Deteksi Kelainan Genetik Sapi Bali Menggunakan Gen FXI (Factor XI) dan SLC35A3 (Solute Carrier Family 35 Member 3)

DETEKSI KELAINAN GENETIK SAPI BALI
MENGGUNAKAN GEN FXI (Factor XI) DAN
SLC35A3 (Solute Carrier Family 35 Member 3)

SRI WAHYUNI SISWANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi Kelainan Genetik
Sapi Bali Menggunakan Gen FXI (Factor XI) dan SLC35A3 (Solute Carrier
Family 35 Member 3) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Sri Wahyuni Siswanti
NIM D151120181

ii

RINGKASAN
SRI WAHYUNI SISWANTI. Deteksi Kelainan Genetik Sapi Bali Menggunakan
Gen FXI (Factor XI) dan SLC35A3 (Solute Carrier Family 35 Member 3).
Dibimbing oleh JAKARIA dan CECE SUMANTRI.
Kelainan genetik terjadi karena adanya perubahan susunan basa nukleotida
yang menyebabkan terjadinya kerusakan gen yang mengkodekan asam amino
tertentu. Defisiensi factor XI pada suatu invidu menyebabkan terjadinya
gangguan pada proses pembekuan darah. Kelainan genetik factor XI deficiency
(FXID) disebabkan oleh adanya insersi poliadenin yang tidak sempurna yang
menyebabkan terjadinya stop kodon prematur pada gen FXI. Substitusi guanin
menjadi timin pada gen SLC35A3 menyebabkan kelainan genetik complex

vertebral malformation (CVM). Keberadaan kelainan genetik pada suatu populasi
menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dalam program perbibitan. Beberapa
penelitian mengenai deteksi kelainan genetik pada sapi perah telah banyak
dilakukan namun demikian penelitian mengenai deteksi kelainan genetik pada
sapi bali belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi ada
atau tidaknya kelainan genetik pada sapi bali yaitu CVM menggunakan gen
SLC35A3 dan FXID menggunakan gen FXI.
Sebanyak 325 sampel DNA yang terdiri atas 303 sampel darah yang berasal
dari pusat pembibitan sapi bali (BPTU-HMT Denpasar, BPT-HMT Serading Nusa
Tenggara Barat dan VBC Kabupaten Barru Sulawesi Selatan) dan BBIB Singosari
serta 22 sampel semen beku dari BIBD Baturiti digunakan untuk mendeteksi
FXID dan CVM. Amplifikasi gen FXI menggunakan PCR sedangkan gen
SLC35A3 menggunakan PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi PstI.
Sekuens primer gen FXI sesuai dengan Marron et al. 2004 dengan primer forward
: 5’-CCC ACT GGC TAG GAA TCG TT-3’ dan primer reverse : 5’-CAA GGC
AAT GTC ATA TCC AC-3’, sedangkan sekuens primer untuk gen SLC35A3
sesuai dengan Kanae et al. 2005 dengan primer forward : 5’-CAC AAT TTG
TAG GTC TCA CTG CA-3’ dan primer reverse : 5’-CGA TGA AAA AGG AAC
CAA AAG GG-3’. Produk PCR dianalisis dengan elektroforesis gel agarose 2%.
Seluruh genotipe dikonfirmasi dengan sekuensing DNA untuk memastikan adanya

alel mutan. Data dianalisis secara deskriptif terhadap ada atau tidaknya kelainan
genetik FXID dan CVM pada sapi bali.
Hasil penelitian tidak ditemukan alel mutan (heterozigot) baik dengan gen
FXI maupun SLC35A3. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat kejadian
FXID dan CVM sapi bali di pusat pembibitan sapi bali dan balai inseminasi
buatan.
Kata kunci : sapi bali, kelainan genetik, gen FXI, gen SLC35A3

SUMMARY
SRI WAHYUNI SISWANTI. Screening of Genetic Defect in Bali Cattle using
Factor XI (Factor XI) and SLC35A3 (Solute Carrier Family 35 Member 3) Genes.
Supervised by JAKARIA and CECE SUMANTRI.
Genetic defect occurs because the changing of the sequens nucleotide
bases that leads defective gene coding amino acids. FXID is caused by imperfect
of poly adenine which is resulted in introduction of premature stop codon in FXI
gene. Substitution of guanine into thymine in SLC35A3 gene caused complex
vertebral malformation (CVM). The research was aimed to detect the presence or
absence of a genetic defect mainly CVM using SLC35A3 gene and FXID using
FXI gene in Indonesian bali cattle. The presence of this genetic defect may have a
significant economic impact in breeding program. The research of genetic defect

almost in dairy cattles but there was no report for screening of genetic defect in
bali cattles.
In this study, 303 fresh blood samples and 22 semen samples collected
from Indonesian bali cattle breeding center (BPTU-HMT Denpasar, BPT HMT
Serading West Nusa Tenggara and VBC district Barru South Sulawesi) and
artificial insemination centre (BBIB Singosari and BIBD Baturiti) were used for
screening of FXID and CVM. The amplicons of FXI gene were obtained using
PCR and for SLC35A3 gene were obtained using PCR-RFLP method with PstI
restriction enzymes. Primer used for FXI gene (Marron et al. 2004) with forward
: 5’-CCC ACT GGC TAG GAA TCG TT-3’ and reverse : 5’-CAA GGC AAT
GTC ATA TCC AC-3’, and primer used for SLC35A3 gene (Kanae et al. 2005)
with forward : 5’-CAC AAT TTG TAG GTC TCA CTG CA-3’ and reverse : 5’CGA TGA AAA AGG AAC CAA AAG GG-3’. These PCR product were
separated in 2% agarose gels stained with ethidium bromide and viewed under UV
light. All genotypes were confirmed by DNA sequencing to determine an allele
mutants. Data were analyzed descriptively to determine the presence or absence
of genetis abnormalities of CVM and FXID in bali cattle.
The allele mutant was not found in all of the samples. The result of this
study showed that CVM and FXID were not detected in bali cattles from
Indonesian bali cattle breeding and artificial insemination centre.
Key words : bali cattle, genetic defect, SLC35A3 gene, FXI gene


iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETEKSI KELAINAN GENETIK SAPI BALI
MENGGUNAKAN GEN FXI (Factor XI) DAN
SLC35A3 (Solute Carrier Family 35 Member 3)

SRI WAHYUNI SISWANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

vi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Dedy Duryadi Solihin, DEA

Judul Tesis : Deteksi Kelainan Genetik Sapi Bali Menggunakan Gen FXI
(Factor XI) dan SLC35A3 (Solute Carrier Family 35 Member 3)
Nama
: Sri Wahyuni Siswanti

NIM
: D151120181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Jakaria, SPt MSi
Ketua

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgr Sc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Salundik, MSi


