Ragam jenis lalat pada peternakan ayam petelur

RAGAM JENIS LALAT PADA PETERNAKAN AYAM
PETELUR

IRENE SOTERIANI UREN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ragam Jenis Lalat pada
Peternakan Ayam Petelur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014

Irene Soteriani Uren
NIM B04100073

ABSTRAK
IRENE SOTERIANI UREN. Ragam Jenis Lalat pada Peternakan Ayam Petelur.
Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUPRIYONO.
Lalat merupakan parasit yang dapat ditemukan dengan mudah di
peternakan ayam petelur. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah keragaman
jenis, kelimpahan nisbi, dan dominasi spesies lalat pada peternakan ayam petelur.
Pengambilan sampel dilakukan di peternakan ayam petelur KM 45, Kemang,
Bogor, menggunakan tangguk serangga. Seluruh sampel selanjutnya diidentifikasi
dan dianalisis untuk mengetahui kepadatan lalat. Kepadatan lalat dinyatakan
dengan kelimpahan nisbi dan dominasi spesies. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat 4 jenis lalat yang ditemukan di peternakan ayam petelur, yaitu Musca
domestica, Chrysomya megacephala, Chrysomya saffranea, dan Hermetia
illucens. M. domestica merupakan lalat yang paling dominan. Dominasi spesies
lalat pada peternakan ayam petelur secara berurutan adalah lalat M. domestica
(42.13%), C. megacephala (33.71%), H. illucens (18.26%), dan C. saffranea
(5.90%). Ketiga jenis lalat yang terakhir selalu ditemukan bersamaan dengan lalat
M. domestica.

Kata kunci: dominasi spesies, lalat, peternakan ayam petelur, ragam jenis

ABSTRACT
IRENE SOTERIANI UREN. Diversity of Flies Species in Layer Poultry Farm.
Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUPRIYONO.
Flies are common parasites that easily can be found in layer poultry farm.
The aim of this research was to analyze the diversity of species, the relative
abundance, and the dominance of flies in layer poultry farm. The samples were
collected from Peternakan Ayam Petelur KM 45, Kemang, Bogor, by using the
sweeping net. The collected samples were identified and analyzed to determine
the density of flies. Fly density expressed with relative abundance and species
domination. The result showed there were 4 species of flies found in layer poultry
farm. They were Musca domestica, Chrysomya megacephala, Chrysomya
saffranea, and Hermetia illucens. M. domestica were the most dominant species.
Species domination in sequences were M. domestica (42.13%), C. megacephala
(33.71%), H. illucens (18.26%), and C. saffranea (5.90%). The last three species
were commonly found along with M. domestica.
Keywords: diversity, flies, layer poultry farm, species domination

RAGAM JENIS LALAT PADA PETERNAKAN AYAM

PETELUR

IRENE SOTERIANI UREN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
keragaman jenis lalat, dengan judul Ragam Jenis Lalat pada Peternakan Ayam

Petelur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati
Hadi, MS selaku pembimbing pertama dan Bapak Drh Supriyono, MSi selaku
pembimbing kedua, serta Ibu Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt MSc selaku
pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran dan arahan. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr Drh Susi Soviana atas saran
dan kritik yang telah diberikan. Di samping itu, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Bapak Heri, serta seluruh staff dan karyawan laboratorium
entomologi FKH IPB yang telah turut membantu proses identifikasi spesimen.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kakak-kakak mahasiswa program S2
Entomologi, kak Isfanda, kak Resa, dan kepada teman-teman terbaik Shady
Jasmin, Adam Kustiadi, Fredi Praja, Shuffur Husna, Iwan Saepudin, Hidayati,
Risti Laily, serta teman-teman FKH 47 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
atas dukungan dan bantuannya selama penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan
terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada ayah Jeffrey Jefta
Uren, ibu Abrit Kartikaningsih, kakak Sofia Henderika, adik Ottow Geisller
Octovianus, dan adik Zeane Kezia Rachelita atas segala doa dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh
penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Oktober 2014
Irene Soteriani Uren

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Peternakan Ayam Petelur di Kabupaten Bogor

2

Ragam Jenis Lalat Pengganggu pada Ayam Petelur

3


Peranan Lalat dalam Kesehatan Unggas

4

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

6

Metode Penelitian

6

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ragam Jenis Lalat pada Peternakan Ayam Petelur
Kepadatan dan Dominasi Lalat pada Peternakan Ayam Petelur


8
11

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

20


DAFTAR TABEL
1
2

Ragam jenis lalat penganggu yang ditemukan di peternakan
ayam petelur
Ragam jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan
dominasi spesies lalat pengganggu di peternakan ayam petelur

8
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5


Spesimen Musca domestica
Spesimen Chrysomya megacephala
Spesimen Chrysomya saffranea
Spesimen Hermetia illucens
Ilustrasi dominasi spesies pada peternakan ayam petelur

10
10
11
11
13

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telur ayam merupakan bahan pangan asal hewan yang menjadi pilihan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jumlah produksi ayam
petelur di Jawa Barat pada tahun 2011 adalah 115.787 ton dan pada tahun 2012
meningkat menjadi 120.123 ton. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
permintaan telur ayam oleh konsumen (BPS 2013).
Produksi ayam petelur akan mengalami penurunan apabila terjadi gangguan

oleh infestasi parasit, yaitu endoparasit dan ektoparasit. Peternakan ayam menjadi
lokasi yang disukai lalat untuk berkembang biak. Hal ini disebabkan oleh
keberadaan manur sebagai media yang cocok untuk pertumbuhan larva lalat.
Menurut Mullens et al. (1996) manur dengan kelembaban tinggi yang mengumpul
di bawah kandang ayam menjadi tempat lalat untuk meletakkan telur. Jenis-jenis
lalat yang ditemukan pada peternakan ayam petelur umumnya tergolong lalat
famili Muscidae, Calliphoridae, dan Stratiomyidae (Koesharto et al. 1991). Ketiga
famili lalat ini memiliki populasi yang tinggi pada peternakan ayam petelur.
Populasi lalat yang tinggi di peternakan ayam petelur dapat menjadi pengganggu
dan juga menjadi vektor mekanik penyakit, seperti virus, bakteri, cacing, dan
protozoa.
Lalat yang dikoleksi dari kandang ayam petelur membawa bakteri patogen
seperti, Acinetobacter sp., Bacillus sp., Enterobacter sp., Proteus sp., dan
Klebsiella sp. (Vazirianzadeh et al. 2008). Larva lalat dapat menyebabkan miasis
pada jaringan luka ayam (Hadi dan Koesharto 2006). Selain itu, larva lalat dalam
manur dapat menyebabkan kelembaban manur menjadi lebih tinggi dan
menyebabkan tingginya kadar amonia pada peternakan ayam (Murtidjo 1992).
Koesharto et al. (2000) menyatakan bahwa keberadaan lalat tidak
merugikan secara langsung, namun populasi lalat akan bertambah dengan cepat
dan membawa dampak negatif terhadap produktivitas ayam, sanitasi kandang,
penularan penyakit unggas, dan menurunnya estetika. Gangguan-gangguan
tersebut dapat menyebabkan penurunan produksi telur yang berdampak pada
kerugian ekonomi dari peternakan ayam petelur.
Informasi tentang keragaman jenis lalat di peternakan ayam petelur belum
diteliti secara rinci. Pengetahuan yang mendalam tentang keragaman lalat akan
mempermudah dalam mengetahui jenis pengendalian yang cocok pada peternakan
ayam petelur. Pengendalian lalat yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas ayam petelur.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah keragaman jenis,
kelimpahan nisbi, dan dominasi spesies lalat di peternakan ayam petelur.

