1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah industri pertambangan sering melahirkan konflik kepentingan antara negara, pemilik modal dan masyarakat sipil Jehamat, 2010. Tambang,
khususnya yang berskala besar, selalu menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kemiskinan, degradasi lingkungan, kondisi sosial budaya lokal, kebijakan
publik dan konflik sosial Maimuna, 2012. Konflik kepentingan tersebut disebabkan oleh adanya disparitas antara hak-hak elemen lokal dalam hubungan
dengan state-corporate terkait dengan pembangunan pertambangan, karena beberapa hal. Pertama, komunitas lokal memiliki kedaulatan atas kawasan
maupun sumber daya alam Susilo, 2008. Situasi tersebut merujuk kepada kedudukan komunitas lokal yang memiliki kemerdekaan dalam mengatur dirinya
sendiri. Dengan demikian, perspektif lokal dapat dijadikan sebagai landasan politik pembangunan dalam melihat peran state-corporate Hamzah, 2010.
Kedua, seberapa besar tingkat kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh komunitas lokal dari mekanisme pengelolaan sumber daya alam Indarti, 2012.
Pertanyaan mendasar tersebut tidak saja berkaitan dengan keadilan pengembalian sumber daya alam lokal yang bersifat ekonomis, melainkan berhubungan dengan
aspek-aspek sosial, politik dan kultural komunitas lokal. Ketiga, penguasaan sumber daya lokal pada akhirnya akan memunculkan kemiskinan secara ekonomi,
sosial dan budaya bagi komunitas lokal Regus, 2009. Dengan demekian, negara memiliki peran penting untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat lokal, berupa hak untuk hidup,
2 merdeka dan mencari nafkah mengingat negara hadir dalam rangka mewujudkan
dan melindungi kepentingan rakyat dan individu Indiahono, 2009: 130. Oleh karenanya, negara dibangun atas dasar kebebasan manusia, persamaan warga dan
ketergantungan individu pada dirinya sendiri. Kondisi tersebut menggambarkan negara di satu pihak merepresentasikan kehendak rakyat yang menghantarkannya
pada kedaulatan yang hakiki, di pihak lain semua orang dituntut untuk bertindak sesuai dengan aturan yang mencerminkan aspirasi masyarakat. Salah satu konsep
yang dianut banyak pandangan tentang hubungan negara dan rakyat, dalam tataran praktik kekuasaan, negara lebih mendominasi pasar dibanding kekuatan rakyat
Hamzah, 2010. Menguatnya peran negara melalui tindakan imperatif kekuasaan dan modal, dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan untuk mendapatkan izin
pertambangan dalam rangka akumulasi kapital Jehamat, 2010. Relasi antara negara dan pasar sering dianggap tidak melindungi rakyat,
karena itu tidak sedikit terjadi perlawanan rakyat terhadap negara dan pasar Weller, 1999. Bentuk-bentuk perlawanan rakyat terhadap negara dan pasar
melalui demonstrasi, unjuk rasa, protes sosial untuk mendesak nilai-nilai seperti keadilan, kesamaan hak, kemanusiaan dan kehidupan layak. Umumnya golongan
tersebut didominasi oleh kekuatan civil sociaty masyarakat sipil, seperti mahasiswa, cendikiawan, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, rohaniwan dan
kelompok idependen yang sering diartikan sebagai kelompok pembangkang terhadap negara sehingga selalu dilihat sebagai “musuh negara” Dharmawan,
2004. Bangunan kekuasaan modern yang dikembangkan di bawah otoritas
negara lambat laun kehilangan kepercayaan di mata rakyat. Negara yang sejatinya
3 berperan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dalam rangka mengakomodasi
kepentingan rakyatnya, justru lebih berpihak pada pemilik modalpasar. Akibatnya, kekuasaan dipandang penting dan perlu hanya bagi mereka yang
diuntungkan. Pihak-pihak yang diuntungkan oleh negara dalam pandangan kaum Maxian adalah kelas dominan dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok
ekonomi dan politik yang mengendalikan negara, karena mereka yang menguasai pergerakan modal Hamzah, 2010: 3. Sedangkan kaum Neo-Marxian melihat
bahwa dalam menjalankan perannya, negara tidak mungkin berpihak pada kepentingan rakyat, karena negara bukan merupakan lembaga yang netral
Budiman, 1998: 97; Mills, 1956 . Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan negara pada dasarnya dikuasai oleh kelompok yang paling kuat dalam masyarakat,
yakni mereka yang memiliki alat dan sarana produksi. Dengan demikian, perlawanan rakyat terhadap negara terjadi manakala
suatu kebijakan negara yang bertentangan dengan kehendak sebagian besar publik selalu dilawan Yusron, 2009. Oleh karena itu, perlawanan rakyat terhadap
negara dan pasar dilihat sebagai suatu fenomena universal memiliki latar belakang sejarah yang diawali dari ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah
Suseno, 2001. Kondisi tersebut dialami oleh masyarakat di Kabupaten Lembata dalam hubungannya dengan kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program investasi tambang. Kabupaten Lembata memiliki kekayaan galian tambang berupa bahan
baku untuk membuat keramik yang terdapat di Kecamatan Nagawutung, tambang emas di Kecamatan Omesuri, Buyasuri dan Kecamatan Lebatukan, besilogam
dan pasir besi di Kecamatan Lebatukan, gas alam di Kecamatan Atadei, Batu barit
4 di Desa Atanila dan Puakoyong, serta minyak bumi di Nagawutung Burin, 2010:
7. Potensi sumber daya alam khususnya pertambangan emas telah mendorong pemerintah merecana melakukan investasi tambang di Kedang Kecamatan
Omesuri dan Buyasuri, Leragere dan Pesisir Lebatukan Kecamatan Lebatukan oleh investor PT. Merukh Lembata Kopper.