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 22 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober sampai dengan
Desember 2013 ialah kelainan genetik pada sapi bali, dengan judul Deteksi
Kelainan Genetik Sapi Bali Menggunakan Gen FXI (Factor XI) dan SLC35A3
(Solute Carrier Family 35 Member 3).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Jakaria, SPt MSi dan Prof Dr Ir
Cece Sumantri, MAgrSc selaku komisi pembimbing, atas curahan waktu, arahan,
bimbingan dan dorongan semangat sejak penyusunan proposal, penelitian hingga

penulisan tesis. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Dr Ir Dedy
Duryadi Solihin, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan
masukan yang diberikan. Kepada Sekretariat Sekolah Pasca Sarjana Fakultas
Peternakan, penulis mengucapkan terima kasih atas pelayanan prima yang
diberikan selama penulis menempuh studi di ITP IPB.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Ir Tri Harsi, MP beserta staf Balai
Embrio Ternak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB, drh Maidaswar, MSi beserta staf
Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari atas bantuan sampel yang diberikan,
serta Kepala Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor atas koleksi sampel yang diberikan.
Kepada Eryck Andreas, Shelvi, Ferdy, Irene, Isyana, Furqon, Olin dan
teman-teman ABGSci, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
kebersamaan selama di Laboratorium Genetika dan Molekuler Fakultas
Peternakan IPB. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi ITP
angkatan 2012 khususnya grup Helix (Marlinda, Irma, Tia, Andre, Raden Jatu,
Fuad, Pandu, Komang Alit dan Annisa) atas kebersamaan dalam diskusi selama
ini, semoga kebersamaan dan kekeluargaan kita tetap terjalin hingga di masa yang
akan datang. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
kedua orang tua, Bapak Siswanto dan Ibu Sri Dalyati, adik penulis Edi Nugraha,
suami tercinta Gigih Ikhtiari Erfianto, putri-putriku tersayang Westra Bornie
Kailani dan Alana Kikandriya Pramudhita serta seluruh keluarga, atas kesabaran,
doa, kasih sayang dan motivasi yang diberikan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Sri Wahyuni Siswanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kelainan Genetik
Kelainan Genetik FXID
Kelainan Genetik CVM

3
3
3
5

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data

6
6
6
8
10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Amplifikasi Gen FXI dan gen SLC35A3
11
Deteksi Kelainan Genetik FXID dan CVM
12
Implementasi Deteksi Kelainan Genetik FXID dan CVM pada Sapi Bali di
Pusat Pembibitan Sapi Bali di Indonesia
20
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
Ucapan Terimakasih

21
21
21
21

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

47

x

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Asal dan jenis sampel sapi yang digunakan dalam penelitian
Tabulasi hasil deteksi kelainan genetik FXID pada sapi bali
Data penelitian dan deteksi kelainan genetik FXID pada beberapa
bangsa di beberapa negara
Tabulasi hasil deteksi kelainan genetik CVM pada sapi bali
Beberapa penelitian dan deteksi kelainan genetik CVM pada beberapa
negara pada berbagai spesies

7
13
14
17
18

DAFTAR GAMBAR
1

Rekonstruksi gen FXI berdasarkan sekuens gen FXI di GenBank
(Kunieda et al. 2005)
2 Rekonstruksi struktur gen SLC35A3 berdasarkan sekuens gen
SLC35A3 di GenBank (Thomsen et al. 2006)
3 Posisi penempelan primer terhadap gen FXI berdasarkan sekuens gen
FXI di GenBank (Marron et al. 2004)
4 Posisi penempelan primer gen SLC35A3 berdasarkan sekuens
GenBank (Kanae et al. 2005)
5 Hasil amplifikasi gen FXI pada gel agarose 1.5%, menghasilkan pita
DNA berukuran 245 pb. M = marker DNA100 pb, 1-7 = sampel DNA
sapi bali
6 Hasil amplifikasi gen SLC35A3 pada gel agarose 1.5%, menghasilkan
pita DNA berukuran 287 pb. M = marker DNA 100 pb, 1-7 = sampel
DNA sapi bali
7 Hasil deteksi kelainan gen FXI pada gel agarose 1.5%, menghasilkan
pita DNA berukuran 245 pb. M = marker DNA100 pb, 1-7 = sampel
DNA sapi bali
8 Hasil pensejajaran sekuens gen FXI ekson 12 sapi bali dengan Bos
taurus
9 Hasil PCR-RFLP fragmen gen SLC35A3 ekson 4 dengan enzim
restriksi PstI pada gel agarose 2%. M = marker DNA (100 pb), 1-6 =
sampel DNA sapi bali.
10 Hasil pensejajaran sekuens gen SLC35A3 ekson 4 pada sapi bali
dengan Bos taurus

4
6
7
8

11

12

13
16

17
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Bos taurus coagulation Factor XI gene, partial cds
Bos taurus coagulation Factor XI gene, complete cds
Bos taurus Solute Carrier Family 35 Member 3 (SLC35A3) gene,
complete cds
Bos taurus Solute Carrier Family 35 Member 3 (SLC35A3) gene, CVM
mutant allele, complete cds

26
31
38
45

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi bali (Bos javanicus) merupakan salah satu sumberdaya genetik ternak
asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari Banteng liar (Bibos
banteng) (Martojo 2003) dengan populasi sebesar 4 789 521 ekor atau 32.31%
dari seluruh sapi potong yang ada di Indonesia (BPS 2011). Sapi bali tersebar
diseluruh Indonesia, dengan populasi terbesar terdapat di propinsi Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali dengan persentasi
secara berurutan 19.94%, 14.28%, 14.04%, dan 13.31%.
Upaya pengembangan sapi bali dilakukan di beberapa wilayah Indonesia
diantaranya adalah di BPTU-HPT Denpasar, BPT-HMT Serading Nusa Tenggara
Barat dan Village Breeding Center (VBC) Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.
Balai inseminasi buatan berhasil menampung dan mendistribusikan semen dari
sapi bali jantan unggul dalam upaya mendukung terciptanya sapi bali unggul,
diantaranya adalah Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari (BBIBS) dan Balai
Inseminasi Buatan Baturiti (BIBD Baturiti).
Peran jantan dan betina sapi bali yang unggul dalam konteks perbibitan
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu genetik mengingat sapi bali
merupakan salah satu ternak asli Indonesia. Persyaratan bibit baik jantan maupun
betina menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam program perbibitan sapi
bali, seperti tertuang dalam Permentan Nomor : 36/Permentan/OT.140/8/2006
tentang sistem perbibitan nasional yang menyebutkan bahwa salah satu syarat sapi
bibit adalah bebas dari penyakit genetik. Kelainan genetik sangat tidak
diharapkan keberadaannya dalam usaha perbibitan ternak, karena efek negatif
yang ditimbulkannya, seperti penurunan kemampuan produksi dan reproduksi,
anatomi tubuh yang abnormal dan beberapa kasus yang terjadi menyebabkan
seekor ternak mati jika mutasi tersebut bersifat letal (Meydan et al. 2010).
Beberapa penelitian mengenai deteksi kelainan genetik pada ternak sapi
terutama sapi perah telah banyak dilakukan diantaranya adalah Deficiency of
Uridine Monophosphate Synthase (DUMPS) (Citek et al. 2006), Bovine
Citrulinaemia (BC), Complex Vertebral Malformation (CVM), Factor XI
Deficiency (FXID) dan Bovine Leucocyte Adhesion Deficiency (BLAD) (Meydan
et al. 2010). Deteksi kelainan genetik CVM dan FXID pada sapi perah telah
banyak dilakukan di beberapa negara karena CVM berpengaruh terhadap
kemampuan reproduksi individu terutama dalam perkembangan fetus (Agerholm
et al. 2004) dan FXID menyebabkan terjadinya berahi berulang (Ghanem et al.
2005) sehingga keberadaannya dalam usaha peternakan akan berakibat pada
kerugian ekonomi dan perbaikan genetik ternak.
Kelainan CVM pada sapi perah telah dilaporkan di Denmark (Thomsen et
al. 2006), Polandia (Ruść et al. 2007), China (Chu et al. 2008), Jepang (Ghanem
et al. 2008), Swedia (Berglund et al. 2004) dan Republik Czech (Citek et al. 2006)
dengan peluang kejadian individu karier berkisar antara 20-30% (Thomsen et al.
2006). Peluang kejadian individu karier terhadap kelainan genetik CVM yang
tinggi merupakan pertanda bahwa kelainan genetik CVM telah menyebar di
berbagai negara. Kejadian kelainan genetik FXID pada sapi perah telah