2
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara
akademik mengenai keanekaragaman lalat di peternakan ayam petelur sehingga
dapat menjadi panduan dalam menyusun program pengendalian.

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Peternakan Ayam Petelur di Kabupaten Bogor
Peternakan ayam petelur terletak di Kecamatan Kemang KM 45, Kabupaten
Bogor. Kabupaten Bogor adalah Kabupaten yang termasuk dalam provinsi Jawa
Barat dan memiliki luas wilayah 298.838.304 Ha. Kabupaten Bogor secara
geografis terletak di antara 6º18’ sampai 6º47’10 LS dan 106º23’45 sampai
107º13’30 BT. Suhu rata-rata Kabupaten Bogor adalah 26 oC dengan suhu
terendah 21.8 oC dan suhu tertinggi 30.4 oC. Kelembaban udara berkisar 70%
dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500 sampai 4.000 mm (Pemkab
Bogor 2012).
Mikroklimat adalah keadaan iklim khas dari daerah berskala kecil. variabel
cuaca pada mikroklimat seperti suhu, curah hujan, angin, dan kelembaban dapat
berbeda antara satu area dengan area lainnya (Syafitri 2013). Peternakan terletak
di Kecamatan Kemang yang berada di ketinggian 60–100 m DPL. Curah hujan
terbesar adalah pada bulan Desember dan Januari. Suhu udara rata-rata tahunan
Kecamatan Kemang adalah 25.7 °C, sementara kelembaban nisbi rata-rata
tahunan adalah sebesar 84.1% (Bappeda Kabupaten Bogor 2013).
Peternakan ayam petelur KM 45 didirikan sejak tahun 1972. Peternakan ini
memiliki dua bangunan kandang dengan ukuran kandang pertama 25 × 15 m. Satu
kandang kecil berukuran 30 × 30 × 45 cm yang berisi 2–4 ekor ayam. Bibit ayam
petelur yang dibesarkan hingga umur 13 minggu kemudian dimasukkan ke dalam
kandang baterai. Pada umur ke-19 minggu ayam mulai bertelur. Saat ini
peternakan memiliki sekitar 110.000 ekor ayam produktif. Bangunan kandang
pertama terdiri dari 12 jalur kandang bertingkat dan bangunan kandang kedua
terdiri dari 8 jalur. Dua jalur saling berhadapan dan membentuk satu lorong di
tengah bangunan. Kandang ayam terbuat dari kawat yang kuat dan tebal dengan
satu buah pintu kecil. Pada masing-masing jalur kandang, terdapat dua pipa yang
terletak sejajar. Satu pipa untuk minuman ayam dan pipa lainnya untuk pakan.
Pakan diberikan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Air bersih tersedia
melalui saluran air yang selalu mengisi tempat air minum ayam. Pada bagian
bawah kandang terdapat tempat pengumpulan telur yang terbuat dari kawat.
Kandang berada di bawah atap sebagai penutup yang terbuat dari genteng.
Sisi-sisi dan pondasi bangunan dibuat dengan kayu. Di bagian bawah setiap
bangunan terdapat lubang galian sedalam 0.5 meter sebagai tempat jatuhnya
manur ayam. Manur dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung dan
selanjutnya akan dijual untuk digunakan sebagai pupuk. Peternak dan pekerja
kandang tinggal dalam kompleks peternakan. Peternakan memiliki satu bangunan

3
khusus untuk tempat penyimpanan telur. Letak antara tempat tinggal peternak dan
kandang amat dekat.
Lokasi peternakan terletak jauh dari permukiman warga. Sekitar kandang
terdapat banyak tumbuhan dan pohon-pohon yang mengelilingi bangunan
kandang. Peternakan memiliki satu kandang besar tempat pemeliharaan day old
chick (DOC). Peternak kesulitan melakukan pengendalian populasi lalat
dikarenakan jumlah kandang yang sangat banyak dan letaknya berjauhan.
Pengendalian dengan bahan kimia pernah dilakukan, namun hal ini ditakutkan
meninggalkan residu pada lingkungan dan merusak kualitas telur.

