang memiliki laju pertumbuhan sebesar 11.03 persen dengan
kontribusi sebesar 0.98 persen.

Sumber : BPS, 2013

Gambar
1 Pertumbuhan
ekonomi nasional, Provinsi Gorontalo dan Sulawesi
Sumber
: BPS,
2013
tahun 2001-2013
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi Nasional dan relatif lebih stabil dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi Sulawesi dan Nasional. Terlihat sejak mekar dari Provinsi Sulawesi
Utara, pertumbuhan ekonomi Gorontalo meningkat dari waktu ke waktu sebesar
5.49 persen pada tahun 2001 dan menjadi 7.63 persen tahun 2010 dan meningkat
menjadi 7.76 persen tahun 2013.

Perumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Gorontalo tidak serta merta
menghilangkan ketimpangan pembangunan (disparitas) di Provinsi Gorontalo.
Berdasarkan hasil kajian di Provinsi Gorontalo ditemukan bahwa pembangunan
yang dilaksanakan di Provinsi Gorontalo masih menunjukkan adanya kesenjangan
antara kabupaten/kota dalam provinsi maupun antar kabupaten/kota Provinsi
Sulawesi Utara (Hastoto 2003). Sejalan dengan hal tersebut, hasil studi P4W
(2002), mengemukakan bahwa secara umum wilayah Provinsi Gorontalo
mengalami fenomena backwash effect, dalam arti akumulasi aliran netto nilai
tambah berlangsung keluar wilayah terutama ke Bitung/Manado, Makasar atau
langsung ke luar negeri. Penyebab utama aliran netto nilai tambah negatif adalah
keterbatasan akses Gorontalo ke pasar ekspor langsung, kapasitas pengolahan
(industri pengolahan) setempat yang terbatas, di samping lemahnya kapasitas
sumberdaya manusia dan kelembagaan lokal. Mopangga (2010) dalam studi

4

tentang analisis ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Gorontalo mengemukakan bahwa kondisi ketimpangan di Provinsi Gorontalo
diawal pembangunan cenderung meningkat (divergence) dan berangsur menurun
(convergence), namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Gorontalo
memiliki kecenderungan hubungan yang positif dengan ketimpangan
pembangunan, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi
Gorontalo ke depan.
Terkait dengan kemiskinan, kajian tentang perilaku rumah tangga miskin di
perdesaan dilakukan oleh Papilaya et al. (2007). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perilaku rumah tangga pada tipologi perdesaan di Kabupaten Boalemo
Provinsi Gorontalo termasuk dalam kategori perilaku produktif dengan tingkat
pengetahuan, sikap mental dan tingkat ketrampilan rumah tangga yang rendah.
Modal sosial, modal alamiah dan modal manusia merupakan faktor-faktor
determinan yang berpengaruh terhadap perilaku rumah tangga miskin perdesaan
di Kabupaten Boalemo.

Sumber : BPS, 2013.

Gambar 2 Kemiskinan Indonesia menurut provinsi, tahun 2013
Fenomena menarik yang terjadi di Provinsi Gorontalo adalah meskipun laju
pertumbuhan ekonomi meningkat dari waktu ke waktu namun tingkat kemiskinan
di Provinsi Gorontalo juga sangat tinggi dengan laju penurunan kemiskinan di
daerah perdesaan lebih cepat dibandingkan di daerah perkotaan. Tabel 1
menunjukkan jumlah penduduk miskin Provinsi Gorontalo (penduduk dengan
pengeluaran per bulan di bawah Garis Kemiskinan), dimana terjadi penurunan
penduduk miskin selama periode 2005–2013 yakni 29.05 persen di tahun 2005
menjadi 18.01 persen di tahun 2013. Namun, jika dibandingkan dengan persentase
penduduk miskin secara nasional Provinsi Gorontalo masih memiliki tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi. Secara nasional Provinsi Gorontalo masih
merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi
dimana tahun 2013 Gorontalo merupakan salah satu dari 5 provinsi termiskin di
Indonesia selain Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

5

Tabel 1 Jumlah dan persentase penduduk miskin, indeks kedalaman dan
indeks keparahan kemiskinan Provinsi Gorontalo tahun 2005 - 2013
Tahun

