Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur).

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

SKRIPSI

STUDI KOMPERATIF PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH

OTONOMI KHUSUS

(STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TIMUR)

OLEH:

NAMA : MOUNA FACHRIZAL R N I M : 040503101

DEPARTEMEN : AKUNTANSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini, Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur).

Adalah benar hasil karya sendiri dan judul dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan, atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi level Program S-1 Reguler Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Semua sumber data dan informasi yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya. Dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, Saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas.

Medan, 06 Maret 2008 Yang membuat pernyataan,

Mouna Fachrizal R N I M : 040503101


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puja dan puji penulis panjatkan

kepada Sang Pencipta Alam beserta isinya, Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan petunjuk yang tiada terhingga, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan Salam tak lupa pula penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman yang telah membawa cahaya Islam ke dunia ini dan juga ilmu pengetahuan kepada ummatnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini yaitu: Studi Komperatif Pengukuran Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur). Dalam menyelesaikan

penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga, pikiran serta dukungannya baik secara moril maupun materil. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak dan Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc, Ak, selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Ibu DR. Erlina, SE, M.Si, Ak selaku Dosen Pembimbing yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si, Ak dan Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah membantu penulis melalui saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan skripsi ini. 5. Bapak DR. Syafruddin Ginting, MAFIS, Ak selaku dosen wali penulis

selama menjalani perkuliahan, terima kasih atas nasihat dan motivasi yang selalu Bapak berikan.

6. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

7. Para pegawai Departemen Akuntansi, Bang Hairil, Bang Oyong, dan Kak Dame yang telah banyak membantu penulis mengenai administrasi di Departemen Akuntansi selama penulis menuntut ilmu. Serta Bang Kartun dan Kak Fida di PPAk yang juga selama ini telah banyak membantu penulis.

8. My beloved family di Langsa. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ridwan Hasan, BE, SKM beserta Ibunda Hawilah, yang selama hidup penulis telah merawat dan mengajar kebaikan kepada penulis dengan kesabaran dan kasih sayang yang tulus serta selalu mendoakan penulis untuk menjadi anak yang saleh dan pintar serta mampu mewujudkan


(5)

cita-cita mulia ini. Kedua orang adikku tersayang, Nurul Syafrina Ridwan, semoga tahun depan engkau juga dapat meraih gelar sarjanamu di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan Muhammad Ichsan Ridwan, semoga tahun depan engkau juga dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasarmu dan dapat masuk ke smp favorit.

9. Keluarga besar Alm. Ayahanda Syamsuddin Sulaiman di Jakarta: Alm. Ayahanda, Ibu, Bang Auli, Kak Venny, Bang Dedek, Kak Imel, Bang Ayi, Bang Epit, beserta keponakanku Khaira, yang selama ini juga telah banyak membantu penulis baik dari segi materi maupun non materi beserta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan penulis dengan baik. 10.Bang Bar dan Kak Nana, Bang Arif dan Kak Sani beserta para

keponakanku Dek Ija, Dek Aji, Dek Odan, Dek Amar, dan Dek Rara di Medan, terima kasih atas doa dan bantuannya selama penulis menuntut di Medan.

11.Bapak Zakaria di Bappeda Aceh Timur yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan keterangan dan data yang diperlukan selama penulis riset guna penyusunan skripsi ini.

12.Sahabat-sahabatku di akuntansi 04: Ajir, Riski, Mizan, Vira, Narwin, Juve, Melda, Lia, Indah, Edhu, Khairul, Hendra, Bembeng, Jarot, Fai, Ari, Tinus, Heru, Fendi, Zulfauzi, dan yang lain yang selama ini telah banyak membantu penulis selama kita kuliah bersama.

13.Abang-abang lating di akuntansi 03: Bang Bahtiar, Bang Nanda, Bang Didi, Bang Thamsir, Bang Riski serta Adik-adik lating di akuntansi 05 dan


(6)

06: Halim, Dedi, Dodi, Ramly, Hendrik, Ilham beserta yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan inspirasi bagi penulis.

14.Rekan-rekan penulis sesama Tentor di Bimbel Adzkia dan STAN Adzkia : Bang Surya, Kak Emi, Bang Kiki, Hari, Bang Wadiono, Pak Firdaus, beserta yang lainnya, terima kasih atas segalanya.

15.Teman-teman kos penulis selama ini : Bang Amril, Bang Kiki, Bang Benny, Bang Febry, Adri, dan Anggi, terima kasih untuk kebersamaan yang kita jalin selama ini.

16.Seluruh alumni maupun kepengurusan sekarang dari IPTR Komisariat USU dan BP2M FE USU, semoga senantiasa diridhai dan dirahmati oleh Allah SWT.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang akuntansi.

Medan, 06 Maret 2008 Penulis,

Mouna Fachrizal R N I M : 040503101


(7)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh penerapan status otonomi khusus bagi Kabupaten Aceh Timur terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus tersebut diberlakukan. Apakah dengan adanya status otonomi khusus ini, kinerja keuangan pemerintah daerah akan lebih baik ataupun sebaliknya. Kinerja keuangan dalam penelitian ini tertuang dalam beberapa rasio berdasarkan standar yang diberikan para ahli.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah laporan realisasi APBD dari tahun 1995 sampai tahun 2006. Tahun anggaran 2001 merupakan tahun dimulainya otonomi khusus di Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dalam bentuk studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan komparatif.

Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan berlakunya otonomi khusus ternyata tidak secara keseluruhan memperbaiki kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Secara umum derajat desentralisasi fiskal mengalami penurunan pada PAD/TPD, dan mengalami peningkatan pada BHPBP/TPD. Untuk tingkat kemandirian pembiayaan mengalami peningkatan pada PAD/BRNP, dan pada TPjD/PAD mengalami penurunan. Pada efisiensi penggunaan anggaran, TSA/TBD dan TPL/TPD mengalami peningkatan nilai. Untuk rasio tingkat kemandirian keuangan daerah setelah otonomi khusus terjadi penurunan nilai. Kemudian pada rasio aktifitas (rasio keserasian), untuk TBR/TAPBD terjadi peningkatan nilai, sedang pada TBP/TAPBD terjadi penurunan. Terakhir untuk rasio pertumbuhan, secara rata-rata pendapatan asli daerah dan total belanja pembangunan terjadi peningkatan nilai, sedang untuk total pendapatan daerah dan total belanja rutin terjadi penurunan nilai setelah otonomi khusus berlaku di Kabupaten Aceh Timur. Oleh karena itu, ada baiknya Pemerintah Kabupaten Aceh Timur segera merumuskan strategi dan kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan partisipasi aktif dan sesuai dengan kabutuhan dari masyarakat setempat.

Kata Kunci :Otonomi Khusus, kinerja keuangan, derajat desentralisasi fiskal, tingkat kemandirian pembiayaan, efisiensi penggunaan anggaran, rasio tingkat kemandirian keuangan daerah, rasio aktifitas (rasio keserasian), rasio pertumbuhan.