Ragam Jenis Lalat pada Peternakan Ayam Petelur
Lalat merupakan insekta yang tergolong ordo Diptera. Diptera berasal dari
kata di artinya dua, dan pteron yang berarti sayap. Sesuai dengan nama yang
disebutkan, serangga pada ordo ini memiliki dua pasang sayap. Sayap kedua telah
berubah bentuk menjadi halter yang berfungsi menjaga keseimbangan saat
terbang. Ordo Diptera digolongkan ke dalam tiga subordo, yaitu Nematocera,
Brachycera, dan Cyclorrapha. Insekta yang disebut sebagai lalat tergolong ke
dalam subordo Brachycera dan Cyclorrapha. Lalat yang mengganggu kesehatan
pada umumnya tergolong pada subordo Cyclorrapha yang terdiri atas lebih dari
116.000 spesies (Hadi dan Koesharto 2006).
Lalat rumah, Musca domestica, adalah jenis lalat yang banyak berada pada
peternakan ayam dengan model perkandangan bertingkat (Axtell dan Arrends
1990; Wales et al. 2008; Iqbal et al. 2014). Lalat ini ditemukan dalam jumlah
yang banyak di peternakan ayam petelur di Haryana, India Utara (Dogra dan
Aggarwal 2010). Lalat famili Muscidae lain yang umum berada di manur ayam
adalah Fannia canicularis, F. benjamini, dan F. femoralis. Populasi lalat F.
benjamini dan F. canicularis akan menurun pada suhu udara yang panas.
Lalat sampah (dump flies) seperti Ophyra leucostoma dan O. aenescens
memiliki populasi yang tinggi di peternakan ayam petelur (Axtell 1986; Axtell
dan Arrends 1990). Jenis lalat lain yang banyak ditemukan di peternakan ayam
petelur adalah Muscina stabulans (Axtell dan Arends 1990; Wales et al. 2008).
Lalat Hydrotaea aenescens juga merupakan spesies lalat yang banyak ditemukan
pada peternakan ayam petelur di Amerika (Wales et al. 2008).
Lalat serdadu atau soldier fly, Hermetia illucens (famili Stratiomyidae),
adalah lalat yang larvanya umum berada di manur peternakan ayam dan
jumlahnya amat banyak pada peternakan dengan sistem kandang bertingkat
(Axtell dan Arrends 1990; Newton et al. 2005). Lalat dewasa akan terbang dengan
perlahan dan hinggap di tumbuhan-tumbuhan sekitar kandang. Keberadaan larva
lalat serdadu akan menekan pertumbuhan jumlah lalat Musca dan Fannia, namun
dapat menyebabkan manur semakin cair dan lembab sehingga sulit diangkat dan
mengotori saluran-saluran di peternakan ayam (Axtell dan Arrends 1990). Satusatunya lalat pengisap darah yang ditemukan di peternakan ayam adalah lalat
Stomoxys calcitrans atau lalat kandang yang merupakan lalat dari famili Muscidae
(Axtell 1986; Axtell dan Arends 1990).
Selain lalat-lalat yang disebutkan di atas, keberadaan lalat Chrysomya
megacephala, C. rufifaciens, C. saffranea dan C. albiceps yang sering disebut

4
sebagai lalat hijau dapat mengganggu aktivitas di peternakan ayam. Lalat ini
berpotensi menyebabkan miasis fakultatif dan menjadi vektor penyebaran
berbagai penyakit (Hadi dan Koesharto 2006).

Peranan Lalat dalam Kesehatan Unggas
Peranan lalat adalah sebagai vektor penyakit yang dapat menyerang manusia
maupun hewan. Perkembangbiakan yang cepat serta kondisi lingkungan yang
sesuai akan menyebabkan tingginya jumlah lalat pada peternakan ayam.
Akibatnya, dapat timbul serangkaian penyakit yang secara tidak langsung
ditularkan oleh lalat sebagai pembawa penyakit. Penyakit parasiter merupakan
gangguan yang sering dihadapi peternak ayam akibat dari tingginya jumlah lalat
pada peternakan ayam. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan produksi telur.
Selain itu, penyakit parasiter bersifat zoonosis yang akan menyebabkan kerugian
secara fisik atau mengganggu kesehatan pekerja di peternakan ayam petelur
(Suwandi 2001).
Axtell dan Arends (1990) mengemukakan bahwa jumlah lalat yang
berlebihan pada peternakan ayam harus dihindari karena lalat dapat menggangu
pekerja di peternakan, menimbulkan ledakan populasi yang dapat menyebar ke
permukiman, dan menyebabkan buruknya tingkat kesehatan masyarakat. Selain
itu, kegiatan defekasi dan regurgitasi lalat menyebabkan bercak-bercak pada
peralatan dan lampu kandang yang mengakibatkan rendahnya intensitas
pencahayaan. Lalat secara potensial menyebabkan transmisi agen patogen pada
telur yang baru saja diletakkan.
Lalat rumah atau M. domestica selain berperan sebagai pengganggu juga
sebagai vektor mekanik lebih dari 100 agen patogen penyebab penyakit. Studi
oleh Vazirianzadeh et al. (2008) menyatakan bahwa dapat diisolasi bakteri
Eschericia coli, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas spp. dari lalat rumah
di daerah Ahvaz, Iran. Szalanski et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat bakteri
Eschericia coli yang menyebabkan kolitis hemoragika, serta bakteri
Campylobacter sp. yang merupakan agen kausatif dari enteritis dari lalat rumah di
Amerika Serikat. Lalat rumah juga menjadi vektor penyakit viral viscerotropic
Newcastle Disease (Barin et al. 2010), marek, infectious bursal disease, dan avian
influenza (Wanaratana et al. 2011). Selain itu, lalat juga menjadi vektor agen
penyakit viral pada unggas yang dapat menyebabkan penurunan produksi telur,
seperti penyakit infectious bronchitis dan egg drop syndrome.
Unggas rentan menderita penyakit akibat protozoa yang dapat dibawa oleh
lalat rumah, antara lain Toxoplasma gondii, Isospora spp., Giardia spp.,
Entamoeba coli, E. hystolitica, Endolimax nana, dan Pentatrichomonas hominis.
Penyakit yang disebabkan oleh protozoa secara klinis menimbulkan penyakit
pencernaan yang ditandai dengan muntah, diare berdarah, penurunan berat badan,
penurunan produksi telur, dan kematian (Ahmed 2011). Salmonelosis adalah
penyakit pada unggas yang dapat menyebabkan kerusakan telur dan bersifat
zoonosis jika telur yang terinfeksi termakan oleh manusia. Bakteri penyebab
salmonelosis paling banyak ditemukan pada lalat rumah. Bakteri Salmonella
enteritidis dapat dideteksi dalam saluran pencernaan lalat dan bagian luar tubuh
lalat dan dapat bertahan selama 5 hari pada tubuh lalat (Durham 2008; Wales et

5
al. 2008). Lalat rumah amat potensial menjadi vektor penularan salmonelosis.
Induk ayam yang terpapar akan menghasilkan telur yang tidak sehat (Durham
2008; Vazirianzadeh et al. 2008).
Lalat Ophyra sp. tidak menggigit unggas, namun dengan tingginya
keragaman jenis makanan yang dimakannya, lalat ini secara mekanis menjadi
pembawa agen infeksius penyebab demam tifoid, disentri, dan keracunan
makanan pada manusia di permukiman sekitar peternakan ayam. Lalat kandang
atau Stomoxys calcitrans menyebabkan stres pada unggas akibat gigitannya.
Pembusukan bangkai dan penumpukan manur ayam menjadi lokasi
perkembangbiakan yang baik bagi lalat tersebut (Ahmed 2011).
Lalat Chrysomya dilaporkan membawa telur cacing Ascaris lumbricoides,
dan Trichuris trichiura pada bagian luar tubuhnya dan pada lambung (Hadi dan
Koesharto 2006). Selain itu, lalat diketahui menjadi inang antara cacing sestoda,
yaitu Raillietina tetragona, R. cesticillus, Hymenolepis carioca, dan
Choanotaenia infundibulum yang mudah menginfeksi ayam petelur (Retnani
2010). Graczyk et al. (1999) dalam studinya menyampaikan bahwa dalam saluran
pencernaan lalat Calliphoridae dapat ditemukan ookista Cryptosporidium parvum
penyebab koksidiosis pada unggas. Penyebab koksidiosis lain yang dibawa oleh
lalat dan dapat menyerang unggas adalah Eimeria sp. Lalat dapat menularkan
agen tersebut melalui deposisi oosit pada pakan ternak (Fetene et al. 2009).
Ahmed (2011) dalam studinya menyatakan bahwa lalat Chrysomya berperan amat
penting dalam penyebaran E. coli penyebab diare pada berbagai spesies hewan.

