Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pada Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu).

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

PROPOSAL SKRIPSI

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA PEMBERLAKUAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA

(STUDI KASUS PEMERINTAH LABUHANBATU)

Oleh:

NAMA

: MUHARINA PRIBADI

NIM : 030503089

DEPARTEMEN : AKUNTANSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini, Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu Pada Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja (Studi Kasus: Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu)

Adalah benar hasil karya sendiri dan judul dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan, atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi level Program S1 Reguler Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Semua sumber data dan informasi yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya. Apabilah dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, Saya bersedia menerima sangsi yang ditetapkan oleh Universitas.

Medan, 6 Agustus 2008 Yang membuat pernyataan

Muharina Pribadi


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirobil’alamin, Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, kekuatan, dan karunianya sehingga penulisan skripsi ini dapat dapat diselesaiakan. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi.

Adapun judul dari skripsi ini yaitu: Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pada Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu). Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun cara penyajiannya. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Namun demikian, penulis akan tetap berusaha untuk memperbaiki diri lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua ku tercinta dan terkasih Ayahanda Zulpribadi Lubis dan Ibunda Erawati Situmorang yang telah memberikan dukungan moril, materil, nasehat dan doanya kepada penulis. Dan juga yang teristimewa dan kusanyangi bang Lutfi, adik-adikku Faisal dan Fika. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada yang terhormat

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak dan Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE. M.Acc, Ak. Selaku Ketua Departemen dan Sekertaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Idhar Yahya, MBA, Ak selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Katijo, MM, Ak dan Bapak Rasdianto, M.Si, Ak selaku Dosen Penguji 1 dan Penguji 11 yang telah membantu penulis melalui saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Segenap Dosen dan Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal dan ilmu pengetahuan. 6. Staf Jurusan Departemen Akuntansi Bang Hairil, Bang oyong, Kak

Damek yang banyak membantu dalam urusan administrasi Kampus. 7. Ibu Dra. Ina Zalisworo di Kantor Bupati Labuhanbatu, makasi

yah…, bu udah meluangkan waktunya… buat ngantar rina riset. 8. Bapak Drs. R. Zulfikarsyah, SH, M.AP di Bappeda Labuhanbatu

yang telah memberikan ijin riset bagi penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Bang Edi di Bappeda, Kak Inun dan para Staf pegawai Bappeda lainya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu namanya yang


(5)

telah banyak membantu dalam memberikan data yang diperlukan penulis selama riset.

10. Bu Nana, Bu Bebet, Bu Iin di Dispemda dan para pegawai Dispemda yang lain, yang sudah meluangkan waktu dan memberikan informasi data yang penulis butuhkan.

11. Sahabat terbaikku selama kuliah, Paima, Dewi, Putri, Helmi, yang sudah memberikan warna dalam pertemanan kita, dan makasi buat nasehat serta repetan yang sangat berarti buat ku.

12. Dedi, Tamsir, Faisal, Rahmat, Marnanda, Dipo, Maiky, dan temen-temen Akuntansi 03 lainya, yang sudah memberikan semangat buat penulis.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan kritikan, saran yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang akuntansi.

Medan, 6 Agustus 2008 Penulis,

Muharina Pribadi Nim: 030503089


(6)

ABSTRAKSI

Terselenggaranya Otonomi Daerah di Indonesia diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan, pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, dan keadilan dengan adanya keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi) serta efisiensi dan efektifitas sumber daya keuangan pada semua elemen pemerintah. Untuk itu melalui reformasi anggaran, yaitu pemberlakuan anggaran berbasis kinerja yang didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29/2002 Pasal 17 ayat 2 dan Undang-Undang Nomor 17/2003 diharapkan terjadi perubahan dalam pengaturan dan pengelolaan daerah. Studi ini merupakan studi kasus dengan objek penelitian Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu .

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah laporan realisasi APBD dari Tahun Anggaran 2005/2006 dan 2007. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dalam bentuk studi kasus. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menyimpulkan bahwa dengan adanya pelaksanaan anggaran berbasis kinerja ternyata tidak secara keseluruan memperbaiki kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Yang ditinjau dari rasio tingkat kemandirian, rasio desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemampuan pembiayaan, rasio efisiensi dan efektifitas, rasio keserasiaan, rasio pertumbuhan. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu harus memiliki strategi kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan partisipasi aktifa dan sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat Kabupaten Labuhanbatu.

Kata kunci: Anggaran Berbasis Kinerja, Kinerja Keuangan, Pemkab Labuhanbatu


(7)

ABSTACT

Decentralization in Indonesia expected to earn more is improving of prosperity, service to society, development democtatize, and justice with existence of openness and independence (decentralization) and also monetary recource effectiveness and efficiency at all gevermantal element. For budget reform, tha is application of performance based bedgeting on relied Decree Of The Minister Of Home Affairs number 29 / 2002 section 17 article 2 and law number 17/2003 expected happened the change in arrangemert and management of area. This study represent case study with object research of local goverment of Labuhanbatu.

In this research, the data used is realization report of regional budget period of 2005/2006 and 2007. This research used the descriptive design in the type of case study. The data gained is then analyzet by description metode .

The Objectifitas of research is to conclude that in presentce of

performance based budget implementaion, apparently it does not improve the finascial performance of Labuhanbatu District ratio, fiscal dicentralization ratio, self-sufficiency ratio, efficiency and effectiviness ratio, harmonization ratio, and growth ratio. In this care the goverment of Labuhanbatu district should enforce the strategy of policy to improve the financial performence to create the sustainable development through active participation and according to the people needs in district of Labuhanbatu.

Keywords: Performance based budgeting, finacial performence, local govermant of Labhanbatu.


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAKSI ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Kerangka Konseptual Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keuangan Daerah ... 11

1. Pengertian Ruang Lingkup Keuangan Daerah ... 11

2. Tujuan Pengelolahan Keuangan Daerah ... 14

3. Undang-Undang Pelaksanaan Keuangan Daerah... 15

B. Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah ... 20

1. Pengertian Kinerja Keuangan ... 20

2. Kinerja Keuangan Berdasarkan LAKIP ... 22

3. Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 25

4. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah ... 30

C. Anggaran Berbasis Kinerja ... 37

1. Pengertian Anggaran ... 37

2. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja ... 41


(9)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jadwal dan Lokasi Penelitian ... 51

B. Desain Penelitian ... 51

C. Jenis Data dan Sumber Data ... 51

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 52

E. Metode Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Data Penelitian ... 54

1. Gambaran Umum Kabupaen Labuhanbatu ... 54

2. Kondisi Ekonomi ... 56

3. Prinsif Anggaran Daerah ... 57

B. Analisis Hasil Penelitian ... 58

1. Rasio Kemandirian ... 58

2. Rasio Desentralisasi Fiskal ... 59

3. Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan ... 62

4. Rasio Efisiensi dan Efektivitas... 64

5. Rasio Keserasian ... 67

6. Rasio Pertumbuhan ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 75

C. Keterbatasan Penelitian ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Hal

1.1 Realisasi Penerimaan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu

Menurut Jenis Permintaan 6

1.2 Realisasi Pengeluaran Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu

Menurut Jenis Pengeluaran 6

2.1 Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Daerah 16 2.2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal 34 2.3 Target dan Realisasi Belanja Daerah

Kabupaten Labuhanbatu 47

2.4 Target dan Realisasi Belanja Aparatur Daerah

Kabupaten Labuhanbatu 48

2.5 Target dan Realisasi Belanja Pelanyanan Publik

Kabupaten Labuhanbatu 48

4.1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah 59

4.2 Rasio Desentralisasi Fiskal 62

4.3 Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan 63

4.4 Rasio Efisiensi 67

4.6 Rasio Efektivitas 67

4.7 Rasio Keserasian 69


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Hal


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul

1 Laporan Anggaran dan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005

2 Laporan Anggaran dan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2006

3 Laoporan Anggaran dan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007

4. Surat Izin Riset

5 Struktur Organisasi BAPPEDA 6 Struktur Organisasi DISPEMDA


(13)

ABSTRAKSI

Terselenggaranya Otonomi Daerah di Indonesia diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan, pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, dan keadilan dengan adanya keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi) serta efisiensi dan efektifitas sumber daya keuangan pada semua elemen pemerintah. Untuk itu melalui reformasi anggaran, yaitu pemberlakuan anggaran berbasis kinerja yang didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29/2002 Pasal 17 ayat 2 dan Undang-Undang Nomor 17/2003 diharapkan terjadi perubahan dalam pengaturan dan pengelolaan daerah. Studi ini merupakan studi kasus dengan objek penelitian Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu .