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Jumlah
Penduduk
Miskin
(000)
255.00
273.80
241.90
221.60
224.60
209.90
198.27
186.90
209.97

Persentase
Penduduk
Miskin
(P0)
29.05
29.13
27.35
24.88
25.01
23.19
18.75
17.33
18.01

Indeks
Kedalaman
(P1)

Indeks
Keparahan
(P2)

6.52
6.05
5.57
4.59
4.59
4.14
3.72
2.92
3.22

2.19
1.86
1.68
1.27
1.27
1.00
1.00
0.71
0.85

Sumber : BPS, 2013

Dari tabel diatas terlihat bahwa tingkat kedalaman kemiskinan (P1) dan
keparahan kemiskinan (P2) Provinsi Gorontalo selama periode 2005-2013,
mengalami penurunan dimana pada tahun 2013 tingkat kedalaman kemiskinan
(P1) adalah sebesar 32.2 persen dan keparahan kemiskinan sebesar 0.85 persen.
Tingkat ketimpangan dan variasi pengeluaran diantara penduduk miskin cukup
tinggi dibandingkan dengan nasional yaitu 1.88 persen untuk indeks kedalaman
kemiskinan (P1) dan 0.47 persen untuk indeks keparahan kemiskinan (P2). Tingkat
Kedalaman kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran
rata-rata penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, semakin tinggi nilai indeks,
semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk terhadap garis kemiskinan.
Sementara tingkat keparahan kemiskinan (P2) memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, semakin tinggi nilai tingkat
ketimpangan semakin besar nilai ketimpangan pengeluaran diantara penduduk
miskin.

Sumber : BPS, 2013

Gambar 3 Perkembangan persentase penduduk miskin di desa dan kota
di Provinsi Gorontalo tahun 2007 – 2013
Persentase jumlah penduduk miskin Provinsi Gorontalo sebagian besar
terkonsentrasi di kawasan perdesaan dibandingkan kawasan perkotaan. Gambar 3

6

menunjukkan bahwa kemiskinan lebih banyak dialami oleh penduduk yang
tinggal di desa dibandingkan di kota. Pada tahun 2005 angka kemiskinan di
kawasan perdesaan di Provinsi Gorontalo adalah sebesar 34.76 persen sedangkan
di kawasan perkotaan sebesar 11.08 persen. Secara perlahan angka ini cenderung
menurun hingga tahun 2013 mencapai angka 24.22 persen di kawasan perdesaan
dan 6.00 persen di kawasan perkotaan.
Tingginya laju penurunan kemiskinan di perdesaan diduga dapat disebabkan
oleh berkembangnya kawasan perdesaan sehingga meningkatkan perekonomian
di kawasan perdesaan ataupun karena tidak berkembangnya perekonomian
perdesaan yang menyebabkan tenaga kerja perdesaan bermigrasi ke kawasan
perkotaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rustiadi et al. (2006) yang
mengemukakan bahwa akibat kemiskinan dan ketertinggalan maka masyarakat
perdesaan akan melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, untuk mendapatkan
pekerjaan. Terbatasnya peluang diversifikasi pendapatan daerah dan pendapatan
petani skala kecil dapat menjadi pemicu migrasi (Tacoli 2004). Kegagalan
pembangunan di wilayah perdesaan telah menimbulkan derasnya proses migrasi
penduduk yang berlebihan ke kawasan kota-kota besar, yang pada akhirnya
menurunkan produktivitas masyarakat perkotaan. Kajian dari Ravallion et al.
(2007) memperjelas bahwa fenomena meningkatnya penduduk miskin di
perkotaan merupakan akibat dari perpindahnya penduduk miskin di daerah
perdesaan ke perkotaan.
Selanjutnya untuk mengatasi persoalan kemiskinan di kawasan perdesaan
Himanshu et al. (2011) menawarkan solusi untuk mengurangi kemiskinan
perdesaan dengan transformasi perdesaan melalui diversifikasi non pertanian.
Dimana perdesaan tidak hanya dipandang sebagai kegiatan pertanian saja tetapi
juga kegiatan non pertanian. Sehingga perdesaan akan berkembang jika kegiatan
tidak hanya terfokus pada kegiatan pertanian saja tetapi juga kegiatan non
pertanian (non farm).
Kajian tentang perkembangan desa-desa atau transformasi desa dilakukan
oleh Junaidi (2012) di Provinsi Jambi dengan fokus pada desa-desa eks
transmigrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan perkembangan desa
dicirikan dengan semakin berkembangnya kegiatan non pertanian melalui
semakin berkembangnya industri berbasis pertanian maupun industri non
pertanian pada tiap tingkat perkembangan desa. Berdasarkan kajian Papilaya et al.
(2007) modal sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
rumah tangga miskin masyarakat desa di Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa tingkat partisipasi sosial, tingkat kosmopolitan dan
gotong royong merupakan indikator yang berkontribusi terhadap perilaku rumah
tangga miskin masyarakat perdesaan di Provinsi Gorontalo. Hal ini sejalan
dengan penelitian Hasbulah (2006) bahwa gotong royong akan meningkatkan
modal sosial yang positif. Modal sosial yang kuat akan meningkatkan faktor
produksi total sehingga merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi dan
sektor lainnya.
Di Indonesia Grootaert (2001), Miller et al. (2006) dan Brata (2004)
menunjukkan bahwa modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi
masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat
rumah tangga. Grootaert (2001) bahkan menunjukkan bahwa kontribusi modal