6

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2013, di
Peternakan Ayam Petelur KM 45, Kemang, Bogor. Preservasi, identifikasi, dan
perhitungan lalat dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Koleksi Lalat di Peternakan Ayam
Koleksi lalat dilakukan menggunakan tangguk serangga pada beberapa
tempat di peternakan ayam petelur. Tangguk serangga diayunkan selama 3 menit
pada lokasi yang ditentukan, yaitu di lorong dalam kandang, di luar kandang,
tumbuhan dekat kandang, pondasi kayu dekat kandang, dan sekitar tempat
penyimpanan pakan dan peralatan kandang. Lalat yang terkumpul selanjutnya
dimasukkan ke dalam kandang serangga dan dibawa ke laboratorium untuk
melalui proses preservasi dan identifikasi.

Preservasi dan Identifikasi Lalat
Preservasi kering dilakukan dengan mematikan lalat yang menggunakan
kloroform. Lalat ditusuk dengan menggunakan jarum serangga pada pinning block
agar tinggi tusukan serangga seragam. Penusukan dilakukan secara tegak lurus
pada satu sisi toraks sedikit ke kanan dari garis tengah dengan ketinggian 25 mm
dari bagian bawah jarum (Hadi dan Soviana 2010). Spesimen yang telah ditusuk
diberi label dan disimpan pada kotak penyimpanan serangga. Bagian sudut kotak
diberi kamper dengan tujuan agar lalat tidak rusak. Lalat diidentifikasi dengan
menggunakan kunci identifikasi Spradberry (2002) untuk lalat famili
Calliphoridae, kunci identifikasi Woodley (2009) untuk lalat famili Stratiomyidae,
dan kunci identifikasi Tumrasvin dan Shinonaga (1978) untuk lalat famili
Muscidae.

Analisis Data
Hasil spesimen yang telah diidentifikasi selanjutnya dianalisis untuk
mengetahui kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan dominasi spesies.
Selanjutnya hasil dideskripsikan dalam bentuk gambar dan tabel. Analisis tersebut
menggunakan perhitungan sebagai berikut :
Kelimpahan Nisbi
Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu spesies lalat
terhadap total jumlah spesies lalat yang diperoleh, dan dinyatakan dalam persen.

7
Kelimpahan nisbi dapat dibagi menjadi 5 kategori, yaitu (1) Sangat rendah
(kurang dari 1%), (2) Rendah (1% sampai 10%), (3) Sedang (10% sampai 20%),
(4) Tinggi (20% sampai 30%), dan (5) Sangat tinggi (di atas 30%) (Hadi et al.
2011)
Kelimpahan nisbi =

 

Frekuensi Tertangkap

 

 

 

 

 

 

 

%

Frekuensi lalat tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah
penangkapan diperolehnya spesies lalat tertentu terhadap jumlah total
penangkapan. Nilai frekuensi yang semakin mendekati angka 1 berarti lalat
tersebut hampir selalu ditemukan pada setiap waktu penangkapan (Hadi et al.
2011).
Frekuensi Tertangkap =

 

 

 

 

 

 

 

Dominasi Spesies
Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara
kelimpahan nisbi dengan frekuensi lalat tertangkap spesies tersebut dalam satu
waktu penangkapan. Dominasi spesies juga dapat dibagi menjadi 5 kategori
karena dipengaruhi oleh tingkat kelimpahan nisbi. Kategori tersebut, yaitu (1)
Sangat rendah (kurang dari 1%), (2) Rendah (1% sampai dengan 10%), (3)
Sedang (10% sampai dengan 20%), (4) Tinggi (20% sampai dengan 30%), dan (5)
Sangat tinggi (di atas 30%) (Hadi et al. 2011).
Dominasi spesies =

 

 

 

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ragam Jenis Lalat pada Peternakan Ayam Petelur
Jumlah total lalat yang diperoleh selama penelitian adalah 712 lalat. Ragam
jenis lalat hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 1. Lalat yang ditemukan di
peternakan ayam petelur adalah M. domestica, C. megacephala, C. saffranea, dan
H. illucens.
Tabel 1 Ragam jenis lalat penganggu yang ditemukan di peternakan ayam petelur
pada bulan Maret hingga Mei 2013
No
1
2
3
4

Spesies
M. domestica
C. megacephala
C. saffranea
H. illucens
Total

Jumlah Persentase (%)
300
42.13
240
33.71
42
5.90
130
18.26
712
100

M. domestica (Gambar 1). Lalat M. domestica atau lalat rumah merupakan
jenis lalat yang paling banyak ditemukan di peternakan. Jumlah lalat rumah yang
diperoleh dari peternakan ayam petelur adalah 300 lalat (42.13%). M. domestica
merupakan lalat yang berukuran sedang dengan panjang 6–8 mm (Gambar 1.A).
Lalat ini berwarna hitam keabuan dengan empat garis memanjang gelap pada
bagian dorsal toraks (Gambar 1.B). Abdomen lalat ini berwarna kuning terang
(Gambar 1.C) dan tipe probosisnya disesuaikan untuk menjilat makanan. Sayap
lalat ini mempunyai vena M1+2 yang melengkung dan menukik tajam serta hampir
menyatu dengan R4+5 (Gambar 1.D). Vena dengan bentuk tersebut menjadi ciri
khas lalat rumah yang menjadi pembeda dengan spesies Musca lainnya.
M. domestica sebagian besar banyak ditemukan di daerah tropis dan di
sekitar garis ekuator (Tardelli et al. 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Avancini dan Silveira (2000) pada peternakan ayam petelur di Brazil, lalat
M.domestica menempati urutan pertama jumlah lalat terbanyak yang ditemukan di
peternakan tersebut. Diketahui dalam penyebarannya lalat ini menjadi vektor yang
berperan sebagai pembawa agen patogen Vibrio cholera, Shigella spp., Eschericia
coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas spp., dan Klebsiella spp. (Rahuma et
al. 2005). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nazni et al. (2005) di
peternakan ayam petelur Kundang, Malaysia, lalat rumah yang dikoleksi dari
kandang membawa bakteri Acinetobacter sp., Bacillus sp., Enterobacter sp., and
Proteus sp. Kebiasaan lalat saat hinggap adalah melakukan kegiatan defekasi dan
regurgitasi. Hal tersebut berperan dalam perpindahan agen-agen patogen ke telur
(Axtell 1999).
C. megacephala (Gambar 2). Jenis lalat lain yang ditemukan di peternakan
adalah lalat C. megacephala atau lalat hijau. Jumlah lalat yang dikumpulkan
adalah 240 lalat (33.71%). Lalat C. megacephala tergolong besar dengan ukuran
panjang lalat dewasa mencapai 10 mm (Gambar 2.A). Lalat dewasa berwarna