(8)

ABSTRACT

The purpose of this research is to see how the application of the status of the special autonomy in the regency of Aceh Timur (East Aceh) affects the local government’s financial performance. Is it true that after the application of the special autonomy, the financial performance of the local government improves? The financial performance in this research is revealed in some ratios based on the standardization given by experts.

In this research, the data employed is the report of the realization of APBD ( The estimation of local income and expenditure) from 1995 to 2006. The estimation year of 2001 is the year in which the special autonomy began to apply in East Aceh. The research employs the design of descriptive research in the form of case study. The available data are analyzed by using the descriptive and comparative methods.

The research summarizes that following the special autonomy the financial performance does not thoroughly improve in East Aceh. In general, the degree of fiscal decentralization has a decrease in PAD/TPD, and an increase in BHPBP/TPD. For the degree of financial independence, it has an increase in PAD/BRNP, and TPjD/ PAD has a decrease. In the efficiency of the estimation expenditure, TSA/TBD and TPL/TPD has an increase of value. The ratio of the financial independence degree of the local finance following the special autonomy has a decrease of value. Then the ratio of activity (the parallelism ratio) has an increase of value in TBR/ TAPBD, while in TBP/TAPBD it experiences a decrease. For the ratio of growth, averagely the genuine total income of the local government and the total expenditure of development has an increase of value, while the total regular income and expenditure experience a decrease of value following the special autonomy. Therefore, the local government of East Aceh is to formulate the strategy and policy to improve the financial performance in order to attain the sustainable development based on the active participation and adjusted with the needs of the local society.

Keywords : Special autonomy, financial performance, degree of fiscal decentralization, degree of financial independence, efficiency of estimation expenditure, ratio of the financial independence degree of local finance, ratio of activity (the parallelism ratio), ratio of growth.


(9)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ……… i

KATA PENGANTAR ……… ii

ABSTRAK ……… vi

ABSTRACT ……… vii

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ……… xi

DAFTAR GAMBAR ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Perumusan Masalah ……….. 7

C. Batasan Masalah ………... 8

D. Tujuan Penelitian ……….. 8

E. Manfaat Penelitian ……… 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis ……….. 10

1. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah Serta Otonomi Khusus……… 10

2. Peraturan dan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Keuangan Daerah……… 16


(10)

a. Pengertian Keuangan Daerah ……… 24

b. Gambaran Keuangan Daerah Pra Otonomi dan Pasca Otonomi……….……… 25

4. Kinerja Keuangan Daerah………. 33

a. Definisi dan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah……….………. 33

b. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah……….………. 35

c. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah…….. 35

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu ……….. 42

C. Kerangka Konseptual... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian………..……… 46

B. Jenis Data……….……….. 46

C. Teknik Pengumpulan Data………. 47

D. Metode Analisis Data…….……… 47

E. Jadwal dan Lokasi Penelitian………….……… 48

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Sejarah Singkat Kabupaten Aceh Timur…..………….…….. 49

B. Analisis Hasil Penelitian……….…… 50

1. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal……….. 50

2. Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan……….. 53


(11)

4. Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah…….…… 57 5. Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)... 59 6. Rasio Pertumbuhan... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……….. 64

B. Saran ………. 67

DAFTAR PUSTAKA ..……… 69


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Hal

2.1 Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Daerah 17

2.2 Perubahan Setelah PP No. 105 Tahun 2000 19

2.3 Perubahan Setelah Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 20

2.4 Perbandingan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dengan

PP No. 24 Tahun 2005 21

2.5 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal 38

4.1 Derajat Desentralisasi Fiskal Sebelum Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 52

4.2 Derajat Desentralisasi Fiskal Sesudah Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 53

4.3 Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sebelum Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 54

4.4 Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sesudah Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 55

4.5 Efisiensi Penggunaan Anggaran Sebelum Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 57

4.6 Efisiensi Penggunaan Anggaran Sesudah Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 57

4.7 Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum


(13)

Tabel Judul Hal 4.8 Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sesudah

Otonomi Khusus Pada Kabupaten Aceh Timur 59

4.9 Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sebelum Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 60

4.10 Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sesudah Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh 61

4.11 Rasio Pertumbuhan Sebelum Otonomi Khusus

Pada Kabupaten Aceh Timur 62

4.12 Rasio Pertumbuhan Sesudah Otonomi Khusus


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Hal


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul

1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1995 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1996 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1997 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1998 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1999 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2000 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2001 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2002 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2003 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2004


(16)

1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2005 1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2006 2 Diagram Garis Derajat Desentralisasi Fiskal Sebelum

Otonomi khusus

2 Diagram Garis Derajat Desentralisasi Fiskal Sesudah Otonomi khusus

2 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Derajat

Desentralisasi Fiskal sebelum dan sesudah otonomi khusus 3 Diagram Garis Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sebelum

Otonomi Khusus

3 Diagram Garis Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sesudah Otonomi Khusus

3 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Tingkat

Kemandirian Pembiayaan Sebelum dan Sesudah Otonomi

Khusus

4 Diagram Garis Efisiensi Penggunaan Anggaran Sebelum Otonomi Khusus

4 Diagram Garis Efisiensi Penggunaan Anggaran Sesudah Otonomi Khusus


(17)

4 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Efisiensi Penggunaan Anggaran Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus

5 Diagram Garis Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum Otonomi Khusus

5 Diagram Garis Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Khusus

5 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus

6 Diagram Garis Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sebelum Otonomi Khusus

6 Diagram Garis Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sesudah Otonomi Khusus

6 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Rasio Aktifitas

(Rasio Aktifitas) Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus

7 Diagram Garis Rasio Pertumbuhan Sebelum Otonomi Khusus

7 Diagram Garis Rasio Pertumbuhan Sesudah Otonomi Khusus

7 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Rasio


(18)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh penerapan status otonomi khusus bagi Kabupaten Aceh Timur terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus tersebut diberlakukan. Apakah dengan adanya status otonomi khusus ini, kinerja keuangan pemerintah daerah akan lebih baik ataupun sebaliknya. Kinerja keuangan dalam penelitian ini tertuang dalam beberapa rasio berdasarkan standar yang diberikan para ahli.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah laporan realisasi APBD dari tahun 1995 sampai tahun 2006. Tahun anggaran 2001 merupakan tahun dimulainya otonomi khusus di Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dalam bentuk studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan komparatif.

Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan berlakunya otonomi khusus ternyata tidak secara keseluruhan memperbaiki kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Secara umum derajat desentralisasi fiskal mengalami penurunan pada PAD/TPD, dan mengalami peningkatan pada BHPBP/TPD. Untuk tingkat kemandirian pembiayaan mengalami peningkatan pada PAD/BRNP, dan pada TPjD/PAD mengalami penurunan. Pada efisiensi penggunaan anggaran, TSA/TBD dan TPL/TPD mengalami peningkatan nilai. Untuk rasio tingkat kemandirian keuangan daerah setelah otonomi khusus terjadi penurunan nilai. Kemudian pada rasio aktifitas (rasio keserasian), untuk TBR/TAPBD terjadi peningkatan nilai, sedang pada TBP/TAPBD terjadi penurunan. Terakhir untuk rasio pertumbuhan, secara rata-rata pendapatan asli daerah dan total belanja pembangunan terjadi peningkatan nilai, sedang untuk total pendapatan daerah dan total belanja rutin terjadi penurunan nilai setelah otonomi khusus berlaku di Kabupaten Aceh Timur. Oleh karena itu, ada baiknya Pemerintah Kabupaten Aceh Timur segera merumuskan strategi dan kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan partisipasi aktif dan sesuai dengan kabutuhan dari masyarakat setempat.

