Dampak Penambangan Bauksit pada Lahan Hutan di Pulau Kas Kepulauan Riau

DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT PADA LAHAN
HUTAN DI PULAU KAS KEPULAUAN RIAU

ARIFIN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Penambangan
Bauksit pada Lahan Hutan di Pulau Kas Kepulauan Riau adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Arifin
NIM E44070004

ABSTRAK
ARIFIN. Dampak Penambangan Bauksit pada Lahan Hutan di Pulau Kas
Kepulauan Riau. Dibimbing oleh BASUKI WASIS.
Pulau Kas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Karimun yang
menjadi lokasi penambangan bauksit. Aktivitas penambangan dapat menimbulkan
kerusakan yang sangat besar dan bukan tidak mungkin menenggelamkan pulau
tersebut. Lahan-lahan bekas areal penambangan memiliki kesuburan tanah yang
rendah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan sifat fisik dan kimia
tanah di Pulau Kas, Kabupaten Karimun, Propinsi Kepulauan Riau sebelum dan
sesudah menjadi lahan penambangan bauksit. Penelitian ini menggunakan data
hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah yang diperoleh dari Tim
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karimun. Data hasil uji laboratorium sifat
fisik dan kimia tanah, dianalisis secara deskriptif dan statistik dengan
menggunakan uji T pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukan
bahwa kegiatan penambangan menyebabkan perubahan pada sifat fisik tanah

yakni peningkatan nilai pada variabel bulk density dan penurunan pada variabel
porositas, pori drainase, air tersedia dan permeabilitas. Sedangkan pada sifat kimia
tanah menunjukan peningkatan pada variabel pH, Ca, Mg, dan K dan penurunan
kandungan pada variabel C-organik, N total, P bray, dan Na. Hasil analisis data
secara statistik menunjukan perbedaan yang nyata pada semua variabel sifat fisik
tanah yang dianalisis. Pada sifat kimia tanah yang berbeda nyata yaitu pada
variabel : C-organik, N total dan P bray. Sedangkan yang tidak berbeda nyata
yaitu pada variabel sifat kimia tanah yaitu : pH, Ca, Mg, K, dan Na.
Kata kunci: pulau kas, sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, tambang bauksit

ABSTRACT
ARIFIN. Impact of Bauxite Mining in Land Forest in Kas Island Riau Islands
Province. Supervised by BASUKI WASIS.
Kas Island is one of the small island in Karimun Regency which became the
location of bauxite mining. Mining activities can cause massive damage and it is
not impossible to drown the island. The former mining areas has low soil fertility.
The objectives of this study were to analyze changes in physical and chemical
properties of soil in Kas Island, Karimun Regency, Riau Islands Province before
and after become a bauxite mining. This study used data from the laboratory
analysis of soil physical and chemical properties obtained from the agency team

of Environment, Karimun Regency. Laboratory test data of physical and chemical
properties of the soil, descriptively and statistically analyzed using T test at 95%
confidence interval. Results of the analysis showed that the mining activities
cause a change in the physical properties of the soil that increase the value of the
bulk density variable and a decrease in porosity variable, pore drainage, available
water and permeability. While on soil chemical properties showed increase at
variable pH, Ca, Mg, and K and decreased content of the variable-organic C, total
N, P bray, and Na. The results of data analysis showed statistically significant

differences in all variables of soil physical properties that analyzed. Soil chemical
properties that significantly different are on the variables: organic-C, total N and P
bray. Meanwhile the variable of soil chemical properties that not significantly
different are : pH, Ca, Mg, K, and Na.
Keywords: bauxite mining, kas island, soil chemical properties, soil physical
properties

DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT PADA LAHAN
HUTAN DI PULAU KAS KEPULAUAN RIAU

ARIFIN


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Dampak Penambangan Bauksit pada Lahan Hutan di Pulau Kas
Kepulauan Riau
Nama
: Arifin
NIM
: E44070004


Disetujui oleh

Dr Ir Basuki Wasis, MS
Pembimbing Skripsi

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Dam, . enambangan Bauksit pada Lahan Hutan di Pulau Kas
K epI : _.......n Riau
Nama
NIM

: Arifin

: E-t-L - . :


.1

Disetujui oleh

Dr Ir Basuki Wasls, MS
Pembimbing Skripsi

MS

Tanggal Lulus:

f1 6 OCT 2013

--

- - - - - - - --

- - -- - - - - - --


- - -- - - --

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Karya ilmiah ini berjudul Dampak Penambangan Bauksit pada Lahan Hutan di
Pulau Kas Kepulauan Riau. Salam dan doa semoga rahmat dan hidayah Tuhan
Yang Maha Esa senantiasa terlimpah kepada seluruh pihak yang banyak
membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Dengan segala kerendahan hati
secara pribadi penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Basuki Wasis, MS selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian penelitian ini.
2. Kedua orang tua penulis (Drs. La Ode Busi, M.Pd. dan St. Musrifa
Guru, S.Pd. SD), adik-adik penulis (Mulyani, Abdul Rahim Saafi, dan
Muhamad Ishaq Saafi) dan seluruh keluarga atas dukungan moril dan
materil yang selama ini diberikan.
3. Dosen pengajar dan seluruh Staf Departemen Silvikultur.
4. Kelurga besar Laboratorium Pengaruh Hutan.
5. Rekan-rekan Silvikultur 44.
6. Saudara-saudari sehimpun secita HMI Komisariat Fakultas kehutanan

IPB.
7. Kanda, yunda, rekan dan adinda HMI cabang Bogor.
8. Sahabat di UKM Sepakbola dan Futsal IPB.
9. Rekan dan sahabat di HIMPRO Tree Grower Community.
10. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB dan seluruh pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Arifin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE

2


Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan

2

Metodologi Penelitian

2

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3


Lokasi Penelitian

3

Sifat Fisik Tanah

4

Sifat Kimia Tanah

8

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1 Metode Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah
2 Nilai Rata-Rata Sifat Fisik Tanah pada Lahan Hutan dan Lahan
Pasca Tambang
3 Hasil analisis Uji T sifat fisik tanah
4 Nilai Rata-rata sifat kimia tanah pada lahan hutan dan lahan pasca
tambang
5 Hasil Analisis Uji T Sifat Kimia Tanah

