1. Keterbatasan Sistem Pengukuran Kinerja Tradisional
Sistem pengukuran kinerja tradisional telah banyak dikritik karena sistem ini didesain untuk lingkungan dengan produk berada pada
tahap mature dan dengan teknologi yang stabil Kaplan, 1983. Neely 1999 menyebutkan tujuh alasan utama yang menyebabkan sistem
pengukuran kinerja tradisional mendapat kritik, antara lain : a. Perubahan lingkungan kerja;
b. Peningkatan kompetisi; c. Inisiatif peningkatan spesifik;
d. Penghargaan nasional dan internasional; e. Perubahan peran organisasional;
f. Perubahan permintaan eksternal; dan
g. Kekuatan teknologi informasi. Lee 2006 mengungkapkan bahwa keberlangsungan hidup
suatu organisasi dalam lingkungan yang dinamis dan kompetitif saat ini bergantung pada seberapa efektif suatu organisasi belajar untuk
menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan dan mengkapitalisasi sepenuhnya sumber daya yang dimiliki. Dalam era globalisasi, investasi
dalam modal dan aktiva tetap saja tidak dapat menjamin kesuksesan suatu organisasi jika investasi tersebut tidak dikelola dengan efisien.
Dengan demikian, kunci kesuksesan adalah manajemen sumber daya yang efektif.
Ukuran kinerja tradisional seperti return on investment ROI, net profit, sales growth dan market share telah gagal menggambarkan
commit to users
keadaan nyata dari proporsi nilai organisasi karena ukuran tersebut berfokus pada masa lalu Schneiderman, 1999 dan menyebabkan
ketergantungan yang berlebihan terhadap ukuran keuangan dalam mengevaluasi kinerja Chan, 2004. Ukuran kinerja tradisional hanya
memberikan sebagian informasi yang dibutuhkan manager guna mencapai sukses di era yang kompetitif. Ukuran kinerja ini dianggap
kurang mampu menjelaskan sisi non-keuangan. Oleh karena itu, diperlukan
suatu sistem
pengukuran kinerja
yang mampu
menggambarkan evaluasi kinerja yang menyeluruh Kaplan dan Norton, 1992.
The Institute of Management Accountant IMA telah sejak lama mengadvokasi penciptaan sistem pengukuran kinerja dimana :
“....performance indicator systems must be forward-looking as well as historical, must focus on significant external
relationships as well as internal functions or processes, and must track leading nonfinancial and financial indicators.”
Institute of Management Accountant Statement 4U, 1995 :10.
Sebagai respon terhadap berbagai kritikan, munculah inovasi- inovasi baru dalam pengukuran kinerja. Beberapa dari inovasi-inovasi
tersebut meliputi activity based costing, activity based budgeting, activity based cost management, economic value added, dan balanced
scorecard BSC yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton Otley, 2001 dalam Aryani, 2009.
Inovasi lain juga nampak pada pengembangan kerangka pengukuran dan pengelolaan kinerja yang dirangkum dalam Lee 2006,
antara lain :
commit to users
a. The Performance Pyramid Lynch and Cross; b. The Results and Determinants Matrix Fitzgerald and Moon;
c. The Balanced Scorecard Kaplan and Norton; d. The Consistent Performance Measurement System Flapper et
al.; dan e. The Integrated Performance Measurement System Bitichi et al..
Namun demikian, dari berbagai inovasi tersebut, BSC memiliki perkembangan yang paling signifikan dalam akuntansi manajemen Aryani,
2009 dan implementasi BSC telah banyak diteliti oleh para profesional maupun akademisi Umashev dan Willett, 2008. Balanced scorecard
merupakan sistem peningkatan proses dan perencanaan berbasis konsumen yang fokus utamanya menggerakkan proses perubahan organisasi melalui
identifikasi dan evaluasi ukuran kinerja terkait Chan, 2004. Balanced scrorecard didesain untuk menyediakan pandangan multidimensi dari kinerja
suatu organisasi Dilla dan Steinbart, 2005 dan menyajikan suatu kombinasi superior atas ukuran keuangan dan non-keuangan dalam rangka memenuhi
keterbatasan sistem pengendalian manajemen dan pengukuran kinerja tradisional Kaplan dan Norton, 1992. Pembahasan lebih lanjut mengenai
ukuran keuangan dan non-keuangan akan disajikan di bawah ini.
2. Ukuran Kinerja Keuangan dan Non-Keuangan