45 pewaris.
2. Wasiat. Setelah hutang-hutang seseorang yang meninggal diselesaikan
dengan pihak yang berpiutang dan bila masih ada sisanya, maka tahapan kedua adalah menyelesaikan wasiat bila orang yang meninggal
itu sewaktu hidupnya membuat wasiat. 3. Pembagian Warisan
Setelah orang-orang yang berpiutang kepada pewaris dan penerima wasiat dari pewaris telah mendapatkan hak-hak mereka dari
harta peninggalan, maka giliran yang selanjutnya adalah ahli waris yang memperoleh harta peninggalan sisanya. Harta peninggalan yang
tersisa inilah yang disebut harta warisan yang kemudian dibagikan kepada para ahli waris yang berhak menerima sesuai dengan
bagiannya masing-masing.
B. Kewenangan dan Kekuasaan Pengadilan Agama
Sepanjang sejarahnya, kewenangan yurisdiksi Peradilan Agama di Indonesia mengalami pasang surut seirama dengan pasang surut perjuangan
kemerdekaan nasional pada zaman penjajahan Barat dahulu, memang Peradilan Agama adalah salah satu sasaran dari politik devide et impera rezim
kolonial dahulu. Sebelum tahun 1882, Peradilan Agama benar-benar merupakan
peradilan dalam arti yang sebenarnya. Namun, mulai tahun 1882, Peradilan Agama secara berangsur-angsur dikurangi arti dan peranannya. Puncaknya
46 terjadi pada bulan April 1937 ketika kewenangan Peradilan Agama dikurangi
lagi, sehingga praktis Peradilan Agama hanya berwenang menangani perkara- perkara sengketa nikah, talak dan rujuk saja. Tetapi itu hanya berlaku untuk
pulau Jawa, Madura dan sebagian Kalimantan Selatan. Peradilan Agama diluar daerah-daerah tersebut masih tetap berjalan sebagaimana biasa sampai
ada Peraturan Pemerintah tahun 1957, setelah Indonesia merdeka yaitu, PP No. 451957 yang mengatur kewenangan Peradilan Agama secara legislatif
meliputi hukum perkawinan, kewarisan, hadanah, wakaf, hibah, dan sedekah baitulmal. Dengan demikian kewenangan Peradilan Agama itu antara berlaku
di Jawa, Madura dan sebagian Kalimantan Selatan dengan di daerah-daerah lain di Indonesia.
Untuk mengubah hal yang demikian Pemerintah mengajukan RUU tentang Peradilan Agama Kekuasaan dan Hukum Acaranya, dan telah
disahkan menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pada tanggal 29 Desember 1989 melalui Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 1989
Nomor 49. Dengan lahirnya Undang-undang ini sekaligus mempertegas kedudukan dan kekuasaan bagi Pengadilan Agama sebagai kekuasaan
kehakiman sesuai dengan lembaga peradilan lainnya.
43
Pokok-pokok pikiran yang melandasi kehendak politik untuk diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
adalah seperti yang tercantum dalam pertimbangan Undang-undang tersebut yang berjumlah sebanyak lima butir :
43
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simnajutak, Op.cit., Hal. 14
47 a. Bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram
dan tertib. b. Bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin
persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian
hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. c. Bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan
kepastian hukum tersebut adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. d. Bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang selama ini masih beraneka karena didasarkan pada :
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan
Staatsblad Tahun 1937 Nomor Il6 dan 610. 2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar
untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama Mahkamah Syariah di luar
48 Jawa dan Madura Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99,
perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata hukum
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. e. Bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan untuk
melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dipandang perlu
menetapkan undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Dari lima pokok pikiran tersebut maka pokok pikiran yang tercantum pada titik d tersebut, merupakan tujuan langsung dari UndangUndang No. 7
Tahun 1989, yaitu mengakhiri keanekaragaman peraturan perundang- undangan yang selama ini mengatur Pengadilan Agama, demi terciptanya
kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
44
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 49 menentukan wewenang Pengadilan Agama secara mutlak, berarti bidang-bidang hukum
perdata yang tercantum dalam pasal tersebut menjadi wewenang mutlak kompetensi absolut dari Peradilan Agama. Bidang bidang hukum perdata
tersebut adalah: a. Perkawinan.
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
44
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, Hal, 90
49 Islam.
c. Wakaf dan Shadaqah.