2
4
5
8
8

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam dan lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan
(UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Dari pengertian tersebut salah satu
unsur yakni lahan (minimal 0,25 hektar) yang disebut tanah hutan merupakan
bagian penyusun dari keterpaduan ekosistem. Hal ini tentunya dalam interaksi
baik oleh tanah tersebut dan tumbuhan maupun fauna yang hidup diatasnya saling
memiliki hubungan ataupun ketergantungan untuk suatu keterpaduan ekosistem.
Olehnya itu perlu pengelolaan hutan yang mengedepankan sistem kelestarian
demi terjaganya keterpaduan ekosistem tersebut.
Pembangunan kehutanan pada hakekatnya mencakup semua upaya
memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber
daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga
kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya
pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi utamanya sudah hilang
sebagai dampak kebijakan pemerintah dalam pengaturan alih fungsi lahan.
Kebijakan yang kurang tepat menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang
disebabkan oleh perubahan fungsi lahan yang berlebihan. Hilangnya ketiga fungsi
diatas mengakibatkan semakin luasnya lahan kritis yang diakibatkan oleh
pengusahaan hutan yang mengabaikan aspek kelestarian.
Luas kawasan hutan indonesia yang mencapai 131.279.116 Ha dari total
luas wilayah daratan (Kementerian Kehutanan 2012). Disinyalir akan terus
mengalami penggundulan lahan akibat pembalakan ataupun alih fungsi seperti
perkebunan kelapa sawit, lahan sawah, perladangan, perkebunan teh, ataupun
untuk tujuan usaha lainnya. Perubahan lahan yang saat ini sedang banyak terjadi
salah satunya adalah pertambangan. Lahan-lahan bekas areal pertambangan
biasanya memiliki kesuburan tanah yang rendah.
Pulau Kas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Karimun yang
menjadi lokasi penambangan bauksit. Penambangan ini dinilai dapat merusak
pulau tersebut sebagai salah satu pulau kecil di daerah perbatasan karena aktivitas
penambangan dapat menimbulkan kerusakan yang sangat besar dan bukan tidak
mungkin menenggelamkan pulau tersebut. Eksploitasi lahan hutan di Pulau ini
menjadi pertambangan bauksit yang berlebihan akan menimbulkan adanya
perubahan sifat tanah baik itu sifat fisik maupun kimianya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai sifat fisik dan kimia tanah di Pulau tersebut untuk
mengetahui perubahan sifat fisik dan kimia tanah sesudah penambangan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan sifat fisik dan
kimia tanah di Pulau Kas, Kecamatan Durai, Kabupaten Karimun, Propinsi
Kepulauan Riau sebelum dan sesudah menjadi lahan penambangan bauksit.

2
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah menyajikan informasi terkait perubahan
sifat-sifat tanah pada aspek fisik dan kimia tanah pada lahan hutan di Pulau Kas,
Kecamatan Durai, Kabupaten Karimun sebelum dan sesudah penambangan
bauksit. Sehingga kita dapat mengetahui potensi toksik, pengaruh dan dampak
kegiatan penambangan bauksit terhadap sifat fisik dan kimia tanah. Selanjutnya
dapat dijadikan bahan rekomendasi untuk perbaikan hara dalam pengelolaan lahan.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010. Pengambilan sampel data
dilaksanakan pada areal hutan alam dan tanah rusak (bekas tambang) di Pulau
Kas, Kecamatan Durai, Kabupaten Karimun, Propinsi Kepulauan Riau oleh Tim
Badan Lingkungan Hidup (BLH). Analisis sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di
Laboratorium Tanah, Institut Pertanian Bogor tahun 2010.

Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah data primer hasil analisis sifat fisik
dan sifst kimia tanah yang diperoleh dari Tim Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Karimun. Lokasi pengambilan data adalah di Pulau Kas, Kecamatan
Durai, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.

Metodologi Penelitian
Pengambilan sampel
Sampel tanah diambil langsung dari Pulau Kas, Kecamatan Durai,
Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Sampel tanah diambil dengan
menggunakan metode purposive sampling. Sampel tanah yang diambil berupa
tanah komposit dengan tiga ulangan, yaitu: lahan hutan dan lahan pasca tambang.
Analisis sifat fisik dan sifat kimia tanah
Tabel 1 Metode Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Parameter
Metode analisis
Sifat fisik
Tekstur
Pipet
Bulk density
Gravimetrik
Porositas tanah
Volumeter
Permeabilitas
Lambe
Kadar air
Gravimetrik
Air Tersedia
Gravimetrik

3
Parameter
Sifat Kimia
pH
C-Organik
N-Total
P-Bray
K, Ca, Mg, Na
KTK

Metode analisis
pH meter
Walkey and Black
Kjeldahl
Bray 1, Spektrofotometer
NH4OAc N pH 7.0, AAS
NH4OAc N pH 7.0, titrasi

Sampel tanah yang telah diambil oleh Tim Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Karimun dibawa ke Laboratorium Tanah untuk di Analisis. Uji
laboratorium meliputi analisis tanah. Analisis tanah ini dilakukan untuk
mengetahui sifat fisik dan kimia tanah pada lokasi pengambilan sampel. Berikut
adalah sifat-sifat tanah yang dianalisis beserta metodenya seperti disajikan pada
Tabel 1.

Prosedur Analisis Data
Data hasil uji lab sifat fisik dan kimia tanah, dianalisis secara deskriptif dan
uji statistik. Analisis secara diskriptif dilakukan dengan mendiskripsikan nilai
rata-rata setiap variabel pada tiga ulangan dan dikategorikan berdasarkan Kriteria
Penilaian Sifat Tanah (Pusat Penelitian Tanah 1983 dalam Hardjowigeno 2003).
Sedangkan untuk analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Uji T pada
selang kepercayaan 95%. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dampak terhadap
sifat fisik dan kimia tanah akibat dari perambahan hutan tersebut. Software yang
digunakan dalam analisis statistik adalah Minitab 15.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian
Profil Wilayah
Pembentukan Kabupaten Karimun berdasarkan Undang-undang Nomor 53
Tahun 1999 yang wilayahnya terdiri dari tiga kecamatan yakni: 1) Kecamatan
Karimun, 2) Kecamatan Moro, dan 3) Kecamatan Kundur. Selanjutnya
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karimun nomor 16 tahun 2001, maka
wilayah Kabupaten Karimun dimekarkan menjadi 8 kecamatan, dan akhirnya
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karimun nomor 10 Tahun 2004
dimekarkan lagi menjadi 9 kecamatan. Kabupaten Karimun merupakan Daerah
kepulauan yang mempunyai luas 7.984 km2 yang terdiri dari wilayah daratan
seluas 1.524 km2 dan wilayah perairan seluas 6.460 km2. Kabupaten Karimun
memiliki 246 pulau kecil dan tiga pulau besar, yakni: 1) Pulau Karimun, 2) Pulau
Kundur, dan 3) Pulau Sugi. Berdasarkan Laporan TPING dari 249 pulau di
wilayah Kabupaten Karimun terdiri dari 73 pulau berpenghuni, 172 pulau tidak

