Pengaruh Penambahan Biji Ketumbar (Coriander sativum Linn)

ABSTRACT
Effect of Coriander Seed (Coriander sativum Linn) as Diet Ingredient
on Broilers Performance in Tropical Region
Wulandaputri, A. P., R. Mutia, H. A. Sukria
This study was conducted to determine the potential effect of coriander seed as
growth promoting substance in broiler chicks in tropical region. One hundred and
twenty (1-day old) commercial broiler chicken (Cobb; CP 707) were divided into
groups of 40 birds in each and randomly assigned to four treatment diets with three
replicates. Birds were fed experimental diets containing 0% (R0), 1% (R1), 2% (R2),
and 3% (R3) coriander seeds. Water and feed were provided ad libitum during the
experiment. The study was conducted over five weeks. The first week until the third
week is the starter phase and the fourth to fifth week of the grower phase. Parameters
observed in this study were final body weight, body weight gain, feed consumption,
feed conversion ratio and mortality. Results showed that inclusion 2% of coriander
seed significantly (P0,05) for body
weight, body weight gain, consumption and feed convertion among the treatments in
grower phase. Therefore, at starter phase inclusion of 2% coriander seeds in broiler
diets could be beneficial for improving broiler performance during heat stress
(tropical region).

Keywords : broiler performance, coriander seed, heat stress


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri perunggasan sebagai penyedia protein hewani bernilai strategis.
Komoditas ini memiliki nilai ekonomi yang menjangkau masyarakat luas dan cukup
digemari oleh masyarakat Indonesia karena mempunyai rasa dan tekstur yang baik.
Sektor perunggasan yang paling tinggi peningkatannya yaitu budidaya ayam broiler
(Daryanto, 2009). Menurut Rasyaf (1999), broiler dipasarkan pada umur 5-6 minggu
dengan bobot hidup antara 1,3-1,6 kg/ekor. Permintaan terhadap daging ayam
semakin
penduduk

bertambah
akan

seiring

dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran

pentingnya


protein hewani.Menurut Wibowo (2007), untuk

mencapai target nasional konsumsi protein hewani sebesar 69 ton/kapita/hari
diperlukan peningkatan populasi ternak dari ayam broiler sebesar 9,9%.
Pertumbuhan ayam broiler yang cepat dan efisien dalam mengubah makanan
menjadi daging, umumnya mudah mengalami stres yang disebabkan oleh berbagai
sumber antara lain praktek manajemen, nutrisi, dan kondisi lingkungan. Ayam
broiler adalah salah satu ayam hasil seleksi genetik yang berasal dari strain ayam
Eropa dan Amerika Utara yang beriklim dingin. Indonesia merupakan daerah tropis
yang secara umum suhu dan kelembaban lingkungan hariannya tinggi, suhu
mencapai 27,7-34,6 °C dan kelembaban 55,8%-86,6 % (Badan Pusat Statistik, 2003).
Hal ini berpotensi untuk memberikan cekaman panas pada pengembangan ayam
broiler (Hery, 2009). Kerugian yang ditimbulkan dari stres panas adalah dapat
menurunkan produksi, konsumsi ransum, daya tahan tubuh, meningkatkan oksidasi
sel, dan mortalitas. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh stres
panas adalah dengan pemberian obat anti-stres atau penggunaan antibiotik sebagai
pemacu pertumbuhan (growth promotor).
Namun, pemakaian bahan-bahan kimia semakin ditinggalkan karena tuntutan
konsumen akan produk pangan asal ternak yang alami (organik). Penggunaan

antistress dan antibiotik memiliki resiko yaitu adanya residu antibiotik pada karkas,
resistensi terhadap bakteri patogen dan menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan
konsumen. Dampak negatif ini akibat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai
dengan dosis atau tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time). Oleh
karena itu diperlukan bahan alternatif yang dapat dijadikan asupan nutrien sekaligus

bisa untuk mencegah efek stres panas dan mempertahankan imunitas. Penggunaan
bahan-bahan alami (herbal) akan lebih memberikan keuntungan tambahan dan
altematif untuk menggantikan antibiotik.
Bumbu dan rempah-rempah selain untuk meningkatkan rasa juga mempunyai
potensi dan efek merangsang sistem pencernaan (de Souza et al., 2005). Biji
ketumbar (Coriandrum sativum L.) memiliki reputasi yang bagus sebagai komponen
obat. Aktivitas biologis didalamnya dapat merangsang enzim pencernaan dan
peningkatan fungsi hati (Hermandez et al., 2004).
Biji ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri berkisar antara 0,4-1,1%
sebagai antiseptik atau anti bakteri (Astawan, 2009). Minyak atsiri pada biji
ketumbar memiliki sifat antimikroba terhadap spesies patogen seperti Salmonella
(Isao et al., 2004). Kandungan flavonoidnya berperan menurunkan kolesterol
(Chithra dan Leelamma, 1997) dan sebagai antioksidan (Wangensteen et al., 2004).
Biji ketumbar (Coriandrum sativum L.) juga bermanfaat sebagai antidiabetes (Gray

dan Flatt, 1999), efek stimulasi dalam proses pencernaan (Cabuk et al., 2003).
Potensi ketumbar sebagai bahan pakan dapat dilihat dari kandungannya antara lain :
karbohidrat, lemak, dan protein yang cukup tinggi (Wahab dan Hasanah,1996).
Tujuan
Mempelajari pengaruh penggunaan biji ketumbar dalam ransum terhadap
performa ayam broiler yang dipelihara di daerah tropis.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Tanaman Ketumbar (Coriandrum sativum L.)
Tanaman ketumbar (Coriandrum sativum Linn) diduga berasal dari sekitar
Laut Tengah dan Kaukasus di Timur Tengah. Di sana, biji ketumbar yang
dikeringkan dinamakan fructus coriandri. Tanaman ketumbar di Indonesia dikenal
dengan sebutan katuncar (Sunda), ketumbar (Jawa & Gayo), katumbare (Makassar
dan Bugis), katombar (Madura), ketumba (Aceh), hatumbar (Medan), katumba
(Padang), dan katumba (Nusa Tenggara). Secara taksonomi ketumbar dapat
diklasifikasikan sabagai berikut :
Kingdom