9
hijau metalik terang dengan garis hitam pada segmen kedua atau ketiga dari
abdomen. Lalat ini memiliki tipe probosis penjilat. Selain itu, C. megacephala
memiliki warna cokelat kehitaman pada lower squamae yang membedakannya
dengan spesies C. bezziana (Gambar 2.B). C. megacephala akan mudah
dibedakan dengan C. saffranea berdasarkan jumlah setulae hitam pada daerah
bawah wajah. Lalat C. megacephala memiliki jumlah setulae berwarna hitam
lebih dari 3 (Gambar 2.C). Spirakel anterior dari lalat ini berwarna hitam
kecokelatan yang membedakannya dengan lalat C. albiceps (Gambar 2.D).
Lalat C. megacephala tersebar luas di Australasia, daerah Oriental, Afrika
Selatan hingga Amerika Selatan (Reigada dan Godoy 2005). C. megacephala
menempati urutan kedua lalat terbanyak yang ditemukan di Kedah, Malaysia
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurita et al. (2008). Lalat ini
merupakan lalat yang menyebabkan banyak penyakit karena membawa agen
patogen bagi usus serta menyebabkan gangguan pada peternakan ayam akibat
kematian ayam dan kerusakan telur (DuPonte dan Larish 2003). Sukontanson et
al. (2002) menyatakan bahwa C. megacephala juga berperan sebagai agen miasis
dan pengganggu di permukiman.
C. saffranea (Gambar 3). Lalat genus Chrysomya lain yang ditemukan
adalah C. saffranea dengan jumlah 42 lalat (5.90%). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Harvey et al. (2008) C. saffranea dan C. megacephala umumnya
dianggap tidak dapat dibedakan secara morfologik dan genetik. C. saffranea
memiliki morfologi yang sama dengan C. megacephala (Gambar 3.A), namun
pembeda keduanya adalah jumlah setulae berwarna hitam pada wajah lalat C.
saffranea yang hanya berjumlah 2 sampai 3 (Gambar 3.B). C. saffranea lebih
banyak ditemukan pada bangkai atau karkas. O’Flynn dan Moorhouse (1979)
mendapatkan lalat C. saffranea pada bangkai babi dan kucing. Lalat ini ditemukan
bersamaan dengan lalat C. rufifacies, C. varipes, dan Musca spp. Larva lalat ini
juga ditemukan pada bangkai kelinci menurut penelitian yang dilakukan oleh
Supriyono (2013). Keberadaan lalat tersebut berperan penting dalam entomologi
forensik untuk memperkirakan waktu kematian bangkai.
H. illucens (Gambar 4). Sebanyak 130 lalat (18.26%) H. illucens ditemukan
di peternakan ayam petelur. Secara umum H. illucens berwarna hitam gelap dan
berukuran besar dengan panjang 13–20 mm (Gambar 4.A). H. illucens memiliki
sayap yang dipenuhi dengan rambut-rambut halus berukuran kecil yang disebut
microtrichia (Gambar 4.B). Selain itu dapat ditemukan adanya vena M3 yang
menjadi pembeda dengan genus lain (Gambar 4.C). Abdomen lalat ini bercorak
kuning transparan. Antena H. illucens berupa flagelomer yang membesar dan
berbentuk pipih yang membedakannya dengan lalat Brachycara ventralis
(Gambar 4.D). Tipe probosis lalat ini disesuaikan untuk menjilat.
H. illucens tersebar di seluruh daerah tropis dengan temperatur hangat.
Sejumlah larva lalat H. illucens ditemukan di tumpukan manur di bawah kandang
ayam bertingkat di Georgia, Amerika (Sheppard et al. 2002). Tomberlin dan
Sheppard (2001) mengemukakan bahwa keberadaan H. illucens dalam peternakan
dapat menekan jumlah lalat M. domestica. Larva lalat ini dapat mengubah 42-56%
nutrisi dalam manur menjadi bahan pakan ternak yang menguntungkan.
Berdasarkan hal tersebut, Zarkani dan Miswarti (2012) mengembangkan larva H.
illucens menjadi sumber energi pakan melalui biokonversi limbah.

10

Gambar 1 Musca domestica (A), garis longitudinal toraks (B), abdomen
berwarna kuning terang (C), vena M1+2 yang menukik tajam dan
hampir menyatu dengan vena R4+5 (D)

Gambar 2 Chrysomya megacephala (A), lower squamae cokelat kehitaman
(B), setulae dengan banyak rambut hitam (C), spirakel anterior
hitam kecokelatan (D)

11

Gambar 3 Chrysomya saffranea (A), Setulae dengan 2 buah rambut hitam (B)

Gambar 4 Hermetia illucens (A), microtrichia (rambut-rambut halus) yang
memenuhi seluruh permukaan dorsal sayap (B), venasi sayap
terdapat vena M3 (C), flagelomer pipih (D)

Kepadatan dan Dominasi Lalat pada Peternakan Ayam Petelur
Dominasi lalat pada peternakan ayam petelur secara berurutan adalah lalat
M. domestica (42.13%), C. megacephala (33.71%), H. illucens (18.26%) dan C.
saffranea (5.90%). Nilai dominasi yang diperoleh sama dengan nilai kelimpahan
nisbi karena frekuensi tertangkap dari setiap lalat sama, yaitu 1.