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah laporan realisasi APBD dari Tahun Anggaran 2005/2006 dan 2007. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dalam bentuk studi kasus. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menyimpulkan bahwa dengan adanya pelaksanaan anggaran berbasis kinerja ternyata tidak secara keseluruan memperbaiki kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Yang ditinjau dari rasio tingkat kemandirian, rasio desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemampuan pembiayaan, rasio efisiensi dan efektifitas, rasio keserasiaan, rasio pertumbuhan. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu harus memiliki strategi kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan partisipasi aktifa dan sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat Kabupaten Labuhanbatu.

Kata kunci: Anggaran Berbasis Kinerja, Kinerja Keuangan, Pemkab Labuhanbatu


(14)

ABSTACT

Decentralization in Indonesia expected to earn more is improving of prosperity, service to society, development democtatize, and justice with existence of openness and independence (decentralization) and also monetary recource effectiveness and efficiency at all gevermantal element. For budget reform, tha is application of performance based bedgeting on relied Decree Of The Minister Of Home Affairs number 29 / 2002 section 17 article 2 and law number 17/2003 expected happened the change in arrangemert and management of area. This study represent case study with object research of local goverment of Labuhanbatu.

In this research, the data used is realization report of regional budget period of 2005/2006 and 2007. This research used the descriptive design in the type of case study. The data gained is then analyzet by description metode .

The Objectifitas of research is to conclude that in presentce of

performance based budget implementaion, apparently it does not improve the finascial performance of Labuhanbatu District ratio, fiscal dicentralization ratio, self-sufficiency ratio, efficiency and effectiviness ratio, harmonization ratio, and growth ratio. In this care the goverment of Labuhanbatu district should enforce the strategy of policy to improve the financial performence to create the sustainable development through active participation and according to the people needs in district of Labuhanbatu.

Keywords: Performance based budgeting, finacial performence, local govermant of Labhanbatu.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan sekarang berubah menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 dan sekarang berubah menjadi undang-undang nomor 33 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.

Sebenarnya pertimbangan mendasar terselenggaranya otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa semangkin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap Negara, termaksud daya saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah ini diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah (Halim 2001:2).

Tujuan program otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antara responsif terhadap kebutuhan potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing. Hal ini ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah


(16)

untuk mengelola rumah tangganya sendiri, (Bastian 2006). Adapun misi utama undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tersebut bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewewenangan pembangunan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah efisiensi dan efektifitas sumber daya keuangan.

Untuk itu diperlukan suatu laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya agar dapat menggambarkan sumber daya keuangan daerah berikut dengan analisis prestasi pengelolaan sumber daya keuangan daerah itu sendiri (Bastian 2006:6). Hal tersebut sesuai dengan ciri penting dari suatu daerah otonomi yang mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya yaitu terletak pada strategi sumber daya manusia (SDM) dan kemampuan di bidang keuangan daerah (Soedjono 2000).

Analisa prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumber-sumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah. Seperti yang diungkapkan Suedjono (2000) dalam penelitiannya dengan objek penelitian pemerintah kota Surabaya bahwa sebagai daerah otonomi, daerah mempunyai kewewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam rangka menciptakan pemerintah yang baik (good


(17)

Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Sejalan dengan pemberlakuan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang-undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara, yang telah membuat perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya perencanaan dan anggaran pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kemudian saat ini keluar peraturan tentang Pengelolaan keuangan daerah yaitu Peraturan Pemerintah RI No 58 tahun 2004 dan Permendagri No.13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah yang mengantikan Kepmendagri No. 29 tahun 2002. Dalam reformasi anggaran tersebut, proses penyusunan APBD diharapkan menjadi lebih partisipasi. Hal tersebut sesuai dengan permendagri No.13 tahun 2006 yaitu dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana strategi daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan daerah. Serta pokok-pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah.

Selain itu sejalan dengan yang diamanatkan dalam undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang perimbangan keuangan Negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya oleh masyarkat (Abimayu


(18)

2005). Undang-undang No.17 tahun 2003 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu dibangun suatu system yang dapat menyediakan data dan imformasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja

Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorentasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Adapun kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti harus berorentasi pada kepentingan publik (Mariana 2005). Melalui permendagri No. 13 tahun 2006 implementasi pradigma baru yang berorentasi pada prestasi kinerja dapat diterapkan dalam penyusunan APBD, baik dalam system akuntansi dan pengelolaan keuangan daerah.

Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Labuhanbatu merupakan salah satu Pemerintahan Daerah di Sumatera Utara yang diharuskan untuk menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan daerah yang terdiri dari :

1. Neraca

2. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) 3. Laporan Arus Kas (LAK)

4. Catatan atas Laporan Keuangan Daerah (CaLK)

Dari keempat laporan pertanggung jawaban ini Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu sendiri teleh mulai menyajikannya pada laporan keuangan daerah ini pada tahun 2005. Penyusunan laporan keuangan tersebut berpedoman pada ketentuan pokok yang menyangkut pengelolaan keuangan dan otonomi daerah


(19)

serta peraturan pelaksanaannya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam penerapannya diperkuat oleh peraturan daerah.

Skripsi ini akan membahas mengenai Analisa Kinerja Keuangan Daerah pada pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu setelah dilaksanakannya Anggaran Berbasis Kinerja (tahun anggaran 2005) mengalami peningkatan. Namun peningkatan penerimaan yang disertai peningkatan pengeluaran, dianggap kurang baik sebab tidak dapat menjamin adanya kelangsungan hidup dimasa mendatang.

Kabupaten Labuhanbatu kekurangan sumber daya yang memadai untuk membiayai seluruh pengeluarannya, hal ini terlihat rendahnya kontribusi PAD dalam penerimaan daerah (Tabel 1.1). Sedangkan dalam struktur PAD Kabupaten Labuhanbatu, masih didominasi oleh pajak daerah dan retribusi daerah, hal ini menunjukkan belum dioptimalkannya peran BUMD dalam penerimaan Kabupaten Labuhanbatu. Tabel 1.2 menunjukkan bahwa realisasi pengeluaran Kabupaten Labuhanbatu masih didominasi oleh pengeluaran (belanja) rutin.