: Plantae

Sub kingdom : Trachebionta
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Sub kelas

: Rosidae

Ordo


: Apiles

Famili

: Apiaceae

Genus

: Coriandrum

Spesies

: Coriandrum sativum

Tanaman ketumbar berupa semak semusim, dengan tinggi sekitar satu meter.
Akarnya tunggang bulat, bercabang dan berwarna putih. Batangnya berkayu lunak,
beralur, dan berlubang dengan percabangan dichotom berwarna hijau. Tangkainya
berukuran 5-10 cm. Daunya majemuk, menyirip, berselundang dengan tepi hijau
keputihan. Buahnya berbentuk bulat, waktu masih muda berwarna hijau dan setelah

tua berwarna kuning kecokelatan. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna kuning
kecokelatan (Astawan, 2009).
Tanaman ketumbar (Coriander sativum Linn) diduga berasal dari sekitar Laut
Tengah dan Kaukasus. Ketumbar dapat dibudidayakan di dataran tinggi sampai
ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut maupun dataran rendah. Tanaman
ketumbar dapat dipanen setelah berumur tiga bulan, kemudian dijemur dan buahnya
yang berwarna kecokelatan dipisahkan dari tanaman. Hasil panen umumnya dijual ke

pasar tradisional untuk keperluan bumbu rumah tangga. Tanaman ketumbar di
Indonesia belum dibudidayakan secara intensif dalam skala luas, penanaman hanya
terbatas pada lahan pekarangan dengan sistem tumpangsari dan jarang secara
monokultur. Daerah

penanaman

yang

dianggap

cocok


dan

sudah

ada

tanamannya adalah Cipanas, Cibodas, Jember, Boyolali, Salatiga, Temanggung, dan
Sumatera Barat (Astawan, 2009).

(1)

(2)

(1)

(2)

Gambar 1. (1) Tanaman Ketumbar dan (2) Biji Ketumbar (Coriandrum sativum L)
Sumber: (Astawan, 2009)


Biji Ketumbar (Coriandrum sativum L.)
Kandungan Kimia dan Khasiat
Ketumbar selain untuk bumbu masak juga mempunyai nilai medis.
Komponen aktif pada ketumbar adalah sabinene, myrcene, alfa-terpinene, ocimene,
linalool, geraniol, decanal, desilaldehida, trantridecen, asam petroselinat, asam
oktadasenat, d-mannite, skopoletin, p-simena, kamfena, dan felandren. Komponenkomponen tersebutlah yang menyebabkan ketumbar memiliki reputasi yang bagus
sebagai komponen obat (Astawan, 2009). Kegunaan ketumbar sebagai bahan obat
antara

lain

untuk

diuretik

(peluruh

air


.kencing),.

antipiretik.(penurun.demam),/stimulan.(perangsang), stomatik. (penguat lambung),
laxatif.(pencahar.perut),.antelmintif

(mengeluarkan

cacing),

menambah

selera

makan, mengobati sakit empedu dan bronchitis (Wahab dan Hasanah, 1996).
4
 

Biji ketumbar (Coriandrum sativum L.) bermanfaat sebagai antidiabetes
(Gallagher et al., 2003), dan memberi efek stimulasi dalam proses pencernaan
(Cabuk et al., 2003). Biji ketumbar memiliki kandungan minyak atsiri berkisar antara

0,4%-1,1% (Astawan, 2009). Minyak atsiri pada biji ketumbar memiliki sifat
antimikroba terhadap spesies patogen seperti Salmonella (Isao et al., 2004). Salah
satu komponen aktif pada ketumbar adalah linalool (Cantore, 2004).
Minyak

atsiri

dan

linalool

dalam

biji

ketumbar

dapat merangsang proses pencernaan pada hewan (Cabuk et al., 2003). Aktivitas
biologis didalamnya dapat efek merangsang sekresi enzim pencernaan dan
peningkatan fungsi hati

(Hermandez et al., 2004). Komposisi nilai nutrisi biji

ketumbar bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Nutrien Per 100 Gram Biji Ketumbar
Komposisi

Jumlah

Satuan

Energi

298

Kkal

Protein

12,37

G

Lemak

17,77

G

Serat

41,9

G

Kolesterol

0

Mg

Kalsium

709

Mg

Phospor

409

Mg

Sodium

35

Mg

Potasium

1267

Mg

Besi

16,32

Mg

Magnesium

330

Mg

Niasin

2,13

Mg

Riboflavin

0,29

Mg

Thiamin

0,239

Mg

Vitamin C

21

Mg

Minyak Atsiri

1

G

Sumber: USDA (2009)

