Tommy Hendra Purwaka, S.H., LL.M., Ph.D.
3. Tommy Hendra Purwaka, S.H., LL.M., Ph.D.
• Pertama, alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum diartikan sebagai suatu keadaan di mana seluruh rakyat Indonesia hidup dalam tidak takut akan hari esok karena kebutuhan hidup setiap warga negara terpenuhi;
• Bahwa salah satu sumber daya alam yang diharapkan dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut adalah hutan. Untuk dapat memenuhi harapan tersebut, hutan harus seabaik-baiknya diurus melalui kegiatan pengurusan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 65 Undang-Undang Kehutanan. Dalam hal ini, kita fokuskan kepada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Kehutanan;
• Bahwa kegiatan pengurusan hutan tersebut di atas, bila dilakukan seluruhnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka hutan sebagai objek dari kegiatan pengurusan dapat diharapkan menjadi salah satu kontributor utama terwujudnya kesejahteraan umum. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tahap-tahap kegiatan pengurusan hutan tersebut di atas, tidak terlaksana di Kalimantan Tengah sesuai ketentuan undang-undang, dan yang terlaksana adalah jalan pintas, yaitu hanya dengan melaksanakan penunjukkan dan/atau penetapan kawasan hutan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan, untuk mempertahankan keberadaan hutan sebagai hutan tetap. Jalan pintas itu sudah barang tentu sangat bertentangan dengan kegiatan pengurusan hutan, dengan demikian, pelaksanaan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan tidak akan dapat mewujudkan kesejahteraan umum, sebagaimana dikemukakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945;
• Dari sudut pemahaman hutan sebagai sumber daya alam, Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa hubungan pemanfaatan hutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Keadilan dan keselarasan yang tercipta dalam hubungan pemanfaatan hutan tersebut akan menghasilkan, misalnya saja efisiensi dalam bidang ekonomi, kesejahteraan dalam bidang sosial, dan keberlanjutan dalam kegiatan pembangunan di daerah;
• Pelaksanaan hubungan pemanfaatan hutan secara adil dan selaras antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana digambarkan di atas, ternyata tidak pernah dapat diwujudkan dengan penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan. Sebaliknya, pelaksanaan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan dewasa ini telah menimbulkan banyak permasalahan, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional Pemerintah Daerah, kepala daerah sebagai perseorangan, dan masyarakat daerah;
• Bahwa hutan merupakan salah satu jenis kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia yang dikuasai, bukan dimiliki oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, penggunaan, pemanfaatan, pengelolaan hutan oleh Kementerian Kehutanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak akan dapat dicapai hanya dengan menunjuk, dan menetapkan kawasan hutan, serta mempertahankan kebenarannya hanya sebagai hutan tetap berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan, tanpa melibatkan Pemerintah dan rakyat daerah yang memiliki hak-hak konstitusional atas hutan dan hak-hak konstitusional lainnya yang berkaitan dengan hutan;
• Bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh rakyat dan Kementerian Kehutanan hanya dapat menguasainya berdasarkan mandat dari rakyat. Dari sudut hukum kekayaan negara, hutan yang demikian itu disebut domain public. Negara hanya menguasai dan tidak memiliki. Penguasaan oleh negara tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan dalam bentuk kegiatan pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan hutan dengan tujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat;
• Bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan tersebut, lebih merupakan kegiatan kepemilikan daripada kegiatan dari pihak penerima kuasa atau mandat. Kegiatan kepemilikan akan menempatkan hutan sebagai domain privat dalam kekayaan negara. Sebagai konsekuensinya, kegiatan tersebut ternyata kemudian melanggar hak-hak konstitusional dari rakyat yang memberikan mandat kepadanya.