(20)

Tabel 1.1

Realisasi Penerimaan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Menurut Jenis Penerimaan (dalam%)

Jenis Penerimaan 2005/2006 2006/2007 2007 Sisa Lebih Perhitungan Tahun

Lalu 2.45% 4.46% 5.45%

PAD 11.03% 6.86% 8.84%

a. Pajak Daerah 7.08% 3.33% 4.80%

b. Retribusi Daerah 3.76% 2.04% 4.04%

c. Laba BUMD 0.57% 0.24% --

d. Penerimaan dari Dinas- dinas 0.23% -- --

e. Penerimaan Lain-lain 0.39% 3.13% 0.26%

Bagi Hasil Pajak & Bukan Pajak 14.33% 15.65% 17.83%

a. Bagi Hasil Pajak 13.38% 15.58% 17.80%

b. Bagi Hasil Bukan Pajak 0.95% 0.07% 0.03%

Sumbangan dan Bantuan 62.18% 78.41% 77.11%

a. Sumbangan 20.21% 60.24% 62.19%

b. Bantuan 41.97% 18.17% 14.92%

c. Penerimaan lainnya -- -- --

Penerimaan Pembangunan -- -- --

a. Pinjaman Pemda -- -- --

b. Pinjaman untuk BUMD -- -- --

Jumlah 100% 100% 100%

Realisasi Penerimaan (000Rp) 422.703.990 650.940.858 773.908.171

Sumber: Diolah dari LKPJ Kabupaten Labuhanbatu, 2008

Tabel 1.2

Realisasi Belanja Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Menurut Jenis Pengeluaran (dalam%)

Jenis Pengeluaran 2005/2006 2006/2007 2007

Belanja Rutin 40.58% 75.15% 79.29%

Belanja Pembangunan 59.42% 24.85% 20.71%

Total Pengeluaran 100% 100% 100%

Total Pengeluaran

(000Rp) 71.841.360 148.914.403 193.719.997 Sumber: Diolah dari LKPJ Kabupaten Labuhanbatu, 2008


(21)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian berkaitan dengan “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pada Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja (Studi kasus: Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dalam penelitian ini penulis mencoba merumuskan permasalaan, yaitu: Apakah terdapat peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu dalam pengelolaan keuangan daerah dari periode 2005, 2006 sampai 2007 pada pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dalam bentuk:

1. Tingkat Kemandirian tahun anggaran 2005, 2006 dan 2007 pada pelaksanaan anggaran berbasis kinerja?

2. Tingkat Disentralisasi Fiskal tahun anggaran 2005, 2006 dan 2007 pada pelaksanaan anggran berbasis kinerja?

3. Tingkat Kemampuan pembiayaan tahun 2005, 2006 dan 2007 pada pelaksanaan anggaran berbasis kinerja?

4. Tingkat Keserasian penggunaan anggaran tahun 2005, 2006 dan 2007 pada pelaksanaan anggaran berbasis kinerja?

5. Tingkat Efektifitas dan Efisiensi penggunaan anggaran tahun 2005, 2006 dan 2007 pada pelaksanaan anggaran berbasis kenerja? 6. Tingkat Pertumbuhan tahun anggaran 2005, 2006 dan 2007 pada


(22)

Dalam proses kegiatan penelitian ini penulis membatasi pada kinerja keuangan pemerintah daerah yang dinilai dari aspek finansial dan nonfinansial. Dalam hal ini penelitian hanya dianalisa berdasarkan aspek finansial saja dengan mengacu pada rasio keuangan pada anggaran pendapatan belanja daerah periode anggaran 2005, 2006 dan 2007 setelah adanya pelaksanaan anggaran berbasis kinerja.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Labuhanbatu dalam pengelolaan keuangan daerah dari periode 2005, 2006 dan 2007 setelah adanya pelaksanaan anggaran berbasis kinerja.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini bagi penulis yaitu :

1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk menemukan bukti empiris tentang kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Labuhanbatu setelah adanya pemberlakuan anggaran berbasis kinerja.

2. Bagi pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan bahan referensi dalam menganalisis kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Labuhanbatu setelah diberlakuanya anggaran berbasis kinerja.

3. Bagi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi pengembangan penelitian selanjutnya.


(23)

E. kerangka konseptual

Kerangka konseptual merupakan sintesis atau ektrapolasi dari kejadian teori yang mencerminkan keterkaitan antara variable yang diteliti dan merupakan tuntutan untuk mencerminkan masalah peneliti serta merumuskan hipotesis yang merupakan tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang

berhubungan dengan variable ataupun masalah yang ada dalam penelitian. Adapun krangka konseptual dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui bagan alur berikut yang disertai penjelasan kualitatif.

Sumber data diolah penulis 2008 Pemerintah Kabupaten

Labuhanbatu

Laporan keterangan pertanggung Jawaban APBD

Laporan Realisasi Anggaran


(24)

Keterangan kerangka konseptual:

Pada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Variabel data yang dipakai atau digunakan adalah Laporan Pertanggungjawaban Anggara Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kepala Daerah. Dalam hal ini variabel yang digunakan di khususkan pada Laporan Realisasi Anggaran atau pada saat ini lebih dikenal dengan nama Laporan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah (Dalam hal ini Bupati). Kemudian dari LKPJ ini diambil data. Data yang diperlukan atau data yang dipakai dalam penelitian ini, yang kemudian akan dianalisis dengan memakai rasio kenerja keuangan daerah yaitu: Rasio Kemandirian, Rasio Desantralisasi Fiskal, Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan, Rasio Efektifitas dan Efisiensi, Rasio Keserasian, Rasio Pertumbuhan. Setelah itu rasio-rasio tersebut akan dibandingkan dengan asumsi tahun anggaran 2005 merupakan tahun dimana Kabupaten Labuhanbatu melaksanakan anggaran berbasis kinerja.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keuangan Daerah

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah

Sejak masa reformasi masalah keuangan daerah merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam konteks sektor publik. Halim (2001:19) mengartikan ‘’keuangan daerah sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang itu belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan undang-undang yang berlaku’’.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut.

Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata.


(26)

Menurut Mamesah (Halim, 2002:19) menyatakan bahwa “Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku’’.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pada rancangan undang-undang atau Peraturan Daerah tentang Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah disertakan atau dilampirkan informasi tambahan mengenai kinerja instansi pemarintah, yakni prestasi yang berhasil dicapai oleh penggunaan Anggaran sehubungan dengan anggaran yang telah digunakan pengungkapan informasi tentang kinerja ini adalah relevan dengan perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang ditetapkan dengan mengidentifikasikan secara jelas keluaran (outputs) dan setiap kegiatan dari hasil (outcome) dari setiap program untuk keperluan tersebut, perlu disusun suatu sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang terintegrasi dengan sistim perencanaan strategis, sistim penganggaran dan sistim akuntansi pemerintah tersebut sekaligus dimaksudkan untuk menggantikan ketentuan yang termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, sehingga dihasilkan suatu laporan keuangan dan kinerja yang terpadu.


(27)

Sedangkan pengertian keuangan daerah menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang sekarang berubah menjadi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah semua hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termaksud didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2002:19) menyatakan terdapat 2 hal yang perlu dijelaskan, yaitu:

a. Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah.

b. Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut.

Adapun ruang lingkup dari keuangan daerah menurut Halim (2001:20) ada dua yaitu :

a. Keuangan daerah yang dikelolah langsung, meliputi 1). Angaran Pendapatan Belanja Daerah (ABPD) 2). Barang-barang inventaris milik daerah b. Kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi


(28)

1). Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Keuangan daerah dikelolah melalui manajemen keuangan daerah. Adapun arti dari keuangan daerah itu sendiri yaitu pengorganisasian dan pengelolahan sumber-sumber kekayaan yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang dikehendaki daerah tersebut, Halim (2001:20). ‘’Sedangkan alat untuk melaksanakan manajemen keuangan daerah yaitu tata usaha daerah yang terdiri dari tata usaha umum dan tata usaha keuangan yang sekarang lebih dikenal dengan akuntansi keuangan daerah.’’

Telah dijelaskan diatas bahwa keuangan daerah adalah penggorganisasian kekayaan yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang di inginkan daerah tersebut, sedangkan akuntansi keuangan daerah sering diartikan sebagai tata buku atau rangkaian kegiatan yang dilakuakan secara sistimatis dibidang keuangan berdasarkan prinsip-prinsip, standar-standar tertentu serta prosedur-prosedur tertentu untuk menghasilkan informasi aktual di bidang keuangan.