7

sosial dalam peningkatan pendapatan rumah tangga di Jambi, Jawa Tengah dan
NTT sebanding dengan kontribusi modal manusia.
Kajian modal sosial yang dilakukan oleh BPS tahun 2012 diketahui bahwa
Provinsi Gorontalo memiliki persepsi tingkat rasa percaya penduduk yang tinggi
terhadap tokoh di lingkungan desa dan termasuk sebagai salah satu provinsi dari
12 provinsi yang memiliki indeks modal sosial di atas rata-rata nasional.
Salah satu penerapan modal sosial yang dari dulu berakar dan dipraktekkan
oleh masyarakat Gorontalo adalah Budaya lokal “Huyula”. Huyula adalah suatu
sistem tolong menolong antara anggota-anggota masyarakat, untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial
melalui ikatan keluarga, tetangga dan kerabat. Budaya Ini akan sangat membantu
bagi masyarakat miskin atau yang berada dekat dengan garis kemiskinan. Namun
seiring dengan perkembangan globalisasi perlahan budaya Huyula mulai terkikis
sehingga dibutuhkan transformasi yaitu usaha yang dilakukan untuk melestarikan
budaya lokal agar budaya lokal tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi
berikutnya agar mereka memiliki karakter yang tangguh sesuai dengan karakter yang
disiratkan oleh ideologi bangsa (Yunus 2013).
Pengukuran tentang modal sosial terus berkembang dari waktu ke waktu.
Pengukuran modal sosial dapat dilaksanakan pada tingkat mikro (individu), meso
(komunitas) dan makro (negara). Penelitian-penelitian tentang modal sosial juga
terdiri dari berbagai aspek, Paxton (1999) dan Putnam (1995) menekankan akses
pada konektivitas sementara penelitian Coleman (1988) terfokus pada norma dan
kewajiban sosial. Fukuyama (2002) menekankan pada trust yang merupakan
pondasi utama sekaligus pengikat bagi terjalinnya kerjasama dan koordinasi.
Beuningen (2013) mengembangkan pengukuran modal sosial di Belanda dengan
menggunakan dua proksi yaitu kepercayaan dan partisipasi.
Pengukuran terkait modal sosial masih mengalami perdebatan hingga saat
ini. Adapun studi terkait modal sosial dan kemiskinan yang dilakukan selama ini
sebagian besar mengukur modal sosial dalam satu dimensi saja dan hanya melihat
secara parsial. Dalam penelitian ini modal sosial dilihat dalam 3 dimensi yaitu
dimensi rasa percaya (trust), jaringan (network) dan norma (norm). Di samping
itu penelitian ini mencoba melihat interaksi dari masing-masing dimensi modal
sosial dan hubungannya dengan kemiskinan.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di atas
maka dirumuskan batasan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Faktor-faktor apa yang berkaitan / berhubungan dengan kemiskinan di
wilayah perdesaan Provinsi Gorontalo ?
2. Komponen atau dimensi apa yang dominan membentuk modal sosial di
perdesaan Provinsi Gorontalo?
3. Sejauh mana modal sosial berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi
Gorontalo?
4. Bagaimana keterkaitan antara modal sosial dan kemiskinan di perdesaan pada
tiap tingkat perkembangan desa di Provinsi Gorontalo?

