Konversi limbah nitrogen budidaya ikan menjadi bioflok dan pemanfaatannya bagi pertumbuhan ikan bandeng

(1)

KONVERSI LIMBAH NITROGEN BUDIDAYA IKAN MENJADI

BIOFLOK DAN PEMANFAATANNYA BAGI

PERTUMBUHAN IKAN BANDENG

USMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konversi Limbah Nitrogen Budidaya Ikan Menjadi Bioflok dan Pemanfaatannya Bagi Pertumbuhan Ikan Bandeng adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012 Usman C161070091


(3)

ABSTRACT

USMAN. Nitrogen Waste Conversion of Milkfish Culture into Bioflocs and Its Utilization for Milkfish Growth. Supervised by ENANG HARRIS, DEDI JUSADI, EDDY SUPRIYONO, and MUNTI YUHANA.

This research was conducted for the general aim i.e. to increase the protein efficiency by converting N waste in the milkfish culture into microbial flocs biomass and to utilize it for milkfish growth. This research was divided into 4 main research stages.The first stage was the analysis of apparent digestibility coeffcient and nitrogen waste of diet containing different protein levels for milkfish grow-out. Three commercial diets were used in this step, in which each containing different protein levels i.e. (A) 17%, (B) 21%, and (C) 26%. The nutrient apparent digestibility of the all three tested diets were not significantly different (P>0.05), but the nitrogen waste level increased with increased protein content of feed. The diet containing 26% of protein showed the highest specific growth rate, and highest feed efficiency, and therefore it further be used for intensive milkfish culture. Conversion of the total N waste in milkfish grow-out (fed diet containing 26% of protein) into bioflocs needed the additional of organic-C as much as 33% or 82% of molasses (which contained 40% of organic-C) of daily feeding. The second stage of the study was cultivating biofloc in grow-out culture media of milkfish by inoculating the different population density of heterotrophic bacterial cells. Nitrogen waste from 40 milkfish (average weight of 75g/fish), and reared in a fibre glass tank containing 625 L of water (25 ppt salinity). The fish were fed commercial feed with containing 26% protein, and added molases as much as 82% of daily feed in media culture. The treatmens were various inoculation densities of heterotrophic bacteria (Bacillus sp): (A) 0 cfu/mL, (B) 102 cfu/mL, (C) 104 cfu/mL, and (D) 106 cfu/mL. Inoculation of the bacteria of 106 cfu/mL in milkfish grow-out culture media resulted the increase of the conversion rate of N waste into bioflocs, the essential amino acid contents in biofloc, and to lower density of total Vibrio count. The third stage: Enhancing the utilization of bioflocs for milkfish growth through feeding management. A triplicated experiment was conducted using 100 fish with an initial body weight of 1.6 g, stocked in concrete tanks in the dimension of 2.0 x 1.5 x 1.2 m3. The fish were culture for 45 days in the media contained bioflocs and fed on different levels of artificial diet, either 0, 2.5 or 5% body weight (bw)/day respectively. Control fish were cultured in conventional media, water exchange of 30%/day, and fed on artificial diet of 5% bw/day. The milkfish fed by bioflocs showed the lowest specific growth rate of 1.82%. The fish treated by artificial diet of 2.5%bw/day in biofloc media showed specific growth rate which significantly not different (P>0.05) to those fed by artificial diet of 5% bw/day for both in biofloc media and in conventional media. This treatment showed improvement in the feed efficiency, protein efficiency ratio and protein retention compared to those fed by 5% bw/day. The fourth stage: Milkfish growth performances fed biofloc meal with amino acid essential supplementation. The fish tested is milkfish juvenile (18.4 g of weight), reared in fibre glass tank with 250 L volume, and 15 fish/tank for 60 days. The treatments were fish test fed (A) biofloc meal+essential amino acid (EAA, histidine, lysine, and methionine), (B) biofloc meal, and (C) commerical feed. The feed apparent digestibility coefficient and daily feed comsumption were lower for the both fed test of biofloc meal + EAA and biofloc meal compared to the commercial fed. The additional of the EAA in biofloc meal was able to improve utilization of biofloc protein for milkfish growth rate. However the high growth performances were found in fish fed the commercial fed.

Keywords : Nitrogen waste, conversion, bioflocs, feed protein efficiency, growth, milkfish


(4)

Pemanfaatannya Bagi Pertumbuhan Ikan Bandeng. Dibimbing oleh ENANG HARRIS, DEDI JUSADI, EDDY SUPRIYONO, dan MUNTI YUHANA

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan yang sangat populer dibudidayakan secara ekstensif di Indonesia. Namun pembudidayaannya secara intensif belum banyak dilakukan karena biaya pakan yang mahal dan tidak seimbang dengan harga ikan hasil budidaya. Salah satu penyebab utama tingginya biaya pakan adalah karena kandungan protein pakan yang tinggi dan efisiensi pemanfaatan protein rendah. Rendahnya efisiensi protein pada ikan disebabkan karena selain protein digunakan untuk sintensis protein tubuh, ikan juga banyak menggunakan protein sebagai sumber energi. Penggunaan protein sebagai sumber energi juga akan meningkatkan limbah nitrogen (N) budidaya ikan, khususnya pada sistim intensif. Limbah nitrogen dari budidaya ikan berupa

total ammonia-nitrogen (TAN), nitrit dan nitrat, dan limbah ini bersifat toksik khususnya TAN dan nitrit meskipun dalam konsentrasi yang rendah. Oleh karena itu, perlu dicari upaya meningkatkan pemanfaatan protein pakan dan menekan limbah N ikan tersebut.

Pada teknologi bioflok, TAN dapat dikonversi dengan cepat menjadi biomassa bakteri heterotrof, dan bioflok yang terbentuk memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik untuk pertumbuhan ikan. Namun tidak semua ikan dapat memanfaatkan bioflok ini sebagai makanan. Ikan bandeng memiliki preferensi makanan yang beragam yaitu memakan zooplankton, diatom, bentos kecil, algae dan detritus. Selain itu, ikan bandeng memiliki efibranchial organ yang dapat memadatkan material kecil yang dimakannya sebelum ditelan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum meningkatkan efisiensi protein melalui konversi limbah N budidaya menjadi bioflok dan memanfaatkannya bagi pertumbuhan ikan bandeng, yang dilakukan dengan beberapa tahap.

Penelitian tahap pertama adalah analisis tingkat kecernaan dan limbah nitrogen (N) pakan yang berbeda kadar protein pada budidaya ikan bandeng. Pakan uji yang digunakan adalah pakan komersil yang mengandung protein 17%, 21%, dan 26%. Pakan tersebut digiling ulang,lalu ditambahkan kromium oksida (Cr2O3) sebagai indikator kecernaan. Untuk menentukan total limbah N

yang dibuang ke lingkungan, maka dilakukan pemeliharaan ikan bandeng selama 45 hari dan menghitung retensi N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan ketiga pakan tersebut tidak berbeda nyata yaitu antara 77,278,2% untuk bahan kering, 88,690,0% untuk protein, 94,2–96,1% untuk lemak, dan 81,6–83,1% untuk C-organik. Ikan yang diberi pakan berprotein 26% memiliki laju pertumbuhan dan efisiensi pakan yang lebih tinggi daripada ikan yang diberi pakan berprotein lebih rendah. Namun total limbah N per 100 g pakan yang masuk ke perairan meningkat secara nyata dengan meningkatnya kadar protein pakan yaitu 2,27g N untuk pakan berprotein 17%, 2,76g N untuk pakan berprotein 21%, dan 3,28g N untuk pakan berprotein 26%. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan bahwa pakan bandeng beprotein 26% layak digunakan dalam budidaya ikan bandeng intensif. Untuk mengkonversi limbah N dari kegiatan budidaya bandeng menjadi biomassa bakteri heterotrof (bioflok), diperlukan aplikasi C-organik sebanyak 32,8% dari total pakan harian. Jika menggunakan molase sebagai sumber C-organik, dan molase mengandung


(5)

C-organik sebanyak 40%, maka diperlukan aplikasi molase sebanyak 82% dari pakan harian.

Penelitian tahap kedua adalah penumbuhan bioflok dalam media budidaya ikan bandeng dengan kepadatan inokulasi bakteri heterotrof yang berbeda. Penumbuhan bioflok dilakukan dengan mempertahankan keseimbangan rasio C/N 10 dalam media budidaya selama 30 hari. Sumber nitrogen berasal dari limbah 40 ekor ikan bandeng (bobot rata-rata 75g/ekor) yang dipelihara dalam bak fibre glass berisi air bersalinitas 25 ppt sebanyak 625 L. Ikan uji diberi pakan komersial dengan kadar protein 26%. Molase digunakan sebagai sumber C-organik sebanyak 82% dari bobot pakan harian. Perlakuan yang dicobakan adalah kepadatan inokukasi bakteri heterotrof (Bacillus sp) yang berbeda yaitu: (A) tanpa inokulasi (0 cfu/ml), (B) inokulasi 102 cfu/mL, (C) inokulasi 104 cfu/mL, dan (D) inokulasi 106 cfu/mL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media budidaya yang diinokulasi bakteri heterotrof sebanyak 106 cfu/mL memiliki puncak kadar TAN terendah (1,492 mg/L), kadar VSS tertinggi (833 mg/L), dan kepadatan total bakteri Vibrio terendah (5,89x103 cfu/mL) dibandingkan perlakuan lainnya, serta cenderung meningkatkan kandungan asam amino esensial bioflok. Hal ini menunjukkan bahwa inokulasi bakteri heterotrof (Bacillus

sp) sebanyak 106 cfu/mL lebih meningkatkan laju konversi limbah N menjadi bioflok dibandingkan jumlah inokulasi bakteri yang lebih rendah dan kontrol. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa kepadatan optimum inokulasi bakteri heterotrof (Bacillus sp) untuk penumbuhan bioflok dalam media budidaya ikan bandeng adalah 1x106 cfu/mL.