Kata Kunci :Otonomi Khusus, kinerja keuangan, derajat desentralisasi fiskal, tingkat kemandirian pembiayaan, efisiensi penggunaan anggaran, rasio tingkat kemandirian keuangan daerah, rasio aktifitas (rasio keserasian), rasio pertumbuhan.


(19)

ABSTRACT

The purpose of this research is to see how the application of the status of the special autonomy in the regency of Aceh Timur (East Aceh) affects the local government’s financial performance. Is it true that after the application of the special autonomy, the financial performance of the local government improves? The financial performance in this research is revealed in some ratios based on the standardization given by experts.

In this research, the data employed is the report of the realization of APBD ( The estimation of local income and expenditure) from 1995 to 2006. The estimation year of 2001 is the year in which the special autonomy began to apply in East Aceh. The research employs the design of descriptive research in the form of case study. The available data are analyzed by using the descriptive and comparative methods.

The research summarizes that following the special autonomy the financial performance does not thoroughly improve in East Aceh. In general, the degree of fiscal decentralization has a decrease in PAD/TPD, and an increase in BHPBP/TPD. For the degree of financial independence, it has an increase in PAD/BRNP, and TPjD/ PAD has a decrease. In the efficiency of the estimation expenditure, TSA/TBD and TPL/TPD has an increase of value. The ratio of the financial independence degree of the local finance following the special autonomy has a decrease of value. Then the ratio of activity (the parallelism ratio) has an increase of value in TBR/ TAPBD, while in TBP/TAPBD it experiences a decrease. For the ratio of growth, averagely the genuine total income of the local government and the total expenditure of development has an increase of value, while the total regular income and expenditure experience a decrease of value following the special autonomy. Therefore, the local government of East Aceh is to formulate the strategy and policy to improve the financial performance in order to attain the sustainable development based on the active participation and adjusted with the needs of the local society.

Keywords : Special autonomy, financial performance, degree of fiscal decentralization, degree of financial independence, efficiency of estimation expenditure, ratio of the financial independence degree of local finance, ratio of activity (the parallelism ratio), ratio of growth.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 1998 Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami krisis ekonomi yang pada akhirnya melahirkan krisis multi dimensi yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu yang dirasakan pada saat itu adalah sentralisasi Pemerintah Pusat yang dirasakan amat besar, terutama sejak orde baru. Terjadinya krisis ini juga tidak terlepas karena tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Menanggapi hal tersebut, sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik Indonesia menerapkan Desentralisasi (otonomi daerah) yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan UU No.32 tahun 2004) tentang “Pemerintah daerah” dan UU No. 25 tahun 1999 (diganti dengan UU No. 33 tahun 2004) tentang “Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah”. UU No. 22 tahun 1999 pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan atas dasar desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor” sedangkan pemerintah propinsi sebagai koordinator. Atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah daerah menjadi lebih besar dari sebelumnya, dimana daerah (dalam hal ini Propinsi, Kabupaten atau Kota) berhak untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Salah satu implementasi hal tersebut adalah Pemerintah Daerah mempunyai wewenang


(21)

dalam mengatur ekonomi daerah tanpa campur tangan/dipengaruhi secara mutlak oleh Pemerintah pusat.

Menurut Yuwono, dkk (2005:50) ”Paket undang-undang otonomi daerah ini mengamanatkan tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD”. Era otonomi daerah ini memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai kebijakannya sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Otonomi atau desentralisasi perlu dilakukan karena tidak ada suatu pemerintahan dari suatu negara yang luas mampu secara efektif membuat kebijakan publik di segala bidang ataupun mampu melaksanakan kebijakan tersebut secara efisien diseluruh wilayah tersebut. Dengan adanya desentralisasi diharapkan beban pemerintah pusat dapat berkurang. Desentralisasi juga diharapkan akan mempercepat pelayanan kepada masyarakat.

Krisis ekonomi di Indonesia yang antara lain disebabkan oleh tata cara penyelengaraan pemerintah yang tidak dikelola dan diatur dengan baik, sehingga timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.

Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Pada saat ini,


(22)

banyak pihak yang menyerukan tentang Good Governance. Good Governance atau tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan

administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat (UNDP : Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan).

Secara sempit dapat pula diartikan bahwa Good Governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar, dan masyarakat.

Otonomi daerah sangat identik dengan tuntutan adanya Good Governance. Menurut Krina P (2003) setidaknya ada tiga pilar Good Governance, yaitu akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi. Salah satu upaya nyata mewujudkan akuntabilitas dan transparansi ini adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum.

Untuk itu Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dimana dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap pemerintah, baik pusat maupun daerah harus menyusun laporan keuangan sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keluarnya PP nomor 24 tahun 2005 merupakan salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.


(23)

Kaho dalam Munir, dkk (2004:92) menyatakan bahwa ”Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik”. Istilah keuangan disini mengandung arti bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Selanjutnya Munir, dkk (2004:93) menyatakan bahwa

Untuk menciptakan suatu pemerintah daerah yang baik dan yang dapat melaksanakan tugas otonominya dengan baik, maka faktor keuangan ini mutlak diperlukan”. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Hal ini mudah dipahami, karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakatnya tanpa tersedianya dana untuk itu.

Dengan bergulirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding sebelum otonomi daerah. Aspek pertama dalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dangan kekuatan utama pada kemampuan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah (Desentralisasi Fiskal). Aspek kedua yaitu di sisi manajemen pengeluaran daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah harus


(24)

lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai reformasi pembiayaan atau Financing Reform (Mardiasmo, 2002:50).

Reformasi pembiayaan merupakan bagian integral dari reformasi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi ketentuan/instrumen keuangan daerah. Instrumen yang mengatur penerimaan daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang diikuti dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 dan PP Nomor 66 Tahun 2001. Di bidang pengeluaran daerah, telah dikeluarkan PP No. 105, PP No. 106, PP No. 107, PP No. 108 dan PP No. 109 serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002.