8

Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melihat hubungan struktural
antara dimensi modal sosial dan kemiskinan. Secara spesifik, penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang berkaitan/berhubungan dengan kemiskinan
perdesaan di Provinsi Gorontalo.
2. Mengidentifikasi komponen/dimensi modal sosial yang dominan di perdesaan
Provinsi Gorontalo.
3. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kemiskinan di Provinsi
Gorontalo.
4. Menganalisis keterkaitan antara modal sosial dan kemiskinan perdesaan pada
berbagai tingkat perkembangan desa di Provinsi Gorontalo.

Manfaat Penelitian
1. Dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pemerintah
daerah dan instansi terkait dalam penanggulangan kemiskinan di kawasan
perdesaan dengan pendekatan sosial melalui modal sosial.
2. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang
modal sosial dan kemiskinan serta menjadi bahan rujukan untuk penelitian
selanjutnya.

Kebaruan Penelitian
Penelitian ini mengkaji keterkaitan antara modal sosial dan kemiskinan
menurut tahapan perkembangan desa. Ada tiga aspek kebaruan dalam penelitian
ini yang membedakannya dengan penelitian tentang modal sosial dan kemiskinan
sebelumnya. Pertama, penelitian ini berhasil menerapkan teori-teori dalam ilmu
sosial dan menganalisis secara empiris hubungan struktural dari masing-masing
komponen atau dimensi yang membangun modal sosial yaitu trust, network dan
norm serta kaitannya dengan kemiskinan. Kedua, mampu menguraikan secara
sistematis mekanisme transmisi modal sosial dan kemiskinan pada tingkat
perkembangan desa yang berbeda. Ketiga, dapat mengidentifikasi arah kebijakan
publik pengembangan jaringan dalam upaya mengurangi kemiskinan di Provinsi
Gorontalo.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian hanya mencakup Provinsi Gorontalo yang diwakili oleh
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Pemilihan Kabupaten Gorontalo
dan Kabupaten Pohuwato karena keduanya merupakan kabupaten yang
memiliki jumlah keluarga miskin/pra sejahtera tertinggi di Provinsi Gorontalo.
Penelitian ini menitikberatkan pada hubungan struktural dari masingmasing dimensi modal sosial dalam hubungannya dengan transmisi kemiskinan,

9

sehingga variabel yang digunakan dalam penelitian menitik beratkan pada
komponen modal sosial dan modal manusia sebagai variabel yang terkait dengan
modal sosial. Modal tradisional lain seperti modal fisik, modal finansial dan
modal sumberdaya alam belum termasuk dalam model.

10

2 TINJAUAN TEORITIS
Teori Kemiskinan
Teori-teori kemiskinan umumnya bermuara pada dua paradigma besar yang juga
berpengaruh pada pemahaman mengenai kemiskinan dan penanggulangan
kemiskinan. Cheyne, O‟Brien dan Belgrave (Suharto 2006) mengemukakan
bahwa ada dua teori utama (grand theory) tentang kemiskinan, yaitu: (1) teori
neo-liberal dan (2) teori sosial demokrat.
Tabel 2 Deskripsi teori utama tentang kemiskinan
Teori Utama

Teori Neo-Liberal

Teori Sosial Demokrat

Landasan Teoritis

Individual

Struktural

Konsepsi
kemiskinan

Kemiskinan absolut

Kemiskinan ralatif

Prinsip

 Residual
 Dukungan saling
menguntungkan

 Institusional
 Redistribusi pendapatan
vertikal dan horisontal
 Aksi kolektif

Penyebab
kemiskinan

 Kelemahan dan pilihan
individu-individu
 Lemahnya
pengaturan
pendapatan
 Lemahnya
kepribadian
(malas, pasrah, bodoh).