12
Tabel 2 Ragam jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan dominasi
spesies lalat di peternakan ayam petelur Maret hingga Mei 2013
No
1
2
3
4

Spesies
M. domestica
C. megacephala
C. saffranea
H. illucens

Kelimpahan
Nisbi (%)
42.13
33.71
5.90
18.26

Frekuensi
1
1
1
1

Dominasi
Spesies (%)
42.13
33.71
5.90
18.26

Nilai 1 memiliki arti selalu mendapatkan spesies lalat tersebut pada setiap
penangkapan. Data yang diperoleh disajikan pada Tabel 2 dan diilustrasikan pada
Gambar 5.
M. domestica. Dominasi spesies M. domestica pada peternakan ayam
petelur tergolong sangat tinggi (42.13%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurita et al. (2008) yang menyatakan bahwa lalat M. domestica
mendominasi pada tempat pembuangan sampah, tempat pemotongan ayam, dan
peternakan ayam di Kedah, Malaysia. Dominasi lalat rumah dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan peternakan yang mendukung perkembangannya. Peternakan
menggunakan sistem kandang bertingkat yang menyebabkan manur ayam akan
jatuh dan mengumpul di bawah kandang. Hal ini tidak diikuti dengan program
pembersihan manur yang teratur. Manur yang menumpuk di bawah kandang ayam
tersebut menjadi tempat lalat rumah berkembang biak. Hadi dan Koesharto (2006)
menyatakan bahwa lalat rumah meletakkan telurnya di atas manur segar yang
memiliki bau dan kelembaban yang paling mencolok. Selain itu, sampah yang
mengumpul di sekitar peternakan juga menjadi lokasi yang cocok untuk lalat
rumah berkembang biak. Ketertarikan lalat pada sampah muncul akibat bau segar
amonia dan CO2 dari sampah yang membusuk (Hadi dan Koesharto 2006).
Tingginya dominasi M. domestica di peternakan ayam petelur juga
dipengaruhi oleh pendeknya siklus hidup lalat tersebut. Axtell dan Arrends (1990)
menyatakan bahwa siklus hidup lalat ini memerlukan waktu 6–10 hari.
Perkawinan lalat dewasa sudah terjadi di usia 24 jam pada lalat jantan dan 30 jam
pada lalat betina. Seumur hidup lalat yang pendek tersebut, lalat meletakkan
telurnya sebanyak 2 hingga 3 kali dengan jumlah telur 100–150 butir setiap
oviposisi (Hadi dan Koesharto 2006). Berdasarkan hal tersebut, lalat rumah
menjadi lalat yang paling mendominasi dibandingkan dengan jenis lalat lain yang
siklus hidupnya lebih lama. Telur lalat menetas dalam waktu 10–12 jam dan
didukung oleh suhu optimal yaitu pada suhu 28 oC (Ihsan 2013) yang sesuai
dengan suhu lingkungan peternakan ayam. Hal-hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Axtell dan Arends (1990) bahwa penyebaran lalat rumah dapat terjadi
akibat dua faktor, yaitu pendeknya siklus hidup serta tingginya laju pertumbuhan
populasinya di lingkungan.
Waktu siklus hidup lalat yang pendek dan minimnya tindakan pengendalian
lalat yang dilakukan oleh peternak menyebabkan terjadinya ledakan populasi lalat
di peternakan ayam petelur. Pupa dan larva instar ketiga M. domestica yang
menumpuk pada manur akan terbawa ketika manur dibersihkan dan jatuh di

13

18.26
5.9

42.13

M. domestica
C. megacephala

33.71

C. saffranea
H. illucens

Gambar 5 Ilustrasi dominasi spesies pada peternakan ayam petelur Maret
hingga Mei 2013
halaman sekitar kandang. Hal ini menyebabkan lalat dewasa dapat menyebar
cepat di seluruh kawasan peternakan dibandingkan lalat lain.
C. megacephala. Dominasi spesies lalat C. megacephala pada peternakan
ayam petelur tergolong sangat tinggi (33.71%). Keberadaan lalat ini pada
peternakan ayam petelur disebabkan oleh adanya habitat yang sesuai yaitu manur,
sebagai lokasi untuk lalat betina meletakkan telur dan tahap pradewasa lalat untuk
berkembang biak. Peternakan ayam memiliki masalah yaitu tingginya jumlah
manur akibat buruknya manajemen manur. Hal ini memicu tingginya potensi lalat
betina C. megacephala untuk bertelur. Pendukung tingginya dominasi lalat ini
adalah suhu di peternakan yang sesuai untuk perkembangan larva lalat tersebut.
Larva lalat ini memiliki jangka hidup 8–9 hari pada suhu 24–28.5 oC dan
kelembaban 85–92% (Sitanggang 2001). Larva lalat ini hidup dari memakan
jaringan hidup, bahan organik, dan feses.
Manur pada peternakan ayam selalu lembab karena manur segar selalu ada
setiap waktu. Hal tersebut tidak didukung dengan penyusunan program
pengeringan manur. Udara tidak dapat melewati bagian bawah kandang secara
maksimal dan kipas pada peternakan sudah tidak dapat berfungsi untuk menjaga
manur tetap kering. Selain manur ayam, sampah yang menumpuk di peternakan
dapat menjadi lokasi lalat untuk berkembang biak. Sampah yang dihasilkan
merupakan sampah permukiman yang dihasilkan dari aktivitas pekerja yang
tinggal dalam kompleks peternakan. Ketertarikan lalat dewasa terhadap sampah
adalah sebagai tempat meletakan telur. Sampah merupakan bahan organik yang
menjadi sumber karbohidrat dan protein bagi lalat hijau yang diperlukan untuk
kebutuhan energi dan pendewasaan kelamin (Pires et al. 2008).
Lalat dengan mudah dapat ditemukan pada peternakan ayam petelur karena
lalat dewasa C. megacephala memiliki kebiasaan untuk bersitirahat di lantai dan
langit-langit kandang, pohon, serta sekitar tempat sejuk. Tempat yang dihinggapi
adalah tempat yang terlindung dari sinar matahari dan angin. Lalat C.
megacephala dapat dijumpai dengan jumlah yang banyak di dalam kandang pada
siang hari. Peternakan ayam petelur terletak di kawasan yang dipenuhi banyak
pohon dan menjadi kondisi yang disukai lalat dewasa C. megacephala. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Sukontanson et al. (2002) bahwa lalat C.
megacephala sangat mudah ditemukan di daerah dengan tingkat vegetasi tinggi.