Terkait dengan otonomi khusus, yaitu suatu otonomi yang lebih luas dari otonomi daerah, Nanggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu propinsi di Indonesia yang memperoleh keistimewaan dari Pemerintah Pusat dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah (dalam hal ini adalah propinsi serta kabupaten/kota dalam wilayah NAD) dalam menjalankan pemerintahan, maka Pemerintah Pusat memberikan status otonomi khusus bagi Propisi DI Aceh. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU No.44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi DI Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta baru-baru ini juga telah disahkan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Dengan memperoleh status otonomi khusus ini, tentunya Propinsi NAD beserta Kabupaten


(25)

atau Kota yang berada didalamnya memperoleh hak –hak khusus yang tidak diperoleh oleh daerah lainnya. Salah satu hak tersebut adalah hak untuk mengatur dan mengelola keuangan daerah sepenuhnya dengan alokasi dana yang besar serta pembagian porsi kekayaan daerah yang lebih besar dimiliki oleh daerah dibandingkan dengan pusat. Sebagai contoh, dalam UU No.18 tahun 2001 disebutkan Propinsi NAD akan memperoleh dana penerimaan dalam rangka otonomi khusus yaitu bagi hasil sumber daya alam yang ada di Propinsi NAD setelah dikurangi pajak yaitu sebesar 55% untuk minyak bumi, dan 40% untuk gas alam selama delapan tahun sejak UU No.18 tahun 2001 tersebut berlaku. Kemudian dalam Undang-Undang No.11 tahun 2006 tersebut menyatakan bahwa Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan memperoleh Dana Alokasi Umum (DAU) sebanyak 2% dari seluruh DAU nasional. Selain itu, Propinsi NAD juga akan memperoleh dana-dana lainnya seperti dana migas, dana otsus, dan lain sebagainya. Tentunya hal ini akan mengakibatkan atau membawa perubahan yang begitu besar bagi daerah. Kabupaten/kota yang ada di Propinsi NAD, tentunya ikut merasakan perubahan akibat adanya perubahan ini dengan diberlakukannya otonomi khusus tersebut. Dalam hal ini tentunya perubahan yang sangat kentara ada pada keuangan daerah. Dalam hal ini, tentu ada perbedaan sebelum dan sesudah adanya otonomi khusus ini yang dapat kita lihat pada beberapa rasio keuangan daerah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Kabupaten Aceh Timur, sebagai kabupaten yang termasuk tertua di Propinsi NAD (kabupaten ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia) tentunya selama ini telah ikut menjadi saksi bisu tentang perjalanan


(26)

kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara ini. Kabupaten Aceh Timur tentunya ikut merasakan adanya efek dari penerapan status otonomi khusus ini, karena sebagai kabupaten yang memang telah ada sejak lama tentunya dapat dilihat efek dari penerapan tersebut sebelum dan sesudah otonomi khusus berlaku.

Dari uraian diatas dikatakan bahwa dengan adanya otonomi khusus ini, perubahan paling kentara ada pada bidang keuangan. Dengan otonomi khusus ini maka daerah memperoleh banyak tambahan dana. Diharapkan dengan dana yang banyak ini maka kesejahteraan rakyat di Propinsi NAD khususnya di Kabupaten Aceh Timur dapat naik atau menjadi lebih baik dari sebelumnya, karena memang otonomi daerah dan otonomi khusus ini diterapkan agar kesejahteraan rakyat dapat meningkat, serta kinerja dari pemerintah daerah dapat menjadi lebih baik juga dari sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana tingkat atau kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan diterapkannya status otonomi khusus ini yang akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul :

“Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur)”.

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan adanya uraian pada latar belakang masalah sebelumnya, maka penulis mencoba merumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu :


(27)

Bagaimanakah kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur sebelum dan sesudah diberlakukannya Otonomi khusus?”

C. Batasan Masalah

Kinerja pemerintah daerah bisa dinilai dari aspek finansial dan nonfinansial. Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis berdasarkan aspek finansial saja dengan mengacu pada rasio keuangan berdasarkan instrumen yang terdapat pada Laporan Realisasi APBD. Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada pengukuran kinerja keuangan dengan menggunakan berbagai rasio keuangan pemerintah daerah seperti: derajat desentralisasi fiskal, tingkat kemandirian pembiayaan, rasio efisiensi penggunaan anggaran, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio aktifitas (rasio keserasian), dan rasio pertumbuhan. Data keuangan yang dipakai adalah dari tahun 1995-2006. Dalam penelitian ini, tahun 2001 adalah tahun dimana Kabupaten Aceh Timur menerima status otonomi khusus.

D. TujuanPenelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan informasi apakah dengan diberlakukannya otonomi khusus, maka kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur sebagai kabupaten yang berada dalam wilayah Propinsi NAD (Propinsi yang menerima otonomi khusus dari Pemerintah Pusat) akan lebih baik atau lebih buruk dibanding sebelum diberlakukannya otonomi khusus.


(28)

E. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual untuk

menambah pengetahuan bagaimana menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah.

2. Bagi Pemerintah Daerah, dapat menjadi sumbangan pemikiran mengenai kinerja keuangan selama ini.

3. Bagi pihak lain atau pembaca, serta akademisi penelitian ini dapat memberikan gambaran dan masukan dalam melakukan penelitian dalam bidang yang sama atau sejenis.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah Serta Otonomi Khusus

Sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi yang kemudian lebih identik dengan istilah otonomi daerah. Penerapan ini dengan didasarkan atau mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 (sekarang diganti dengan UU No. 32 tahun 2004) tentang ”Pemerintah Daerah”, dan UU No. 25 Tahun 1999 (sekarang menjadi UU No. 33 Tahun 2004) tentang ”Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”. Untuk beberapa daerah dalam perkembangan lebih lanjut, dengan memperhatikan berbagai macam aspek ataupun faktor, ada daerah yang kemudian diterapkan status otonomi khusus seperti untuk daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimasud dengan daerah otonom dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus


(30)

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Suparmoko (2002 : 18) “Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat”.

Dengan berlakunya otonomi, maka Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten/kota diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan, karena pada hakikatnya otonomi daerah diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan


(31)

keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu: menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Moh. Hatta dalam Indra Bastian (2006:3) menyatakan bahwa:

Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, rakyat dimungkinkan tidak saja untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi yang terutama, rakyat dapat memperbaiki nasibnya sendiri.

Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika dikaitkan dengan sistem hubungan keuangan pusat dan daerah, maka pengertian otonomi dan desentralisasi saling berkaitan. Oleh sebab itu, didalam setiap pendistribusian fungsi atau kewenangan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah harus disertai atau diikuti dengan distribusi pembiayaan atau keuangan yang memadai.


(32)

Indra Bastian (2006:3) mengatakan bahwa otonomi daerah di Indonesia setidaknya mempunyai empat ciri yaitu:

1. Pemekaran dearah administratif pemerintahan. 2. Tuntutan kemandirian fiskal di pemerintah daerah.

3. Peningkatan pelayanan publik dan kesejahreraan masyarakat.

4. Pengalihan kewenangan beberapa sektor dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Menurut Halim (2002:25) ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah

1. Kamampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan

2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan.