Penelitian tahap ketiga adalah peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan. Perlakuan yang dicobakan adalah ikan uji dipelihara dalam media dengan: (A) bioflok tanpa pemberian pakan buatan, (B) bioflok + pakan buatan sebanyak 2,5% perhari, (C) bioflok + pakan buatan sebanyak 5% perhari, (D) pemberian pakan buatan sebanyak 5% perhari tanpa bioflok, yang dipelihara selama 45 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan bandeng ukuran awal rata-rata 1,6 g yang hanya diberi bioflok dapat tumbuh dengan laju pertumbuhan 1,82%/hari, namun laju pertumbuhan ini masih lebih rendah dibandingkan yang diberi pakan buatan 5%/hari yaitu 2,01%/hari. Ikan yang diberi pakan buatan sebanyak 2,5%/hari dalam media bioflok memiliki laju pertumbuhan yang relatif sama dengan ikan yang diberi pakan 5% perhari, dan dapat meningkatkan efisiensi pakan sebanyak 58,5%, efisiensi protein sebanyak 59,2%, dan retensi protein sebanyak 46,1% terhadap ikan yang hanya diberi pakan buatan 5%/hari. Kandungan TAN, nitrit dan nitrat dalam media budidaya pada semua perlakuan dapat dipertahankan pada kadar yang rendah dan layak bagi pertumbuhan ikan bandeng. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa gelondongan ikan bandeng dapat memanfaatkan bioflok untuk pertumbuhannya, dan untuk meningkatkan pertumbuhannya dapat diberi pakan buatan sebanyak 2,5% bobot badan perhari. Penelitian tahap keempat adalah performansi pertumbuhan ikan bandeng dengan pemberian pakan tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial. Ikan uji yang digunakan adalah juvenil bandeng berukuran rata-rata 18,4 g yang dipelihara dalam bak serat kaca bervolume 250 L dengan kepadatan awal 15 ekor/bak, selama 60 hari. Perlakuan yang dicobakan adalah jenis pakan berupa (A) tepung bioflok + asam amino esensial (AAE, histidine, lysine dan methionine), (B) tepung bioflok, dan (C) pakan komersil, masing-masing 3 perlakuan yang didisain dengan rancangan acak lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan dan konsumsi pakan harian ke-dua pakan uji bioflok lebih rendah dari pada pakan komersil. Laju pertumbuhan ikan, efisiensi pakan, efisiensi protein, retensi protein, retensi lemak, dan retensi


(6)

memiliki nilai yang lebih rendah dari pada ikan yang diberi pakan tepung bioflok saja dan pakan komersil. Berdasarkan peneltian ini disimpulkan bahwa penambahan asam amino esensial (histidine, lysine, dan methionine) dalam tepung bioflok mampu memperbaiki pemanfaatan protein bioflok untuk pertumbuhan ikan bandeng.

Kata kunci: Limbah nitrogen, konversi, bioflok, efisiensi protein pakan, pertumbuhan, ikan bandeng


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

PERTUMBUHAN IKAN BANDENG

USMAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, MS

Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta. 2. Dr. Ir. M. Agus Suprayudi, M.Si.

Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. I Nyoman Adiasmara Giri, MS.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.

2. Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.

Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB


(10)

Nama : Usman

NIM : C161070091

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc

Ketua Anggota

Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc Dr. Munti Yuhana, S.Pi, M.Si Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,

Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc. Agr.


(11)

PRAKATA

Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulisan disertasi berjudul “Konversi Limbah Nitrogen Budidaya Ikan Menjadi Bioflok dan Pemanfaatannya bagi Pertumbuhan Ikan Bandeng” dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Program Studi Ilmu Akuakulur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS, Bapak Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc, dan Ibu Dr. Munti Yuhana, S.Pi, M.Si. sebagai komisi pembimbing atas waktu, tuntunan, kesabaran, semangat, dan keikhlasan yang telah diberikan dalam membimbing dan memberi masukan yang sangat berarti kepada penulis mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, MS dan Bapak Dr. Ir. M. Agus Suprayudi, MS atas kesediaannya selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Bapak Dr. Ir. I Nyoman Adiasmara Giri, MS dan Ibu Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka atas saran, perbaikan, wawasan dan semangat yang diberikan.

3. Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya beserta seluruh jajarannya atas kesempatan dan penyediaan beasiswa sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan pada progran S3 di Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak Dr. Ir. Rachman Syah, MS selaku Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP), Maros beserta jajarannya atas kesempatan dan dukungannya kepada penulis untuk melanjutkan pendidikani dan melaksanakan penelitian S3.

5. Rekan-rekan kelompok Penelitian Nutrisi dan Teknologi Pakan, Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Bioteknologi, Keteknikan dan Sumberdaya BPPBAP, Maros beserta teknisi atas dukungan tenaga, moril, dan materil kepada penulis.

6. Rekan-rekan mahasiswa S3, khususnya Akuakultur 2007, atas segala kebersamaan dan dukungan semangat dalam menyelesaikan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.

7. Isteri tercinta Dra. Tsuaebah Islamiyah dan anak-anakku terkasih: Uswatun Hasanah, Nur Sakinah, dan Tria Nur Azisah, serta seluruh keluarga besar: Ibu, Ibu mertua, Ipar, dan adik-adik atas segala doa, kasih sayang, dorongan semangat dan dukungan moril dan materiil kepada penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan baik moril maupun materiil sehingga penulis mampu menyelesaikan program S3 di Institut Pertanian Bogor.

Semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala doa dan bantuan yang telah diberikan.


(12)

penulisan selanjutnya. Penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan teknologi akuakultur di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat perikanan yang lebih maju dan sejahtera.

Bogor, Juli 2002 Usman


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Boarenge (Kabupaten Bone), Sulawesi Selatan pada tanggal 24 Nopember 1966 sebagai anak sulung dari pasangan Muh. Ali dan Hj. Tang. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan (S2), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Akuakultur Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa untuk program doktor diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya Air Payau di Maros, Sulawesi Selatan, sejak tahun 1992. Bidang penelitian yang menjadi tanggungjawab penulis adalah nutrisi dan teknologi pakan. Menikah dengan Dra. Tsuaebah Islamiyah pada tahun 1996 dan telah dikaruniai tiga orang putri bernama Uswatun Hasanah, Nur Sakinah, dan Tria Nur Azisah.

Karya ilmiah dengan judul “Analisis tingkat kecernaan pakan dan limbah nitrogen (N) budidaya ikan bandeng serta kebutuhan C-organik untuk penumbuhan bakteri heterotrof (bioflok)”, telah diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur Vol. 5 Nomor 3: Desember 2010. Artikel lain berjudul “Penumbuhan bioflok dalam media budidaya ikan bandeng”, juga telah diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur Volume 6 Nomor 1, April 2011. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(14)

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAM…...……….………….xii

DAFTAR LAMPIRAN……….xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang………..1

Perumusan Masalah ...3

Tujuan dan Manfaat Penelitian………..4

Kebaruan Penelitian……….………5

TINJAUAN PUSTAKA Kebiasaan Makan Ikan Bandeng………..………....7

Kualitas Air dalam Budidaya Ikan Bandeng……….8

Kebutuhan Nutrisi Ikan Bandeng……….11

Budidaya Ikan Bandeng Intensif……….15

Pemanfaatan Bakteri Heterotrof (Bioflok) dalam Akuakultur………….…...15

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Flok Mikroba…….…..…21

ANALISIS TINGKAT KECERNAAN DAN LIMBAH NITROGEN (N) PAKAN YANG BERBEDA KADAR PROTEIN PADA BUDIDAYA IKAN BANDENG Abstrak……….25

Abstract………26

Pendahuluan………...26

Bahan dan Metode………28

Hasil dan Pembahasan……….………….31

Simpulan………..37

PENUMBUHAN BIOFLOK DALAM MEDIA BUDIDAYA IKAN BANDENG DENGAN KEPADATAN INOKULASI BAKTERI HETEROTROF YANG BERBEDA Abstrak...39

Abstract………...….40

Pendahuluan……….…………..40

Bahan dan Metode……….………42

Hasil dan Pembahasan……….……….44


(15)

PENINGKATAN PEMANFAATAN BIOFLOK BAGI PERTUMBUHAN IKAN BANDENG MELALUI MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN

Abstrak………..55

Abstract……….56

Pendahuluan………56

Bahan dan Metode……….58

Hasil dan Pembahasan………..61

Simpulan………..76

PERFORMANSI PERTUMBUHAN IKAN BANDENG DENGAN PEMBERIAN PAKAN TEPUNG BIOFLOK YANG DISUPLEMENTASI ASAM AMINO ESENSIAL Abstrak………..77

Abstract……….78

Pendahuluan………78

Bahan dan Metode……….80

Hasil dan Pembahasan………..85

Simpulan………...91

PEMBAHASAN UMUM……….……….93

SIMPULAN UMUM DAN SARAN……….………99

DAFTAR PUSTAKA……….101


(16)

1 Komposisi proksimat pakan uji (pakan komersil) ... 29 2 Koefisien kecernaan pakan dengan kadar protein berbeda ... 32 3 Rata-rata jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam bentuk feses ikan

bandeng untuk setiap 100 g pakan uji (bobot kering) ... 32 4 Kinerja pertumbuhan ikan bandeng setelah diberi pakan yang

mengandung kadar protein berbeda ... 33 5 Total protein pakan yang dikonsumsi dan limbah N yang dikeluarkan ke

lingkunga budidaya untuk ketiga jenis pakan uji selama penelitian ... 34 6 Rata-rata komposisi proksimat bioflok yang ditumbuhkan dengan

jumlah inokulasi bakteri heterotrof yang berbeda ... 53 7 Profil asam amino esensial bioflok yang ditumbuhkan dengan

jumlah inokulasi bakteri yang berbeda (% bobot kering)... 54 8 Kinerja pertumbuhan ikan bandeng penyuplai TAN yang diberi pakan

pelet dalam jaring selama 60 hari pemeliharaan ... 62 9 Kinerja pertumbuhan gelondongan ikan bandeng di luar jaring

selama 45 hari pemeliharaan ... 63 10 Komposisi proksimat kandungan nutrisi bioflok yang tumbuh dalam

media budidaya ... 75 11 Profil asam amino esensial bioflok yang tumbuh dalam media budidaya

(A, B, dan C) dan pakan buatan (D) yang digunakan untuk

penggelondongan ikan bandeng (% bobot kering) ... 76 12 Komposisi bahan dan proksimat pakan uji (% bobot kering). ... 81 13 Komposisi asam amino pakan uji dan tubuh ikan bandeng (% protein)

serta rasio asam amino essensial (AAE) pakan dengan tubuh ikan (%) . .. 82 14 Koefisien kecernaan pakan uji (%) ... 86 15 Performansi pertumbuhan juvenil ikan bandeng yang diberi pakan uji ... 87 16 Komposisi proksimat tubuh ikan bandeng sebelum dan setelah


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Proses mikrobial yang terjadi di dalam media budidaya ikan (Mentoya &

Velasco 2000) ... 16

2 Skema perhitungan jumlah penambahan C organik untuk mengassimilasi limbah N dalam penumbuhan bioflok pada budidaya ikan bandeng intensif di tambak/kolan ... 36