2

dilaporkan di Turki (Meydan et al. 2009), Amerika Serikat (Marron et al. 2004),
India (Patel et al. 2007), Polandia (Gurgul et al. 2009), Jepang (Ghanem et al.
2005) dan Republik Czech (Citek et al. 2006). Selanjutnya diketahui kelainan
genetik tersebut telah menyebar ke berbagai negara juga akibat penggunaan
pejantan pembawa alel mutan FXID dalam program inseminasi buatan (Gentry et
al. 1984). Informasi mengenai kelainan genetik pada sapi di Indonesia masih
sangat terbatas. Deteksi kelainan genetik CVM dan FXID pada sapi potong
terutama sapi bali sebagai salah satu sumber daya genetik ternak asli belum
pernah dilakukan, sehingga penelitian mengenai deteksi kelainan genetik CVM
dan FXID pada sapi bali perlu untuk dilakukan.
Perumusan Masalah
Upaya peningkatan mutu genetik sapi bali untuk menghasilkan bibit baik
jantan maupun betina yang bebas dari kelainan genetik merupakan suatu
keharusan untuk menjamin bahwa sapi bali yang digunakan sebagai bibit bebas
dari kelainan genetik CVM dan FXID. CVM dan FXID adalah kelainan genetik
yang bersifat resesif autosomal yang telah dideteksi pada sapi perah (Meydan et
al. 2010). Deteksi kelainan genetik CVM dan FXID pada sapi bali belum pernah
dilakukan di Indonesia sehingga penelitian ini perlu dilakukan karena sapi bali
sebagai sumber daya genetik ternak asli Indonesia yang merupakan aset bangsa,
bahkan dunia yang tak ternilai harganya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan deteksi terhadap ada tidaknya
kelainan genetik FXID menggunakan gen FXI (Factor XI) dan CVM
menggunakan gen SLC35A3 (Solute Carrier Family 35 Member 3) pada sapi bali
serta sebagai informasi ilmiah tentang sapi bibit yang bebas dari kelainan genetik.
Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai deteksi kelainan genetik pada sapi bali diharapkan
mampu digunakan sebagai dasar kriteria seleksi sapi bibit khususnya sapi bali di
pusat pembibitan sapi bali baik jantan maupun betina, selain itu juga dapat
dijadikan sebagai dasar seleksi bibit sapi lokal, sapi impor maupun semen.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi analisis pada 325 sampel DNA sapi bali yang
terdapat di pusat pembibitan sapi bali di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan
Hijauan Pakan Ternak Denpasar (BPTU-HPT Denpasar), Balai Pembibitan
Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Serading (BPT-HMT Serading) Nusa
Tenggara Barat, VBC Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, Balai Besar Inseminasi
Buatan Singosari dan Balai Inseminasi Buatan Baturiti. Deteksi kelainan genetik
FXID dengan menggunakan gen FXI dilakukan dengan menggunakan teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR). Sedangkan deteksi kelainan genetik CVM
dengan menggunakan gen SLC35A3 dianalisis dengan menggunakan teknik
Polymerase Chain Reaction-Primer Introduced Restriction Analysis (PCR-PIRA)

3

dengan pendekatan Polymerase Chain-Reaction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP) dengan menggunakan enzim restriksi PstI. Hasil genotipe yang
diperoleh selanjutnya dilakukan analisis sekuensing.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kelainan Genetik
Beberapa istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kelainan genetik
diantaranya adalah genetic abnormality, genetic defect, genetic disorder, genetic
anomaly dan syndrome. Kelainan genetik terjadi karena adanya mutasi secara
acak pada genom. Kelainan genetik menyebar luas secara internasional seiring
dengan perkembangan teknologi reproduksi transfer embrio dan inseminasi
buatan. Kelainan genetik yang terjadi pada usaha peternakan menyebabkan
kerugian secara ekonomi dan merusak usaha perbaikan genetik. (Whitlock et
al.2008).
Kelainan genetik diwariskan dari tetua kepada keturunannya yang ditandai
dengan kondisi yang menyimpang dari yang normal dengan efek negatif yang
ditimbulkan baik secara fisik maupun fungsional yang berakibat pada kerugian
yang besar pada usaha peternakan (Čítek et al. 2004). Alel karier dari gen mutan
akan mensintesis protein non fungsional yang berakibat pada kerusakan
perkembangan dan metabolisme tubuh (Uffo et al. 2009).
Perkawinan antara dua individu normal akan menghasilkan keturunan yang
normal 100%, perkawinan antara dua individu heterozigot karier akan
menghasilkan keturunan yang secara genetik homozigot normal sebesar 25%,
heterozigot karier 50% dan homozigot resesif 25% sedangkan perkawinan antara
individu karier dengan individu normal akan menghasilkan 50% homozigot
normal dan 50% heterozigot karier (Buchanan 2010). Kelainan genetik yang
terjadi pada sapi biasanya bersifat autosomal resesif, dimana kelainan genetik
hanya akan muncul ketika terdapat dua gen resesif mutan secara genotipe pada
individu (Meydan et al. 2010).
Kelainan Genetik FXID
Salah satu faktor penting dalam proses pembekuan darah adalah serin
protease-factor XI atau disebut dengan Plasma Thromboplastin Antecedent
(PTA), yang disintesis di dalam hati sebagai zymogen dan setelah konversi oleh
enzim proteolitik berperan dalam proses intrinsik pembekuan darah (Gurgul et al.
2009). Kegagalan pembentukan serin protease-factor XI menyebabkan terjadinya
kelainan genetik FXID yang dapat terjadi pada sapi jantan maupun betina (Gentry
et al. 1975; Ghanem et al. 2008).
Kelainan genetik ini pertama kali ditemukan pada sapi perah FH di Ohio
Amerika Serikat (Kociba et al. 1969). Kelainan genetik FXID disebabkan oleh
adanya mutasi gen resesif autosomal (Gentry et al. 1980). Secara molekuler,
kelainan genetik FXID terjadi karena adanya insersi sebanyak 76 pasang basa
poliadenin pada gen XI ekson 12 yang terletak pada kromosom 27 (Robinson et
al. 1997; Marron et al. 2004; Ghanen et al. 2008). Patel et al. (2007) menemukan