Dalam melakukan investasi tambang emas di Kabupaten Lembata, investor memiliki komitmen sebagai kompensasi kepada pemerintah dan
masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam kontrak kerja, meliputi: 1 pemberdayaan masyarakat lokal; 2 penyerapan tenaga kerja lokal; 3
pengembangan kualitas dan mutu pendidikan; 4 peningkatan pelayanan kesehatan; 5 mengutamakan kesempatan berusaha dan bekerja bagi penduduk
lokal; 6 pembangunan infrastruktur berupa jalan, jembatan, air bersih, telekomunikasi, pelabuhan udara bandara, pelabuhan laut dan perhotelan dalam
mendukung pariwisata daerah. Di samping itu, dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah PAD, penambangan emas di Kabupaten Lembata telah
disepakati antara pemerintah dan investor, yakni pada tingkat produksi 1,5 milyar pound emas per tahun, maka royalty yang akan dibayarkan kepada pemerintah
sebesar USD 60 juta atau setara dengan Rp. 600 milyar per tahun. Mencermati komitmen investor yang tertuang dalam kontrak kerja dengan
Pemerintah Kabupaten Lembata, Embu 2009: 4 mengatakan bahwa: Eksplorasi tambang emas di Lembata merupakan aset ekonomi yang besar,
kalau dikelola secara transparan dengan melibatkan partisipasi dan mengakui hak sosial ekonomi komunitas lokal serta pihak corporations
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sosialnya maka akan membawa berkat bagi masyarakat Lembata. Kita mengakui dan menghargai
peran dan kontribusi positif dari semua stakeholder dalam membangun Kabupaten Lembata untuk menjadi lebih sejahtera melalui usaha
pertambangan ini. Hal ini akan terwujud apabila: a pihak perusaha
5 pemodal melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi
pembangunan komunitas lokal corporate social responsibility; 2 pemerintah pusat dan daerah mengakui dan melindungi hak komunitas-
komunitas lokal atas tanah, air, tambang customary rights yang dijamin oleh hukum Nasional dan Internasional; 3 civil society LSM, Gereja,
Universitas melakukan peran dan tanggung jawab sosialnya dengan memonitor dan membela kepentingan masyarakat; 4 komunitas-komunitas
lokal diberdayakan untuk memahami hak-hak sosial ekonomi dan kultural mereka, antara lain: pekerjaan, kompensasi atas tanah serta diberikan akses
untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan baik dalam manajemen maupun distribusi.
Sungguhpun begitu, masyarakat Lembata tampaknya tidak serta merta tertarik dengan bayangan kemajuan yang dijanjikan oleh pemerintah dan investor.
Belajar dari daerah lain seperti investasi batu bara di Sawahlunto Miko, 2006 dan Freeport di Papua Aditjindro, 2003. Indarti 2012, menjelaskan bahwa
masyarakat di daerah penambangan tersebut pada akhirnya hanya menjadi objek penderita. Hasil investasi tambang yang semula diharapkan mampu meningkatkan
taraf hidup masyarakat, justru memicu disharmoni antara manusia dengan alam, terjadinya konflik antara masyarakat dengan investor, masyarakat dengan
pemerintah dan pemerintah dengan investor Maimuna, 2012. Dengan demikian, eksploitasi tambang tidak serta merta menyejahterakan rakyat secara langsung,
justru akan menimbulkan penderitaan penduduk lokal, baik sosial, ekonomi dan budaya Mahler, 2008.