3 Pola dinamika kadar total ammonia nitrogen (TAN) dalam media budidaya selama penelitian.... ... ...45

4 Pola dinamika kadar nitrit dalam media budidaya selama penelitian ... 46

5 Pola dinamika kadar nitrat dalam media budidaya selama penelitian ... 47

6 Pola dinamika kadar oksigen terlarut selama 24 jam pada awal dan akhir penelitian ... ...47

7 Pola dinamika suhu media selama 24 jam pada awal dan akhir penelitian . 48 8. Pola dinamika kadar total suspended solid (TSS) dalam media budidaya selama penelitian ... 49

9 Pola dinamika kadar volatile suspended solid (VSS) dalam media budidaya selama penelitian ... 49

10 Penyebaran bioflok dalam media budidaya dan hasil panen bioflok ... 50

11 Pola dinamika total bakteri dalam media budidaya selama penelitian ... 51

12 Pola dinamika kepadatan total bakteri Vibrio dalam media budidaya selama penelitian ... 52

13 Dinamika kandungan protein bioflok selama penumbuhan dalam media budidaya ikan bandeng ... 53

14 Retensi protein gabungan antara ikan penyuplai TAN dan gelondongan ikan bandeng ... 64

15 Kepadatan populasi bakteri heterotrof (cfu/mL) dalam epibranchial dan usus depan ikan bandeng ... 65

16 Pola dinamika TAN dalam media budidaya ikan bandeng ... 67

17 Pola dinamika nitrit dalam media budidaya ikan bandeng ... 68

18 Pola dinamika nitrat dalam media budidaya ikan bandeng ... 69

19 Kandungan oksigen terlarut selama 24 jam pada awal (A0, B0, C0, D0), hari ke-30 (A30, B30, C30, D30), dan hari ke-60 (A60, B60, C60, D60) dalam media budidaya ikan bandeng ... 69


(18)

21 Pola dinamika VSS dalam media budidaya ikan bandeng selama

penelitian ... 70 22 Bioflok yang terbentuk dalam media budidaya ikan bandeng ... 71 23 Pola dinamika kepadatan populasi bakteri heterotrof dalam media

budidaya ikan bandeng ... 72 24 Pola dinamika kepadatan total bakteri Vibrio dalam media budidaya

ikan bandeng ... 73 25 Rata-rata kelimpahan plankton, protozoa dan polychaeta dalam media

budidaya ikan bandeng ... 74 26 Profil kandungan asam amino esensial dalam pakan uji dan tubuh ikan

bandeng (% protein) ... 87 27 Nilai retensi asam amino histidine, lysine, dan methionine setelah

pemberian pakan pada juvenil ikan bandeng ... 88 28 Kandungan TAN dalam plasma darah ikan bandeng sebelum (T0)

dan setelah (T5) pemberian pakan uji ... 89 29 Laju eskresi TAN ikan bandeng yang diberi jenis pakan berbeda ... 90


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Prosedur analisis proksimat (kadar air, protein, lemak, serat kasar,

dan abu) menurut metode Takeuchi (1988)... ...113 2 Prosedur analisis kadar C-organik (Walkley & Black) (Anonim 2005)... 117 3 Prosedur analisis kadar kromium oksida (Takeuchi 1988) ...118 4. Hasil analisis proksimat, kromium oksida, C-organik pakan (% bobot

kering) pada penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam

budidaya ikan bandeng...119 5. Hasil analisis analisis proksimat, kromium oksida, C-organik feses

(% bobot kering) pada penggunaan pakan berbeda kadar protein

dalam budidaya ikan bandeng )...119 6 Nilai koefisien kecernaan pakan uji pada penggunaan pakan

berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bandeng...120 7 Analisis ragam koefisien kecernaan bahan kering pada penggunaan

pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bandeng...120 8 Analisis ragam koefisien kecernaan protein pakan pada

penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan

bandeng...120 9 Analisis ragam koefisien kecernaan lemak pakan pada penggunaan

Pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bandeng...121 10 Analisis ragam koefisien kecernaan bahan ekstar tanpa nitrogen

(BETN) pada penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam

budidaya ikan bandeng)...121 11 Analisis ragam koefisien kecernaan C-organik pakan pada penggunaan

pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bande...121 12 Biomassa ikan, sintasan (SR), konsumsi pakan (FC), laju pertumbuhan

spesifik (SGR), efisiensi pakan (FE), dan rasio efisiensi protein (PER) pada penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bandeng)...122 13 Komposisi proksimat tubuh ikan bandeng (% bobot kering) pada

penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan

bandeng ...122 14 Analisis ragam laju pertumbuhan spesifik ikan pada penggunaan

pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bandeng...123 15 Analisis ragam efisiensi pakan pada penggunaan pakan berbeda


(20)

17 Analisis ragam retensi protein pada penggunaan pakan berbeda

kadar protein dalam budidaya ikan bandeng ...125 18 Analisis ragam kelangsungan hidup ikan pada penggunaan pakan

berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bandeng...125 19 Analisis ragam jumlah konsumsi pakan oleh ikan pada penggunaan

pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan bandeng...125 20 Analisis ragam jumlah konsumsi protein pakan oleh ikan pada

penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan

bandeng...126 21 Analisis ragam protein pakan yang terbuang ke perairan pada

penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan

bandeng...126 22 Analisis ragam N pakan yang terbuang ke perairan pada

penggunaan pakan berbeda kadar protein dalam budidaya ikan

bandeng...127 23 Metode perbanyakan bakteri inokulum (Gunarto dan Hendrajat 2008) ...127 24 Metode pengukuran total amonia nitrogen (TAN) )...128 25 Metode pengukuran nitrit (NO2) )...130

26 Metode pengukuran nitrat (NO3) )...132

27 Metode pengukuran total suspended solid dan volatile suspended

solid dan floc volume indeks (FVI) (Ekasari 2008)...134 28 Metode penghitungan jumlah bakteri...136 29 Rata-rata kadar TAN (mg/L) dalam media budidaya ikan bandeng

selama penumbuhan bioflok dengan jumlah inokulasi bakteri

yang berbeda...137 30. Rata-rata kadar nitrit (NO2) (mg/L) dalam media budidaya ikan

bandeng selama penumbuhan bioflok dengan jumlah inokulasi

bakteri yang berbeda...138 31 Rata-rata kadar nitrat (NO3) (mg/L) dalam media budidaya ikan

bandeng selama penumbuhan bioflok dengan jumlah inokulasi


(21)

32 Rata-rata kadar TSS (mg/L), VSS (mg/L) dan FVI (mL/g) dalam media budidaya ikan bandeng selama penumbuhan bioflok dengan jumlah inokulasi bakteri yang berbeda...139 33 Rata-rata kelimpahan total bakteri heterotrof (cfu/mL) dalam

media budidaya ikan bandeng selama penumbuhan bioflok

dengan jumlah inokulasi bakteri yang berbeda...139 34 Rata-rata kepadatan bakteri heterotrof (cfu/g) dalam bioflok

(kadar air 90-95%) pada akhir penumbuhan bioflok dengan

jumlah inokulasi bakteri yang berbeda...140 35 Rata-rata kepadatan total bakteri Vibrio (cfu/mL) dalam media

budidaya ikan bandeng selama penumbuhan bioflok dengan

jumlah inokulasi bakteri yang berbeda...140 36 Komposisi proksimat bioflok (% bobot kering) yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri yang berbeda dalam media

budidaya ikan bandeng pada hari ke-10...140 37 Komposisi proksimat bioflok (% bobot kering) yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri yang berbeda dalam media

budidaya ikan bandeng pada hari ke-15... 141 38 Komposisi proksimat bioflok (% bobot kering) yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri yang berbeda dalam media

budidaya ikan bandeng pada hari ke-20... 141 39 Komposisi proksimat bioflok (% bobot kering) yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri yang berbeda dalam media

budidaya ikan bandeng pada hari ke-25... 142 40 Komposisi proksimat bioflok (% bobot kering) yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri yang berbeda dalam media

budidaya ikan bandeng pada hari ke-30... 142 41 Analisis ragam rata-rata kadar protein bioflok yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri heterotrof yang berbeda... 143 42 Analisis ragam rata-rata kadar lemak bioflok yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri heterotrof yang berbeda... 143 43 Analisis ragam rata-rata kadar serat kasar bioflok yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri heterotrof yang berbeda... 143 44 Analisis ragam rata-rata kadar abu bioflok yang ditumbuhkan

dengan jumlah inokulasi bakteri heterotrof yang berbeda... 143 45 Profil asam amino bioflok yang ditumbuhkan dengan jumlah

inokulasi bakteri yang berbeda (% bobot kering) ... 144 46 Komposisi proksimat pakan komersil yang digunakan pada


(22)

47 Biomassa ikan, ikan mati (M), kelangsungan hidup (SR), konsumsi pakan (FC), laju pertumbuhan spesifik (SGR), efisiensi pakan (FE), rasio efisiensi protein (PER) dan retensi protein (RP) ikan bandeng penyuplai TAN pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi

pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 145 48 Analisis ragam laju pertumbuhan spesifik (SGR) ikan bandeng

(penyuplai TAN) pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi

pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 145 49 Analisis ragam kelangsungan hidup ikan ikan bandeng penyuplai

TAN pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan

ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 146 50 Analisis ragam efisiensi pakan oleh ikan bandeng (penyuplai TAN)

pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan

bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 146 51 Analisis ragam rasio efisiensi protein oleh ikan bandeng (penyuplai

TAN) pada pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan...146 52 Analisis ragam retensi protein ikan bandeng (penyuplai TAN) pada

peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng

melalui manajemen pemberian pakan ...147 53 Biomassa ikan, ikan mati (M), kelangsungan hidup (SR), konsumsi

pakan (FC, bobot kering), laju pertumbuhan spesifik (SGR), efisiensi pakan (FE), rasio efisiensi protein (PER), dan retensi protein

gelondongan ikan bandeng pada peningkatan pemanfaatan bioflok

bagi pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan.147 54 Analisis ragam kelangsungan hidup gelondongan ikan bandeng

pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan

bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 148 55 Analisis ragam laju pertumbuhan spesifik (SGR) gelondongan ikan

bandeng pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan

ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 148

56 Analisis ragam efisiensi pakan gelondongan ikan bandeng pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng

melalui manajemen pemberian pakan... 148 57 Analisis ragam rasio efisiensi protein oleh gelondongan ikan bandeng

pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan

bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 149 58 Komposisi proksimat tubuh ikan bandeng penyuplai TAN (% bobot