4
berpenghuni, 200 pulau benama, 45 pulau tidak bernama dan 25 pulau diantaranya
adalah pulau terluar.
Secara geografis terletak antara 0º35’ LU sampai dengan 1º10’ LU dan
103º30’ BT sampai dengan 104º BT. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan
Selat Malaka dan Singapura (Utara), Kec. Kateman Kab. Indragiri Hilir (Selatan),
Kec. Rangsang, Kab. Bengkalis dan Kec. Kuala Kampar Kab. Pelalawan (Barat)
serta Kota Batam dan Kepulauan Riau (Timur). Kondisi topografi wilayah
Kabupaten Karimun relatif datar dan landai dengan ketinggian 2-500 m dpl.
Sebagian wilayah Kabupaten Karimun berupa pegunungan/perbukitan
(kemiringan 40 dan ketinggian 20-500 m dpl) dan rawa-rawa. Potensi perairan
Kabupaten Karimun termasuk ke dalam perairan yang subur. Temperatur udara di
Kabupaten Karimun rata-rata mencapai 27,2º dengan kelembaban udara 85%.
Penduduk Kabupaten Karimun per April tahun 2006 sudah mencapai 205.438
jiwa, terdiri dari 105.484 jiwa laki-laki dan perempuan cenderung stabil selama
tiga tahun terakhir, yaitu berkisar 51% dan 49%.
Pulau Kas
Pulau Kas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Karimun yang
telah memiliki nama dan berpenghuni. Luas pulau ini sekitar 384 km 2. Pulau ini
termasuk pulau-pulau kecil di daerah perbatasan, Keberadaannya di daerah
perbatasan sangat penting karena menjadi salah satu penentu wilayah teritorial
Republik Indonesia. Pulau Kas secara geografis terletak di 0036’0” LU dan
103058,8”. Pulau ini sangat cocok apabila dikembangkan menjadi lokasi budidaya
perikanan dan area penangkapan budidaya traditional. Penduduk Pulau Kas
sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

Sifat Fisik Tanah
Variabel sifat fisik tanah yang diamati dan diukur pada penelitian kali ini
yaitu: bulk density, porositas,
pori drainase, air tersedia dan permeabilitas.
Pengambilan dan pengukuran sampel dilakukan oleh Tim Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Karimun. Berikut adalah hasil analisis lab sifat fisik tanah yang
telah dilakukan seperti tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai Rata-Rata Sifat Fisik Tanah pada Lahan Hutan dan Lahan Pasca
Tambang
Sifat Fisik Tanah
Lahan Hutan
Lahan Pasca Tambang
Bulk Density
0,723
1,277
Porositas
74,110
51,720
Pori Drainase (Sangat cepat)
12,45
5,880
Air Tersedia
17,52
11,113
Permeabelitias
23,69
4,10
Hasil analisis lab sifat fisik tanah kemudian dilakukan uji statistik dengan
menggunakan uji T pada selang kepercayaan 95%. Hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui dampak penambangan bauksit Pada lahan hutan terhadap sifat fisik
tanah. Hal tersebut dilakukan dengan memperbandingkan nilai rataan ketiga titik
sampel yang diambil dari tanah hutan dan tanah bekas pertambangan bauksit.

5
Hasail analisis statistik pada tanah hutan dan tanah pertambangan tersaji pada
Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis Uji T sifat fisik tanah
Sifat Fisik Tanah
Bulk Density (g/cc)
Porositas (%)
Pori Drainase Sangat Cepat (%)
Air Tersedia (%)
Permeabelitias (cm/jam)

Lahan Hutan
0,723 ± 0,122
74,110 ± 4,720
12,45 ± 2,940
17,52 ± 2,500
23,69 ± 3,360

Lahan Pasca Tambang
1,277 ± 0,031*
51,720 ± 0,798*
5,880 ± 0,557*
11,113 ± 0,562*
4,10 ± 1,620*

Keterangan: * : berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji T pada selang
kepercayaan 95% menunjukan bahwa pada semua variabel sifat fisik tanah yang
dianilis pada lahan hutan dan dan lahan bekas penambangan secara keseluruhan
menunjukan perbedaan yang nyata. Hal ini secara statistik berarti penambangan
bauksit pada lahan hutan berpengaruh terhadap sifat fisik tanah yakni: bulk
density, porositas, pori drainase sangat cepat, air tersedia, dan permeabilitas.
Bulk Density
Pada Tabel 2 dapat kita lihat bahwa nilai rata-rata dari tiga titik sampel bulk
density yang diambil pada tanah hutan sebesar 0,723 gram/cc sedangkan nilai
bulk density pada tanah bekas penambangan bauksit sebesar 1,2767 gram/cc.
Mengacu pada Hardjowigono (2007) pada umumnya bulk density berkisar antara
1,1–1,6 gram/cc.
Bulk density kerapatan lindak atau bobot isi merupakan petunjuk kepadatan
tanah, dimana menunjukkan perbandingan antar berat tanah kering dengan
volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Makin padat suatau tanah makin
tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar
tanaman. Demikian pula sebaliknya tanah dengan bulk density rendah akan mudah
meneruskan air dan ditembus akar tanaman. Bulk density dapat dijadikan sebagai
petunjuk untuk menghitung kebutuhan pupuk atau air untuk tiap-tiap hektar tanah,
yang didasarkan pada berat tanah per hektar. Pada umumnya bulk density
berkisar 1,1-1,6 g/cc. Beberapa jenis tanah (misal tanah Andisol) mempunyai bulk
density kurang dari 0,90 g/cc, bahkan ada yang kurang dari 0,10 g/cc (misal tanah
gambut) (Hardjowigeno 2003).
Porositas
Nilai porositas tanah pada lahan hutan menunjukan nilai yang lebih tinggi
yakni sebesar 74,11% dibandingkan nilai porositas tanah pada lahan bekas
penambangan sebesar 51,520%. Porositas menunjukan proporsi ruang pori total
(ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati
oleh air dan udara (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan
bahwa tanah hutan memiliki bahan organik tinggi dibanding tanah bekas
penambangan bauksit. Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik
dimana semakin tinggi porositas tanah maka semakin tinggi pula bahan organik
tanah (Hardjowigono 2007).
Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur tanah