Bayangan kecamasan akan dampak negatif investasi tambang yang selalu merusak tatanan masyarakat tersebut mendorong lahirnya aliansi masyarakat sipil
civil society di Kabupaten Lembata yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh adat, petani pemilik lahan, pemilik hak ulayat, lembaga swadaya masyarakat
LSM, rohaniwan, dan aktivis mahasiswa. Mereka melakukan gerakan sosial melawan investasi tambang melalui aksi gangguan berupa demonstrasi di kantor
6 bupat, kantor DPRD dan pembangkangan sosial berupa penghadangan dan
pemboikotan segala bentuk usaha pertambangan oleh investor dan pemerintah sejak tahun 2006 hingga tahun 2009.
Tahun 2009, lebih dari 3000 warga gabungan dari Kedang, Leragere dan pesisir Lebatukan menghadang kehadiran wakil ketua DPRD Lembata dan
rombongan di Kampung Lewolein Desa Dikesare yang hendak melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu bara. Penghadangan dilakukan masyarakat karena tidak menghendaki wilayahnya dijadikan usaha pertambangan mineral dan menolak segala aktivitas
pertambangan dalam bentuk apapun. Penghadangan tersebut merupakan reaksi lanjutan dari aksi gerakan sosial melawan investasi tambang yang dilakukan
elemen masyarakat sejak tahun 2006 Harian Pos Kupang, 14 Maret 2009. Perlawanan masyarakat di Kabupaten Lembata terhadap program investasi
tambang karena adanya kecemasan dan bayangan ketakutan akan dampak negatif secara ekonomi, sosial dan budaya bagi penduduk. Ada beberapa isu yang
menjadi alasan kuatnya penolakan masyarakat terhadap rencana investasi tambang di Lembata seperti pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh Justice Peace and
Integrity of Creation JPIC, Almadi dan Geram, 2009: 14, yaitu: Pertama, pertambangan tidak memberikan nilai tambah bagi kualitas
hidup masyarakat, sebaliknya pertambangan justru akan mendorong tingginya angka korupsi, merampas hak-hak hidup dan kesejahteraan masyarakat Harman,
2012. Kedua, kegiatan pertambangan telah merusak ekosistem dan degradasi lingkungan secara luas dan permanen, degradasi hak dasar masyarakat seperti hak
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terabaikan, sebab pertambangan hanya
7 menghabiskan kekayaan perut bumi serta meninggalkan persoalan bagi
masyarakat yang tidak membutuhkan tambang. Ketiga, kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah dan investor tanpa persetujuan para pemilik
lahan. Keempat, eksploitasi tambang tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, justru akan merusak tatanan budaya masyarakat. Kelima,
kehadiran investor dalam melakukan eksploitasi tambang dapat menimbulkan konflik horizontal dan vertikal karena adanya janji palsu, bujuk rayu dan
pelanggaran HAM hak asasi manusia di lokasi pertambangan. Disamping itu, dalam perspektif budaya lokal, relasi manusia dengan alam
bagi masyarakat di Kabupaten Lembata memiliki makna secara mistik sebagai sebuah kekuatan yang memberikan perlindungan terhadap kehidupan, baik
ekonomi, sosial, maupun budaya dan lingkungan. Tambang emas yang berada di dalam tanah, dalam perspektif budaya lokal tidak hanya dilihat sebagai kekayaan
sumber daya alam secara ekonomi, akan tetapi sebagai mitos yang dimaknai mempunyai kekuatan alam yang memberikan perlindungan. Oleh karena itu,
program investasi tambang di Kabupaten Lembata dianggap akan mengancam eksistensi budaya sehingga masyarakat melakukan perlawanan.
Dengan demikian, gerakan sosial di Kabupaten Lembata menampakan fenomena gerakan masyarakat sipil civil society melawan kekuatan negara dan
pasar terkait dengan kebijakan investasi tambang. Masyarakat menganggap bahwa kebijakan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan karena mengancam eksistensi
nilai budaya lokal, maka lahirlah aksi perlawanan melalui gerakan sosial yang terorganisasi. Oleh karena itu, gerakan sosial melawan investasi tambang di
Kabupaten Lembata lebih disebabkan karena alasan yang berbasis pada nilai
8 budaya lokal sebagaimana isu tersebut, dibandingkan alasan yang berbasis
ekonomi maupun politik. Hal ini disebabkan jaminan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat yang ditawarkan oleh pemerintah dan investor
tidak mengubah pandangan terhadap program investasi tambang yang selalu merusak lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya. Hal menarik inilah yang
menjadi latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan.
B. Rumusan Masalah