(23)

kering) pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 149 59 Komposisi proksimat tubuh gelondongan ikan bandeng (% bobot

kering) pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 150 60 Kelimpahan total bakteri isi organ epibrancial, usus depan ikan

bandeng, dan bioflok pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi

pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 151 61 Rata-rata kadar TAN (mg/L) dalam media budidaya pada

peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng

melalui manajemen pemberian pakan... 152 62 Rata-rata kadar nitrit (NO2) (mg/L) dalam media budidaya pada

peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng

melalui manajemen pemberian pakan... 153 63 Rata-rata kadar nitrat (NO3) (mg/L) dalam media budidaya

pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan

bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 153 64 Rata-rata kadar TSS (mg/L), VSS (mg/L) dan FVI (mL/g) dalam

media budidaya pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi

pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 154 65 Rata-rata kelimpahan total bakteri heterotrof (cfu/mL) dalam

media budidaya pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi

pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 154 66 Rata-rata kelimpahan total bakteri Vibrio (cfu/mL) dalam media

budidaya pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi

pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 155 67 Rata-rata kelimpahan plankton, protozoa dan polychaeta (ind/L)

dalam media budidaya pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi

pertumbuhan ikan bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 156 68 Komposisi proksimat bioflok yang tumbuh dalam media budidaya

pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan

bandeng melalui manajemen pemberian pakan... 157 69 Profil asam amino bioflok (A, B, C) dan pakan buatan untuk

penggelondongan ikan bandeng (D) (% bobot kering) pada peningkatan pemanfaatan bioflok bagi pertumbuhan ikan bandeng

melalui manajemen pemberian pakan... 157 70 Komposisi asam amino pakan uji dan tubuh ikan bandeng

(% bahan kering) pada pemberian tepung bioflok yang


(24)

tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial...158 72. Hasil analisis kandungan protein dan kromiun oksida (% bobot

kering) serta energi (kkal/kg) pakan dalam uji kecernaan pada pemberian tepung bioflok yang disuplementasi asam

amino esensial...159 73 Koefisien kecernaan pakan uji pada pemberian tepung bioflok

yang disuplementasi asam amino esensial... 159 74 Analisis ragam koefisien kecernaan bahan kering pakan uji

pada pemberian tepung bioflok yang disuplementasi asam

amino esensial... 160 75 Analisis ragam koefisien kecernaan protein pakan uji pada

pemberian tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial....160 76 Analisis ragam koefisien kecernaan energi pakan uji pada

pemberian tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial....161 77 Biomassa ikan, ikan mati (M), sintasan (SR), konsumsi pakan (FC,

bobot kering), laju pertumbuhan spesifik (SGR), efisiensi pakan (FE), dan rasio efisiensi protein (PER) ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial...161 78 Analisis ragam laju pertumbuhan spesifik (SGR) ikan bandeng

pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi

asam amino esensial...162 79 Analisis ragam konsumsi pakan oleh ikan bandeng pada pemberian

pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial...162 80 Analisis ragam efisiensi pakan oleh ikan bandeng pada pemberian

pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial...163 81 Analisis ragam rasio efisiensi protein oleh ikan bandeng pada

pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi

asam amino esensial... 163 82 Analisis ragam kelangsungan hidup ikan bandeng pada pemberian

Pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi

asam amino esensial... 164 83 Analisis ragam retensi protein ikan bandeng pada pemberian


(25)

84 Analisis ragam retensi lemak ikan bandeng pada pemberian

pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial...165 85 Komposisi asam amino ikan uji (% bahan kering) setelah pemberian

pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial...165 86 Analisis ragam retensi histidine pada pemberian pakan uji tepung

bioflok yang disuplementasi asam amino esensial (data

ditransformasi pada Y = (X) 0,5... 166 87 Analisis ragam retensi lysine pada pemberian pakan uji tepung

bioflok yang disuplementasi asam amino esensial (setelah

data ditransformasi pada Y = (X) 0,5... 166 88 Analisis ragam retensi methionine pada pemberian pakan uji

tepung bioflok yang disuplementasi asam amino essensial

(data ditransformasi pada Y = (X) 0,5... 167 89 Nilai rata-rata TAN (mg/L) plasma darah ikan sebelum (T0) dan

setelah 5 jam pemberian pakan uji (T5) ... 167

90 Analisis ragam kadar TAN plasma darah ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi

asam amino esensial (sebelum pemberian pakan) ... 167 91 Analisis ragam kadar TAN plasma darah ikan bandeng pada

pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam

amino essensial (setelah pemberian pakan) ... 168 92 Laju eskresi TAN juvenil ikan bandeng setelah pemberian pakan

tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial... 168 93 Analisis ragam laju eskresi TAN ikan bandeng pada pemberian

pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial...169 94 Komposisi proksimat tubuh ikan bandeng (% bobot kering) pada

pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi


(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bertambahnya jumlah penduduk dunia menyebabkan permintaan protein hewani juga semakin meningkat. Hal ini tentunya membutuhkan peningkatan produksi ikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara di sisi lain, produksi ikan dari hasil penangkapan cenderung mengalami stagnasi (FAO 2007). Oleh karena itu, kegiatan akuakultur diharapkan mampu meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan ikan dunia (Kesarcodi-Watson et al.

2008). Peningkatan produksi akuakultur diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan protein nutrisi manusia terutama pada negara-negara berkembang.

Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi akuakultur adalah budidaya ikan secara intensif. Namun demikian, dewasa ini kegiatan budidaya ikan intensif dihadapkan pada dua tantangan besar yaitu terbatasnya suplai protein untuk pakan ikan dan adanya limbah dari kegiatan budidaya yang merusak kualitas air media budidaya itu sendiri serta lingkungan perairan sekitarnya yang dapat mengancam kegiatan akuakultur berkelanjutan (Piedrahita 2003).

Umumnya ikan membutuhkan protein pakan yang tinggi untuk tumbuh secara optimum, karena protein pakan selain digunakan sebagai zat penyusun tubuh (pertumbuhan) juga digunakan sebagai sumber energi (Wilson 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa berbeda dengan hewan darat, ikan menggunakan protein secara efektif sebagai sumber energi utama dibandingkan karbohidrat dan lemak. Oleh karena itu, ikan banyak mengeluarkan limbah nitrogen (N), utamanya total ammonia-nitrogen (TAN) sebagai hasil perombakan protein dan asam amino (deaminasi) untuk keperluan metabolismenya (sumber energi) (Halver & Hardy 2002). Selain itu, limbah N ini juga berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan feses. Menurut Avnimelech & Ritvo (2003), jumlah N yang diretensi oleh ikan dari pakan yang diberikan hanya sekitar 20-30% atau rata-rata 25% dan sisanya sekitar 70-80% baik berupa organik maupun N-anorganik dibuang ke perairan. Limbah organik dari pakan yang masuk ke perairan tersebut berupa sisa pakan dan partikel terlarut dalam air yang dapat mencapai 15% serta feses ikan sekitar 20% (Montoya & Velasco 2000). Hal ini merupakan penyebab rendahnya efisiensi protein dan tingginya limbah N dari kegiatan budidaya intensif. Limbah TAN dan turunannya NO2 memiliki sifat yang


(27)

2

harus diupayakan agar senyawa ini selalu dalam konsentrasi rendah yang tidak membahayakan kehidupan ikan budidaya. Oleh karena itu, perlu dicari upaya yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein pakan dan menurunkan beban limbah dari kegiatan budidaya ikan secara intensif, agar didapatkan kegiatan budidaya ikan dengan produktivitas tinggi dan berkesinambungan (Midlen & Redding 2000).

Secara alami terdapat tiga cara konversi nitrogen untuk membuang amoniak-nitrogen pada sistem akuakultur yaitu (1) pembuangan nitrogen secara fotoautotrofik yang dilakukan oleh kelompok alga, (2) konversi amoniak-nitrogen menjadi nitrat-nitrogen yang dilakukan oleh bakteri kemoautotrof dan (3) konversi secara langsung amoniak-nitrogen menjadi biomassa bakteri oleh bakteri heterotrof (Ebeling et al. 2006). Jalur konversi secara langsung amoniak-nitrogen menjadi biomassa bakteri memiliki prospek yang paling baik dalam pengembangan akuakultur berkelanjutan (Montoya & Velasco 2000). Pengembangan dan pengontrolan flok mikroba heterotrofik yang padat di kolom air atau pun yang menempel pada mikroorganisme dapat mempercepat pembuangan limbah organik dan inorganik di kolam akuakultur (Azim et al. 2003). Keuntungan yang utama yaitu flok mikroba heterotrof dapat dikonsumsi dan digunakan sebagai sumber makanan untuk organisme akuakultur (Hari et al. 2004), sehingga N yang terbuang dapat digunakan kembali oleh ikan budidaya untuk pertumbuhannya. Flok mikroba ini mengandung nutrisi seperti protein (19,0-40,6%), lemak (0,46-11,6%), dan abu (7-38,5%) yang cukup baik bagi ikan / udang budidaya (Tacon 2000; Ekasari 2008).

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan yang sangat populer dibudidayakan di Indonesia. Hingga saat ini, umumnya ikan bandeng dibudidayakan secara ekstensif di tambak-tambak air payau. Beberapa pembudidaya juga telah mencoba mengembangkan budidaya ikan bandeng dengan sistem intensif baik di tambak pada kepadatan sekitar 40.000-50.000 ekor/ha maupun dalam keramba jaring apung pada kepadatan 100-300 ekor/m3. Namun dalam budidaya intensif ini, dihadapkan pada masalah biaya pakan yang mahal dan limbah budidaya yang mengancam kelangsungannya. Meskipun pada kegiatan intensif ini dapat diperoleh produktivitas yang tinggi (6200 kg/ha/musim tanam untuk di tambak, dan hingga 67 kg/m3/musim tanam untuk di keramba jaring apung), namun rasio konversi pakan juga cukup tinggi (>2,3) (Burhanuddin


(28)

menyebabkan kegiatan budidaya intensif ikan ini belum berkembang dengan baik. Biaya pakan dapat mencapai 70% dari total biaya produksi pada kegiatan budidaya intensif (Harris 2006), terutama untuk biaya komponen protein pakan. Menurut Indradjaja (2009), konsumsi pakan ikan Indonesia pada tahun 2008 sekitar 700.000 ton dan 5% diantaranya adalah pakan ikan bandeng yaitu sekitar 35.000 ton, merupakan suatu angka konsumsi pakan yang cukup besar.