2. Tujuan Pengelolahan Keuangan Daerah

Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut (Devas,dkk, 1987:279-280) adalah sebagai berikut :

a. Tanggung jawab (accountability)

Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termaksud pemerintah pusat, DPRD, kepala daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur-unsur penting dalam tanggung jawab mencakup keabsahan yaitu tata cara yang efektif untuk menjaga kekayaan keuangan dan barang serta mencegah terjadinya penghamburan dan penyelewengan dan memastikan semua


(29)

pendapatannya yang sah dan benar-benar terpungut jelas sumbernya dan tepat penggunaanya.

b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan

Keuangan daerah harus ditata dan dikelolah sedemikianrupa sehingga mampu melunasi semu kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang yang telah ditentukan.

c. Kejujuran

Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan dearah pada prinsipnya harus diserakan kepada pegawai yang betul-betul jujur dan dapat dipercaya. d. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)

Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

e. Pengendalian

Para aparat pengelolah keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.

3. Undang-Undang Pelaksanaan Keuangan Daerah

Menurut Mahmudi dalam Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik (2006:23) menyatakan bahwa perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah, dilihat dari aspek historis, dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu “Era sebelum otonomi daerah, Era transisi otonomi, era pascatransisi”.

Era pra-otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde Baru mulai tahun 1975 sampai 1999. Era transisi ekonomi adalah masa antara tahun 1999 hingga 2004, dan era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang Nomor 1 tahun 2004, undang Nomor 15 tahun 2004, Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004.


(30)

Tabel 2.1

Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Daerah

Pra-Otonomi Daerah &

Desentralisasi Fiskal 1999 Transisi otonomi Pascatransisi Otonomi

Keputusan KDH

Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi , 2007

Pada era reformasi, dalam manajemen keuangan daerah terdapat reformasi pelaksanaan seiring dengan adanya otonomi daerah. Adapun peraturan pelaksanaannya menurut Halim (2001:3) telah dikeluarkan oleh pemerintah yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang sekarang sekarang berubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang sekarang berubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah, adalah sebagai berikut :

UU No. 5 Tahun 1974

PP No. 5&6 Tahun 1975

Manual Administrasi Keuangan Daerah

UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 25 Tahun 1999

PP No. 105 Tahun 2000

Kepmendagri No. 29 Tahun 2002

Peraturan Daerah

Keputusan KDH

UU No. 17 Tahun 2003 UU No. 1 Tahun 2004 UU No. 15 Tahun 2004 UU No. 25 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 33 Tahun 2004

PP No. 24 Tahun 2005 PP No. 58 Tahun 2005

Permendagri No. 13 Tahun 2006

Permendagri No. 59 Tahun 2007


(31)

a. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan

b. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengolahan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

c. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah

d. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah

e. Surat Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 17 November 2000 Nomor 903/235/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, karakteristik manajemen keuangan daerah pada era reformasi antara lain :

a. Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten

b. Pengertian pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat lainya. Pemerintah daerah ini adalah badan eksekutif, sedangkan badan legislatif didaerah adalah DPRD.

c. Perhitungan APBD menjadi satu dengan pertanggungjawaban kepala daerah (Pasal 5 PP Nomor 108 tahun 2000)

d. Bentuk laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri atas :

1). Laporan perhitungan APBD 2). Nota perhitungan APBD


(32)

3). Laporan aliran kas

4). Neraca daerah dilengkapi dengan kinerja berdasarkan tolak ukur Renstra (Pasal 38 PP nomor 105 tahun 2000)

e. Pinjaman APBD tdak lagi masuk dalam pos pendapatan (yang menunjukan hak pemerintah daerah), tetapi masukan dalam pos penerimaan (yang belum tentu menjadi hak pemerintah daerah) f. Masyarakat termaksud dalam unsur-unsur penyusunan APBD

disamping pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah dan APBD

g. Indikator kinerja pemerintah daerah tidak hanya mencakup 1). Perbandingan antara anggaran dengan realisasinya 2). Perbandingan standar biaya dengan realisasinya

3). Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan

h. Laporan pertanggungjawaban daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya laporan perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuwensi terhadap masa jabatan kepala daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD.

Dalam peraturan diatas terutama Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000, dapat dilihat 6 (enam) pergeseran anggaran daerah secara umum dari era pra reformasi ke era pasca reformasi yaitu :

a. Dari vertical accountability menjadi horizontal accountability b. Dari traditional buget menjadi performance buget


(33)

c. Dari pengendalian dan audit keuangan ke pengendalian dan audit keuangan dan kinerja

d. Lebih menerapkan konsep value for money e. Penerapan pusat pertanggungjawaban

f. Perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah

Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.

PP No. 58 Tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang selama ini dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki persamaan yang sangat mendasar khususnya landasan filosofis yang mengedepankan prinsip efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas. Sedangkan perbedaan, dalam pengaturan yang baru dilandasi pemikiran yang lebih mempertegas dan menjelaskan pengelolaan keuangan daerah, sistem dan prosedur serta kebijakan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dibidang penatausahaan, akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.

Tujuan dikeluarkannya PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No.13 Tahun 2006 adalah agar pemerintah daerah dapat menyusun Laporan Keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yaitu PP No.24 Tahun yang


(34)

merupakan panduan atau pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyajikan keuangan yang standar, bagaimana perlakuan akuntansi, serta kebijakan akuntansi.

B. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah 1. Pengertian Kinerja Keuangan

Dalam organisasi sektor publik, setelah adanya oprasional anggaran, langkah selanjutnya adalah pengukuran kinerja untuk menilai prestasi dan akuntabilitas organisasi dan manajemen dalam menghasilan pelayanan publik yang lebih baik. ‘’Akuntabilitas yang merupakan salah satu ciri dari terapan good

governance bukan hanya sekedar kemampuan menujukan bagaimana menunjukan

bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efektif, dan efisien’’ (Mardiasmo 2002:121).

Ekonomis terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Efisiensi merupakan perbandingan ouput/ input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan. ‘’Sedangkan efektif merupakan tingkat standar kinerja atau program dengan target yang telah ditetapkan yang merupakan perbandingan-perbandingan

outcome dengan output’’ (Mardiasmo, 2002: 4).

Adapun arti dari penilaian kinerja menurut Mardiasmo (2002:28) ‘’yaitu penentuan secara priodik efektifvitas oprasional suatu organisasi, bagian organisasi, karyawan berdasarkan sasaran, standar, dan kreteria yang telah


(35)

ditetapkan sebelumnya.’’ Dan menurut keputusan menteri dalam negeri nomor 29 tahun 2002 yang sekarang berubah manjadi permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), bahwa tolak ukur kinerja merupakan komponen lainya yng harus dikembangkan untuk dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja.

Sedangkan menurut Mahmudin (2006 : 25) “Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang teruang dalam

stategic planning suatu organisasi”.

Disamping itu, menurut Sedarmayanti (2003 : 64) “Kinerja (performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan standar yang telah ditentukan”.

Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability (knowladge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan sumber daya aparatur pemerintah dengan terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.


(36)

Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan dengan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertangggungjawaban Kepala Daerah berupa Perhitungan APBD.

2. Kinerja Keuangan Berdasarkan LAKIP

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, ada kewajiban setiap instansi pemerintah untuk menyusun dan melaporkan Pensekemaan Strategi tentang program-program utama yang akan dicapai selama satu sampai dengan lima tahun, sesui dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi dan jajaranya. Laporan Akuntabilitas Kineja Instansi Pemerintah dan fungsi instansi. LAKIP tresebut sama sekali tidak menyinggung mengenai peran laporan keuangan instansi yang seharusnya menjadi dasar penyusunan LAKIP, padahal seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintah bermuara pada keuangan/pendanaan. Oleh karena itu, tatacara penyusunan LAKIP tidak terstuktur, dan apabilah monitoring pelaporannya tidak konsisten , maka nasibnya akan sama dengan kewajiban pelaporan Waskat pada sepuluh tahun yang lalu, yang pada saat ini sudah tidak ada instansi yang melaporkan.