Selanjutnya, mengenai otonomi khusus pada hakikatnya atau pada dasarnya tidak begitu berbeda dengan otonomi daerah. Otonomi khusus adalah pengembangan dari otonomi daerah yang diberikan oleh Pemerintah Pusat hanya kepada daerah-daerah tertentu karena pada daerah tersebut memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sampai dengan saat ini daerah yang diberikan status otonomi


(33)

khusus di Indonesia hanya ada tiga daerah yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Maluku (Reksohadiprodjo, 2001). Daerah-daerah ini memperoleh status otonomi tersebut karena situasi dan kondisi yang terjadi di daerah tersebut, yang kemudian menjadikan Pemerintah Pusat pada akhirnya memberikan status otonomi khusus tersebut bagi ketiga daerah ini. Pada skripsi ini yang menjadi fokus adalah otonomi khusus yang diterapkan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Perjalanan pemberian status otonomi khusus bagi Propinsi NAD diawali dengan lahirnya UU No. 44 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini diatur mengenai keistimewaan daerah Aceh. Keistimewaan tersebut merupakan kewenangan khusus untuk menyelengggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Undang-undang ini belum mengatur hal-hal yang lain seperti tentang keuangan, politik, dan sebagainya. Kemudian, pada tahun 2001 lahirlah UU No. 18 Tahun 2001. UU No. 18 Tahun 2001 dalam penjelasannya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi khusus adalah pemberian kesempatan yang lebih luas kepada daerah yang dimaksud untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk dalam menggali sumber-sumber ekonomi daerah, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreatifatas, dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidpan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi


(34)

NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi NAD dan mengaplikasikan syariat islam dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kewenangan yang didapat pemerintah daerah (yaitu pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota) cakupannya juga lebih luas dari yang tercantum dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Selain itu, yang terpenting dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini adalah pengenalan istilah Qanun sebagai pengganti istilah Peraturan Daerah. Yang menarik, qanun di Propinsi NAD ini dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap qanun. Secara sederhana ini dapat berarti bahwa segala macam perundang-undangan dan segala macam peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia akan dapat disesuaikan pelaksanaannya di Propinsi NAD melalui qanun ini. Dan terakhir pada tahun 2006 yang lalu lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini adalah penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 2001. Dalam UU ini diatur secara komprehensif mengenai penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Dalam UU ini juga terdapat istilah yang hanya berlaku di Propinsi NAD yaitu: untuk APBD penyebutannya menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) bagi propinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota bagi kabupaten atau kota. Serta penyebutan DPRD menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bagi propinsi serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota bagi kabupaten/kota.


(35)

2. Peraturan dan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Keuangan Daerah

Sejak otonomi daerah mulai diberlakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia maka sejak saat itu sampai dengan sekarang telah banyak peraturan serta perundang-undangan yang dibuat. Peraturan tersebut mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, serta peraturan menteri. Kesemuanya dibuat agar pelaksanaan otonomi dapat berjalan dengan baik. Seperti diketahui, hal yang paling esensial dari adanya otonomi daerah ini adalah pada bidang keuangan. Bidang keuangan merupakan kunci dari penentu berhasil atau tidaknya otonomi daerah diterapkan di daerah-daerah di indonesia (Halim, 2002).

Menurut Mahmudi dalam Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik (2006:23) menyatakan bahwa perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah, dilihat dari aspek historis, dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu “Era sebelum otonomi daerah, Era transisi otonomi, era pascatransisi”.

Era pra-otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde Baru mulai tahun 1975 sampai 1999. Era transisi ekonomi adalah masa antara tahun 1999 hingga 2004, dan era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004, UU Nomor 15 Tahun 2004, UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004.


(36)

Tabel 2.1

Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Daerah Pra-Otonomi Daerah &

Desentralisasi Fiskal 1999 Transisi otonomi Pascatransisi Otonomi

Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi , 2006

PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah memiliki keterkaitan dengan PP Nomor 108 tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Pengelolaan keuangan daerah secara khusus diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 105 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa:

1. Ketentuan tentang pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

UU No. 5 Tahun 1974

PP No. 5&6 Tahun 1975

Manual Administrasi Keuangan Daerah

UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 25 Tahun 1999

PP No. 105 Tahun 2000

Kepmendagri No. 29 Tahun 2002

Peraturan Daerah

Keputusan KDH

UU No. 17 Tahun 2003 UU No. 1 Tahun 2004 UU No. 15 Tahun 2004 UU No. 25 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 33 Tahun 2004

PP No. 24 Tahun 2005 PP No. 58 Tahun 2005

Permendagri No. 13 Tahun 2006


(37)

2. Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah; dan

3. Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 tersebut, kemudian Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut merupakan petunjuk teknis pelaksanaan PP Nomor 105 Tahun 2000 di bidang pengelolaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah.

PP Nomor 105 Tahun 2000 (saat ini telah diganti dengan PP Nomor 58 Tahun 2005) dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 (saat ini telah diganti dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006) memberikan pendekatan baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Perubahan-perubahan yang terjadi cukup besar, namun tetap dilakukan secara bertahap evolusioner sesuai semangat reformasi, tidak radikal dan evolusioner. Perubahan itu sudah sampai pada teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem akuntansi dan prosedur pencatatan, dokumen dan formulir yang digunakan, fungsi-fungsi otorisasi untuk jutuan sistem pengendalian internal, laporan dan pengawasan. Berbagai perubahan dari pola lama ke pola baru yang diakibatkan kedua peraturan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:


(38)

Tabel 2.2.

Perubahan setelah PP Nomor 105 Tahun 2000 PP 105 Tahun 2000

PERUBAHAN YANG MENDASAR

LAMA BARU

Sistem Anggaran Tradisional dengan ciri:

Line-Item & Incrementalism

Sistem Anggaran Kinerja (Performance Budget) Sistem Anggaran Berimbang Sistem Anggaran Defisit Struktur Anggaran:

• Pendapatan, dan • Belanja

Struktur Anggaran: • Pendapatan, • Belanja, dan • Pembiayaan Belanja dibagi:

• Belanja rutin

• Belanja Pembangunan

Belanja Dikategorikan:

• Belanja Administrasi Umum, • Belanja Operasi dan

Pemeliharaan, • Belanja Modal,

• Belanja tidak Tersangka Belanja dipisahkan per sektor; tidak ada

pemisahan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur

Belanja dipisahkan menjadi: • Belanja Aparatur, dan • Belanja Publik

Pinjaman sebagai komponen Pendapatan

Pinjaman sebagai komponen pembiayaan

Laporan Pertanggungjawaban: Nota Perhitungan APBD

Laporan Pertanggungjawaban : • Neraca

• Laporan Arus Kas

• Laporan Perhitungan APBD • Nota Perhitungan APBD Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi , 2006:26

Perubahan yang signifikan yang diakibatkan oleh Kepmendagri 29/2002, yaitu terkait dengan penatausahaan keuangan daerah. Perubahan itu sudah sampai pada teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem akuntansi dan prosedur pencatatan, dokumen dan formulir


(39)

Tabel 2.3

Perubahan Setelah Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 KEPMENDAGRI NOMOR 29 TAHUN 2002

PERUBAHAN YANG MENDASAR

LAMA BARU

Struktur APBD: • Pendapatan • Belanja Struktur APBD: • Pendapatan • Belanja • Pembiayaan

Arah dan Kebijakan Umum APBD

Pemegang Kas Daerah Bendaharawan Umum Daerah

Bendaharawan Rutin & Pembangunan Satuan Pemegang Kas & Pembantu Pemegang Kas

Pembukuan Tunggal (single entry) Pembukuan Berpasangan (double entry) Akuntansi Berbasis Kas Akuntansi Berbasis Kas Modifikasian Tidak ada Kebijakan Akuntansi Kebijakan Akuntansi