Menurut Bagarinao (1994), ikan bandeng di alam memiliki preferensi makanan yang beragam, pada waktu larva ikan ini tergolong karnivora yang memakan zooplankton, kemudian pada waktu fry menjadi omnivora yang memakan zooplankton, diatom, dan bentos kecil, dan selanjutnya pada ukuran juvenil termasuk ke dalam golongan herbivora yang memakan alage filamen, algae mat, detritus, bentos kecil. Setelah dewasa, ikan ini berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi algae mat, algae filamen, zooplankton, dan benthos lunak. Struktur tapis insang ikan bandeng yang panjang-panjang dan rapat memiliki fungsi sebagai penyaring mikroorganisme air (seperti plankton) dan juga memiliki epibrancheal organ yang berfungsi sebagai alat untuk memadatkan material yang dimakan sebelum ditelan (Huisman 1987). Oleh karena itu, diduga ikan bandeng mampu memanfaatkan bakteri heterotrof (bioflok) sebagai makanannya, untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang budidaya ikan bandeng secara intensif dengan penumbuhan bioflok dalam media budidayanya untuk meningkatkan pemanfaatan protein serta menekan buangan limbahnya ke perairan.

Perumusan Masalah

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan yang sangat populer dibudidayakan secara ekstensif di Indonesia. Namun pembudidayaannya secara intensif belum banyak dilakukan karena biaya pakan yang mahal dan tidak seimbang dengan harga ikan hasil budidaya. Salah satu penyebab utama tingginya biaya pakan karena kandungan protein pakan yang tinggi (≥26%) dan efisiensi pemanfaatan protein rendah (retensi protein ±25%). Rendahnya efisiensi protein pada ikan disebabkan karena selain protein digunakan untuk sintesis protein tubuh, ikan juga banyak menggunakan protein sebagai sumber energi (Halver & Hardy 2002). Penggunaan protein sebagai sumber energi juga akan meningkatkan limbah nitrogen (N) budidaya ikan, khususnya pada sistim


(29)

4

intensif. Limbah nitrogen dari budidaya ikan berupa total ammonia nitrogen

(TAN), nitrit dan nitrat, dan limbah ini bersifat toksik khususnya TAN dan nitrit meskipun dalam konsentrasi yang rendah. Oleh karena itu, perlu dicari upaya meningkatkan pemanfaatan protein pakan dan menekan limbah N ikan tersebut.

Pada teknologi bioflok, TAN dapat dikonversi dengan cepat menjadi biomassa bakteri heterotrof (bioflok), jika terjadi keseimbangan antara C-organik dan nitrogen dalam media budidaya yang cocok bagi pertumbuhan bakteri tersebut yaitu sekitar 10–20 (Avnimelech 1999; Montoya & Velasco 2000; McIntosh 2001; Brune et al 2003; Schneider et al. 2005). Sementara dalam budidaya ikan intensif, TAN yang berasal dari eskresi ikan dan hasil dekomposisi sisa pakan dan feses ikan sangat tinggi, sehingga rasio C/N dalam media budidaya sangat rendah. Untuk menciptakan keseimbangan rasio C/N yang optimal dalam media budidaya tersebut, maka perlu ditambahkan C-organik dalam media budidaya dengan pergantian air seminimal mungkin dan kondisi aerob. Terbentuknya biomassa bioflok ini, akan menurunkan limbah nitrogen dalam media budidaya. Bioflok yang terbentuk ini mengandung protein yang cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh beberapa ikan budidaya, meskipun tidak semua ikan dapat memanfaatkannya. Ikan bandeng memiliki referensi makanan yang beragam yaitu memakan zooplankton, diatom, bentos kecil, algae dan detritus (Bagarinao 1994). Selain itu, ikan bandeng memiliki efibranchial organ yang dapat memadatkan material kecil yang dimakannya sebelum ditelan, sehingga diduga dapat memanfaatkan bioflok tersebut bagi pertumbuhannya.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan protein pakan ikan bandeng dan menekan limbah TAN dengan memanfaatkan kembali limbah ikan tersebut melalui teknologi bioflok. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kecernaan dan beban limbah nitrogen (N) beberapa pakan komersil yang mengandung kadar protein berbeda dalam pembesaran ikan bandeng

2. Medapatkan kepadatan optimum inokulasi bakteri heterotrof (Bacillus sp) untuk menumbuhkan bioflok dalam media budidaya ikan bandeng.


(30)

3. Mengkonversi limbah TAN budidaya menjadi bioflok dan meningkatkan pemanfaatannya bagi pertumbuhan ikan bandeng melalui pengaturan dosis pemberian pakan.

4. Menganalisis pemanfaatan tepung bioflok yang disuplementasi beberapa asam amino essensial sebagai pakan ikan bandeng.

Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu acuan baru dalam budidaya ikan bandeng intensif, mengurangi limbah budidaya ikan, mendapatkan sumber protein baru dalam rangka mengembangkan budidaya ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Kebaruan Penelitian

Pemanfaatan bioflok pada budidaya ikan bandeng dalam rangka meningkatkan efisiensi protein pakan serta meminimalisir beban limbah nitrogen budidaya.


(31)

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebiasan Makan Ikan Bandeng

Nener ikan bandeng yang ditangkap di sepanjang perairan pantai atau wilayah litoral umumnya memakan organisme bentik, epifite, dan plankton yang didominasi oleh diatomae dan alga biru-hijau, dan kadang-kadang nematoda dan larva krustasea (Garcia 1987). Selanjutnya dikatakan bahwha juvenil ikan bandeng utamanya memakan organisme bentik dan plankton, hal ini termasuk gastropoda, foraminifera, alga hijau filamentus, alga biru hijau, diatom, copepoda, nematoda, dan detritus. Ikan bandeng yang telah berukuran besar (panjang total 116–404 mm) ditemukan memakan larva dan telur copepoda, polychaeta dan ostracoda (Tampi 1958 diacu dalam Santiago 1986). Selanjutnya Schuster (1960 diacu dalam Santiago 1986) menemukan ikan bandeng yang telah berukuran panjang 200300 mm lebih menyukai alga biru-hijau bentik lunak dan diatom di tambak, tetapi jika tidak cukup maka akan memakan alga filamentus hijau yang telah membusuk dan beberapa tanaman air tingkat tinggi lainnya. Studi berikutnya menunjukkan bahwa dari empat kelompok alga utama, diatom bentik dan alga biru-hijau lebih disukai oleh semua kelompok umur ikan bandeng di dalam tambak (Tang & Hwang 1966 diacu dalam Santiago 1986).

Menurut Blaber (1980), juvenile ikan bandeng umumnya mengambil makanan dari substrat dan memakan substrat bersama mikro- dan meio-fauna di dalamnya. Kebiasaan ikan bandeng mencerna makanan asal lapisan atas sedimen dasar, maka ikan bandeng termasuk ke dalam kelompok iliophagous (Ahmad et al. 1993). Kemudian Bagarino (1994) menyimpulkan bahwa ikan bandeng di alam memiliki preferensi makanan yang beragam, pada waktu larva ikan ini tergolong karnivora yang memakan zooplankton, kemudian pada waktu

fry menjadi omnivora yang memakan zooplankton, diatom, dan bentos kecil, dan selanjutnya pada ukuran juvenil termasuk ke dalam golongan herbivora yang memakan alga filamen, alga mat (kumpulan alga biru-hijau, cyanobakteria, yang tumbuh di dasar), detritus, bentos kecil. Setelah dewasa, ikan ini berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi alga mat, alga filamen, zooplankton, dan bentos lunak. Ikan ini juga mampu memanfaatkan pakan buatan. Dalam kegiatan budidaya, ikan bandeng memiliki respon yang cukup baik terhadap makanan buatan, sehingga dapat dibudidayakan secara intensif baik di tambak maupun di keramba jaring apung.


(33)

8

Gelondongan ikan bandeng lebih banyak melakukan aktivitas makan pada siang hari dari pada malam hari. Aktivitas makan pada malam hari berlangsung bila kandungan oksigen terlarut lebih besar dari 3 ppm. Waktu yang dibutuhkan oleh makanan melewati usus halus sekitar 10-15 menit pada stadium gelondongan 20 g dan 27–50 menit pada stadium gelondongan 60 g. Pergerakan makanan dalam usus gelondongan yang dipelihara dalam air laut sekitar 13–19 mm per menit, lebih cepat dari pada yang dipelihara dalam air tawar, 10–11 mm per menit (Ahmad et al. 1993).

Seperti dengan benih, juvenil ikan bandeng juga menunjukkan adanya kecenderungan periode makan yang nyata. Puncak aktivitas makan biasanya terjadi siang hari dan sore hari saat oksigen terlarut, suhu air dan aktivitas enzim pencernaan tinggi (Garcia 1987). Alga banyak dimakan pada siang hari, namun pada malam hari cenderung lebih banyak memakan jenis hewani, yang menunjukkan adanya perubahan diurnal berdasarkan ketersediaan jenis makanan (Garcia 1987).

Kualitas Air dalam Budidaya Ikan Bandeng

Seperti hewan akuatik lainnya, ikan bandeng akan tumbuh dengan baik jika berada dalam kondisi kualitas air yang optimal. Beberapa parameter fisika kimia air yang mempengaruhi pertumbuhan dan sintasan ikan di kolam pemeliharaan antara lain: suhu air, oksigen terlarut, salinitas, pH, dan bahan-bahan toksik utamanya dari limbah budidaya sendiri (NH3, NH4, NO2, CO2, H2S).

Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kualitas air yang sering menjadi faktor pembatas dalam budidaya ikan. Penurunan oksigen secara mendadak sampai pada batas tertentu (kritis), sering menyebabkan terjadinya kematian massal. Untuk mendapatkan pertumbuhan ikan budidaya yang maksimal, maka kandungan oksigen terlarut harus selalu dipertahankan dalam kondisi yang optimum bagi pertumbuhan ikan. Secara umum, kandungan oksigen terlarut yang rendah (< 3 ppm) akan menyebabkan nafsu makan ikan menurun, dan bila kondisi ini berlanjut untuk waktu yang lama akan menyebabkan ikan berhenti makan dan pertumbuhannya menjadi terhenti (Boyd 1982). Toleransi pada oksigen terlarut juga tergantung pada ukuran ikan. Ikan bandeng ukuran 200300 g mengalami symptoms asphyxiation pada kelarutan oksigen 1,4 ppm, bahkan terjadi kematian sekitar 50% saat kelarutan oksigen 0,10,4 ppm pada suhu 3134 oC (Gerochi et al. 1978 diacu dalam Garcia 1987).