Instansi pemerinatah yang berkewajiban menerapkan sistem akuntabilitas kinerja dan menyampaikan pelaporanya adalah instansi dari pusat, Pemerintah


(37)

Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penaggung-jawabn penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah pejabat yang secara fungsional bertanggung jawab melayani fungsi administrasi di instansi masing-masing. Selanjutnya pimpinan bersama tim kerja harus mempertanggujawabkan dan menjelaskan keberhasilan/kegagalan tingkat kinerja yang dicapai.

Selain itu, penyusunan LAKIP harus mengukuti prinsip-prinsip yang lajim, yaitu laporan harus disusun secara, objektif, dan transparan. Disamping itu, perlu diperhatikan prinsip-prinsip lain:

Prinsip pertanggungjawaban (adanya responsibility center), sehingga lingkupnya jelas. Hal-hal yang dikendalikan

(controllable) oleh pihak yang melaporkan harus dapat dimengerti

pembaca laporan,

 Prinsip pengecualian, yang dilaporkan adalah hal-hal yang penting dan relevan bagi pengambil keputusan dan pertanggung jawaban instansi yang bersangkutan

Misalnya, hal-hal yang menonjol baik keberhasi maupun kegagalan, perbedaan antara realisasi dengan target/standar/budget, penyimpangan dari skema karena alasan tertentu dan sebagainnya.

 Prinsip manfaat , yaitu manfaat laporan harus lebih besar dari pada biaya penyusunan.

Isi dari LAKIP adalah uraian pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi dalam rangka pencapaian visi dan misi serta penjabaranya yang menjadi


(38)

perhatian utama instansi pemerintah. Selain itu perlu dimasukkan juga beberapa aspek pendukung meliputi uraian pertanggungjawaban mengenai :

a. Aspek keuangan b. Aspek sumber daya

c. Aspek sarana dan prasarana

d. Metode kerja, pengedalian manajemen, dan kebijaksanaan lain yang mendukung pelaksanaan tugas instansi

Agar LAKPI dapat lebih berguna sebagai umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka bentuk dan isinya diseragamkan tanpa mengabaikan keunikan masing-masing instansi pemerintah. Penyeragaman ini paling tidak dapat mengurangi perbedaan cara penyajian yang cenderung menjauhkan pemenuhan persyaratan minimal akan informasi yang seharusnya dimuat dalam LAKIP. Penyeragaman juga dimaksudkan untuk pelaporan yang bersifat rutin, sehingga perbandingan atau evaluasi dapat dilakkan secara memadai. LAKIP dapat dapat dimasukan pada kategori laporan rutin, Karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali.

Dan juga agar pengungkapan akuntabilitas aspek-aspek pendukung pelaksanaan tugas dan fungsi tidak tumpang tindih dengan pengugkapan akuntabilitas kinerja, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Uraian pertanggungjawaban keuangan dititikberatkan pada perolehan dan penggunaan dana, baik dana yang berasal dari dana alokasi APBD (rutin maupun pembangunan) maupun dana yang berasal dari PNBP (penerimaan Negara bukan pajak).


(39)

2. Uraian pertanggungjawaban sumber daya manusia, dititikberatkan pada penggunaan dan pembinaan dalam hubunganya dengan peningkatan kinerja yang berorentasi pada hasil atau manfaat, dan pengkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

3. Uraian mengenai pertanggungjawaban penggunaan sarana dan prasarana dititikberatkan pada pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembanganya.

4. Uraian tentang metode kerja, pengendalian manajemen dan kebijaksanaan lainya, difokuskan pada manfaat atau dampak dari suatu kebijaksanaan yang merupakan cerminan pertangungjawaban kebijaksanaan (policy

accontibility)

3. Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Analisa keuangan menurut Halim (2001:127) ‘’merupakan sebuah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia.’’ Sedangkan pada pasal 4 PP Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan bahwa keuangan daerah dikelolah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 PP Nomor 58 tahun 2005 yang dimaksud dari efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu;


(40)

ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas tertentu pada tingkat

harga rendah; efektif merupakan mencapaian pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil; transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah; sedangkan bertanggungjawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalaian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelolah keuangan dituangkan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang baik secara langsung maupaun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat, yang dapat dianalisa menggunakan analisa rasio keuangan terhadap APBD.

Menurut Halim (2001:127) penggunaan analisa rasio keuangan secara luas sudah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas, hal itu karena:

a. Keterbatasan penyajian laporan keuangan pada lembaga pemerintah daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan penyajian laporan keuangan oleh lembaga perusahaan yang bersifat komersial.

b. Selama ini penyusunan APBD sebagian masih dilakukan berdasarkan perimbangan incremental budget yaitu besarnya masing-masing


(41)

komponen pendapatan dan pengeluaran dihitung dengan meningkatkan sejumlah pendapatan persentase tertentu (biasanya berdasarkan tingkat inflasi). Oleh karena disusun dengan pendekatan secara incremental maka sering kali mengabaikan bagaimana rasio keuangan dalam APBD. Misal adanya prinsip ‘’yang penting pendapatan naik meskipun untuk menaikanya itu diperlukan biaya yang tidak efisien’’.

c. Penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah, lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi ataupun pada struktur APBD.

Analisa keuangan adalah usaha mengidentifikasikan ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Bagi perusahaan swasta (lembaga yang bersifat komersial). Analisa keuangan yang digunakan pada umumnya terdiri dari :

1. Rasio likuiditas yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dengan segerah.

2. Rasio leverage yaitu rasio yang mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh pemelik dengan dana yang dipinjam perusahaan dari kreditor.

3. Rasio aktivitas yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan didalam menggunakan dan mengendalikan sumber yang dimiliki perusahan.


(42)

4. Rasio profitabilitas yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba.

Rasio-rasio tersebut perlu disusun untuk melayani pihak yang berkepentingan dengan perususahaan yaitu:

a. Para kreditor baik jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu untuk menilai kemamampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya. b. Pemegang saham ataupaun pemelik perusahaan, yaitu untuk

menganalisa sampai sejauh mana perusahaan maupun membayaran dividen ataupun memperoleh laba.

c. Pengelolaan, yaitu sebagai informasi yang dapat dipakai sebagai landasan dalam pengambilan keputusan.

Penggunaan analisa rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukuranya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transfaransi, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel. Analisa rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimilki perusahaan swasta.

Analisa rasio keuangan APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu priode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderuang yang terjadi. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan yang lain yang terdekat adapun yang potensi daerahnya


(43)

relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah:

1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).

Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya. 2. Pemerintah Pusat/Propinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan

pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah

3. Masyarakat dan kreditor, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham pemerintah daerah, bersedia memberikan pinjaman atapun membeli obligasi.

Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus-menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang.

Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Widodo (Halim, 2002:126) hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:

1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.

2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.


(44)

4. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah

Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta.

Analisis rasio keuangan pada APBD keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecendrungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

Menurut Munir, dkk (2004:101) beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut :

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Pendapatan Asli daerah

Bantuan pemerintah pusat/propinsi dan pinjaman

2. Rasio Desentralisasi fiskal (TPD) Daerah Penerimaan

Total

(PAD) Daerah Asli


(45)

(TPD) Daerah Penerimaan Total (BHPBP) Daerah k Pajak Untu Bukan dan Pajak Hasil Bagi

3. Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan (BRNP) Pegawai Belanja Non Rutin Belanja Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (TPjD) Daerah Pajak Total

4. Rasio Efisiensi dan Efektivitas Pendapatan Asli Daerah Rasio Efisiensi (TBD) Daerah Belanja Total (TSA) Anggaran Sisa Total (TBD) Daerah belanja Total (TPL) lain -Lain n Pengeluara Total

Rasio Efektifitas Realisasi penerimaan PAD

Target penerimaan PAD (berdasarkan potensi real daerah

5. Rasio Keserasian Total Belanja Rutin Total APBD

Total Belanja Pembangunan Total APBD

6. Rasio pertumbuhan

Rasio pertumbuhan yang dimaksud disini adalah pertumbuhan pendapatan asli daerah, total pendapatan daerah, total belanja rutin, dan total belanja pembangunan dari suatu periode.