6
dan tekstur tanah. Porositas tanah tinggi kalau bahan organik tinggi. Tanah-tanah
dengan struktur granuler atau remah mempunyai porositas lebih tinggi dari tanah
dengan struktur pejal.
Pori Drainase
Ruang pori tanah yaitu bagian dari tanah yang ditempati oleh air dan udara.
Pori drainase sangat cepat pada tanah hutan yakni 12,45% volume, sedangkan
pada tanah bekas penambangan menunjukan nilai 5,880% volume. Dari nilai
tersebut menunjukan bahwa pori drainase pada tanah bekas penambangan
memiliki nilai yang lebih rendah dibanding tanah pada lahan hutan. Hal ini
menujukan tingkat pemadatan tanah yang meningkat sehingga sulit untuk
menyerap dan menyalurkan air akibat dari proses penambangan.
Ruang pori tanah yaitu bagian dari tanah yang ditempati oleh air dan udara,
sedangkan ruang pori total terdiri atas ruangan diantara partikel pasir, debu, dan
liat serta ruang diantara agregat-agregat tanah (Soepardi 1983). Porositas adalah
proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah
yang dapat ditempati oleh air dan udara (Hanafiah 2005). Proporsi antara air dan
udara dalam pori-pori tanah tergantung dari kadar air tanah. Semakin tinggi kadar
air tanah maka, semakin rendah pori yang terisi udara atau sebaliknya.
Air Tersedia
Kandungan air tersedia pada tanah lahan hutan yakni sebesar 17,52%,
sedangkan pada tanah bekas penambangan menunjukan nilai sebesar 11,113%.
Ketersedian air tanah sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Dimana semakin
tinggi air yang tersedia didalam tanah menjadikan tanaman untuk dapat menyerap
air lebih banyak.
Pertukaran kation, dekomposisi bahan organik, pelarutan unsure hara dan
kegiatan jasad renik hanya akan berlangsung dengan baik apabila tersedia air dan
udara yang cukup (Haridjaja et al. 1983). Penentuan jumlah air tersedia yang
dianggap lebih baik adalah dengan menghitung perbedaan kadar air pada tegangan
1/3 Bar (Kapasitas lapang) dengan kadar air pada 15 Bar (titik layu permanen).
Air tersedia sebagian besar merupakan air kapiler yang ditahan pada kelembaban
antara kapasitas lapang dengan koefisien layu, adapun jumlahnya dipengaruhi
oleh daya isap (matrik dan osmotic), kedalaman tanah dan pelapisan tanah (Hakim
et al. 1986).
Permeabilitas
Permeabilitas tanah pada lahan hutan tergolong kategori cepat yakni sebesar
23,69 cm/jam, sedangkan pada tanah bekas penambangan yakni sebesar 4,10
cm/jam dan termasuk dalam kategori sedang. Permeabilitas merupakan kecepatan
laju air dalam medium masa tanah.
Permeabilitas adalah kecepatan lajunya air dalam medium massa tanah.
Sifat ini penting dalam keperluan drainase dan tata air tanah. Bagi tanah-tanah
yang bertekstur halus biasanya mempunyai permeabilitas lebih lambat dibanding
tanah bertekstur kasar. Nilai permeabilitas suatu solum tanah ditentukan oleh
suatu lapisan tanah yang mempunyai nilai permeabilitas terkecil. (Hardjowigeno
1995) Permeabilitas tanah dapat menghilangkan daya air untuk mengerosi tanah,
sedangkan drainase mempengaruhi baik buruknya pertukaran udara.

7
Berdasarkan Tabel 2 dapat terlihat bahwa keseluruhan variabel sifat fisik
tanah yang diamati pada lahan hutan memiliki nilai rataan yang lebih tinggi
dibanding pada lahan bekas penambangan kecuali pada variabel bulk density.
Semakin tinggi nilai bulk density menunjukan semakin padat tanah tersebut.
Proses penambangan yang menggunakan alat berat atau alat mekanik lainnya
berdampak pada terbentuknya lapisan tapak bajak (plow sole) yang menyebabkan
proses pemadatan pada tanah. Selain itu proses infiltrasi langsung air hujan
terhadap permukaan tanah menyebakan penyumbatan pori tanah karena erosi
internal yang berdampak pada makin tingginya nilai bulk densty.
Menurut
Hardjowigeno (2007), makin padat suatu tanah atau makin tinggi bulk density
maka akan menyebakan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan
oleh sulitnya air menembus permukaan tanah yang berdampak pada ketersediaan
unsur hara serta sulitnya akar tanaman menembus tanah.
Tanah dengan bulk density tingggi tentu akan memiliki ruang pori total yang
rendah. Proses pemadatan tanah akan menyebakan pori tanah menjadi kecil.
Merujuk Hanafiah (2005), porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang
kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air
dan udara. Maka sesuai data yang tersaji pada Tabel 2 tanah pada lahan hutan
yang memiliki bulk density lebih rendah dibanding tanah pada lahan bekas
penambangan memiliki porositas yang lebih tinggi. Tanah kosong tanpa tegakan
akan menyebabkan air hujan yang turun secara langsung mengenai permukaan
tanah yang berdampak pada erosi internal (penyumbatan pori tanah oleh liat dan
debu). Hal ini dapat terjadi karena tanah bekas pengolahan pertambangan belum
memiliki kematangan pori. Selain itu menurut Supardi (1983) tanah-tanah yang
memiliki pori makro akan cenderung sangat cepat dalam meneruskan gerakan
udara dan air. Hal ini dipertegas oleh Hardjowigeno (2007), dimana tekstur tanah
berpengaruh terhadap porositas. Tanah dengan tekstur kasar atau berpasir seperti
pada tanah tererosi dan tanah galian memiliki porositas yang rendah karena
memiliki pori makro yang lebih banyak sehingga sulit untuk menahan air.
Pori drainase menunjukan kematangan tanah dalam beraerasi dengan baik.
Bila pori aerasi diats 10 % volume, tanaman akan mendapat aerasi cukup, kecuali
pada tanah dengan permukaan air dangkal (Kohnke 1968 dalam Musthofa 2007).
Penurunan nilai pori drainase sangat cepat pada lahan bekas penambangan
diakibatkan proses pengolahan tanah oleh alat mekanik atau alat penambangan
lainnya. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya struktur tanah ataupun pemadatan
terhadap ruang pori tanah. Pada tanah bekas galian umunya memiliki pori makro
yang lebih banyak dan ruang pori yang semakin sedikit. Walaupun ruang pori
sedikit gerakan air dan udara sangat cepat karena dominasi pori makro. Menurut
Soepardi (1983), granulasi tanah bertekstur halus memperlancar aerasi, bukan
karena jumlah ruang pori bertambah tetapi karena perbandingan ruang pori makro
terhadap ruang pori mikro bertambah.
Tanah yang memiliki porositas tinggi akan memiliki air tersedia yang tinggi
pula, karena porisitas menujukan ruang pori total yang dapat ditempati oleh air
dan udara. Pada tanah hutan alam umumnya tanah belum diolah berbeda dengan
tanah bekas penambangan yang menyebakan berkurangnya ruang pori tanah.
Menurut Soepardi (1983), pengolahan tanah justru menurunkan ruang pori, lebih
rendah dari yang tidak pernah diolah. Selain itu tanah yang diolah untuk keperluan
penambangan juga menyebakan tingginya partikel tanah berpasir karena proses