 Ketimpangan struktur sosial
dan politik
 Ketidakadilan sosial

Strategi
penanggulangan
kemiskinan

 Penyaluran
pendapatan
terhadap orang miskin
secara selektif

 Penyaluran
pendapatan
dasar secara universal

 Memberikan pelatihan dan
ketrampilan pengelolaan
keuangan

 Perubahan fundamental
dalam pola-pola
pendistribusian pendapatan
melalui intervensi negara

Sumber μ Cheyne, O‟Brien, dan Belgrave dalam Suharto (2006)

1. Teori Neo-Liberal
Teori ini menempatkan kebebasan individu sebagai komponen penting
dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu dalam melihat kemiskinan, teori ini
memfokuskan pada tingkah laku individu yang merupakan teori tentang pilihan,
harapan, sikap, motivasi dan modal manusia (Sherraden 2006). Pendukung teori
neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang
disebabkan karena kelemahan-kelemahan individu atau pilihan-pilihan individu
yang bersangkutan. Dalam teori ini kekuatan pasar merupakan kunci utama untuk
menyelesaikan masalah kemiskinan. Hal ini dikarenakan kekuatan pasar yang
diperluas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menghapuskan kemiskinan.

11

(Syahyuti 2006). Strategi penanggulangan kemiskinan dalam pendekatan ini
biasanya bersifat sementara dan peran negara sangat minimum. Peran negara baru
dilakukan apabila institusi-institusi di masyarakat seperti keluarga, kelompokkelompok swadaya, atau lembaga lainnya tidak mampu lagi menangani
kemiskinan.
Paradigma neo-liberal ini digerakan oleh Bank Dunia dan telah menjadi
pendekatan yang digunakan oleh hampir semua kajian mengenai kemiskinan.
Dasar teori dari paradigma ini adalah teori-teori modernisasi yang
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan produksi (Suharto 2002). Salah
satu indikatornya adalah pendapatan nasional (GNP), yang sejak tahun 1950-an
mulai dijadikan indikator pembangunan. Para ilmuwan sosial selalu merujuk pada
pendekatan ini saat mengkaji masalah kemiskinan suatu Negara. Pengukuran
kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang
menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan” .
Kelemahan paradigma ini adalah terlalu memandang kemiskinan hanya
melalui pendapatan dan kurang melibatkan orang miskin sebagai subyek dalam
permasalahan kemiskinan sehingga bentuk-bentuk kemiskinan yang muncul
dalam masyarakat kurang mendapatkan perhatian. Bentuk-bentuk kemiskinan
yang disebabkan oleh dimensi sosial dalam masyarakat atau kelompok
masyarakat tidak dapat ditangkap oleh paradigma ini. Hal ini menyebabkan akar
permasalahan yang menjadi penyebab kemiskinan juga tidak dapat ditemukan.
2. Teori sosial-demokrat
Teori sosial-demokrasi lebih melihat kemiskinan sebagai persoalan
struktural, bukan persoalan individu. Ketidakadilan dan ketimpangan dalam
masyarakat mengakibatkan kemiskinan ada dalam masyarakat. Dalam
pendekatan ini tertutupnya akses-akses bagi kelompok tertentu menjadi penyebab
terjadinya kemiskinan. Pendekatan ini sangat mengkritik sistem pasar bebas,
namun tidak memandang sistem kapitalis sebagai sistem yang harus dihapuskan,
karena masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling
efektif.
Pendekatan ini juga menekankan pada kesetaraan sebagai prasyarat
penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan (Syahyuti 2006).
Kemandirian dan kebebasan ini akan tercapai jika setiap orang memiliki atau
mampu mengakses atau menjangkau sumber-sumber untuk mengembangkan
potensi dirinya, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan pendapatan yang
cukup. Peran negara sangat diperlukan untuk bisa memberikan jaminan bagi
setiap individu untuk dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi
kemasyarakatan, dan memungkinkan masyarakat untuk menentukan pilihanpilihan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Peran negara dalam pendekatan
ini cukup penting terutama dalam merumuskan strategi untuk menanggulangi
kemiskinan. Bagi pendekatan ini kemiskinan harus ditangani secara institusional
(melembaga), misalnya melalui program jaminan sosial. Salah satu contohnya
adalah pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, dapat meningkatkan
kebebasan, hal ini dikarenakan tersedianya penghasilan dasar sehingga orang akan
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihanpilihannya, dan sebaliknya ketiadaan penghasilan dasar tersebut dapat
menyebabkan ketergantungan.