14
Jumlah lalat ini ditemukan lebih sedikit dibandingkan lalat M. domestica.
Larva C. megacephala dan M. domestica ditemukan secara bersamaan pada
tumpukan manur yang menyebabkan terjadinya kompetisi perolehan makanan.
Tardelli et al. (2004) menyatakan bahwa kompetisi dapat terjadi akibat kesamaan
sumber makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup antara lalat hijau dan lalat
rumah. Penyebab lain adalah minimnya habitat lain yang lebih sesuai dengan
larva lalat C. megacephala selain manur, yaitu bangkai ayam. Hadi dan Soviana
(2010) menyatakan bahwa lalat ini merupakan penyebab miasis fakultatif karena
lalat tertarik dengan jaringan hidup. Larva lalat lebih menyukai bangkai atau
jaringan yang membusuk sementara itu, bangkai jarang ditemukan di peternakan
ayam.
C. saffranea. Lalat ini memiliki siklus hidup dan habitat yang serupa
dengan C. megacephala. Penyebarannya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
C. megacephala. Beberapa studi menyatakan bahwa perilaku hidup dan morfologi
C. saffranea dapat disamakan dengan C. megacephala. Lalat ini memiliki nilai
dominasi sebesar 5.90% yang tergolong rendah di peternakan ayam petelur. Hal
ini disebabkan karena C. saffranea lebih menyukai bangkai sebagai tempat
perkembangbiakannya (Spradberry 2002).
Rendahnya dominasi lalat C. saffranea pada peternakan ayam petelur
menunjukkan rendahnya jumlah bangkai ayam. Ayam yang mati segera
dipisahkan kemudian dikubur dalam lubang galian khusus dan ditutup.
Pembakaran dilakukan jika jumlah ayam yang mati sangat banyak. Hal tersebut
menjadi faktor minimnya perkembangbiakan lalat C. saffranea akibat
penyempitan habitat alamiah. Axtell (1986) menyatakan bahwa tingginya
kematian ayam dan pecahnya telur akan mengundang lalat betina dewasa yang
siap bertelur dan menyebabkan munculnya sejumlah lalat hijau di peternakan
ayam petelur.
H. illucens. Lalat serdadu dapat ditemukan di peternakan ayam petelur
dengan nilai dominasi 18.26%. Lalat ini dengan mudah dapat ditangkap karena
terbang dengan perlahan dan hinggap pada tumbuh-tumbuhan di sekitar
peternakan. Suhu dan kelembaban peternakan ayam sesuai dengan suhu optimal
yang mendukung terjadinya perkawinan dan peletakan telur. Menurut Sheppard et
al. (2002) hal tersebut dapat terjadi antara suhu 27.5–37.5 oC dan pada
kelembaban yang berkisar antara 30–90%. Kedua hal inilah yang menyebabkan
keberadaan lalat H. illucens pada peternakan ayam petelur.
Lalat ini berjumlah lebih sedikit dibandingkan lalat M. domestica dan C.
megacephala karena siklus hidupnya tergolong lama (54–61 hari) dibandingkan
kedua lalat tersebut. Lamanya siklus hidup lalat ini tidak didukung dengan jumlah
oviposisi yang banyak. Rachmawati et al. (2010) mencatat bahwa semasa
hidupnya, lalat H. illucens hanya satu kali meletakan telur. Jumlah telur pada satu
kali oviposisi adalah 500 butir dan menetas dalam waktu 4 hari. Waktu tersebut
tergolong lama dibandingkan dengan waktu penetasan telur dari lalat spesies lain
yang ditemukan di peternakan ayam petelur.
Lokasi lain yang menjadi tempat kesukaan lalat untuk berkembang biak
adalah bangkai yang merupakan habitat alami dari lalat ini. Bangkai amat jarang
ditemukan di peternakan sehingga manur menjadi lokasi pilihan lalat untuk
berkembang biak. Larva lalat ini dapat hidup di manur karena manur
menyediakan bahan organik yang dapat menunjang kebutuhan makanan larva

15
(Tomberlin et al. 2002). Larva lalat banyak terdapat di tumpukan manur dan
berperan sebagai predator larva M. domestica. Tingginya jumlah larva M.
domestica di peternakan ayam petelur mengakibatkan peranan larva H. illucens
sebagai penekan jumlah larva M. domestica tidak signifikan.
Penumpukan manur memiliki peranan yang sangat penting dalam
pengendalian larva lalat. Oleh karena itu, penumpukan manur memerlukan
perhatian khusus karena menjadi sumber permasalahan tingginya dominasi
beberapa spesies lalat pada peternakan ayam petelur. Pembersihan manur perlu
dilakukan secara teratur dan memerlukan teknik khusus untuk menjaga manur
tetap kering. Manur yang kering akan mengurangi jumlah oviposisi lalat. Menurut
Axtell dan Arends (1990) manur dapat dijaga tetap kering dengan membuat
bangunan kandang yang memaksimalkan aliran udara ke tumpukan manur,
menambah ventilasi, serta menjaga sistem pemberian air pada ayam agar tidak
bocor dan membasahi manur. Program pengendalian lalat secara kimiawi dan
biologi dapat dilakukan sebagai tambahan untuk mendukung keberhasilan
pengurangan populasi lalat. Pemanfaatan parasitoid sebagai agen biologi untuk
mengendalikan lalat di peternakan ayam telah banyak dilakukan. Parasitoid yang
digunakan yaitu Spalangia endius dan Pachyrepoideus vindamie yang telah
diproduksi secara komersial (Hadi dan Soviana 2010). Pengendalian juga dapat
difokuskan kepada lalat dewasa dengan memasang sticky ribbon, baited jug traps,
serta spot cards di beberapa lokasi pada peternakan ayam petelur.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ragam jenis lalat yang dapat ditemui di peternakan ayam petelur adalah
M. domestica, C. megacephala, C. saffranea, dan H. illucens. Dominasi lalat di
peternakan ayam petelur secara berurutan adalah M. domestica (42.13%), C.
megacephala (33.71%), H. illucens (18.26%), dan C. saffranea (5.90%). Ketiga
jenis lalat yang terakhir selalu ditemukan bersamaan dengan lalat M. domestica

Saran
Tingginya jumlah lalat pada peternakan ayam petelur berpotensi dalam
menyebarkan penyakit yang dapat mengganggu kesehatan ayam dan berpengaruh
terhadap produksi telur. Oleh karena itu, keberadaan lalat harus diusahakan
seminimal mungkin dengan membersihkan manur secara teratur.