8
penggalian hingga bagian tanah lapisan bawah yang umumnya lempung berpasir.
Hal ini menyebakan pori makro tanah semakin meningkat. Tanah yang memiliki
pori makro akan sangat cepat dalam meneruskan air dan udara. Air tersedia
menujukan ketersediaan air didalam tanah yang dapat diserap oleh tanaman.
Tanah yang memiliki nilai bulk density tinggi akan memiliki nilai
permeabilitas yang lebih rendah dibanding tanah yang memiliki bulk density
rendah. Permeabilitas menujukan kecepatan air dalam medium masa tanah.
Menurut Hardjowigeno (2003), tanah pada hutan alam dan tanah galian memiliki
permeabilitas tanah yang cepat. Sedangkan tanah tererosi memiliki permeabilitas
yang sedang. Pada tanah lahan bekas penambangan menunjukan nilai
permeabilitas yang sedang dimana terjadi penurunan dibanding pada tanah lahan
hutan. Hal ini disebakan oleh erosi internal dimana penyumbatan pori tanah oleh
debu dan liat. Sulitnya air menembus lapisan bawah tanah karea nilai bulk density
yang tinggi.

Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah yang diukur dan dilakukan uji lab adalah pH, C-organik, N
Total, P Bray, Ca, Mg, K dan Na. Berikut adalah hasil analisis Lab yang telah
dilakukan sebagaimana tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai Rata-rata sifat kimia tanah pada lahan hutan dan lahan pasca
tambang
Sifat Kimia Tanah
pH
C-Organik
N Total
P Bray
Ca
Mg
K
Na

Lahan Hutan
5,233
12,983
0,550
34,78
5,93
1,943
0,570
0,263

Lahan Pasca Tambang
5,300
0,777
0,080
4,900
6,560
2,397
0,580
0,237

Data hasil uji lab kemudian dianalis secara statistik dengan menggunakan
uji T pada selang kepercayaan 95%. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
dampak dari penambangan bauksit pada lahan hutan terhadap sifat kimia tanah.
Berikut adalah hasil analisis statistik sifat kimia tanah pada tanah hutan dan tanah
bekas penambangan seperti tersaji pada tabel 5.
Tabel 5 Hasil Analisis Uji T Sifat Kimia Tanah
Sifat Kimia Tanah
pH (H2O)
C-Organik (%)
N Total (%)
P Bray (ppm)
Ca (me/100g)
Mg (me/100g)

Lahan Hutan
5,233 ± 0,153
12,983 ± 0,673
0,550 ± 0,027
34,767 ± 5,400
5,930 ± 1,550
1,943 ± 0,744

Lahan Pasca Tambang
5,300 ± 0,458tn
0,777 ± 0,155*
0,080 ± 0,010*
4,900 ± 0,624*
6,560 ± 0,502tn
2,397 ± 0,880tn

9
Sifat Kimia Tanah
K (me/100g)
Na (me/100g)
Keterangan:

Lahan Hutan
0,570 ± 0,156
0,263 ± 0,040

Lahan Pasca Tambang
0,580 ± 0,125tn
0,237 ± 0,038tn

* : Berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
tn : Tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji T pada selang
kepercayaan 95% menunjukan bahwa proses penambangan bauksit pada lahan
hutan berpengaruh nyata pada variabel sifat kimia tanah yakni: C-organk, N Total
dan P Bray. Sedangkan untuk variabel sifat kimia tanah: pH, Ca, Mg, K, dan Na
tidak menunjukan perbedaan yang nyata secara statistik.
Reaksi Tanah (pH)
Pada tabel 4 Nilai rata-rata pH tanah pada tanah hutan sebesar 5,233
sedangkan nilai pH tanah pada lahan bekas penambangan mengalami peningkatan
menjadi 5,300. Menurut Herdjowigeno (2007) nilai pH tanah pada kedu lokasi
penelitian tersebut tanahnya bereaksi masam. Di Indonesia tanah yang bereaksi
masam umumnya nilai pHnya berkisar antara 4,0–5 ,5.
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
hidrogen (H+) didalam tanah, makin tinggi nilai kadar ion H+ dalam tanah, makin
masam tanah tersebut. Nilai pH berkisar dari 0-14 dengan pH 7 disebut netral
sedang pH kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis.
Tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pHnya dengan menambahkan kapur ke
dalam tanah sedang tanah yang terlalu alkalis dapat di turunkan pHnya dengan
penambahan belerang.
Dalam tanah pH sangat penting dan erat hubungannya dengan hal- hal
berikut ini:
1. Menunjukkan mudah tidaknya unsure-unsur hara diserap tanaman, pada
umumnya unsure hara mudah diserap tanaman. Pada pH sekitar netral,
unsur hara mudah diserap akar tanaman karena pada pH tersebut mudah
larut dalam air. Pada tanah masam unsur P diikat (difiksasi) oleh Al,
sedangkan pada tanah alkalis unsur P diikat oleh Ca sehingga unsure
tersebut tidak dapat diserap tanaman.
2. Menunjukkan kemungkinan adanya unsur beracun. Pada tanah masam,
unsur mikro (Fe, Mn, Zn, Cu, Co) mudah terlarut sehingga ditemukan unsur
mikro berlebih sedangkan pemakaiannya dalam jumlah kecil sehingga
menjadi racun.
Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme. Bakteri (bakteri pengikat
nitrogen dari udara dan bakteri nitrifikasi) berkembang baik pada pH 5,5 atau
lebih, sedang jamur dapat berkembang baik pada segala tingkat kemasaman tanah.
C-Organik
C-Organik merupakan penyusun utama bahan organik tanah. Nilai COrganik pada tanah hutan dan tanah bekas penambangan menunjukan perbedaan
yang cukup signifikan. Dimana pada pada tanah hutan dapat kita lihat bahwa nilai
C-Organiknya sebesar 12,983% sedangkan pada tanah bekas penambangan hanya