(34)

Ikan bandeng bersifat poikilothermal sehingga suhu perairan berpengaruh langsung terhadap segala proses biokimia dan fisiologis dalam tubuhnya. Perubahan suhu perairan diantaranya berpengaruh terhadap nafsu makan ikan, kebutuhan energi untuk pemeliharaan, laju metabolisme, proses enzimatis, diffusi molekul kecil, fungsi membran, dan laju sintesa protein (Foster et al. 1993). Kenaikan suhu air sebesar 10 oC sampai pada batas-batas tertentu akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme 2–3 kali, dan kebutuhan oksigen juga akan meningkat (Wedemeyer 1996). Pada suhu perairan yang tinggi, kelarutan oksigen menurun, sementara haemoglobin darah harus dapat mengikat dan mengangkut oksigen yang lebih tinggi bagi kebutuhan proses metabolisme dalam tubuh. Sebaliknya, bila terjadi penurunan suhu perairan, maka akan menyebabkan penurunan laju metabolisme, sehingga akan mempengaruhi laju pertumbuhan. Ikan bandeng dapat hidup pada suhu antara 25 – 30oC (Yap et al. 2007). Pada suhu dibawah 25 oC, pertumbuhan ikan bandeng sangat lambat, karena laju metabolisme dan nafsu makan ikan sangat rendah dan pada suhu 29,5oC mengalami pertumbuhan yang sangat cepat (Villaluz & Unggui 1983). Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang tergolong

masking faktor bagi pertumbuhan ikan. Salinitas dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas osmoregulasi, laju metabolisme, dan kelarutan oksigen yang selanjutnya akan mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan ikan. Ikan yang hidup pada salinitas optimum, tekanan osmotik dalam tubuh dan lingkungannya mencapai atau mendekati kondisi isoosmotik. Pada kondisi ini, aktivitas osmoregulasi ikan mencapai titik minimum, sehingga kebutuhan energi metabolisme untuk proses osmoregulasi mencapai titik minimum (Wedemeyer 1996. Hal ini tentunya akan menambah porsi energi untuk pertumbuhan. Ikan bandeng bersifat euryhalin dengan kisaran toleransi salinitas cukup lebar yaitu 0–157 ppt. Chang (1977 diacu dalam Liao & Chen 1986) melaporkan bahwa salinitas yang layak bagi pertumbuhan ikan bandeng adalah 12–30 ppt. Hal yang relatif sama juga direkomendasikan oleh Ismail et al. (1994), bahwa untuk pembesaran ikan bandeng sebaiknya salinitas perairan berkisar antara 15–30 ppt.

pH air sangat berperan dalam proses-proses metabolisme ikan. Pada kondisi pH yang ekstrim, akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada insang ikan, terganggunya proses transfer gas, pertukaran ion, dan keseimbangan asam-basah dalam tubuh ikan (Wood 1989 diacu dalam Perry & Laurent 1993).


(35)

10

pH air juga akan mempengaruhi tingkat toksisitas beberapa senyawa beracun seperti ammonia dan nitrit (Boyd 1990). Oleh karena itu, pH perairan harus diusahakan selalu berada dalam kondisi yang normal bagi pertumbuhan ikan budidaya. Menurut Ahmad et al. (1993), pH air yang dapat memberikan pertumbuhan normal pada ikan bandeng adalah 6,5–8,5.

Secara alami, pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan

senyawa lain yang bersifat asam. Fitoplankton dan tanaman air lainnya akan mengambil CO2 dari air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan pH

air meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari. Fluktuasi pH pada air sangat dipengaruhi oleh kandungan alkalinitas dan kesadahan total perairan (Boyd 1990). Tingkat alkalinitas dan kesadahan total perairan yang diperlukan untuk kegiatan budidaya ikan umumnya berkisar antara 20–300 ppm. Air laut normal pH-nya berkisar 8,0 dan relatif konstan, hal ini disebabkan karena air laut mengandung asam-asam lemah seperti asam karbonat dan asam borat yang memiliki daya penyangga (buffer capacity) yang sangat besar bila dibandingkan dengan air suling. Kapasitas penyangga air laut ini penting sekali artinya karena dengan demikian lingkungan hidup akuatik bahari dipertahankan pada kekonstanan pH tersebut. Jadi proses-proses respirasi maupun dekomposisi yang menghasilkan CO2 sedikit sekali pengaruhnya terhadap pH air laut

Nitrogen dalam perairan terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang sering didapatkan bersifat racun terhadap ikan dan organisme lainnya hanya 2 yaitu ammonia (NH3-N) dan nitrit (NO2-N). Senyawa ini umumnya

berasal dari sisa makanan, organisme mati, dan sisa hasil metabolisme hewan-hewan akuatik (Boyd 1990). Pengaruh utama ke-2 senyawa ini adalah dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ-organ tubuh yang ada kaitannya dengan transpor oksigen (insang, se-sel eritrosit, dan jaringan penghasil eritrosit). Peningkatan konsentrasi amonia dalam darah dan jaringan akan mengganggu proses kerja enzim dan proses metabolisme pada otak dan syaraf (Colt dan Amstrong 1981 diacu dalam Chen & Chin 1988). Pembentukan senyawa amonia dalam air sangat dipengaruhi oleh laju metabolisme ikan yang bersifat amonialitik dan urealitik serta kondisi pH, suhu air dan salinitas. Apabila pH dan suhu air naik atau salinitas turun, maka konsentrasi amonia akan meningkat (Boyd 1990). Konsentrasi amonia yang aman dan tidak beracun bagi ikan bandeng adalah kurang dari 0,02 ppm (Ahmad et al. 1993).


(36)

Pengaruh utama dari senyawa nitrit adalah perubahan di dalam transpor oksigen dan oksidasi senyawa dalam jaringan. Nitrit dapat mengoksidasi ion ferro dalam haemoglobin menjadi ion ferri yang mengubah haemoglobin menjadi methemoglobin (Wedemeyer 1996). Kemampuan methemoglobin untuk mengikat dan mentranspor oksigen dari lingkungan perairan ke seluruh bagian jaringan / sel sangat rendah, sehingga akan menyebabkan terjadinya hypoxia (kekurangan oksigen) dan cyanosis (lebam, biru pada kulit karena darah balik tertahan) (Colt 1983).

Daya racun nitrit lebih tinggi pada air tawar dari pada di air laut, karena keberadaan ion klorida dan kalsium di air laut dapat mengurangi toksisitas nitrit terhadap ikan (Wedemeyer 1996). Toksisitas nitrit mencapai 55 kali lebih besar terhadap juvenil ikan bandeng yang dipelihara di air tawar dari pada yang dipelihara di air yang bersalinitas 16 ppt (Almendras 1987 diacu dalam Boyd 1990). Kadar nitrit yang aman bagi pertumbuhan ikan bandeng adalah kurang dari 0,30 ppm (Ahmad et al. 1993).

Selain amonia dan nitrit, senyawa nitrat juga merupakan parameter penting dalam budidaya ikan, karena nitrat merupakan bentuk oksidasi terbanyak dari nitrogen di perairan. Alga dan tumbuhan akuatik sangat mudah mengasimilasi nitrat dalam proses fotosintesanya (Boyd 1990).

Budidaya ikan bandeng secara intensif membutuhkan input pakan buatan dari luar untuk memenuhi kebutuhan biomassa ikan yang dipelihara. Hal ini menimbukan problem yang sering dihadapi oleh pembudidaya yaitu terjadinya penumpukan limbah berupa bahan organik (sisa pakan dan feses) dan sisa metabolisme dalam tambak atau kolam yang sangat membahayakan kehidupan ikan budidaya (Yap et al. 2007). Jika tidak ditangani dengan baik, maka akan meningkatkan kandungan senyawa beracun seperti CH4, H2S, NH3-N, dan NO2

-N, utamanya terjadi pada kondisi oksigen terlarut rendah (anaerob). Oleh karena itu, perlu pengelolaan pakan, limbah dan kualitas air yang baik agar kegiatan budidaya ikan dapat berlangsung secara kontinyu.

Kebutuhan Nutrisi Ikan Bandeng

Pakan merupakan komponen utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan ikan dapat berlangsung secara normal. Kebutuhan nutrisi yang meliputi protein, lemak,


(37)

12

karbohidrat, vitamin dan mineral untuk pertumbuhan ikan berbeda menurut jenis dan ukurannya (NRC 1993).

Protein dan Asam Amino

Protein merupakan salah satu komponen nutrisi yang sangat penting karena merupakan penyusun tubuh dan umunya ikan menggunakan protein sebagai sumber energi (Halver & Hardy 2002). Oleh karena itu, ikan harus mengkonsumsi protein untuk memenuhi secara kontinyu kebutuhan asam amino khususnya asam amino essensial bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Ikan bandeng menggunakan protein hewani lebih baik dari pada protein nabati dalam pakannya, khususnya tepung ikan serta tepung tulang dan daging (Lim et al. 2002).

Menurut Santiago et al. (1983) kadar protein sebesar 40% mencukupi untuk pertumbuhan benih ikan bandeng (panjang rata-rata 13 mm, bobot 15 mg) yang dipelihara di air tawar. Sementara Pascual (1989 diacu dalam Millamena 2002) melaporkan bahwa kadar protein dalam pakan untuk pertumbuhan optimum juvenil ikan bandeng antara 3040%. Bahkan Sumagaysay & Borlongan (1995) mendapatkan kadar protein pakan sekitar 24% untuk pertumbuhan optimum ikan bandeng di tambak (sumber protein tepung ikan, tepung kedele dan tepung ubi). Perbedaan kebutuhan kadar protein ini disebabkan oleh perbedaan ukuran ikan, sumber protein pakan, dan kondisi media budidaya.

Di Filipina, pemeliharaan ikan bandeng di tambak dengan kepadatan tinggi 25.000 ekor/ha, diberikan pakan buatan yang memiliki kandungan protein sekitar 27% (Yap et al. 2007). Sementara Ismail et al. (1994) mengatakan bahwa dalam pemeliharaan ikan bandeng di tambak, dapat diberi pakan tambahan yang memiliki kandungan protein 23-27%. Umumnya pakan komersil untuk pembesaran ikan bandeng yang beredar di pasaran Indonesia memiliki kadar protein sekitar 26-28% untuk budidaya semi intensif-intensif hingga 16-18% untuk budidaya tradisional (Abdurrahman, Kepala Seksi Pelayanan Teknis CP, komunikasi pribadi 2008).

Kualitas protein suatu bahan atau pakan sangat ditentukan oleh komposisi asam amino penyusunnya. Secara umum, ada 10 jenis asam amino yang bersifat esensial (tidak dapat disintesis dalam tubuh ikan) sehingga harus disuplai dari pakan yaitu: arginine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, threonine, tryptophan, dan valine. Sementara asam


(38)

amino lainnya bersifat non-esensial (dapat disintesis dalam tubuh ikan) yaitu alanine, aspartic acid, cysteine, glutamic acid, glutamine, glycine, hydroxyproline, proline, serine dan tyrosine (Webster & Lim 2002). Pakan yang memiliki profil asam amino esensial yang sama atau hampir sama dengan kebutuhan ikan budidaya, dianggap memiliki profil asam amino yang seimbang dan berkualitas baik (Kaushik & Seiliez 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa jika ada satu atau beberapa asam amino esensial yang defisiensi dalam pakan, maka asam amino tersebut akan menjadi faktor pembatas bagi sintesis protein tubuh ikan, sehingga akan menurunkan efisiensi protein pakan. Kebutuhan asam amino esensial untuk pertumbuhan ikan secara optimum berbeda-beda tergantung jenis, ukuran dan umur ikan, serta kondisi lingkungan budidaya (Wilson 2002). Kebutuhan asam amino esensial (% protein) bagi pertumbuhan juvenil ikan bandeng adalah arginin 5,2; histidin 2,0: isoleusin 4,0; leusin 5,1; lisin 4,0; methionin + sistein 2,5; fenilalanin + tirosin 4,2; threonin 4,5; triptofan 0,6 dan valin 3,6 (Borlongan dan Coloso 1993).