5
 

Beberapa Penelitian Tentang Biji Ketumbar (Coriandrum sativum L.)
Guler et al. (2005) melaporkan bahwa penggunaan 2% suplementasi biji
ketumbar dapat meningkatkan konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan lebih
tinggi pada puyuh dalam kondisi normal di Jepang. Penggunaan 1% tepung biji
ketumbar mampu menurunkan nilai konversi pakan puyuh dari umur 1-6 minggu.
Pemberian 1% - 4% tepung biji ketumbar mampu meningkatkan persentase
karkas pada puyuh. Saeid dan Al-Nasry (2010) menyebutkan suplementasi 0,3% biji
ketumbar pada pakan mampu menghasilkan bobot badan, konsumsi pakan tertinggi
dan menurunkan konversi pakan pada broiler dalam kondisi lingkungan nyaman.
Sunbul et al. (2010) menerangkan penggunaan biji ketumbar 2% dalam ransum
meningkatkan bobot badan broiler strain Ross saat pemeliharaan musim dingin.
Ketumbar adalah antibakteri potensial (Kubo et al., 2004). Kadar minyak
atsiri yang terkandung pada biji ketumbar sebanyak 0,5%-1% mampu menjadi
antimikroba terhadap spesies patogen seperti Salmonella (Isao et al., 2004). Salah
satu komponen yang terdapat dalam minyak atsiri adalah linalool. Cabuk et al.
(2003) menyatakan bahwa linalool dapat meningkatkan stimulasi sistem pencernaan
broiler.
Ayam Broiler
Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, family Phasianidae,
genus Gallus dan spesies Gallus domesticus yang dihasilkan dari bangsa ayam tipe
berat Cornish. Ayam broiler merupakan ayam pedaging tipe berat yang lebih muda
dan berukuran lebih kecil dari roaster. Bangsa ayam yang dipilih adalah yang
berbulu putih (Amrullah, 2004). Broiler telah mengalami seleksi gen selama
bertahun-tahun sehingga hanya dalam waktu produksi 35-40 hari sudah dapat
dipanen, menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis. Ayam broiler
berasal dari strain ayam Eropa dan Amerika Utara yang beriklim dingin.
Broiler strain Cobb memiliki keunggulan dan karakteristik tersendiri yaitu
titik tekan pada perbaikan Feed Convertion Ratio (FCR), pengembangan genetik
diarahkan pada pembentukan daging dada, dan pengembangan untuk beradaptasi
dengan lingkungan tropis. Rekayasa genetik, perkembangan teknologi pakan dan
manajemen perkandangan menyebabkan strain ayam broiler yang ada sekarang lebih
6
 

peka terhadap formula pakan yang diberikan (Unandar, 2001). Standar pertumbuhan
broiler strain Cobb CP 707 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar Pertumbuhan Ayam Broiler CP 707
Konsumsi pakan

Umur

Bobot Badan

Konversi Pakan

(minggu)

(g/ekor)

Kumulatif

(g/ekor)

1

150

150

159

0,94

2

370

520

418

1,24

3

610

1130

800

1,24

4

800

1930

1265

1,53

5

990

2920

1765

1,65

6

1130

4050

2255

1,80

7

1200

5250

2715

1,93

Sumber: Charoen Pokphand, 2004

Ayam broiler membutuhkan zat-zat makanan sebagai bahan untuk tumbuh,
berkembang dan berproduksi. Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus
mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik,
menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh, selain itu ayam
membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, kalsium dan vitamin yang memiliki
peran penting selama tahap permulaan hidupnya. Persyaratan mutu standar pakan
broiler disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Persyaratan Mutu Standar Nutrien Broiler (High Nutrient Density Diet)
Starter

Grower

Finisher

(0-3 minggu)

(4-5 minggu)

(6-7 minggu)

22

20

18

Energi Metabolis (kkal/kg)

3050

3100

3150

Kalsium (%)

0,95

0,92

0,89

Phospor Tersedia (%)

0,45

0,41

0,38

Methionin (%)

0,50

0,44

0,38

Methionin + Sistin (%)

0,95

0,88

0,75

Lysin (%)

1,30

1,15

1,00

Komponen
Protein Kasar (%)

Sumber: Lesson dan Summers (2005)

7
 

Bobot Badan
Bobot badan berfungsi sebagai salah satu kriteria ukuran yang menentukan
dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu ternak. Bobot badan juga berfungsi
sebagai ukuran produksi dan penentu nilai ekonomi (Jaya, 1982). Bell dan Weaver
(2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi bobot badan antara lain
pakan, genetik, jenis kelamin, suhu dan tatalaksana.
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses yang sangat kompleks
meliputi pertambahan bobot hidup dan pertambahan semua bagian tubuh secara
merata dan serentak (Maynard et al., 1979). Pertambahan bobot badan adalah suatu
proses peningkatan ukuran tulang, otot, organ dan bagian tubuh lainnya yang terjadi
sebelum dan sesudah lahir sampai mencapai bobot dewasa (Ensminger, 1991). Salah
satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan pengukuran pertambahan
bobot badan (PBB). PBB diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat
nutrisi yang ada dalam ransum menjadi daging (Tillman et al., 1991).
Konsumsi Pakan
Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang
dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut
(Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi
oleh ternak bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad libitum. Konsumsi
pakan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan dan kegiatan
pertumbuhan atau produktivitas lainnya,dan faktor lingkungan yaitu suhu dan
kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi mengakibatkan konsumsi pakan akan
menurun (Siregar, 1984). Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang
tergantung pada beberapa hal, yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa,
tekstur dan suhu lingkungan (Church dan Pond, 1988).
Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi
produktivitas ternak (Aurora, 1989). Konsumsi pakan secara umum akan meningkat
seiring dengan meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran

8
 

pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan. Hubungan
konsumsi pakan dengan bobot badan ayam broiler disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan Antara Konsumsi Pakan dan Bobot Badan Ayam Broiler
Umur

Bobot Badan (g/ekor)

Konsumsi Pakan Kumulatif (g/ekor)

(Minggu)

Jantan

Betina

Jantan

Betina

1

170

158

142

138

2

449

411

470

440

3

885

801

1100

1025

4

1478

1316

2095

1941

5

2155

1879

3381

3106

Sumber : Cobb Vantress (2008)