4

terjadinya insersi sebanyak 77 pasang basa pada ekson 12 gen FXI pada ternak
heterozigot. Mutasi yang terjadi menyebabkan kodon stop prematur (TAA)
(Marron et al. 1997; Ghanem et al. 2008) yang menyebabkan sebagian asam
amino tidak disintesis (Mukhopadhyaya et al. 2006) sehingga protein yang
terbentuk tidak lengkap (Gentry 1984). Pembentukan protein yang tidak
sempurna menyebabkan protein tidak fungsional (Mukhopadyaya et al. 2006)
sehingga ekspresi gen FXI terganggu dan serin protease tidak terbentuk (Ghanem
et al. 2008). Kegagalan pembentukan serin protease mengakibatkan berbagai
macam kelainan (Brush et al. 1987).
Kelainan genetik FXID pada seekor ternak dapat terjadi tanpa gejala yang
terlihat maupun dengan gejala yang terlihat seperti pendarahan terus menerus,
anemia, repeat breeding/berahi berulang (Gentry et al. 1980; Brush et al. 1987;
Liptrap et al. 1995), lebih rentan terhadap pneumonia, mastitis dan metritis
(Gentry et al. 1996), gangguan pembekuan darah, pertumbuhan lambat dan
dysplasia (Ohba et al. 2008). Gejala kinis yang nampak pada sapi dengan
defisiensi factor XI diantaranya adalah abortus, pedet mati setelah 48 jam, pada
sapi homozigot terjadi pendarahan hebat pada paru-paru pasca partus, pada pedet
homozigot terjadi pendarahan pada otak dan tulang belakang (Gentry et al. 1993).
Kelainan genetik FXID pada individu homozigot ditandai dengan kadar aktivitas
factor XI dalam plasma darah kurang dari 1% atau 2 ± 1%, heterozigot 38 ± 10%
dan pada individu normal 94 ± 21% (Gentry et al. 1975; Gentry et al. 1993).
Gen FXI memiliki panjang 8 910 pasang basa, terletak pada kromosom 27
yang terdiri atas 15 ekson yang dipisahkan oleh 14 intron (Kunieda et al. 2005).
Rekonstruksi gen FXI sesuai dengan kode akses GenBank AB196308.1 terlihat
pada Gambar 1.

Gambar 1 Rekonstruksi gen FXI berdasarkan sekuens gen FXI di GenBank
(Kunieda et al. 2005)
Defisiensi factor XI menyebabkan menurunnya kemampuan reproduksi
ternak yang ditandai dengan ukuran garis tengah folikel yang kecil disertai dengan

5

konsentrasi estradiol yang lebih rendah dalam plasma saat ovulasi. Hal ini
menyebabkan siklus berahi menjadi lebih lama dan proses luteolisis lambat. Sapi
dengan FXID menunjukkan kemampuan beranak dan survival rate yang rendah
(Liptrap et al. 1995). Mutasi pada factor XI menyebabkan berahi berulang (repeat
breeding) yang berdampak pada kerugian ekonomi karena inefisiensi program
inseminasi buatan (Ghanem et al. 2005).
Kelainan Genetik CVM
Kelainan genetik CVM pertama kali dikenali pada Danish Holstein
Denmark pada tahun 1999 yang disebabkan oleh mutasi gen SLC35A3 yang
mengkodekan uridine diphosphate-N-acetylglucosamine / UDP-GlcNAc
transporter. Mutasi ini bersifat resesif autosomal dimana individu dalam kondisi
homozigot resesif akan letal (Thomsen et al. 2006; Agerholm et al. 2004). CVM
terjadi karena molekul protein UDP-N-acetylglucosamine atau golgi UDP-GlcNac
transporter yang tidak sempurna di dalam aparatus golgi. Bovine SLC35A3
merupakan pengangkut Uridine diphosphate N-acetylglucosmaine atau UDPGlcNAc dari sitosol/sitoplasma ke dalam lumen golgi sebelum proses glikosilasi
protein, lemak dan proteoglican. UDP-GlcNAc berperan penting dalam struktur
sitoskeleton (Patel 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan tulang
belakang dan tulang rusuk tergantung pada modifikasi karbohidrat di aparatus
golgi (Thomsen et al. 2006).
Gen SLC35A3 pada sapi memiliki ukuran 22 404 pasang basa (pb) yang
terletak pada kromosom 3 terdiri atas 7 ekson yang dipisahkan oleh 6 intron,
memiliki homologi 98% terhadap manusia dan anjing, 96% identik dengan
SLC35A3 transporter tikus dan 83% identik dengan katak (Thomsen et al. 2006).
Gen SLC35A3 merupakan anggota solute carrier family SLC35 yang mengangkut
enzim nucleotide-sugars dari sitosol ke dalam lumen retikulum indoplasma dan
atau aparatus golgi (Ishida et al. 2004). Dalam organel ini, nucleotide-sugars
digunakan oleh glycosyltransferase untuk mensistesis rantai gula dari
glikoprotein, glikolipid dan polimer karbohidrat. Rekonstruksi gen SLC35A3
sesuai dengan kode akses GenBank AY160683.1 dapat dilihat pada Gambar 2.
Sapi yang mengalami kelainan genetik CVM menunjukkan beberapa
kelainan yang dimulai sejak umur kebuntingan 260 hari yang ditandai dengan
keterlambatan pertumbuhan, kesalahan pembentukan tulang belakang dan
bilateral symmetrical arthrogryposis yang berakibat pada bersatunya carpal dan
metacarpophalangeal. Vertebral malformation ditandai dengan hemivertebra,
skoliosis, reduksi tulang belakang dan ankylosis pada tulang serviks dan toraks
pada tulang belakang (Agerholm et al. 2001; Duncan et al. 2001; Nagahata et al.
2002, Revell 2001). Selain itu, kelainan CVM juga mengakibatkan kematian pada
fetus (Kanae et al. 2005). Sapi penderita CVM mengalami pengecilan ukuran
jantung hampir 50% dari ukuran jantung normal, kelainan pembentukan sekat
jantung, penebalan bilik kanan dan gangguan pembentukan paru-paru (Agerholm
et al. 2001). Akibatnya, janin gugur sekitar hari ke-159-260 masa kebuntingan
atau kematian pasca natal (Agerholm et al. 2004). Fetus yang mengalami CVM
45% akan gugur sebelum umur kebuntingan 150 hari sedangkan 77% akan gugur
sebelum umur kebuntingan 260 hari (Nielsen et al. 2003). Ciri-ciri lain yang
diperoleh pada sapi dengan kelainan CVM diantaranya adalah bilateral symmetris

6

arthrogryposis antara tarsal dan metatarsophalangeal. Pemendekan leher biasa
ditemukan pada pedet prematur, sapi hidup maupun pedet neonatal. Pada
prinsipnya, identifikasi CVM diperoleh berdasarkan pada kelainan yang terjadi
pada tulang belakang dan tulang rusuk. Kelainan genetik CVM pada suatu
individu dapat diidentifikasi dengan kombinasi antara nekropsi dan genotiping
(Agerholm et al. 2004).