Tidak Dikenal Depresiasi Aktiva Tetap Pembukuan Asset Daerah: • Nilai Buku

• Depresiasi & Kapitalisasi • Penghapusan Asset • Manajemen Asset Daerah Belum diwajibkan membuat Laporan

Keuangan berupa Neraca dan Laporan Arus Kas

Sistem Akuntansi Keuangan Daerah: • Sistem Pengendalian Internal • Prosedur Akuntansi

• Dokumen/Formulir & Catatan Akuntansi

• Manajemen Asset Daerah Pengawasan oleh banyak pihak:

Itwilprop, Itwilkab/ko, Irjen, BPKP, dan BPK

Pengawasan Internal Pengelolaan Keuangan Daerah

Bawasda Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006:27

Perubahan UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 menimbulkan implikasi perlunya dilakukan revisi peraturan perundang-undangan dibawahnya terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, seperti PP Nomor 105, PP Nomor 108, dan Kepmendagri


(40)

Nomor 29 Tahun 2002. Sementara itu, pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pada dasarnya antara PP Nomor 24 Tahun 2005 mengatur tentang standar akuntansi, sedangkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 lebih banyak mengatur tentang sistem akuntansi pemerintah daerah (Mahmudi, 2006:29).

Tabel 2.4

Perbandingan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dengan PP No. 24 Tahun 2005

Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 PP No. 24 Tahun 2005

Basis Kas Modifikasian Menuju Basis Akrual

Basis Kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan (Laporan L/R) Basis akrual untuk pencatatan asset, kewajiban dan ekuitas dana (Neraca) Aktiva Tetap diakui pada akhir periode

dengan menyesuaikan Belanja Modal yang telah terjadi

Aktiva/asset tetap diakui pada saat hak kepemilikan berpindah dan atau saat diterima

Aktiva Tetap selain tanah didepresiasi dengan metode garis lurus berdasarkan umur ekonomisnya

Aktiva Tetap selain tanah dapat

didepresiasi dengan metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode unit produksi

Terdapat dana depresiasi Tidak terdapat dana depresiasi

Kewajiban diakui menjadi belanja aparatur dan belanja publik

Diakui pada saat dana pinjaman diterima dan atau kewajiban timbul

Jenis Laporan Keuangan:

• Neraca

• Laporan Perhitungan APBD

• Laporan Aliran Kas

• Nota Perhitungan APBD

Jenis Laporan Keuangan:

• Neraca

• Laporan Realisasi Anggaran

• Laporan Arus Kas

• Catatan atas Laporan Keuangan Belanja dikelompokkan menjadi aparatur

dan belanja publik

Tidak terdapat ketentuan mengelompokkan belanja aparatur dan belanja publik


(41)

Belanja dikategorikan:

• Belanja administrasi umum

• Belanja operasi dan pemeliharaan

• Belanja modal

• Belanja tidak tersangka

Masing-masing belanja dikelompokkan menjadi:

• Belanja Pegawai dan Personalia

• Belanja Barang dan Jasa

• Belanja Perjalanan Dinas

• Belanja Pemeliharaan

Belanja dikelompokkan menurut klasifikasi ekonomisnya yaitu:

Belanja Operasi

• Belanja pegawai

• Belanja barang

• Bunga

• Subsidi

• Hibah

• Bantuan sosial Belanja Modal Belanja Tak Terduga Laporan Aliran Kas dikelompokkan dalam

tiga aktivitas yaitu:

• Aktivitas Operasi

• Aktivitas Investasi

• Pembiayaan

Laporan Arus Kas dikelompokkan dalam empat aktivitas, yaitu

• Aktivitas operasi

• Aktivitas investasi

• Pembiayaan

• Aktivitas non-anggaran

Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006:30

Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.

PP No. 58 Tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang selama ini dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki persamaan yang sangat mendasar khususnya landasan filosofis yang mengedepankan prinsip efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas. Sedangkan perbedaan, dalam pengaturan yang baru dilandasi pemikiran yang lebih mempertegas dan menjelaskan pengelolaan keuangan daerah, sistem dan prosedur serta


(42)

kebijakan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dibidang penatausahaan, akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.

Tujuan dikeluarkannya PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No.13 Tahun 2006 adalah agar pemerintah daerah dapat menyusun Laporan Keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yaitu PP No.24 Tahun yang merupakan panduan atau pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyajikan keuangan yang standar, bagaimana perlakuan akuntansi, serta kebijakan akuntansi.

Khusus untuk Propinsi NAD mengenai regulasi tentang keuangan daerah telah diatur dalam Qanun No. 7 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan. Dalam qanun ini dikatakan bahwa Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan umum dalam pengelolaan keuangan. Asas dalam pengelolaan keuangan adalah tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan azas keadilan dan kepatutan, dengan APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan. Dan setiap rancangan APBD harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPRD. Serta DPRD, aparat pengawasan fungsional, dan masyarakat dapat mengawasi mengenai pelaksanaan dari APBD. Adapun bentuk pertanggungjawaban kepala daerah mengenai pelaksanaan APBD adalah dalam bentuk: laporan perhitungan APBD, nota perhitungan APBD, laporan aliran kas, dan neraca daerah.


(43)

3. Keuangan Daerah

a. Pengertian Keuangan Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut.

Menurut Munir, dkk (2004:96) “Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran yang meliputi Pendapatan dan Belanja Daerah”.

Menurut Mamesah (Halim, 2007:23) menyatakan bahwa “Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku.”

Pemerintah daerah selaku pengelola dana publik harus menyediakan informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, teapt waktu, dan dapat dipercaya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki sistem informasi akuntansi yang handal.

Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2007:25) menyatakan terdapat 2 hal yang perlu dijelaskan, yaitu

a. Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil


(44)

perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah.

b. Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.

b. Gambaran Keuangan Daerah Pra Otonomi dan Pasca Otonomi

Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era sebelum otonomi dilaksanakan terutama dengan berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Pengertian daerah menurut Undang-undang ini adalah ”Tingkat I, yaitu propinsi dan daerah tingkat II, yaitu kabupaten atau kotamadya”.

Disamping itu ada beberapa peraturan yang lain yang menjadi dasar pelaksanaan menajemen keuangan daerah pada era sebelum otonomi. Peraturan-peraturan tersebut sebagaimana dikutip Halim (2007:2) antara lain :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Daerah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-009 Tahun 1989 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah.

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD.

5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

6. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan APBD.


(45)

Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, dapat disimpulkan beberapa ciri pengelolaan keuangan daerah di era sebelum otonomi, antara lain (Halim, 2007:2)

1. Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD (Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1975). Artinya, tidak terdapat pemisahan secara konkret antara eksekutif dan legislatif.

2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari

pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975).

3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas: a. Perhitungan APBD

b. Nota Perhitungan APBD

c. Perhitungan Kas dan Pencocokan antara Sisa Kas dan Sisa Perhitungan dilengkapi dengan lampiran Ringkasan Pendapatan dan Belanja (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 dan Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999).