10
memiliki C-Organik sebesar 0,777%. Hal ini dapat dikatakan bahwa proses
penambangan dapat mengakibatkan menurunnya bahan organik tanah.
Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu factor yang
berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini
dikarenakan bahan organik dapat meningkatakan kesuburan kimia, fisika maupun
biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah
C-Organik (Direktorat Jenderal Pendidikan 1991).
Musthofa (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan
organik dalam bentuk C-Organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari
dua persen,. Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan
waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah
penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan
bahan organik sangat erat berkaitan dengan KTK yakni mampu meningkatkan
KTK tanah. Tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi
kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan
menyebabkan pemadatan tanah (Direktorat Jenderal Pendidikan 1991).
N Total
Bahan organik merupakan sumber utama N dalam tanah. Pada lahan hutan
jumlah N Total rata-rata senilai 0,5500% dan tergolong tinggi sedangkan pada
lahan bekas penambangan jumlah N Totalnya adalah 0,0800% dan tergolong
sangat rendah. Hal ini mengacu pada kriteria penilaian sifat kimia tanah (Pusat
Penelitian Tanah 1983 dalam Hardjowigeno 2007).
Bahan organik merupakan sumber Nitrogen (N) yang utama di dalam
tanah. Pada bahan organik halus jumlah N tinggi maka perbandingan C/N rendah,
sedangkan bahan organik kasar jumlah N rendah sehingga C/N tinggi. Nirtogen
berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh
pada tanah yang cukup N, berwarna lebih hijau dan berperan dalam pembentukan
protein. Nitrogen diambil tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat
(NO3-). Tambahan nitrogen pada tanah berasal dari hujan dan debu, penambatan
secara tak simbiosis, penambatan secara simbiosis dan kotoran hewan dan
manusia. Kehilangan nitrogen dari tanah disebabkan oleh penguapan, pencucian,
denitrifikasi, pengikisan dan penyerapan oleh tanaman. Denitrifikasi terjadi
karena drainase buruk, lokasi tergenang, dan tata udara dalam tanah buruk.
P Bray
Hasil analisis tanah sebagaimana tercantum pada Tabel 4 Dapat kita lihat
bahwasanya nilai fosfor pada lahan hutan senilai 34,78 ppm sangat berbeda jauh
dengan nilai fosfor pada contoh sampel tanah lahan bekas penambangan yakni
sebesar 4,900 ppm. Niali fosfor pada lahan hutan berada dalam kategori tinggi
sedangkan pada lahan bekas penambangan termasuk dalam kategori sangat rendah.
Fosfor dalam tanah tidak dapat segera tersedia, hal ini tergantung pada sifat
dan cirri tanah serta pengelolaan tanah, hal tersebut dikarenakan laju kelarutan
fosfor sangat lambat (Soepardi 1983). Kemasaman tanah memberikan fosfor
terlarut dalam tanah, kenaikan pH akan menaikkan kelarutan dari ferripospat dan
alumunium sulfat dan menurunkan dari Ca pospat. Fosfor paling mudah diserap
oleh tanaman pada pH sekitar 6–7 (Hardjowigeno 1989).

11
Fosfor bersumber dari bahan organik, pupuk buatan, dan mineral-mineral
tanah, di dalam tanah terdapat dua jenis fosfor yaitu fosfor organik dan fosfor
anorganik. Bentuk fosfor organik biasanya terdapat banyak di lapisan atas yang
lebih kaya akan bahan organik diduga mengandung kuang lebih 0,21% fosfor
(Hakim et al. 1986). Menurut Foth (1994) jika kekurangan fosfor, pembelahan sel
pada tanaman terhambat dan pertumbuhannya kerdil.
Kalsium (Ca)
Menurut Hardjowigeno (2007) kalsium dalam tanaman memiliki fungsi
sebagai: penyusunan dinding-dinding sel tanaman, pembelahan sel dan untuk
tumbuh (elengation). Berdasarkan hasil analisis lab pada sampel tanah lahan hutan
menujukan nilai kalsium sebesar 5,93 me/100g dan tergolong rendah. Sedangkan
nilai kalsium pada lahan bekas penambangan senilai 6,560 me/100g dan tergolong
sedang.
Kalsium tergolong dalam unsur-unsur mineral essensial sekunder seperti
magnesium dan belerang. Ca2+ dalam larutan dapat habis karena diserap tanaman,
diambil jasad renik, terikat oeh kompleks adsorpsi tanah, mengendap kembali
sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci (Leiwakabessy 1988). Soepardi
(1983) menyatakan bahwa mudah tidaknya kalsium dibebaskan tergantung dari
mineral apa dan tingkat hancurannya. Mineral utama yang banyak mengandung
kalsium tanah adalah kalsit (CaCO3) dan dolomite (CaMg(CO3)2). Kadar kalsium
tanah mineral rata-rata adalah 0,4% pada lapisan tanah atas, sedangkan pada
tanah-tanah organik kadarnya lebih tinggi, yaitu dapat mencapai 2,8%. Tingginya
kadar kalsium tanah disebabkan air yang mengalir banyak membawa kapur larut
didalamnya (Hakim et al. 1986).
Magnesium (Ma)
Pada Tabel 4 dapat kita lihat bahwa nilai magnesium pada lahan hutan yakni
1,943 me/100 gyang tergolong sedang. Sedangkan nilai magnesium pada lahan
bekas penambangan lebih tinggi yakni 2,397 me/100 g yang tergolong tinggi.
Magnesium merupakan unsur pembentuk klorofil. Seperti halnya dengan
beberapa hara lainnya, kekurangan magnesium mengakibatkan perubahan warna
yang khas pada daun. Terkadang pengguran daun sebelum waktunya merupakan
dampak dari kekurangan magnesium (Hanafiah 2005).
Kalium (K)
Unsur kalium dalam kedua lokasi penelitian tergolong dalam kategori yang
cukup tinggi. Dimana nilai kalium pada lahan hutan yakni 0,570 me/100 g
sedangkan nilai kalium pada lahan hutan beks penambangan yakni 0,580 me/100
g. Kalium dalam tanah umumnya diambil oleh tanaman dalam jumlah yang lebih
banyak dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi
Unsur K dalam tanah berasal dari mineral primer tanah (feldspar, mika dan
lain-lain) dan pupuk buatan ZK. Tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah
yang jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi.
Unsur K berfungsi dalam pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukakan
stomata (mengatur pernapasan dan penguapan), perkembangan akar. Unsur K
mudah bergerak (mobile) di dalam tanaman sehingga gejala-gejala kekurangan K