Gambar 2 Rekonstruksi struktur gen SLC35A3 berdasarkan sekuens gen
SLC35A3 di GenBank (Thomsen et al. 2006)
Individu yang mengandung satu gen mutan akan menunjukkan penampilan
yang normal namun individu tersebut merupakan individu yang karier yang akan
mewariskannya kepada keturunannya. Individu yang teridentifikasi CVM akan
ditandai dengan “CV” pada semua silsilahnya dan pada individu yang tidak karier
akan ditandai dengan “TV”. Kode ini merupakan kode yang berlaku secara
internasional (http://www.naab-css.org/education/CVMpressreleaseD.html, Grzybowski, 2003) (Čítek et al. 2004).

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Fakultas
Peternakan IPB pada bulan Oktober hingga Desember 2013.
Bahan
Sampel Darah dan Semen
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pusat pembibitan
sapi bali (Tabel 1).

7

Tabel 1 Asal dan jenis sampel sapi yang digunakan dalam penelitian
Jenis Kelamin
Asal sampel
Jenis sampel
Jantan Betina
BBIB Singosari
Darah segar
28
0
BPT-HMT Serading NTB
Darah segar
41
11
BPTU-HPT Denpasar
Darah segar
98
59
BIBD Baturiti
Semen beku
22
0
VBC Kab. Barru Sulawesi Selatan Darah segar
18
48
Total
207
118

Jumlah
28
52
157
22
66
325

Primer
Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen FXI ekson 12 sesuai
dengan Marron et al. 2004, dengan primer forward : 5’-CCC ACT GGC TAG
GAA TCG TT-3’ dan primer reverse : 5’-CAA GGC AAT GTC ATA TCC
AC-3’. Berdasarkan sekuens gen FXI dengan kode akses GenBank AH013749.2,
primer menempel dari nukleotida ke 9 200 sampai dengan nukleotida ke 9 444,
yang terletak pada sebagian intron K dan sebagian ekson 12. Individu yang
mengalami mutasi akan terjadi insersi sebanyak 76 basa nukleotida yang dimulai
dari nukleotida ke 9 402 (Marron et al. 2004). Posisi penempelan primer pada
gen FXI dapat dilihat pada Gambar 3.

Alat

Keterangan :
huruf kecil
huruf besar

: intron
: ekson
: awal dimulainya insersi pada gen FXI yang menyebabkan
kelainan genetik FXID
Gambar 3 Posisi penempelan primer terhadap gen FXI berdasarkan sekuens gen
FXI di GenBank (Marron et al. 2004)
Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen SLC35A3 ekson 4
sesuai dengan Kanae et al. 2005 dengan primer forward : 5’-CAC AAT TTG
TAG GTC TCA CTG CA-3’ dan primer reverse : 5’-CGA TGA AAA AGG AAC
CAA AAG GG-3’. Berdasarkan sekuens gen SLC35A3 dengan kode akses
GenBank AY160683.1, primer gen SLC35A3 menempel pada runutan DNA yang
dimulai dari nukleotida ke 9 848 hingga nukleotida ke 10 134, yang terletak di
sebagian ekson 4 dan sebagian intron 4. Enzim restriksi PstI memotong pada situs
CTGCA↓G. Posisi penempelan primer gen SLC35A3 dapat dilihat pada Gambar
4.

8

Keterangan :
huruf kecil
: intron
huruf besar : ekson

: situs pemotongan enzim restriksi PstI
Gambar 4 Posisi penempelan primer gen SLC35A3 berdasarkan sekuens
GenBank (Kanae et al. 2005)
Prosedur Penelitian
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan berdasarkan metode phenol-chloroform
(Sambrook et al. 1989) yang dimodifikasi. Sampel darah diambil sebanyak 200
µl dan ditambahkan dengan 1 000 µl NaCl 0.2%, kemudian dihomogenkan
menggunakan vortex dan didiamkan selama lima menit. Sampel disentrifugasi
pada kecepatan 8 000 rpm selama lima menit kemudian bagian supernatan
dibuang. Endapan yang ada ditambahkan dengan 10 µl Proteinase-K (5 mg/ml),
350 µl 1 x STE dan 40 µl SDS 10%, kemudian diinkubasi pada suhu 55 oC selama
dua jam sambil dikocok perlahan. Larutan yang telah diinkubasi ditambahkan 40
µl NaCl 5 M, 400 µl phenol dan 400 µl CIAA kemudian dikocok perlahan pada
suhu ruang selama satu jam. Kemudian larutan disentrifugasi dengan kecepatan
12 000 rpm selama lima menit sehingga terbentuk fase DNA yang ditandai dengan
adanya lapisan bening yang nampak pada larutan paling atas. Fase DNA yang
terbentuk diambil sebanyak 40 µl dan dipindahkan ke tabung 1.5 ml baru,
ditambahkan dengan 40 µl NaCl 0.5 M dan 800 µl EtOH 96%, dihomogenkan,
kemudian diistirahatkan overnight
pada suhu
-20 oC.
Sampel DNA
disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama lima menit dan supernatan yang
terbentuk dibuang, kemudian endapan ditiriskan sampai kering dan dilarutkan
dalam 100 µl buffer TE 80%. DNA disimpan pada suhu -20 oC hingga sampel
digunakan untuk amplifikasi PCR.
Pooling DNA
Pooling dilakukan dengan cara menggabungkan sampel DNA dengan
konsentrasi tertentu dari beberapa individu untuk selanjutnya dilakukan analisis
PCR. Satu pool terdiri dari lima sampel DNA. Sebanyak 1 µl sampel DNA
masing-masing dari lima sampel DNA yang berbeda digabungkan ke dalam satu
tabung eppendorf. Untuk memastikan bahwa semua sampel tercampur merata,
maka pool DNA dihomogenkan dengan vortex kemudian menggunakan
microsentrifuge. Sampel DNA yang sudah digabungkan kemudian dilanjutkan