(46)

Penjelasan dari parameter rasio diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.

Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekternal. Semangkin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semangkin rendah, dan demikian juga sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tinggkat partisipasi masayarakat dalam pembayar pajak dan restribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semangkin tinggi masyarakat membayar pajak dan restribusi daerah akan menggambarkan tinggkat kesejateraan masyarakat yang semangkian tinggi.

2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal

Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi


(47)

Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total penerimaan daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Total Pendapatan Daerah (TPD) merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran.

Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak (BHPBP) merupakan pajak yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah otonomi. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat keadilan pembagian sumber daya daerah dalam bentuk bagi hasil pendapatan sesuai potensi daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi hasilnya maka suatu daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.

Derajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM dalam Munir (2004:106) menggunakan skala interval sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 2.5.


(48)

Tabel 2.2

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah

<10.00 Sangat kurang

10.01 – 20.00 Kurang

20.01 – 30.00 Cukup

30.01 – 40.00 Sedang

40.01 – 50.00 Baik

>50.00 Sangat Baik

Sumber: Munir, 2004:106

3. Tingkat Kemandirian Pembiayaan

Ukuran ini menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah kabupaten dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap periode anggaran. Belanja Rutin Non Belanja Pegawai (BRNP) merupakan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pelayanan masyarakat yang terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan tidak tersangka serta belanja lain-lain.

Rasio dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan PAD dalam membiayai balanja daerah diluar belanja pegawai. Dalam ketentuan yang digariskan bahwa belanja rutin daerah dibiayai dari kemampuan PAD setiap Pemda dan karenanya tolok ukur ini sesuai pengukuran dimaksud.

Pajak Daerah (TPjD) merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi, atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan digunakan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan pemerintah.


(49)

Rasio dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi pajak daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total PAD. Semakin besar rasio akan menunjukkan peran pajak sebagai sumber pendapatan daerah akan semakin baik.

4. Rasio Efisiensi dan Efektivitas Pendapatan Asli Daerah

Ukuran ini menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan uang daerah. Sisa Anggaran (TSA) merupakan selisih lebih antara penerimaan daerah atas belanja yang dikeluarkan dalam satu tahun anggaran ditambah selisih lebih transaksi pembiayaan penerimaan dan pengeluaran.

Rasio pertama dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan perencanaan sesuai prinsip-prinsip disiplin anggaran sehingga memungkinkan setiap pengeluaran belanja menghasilkan sisa anggaran. Semakin kecil rasio akan menunjukkan peran perencanaan dan pelaksanaan anggaran semakin baik.

Pengeluaran lainnya (TPL) merupakan pengeluaran yang berasal dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak tersangka yang direalisasikan dalam satu tahun anggaran.

Total Belanja Daerah (TBD) merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran daerah dalam satu tahun anggaran yang membebani anggaran daerah. Rasio kedua mengukur pengendalian dan perencanaan anggaran belanja. Semakin kecil rasio akan menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah berupaya untuk mengurangi biaya lain-lain atau biaya taktis yang tidak jelas tujuan pemanfaatannya.


(50)

Rasio efektifitas manggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi rill daerah.

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian semangkin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semangkin baik. Guna memperoleh ukuran yang lebih baik, rasio efektifitas tersebut perlu dipersandingkan dengan rasio efisiensi yang dicapai pemerintah daerah.

5. Rasio Keserasian

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memperioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.

Belum ada patokan yang pasti yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun pembangunan terhadap APBD yang ideal, karena itu sangat dipengarui oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Namun demikian, sebagai daerah di negara berkembang peran pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaa pembangunan masi relatif besar. Oleh karena itu, rasio


(51)

belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.

6. Rasio Pertumbuhan

Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi- potensi mana yang diperlu mendapatkan perhatian.

C. Anggaran Berbasis Kinerja 1. Pengertian Anggaran

Proses penyusunan anggaran sering kali menjadi isu penting yang menjadi sorotan masyarakat. Pidato Presiden setiap bulan Agustus tentang Nota Keuangan dan Ancangan APBD, misanya, selalu menjadi indikator perekonomian Negara untuk selama setahun berikutnya. Bahkan, tidak jarang APBD tersebut menjadi alat politik yang digunakan oleh pemerintah sendiri maupun oleh pihak oposisi. Jika demikian, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan anggaran? Bagaimana seluk-beluknya?

Menurut Mardiasmo (2002), ‘’Anggaran adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas (the process of


(52)

allocating resources to unlimited demends )’’. Pengertian tersebut mengungkapkan peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi sektor publik tentunya berkeinginan memberikan pelanyanan maksimal kepada masyarakat, tetapi sering kali keinginan tersebut terhambat oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Disinilah dituntut peran penting anggaran.

Anggaran dapat juga dikatakan sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu dalam ukuran finansial. Pembuatan anggaran dalam organisasi sektor publik, terutama pemerintah, merupakan sebuah proses yang cukup rumit dan mengandung muatan politis yang cukup segnifikan. Berbeda dengan penyusunan anggaran diperusahaan swasta yang muatan politisnya relatif lebih kecil.

Mardismo (2002:61) menyatakan bahwa ‘’Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mepersiapkan suatu anggaran’’.

Sedangkan menurut Bastian (2006:164) ‘’mengutip dari National

Committeen on Govermental Acconting (NCGA), yaitu rencana operasi keuangan yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayai dalam periode waktu tertentu.’’

Anggaran merupakan dokumen yang berisi angka-angka yang diprediksikan akan diperoleh dan akan digunakan untuk satu jangka waktu tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anggaran adalah suatu instrumen yang menggambarkan kebijakan manajemen yang dinyatakan dalam


(53)

bentuk angka-angka yang dibuat secara sistematis dan terencana dengan mengintregrasikan dan mengalokasikan seluruh sumber daya (resources) ke dalam berbagai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai kinerja yang diharapkan pada suatu masa tertentu.

Penganggaran pada organisasi publik yang berorentasi pada pelayanan terhadap masyarakat bersifat terbuka serta cenderung dipengarui oleh iklim politik dalam suatu Negara. Hal ini menyebabkan penyusunan anggaran pada publik lebih komplek dibandingkan dengan penyusunan anggaran pada organisasi privat.

Mardiasmo (2002:62) menyatakan ‘’anggaran publik berisi rencana kegiatan yang direpersentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satu moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana anngaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas.’’ Lebih lanjut Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa:

Penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan yang cukup rumit dan mengandung nuansa politik yang lebih tinggih. Hal tersebut berbeda dengan penganggaran pada sektor swasta yang relatif kecil nuansa poltiknya. Pada sektor swasta, anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sector public anggaran justru harus diinformasikan kepada public untuk dikeritik, didiskusikan, dan diberimasukan. Anggaran sektor publik merupakan instrument akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.

Anggaran sektor publik menggambarkan kegiatan pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai stakeholder. Oleh sebab itu setiap anggaran publik harus berpihak kepada kepentingan rakyat banyak dan bukan


(54)

hanya untuk memenuhi kebutuhan implementor serta meningkatkan wibawa pemerintah.

Anggaran menjadi sangat esensial dalam upaya menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejateraan masyarakat melalui program pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Penyusunan anggaran harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum.