45
Kalau kita lihat bidang-bidang tertentu dan hukum perdata ini, maka dapat kita katakan, bahwa kompetensi absolut Peradilan Agama adalah bidang
hukum keluarga dari orang-orang yang beragama Islam. Dan karena itu dapat pula dikatakan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan keluarga bagi orang-
orang yang beragama Islam, seperti juga terdapat di beberapa negara lain.
46
Kompetensi absolut terlihat pula dari urutan-urutan bidang hukum perdata tersebut, yang dirumuskan tanpa embel-embel lain. karena itu
rumusan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 itu membawa kepastian hukum dalam hal kewenangan dan kekuasaan Peradilan Agama.
Dalam perkembangannya Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 mengalami perubahan dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pokok-pokok pikiran yang melandasi kehendak politik untuk diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah seperti yang tercantum dalam pertimbangan Undang-undang tersebut :
a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan
45
Ibid, Hal. 94
46
Ibid, Hal. 94
50 bangsa, negara dan masyrakat yang tertib, bersih, makmur, dan
berkeadilan. b. Bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. c. Bahwa Peradilan Agama sebagai diatur dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-undang tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama setelah lahirnnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 maka diadakan perubahan, diantaranya adalah ketentuan pasal 2 yang
bunyinya kemudian diubah menjadi sebagai berikut : “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.
Berbeda dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
51 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ini memberikan penegasan bahwa
disamping bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, terhadap Warga Negara Asing yang beragama Islam juga dapat berkehendak untuk
berperkara di Pengadilan Agama karena termasuk dalam rakyat pencari keadilan.
Sebagaimana dalam penjelasan Angka 1 pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan rakyat pencari keadilan adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari
keadilan pada Pengadilan di Indonesia”. Mengenai kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Agama yang
dicantumkan dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 setelah lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dilakukan penambahan,
sebagaimana bunyi pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan, b. waris,
c. wasiat, d. hibah,
e. wakaf, f. zakat,
52 g. infaq Shodaqoh dan
h. Ekonomi syaria’ah. Dalam penjelasan Angka 37 Pasal 49 menyatakan yang dimaksud
dengan antara “orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka
rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Kemudian dalam penjelasan Angka 37 pasal 49 huruf b memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan waris sebagai salah satu bidang
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, yang bunyinya sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi
ahli waris, penetuan harta peninggalan, penentuan bagian masing- masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penetuan bagian
masingmasing ahli waris”. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
dalam pasal 24 ayat 2 bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung bersama badan
peradilan lainnya dilingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara
53 orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq Shodaqoh dan Ekonomi syaria’ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar
hukum kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut.
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 ini kewenangan pengadilan dilingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat Muslim. Perluasan tersebut anatara lain meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya dengan
perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
menyatakan : “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”,
dinyatakan dihapus sehingga kewenangan Peradilan Agama menjadi lebih jelas dan tegas.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 maka
kekuasaan Peradilan Agama diperluas sehingga meliputi perkara perdata Islam dan beberapa perkara pidana Islam, dan dipertegas sehingga tidak ada lagi
pilihan hukum dalam perkara warisan, pembatasan sengketa hak milik dan keperdataan lain dan klausul-klausul lain yang rumit, disamping penegasan
54 bahwa WNA dapat berperkara di Peradilan Agama.
47
47
H. A. Mukti Arto, Pokok-Pokok Perubahan Amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung
RI, Jakarta, 2006
55
BAB III METODE PENELITIAN
Metode dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan, namun demikian
menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan sebagai berikut : a. Suatu tipe pemikiran yang umum bagi ilmu pengetahuan.
b. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan. c. Cara-cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
48
Berdasarkan rumusan metode di atas, maka penulis dalam hal ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
A. Metode Pendekatan.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yang berarti penelitian ini menggunakan
pendekatan berdasarkan peraturan perundang-undangan serta hukum yang berkaitan erat dengan masalah yang akan diteliti.
Materi pokok yang dikaji yaitu kedudukan ahli waris anak perempuan bersama ahli waris saudara dalam hukum waris Islam di
Pengadilan Agama Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan yang lebih ditekankan pada bahan
hukum sekuder dan merupakan awal dari penelitian lapangan atau uji empiris. Selanjutnya untuk melengkapi data yang diperoleh dari
48
Soerjono Soekanto, Op.cit, Hal. 5