9

untuk amplifikasi PCR. Jika hasil amplifikasi PCR dalam satu pool DNA
ditemukan adanya alel mutan, maka seluruh anggota pool diperiksa satu persatu.
Amplifikasi DNA
Amplifikasi in vitro dengan mesin thermal cycler dilakukan dengan
kondisi suhu predenaturasi pada suhu 95 °C selama 5 menit, denaturasi pada
suhu 95 °C selama 10 detik untuk 35 siklus, annealing pada suhu 60 °C selama 20
detik, elongasi pada suhu 72 °C selama 30 detik, dan elongasi akhir pada suhu
72 °C selama 5 menit.
Reaksi PCR dilakukan dengan volume 15 µl yang terdiri atas sampel DNA
pool sebanyak 1 µl, primer forward-reverse 0.3 µl, Go Taq® Green Master mix
7.5 µl dan destilation water (DW) 6.2 µl. Produk PCR dielektroforesis
menggunakan agarose 1.5%.
Elektroforesis Produk PCR Gen FXI dan Gen SLC35A3
Elektroforesis produk PCR gen FXI dilakukan dengan gel agarose 1.5%
yang dibuat dengan cara melarutkan 0.45 g agarose dalam larutan 0.5 x TBE
sebanyak 30 ml kemudian dipanaskan dalam microwave selama lima menit,
selanjutnya dikocok dengan magnetic stirer dan ditambahkan EtBr sebanyak 2.5
µl. Larutan yang terbentuk didiamkan beberapa saat sampai uap airnya berkurang
selanjutnya dituangkan ke dalam pencetak gel, sisir ditempatkan sesuai dengan
tempatnya dan dibiarkan hingga mengeras. Selanjutnya sisir dicabut setelah agar
mengeras dan terbentuk sumur-sumur gel yang dapat digunakan untuk proses
elektroforesis selanjutnya.
Elektroforesis dilakukan dengan meletakkan gel yang sudah mengeras ke
dalam gel tray elektroforesis yang berisi larutan buffer. Gel dipastikan terendam
seluruhnya oleh larutan buffer. Produk PCR sebanyak 5 µl dimasukkan ke dalam
sumur-sumur gel. Marker DNA 100 pb sebanyak 2 µl diletakkan ke dalam sumur
paling pinggir sebagai penanda. Tahapan selanjutnya adalah dengan mengalirkan
aliran listrik 100 V selama 30-45 menit. Proses elektroforesis dimulai ketika
terlihat adanya gelembung-gelembung kecil pada sisi yang bermuatan negatif
(katoda). Molekul DNA yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah yang
bermuatan positif (anoda) pada pH netral. Elektroforesis selesai sekitar 35-40
menit, selanjutnya gel diambil dan diletakkan ke dalam mesin UV transluminator
untuk dilihat panjang pita DNA yang terbentuk.
Pita-pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui
panjang fragmennya, pita DNA dengan panjang pita yang sama menunjukkan
genotipe yang sama. Produk PCR dari gen FXI akan menghasilkan pita DNA
berukuran 245 pb dan gen SLC35A3 akan menghasilkan pita berukuran 287 pb.
Mutasi pada gen FXI dapat diketahui jika hasil elektroforesis dari produk PCR
diperoleh pita berukuran 320 pb. Deteksi mutasi pada gen SLC35A3 dilakukan
dengan metode PCR-RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism).
Analisis PCR-RFLP
Deteksi mutasi bagian ekson 4 gen SLC35A3 dilakukan menggunakan
enzim restriksi PstI. Sebanyak 5 µl produk PCR dicampur dengan 0.7 µl buffer
enzim PstI, enzim PstI sebanyak 0.4 µl, dan destilation water (DW) sebanyak 0.9
µl. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 oC selama 16 jam (overnight).

10

Kemudian produk PCR-RFLP disimpan dalam refrigerator hingga dilakukan
elektroforesis.
Elektroforesis Produk PCR-RFLP Gen SLC35A3
Elektroforesis dilakukan terhadap produk PCR yang telah dipotong dengan
enzim restriksi PstI menggunakan agarose 2% yang dibuat dengan cara
melarutkan 0.6 g agarose dalam larutan 0.5 x TBE sebanyak 30 ml. Pembutan gel
dilakukan dengan langkah yang sama yang dilakukan ketika genotiping pada gen
FXI. Elektroforesis produk PCR yang telah dipotong dengan enzim PstI
dilakukan dengan mengambil sampel produk PCR-RFLP sebanyak 7 µl
kemudian dimasukkan ke dalam sumur-sumur gel. Marker DNA 100 pb
diletakkan di sumur yang paling pinggir sebagai penanda. Pada sumur paling
pinggir yang lainnya dimasukkan produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim
restriksi PstI sebagai pembanding untuk mengetahui bahwa proses pemotongan
dengan enzim berhasil dilakukan. Tahapan elektroforesis yang sama dilakukan
seperti ketika elektroforesis terhadap produk PCR dari gen FXI.
Pita-pita DNA yang terbentuk dibandingkan dengan marker dan produk
PCR yang tidak dipotong dengan enzim restriksi PstI. Pita DNA dengan panjang
pita yang sama menunjukkan genotipe yang sama. Sampel DNA yang berasal
dari individu yang normal akan diperoleh ketika produk PCR berhasil dipotong
oleh enzim restriksi PstI dan diperoleh pita DNA sepanjang 264 pb dan 23 pb
(tidak nampak) sedangkan pada individu yang mengalami karier akan diperoleh
pita DNA sepanjang 287 pb, 264 pb dan 23 pb (tidak nampak). Pada individu
yang mutan akan diperoleh pita DNA dengan panjang pita yang sama dengan
produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim restriksi PstI dan akan diperoleh
pita DNA sepanjang 287 pb (Mahfud 2009).
Sekuens Fragmen Gen FXI dan Gen SLC35A3
Sekuens dilakukan pada seluruh genotipe yang dihasilkan. Sekuensing
dilakukan terhadap sampel baik yang beralel normal maupun yang karier dengan
masing-masing berjumlah 2 sampel. Primer yang digunakan untuk sekuens
adalah primer forward dan reverse. Sekuensing dilakukan dengan menggunakan
mesin sekuenser oleh perusahaan sekuensing 1st Base.
Prosedur Analisis Data
Analisis Genotipe Gen FXI dan Gen SLC35A3
Data genotipe yang diperoleh dianalisis secara deskriptif terhadap ada
tidaknya kelainan genetik CVM dan FXID pada sapi bali di kawasan pembibitan
disertai dengan gambar dan tabel.
Analisis Hasil Sekuens
Hasil sekuensing dianalisis dengan program BioEdit. Tingkat kesamaan
(homologi) gen FXI dan gen SLC35A3 pada sapi bali dengan gen FXI dan gen
SLC35A3 yang terdapat pada GenBank dianalisis dengan metode Basic Local
Alignment Search Tool (BLAST) nukleotida (www.ncbi.nhl.nih.gov./BLAST).
Ada atau tidaknya mutasi pada sekuens fragmen gen FXI ekson 12 dan gen

11

SLC35A3 ekson 4 dilakukan dengan menggunakan program Molecular
Evolutionary Genetic Analysis (MEGA5).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen FXI dan gen SLC35A3
Amplifikasi Gen FXI
Seluruh sampel yang digunakan pada penelitian ini berhasil diamplifikasi
dengan tingkat keberhasilan 100%. Berdasarkan referensi GenBank AH013749.2
primer yang digunakan terhadap gen FXI ekson 12 kromosom 27 (Marron et al.
2004) berhasil mengamplifikasi DNA sampel dan menghasilkan amplikon
berukuran 245 pasang basa (pb) (Gambar 5).

Gambar 5 Hasil amplifikasi gen FXI pada gel agarose 1.5%, menghasilkan pita
DNA berukuran 245 pb. M = marker DNA100 pb, 1-7 = sampel DNA
sapi bali
Amplifikasi gen FXI pada sapi perah yang dilakukan oleh Meydan et al.
(2010) berhasil dilakukan dengan suhu annealing/penempelan pada suhu 55 oC
selama 60 detik. Bagheri et al. (2012) berhasil melakukan amplifikasi gen FXI
pada suhu annealing 55 oC selama 1 menit. Sedangkan pada penelitian ini,
amplifikasi fragmen gen FXI pada sapi bali berhasil dilakukan pada suhu
annealing pada suhu 60 °C selama 20 detik. Dibandingkan dengan penelitianpenelitian sebelumnya, terdapat perbedaan kondisi PCR terutama suhu annealing
yang digunakan untuk melakukan amplifikasi gen FXI. Tahapan-tahapan PCR
yang sangat menentukan keberhasilan proses amplifikasi adalah suhu
annealing/penempelan karena suhu annealing merupakan suhu optimum yang
dibutuhkan yang memungkinkan primer untuk mengikat (anneal) dengan sekuens
DNA komplemennya pada DNA tatakan (Nicolas 2004). Suhu annealing
merupakan suhu yang sangat kritis yang sangat menentukan primer dapat
menempel dengan baik dan diperoleh pita spesifik dari gen target. Perbedaan
kondisi PCR disebabkan oleh mesin PCR yang digunakan, volume campuran
PCR, konsentrasi primer dan gen target (Pelt-Varkuil et al. 2008) serta komposisi
campuran penyusun reaksi PCR.