Mardiasmo (2002:63) mengungkapkan ada beberapa fungsi utama dari adanya anggaran sektor publik yaitu

a. Anggaran sebagai alat perencanaan (Planning Tool) b. Anggaran sebagai alat pengendalian (Control Tool)

c. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal (Fiscal Tool) d. Anggaran sebagai alat politik (Political Tool)

e. Anggaran sebagai alat kordinasi dan komunikasi (Coordination & Communication)

f. Anggaran sebagai alat penilaian kinerja (Performeance Measurement Tool)

g. Anggaran sebagai alat motivasi (Motivation Tool)

h. Anggaran sebagai alat menciptakan ruang public (Publik Sphere)

Adapun tipe dari anggaran menurut Bastian (2006:166) adalah sebagai berikut :

a. Line Item Budgeting

Line item Budgeting adalah penyusunan anggaran yang didasarkan pada dan dari mana dana berasal (pos-pos penerimaan) dan untuk apa dana tersebut digunakan (pos-pos pengeluaran). Jenis anggaran ini relative dianggap paling tua dan banyak mengandung kelemahan atau sering disebu tradisional.


(55)

b. Planning Programming Budgeting System (PPBS)

Planning Programming Budgeting System adalah suatu proses perencanaan, pembuatan, program, dan penganggaran, serta didalamnya terkandung indetifikasi tujuan organisasi atas permasalahan yang mungkin timbul.

c. Zero Based Budgeting (ZBB)

Zero Based budgeting adalah sistem anggaran yang didasarkan pada perkirakan kegiatan, bukan pada yang telah dilakukan dimasa lalu, dan setiap kegiatan dievaluasi secara terpisah.

d. Performance Budgeting

Performance Budgeting adalah sistem penganggaran yang berorentasi pada

output organisasi dan berkaitan erat dengan Visi, Misi, dan Rencana Strategi Organisasi.

e. Medium Term Budgeting Framework (MTBF)

Medium Term Budgeting Framework adalah suatu kerangka strategi kebijakan pemerintah tentang anggaran belanja untuk departemen dan lembaga pemerintah non departemen, dan kerangka tersebut memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada departemen untuk penetapan alokasi dan penggunaan sumber dana pembangunan.

2. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja

Menurut keputusan Menteri dalam negeri nomor 29 tahun 2002 yang sekarang berubah menjadi Permendagi Nomor 13 Tahun 2006 anggaran pendapatan belanja daerah (ABPD) dalam era otonomi daerah disusun dengan


(56)

pendekatan kinerja, artinya sistim anggaran yang mengutamakan pencapaian hasil kinerja atau keluaran (output) dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. Dengan demikian diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan (Mariana 2005)

Anggaran berbasis kinerja dikenal dalam pengelolaan keuangan daerah sejak diterbitkanya PP Nomor 105 tahun 2000 yang dalam pasal 8 dinyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja. Penerapan anggaran berbasis kinerja pada instansi pemerintah di Indonesia dicanangkan melalui pemberlakuan UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan nagara dan diterapkan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005.

Menurut Mardiasmo (2002;105) “Performance budget pada dasarnya adalah sistim penyusunan dan pengolahan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil kerja atau kinerja. Kinerja tersebut mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti berorientasi pada kepentingan publik”. Selanjutnya Mardiasmo (2002:132) menyatakan “Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktifitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output)”. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan Sumber Daya dan Dana yang serendah-rendahnya (spending well). Pengertian evektifitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Evektifitas merupaka hubungan antara keluaran


(57)

dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional harus dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wesely).

Dalam penjelasan PP nomor 105 tahun 2000 dinyatakan bahwa anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Berdasarkan pengertian tersebut, setiap input yang ditetapkan dalam anggaran harus dapat diukur hasilnya dan pengukuran hasil bukan pada besarnya dana yang telah dihabiskan sebagaimana yang dilaksanakan pada sistim penganggaran tradisional (line-item & incremental budget) tetapi pada tolak ukur kinerja yang telah ditetapkan.

Menurut Kepmendagri No.29 tahun 2002 pengertian anggaran berbasis kenerja adalah:

a. Suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. b. Didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Anggaran dipandang sebagai

alat untuk mencapai tujuan.

c. Penilaian kinerja didasarkan pada pelaksanaan value for money dan evektifitas anggaran.

d. Anggaran kinerja merupakan system yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolak ukur (indicator) kinerja sebagai instrument untuk mencapai tujuan dan sasaran program.


(58)

Bastian (2006;171) “Performance budgeting (anggaran yang berorentasi pada kinerja) adalah sistem penganggaran yang berorentasi pada output organisasi dan berkaitan sangat erat dengan visi, misi dan rencana strategi organisasi.

Performance budgeting mengalokasikan sumber daya pada program, bukan pada unit organisasi semata dan memakai ‘output measurement’ sebagai indikator kinerja organisasi’’.

Berdasarkan pengertian anggaran berbasis kinerja menurut Bastian, komponen-komponen visi, misi dan rencana strategi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari anggaran berbasia kinerja. Dengan demikian penyusunan anggaran berbasis kinerja membutukan suatu sistim administrasi publik yang telah ditata dengan baik, konsisten dan tersetuktur sehingga kinerja anggaran dapat dicapai berdasarkan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan. Melalui pengukuran kinerja, manajemen dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu unit organisasi dalam pencapaian sasaran dan tujuan untuk selanjutnya memberikan penghargaan (reward) untuk keberhasilan atau hukuman (punishment) untuk kegagalan.

Untuk dapat mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja secara utuh, terlebih dahulu harus mengetahui langka-langka dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja. Langka-langka pokok dalam penerapan performance budgeting adalah:

1. Pengembangan suatu struktur program atau aktivitas untuk masing-masing badan atau lembaga.


(59)

2. Memodifikasi system akuntansi sehingga biaya untuk masing-masing program dapat ditetapkan.

3. Mengidentifikasi ukuran kinerja pada tingkat aktivitas atau pelaksanaan.

4. Menghubungkan biaya dengan ukuran kinerja sehingga target biaya dan kinerja dapat ditetapkan.

5. Membangun sistem monitoring sehingga penyimpangan (variance) antara target dengan kenyataan sebenarnya dapat diketahui.

Langka-langka tersebut mengandung dua aspek penting, yakni pemograman

(programming) dan pengukuran kinerja (performance measurement). Program merupakan level klasifikasi pekerjaan yang tertinggi yang dilakukan oleh suatu badan dalam melaksanakan tanggungjawab, yang digunakan untuk menetapkan porsi pekerjan yang harus dihasilkan untuk mencapai produk akhir yang menentukan keberadaan-keberadaan tersebut. Sedangkan aktivitas merupakan bagian dari total pekerjaan dalam suatu program. Aktivitas merupakan sekelompok operasi pekerjaan atau tugas yang pada umumnya dilaksanakan oleh unit administratif terendah dalam suatu organaisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran program organisasi.

Menurut Mardiasmo (2002:84). Pendekatan anggaran berbasis kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabakan oleh tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat


(60)

menekankan konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistimatis dan rasional dalam proses pengambilan keputusan.

Anggaran berbasis kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Oleh karena itu anggaran digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penilaian anggaran berbasis kinerja didasarkan pada pelaksanaan value for money dan efektifitas anggaran. Pendekatan ini cenderung menolak pandangan tradisional yang menganggap bahwa tanpa adanya arahan dan campur tangan, pemerintah akan menyalagunakan kedudukan mereka dan cenderung boros (over spending). Menurut pendekatan anggaran berbasis kinerja, dominasi pemerintah akan dapat diawasi dan dikendalikan melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Selain didorong untuk menggunakan dana secara ekonomis, pemerintah juga dituntut untuk mampu mencapai tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, agar dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya program dan tolak ukur sebagai standar kinerja. Sistem anggaran berbasis kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolak ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran program. Berikut ini akan dilampirkan contoh Pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Labuhanbatu dalam Tabel 2.3


(61)

Tabel 2.3

Target dan Realisasi Belanja Daerah Kabupaten Labuhanbatu Tahun Anggaran 2006

NO. BELANJA TARGET

( Rp)

REALI SASI ( RP.)