4. Pinjaman, baik pinjaman PEMDA maupun pinjaman BUMD diperhitungkan sebagai pendapatan pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri No. 903-057 Tahun 1988 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah masuk dalam pos penerimaan pembangunan. 5. Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah

Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD saja, belum melibatkan masyarakat.

6. Indikator kinerja Pemerintah Daerah mencakup: a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya.

b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya. c. Target dan persentase fisik proyek yang tercantum dalam

penjabaran Perhitungan APBD (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, Penyusunan Perhitungan APBD).

7. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD baik yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD tidak mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah.

Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru (sebelum otonomi daerah) didasarkan pada UU. No. 5


(46)

Tahun 1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, undang-undang tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut undang-undang ini sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintah pusat.

Sumber pembiayaan pemerintah daerah menurut UU. No. 5 Tahun 1974 pasal 55 terdiri dari 3 komponen besar yaitu (Munir, dkk, 2004:45)

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi: a.Hasil pajak daerah

b.Hasil retribusi daerah

c.Hasil perusahaan daerah (BUMD) d.Lain-lain hasil usaha daerah yang sah.

2. Pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat, meliputi: a.Sumbangan dari pemerintah

b.Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari Pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat


(47)

lewat APBN. Berbagai penelitian empiris yang pernah dilakukan menyebutkan bahwa dari ketiga sumber pendapatan daerah tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.

Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan satu paket undang otonomi daerah, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-Undang-undang No.32 Tahun 2004) Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undnag N0. 25 Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-undang No. 33 Tahun 2004) Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 22 perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25.

Setelah keluarnya kedua undang-undang tersebut, pemerintah juga mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan. Beberapa peraturan pelaksanaan antara lain (Halim, 2007:3)

1. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

5. Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001.

6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, serta Penyusunan Perhitungan APBD. 7. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.


(48)

8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah memiliki karakteristik yang berbeda dari pengelolaan keuangan daerah sebelum otonomi daerah. Karakteristik tersebut antara lain (Halim, 2007:4)

1. Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, juga Kotamadya tidak lagi digunakan.

2. Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat lainnya. Pemerintah Daerah ini adalah badan eksekutif, sedang badan legislatif di daerah adalah DPRD (pasal 14 UU No.22 Tahun 1999). Oleh karena itu, terdapat pemisahan yang nyata antara legislatif dan eksekutif.

3. Perhitungan APBD menjadi satu laporan dengan

Pertanggungjawaban Kepala Daerah (pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000).

4. Bentuk Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri dari atas:

a. Laporan Perhitungan APBD b. Nota Perhitungan APBD c. Laporan Aliran Kas

d. Neraca Daerah dilengkapi dengan penilaian berdasarkan tolak ukur Renstra (pasal 38 PP Nomor 105 Tahun 2000).

5. Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukakn hak Pemerintah Daerah), tetapi masuk dalam pos Penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemerintah Daerah). 6. Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusuan APBD

disamping Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD.

7. Indikator kinerja Pemerintah Daerah tidak hanya mencakup: a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya

b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya

c. Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan.

8. Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya Laporan Perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD.


(49)

Dengan telah digantikannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, maka berbagai peraturan pemerintah dan peraturan lain dibawahnya perlu disesuaikan lagi. Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.

Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.

1. Pendapatan Daerah bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah

b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan. 2. Pembiayaan bersumber dari:

a. Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; b. Penerimaan Pinjaman daerah;

c. Dana cadangan daerah; dan


(50)

PAD bersumber dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan lain-lain PAD yang sah meliputi:

a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. Jasa giro;

c. Pendapatan bunga;

d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;dan e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari

penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Bagi Propinsi NAD, dengan mengacu pada UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, maka penerimaan daerah berasal dari:

a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; c. Dana Otonomi Khusus

d. Lain-lain pendapatan yang sah.

Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota se Aceh terdiri atas:

a. Pajak daerah b. Retribusi daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik Aceh/kabupaten/kota dan hasil penyertaan modal Aceh/kabupaten/ kota


(51)

d. Zakat

e. Lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah.

Dana perimbangan sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil pajak.

b. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain.

c. Dana Alokasi Umum. d. Dana Alokasi Khusus.

Selain Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud diatas, Pemerintah Aceh mendapat tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu:

Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja administrasi umum, dan belanja operasi dan pemeliharaan.

b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan fisik dan disebut sebagai belanja modal. c. Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasil dan bantuan


(52)

pengeluaran tidak tersangka dengan istilah dan maksud yang sama seperti sebelum otonomi daerah.

d. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dari dana perimbangan / bagi hasil pajak dan bukan pajak.

4. Kinerja Keuangan Daerah

Tahap setelah operasionalisasi anggaran adalah pengukuran kinerja untuk menilai prestasi manajer dan unit organisasi yang dipimpinnya. Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas bukan sekadar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien , dan efektif.

a. Defenisi dan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Menurut Mahsun (2006 : 25) “Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang teruang dalam stategic planning suatu organisasi”.

Disamping itu, menurut Sedarmayanti (2003 : 64) “Kinerja (performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan standar yang telah ditentukan”.


(53)

Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability (knowladge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan sumber daya aparatur pemerintah dengan terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.

Menurut Mardiasmo (2002:121) “Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial”.

Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan dengan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertangggungjawaban Kepala Daerah berupa Perhitungan APBD.

Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh perusahaan yang berorientasi pada pencapaian laba antara lain melalui penetapan rasio keuangan. Rasio yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya. Suatu rasio tersebut diperbandingkan dengan perusahaan lainnya


(54)

yang sejenis, sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan tersebut dapat mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya.

b. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus-menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang.

Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Widodo (Halim, 2002:126) hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:

1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.

2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

c. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah

Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.


(55)

Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta.

Analisis rasio keuangan pada APBD keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecendrungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

Analisis kinerja keuangan yang telah dikembangkan dan dibangun oleh Musgrove, Richard A, dan B Musgrove, Peggy dalam bukunya “Public Finance In Theory and Practice (dalam Rekso Hadipradjo, Ekonomi publik)”, namun dalam penerapanya disesuaikan dengan kemampuan dalam APBD, serta menurut Munir, dkk (2004:101), beberapa rasio yang dapat diambil diantaranya:

1. Desentralisasi fiskal

(TPD) Daerah Penerimaan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan (TPD) Daerah Penerimaan Total (BHPBP) Daerah k Pajak Untu Bukan dan Pajak Hasil Bagi


(56)

2. Tingkat Kemandirian Pembiayaan (BRNP) Pegawai Belanja Non Rutin Belanja Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (TPjD) Daerah Pajak Total

3. Efisiensi Penggunaan Anggaran

(TBD) Daerah Belanja Total (TSA) Anggaran Sisa Total (TBD) Daerah Belanja Total (TPL) lain -Lain n Pengeluara Total

Abdul halim (2007:232) menyatakan beberapa rasio keuangan yang juga dapat dipakai untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah antara lain:

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Pinjaman dan insi Pusat/Prop Pemerintah Bantuan (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total

2. Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)

APBD Total Rutin Belanja Total APBD Total n Pembanguna Belanja Total

3. Rasio Pertumbuhan

Rasio pertumbuhan yang dimaksud disini adalah pertumbuhan pendapatan asli daerah, total pendapatan daerah, total belanja rutin, dan total belanja pembangunan dari satu periode ke periode berikutnya.