12

Amplifikasi Gen SLC35A3
Amplifikasi DNA pada gen SLC35A3 ekson 4 dengan metode PCR-PIRA
berhasil dilakukan pada keseluruhan sampel yang diperiksa dengan tingkat
keberhasilan 100%. Primer yang digunakan berhasil mengamplifikasi gen
SLC35A3 ekson 4 pada sapi bali dengan amplikon berukuran 287 pb (Gambar 6).

Gambar 6 Hasil amplifikasi gen SLC35A3 pada gel agarose 1.5%, menghasilkan
pita DNA berukuran 287 pb. M = marker DNA 100 pb, 1-7 = sampel
DNA sapi bali
Amplifikasi terhadap gen SLC35A3 dilakukan dengan satu kali amplifikasi
dengan menggunakann primer forward yang telah disisipkan dengan situs restriksi
kedalamnya. Mahfud (2009) melakukan amplifikasi dua kali terhadap gen
SLC35A3 pada sapi perah, amplifikasi pertama dilakukan dengan menggunakan
primer forward sesuai dengan referensi GenBank nomor akses AY160683.1 dan
amplifikasi kedua dilakukan dengan menggunakan primer forward yang telah
disisipkan dengan situs restriksi kedalamnya. Amplifikasi yang dilakukan dua
kali diperoleh hasil yang sama dengan yang hanya dengan satu kali amplifikasi.
Amplifikasi gen SLC35A3 pada sapi bali berhasil dilakukan pada suhu
annealing/penempelan pada suhu 60 °C selama 20 detik. Kondisi PCR yang
berbeda juga terjadi ketika amplifikasi gen SLC35A3. Amplifikasi gen SLC35A3
pada sapi perah di Indonesia berhasil dilakukan pada suhu penempelan 56 oC
selama 1 menit (Mahfud 2009). Kondisi PCR yang dilakukan oleh Meydan et al.
(2010) berhasil mengamplifikasi gen SLC35A3 dengan suhu penempelan 52 oC
selama 45 detik. Perbedaan yang terjadi selain karena mesin PCR yang digunakan
dan komposisi reaksi PCR yang digunakan, mungkin disebabkan juga oleh
susunan primer forward-reverse yang berbeda.
Deteksi Kelainan Genetik FXID dan CVM
Deteksi Kelainan Genetik FXID
Hasil penelitian ini, dari 325 sampel DNA yang dianalisis, diperoleh satu
pita DNA berukuran 245 pb (Gambar 7). Alel normal pada sapi yang tidak
mengalami mutasi pada gen FXI diperoleh pita berukuran 245 pb. Marron et al.
(2004) menyatakan bahwa pada sapi normal diperoleh pita DNA berukuran 244
pb. Pada ternak dengan alel karier akan diperoleh 2 pita berukuran 244 pb dan 320

13

pb sedangkan pada ternak mutan akan diperoleh pita berukuran 320 pb (Ghanem
et al. 2008; Marron et al. 2004; Mahfud 2009). Patel et al. (2007) pada
penelitiannya mengungkapkan diperoleh pita DNA berukuran 247 pada individu
yang normal sedangkan pada individu yang karier diperoleh pita DNA berukuran
247 pb dan 324 pb karena adanya insersi 77 pasang basa pada gen pengontrol
Factor XI.

Gambar 7 Hasil deteksi kelainan gen FXI pada gel agarose 1.5%, menghasilkan
pita DNA berukuran 245 pb. M = marker DNA100 pb, 1-7 = sampel
DNA sapi bali
Mahfud (2009) dalam penelitiannya mengenai deteksi kelainan genetik
FXID pada sapi perah di Indonesia menyatakan bahwa sapi dengan alel normal
pada gen FXI merupakan sapi dengan genotipe FF (homozigot normal), sapi
dengan alel karier merupakan sapi dengan genotipe Ff (heterozigot) sedangkan
sapi dengan alel mutan merupakan sapi dengan genotipe ff (homozigot mutan).
Seluruh sampel menunjukkan bahwa sapi bali yang diperiksa memiliki alel
normal (genotipe homozigot normal : FF), tidak terdeteksi mengalami kelainan
genetik FXID, tidak ditemukan genotipe Ff maupun genotipe ff. Sapi bali dengan
genotipe ff (homozigot resesif) tidak akan ditemukan karena sapi bali yang
digunakan sebagai sampel merupakan sapi yang masih hidup. Tabulasi hasil
deteksi kelainan genetik FXID pada sapi bali di pusat pembibitan sapi bali dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Tabulasi hasil deteksi kelainan genetik FXID pada sapi bali
Asal sampel
BBIB Singosari
BPT-HMT Serading NTB
BPTU-HPT Denpasar
BIBD Baturiti
VBC Kab. Barru Sulawesi Selatan
Total

Jumlah
28
52
157
22
66
325

FF
28
52
157
22
66
325

Genotipe
Ff
0
0
0
0
0
0

ff
0
0
0
0
0
0

FXID pada sapi pertama kali ditemukan pada sapi Holstein di Ohio
(Kociba et al. 1969) dan selanjutnya meluas ke beberapa negara yang lain karena
program inseminasi buatan. Beberapa negara telah melakukan penelitian dan

14

deteksi terhadap kejadian kelainan genetik FXID baik pada ternak perah maupun
pada ternak lokal lainnya, seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Data penelitian dan deteksi kelainan genetik FXID pada beberapa bangsa
di beberapa negara
Bangsa
Bos taurus
Friesian Holstein
Turki
Amerika serikat
India
Jepang
Republic Czech
Indonesia
Polandia
Iran
FH >< B. indicus
India
Jersey >< B. indicus
India
Japanese Black Cattle
Jepang
Bos indicus
India
Khuzestan native cattle
Khuzestan
Kerbau Sungai
Bubalus bubalis
Iran
India
Sapi bali
Indonesia

Jumlah
sampel

Karier
Jumlah
%

Sumber

Meydan et al. 2010
Marron et al. 2004
Patel et al. 2007
Ghanem et al. 2005
Citek et al. 2008
Mahfud 2009
Gurgul et al. 2009
Eyvandi et al. 2011