% PENCAP. 1 Belanja Aparatur Daerah 371.302.013.194,00 328,640,213,047.85 88.51

a .

Belanja Administrasi Umum

322.036.776.791,00 294.475.024.597,00 91.44 b

.

Belanja Operasi dan Pemeliharaan

33.891.841.403,00 27.954.207.946,85 82,48

c. Belanja Modal 15.373.395.000,00 6.210.980.504,00 40,40

2 Belanja Pelayanan Publik 312.763.167.079,00 153.399.131.444,00 49,05 a

.

Belanja Administrasi Umum

10.462.422.000,00 10.412.453.831,00 99,52 b

.

Belanja Operasi dan Pemeliharaan

43.272.493.589,00 35.463.076.897,00 81,95

c. Belanja Modal 225.684.300.291,00 78.276.880.467,00 34,68

d .

Belanja Bagi Hasil dan Bantuan

Keuangan. 29.664.139.000,00 28.474.251.100,00 95,99

e .

Belanja Tidak Tersangka

3.679.812.199,00 772.469.149,00 20,99 Jumlah Belanja Daerah. 684.065.180.273,00 482.039.344.491,90 70,00 Sumber LKPJ Kabupaten Labuhanbatu 2006

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa struktur belanja pada APBD Kabupaten Labuhanbatu tahun 2006 masih lebih besar belanja Aparatur dari pada belanja pelayanan publik dengan presentase 54,28% belanja Aparatur dan 45,72% belanja pelayanan Publik. Pada Belanja Aparatur alokasi terbesar adalah pada Belanja Administrasi Umum yaitu 86,73% dari total Belanja Aparatur, sedangkan pada belanja pelayanan Publik alokasi terbesar adalah untuk Belanja modal yaitu 72,16% dari total belanja pelayanan Publik.

Secara rinci target dan realisasi untuk masing-masing kelompok, jenis dan rincian belanja daerah akan diuraikan dalam tabel berikut :


(1)

(Rp) (RP.) 41 42 43 Belanja modal Belanja modal

Jumlah belanja modal Surplus/devisit 225.684.300.291,00 225.684.300.291,00 312.763.167.079,00 78.276.880.467,00 78.276.880.467,00 153.399.131.444,00 34,68 34,68 49,05 44 45 46

Belanja Tak terduga Belanja Tak terduga

Jumlah belanja tak terduga

3.679.812.199,00 3.679.812.199,00 772.469.149,00 772.469.149,00 20.25 20.25 56 57 58 59 60 61 62 Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan

Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu

Trasfer dari dana cadangan Penerimaan pinjaman dan obligasi Hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan Jumlah Penerimaan 80.673.858.226,68 - - - 80.673.858.226,68 80.673.858.226,68 - - - 80.673.858.226,68 100 - - - 100 63 64 65 66 67 68 69 Pengeluaran pembiayaan Transfer ke dana cadangan Penyertaan modal

Pembayaran utang pokok yang jatuh tempo

Sisa lebih perhitungan anggaran tahun berjalan Jumlah pengeluaran Pembiayaan Netto - 15.435.423.543,00 609.475.000,00 80.673.858.226, 16.044.898.543,00 64.628.959.683,68 - 15.435.423.543,00 609.475.000,00 80.673.858.226, 16.044.898.543,00 64.628.959.683,68 - 100 100 100 100 100

Sumber : LKPJ Kabupaten Labuhanbatu, 2006


(2)

Lampiran 3

Tabel 4.5

Laporan Anggaran dan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah

Tahun Anggaran 2007

NO. JENIS PENERIMAAN TARGET

(Rp)

REALISASI

(RP.) %

1 2 3 4 5 6 7 Pendapatan

Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Pajak Daerah Pendapatan Retribusi Daerah Pendapatan hasil pengelolahan kekayaan daerah yang dipisahkan Lain-lain PAD yang sah

Jumlah Pendapatan Asli Daerah(3 s/d 6)

11.074.932.869, 11.573.461.880, 4.275660.000, 12.649838.685, 39.573.893.434, 10.802.249.024, 10.772.853.747,40 4.370.864.395, 27.094.554.423,55 53.040.521.590,20 97.42 91,69 102 214,1 133,5 9 10 11 12 13 14 15 Pendapatan Transfer

Transfer pemerintah pusat-dana perimbangan

Dana bagi hasil pajak

Dana bagi hasil sumber daya alam Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Khusus

Jumlah pendapatan transfer dana perimbangan (11 s/d 14)

109.462.381.239, 1.480.893.000, 536.778.000.000, 10.616.000.000, 135.489.302.091, 679.034.066, 536.778.000.000, 10.610.000.000, 144,1 45,9 100 100 22 23 24 25 26

Transfer pemerintah profinsi Pendapatan bagi hasil pajak Pendapatan bagi hasil lainnya

Jumlah trasfer Pemerintah profinsi

Total Pendapatan Transfer (15 + 20 + 25)

11.248.000.000, 14.257.000.000, 10.148.428.700, 14.654.803.268, 12.966.929.750, 10.148.428.700 130,3 124,8 100 35 36 37 38 39 40 BELANJA APARATUR DAERAH Belanja pegawai Belanja barang dan jasa Belanja perjalanan dinas Belanja pemeliharaan Jumlah belanja Operasi

46.196.027.854, 192.156.818.013, 3.870.155.000 398.819.157.869, 941.126.519.257, 33.351.182.564, 144.738.187.353, 163.160.000, 372.052.212.933, 708.309.957.259, 72,12 75,32 4,21 93,2 82,91


(3)

(Rp) (RP.) 41 42 43 Belanja modal Belanja modal

Jumlah belanja modal Surplus/devisit 303.954.515.523, 303.954.515.523, 230.168.374.446, 230.168.374.443 75,72 75,72 44 45 46

Belanja Tak terduga Belanja Tak terduga

Jumlah belanja tak terduga

3.870.155.000, 3.870.155.000, 163.160.000, 163.160.000, 4.21 4,21 56 57 58 59 60 61 62 Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan

Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu

Trasfer dari dana cadangan Penerimaan pinjaman dan obligasi Hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan Jumlah Penerimaan 233.575.109.077.99 - - - 233.575.109.077,99 233.575.109.077,99 - - - 233.575.109.077,99 100 - - - 100 63 64 65 66 67 68 69 Pengeluaran pembiayaan Transfer ke dana cadangan Penyertaan modal

Pembayaran utang pokok yang jatuh tempo

Sisa lebih perhitungan anggaran tahun berjalan Jumlah pengeluaran Pembiayaan Netto - 4.761.000.000, 451.029.194,00 233.575.109.077,99 5.212.029.194, 228.363.079.883,99 - 4.761.000.000, 451.029.194,00 233.575.109.077,99 5.212.029.194 228.363.079.883,99 - 100 100 100 100 100

Sumber : LKPJ Kabupaten Labuhanbatu, 2007


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur).

1 47 113

Analisis Kinerja Pemerintah Daerah Di Daerah Pemekaran (Studi Pada Pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Samosir)

1 36 105

Analisis Pengaruh Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang

4 90 95

Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Daerah Studi Kasus pada Pemerintah Daeah Kabupaten Tobasa

2 34 104

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH ( Studi kasus pada Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak )

8 37 18

Pengaruh Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Studi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Cimahi)

27 272 63

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI.

0 1 9

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO.

0 0 13

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN ANGGARAN 2003-2005.

0 0 16

ANALISIS PENGARUH PEMBERLAKUAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH (Studi Kasus Di Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung).

0 1 102