Penjelasan dari parameter rasio diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Desentralisasi Fiskal

Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat


(57)

kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total penerimaan daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Total Pendapatan Daerah merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran.

Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah otonom. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat keadilan pembagian sumber daya daerah dalam bentuk bagi hasil pendapatan sesuai potensi daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi hasilnya maka suatu daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.

Derajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana yang terlihat dalam Tabel berikut:

Tabel 2.5

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah

<10.00 Sangat kurang

10.01 – 20.00 Kurang

20.01 – 30.00 Cukup

30.01 – 40.00 Sedang

40.01 – 50.00 Baik

>50.00 Sangat Baik


(58)

2. Tingkat Kemandirian Pembiayaan

Ukuran ini menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah kabupaten dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap periode anggaran. Belanja Rutin Non Belanja Pegawai merupakan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pelayanan masyarakat yang terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan tidak tersangka serta belanja lain-lain. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan PAD dalam membiayai balanja daerah diluar belanja pegawai. Dalam ketentuan yang digariskan bahwa belanja rutin daerah dibiayai dari kemampuan PAD setiap PEMDA dan karenanya tolok ukur ini sesuai pengukuran dimaksud.

Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi, atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan digunakan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan pemerintah. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi pajak daerah sebagai sumber pendapatan uang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total PAD. Semakin besar rasio akan menunjukkan peran pajak sebagai sumber pendapatan daerah akan semakin baik.

3. Efisiensi Penggunaan Anggaran

Ukuran ini menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan uang daerah. Sisa Anggaran (Sisa Perhitungan Anggaran) merupakan selisih


(59)

lebih antara penerimaan daerah atas belanja yang dikeluarkan dalam satu tahun anggaran ditambah selisih lebih transaksi pembiayaan penerimaan dan pengeluaran. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemapuan perencanaan sesuai prinsip-prinsip disiplin anggaran sehingga memungkinkan setiap pengeluaran belanja menghasilkan sisa anggaran. Semakin kecil rasio akan menunjukkan peran perencanaan dan pelaksanaan anggaran semakin baik.

Pengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang berasal dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak tersangka yang direalisasikan dalam satu tahun anggaran. Total Belanja Daerah merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran daerah dalam satu tahun anggaran yang membebani anggaran daerah. Rasio ini mengukur pengendalian dan perencanaan anggaran belanja. Semakin kecil rasio akan menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah berupaya sejauh mungkin mengurangi biaya lain-lain atau biaya taktis yang tidak jelas tujuan pemanfaatannya.

4. Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daearah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingakan dengan pendapatan daerah yang


(60)

berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat/propinsi ataupun dari pinjaman.

Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masayarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi.

5. Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berari persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.

Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun pembangunan trehadap APBD yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditergetkan.


(61)

Namun demikian, sebagai daerah dinegara berkembang peranan pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif besar. Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan didaerah.

6. Rasio Pertumbuhan

Dalam rasio pertumbuhan ini, akan dilihat empat pertumbuhan komponen dari APBD yaitu: Pendapatan Asli Daerah, Total Pendapatan Daerah, Total Belanja Rutin, dan Total Belanja Pembangunan. Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian.

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah pernah dilakukan oleh Eriadi pada tahun 2002 dengan mengambil sampel sebagian daerah-daerah di Propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Alat ukur yang digunakan adalah derajat desentralisasi fiskal, upaya fiskal, tingkat kemandirian pembiayaan, dan efisiensi penggunaan anggaran. Hasil penelitiannya adalah bahwa untuk upaya fiskal dan efisiensi penggunaan anggaran menunjukkan hasil yang positif atau menjadi lebih baik setelah otonomi daerah diterapkan di daerah yang menjadi sampel


(1)

Diagram Garis Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum Otonomi Khusus

Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum Otonomi Khusus

0.00% 2.00% 4.00% 6.00% 8.00% 10.00%

1995 1996 1997 1998 1999 2000

Tahun

P

e

rs

e

n

ta

s

e

PAD/BP(P)P

Diagram Garis Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Khusus

Tingkat Kemandiriran Keuangan Daerah Sesudah

Otonomi Khusus

0.00% 0.50% 1.00% 1.50% 2.00% 2.50% 3.00% 3.50% 4.00%

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

P

e

rs

e

n

ta

s

e

PAD/BP(P)P


(2)

Diagram Batang Perbandingan Rata-Rata Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus

Perbandingan Rata-Rata Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi

Khusus

0.00% 1.00% 2.00% 3.00% 4.00% 5.00% 6.00% 7.00%

Sebelum Otonomi Khusus (Tahun)

Setelah Otonomi Khusus (Tahun)


(3)

Diagram Garis Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sebelum Otonomi Khusus

Rasio Aktivitas (Rasio Keserasian) Sebelum Otonomi Khusus

0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00%

1995 1996 1997 1998 1999 2000

Tahun

P

e

rs

e

n

ta

s

e

TBR/TAPBD TBP/TAPBD

Diagram Garis Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sesudah Otonomi Khusus

Rasio Aktivitas (Rasio Keserasian) Sesudah

Otonomi Khusus

0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00%

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

P

e

rs

e

n

ta

s

e

TBR/TAPBD TBP/TAPBD


(4)

Diagram Batang Perbandingan Rata-Rata Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus

Perbandingan Rata-Rata Rasio Aktivitas (Rasio Keserasian) Sebelum dan Sesudah Otonomi

Khusus

0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00%

Sebelum Otonomi Khusus (Tahun)

Setelah Otonomi Khusus (Tahun)

TBR/TAPBD TBP/TAPBD


(5)

Diagram Garis Rasio Pertumbuhan Sebelum Otonomi Khusus

Rasio Pertumbuhan Sebelum Otonomi Khusus

-50.00% 0.00% 50.00% 100.00% 150.00% 200.00% 250.00%

1995 1996 1997 1998 1999 2000

Tahun P e rs e n ta s e Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah

Total Belanja Rutin

Total Belanja Pembangunan

Diagram Garis Rasio Pertumbuhan Sesudah Otonomi Khusus

Rasio Pertumbuhan Sesudah Otonomi Khusus

-200.00% 0.00% 200.00% 400.00% 600.00% 800.00% 1000.00% 1200.00%

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun P e rs e n ta s e Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah

Total Belanja Rutin Total Belanja Pembangunan


(6)

Diagram Batang Perbandingan Rata-Rata Rasio Pertumbuhan

Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus

Perbandingan Rata-Rata Rasio Pertumbuhan Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus

0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00% 120.00% 140.00% 160.00%

Sebelum Otonomi Khusus (Tahun)

Setelah Otonomi Khusus (Tahun)

Pendapatan Asli Daerah

Total Pendapatan Daerah

Total Belanja Rutin

Total Belanja Pembangunan