Konversi Pakan
Konversi ransum merupakan banyaknya ransum yang dikonsumsi dalam
selang waktu tertentu setiap kenaikan satuan unit bobot badan dalam waktu tertentu
(Sarwono, 1990). Menurut Wahju (2004), konversi ransum adalah jumlah ransum
yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu unit PBB (pertambahan bobot badan)
dalam waktu tertentu, semakin besar ukuran dan tua ternak maka nilai konversinya
akan semakin tinggi. Semakin tinggi nilai konversi maka memberikan indikasi
bahwa ternak tersebut tidak efisien dalam penggunaan ransum. Rasio konversi pakan
yang rendah berarti untuk menghasilkan satu kilogram daging ayam dibutuhkan
pakan dalam jumlah yang semakin sedikit (Wahju, 2004). Al-Batshan dan Hussein
(1998) menyatakan bahwa nilai konversi pakan broiler akan lebih rendah jika
dipelihara pada suhu rendah. Konsumsi pakan akan berubah sekitar 1,5% untuk
setiap 1°C di atas atau di bawah 20-21°C (Gillespie, 2004).
Faktor utama yang mempengaruhi konversi pakan adalah temperatur, kualitas
ransum, kualitas air, pengafkiran, penyakit, manajemen pemeliharaan dan juga faktor
pemberian ransum, penerangan dan faktor sosial (Anggorodi, 1979). Faktor-faktor
yang mempengaruhi konversi pakan adalah dasar genetik, tipe pakan yang
digunakan, temperature, feed additive yang digunakan dalam ransum dan manajemen
pemeliharaan (James, 1992).

9
 

Mortalitas
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan usaha pengembangan peternakan ayam. Angka
kematian diperoleh dengan perbandingan antara jumlah ayam yang mati dengan
jumlah ayam yang dipelihara (Lacy dan Vest, 2000). Menurut Bell dan Weaver
(2002), pemeliharaan ayam broiler dinyatakan berhasil jika angka kematian kurang
dari 5%.
Faktor seperti umur, temperature air minum, aliran udara, panas, cahaya,
nutrisi, temperatur lingkungan dan kelembaban dapat menyebabkan kematian
(Swich, 1998). Minggu ketiga dan keempat merupakan periode dimana peluang
terjadinya kematian lebih tinggi karena pada periode tersebut antibodi bawaan telah
berkurang. Kematian ayam broiler selama pemeliharaan lebih banyak disebabkan
oleh penyakit (Amrullah, 2003).
Respon Fisiologis dari Cekaman Panas
Cekaman merupakan kondisi ketika kesehatan ternak terganggu yang
disebabkan oleh adanya lingkungan yang terjadi secara terus menerus pada hewan
dan mengganggu proses homeostasis (Lesson dan Summers, 2005). Indonesia yang
merupakan daerah tropis yang secara umum suhu harian berfluktuasi antara 27,734,6 °C dan kelembaban 55,8%-86,6% (Badan Pusat Statistik, 2003) secara langsung
memberikan cekaman panas pada pengembangan ayam broiler. Khusus Bogor,
suhunya antara 23-33 °C dengan kelembaban 75%-100% (Handoko, 2007). Fluktuasi
ini secara langsung memberikan cekaman pada pengembangan broiler. Perubahan
suhu dari kisaran normal, terlebih bila terjadi secara mendadak/ekstrim dapat
berakibat fatal bahkan dapat menyebabkan kematian (Muryanto, 2004). 
Cekaman biasanya berhubungan dengan iklim yang ekstrim, misalnya terlalu
dingin atau terlalu panas. Cekaman panas merupakan kondisi tubuh yang kepanasan
karena suhu dan kelembaban lingkungan yang melebihi kisaran zona nyaman
pertumbuhan (Austic, 2000). Menurut Charles (2002), suhu nyaman untuk mencapai
pertumbuhan optimum ayam pedaging berkisar antara 18-22 °C dan 21-29 °C.
Stres panas pada ayam broiler dihasilkan oleh adanya interaksi antara suhu
udara, kelembaban, sirkulasi panas serta kecepatan udara, dimana suhu lingkungan
menjadi faktor yang utama (European Comission, 2000). Menurut Kusnadi (2009),
10
 

cekaman panas pada ayam broiler dapat meningkatkan kecepatan respirasi,
meningkatkan konsumsi air, menurunkan konsumsi ransum, efisiensi penggunaan
ransum, dan produksi. Cekaman panas juga menyebabkan sistem kekebalan tubuh
melemah (bersifat imunosupresi), penurunan bobot (Sturkie, 2000) dan stres
oksidatif (Mujahid et al., 2007).
Menurut Medion (2008), besar kecilnya kerugian yang diterima akibat
cekaman panas dipengaruhi oleh umur, bobot badan, suhu maksimum yang diterima
ayam, lamanya cekaman, kecepatan perubahan suhu udara, kepadatan kandang yang
kurang sesuai, dan kandungan nutrisi yang tidak sesuai kebutuhan.  Diagram zona
suhu nyaman (thermonetral zone) pada ayam broiler dapat dilihat pada Gambar 3.
Mati
karena
dingin

Batas suhu
bawah

Batas suhu
atas

Maksimum
pembentukan
panas

ZONA
TEMPERATUR
NETRAL

Maksimum
pelepasan
panas

< 15 °C

= 19-27 °C

< 32 °C

Ayam harus
meningkatkan
pembentukan
panas

Tingkah laku
untuk mengatur
pelepasan panas

Ayam harus
meningkatkan
pelepasan
panas

Mati
karena
panas

Gambar 3. Diagram Zona Suhu Nyaman (Thermonetral Zone) pada Ayam Broiler
Sumber : Kuczynsky (2002)

Suhu nyaman untuk ayam broiler adalah 19 – 27 oC (Charoen Pokphand,
2004). Umumnya ayam broiler pada umur 1 - 2 minggu memerlukan suhu
lingkungan yang lebih tinggi yaitu 32 - 35 °C , sedangkan ayam broiler akan tumbuh
dengan optimal pada suhu berkisar antara 20 - 27 °C. Rataan suhu di wilayah