12
pada daun terlihat terutama pada daun tua, pinggiran daun berwarna coklat dan
tanaman tidak tinggi (Hardjowigeno 2003).
Natrium (Na)
Natrium merupakan salah satu unsur hara mikro penunjang untuk
pertumbuhan tanaman. Selain sebagai unsur mikro, Na juga bersifat toksik bagi
tanaman jika terdapat dalam jumlah yang sedikit berlebihan (Hanafiah 2005).
Berdasarkan Tabel 4 dapat kita lihat bahawa nilai natrium pada kedua lokasi
penelitian tersebut tergolong rendah. Dimana nilai Natrium pada lahan hutan
yakni 0,2633 me/100 g sedangkan pada lahan bekas penambangan sebesar 0,2367
me/100 g.
Natrium merupakan unsure penyusun lithosfer keenam setelah Ca yaitu
2,75% yang berperan penting dalam menentukan karakteristik tanah dan
pertumbuhan tanaman terutama didaerah kering dan agak kering yang berdekatan
dengan pantai, karena tingginya kadar Na di laut, suatu tanah tanah alkali jika
KTK atau muatan negatif koloid-koloid dijenuhi oleh ≥ 15% Na, yang
mencerminkan unsur ini merupakan komponen dominan dari garam- garam larut
yang ada. Sebagaimana unsur mikro, Na juga bersifat toksik bagi tanaman jika
terdapat dalam tanah dalam jumlah yang sedikit berlebihan (Hanafiah 2005).
Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg++, K+, NH4+, Na+ dan
sebagainya. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah
per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapistas tukar kation
(KTK). KTK tanah sangat erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK
tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah
dengan KTK rendah. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergatung pada sifat
dan ciri tanah itu sendiri, yakni sebagai berikut: 1) reaksi tanah, 2) tekstur atau
jumlah liat, 3) jenis mineral liat, 4) bahan organik dan 5) pengapuran serta
pemupukan (Hardjowigeno 2003) .
Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation
basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat
dalam kompleks jerapan tanah. Termasuk kation-kation basa adalah Ca++, Mg++,
K+ dan Na+, sedang yang termasuk kation-kation asam adalah H+ dan Al+++.
Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai
kapasitas tukar kation tanah tersebut. Kejenuhan basa berhubungan erat dengan
pH tanah, tanah dengan pH rendah umumnya memiliki kejenuhan basa rendah
begitupun sebaliknya. Tanah- tanah dengan kejenuhan basa rendah, berarti
kompleks jerapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al+++ dan H+ .
Apabila jumlah kation asam terlalu banyak terutama Al +++, dapat merupakan
racun bagi tanaman. Keadaan seperti ini terdapat pada tanah-tanah masam.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium sifat kimia tanah menunjukan hasil
yang beragam. Dimana pada variabel: pH, Ca, Mg, dan K menunjukan nilai yang
lebih tinggi pada tanah lahan bekas penambangan dibandingkan pada hutan alam.
Sedangkan pada variabel: C-organik, N total, P bray dan Na hasil analisis
menunjukan tanah pada hutan alam memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan
pada tanah lahan bekas penambangan. Pada variabel pH tanah selisish antara
kedua lokasi tersebut sebesar 0,067 yang mana secara statistik sebenarnya tidak
menujukan perbedaan yang nyata. Hal ini disebakan oleh hilangnya tutupan lahan
panah tanah bekas penambangan sehingga menyebakan tanah lebih kering.

13
Menurut Hardjowigeno (2007), di daerah yang sangat kering (arid) kadangkadang pH tanah sangat tinggi (pH lebih dari 9.0) karena banyak mengandung
garam Na.
Pada proses penambangan atau perambahan lahan hutan lainnya ditandai
dengan penebangan dan pembersihan vegetasi yang tumbuh. Yang mana vegetasi
yang tumbuh merupakan pemasok utama bahan organik tanah. Jumlah C-organik
tanah menunjukan perbedaan yang sangat signifikan pada hutan alam dan lahan
bekas penambangan. Dimana pada lahan hutan terdapat 12,983% dan terjadi
penurunan pada lahan bekas penambangan sebesar 12,206%. Menurut Hanafiah
(2007), sumber primer bahan organik tanah berasal dari jaringan organik tanaman
baik berupa buah, daun, ranting, batang/cabang, maupun akar. Sedangkan sumber
sekunder merupakan jaringan organik fauna yang termasuk kotorannya serta
mikroflora. Olehnya itu, tingginya nilai C-organik pada lahan hutan alam
bersumber dari jumlah vegetasi dan fauna yang ada didalam hutan. Selain itu Foth
(1994), menjelaskan bahwa proses penebangan hutan menyebabkan setengah dari
bahan organik tanah pun berpindah. Hal ini menyebakan rendahnya nilai Corganik tanah pada tanah lahan bekas penambangan. Hilangnya vegetasi yang
tumbuh diatas tanah dan aktifitas mikroorganisme tanah menjadi penyebab utama
hal tersebut. C-organik tanah merupakan penyusun utama bahan organik tanah
yang sangat berpengaruh pada kesuburan tanah.
Bahan organik merupakan sumber utama N dalam dalam tanah. Olehnya itu
merujuk penjelasan diatas kandungan bahan organik yang rendah pada tanah
lahan bekas penambangan tentunya bakal terjadi pada kandungan N total.
Sebagaimana tersaji pada tabel 6 terjadi perbedaan yang sangat signifikan
kandungan N total pada tanah lahan hutan dan bekas penambangan hingga
85,45%. Hal ini terjadi karena kurangnya bahan organik yang mana didalamnya
terkandung N organik untuk kemudian di dekomposisi menjadi N tersedia bagi
tanaman. Proses pembersihan vegetasi dan mikroorganisme tanah sebagai sumber
utama bahan organik tanah menjadi penyebab utama berkurangnya N total
tersebut. Hardjowigeno (2007), menjelaskan bahwa Nitrogen dalam tanah berasal
dari: bahan organik tanah, pengikatan oleh mikroorganisme dan N di udara, pupuk,
dan air hujan. Selain itu proses infiltrasi langsung air hujan terhadap tanah yang
menyebabkan terjadinya erosi dan aliran permuakaan yang berdampak pada
hilangnya ion nitrat (NO3) akibat pencucian.
Hal yang sama juga terjadi pada unsur hara fosfor. Terjadi penurunan
kandungan fosfor terhadap tanah bekas penambangan sebesar 85,91%.
Ketersediaan jumlah vegetasi sebagai sumber utama bahan organik merupakan
faktor utama tingginya kandungan fosfor pada lahan hutan. Hardjowigeno (2007),
menjelaskan bahwa unsur P di dalam tanah berasal dari: bahan organik dan
mineral-mineral di dalam tanah (apatit). Selain itu tidak adanya tutupan lahan
terhadap tanah bekas penambangan mengakibatkan tingkat erosi internal dan
aliran permukaan yang tinggi, mengakibatkan proses pencucian terhadap unsur
hara.
Ketersediaan kalsium pada hutan alam menujukan nilai yang lebih rendah
dibandingkan pada lahan bekas penambangan. Walaupun menurut uji statistik
perbedaan antara keduanaya tidak menunjukan perbeaan yang nyata. Asal kalsium
dalam tanah adalah dari mineral-mineral primer, karbonat, garam-garam
sederhana, dan kalsium fosfat (Hardjowigeno 2007). Kalsium merupakan unsur-