12

Kelemahan teori ini adalah adanya ketergantungan yang tinggi pada
negara dalam membentuk struktur dan institusi untuk menanggulangi kemiskinan.
Padahal pencapaian pembentukan struktur dan institusi yang tepat dalam
menangani kemiskinan itu sendiri tergantung pada kapabilitas kelompok miskin.
Penggunaan kemiskinan relatif dalam pendekatan ini juga lebih menyulitkan
dalam membentuk kebutuhan standar yang diperlukan oleh kelompok miskin. Hal
ini dikarenakan kemiskinan tidak dilihat dari kebutuhan minimal yang harus
dicapai tapi lebih pada rata-rata kemampuan penduduk dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun demikian pendekatan ini membuka dimensi lain dari
penyebab kemiskinan yaitu pada struktur dan institusi, yang telah menyebabkan
tertutupnya akses bagi kelompok tertentu dalam masyarakat. Sehingga melalui
pendekatan ini dapat dilihat bahwa akar permasalahan kemiskinan bukan hanya
sekedar pada kemampuan individu tetapi bagaimana struktur dan institusi dalam
masyarakat memberikan jaminan bagi semua kelompok untuk mendapatkan
kesetaraan dalam mencapai kemandirian dan kebebasan.

Konsep Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks karena berhubungan
dengan berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Kemiskinan merupakan sebuah
konsep abstrak, yang dapat didefinisikan secara berbeda tergantung dari
pengalaman dan perspektif para penilai/analis. Cara pandang masing-masing
orang akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks
kemiskinan; bagaimana kemiskinan terjadi; apa sajakah penyebab kemiskinan;
dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar supaya penanggulangan
kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, diperlukan elaborasi pengertian
kemiskinan secara komprehensif dan objektif. Konsep kemiskinan telah
mengalami perluasan seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab,
indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi
hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga dimensi
sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinsikan kemiskinan sebagai suatu
kondisi yang dialami seseorang yang mempunyai pengeluaran perkapita selama
sebulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan standar minimum. Kebutuhan
standar minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK) yaitu batas
minimum pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan makanan
dan non makanan. Batas pemenuhan minimum yaitu nilai rupiah dari pengeluaran
untuk makanan yang menghasilkan energi 2100 kilo kalori per orang setiap
harinya. Sedangkan kebutuhan non makanan mencakup pengeluaran untuk
perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaianan, pendidikan, kesehatan,
trasportasi, barang-barang tahan lama serta barang dan jasa esensial lainnya. Data
kemiskinan ini dapat diperoleh dari data Susenas. Garis kemiskinan merupakan
indikator kemiskinan pada tingkat makro, karena data Susenas merupakan data
perkiraan penduduk miskin Indonesia yang disajikan hanya pada tingkat
provinsi/kabupaten. Untuk tingkat mikro BPS menggunakan data survei
pendataan sosial ekonomi penduduk (PSE). Berbeda dengan data kemiskinan
makro, pada PSE dilakukan dengan pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan

13

dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum. Ada 14 indikator yang digunakan untuk menentukan rumah tangga
miskin, yaitu : (1) luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2; (2) jenis lantai
tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu,kayu murah; (3) jenis dinding tempat
tinggal dari bambu/rumbia, kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester; (4)
tidak memiliki fasilitas jamban; (5) sumber penerangan rumah tangga tidak
menggunakan listrik; (6) sumber air berasal dari sumur/mata air tidak
terlindung/sungai/air hujan; (7) bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah
kayu bakar/arang/minyak tanah; (8) hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu
kali