11
 

Dramaga, Bogor berkisar antara 30,45±1,22 °C (maksimum) dan 21,04±1,48 °C
(minimum) (Badan Pusat Statistik, 2007).
Dekade terakhir telah terlihat perubahan berarti pada seleksi genetik broiler
tipe fast growing meat. Broiler yang semakin cepat tumbuh menghasilkan panas
tubuh yang semakin tinggi. Perbedaan panas tubuh dan lingkungan nyaman untuk
broiler pada tahun 1970 dan 2004 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan Produksi Panas Tubuh dan Kalkulasi Temperatur Lingkungan
yang Nyaman untuk Broiler Jantan dan Bertina pada Tahun 1970 dan 2004
Produksi Panas Tubuh (Kj/hari)
Umur (hari)

1970

2004

Temperatur Nyaman (°C)
1970

2004

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
7

180

180

204

200

32,0

32,0

29,0

29,0

14

410

350

468

458

30,0

29,5

25,0

25,5

21

760

620

845

843

28,0

27,0

20,0

21,0

28

1030

866

866

1250

25,5

24,0

15,5

17,0

35

1444

1030

1030

1600

23,5

21,0

12,0

14,5

42

1650

1165

1785

1840

21,5

18,5

11,5

15,0

Sumber: Gous dan Morris (2005)

Cekaman panas di atas kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan broiler
dapat mengakibatkan penurunan konsumsi dan bobot badan yang disertai dengan
meningkatnya angka konversi dan mortalitas. Peforma broiler setelah umur tiga
minggu yang dipelihara pada suhu kandang yang berbeda disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Peforma Broiler yang Dipelihara pada Suhu Kandang yang Berbeda
Suhu Kandang (°C)

Parameter
24,6

28,9

31,4

Konsumsi (g/ekor)

4.790

4.596

4.092

Bobot Badan (g/ekor)

2.716

2.578

2.244

Pertambahan Bobot Badan (g/ekor)

2.675

2.537

2.203

Konversi Pakan

1,77

1,81

1,82

Mortalitas (%)

1,25

2,50

2,50

Sumber: Efendi (2010)

12
 

Perubahan behavior pada ayam selama cekaman panas salah satunya adalah
hiperventilasi (panting), yaitu meningkatnya kecepatan respirasi pada permukaan
mulut dan jalur pernafasan. Panting yang dilakukan ayam saat suhu tinggi
merupakan teknik pembuangan panas tubuh secara evaporasi. Ayam yang telah
melakukan panting namun suhu tubuhnya tidak menurun akan menjadi lemah,
pingsan, bahkan bisa terjadi kematian mendadak (Medion, 2008).

13
 

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu mulai dari bulan Juli sampai
dengan bulan Agustus 2011 di Laboraturium Lapang (Kandang B) Bagian Unggas,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Analisa proksimat kandungan ketumbar dilakukan di Laboraturium
Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Ternak
Ternak penelitian menggunakan 120 ekor ayam umur satu hari (day old
chick/DOC) Cobb strain CP 707 dari PT Charoen Pokphand Indonesia - Parung.
Ayam ini dibagi ke dalam empat perlakuan dan tiga ulangan, yang dipelihara selama
lima minggu.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah tiga buah kandang berukuran 2,85 x 2,85 m2
berupa kandang sistem litter beralaskan sekam padi yang telah difumigasi. Setiap
kandang dibagi menjadi empat petak anak kandang berukuran 1m2. Setiap petakan
kandang dilengkapi dengan satu buah tempat pakan dan minum.
Peralatan Penunjang
Setiap petak kandang dilengkapi lampu pijar 60 watt, brooder, dan seng
pembatas. Peralatan lain yang digunakan diantaranya tirai penutup, kertas koran,
timbangan digital, ember, sapu, sekam pengganti, termometer, tali rafia, gelas ukur,
pisau, tali tambang, selotip, karung, sikat lantai, dan alat tulis.
Pakan dan Air Minum
Pakan yang digunakan adalah pakan buatan sendiri dengan penambahan
ketumbar 0% (kontrol), 1%, 2% dan 3%. Pakan dibuat dalam bentuk crumble. Pakan
dan air minum diberikan setiap hari selama pemeliharaan. Komposisi bahan dan zat
makanan ransum penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Formula dan Komposisi Nutrisi Ransum Penelitian
Starter

Grower

Bahan Pakan
R0

R1

R2

R3

R0

R1

R2

R3

Jagung kuning

54,14

54,26 53,68 53,82 60,41 60,01 59,61 59,22

Dedak Padi

6,00

5,17

Bungkil kedelai

28,00

28,00 28,00 28,00 19,46 19,33 19,19 19,06

Tepung ikan

6,05

5,99

5,93

5,88

9,39

9,45

9,52

9,58

Crude palm oil

3,61

3,38

3,34

3,09

3,37

3,27

3,18

3,08

Biji ketumbar1

0,00

1,00

2,00

3,00

0,00

1,00

2,00

3,00

CaCO3

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

Dicalsium phosphate

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

Premiks

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

L-Lysin

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

Methionin+Cystin

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

Total

100

100

100

100

100

100

100

100

3050

3050

3050

3050

3100

3100

3100

3100

84,42 84,47 84,68

84,13

84,42 84,32 84,42

4,85

4,01

5,17

4,73

4,30

3,86

Komposisi Nutrien :
EM (Kkal/kg)
Bahan Kering (%)

84,23

Protein Kasar (%)

22

22

22

22

20

20

20

20

Lemak Kasar (%)

6,19

6,10

6,20

6,10

6,17

6,22

6,27

6,32

Serat Kasar (%)

2,97

3,30

3,66

3,98

2,81

3,16

3,51

3,87

Kalsium (%)

0,96

0,97

0,97

0,97

1,16

1,17

1,18

1,20

Fosfor Tersedia (%)