Upaya untuk meningkatkan efisiensi protein pakan antara lain adalah: (i) menggunakan bahan baku pakan yang mengandung komposisi asam amino esensial yang seimbang, (ii) menggunakan campuran bahan yang dapat saling menutupi kekurangan asam amino esensial, atau (iii) mensuplementasi asam amino esensial yang defisien dalam bahan pakan tersebut (Sardar et al. 2009; Hardy 2002). Menurut Lim et al. (2002), ikan bandeng dapat memanfaatkan asam amino crystalline. Suplementasi 2,8% lysine hydrochloride pada pakan berbasis tepung maize-gluten secara nyata meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan benih ikan bandeng (Chiu et al. 1986).

Lemak dan Asam Lemak

Lemak merupakan komponen pakan yang penting, baik sebagai sumber energi maupun untuk keperluan proses metabolisme lainnya. Lemak mengandung asam lemak esensial yang sangat penting bagi pertumbuhan normal dan sintasan ikan (NRC 1993). Pakan yang mengandung lemak akan membantu penyerapan vitamin tertentu (A, D, E dan K) dan beberapa komponen lainnya seperti sterol. Kebutuhan lemak total untuk pertumbuhan juvenil ikan bandeng adalah sebesar 710% (Alava & Cruz diacu dalam Borlongan 1992).

Ikan bandeng yang diberi pakan tanpa lemak atau 7% asam lemak lauric tumbuh lebih lambat dibandingkan yang diberi pakan mengandung 6% asam


(39)

14

lemak lauric + 1% linoleic (18:2n-6) atau 0,5 linoleic dan 0,5 linolenic (18:3n-3). Pakan yang disuplementasi dengan 1% asam lemak 18:3n-3 dapat meningkatkan pertambahan bobot ikan tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pakan mengandung 1% asam lemak 18:2n-6 (Bautista & de la Cruz 1988). Selanjutnya Borlongan (1992) melaporkan bahwa juvenil ikan bandeng membutuhkan asam lemak esensial n-3 sebesar 1,0%1,5%. Ikan bandeng yang mengalami defisiensi asam lemak esensial menunjukkan tanda-tanda seperti pertumbuhan yang menurun, sirif erosi, berwarna gelap, mortalitas meningkat, kandungan asam lemak monoenoic meningkat sementara asam lemak polyunsaturated menurun, hati tidak normal, infiltrasi lemak dalam pembuluh darah, serta pembengkakan selluler (Bautista & de la Cruz 1988; Borlongan 1992).

Karbohidrat

Ikan bandeng tidak memiliki kebutuhan spesifik tentang karbohidrat. Namun demikian, karbohidrat selalu dibutuhkan dalam pakan ikan karena merupakan sumber energi yang murah, berfungsi sebagai binder, dan berperan sebagai precursor untuk pembentukan beberapa hasil metabolik sekunder yang esensial untuk pertumbuhan (Lim et al. 2002). Karbohidrat juga dapat membentuk sparing effect dalam pemanfaatan protein untuk pertumbuhan beberapa jenis ikan (Shiau & Peng 1993). Sebagai ikan hervbivora-onmivora, ikan bandeng dapat memanfaatkan karbohidrat dengan lebih baik sebagai sumber energi dibandingkan ikan karnivora lainnya. Pakan-pakan komersil untuk ikan bandeng umumnya mengandung karbohidrat total sekitar 45% atau lebih.

Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral merupakan komponen nutrisi dalam pakan yang dibutuhkan dalam jumlah kecil. Namun keduanya mempunyai fungsi yang penting pada proses metabolisme dalam tubuh ikan dan sering menjadi faktor pembatas (De Silva & Anderson 1995). Beberapa jenis vitamin menjadi esensial di dalam pakan karena tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan. Vitamin C tidak dapat disintesis dalam tubuh beberapa jenis ikan, karena umumnya ikan tidak memiliki enzim L-gulunolakton oksidase yang berperan dalam pengubahan L-gulunolakton menjadi 2-keto-L-gulunolakton sebagai tahapan akhir dalam sintesis vitamin C (Soliman et al. 1986).


(40)

Budidaya Ikan Bandeng Intensif

Budidaya ikan bandeng secara intensif dapat dilakukan di tambak dan di keramba jaring apung. Pemeliharaan secara intensif di tambak biasanya ditebar dengan kepadatan awal sekitar 50.000 ekor/ha (Ahmad et al. 2006). Di Philipina, budidaya ikan bandeng intensif di tambak dilakukan dengan kepadatan 20.00030.000 ekor/ha dengan produksi 812 ton/ha/tahun, sedangkan di keramba jaring apung di laut dilakukan dengan kepadatan 40100 ekor/m3 dan produksi 2035 kg/m3 (Yap et al. 2007). Burhanuddin et al. (1994), juga melaporkan bahwa ikan bandeng yang dipelihara dalam keramba jaring apung di muara sungai dapat mencapai kepadatan hingga 500 ekor/m3 dengan bobot akhir rata-rata sekitar 135 g atau produksi sekitar 67,5 kg/m3.

Menurut Ahmad et al. (2006), pada budidaya ikan bandeng intensif yang dilakukan di keramba jaring apung didapatkan rasio konversi pakan sekitar 2,4 dengan tingkat retensi protein sekitar 16,525%. Pada pemeliharaan benih ikan bandeng dalam bak terkontrol dari ukuran 40 mg hingga 175 mg dengan pemberian pakan buatan berprotein 40% selama 1 bulan didapatkan rasio konversi pakan 1,96 dengan retensi protein sekitar 20% (Lim et al. 1979). Sementara Sumagaysay & Borlongan (1995) mendapatkan nilai retensi protein sekitar 25-30% pada ikan bandeng yang dipelihara di tambak dengan pemberian pakan buatan sebanyak 4% perhari dengan kadar protein pakan berturut-turut 31% dan 24%. Adanya retensi protein yang relatif tinggi ini disebabkan karena pada pemeliharaan ikan bandeng tersebut masih dilakukan pemupukan untuk menumbuhkan makanan alami berupa plankton.

Pemanfaatan Bakteri Heterotrof (Bioflok) dalam Akuakultur

Bakteri heterotrof adalah bakteri yang menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannnya (Waluyo 2007). Bakteri heterotrof ini dapat berupa fotoheterotrof yaitu bakteri heterotrof yang membutuhkan cahaya sebagai sumber energinya dan berupa kemoheterotrof yaitu bakteri heterotrof yang mengoksidasi senyawa organik sebagai sumber energinya. Berdasarkan sifat tersebut dan kelebihan lainnya, maka bakteri ini mulai banyak dikembangkan pemanfaatannya untuk memecahkan beberapa permasalahan dalam bidang akuakultur (Chamberlain et al. 2001; McIntosh 2001; Brune et al. 2003; Burford et al 2003; Avnimelech 2006).


(41)

16

Salah satu problem utama kualitas air dalam budidaya ikan secara intensif adalah akumulasi bahan toksik dari senyawa nitrogen anorganik (NH3

dan NO2) dalam air (Avnimelech 1999). Hewan akuatik seperti ikan dan udang,

mengekskresikan amonium yang dapat berakumulasi dalam tambak. Sumber utama dari amoniak tersebut adalah pakan yang berprotein tinggi. Ikan membutuhkan pakan yang mengandung protein tinggi, karena ikan memperoleh energi yang banyak dari oksidasi dan katabolisme protein (De Silva & Anderson 1995). Dalam kolam yang diaerasi, amonium dioksidasi oleh bakteri menjadi nitrit dan nitrat (Avnimelech 1999). Tidak seperti karbon dioksida yang dapat dilepaskan ke udara oleh difusi atau adanya aerasi, hasil metabolisme nitrogen tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk melepaskannya ke udara. Sehingga sudah menjadi ciri bahwa dalam sistem akuakultur intensif akan terjadi pengkayaan amonium dan bahan nitrogen anorganik lainnya dalam kolam. Oleh karena itu, senyawa nitrogen ini harus dipindahkan dari sistem akuakultur.

Gambar 1. Proses mikrobial yang terjadi di dalam media budidaya ikan (Montoya & Velasco 2000)


(42)

Amonium dapat digunakan sebagai sumber nitrogen bagi fitoplankton, alga, tanaman, dan kelompok bakteri heterotrof (Montoya & Velasco 2000). Juga dapat digunakan sebagai sumber energi oleh sejumlah bakteri chemoautotrof

yang disebut sebagai bakteri nitrifier. Hingga baru-baru ini, fitoplankton dianggap sebagai pengambil utama amonium dalam perairan, namun beberapa bukti terakhir menunjukkan bahwa bakteri heterotrof juga menggunakan amonium secara signifikan dalam sistem akuakultur. Bakteri merupakan scavenger yang efisien terhadap nutrien dan dapat berkompetisi dengan fitoplankton dalam memanfaatkan ion amonium (Montoya & Velasco. 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa selain menggunakan total amonium terlarut dalam air untuk pertumbuhannya, bakteri heterotrof juga menggunakan sumber nitrogen lainnya seperti senyawa organik dari feses dan sisa pakan. Umumnya bahan organik tersebut didekomposisi dalam kondisi aerobik. Bakteri heterotrof memiliki kemampuan yang lebih cepat memanfaatkan bahan anorganik dan organik tersebut menjadi protein bakteri daripada oleh fitoplankton dan bakteri nitrifikasi (Montoya & Velasco 2000; Brune et al. 2003). Bakteri heterotrof ini menyebar dalam kolom air dan permukaan sedimen. Bakteri tersebut mendekomposisi substrat organik untuk pertumbuhan dan energi dan menggunakan amonium untuk sintesis protein (Gambar 1).

Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu strategi yang saat ini banyak mendapat perhatian dalam pemindahan amonium dari media budidaya adalah melalui assimilasi amonium menjadi protein bakteri dengan penambahan C-organik (karbohidrat) ke dalam sistem untuk menciptkan rasio C/N optimum bagi pertumbuhan bakteri tersebut. Suplai oksigen terlarut yang cukup dan pengaturan rasio C/N yang optimal dapat secara potensial mengeliminasi problem akumulasi nitrogen anorganik. Aspek penting selanjutnya pada proses ini adalah pemanfaatan protein mikroba sebagai sumber protein pakan untuk ikan.

Menurut Avnimelech (1999), pengontrolan akumulasi bahan nitrogen anorganik dalam kolam dapat didasarkan atas metabolisme karbon dan proses mikrobial nitrogen-immobilizing. Bakteri dan mikroorganisme lainnya menggunakan karbohidrat (gula, pati dan sellulosa) sebagai makanannya untuk menghasilkan energi dan tumbuh, yaitu untuk memproduksi protein dan sel baru:


(43)

18

Persentase assimilasi karbon dalam hubungannya dengan karbon pakan yang dimetabolisme, didefinisikan sebagai efisiensi konversi mikroba (E) dan nilainya berkisar antara 4060% (Avnimelech 2009). Nitrogen juga dibutuhkan karena komponen utama dalam materi sel baru adalah protein. Jadi penggunaan karbohidrat oleh mikroba (atau pakan yang mengandung nitrogen rendah) disertai oleh immobilisasi nitrogen anorganik. Hubungan antara jumlah karbon dan jumlah nitrogen dikenal sebagai rasio karbon : nitrogen (rasio C/N) dan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bakteri heterotrof (Montoya & Velasco 2000). Selanjutnya menurut McIntosh (2000), bahan yang memiliki kandungan karbon rendah dan nitrogen tinggi, seperti kotoran ayam (rasio C/N sekitar 6) tidak dapat didekomposisi dengan cepat oleh bakteri. Demikian juga bahan yang memiliki kandungan karbon tinggi dan rendah nitrogen seperti daun-daunan (rasio C/N sekitar 50). Namun, campuran bahan tersebut akan cepat didekomposisi karena bakteri bekerja dengan efisien pada rasio C/N sekitar 30. Pakan dengan kadar protein sekitar 3540% memiliki rasio C/N kurang dari 10.

Penambahan karbohidrat merupakan suatu cara yang berpotensi untuk menurunkan konsentrasi nitogen anorganik dalam sistem budidaya intensif. Jumlah penambahan karbohidrat (CH) yang dibutuhkan untuk menurunkan amonium dapat dihitung seperti formula berikut ini (Avnimelech 1999).

Menurut formula (1) dan definisi koefisien konversi mikroba, E, jumlah potensi assimilasi karbon yang dimetabolisme oleh mikroba, ketika pemberian sejumlah karbohidrat (CH), yaitu:

Cmic = CH  %C  E, ...(2)

dimana Cmic adalah jumlah karbon yang diassimilasi oleh mikroorganisme dan

%C adalah kandungan karbon pada karbohidrat yang ditambahkan (kira-kira 50% dari umumnya substrat).

Jumlah nitrogen yang dibutuhkan untuk memproduksi materi sel baru (N) tergantung pada rasio C/N dalam biomassa mikroba yang nilainya sekitar 4 (Avnimelech 2009):

N = Cmic / C/Nmic = CH  %C  E / C/Nmic, ... (3)

dan (nilai perkiraan yang digunakan untuk %C; E dan C/Nmic berturut-turut

adalah 0,5; 0,4 dan 4), sehingga:


(1)

Lampiran 82. Analisis ragam kelangsungan hisup ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial

Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 252,41 126,20 4,49* 4,07 7,59

Galat 6 168,83 28,14

Total 8 421,24

* Berbeda nyata pada taraf  0,05 Uji BNT:

 BNT (0,05) = 10,598

 BNT (0,01) = 16,058

C  A = 8,8 C  B = 13,3* A  B = 4,4

Lampiran 83. Analisis ragam retensi protein ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 260,4400 130,220 117,94** 4,07 7,59

Galat 6 6,6248 1,104

Total 8 267,0648

* Berbeda sangat nyata pada taraf  0,01

Uji BNT:

 BNT (0,05) = 2,0993

 BNT (0,01) = 3,1808


(2)

Lampiran 84. Analisis ragam retensi lemak ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 3228,1 1614,1 15,29** 4,07 7,59

Galat 6 633,6 105,6

Total 8 3861,7

* Berbeda sangat nyata pada taraf  0,01

Uji BNT:

 BNT (0,05) = 20,530

 BNT (0,01) = 31,107

C  A = 29,27** C  B = 45,8** A  B = 16,53**

Lampiran 85. Komposisi asam amino ikan uji (% bahan kering) setelah

pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial

Asam amino

Ikan awal (CP. 65,83%)

Perlakuan Tep. bioflok +

AAE Tep. bioflok

Pakan komersil

(CP. 66,56%) (CP. 66,34%) (CP. 63,40%)

Aspartic acid 6,15 6,22 5,98 5,75

Glutamic acid 9,59 9,26 9,40 8,99

Serine 2,69 2,50 2,60 2,49

Histidine 3,58 3,21 3,24 3,24

Glycine 5,06 4,84 4,92 4,77

Threonine 2,92 2,72 2,74 2,69

Arginine 4,92 4,68 4,69 4,59

Alanine 4,63 4,51 4,50 4,35

Tyrosine 2,30 2,17 2,18 2,12

Methionine 2,49 2,28 2,22 2,43

Valine 3,40 3,30 3,34 3,21

Phenilalanine 2,90 2,66 2,69 2,60

I-leucine 3,01 2,90 2,91 2,84

Leucine 4,78 4,61 4,47 4,51


(3)

Lampiran 86. Analisis ragam retensi histidine pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial (data ditransformasi pada Y = (X) 0,5

Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 15,343 7,6715 18,97** 4,07 7,59

Galat 6 2,427 0,4045

Total 8 17,770

* Berbeda sangat nyata pada taraf  0,01

Uji BNT:

 BNT (0,05) = 1,2705

 BNT (0,01) = 1,9250

C  A = 2,34** C  B = 3,05** A  B = 0,71

Lampiran 87. Analisis ragam retensi lysine pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial (setelah data ditransformasi pada Y = (X) 0,5

Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 8,5132 4,2567 18,52** 4,07 7,59

Galat 6 1,3790 0,2298

Total 8 9,8922

* Berbeda sangat nyata pada taraf  0,01

Uji BNT:

 BNT (0,05) = 0,9578

 BNT (0,01) = 1,4512


(4)

Lampiran 88. Analisis ragam retensi methionine pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial (data ditransformasi pada Y = (X) 0,5

Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 13,447 6,7233 11,37** 4,07 7,59

Galat 6 3,548 0,5913

Total 8 16,995

* Berbeda sangat nyata pada taraf  0,01

Uji BNT:

 BNT (0,05) = 0,6279

 BNT (0,01) = 1,5363

C  A = 1,14* C  B = 2,97** A  B = 1,83**

Lampiran 89. Nilai rata-rata kadar TAN (mg/L) plasma darah ikan sebelum (T0) dan setelah 5 jam pemberian pakan uji (T5)

Perlakuan Ulangan Sebelum pemberian

pakan uji (T0)

Setelah 5 jam pemberian pakan uji

(T5) Tep. bioflok +

AAE

1 18,8 23,7

2 19,9 27,5

3 24,0 30,9

Rata-rata 20,90 ± 2,74 27,37 ± 3,60

Tep. bioflok

1 18,3 25,7

2 21,5 23,5

3 24,0 32,2

Rata-rata 21,3 ± 2,86 27,13 ± 4,52

Pakan komersil

1 17,1 31,8

2 19,5 26,8

3 21,7 25,3

Rata-rata 19,43 ± 2,30 27,97 ± 3,40

Lampiran 90. Analisis ragam kadar TAN plasma darah ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino essensial (sebelum pemberian pakan)

Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 5,647 2,8233 0,40 4,07 7,59

Galat 6 41,933 6,9889

Total 8 47,580


(5)

Lampiran 91. Analisis ragam kadar TAN plasma darah ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino essensial (setelah pemberian pakan)

Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 1,1089 0,5544 0,04 4,07 7,59

Galat 6 90,0400 15,0070

Total 8 91,1489

* Tidak berbeda nyata pada taraf  0,05

Lampiran 92. Laju eskresi TAN juvenil ikan bandeng setelah pemberian pakan tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial

Perlakuan Ulangan

Kandungan TAN (mg/L) pada jam ke-

Laju eskresi (mgTAN/g

ikan/jam)

0 5

Tep. bioflok + AAE

1 0,052 0,233 0,0217

2 0,052 0,305 0,0271

3 0,052 0,259 0,0208

Rata-rata 0,0232±0,0034

Tep. bioflok

1 0,052 0,266 0,0271

2 0,052 0,232 0,0232

3 0,052 0,227 0,0225

Rata-rata 0,0243±0,0025

Pakan komersil

1 0,052 0,315 0,0302

2 0,052 0,274 0,0262

3 0,052 0,257 0,0236

Rata-rata 0,0267±0,0033


(6)

Lampiran 93. Analisis ragam laju eskresi TAN ikan bandeng pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F tabel

0,05 0,01

Perlakuan 2 0,000019 0,0000095 0,98 4,07 7,59

Galat 6 0,000058 0,0000096

Total 8 0,000077

* Tidak berbeda nyata pada taraf  0,05

Lampiran 94. Komposisi proksimat tubuh ikan bandeng (% bobot kering) pada pemberian pakan uji tepung bioflok yang disuplementasi asam amino esensial

Perlakuan Ulangan Protein Lemak SK Abu BETN

Ikan awal 1 65,83 18,22 1,34 12,01 2,60

Tep. bioflok + AAE

A1 67,08 17,80 0,95 11,97 2,20

A2 65,34 17,41 1,06 12,41 3,78

A3 67,25 16,36 0,55 13,09 2,75

Rata-rata 66,56

±1,06

17,19 ±0,74

0,85 ±0,27

12,49 ±0,56

2,91 ±0,08

Tep. bioflok

B1 67,12 16,95 0,62 13,02 2,29

B2 64,97 17,82 0,78 12,96 3,47

B3 66,94 17,01 1,34 12,03 2,68

Rata-rata 66,34

±1,19

17,26 ±0,49

0,91 ±0,38

12,67 ±0,56

2,81 ±0,60

Pakan komersil

C1 62,27 24,14 0,76 10,59 2,24

C2 63,51 23,72 0,65 10,61 1,51

C3 64,43 21,88 0,78 11,87 1,04

Rata-rata 63,40

±1,08

23,25 ±1,20

0,73 ±0,07

11,02 ±0,73

1,60 ±0,60