350
419
330
40
279
676
103
100

4
5
2
1
1
5
3
0

1.20
1.20
0.60
2.50
0.36
0.74
2.91
0.00

265

0

0.00 Patel et al. 2007

69

0

0.00 Patel et al. 2007

123

51

47.15 Ohba et al. 2008

79

0

0.00 Patel et al. 2007

230

0

0.00 Eydivandi et al. 2011

300
153

0
0

0.00 Bagheri et al. 2012
0.00 Patel et al. 2007

325

0

0.00 Hasil Penelitian

Penelitian mengenai kelainan genetik FXID di Indonesia pada sapi perah
menunjukkan hasil bahwa dari 676 sampel yang diperiksa, ditemukan 5 individu
mengalami karier FXID (frekuensi karier FXID/genotipe Ff = 0.74%; frekuensi
alel mutan (f) = 0.004%). Tidak ditemukan individu mutan pada sapi perah di
Indonesia karena sampel yang digunakan adalah sapi hidup (Mahfud 2009).
Beberapa penelitian dan deteksi kelainan genetik FXID yang dilakukan
menunjukkan bahwa kelainan genetik FXID baru ditemukan pada sapi perah yang
tersebar di beberapa negara dengan frekuensi kejadian yang sangat kecil, berkisar
antara 0-2.91%. Kejadian FXID belum pernah dilaporkan terjadi pada kerbau
sungai (Bagheri et al. 2012; Patel et al. 2007), Bos indicus (Patel et al. 2007), sapi
lokal Khuzestan (Eyvandi et al. 2011) dan pada sapi persilangan antara Bos taurus
dan Bos indicus (Patel et al. 2007). Kejadian FXID di Polandia terdeteksi pada
pejantan unggul dengan nama Albit yang lahir pada tanggal 25 September 1998.

15

Pejantan ini telah diproduksi semennya sebanyak 8 960 dosis dan telah
diinseminasikan kepada 1 576 ekor betina, 78% betina yang dikawini tidak
menunjukkan tanda-tanda kebuntingan setelah 56 hari, sehingga akhirnya semen
yang dihasilkan dari pejantan tersebut tidak digunakan lagi untuk inseminasi
buatan selanjutnya (Gurgul et al. 2009).
Kejadian FXID pada Japanese black cattle ditemukan individu-individu
dengan alel mutan namun menunjukkan gejala klinis yang normal, tidak terjadi
pendarahan yang berarti serta tidak terjadi penurunan performans pada
keturunannya.
Japanese black cattle yang mengalami kelainan FXID
menunjukkan homeostatic deficiency, keterlambatan pertumbuhan dan hip
displasia (Ohba et al. 2008). Kelainan genetik ini menyebar luas di Jepang karena
penggunaan semen pada program inseminasi buatan.
Kelainan FXID pada
Japanese Black Cattle disebabkan oleh insersi 15 nukleotida pada ekson ke 9 dari
gen FXI (Kunieda et al. 2005), sehingga kasus FXID antara sapi Holstein dan
Japanese Black Cattle adalah kasus yang berbeda, yang mungkin disebabkan oleh
perbedaan mutasi pada gen FXI, perbedaan lingkungan pemeliharaan dan
pembibitan (Ohba et al. 2008).
Analisis Hasil Sekuensing Gen FXI
Sekuensing DNA dilakukan untuk mengkonfimasi keberadaan alel mutan
sapi bali. Analisis BLAST dilakukan untuk melihat kemiripan yang terdapat pada
dua atau lebih sekuens gen. Hasil analisis sekuens gen FXI menunjukkan bahwa
gen FXI sapi bali memiliki kesamaan yang tinggi dengan sekuens gen FXI pada
Bos taurus yang terdapat di GenBank (kode akses AH013749.2) dengan tingkat
kesamaan (homologi) sebesar 100% dan diperoleh runutan basa nukleotida
sepanjang 245 pb. Hal ini menunjukkan bahwan gen FXI pada sapi bali identik
dengan gen FXI pada Bos taurus. Pada penelitian ini, tidak ditemukan individu
karier maupun mutan, sehingga tidak ditemukan adanya insersi basa nukleotida
pada runutan basa pada sampel yang disekuens seperti terlihat pada Gambar 8.
Hasil sekuensing pada sampel yang dianalisis secara individu maupun
dalam pooling/gabungan menunjukkan hasil yang sama. Hal ini menunjukkan
bahwa metode pool DNA yang digunakan dalam penelitian berhasil digunakan
untuk melakukan deteksi mutasi gen FXI pada sapi bali. Jika dalam satu pool
yang dianalisis ditemukan alel yang berbeda, maka seluruh anggota dalam pool
tersebut dianalisis satu per satu.
Marron et al. (2004) menyatakan bahwa kelainan genetik FXID diketahui
ketika sekuens dari individu yang normal dibandingkan dengan individu mutan,
ditemukan adanya insersi sebanyak 76 pasang basa pada ekson 12 gen FXI.
Mutasi insersi ini terdiri atas runutan poliadenin yang tidak sempurna yang diikuti
oleh berulangnya 14 pasang basa pada sekuen normal di akhir insersi pada
individu mutan (GAA ATA ATA ATT CA). Translasi dari sekuens yang
mengalami mutasi ini menyebabkan terjadinya stop kodon (TAA) pada empat
nukleotida pertama. Hal ini menyebabkan protein tidak terbentuk karena
kehilangan serin protease yang dikodekan oleh ekson 13-15 (Asakai et al. 1987).
Berdasarkan hasil analisis PCR dan sekuensing pada DNA sapi bali pada
penelitian ini, tidak ditemukan alel karier maupun alel mutan pada seluruh sampel
DNA yang diperiksa, tidak ada insersi nukleotida pada runutan DNA sapi bali.
Hal ini menunjukkan bahwa sapi bali yang berada di pusat pembibitan sapi bali

16

(BPTU-HMT Denpasar, BPT-HPT Serading Nusa Tenggara Barat, VBC
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan) dan balai inseminasi buatan (Balai Besar
Inseminasi Buatan Singosari dan Balai Inseminasi Buatan Baturiti) merupakan
sapi bali yang normal dan tidak terdeteksi kelainan genetik FXID.

Keterangan :
AB19608.1
AH013749.2
Marron et al

: kode akses GenBank sekuens gen FXI Bos taurus
complete cds
: kode akses GenBank sekuens gen FXI Bos taurus
partial cds
: sekuens individu mutan (akses GenBank tidak
diketahui)

: stop kodon prematur
GAAATAATAATTCA : 14 pasang basa yang berulang pada individu mutan
Gambar 8 Hasil pensejajaran sekuens gen FXI ekson 12 sapi bali dengan Bos taurus

Deteksi Kelainan Genetik CVM
Mutasi substitusi satu basa pada gen SLC35A3 menyebabkan terjadinya
kelainan genetik CVM yang merupakan mutasi yang terjadi secara resesif

17

autosomal dan bersifat lethal pada sapi. Hasil pemotongan gen SLC35A3 ekson 4
pada sapi bali dengan menggunakan enzim restriksi PstI ditunjukkan oleh fragmen
terpotong pada posisi 264 pb dan 23 pb (tidak nampak) (Gambar 9). Produk PCR
dari seluruh sampel yang diperiksa berhasil dipotong dengan menggunakan enzim
restriksi PstI. Enzim restriksi PstI yang digunakan pada memotong runutan
nukleotida pada situs 5’ CTGCA↓G 3’. Hal ini berarti bahwa jika tidak terjadi
perubahan basa G (guanin) pada fragmen gen SLC3