0,53

0,53

0,53

0,52

0,62

0,62

0,62

0,63

Lysin (%)

1,44

1,43

1,43

1,42

1,35

1,34

1,34

1,34

Methionin (%)

0,54

0,53

0,53

0,53

0,55

0,54

0,54

0,54

Methionin+Cystin (%)

0,95

0,94

0,94

0,94

0,88

0,87

0,87

0,87

Lesson dan Summers (2005) 
Ket : R0=Pakan tanpa biji ketumbar (kontrol); R1=Pakan dengan penambahan biji ketumbar 1%;
R2=Pakan dengan penambahan biji ketumbar 2%; R3= Pakan dengan penambahan biji ketumbar
3%. EM = Energi Metabolis.
1
= Dalam 5 kg premix mengandung vitamin A = 10,000,000 IU ; vitamin D = 2,000,000 IU ;
vitamin E = 3,000 mg ; vitamin B1 = 1,000 mg ; vitamin B2 = 5,000 mg ; vitamin B12 = 5,000
mg ; vitamin K = 1,000 mg ; Niacinamide = 7,500 mg ; Ca-d-Panthotenate = 2,500 mg ; Folic
Acid = 500 mg ; Choline Chloride = 100,000 mg ; L-lysine = 75,000 mg ; DL-Methionine
100,000 mg ; Magnesium Sulfate = 34,000 mg ; Ferrous Sulfate = 25,000 mg ; Manganase
Sulfate = 50,000 mg ; Cupri Sulfate = 500 mg ; Zinc Sulfate = 10,000 mg ; Potasium Iodine =
100 mg ; Antioxidant&Carrier ad = 5 mg.

14
 

Prosedur
Pemilihan Biji Ketumbar
Sampel biji ketumbar diperoleh dari pasar tradisional Kota Bogor, Pasar
Parung, dan Pasar Cibereum. Biji ketumbar yang dipilih adalah yang berbentuk bulat
dan berwarna kuning kecoklatan. Biji ketumbar dari pasar-pasar tersebut dipasok dari
Tangerang (impor), Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sampel biji ketumbar disangrai
selama lima menit. Sample yang mengeluarkan aroma paling menyengat digunakan
sebagai bahan baku ransum penelitian yaitu biji ketumbar dari Cibeureum.
Tahap Pembuatan Ransum
Pembuatan dan bahan baku ransum diperoleh dari

PT Indofeed Bogor.

Bahan baku yang digunakan dalam ransum ditimbang sesuai dengan formulasi.
Sebelum dicampur, biji ketumbar yang akan digunakan digiling menjadi tepung
(mash).
Seluruh bahan selanjutnya diaduk hingga homogen dalam mesin pencampur
(mixer). Mixer adalah mesin pencampur bahan-bahan baku yang digunakan untuk
proses produksi pakan agar menjadi homogen untuk mempermudah proses
selanjutnya. Mixer disusun oleh tiga komponen utama, yaitu loading hopper (tempat
pemasukan bahan), alat pengaduk dan tempat pengeluaran adonan bahan baku (Pfost,
1976).
Urutan pemasukan bahan dalam mixer adalah bahan baku mayor yaitu bahan
baku sumber energi dan protein, bahan baku sumber serat, vitamin dan mineral.
Bahan pertama yang dicampur adalah jagung kuning dan CPO (Crude Palm Oil).
Bahan kedua yang dicampur adalah bungkil kedelai dan tepung ikan. Bahan ketiga
yang dicampur adalah tepung biji ketumbar, dedak padi, CaCO3, DCP, premiks, Llysin, dan DL-methionin. Bahan yang telah homogen kemudian dibentuk menjadi
pellet di mesin pellet. Proses selanjutnya adalah ransum dibentuk menjadi crumble di
mesin crumble.
Pemeliharaan Ternak
DOC (Day Old Chick) yang digunakan dalam penelitian ditempatkan secara
acak kedalam kandang.. Pemberian pakan perlakuan dilakukan mulai hari pertama
DOC datang. Pemeliharaan dilakukan selama 35 hari dan dibagi menjadi dua
15
 

periode, masing-masing periode diberi pakan yang berbeda, yaitu periode starter (021 hari) dan periode grower (22-35 hari).
Pengamatan Suhu Harian Kandang (oC)
Pengukuran suhu harian kandang dilakukan setiap hari. Pengukuran dan
pencatatan suhu dilakukan tiga kali setiap harinya yaitu pada pagi hari pukul 07.00,
siang hari pukul 14.00 dan malam hari pukul 18.00.
Perhitungan Pertambahan Bobot Badan (gram/ekor)
Perhitungan pertambahan bobot badan dihitung dengan cara penimbangan
bobot badan per ekor pada akhir minggu dikurangi bobot badan per ekor pada
minggu sebelumnya. Perhitungan pertambahan bobot badan dilakukan tujuh hari
sekali.
Perhitungan Konsumsi Pakan (gram/ekor)
Konsumsi pakan rataan per ekor per minggu dihitung dari selisih antara
jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan selama tujuh hari.
Perhitungan Konversi Pakan
Konversi pakan dapat diperoleh dari perbandingan jumlah konsumsi pakan
dengan pertambahan bobot badan (feed/gain) selama pemeliharaan.
Perhitungan Bobot Badan Akhir (gram/ekor)
Penimbangan bobot badan broiler per ekor dilakukan setiapakhir minggu.
Bobot badan akhir diperoleh dari hasil penimbangan ayam broiler pada minggu
kelima.
Pengamatan Mortalitas
Banyaknya ternak yang mati akibat segala sesuatu yang dapat membuat
ternak tersebut mati selama penelitian. Setiap harinya diamati, jika ada yang mati
langsung dicatat.
Rancangan dan Analisis Data
Perlakuan
Penelitian ini mengunakan empat perlakuan dan tiga kali ulangan dengan
penempatan 10 ekor broiler per ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah :
16
 

R0

= Pakan tanpa penambahan biji ketumbar (kontrol)

R1

= Pakan dengan penambahan biji ketumbar 1%

R2

= Pakan dengan penambahan biji ketumbar 2%

R3

= Pakan dengan penambahan biji ketumbar 3%

Peubah yang diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah suhu harian kandang (oC),
pertambahan bobot badan (gram/ekor), konsumsi pakan (gram/ekor), konversi pakan,
bobot badan akhir (gram/ekor) dan mortalitas.
Rancangan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan. Model
matematika dalam rancangan tersebut adalah sebagai berikut :
Yij = µ + +
Keterangan :
Y

: nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ

: nilai rataan umum
: efek perlakuan ke-1
: galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan apabila
terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut polinomial (Steel dan Torrie,
1993).
 