14
unsur mineral esensial sekunder seperti magnesium dan belerang. Kalsium
diambil tanaman dalam bentuk Ca2+. Rendahnya jumlah kalsium dihutan alam
diakibatkan oleh penyerapan oleh vegetasi tanaman dan pengambilan oleh jasad
renik. . Menurut Lelwakabessy (1988), Ca2+ dalam larutan dapat habis karena
diserap tanaman, diambil jasad renik , terikat oleh komplek adsorpsi tanah,
mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci. Berbeda
halnya dengan kondisi tanah pada lahan bekas penambangan vegetasi yang
tumbuh dan aktifitas jasad renikyang kecil sehingga ketersediaan kalsium relatif
tidak terganggu. Selain itu peningkatan jumlah kalsium pada lahan bekas
penambangan disebabkan oleh aliran air yang banyak membawa kapur yang
mengendap diadalamnya dan tergenang dipermukaan tanah yang secara perlahan
diserap kedalam tanah. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Hakim et al,
(1986), yakni tingginya kadar kadar kalsium tanah disebabkan air yang mengalir
banyak membawa kapur larut didalamnya.
Seperti halnya kadar kalsium, kadar magnesium pada lahan bekas
penambangan juga memiliki peningkatan terhadap lahan hutan alam. Yang mana
menurut uji statistik tidak menujukan prbedaan secara nyata. Magnesium didalam
tanah dibutuhkan dalam pembentukan khlorofil, aktivator enzim, dan
pembentukan minyak. Menurut Hanafiah (2005), kalsium dan magnesium
memiliki kesamaan yakni bervalensi dua dan merupakan kation penyusun kalsit
(CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2) yang terkait dengan upya pengapuran tanah
masam. Dari penjelasan di atas dijelaskan bahwa peningkatan jumlah kalium dan
magnesium disebabkan oleh aliran air yang membawa kapur yang mengendap d
idalamnya. Hal ini dipertegas oleh oleh peningkatan pH tanah pada tanah bekas
penambangan. Dimana semakin alkalis suatu tanah maka akan meningkatakan
kadar kalsium, magnesium dan kalium.
Menurut Foth (1994), kation dengan valensi lebih besar diabsorbsi lebih
kuat atau lebih efisien daripada kation dengan valensi yang lebih rendah yaitu Ca
Mg K Na. Dari data pada Tabel 3 jelas terlihat bahwasanya perbandingan anatara
unsur-unsur kation tersebut terlihat secara berurutan menunjukan nilai yang lebih
kecil. Semakin tinggi nilai kalsium dan magnesium maka nilai kalium akan
semakin kecil. Tanaman cenderung menyerap kalium dalam jumlah yang lebih
besar dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi. Peningkatan nilai
kalium pada tanah bekas penambangan dipengaruhi oleh pH tanah dimana
semakin alkalis suatu tanah maka nilai kalium akan semakin tinggi.
Kandungan natrium antara kedeua lokasi penlitian tersebut sebenarnya
menujukan nilai yang hampir sama. Diman terjadi penurunan sebesar 0,026
me/100g pada lahan bekas penambangan terhadap tanah pada lahan hutan. Yang
mana perbedaan tersebut secara statistik tidak menujukan perbedaan yang nyata.
Selain sebagai unsur mikro, Na juga bersifat toksik bagi tanaman jika terdapat
dalam jumlah yang sedikit berlebihan (Hanafiah 2005). Penurunan kandungan
natrium pada lahan bekas penambangan karena tidak adanya vegetasi tanaman
sebagai pemasok natrium organik.

15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kegiatan penambangan bauksit menyebakan perubahan sifat fisik tanah
yakni terjadi peningkatan kandungan pada variabel bulk density dan terjadi
penurunan kandungan pada variabel porositas, pori drainase sangat cepat, air
tersedia, dan permeabilitas. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji T dari
keselurahan variabel yang diamati menunjukan perbedaan secara nyata. Selain itu
kegiatan penambangan bauksit ini juga menyebabkan perubahan sifat kimia tanah
yakni terjadi peningkatan kandungan pada variabel pH, Ca, Mg, dan K dan terjadi
penurunan kandungan pada variabel C-organik, N total, P bray, dan Na. Hasil
analisis statistik dengan menggunakan uji T menunjukan perbedaan yang nyata
pada variabel C-organik, N total, dan P Bray sedangkan pada variabel pH, Ca,
Mg, K dan Na tidak menujukan perbedaan yang nyata.

Saran
Perlu dilakukan kegiatan reklamsi lahan pasca penambangan guna
penyelamatan rusaknya kondisi tanah baik secara fisik maupun kimia tanah.
Penegakan undang – undang terkait wilayah – wilayah yang boleh ditambang dan
prosedur penambangan guna meminimalisir kerusakan lahan.

DAFTAR PUSTAKA
Alief M. 2007. Perubahan Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah pada Hutan Alam
yang Diubah Menjadi Lahan Pertanian di Kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. IPB.
Anas I. 1989. Petunjuk Laboratorium: Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
Darori. 2006. Potret Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
“Gagasan, Capaian dan Kebutuhan Reorientasi Program.” Seminar Nasional
“Arah Pembentukan Unit Manajemen, Kelembagaan Kawasan Kelola dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Program Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan”. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. 29-30 Agustus 2006.
Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbahas. 2007. Data
Pembangunan Kehutanan Kabupaten Humbahas Sampai Akhir Tahun 2006.
Dolok Sanggul. Kabupaten Humbahas.
Foth H D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah, Edisi enam. Adisoemarto S. Jakarta:
Erlangga. Terjemahan dari : Fundamentals Of Soil Science.
Hakim N, Yusuf N, Lubis AM, Sutopo GN, Amin DM, Go BH, Bailley HH.
1986. Dasar- dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung.
Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

16
Hardjowigeno S. 1989. Ilmu Tanah. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.
Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Leiwakabessy FM. 1988. Kesuburan Tanah. Bogor: Jurusan Tanah. Fakultas
Pertanian IPB.
Sanudin, Harianja A. 2008. Penatausahaan Hasil Hutan di Hutan Rakyat (Kasus di
Kabupaten Humbang Hasundutan dan Samosir) dalam Makalah Hasil- Hasil
Penelitian. Medan. 3 Desember 2008.
Sitorus HOSRP, Brata KR. 1983. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Bogor:
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian IPB.
[Direktorat Jenderal Pendidikan]. 1991. Kimia T