17
 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai suhu dan kelembaban
lingkungan hariannya tinggi, suhu mencapai 27,7-34,6 °C dan kelembaban antara
55,8%-86,6% (Badan Pusat Statistik, 2003). Rataan suhu di wilayah Dramaga, Bogor
berkisar antara 30,45±1,22 °C (maksimum) dan 21,04±1,48 °C (minimum) (Badan
Pusat Statistik, 2007). Pengamatan suhu selama pemeliharaan lima minggu dilakukan
tiga kali setiap harinya yaitu pada pagi hari (pukul 07.00), siang hari (pukul 14.00)
dan malam hari (pukul 18.00). Rataan suhu kandang selama pemeliharaan disajikan
dalam Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Suhu Kandang Selama Penelitian
Waktu Pengamatan (Pukul)

Suhu ( oC)

7.00

22,76

14.00

31,97

18.00

26,12

Dari hasil pengamatan, rataan suhu harian kandang menunjukkan terdapat
perubahan suhu yang cukup besar dari pagi hari ke siang hari sebesar 9,21 °C. Hal ini
akan memberikan cekaman panas pada pemeliharaan ayam broiler. Dengan
demikian energi yang didapatkan ayam tidak hanya untuk pertumbuhannya tetapi
digunakan juga untuk mengatasi cekaman suhu terutama pada siang hari. Suhu
nyaman untuk broiler adalah 19–27 oC (Charoen Pokphand, 2004).
Untuk ayam broiler umur 3-6 minggu, lingkungan yang panas adalah salah
satu faktor yang paling berpengaruh terhadap penyebab stres pada ayam broiler.
Stres panas pada ayam broiler dihasilkan oleh adanya interaksi antara suhu udara,
kelembaban, sirkulasi panas serta kecepatan udara, dimana suhu lingkungan menjadi
faktor yang utama (European Comission, 2000). Suhu lingkungan optimum untuk
pertumbuhan broiler yang memasuki umur tiga minggu adalah antara 20-25 °C
(Borges et al., 2004). Data rataan suhu mingguan selama pemeliharaan dapat dilihat
pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Suhu Mingguan Selama Pemeliharaan
Minggu ke-

Suhu (°C)

Minggu 3

26,04

Minggu 4

26,33

Minggu 5

26,24

Pada minggu ketiga suhu yang didapatkan yaitu 26,04 °C di atas kisaran suhu
lingkungan optimum untuk pertumbuhan broiler. Hal ini dapat mengakibatkan
broiler terkena cekaman panas saat pemeliharaan. Cekaman panas merupakan
kondisi tubuh yang kepanasan karena suhu dan kelembaban lingkungan yang
melebihi kisaran zona nyaman pertumbuhan (Austic, 2000). Menurut Kusnadi
(2009), cekaman panas pada ayam broiler dapat menurunkan produksi dan konsumsi
pakan serta meningkatkan konsumsi air minum yang dilakukan untuk menurunkan
suhu tubuh.
Konsumsi pakan akan berubah sekitar 1,5% untuk setiap 1°C di atas atau di
bawah 20-21 °C (Gillespie, 2004). Pada suhu lingkungan yang tinggi, broiler akan
lebih banyak mengkonsumsi air minum. Konsumsi pakan menurun pada suhu
lingkungan yang tinggi dan meningkat pada suhu lingkungan yang rendah.
Penyusunan ransum yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan standar
zat makanan untuk setiap periode dan produksi menjadi faktor yang sangat penting.
Bentuk fisik ransum juga harus disesuaikan, sehingga tidak mengganggu nafsu
makan dan pencernaan. Bentuk ransum yang diberikan adalah crumble. Ayam lebih
menyukai bentuk tekstur seperti biji-bijian atau crumble dibanding tekstur tepung.
Tekstur tepung memiliki sifat berdebu, dan lengket yang menyebabkan konsumsi
pakan menurun. Menurut Scanes (2004), konversi ransum untuk unggas pada pakan
berbentuk crumble memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan pakan yang
berbentuk tepung karena akan mengurangi jumlah kehilangan pakan ke dalam litter
dibandingkan dengan pemberian pakan dalam bentuk tepung.
Pembuatan dan bahan baku ransum diperoleh dari Indofeed, Bogor. Bahan
baku pakan yang digunakan dalam penelitian adalah jagung, dedak padi, tepung ikan,
bungkil kedelai, CPO, kapur, premiks, L-lysin, dan DL-methionin. Premiks yang
 
 

19
 

digunakan yaitu Feedmix B yang diproduksi oleh PT Kalbe Farma, Tbk. Penggunaan
biji ketumbar yaitu dengan digiling halus seperti tepung atau mash dan langsung
dicampur dengan bahan lain dalam mesin.
 

Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi yang

cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, pertumbuhan dan mempertahankan
suhu tubuh. Selain itu ayam broiler membutuhkan protein selama tahap permulaan
hidupnya. Pakan perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua
periode, yaitu periode starter (0-21 hari) dan grower (22-35 hari).
Menurut Lesson dan Summer (2005), standar kebutuhan kandungan protein
kasar pakan untuk broiler strain Cobb pada periode starter adalah 22% dan pada
periode grower 20%, sedangkan untuk kebutuhan energi metabolisme pakan pada
pemeliharaan periode starter mencapai 3032 kkal/kg dan 3166 kkal/kg pada periode
grower. Energi dalam ransum harus diberikan mencukupi kebutuhan ternak karena
energi digunakan untuk aktifitas dan menghasilkan daging (Widodo, 2002). Pada
fase starter kebutuhan protein lebih tinggi dikarenakan untuk ayam muda protein
digunakan untuk membentuk jaringan tubuh. Menurut Widodo (2002), agar jaringan
tubuh tumbuh lebih cepat maka protein dalam ransum harus diberikan secara
maksimal. 
Kandungan protein pakan yang digunakan dalam penelitian ini berada di
bawah standar kebutuhan yaitu sebesar 20,23% pada periode starter dan 19,40%
pada periode grower. Kandungan protein pakan penelitian lebih rendah dibandingkan
dengan standar karena perbedaan bahan baku yang digunakan dan juga perbedaan
pada proses pengolahan. Perbedaannya yaitu pada penelitian ini proses pengolahan
bahan baku tidak menggunakan metode pemanasan (Steam Pelleting). Keunggulan
penggunaan metode pemanasan (Steam Pelleting) ini yaitu dapat memperbaiki daya
cerna ternak terhadap pakan yang dikonsumsi. Kandungan protein pakan penelitian
yang lebih rendah dari standar kebutuhan broiler dapat mengakibatkan keterlambatan
tumbuh broiler pada permulaan hidup yang mempengaruhi perkembangan pada
periode berikutnya. Kandungan lemak pakan penelitian yaitu sebesar 6,06% pada
fase starter dan 6,03% pada fase grower. Komposisi zat makanan ransum penelitian
disajikan dalam Tabel 10.
 
 

20
 

Tabel 10. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian (As Fed)
Zat Makanan (%)

Starter

Grower

Kadar Air

10,35

10,64

Abu

7,96

8,15

Protein

20,23

19,40

Lemak

6,06

6,03

Keterangan : Hasil analisa Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fateta-IPB.

Kandungan serat kasar biji ketumbar tergolong tinggi, namun kandungan
serat kasar ransum starter dan grower masih dalam batas aman untuk broiler.
Komposisi nutrien biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11. Komposisi Nutrien Biji Ketumbar (As Fed)
Komposisi Nutrien

Jumlah

Bahan Kering (%)

89,19

Protein Kasar (%)

17,30

Lemak Kasar (%)

11,59

Serat Kasar (%)

31,26

Beta-N

22,89

Kalsium (%)

1,01

Fosfor (%)

0,82

Energi Bruto (Kkal/kg)

5052,00

Keterangan: Komposisi nutrien biji ketumbar hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2011).

Serat kasar ransum starter berkisar antara 2,97%-3,98% dan grower 2,81%3,87%. Serat kasar pada pakan broiler maksimal 5%. Semakin tinggi kandungan
serat kasar efisiensi pakan semakin rendah (Direktorat Bina Produksi, 1997).
Bobot badan awal ayam akan mempengaruhi performa ayam pada periode
berikutnya. Bobot badan awal broiler yang digunakan dalam penelitian sudah di atas
persyaratan mutu standar bobot badan bibit ayam broiler minimal menurut SNI
(2005). Data rataan bobot badan awal dapat dilihat pada Tabel 12.
 
 

21
 

Tabel 12. Rataan Bobot Badan Awal Ayam Broiler
Perlakuan

Bobot Badan (gram/ekor)

R0

42,16±0,08

R1

41,70±0,21

R2

42,13±0,06

R3

42,00±0,06

Keterangan : R0 (ransum kontrol); R1 (ransum dengan biji ketumbar 1%); R2 (ransum dengan biji
ketumbar 2%); R3 (ransum dengan biji ketumbar 3%). Superskrip non-kapital pada
kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P0,05). Persyaratan mutu bibit ayam broiler (DOC) menurut SNI
(2005) yaitu berat badan DOC per ekor minimal 37 gram dengan kondisi fisik sehat,
kaki normal, dapat berdiri tegak, tampak segar dan aktif, tidak ada kelainan bentuk,
sekitar pusar dan dubur kering, dan jaminan kematian DOC maksimal 2%.
Performa Broiler pada Fase Starter
Pada penelitian ini broiler dipelihara di lingkungan tropis dengan sistem
perkandangan terbuka, yang secara alami akan mengalami stres lingkungan seperti
kedinginan, kepanasan dan kecepatan angin/aliran udara. Stres yang diterima oleh
ayam broiler akan menyebabkan rendahnya produktifitas. Data rataan performa
broiler pada fase starter disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan Performa Broiler Fase Starter (umur 0-21 hari)
Perlakuan

Bobot Badan
(gram)
b

R0

462,07±17,50

R1

413,43±6,79

R2

498,11±15,69

R3

a
c

bc

471,41±19,06

Konsumsi Pakan

PBB (gram)

(gram)
b

ab

419,91±17,50

815,74±14,27

a

691,87±40,54

371,73±6,79

c

455,99±15,69

bc

429,41±19,06

a

b

835,81±78,89
773,36±29,5

ab

Konversi Pakan
1,94±0,07
1,86±0,12
1,83±0,11
1,80±0,13

Keterangan : R0 (pakan tanpa biji ketumbar/kontrol); R1 (pakan dengan biji ketumbar 1%); R2
(pakan dengan biji ketumbar 2%); R3 (pakan dengan biji ketumbar 3%). Superskrip
non-kapital pada kolom (bobot badan dan pbb) menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P