16

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed AB. 2011. Insect vectors of pathogens in selected undisposed refuse
dumps in Kaduna Town, Northern Nigeria. Sci Wrld J. 6(4):21-26.
Avancini RM, Silveira GA. 2000. Age structure and abundance in populations of
muscoid flies from a poultry facility in Southeast Brazil. Mem Inst Oswaldo
Cruz. 95(2):259-264.
Axtell RC. 1986. Fly management in poultry production: cultural, biological, and
chemical. Poult Sci. 65:657-667.
Axtell RC, Arends JJ. 1990. Ecology and management of arthropod pests of
poultry. Annu Rev Entomol. 35:101-126.
Axtell RC. 1999. Poultry integrated pest management: status and future. Integ
Pest Manag Rev. 4:53-73.
Barin A, Arabkhazaeli F, Rahbari S, Madani A. 2010. The housefly, Musca
domestica, as a mechanical vector of Newcastle disease virus in the
laboratory and field. Med Vet Entomol. 24:88-90.
[Bappeda Kabupaten Bogor] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Bogor. 2013. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Bogor. Bogor (ID):
Pokja Sanitasi.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi telur unggas dan susu sapi menurut
provinsi (ton) tahun 2011-2013. BPS [Internet]. [diunduh 2014 Jan 20].
Tersedia pada: http:// bps.go.id/tab_sub/view.php.
Dogra V, Aggarwal AK. 2010. Association of poultry farms with housefly and
morbidity: a comparative study from Raipur Rani, Haryana. Indian J Com
Med. 35(4):434-437.
DuPonte MW, Larish LB. 2003. Oriental blow fly [ulasan]. Livestock Man Insect
Pests. 9:10.
Durham S. 2008. Role of house flies in spreading Salmonella in poultry [ulasan].
Agricultural Research. 3:22.
Fetene T, Worku N, Huruy K, Kebede N. 2005. Cryptosporidium recovered from
Musca domestica, Musca sorbens and mango juice accessed by
synantrophic flies in Bahirdar, Ethiopia. Zoon Publ Hlth.
58(2011):6579.
Graczyk TK, Fayer R, Cranfield MR, Ruwende BM, Knight R, Trout JM, Bixler
H. 1999. Filth flies as transport hosts of Cryptosporidium parvum. Emerg
Infect dis. 5(5):726-727.
Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Lalat. Dalam: Hama Permukiman Indonesia:
Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit SH, editor. Hadi UK, editor.
Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Hadi UK, Soviana S, Syafriati T. 2011. Ragam jenis nyamuk di sekitar kandang
babi dan kaitannya dalam penyebaran Japanese Encephalitis. JITV.
12(4):326-334.

17
Harvey ML, Gaudieri S, Villet MH, Dadour LR. 2008. A global study of
forensically significant Calliphoridae: implications for identifications.
Forensic Sci Int. 177(2008):66-76.
Ihsan IM. 2013. Pengaruh suhu udara terhadap perkembangan pradewasa lalat
rumah (M. domestica) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Iqbal W, Malik MF, Sarwar MK, Azam I, Iram N, Nashdar A. 2014. Role of
housefly (Musca domestica, Diptera; Muscidae) as a disease vector; a
review. J Entomol Zool Studies. 2(2):159-163.
Koesharto FX, Kesumawati U, Gunandini DJ. 1991. Suatu telaah penggunaan
musuh hayati (serangga parasit) untuk pengendalian lalat pengganggu
dalam peternakan ayam [laporan penelitian]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Koesharto FX, Soviana S, Sudarnika E. 2000. Fluktuasi populasi parasitoid
Spalangia endius (Hymenoptera: Pteromalidae) dari lalat pengganggu
(Diptera: Muscidae) dalam peternakan ayam di Kabupaten Bogor.Veteriner.
7(1):1-4.
Mullens BA, Hinkle NC, Szijj CE. 1996. Role of poultry manure pad in manure
drying and its potential relationship to filth fly control. J Agric Entomol.
13(4):331-337.
Murtidjo BA. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Nazni WA, Seleena B, Lee HL, Jeffery J, Rogayah TAR, Sofian MA. 2005.
Bacteria fauna from the house fly, Musca domestica (L.). Trop Biomed.
22(2):225–231.
Newton L, Watson DW, Dove R, Sheppard C, Burtle G. 2005. Using the black
soldier fly, Hermetia illucens, as a value-added tool for the management of
swine manure [laporan penelitian]. North Carolina (US): North Carolina
State University.
Nurita AT, Hassan AA, Aida HN. 2008. Species composition surveys of
synantrophic fly populations in northern peninsular Malaysia. Trop Biomed.
25(2):145-153.
O’Flynn MA, Moorhouse DE. 1979. Species of Chrysomya as primary flies in
carrion. J Aus Ent Soc. 18:31-32.
[Pemkab Bogor] Pemerintah Kabupaten Bogor. 2012. Letak geografis Kabupaten
Bogor. Pemkab Bogor [Internet]. [diunduh 2014 Jan 23]. Tersedia pada:
http://www.bogorkab.go.id/selayang-pandang/letak-geografis/.
Pires EM, Carraro VM, Zanuncio JC. 2008. Seasonal abundance of Chrysomya
megacephala and C. albiceps (Diptera: Calliphoridae) in urban areas. Rev
Colombiana Entomol. 34(2):197-198.
Rachmawati, Buchori D, Hidayat P, Hem S, Fahmi MR. 2010. Perkembangan dan
kandungan nutrisi larva Hermetia illucens (Linnaeus) (Diptera:
Stratiomyidae) pada bungkil kelapa sawit. J Entomol Indones. 7(1):28-41.
Rahuma N, Ghenghesh KS, Aissa RB, Elamaari A. 2005. Carriage by the
housefly (Musca domestica) of multiple-antibiotic-resistant bacteria that are
potentially pathogenic to humans, in hospital and other urban environments
in Misurata, Libya. Ann Trop Med Parasitol. 99(8):795-802.

18
Reigada C, Godoy WAC. 2005. Ecology, behavior and bionomics: seasonal
fecundity and body size in Chrysomya megacephala (Fabricius) (Diptera:
Calliphoridae). Neotrop Entomol. 34(2):163-168.
Retnani EB. 2010. Sestodosis dan serangga yang berpotensi sebagai inang antara
pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Sheppard DC, Tomberlin JK, Joyce JA, Kiser BC, Sumner SM. 2002. Rearing
method for the black soldier fly (Diptera: Stratiomyidae). J Med Entomol.
39(4):695-698.
Simanjuntak NCE. 2001. Potensi lalat sebagai vektor mekanik cacing parasit
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sitanggang T. 2001. Studi potensi lalat sebagai vektor mekanik cacing parasit
melalui pemeriksaan eksternal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Spradberry JP. 2002. A Manual for the Diagnosis of Screw-worm Fly. Canberra
(AU): Department of Agriculture, Fisheries and Forestry Australia.
Sukontanson KL, Sukontanson K, Piangjai S, Boonchu N, Chaiwong T,
Vogtsberger RC, Kuntalue B, Thijuk N, Olson JK. 2003. Larval
morphology of Chrysomya megacephala (Fabricius) (Diptera:
Calliphoridae) using scanning electron microscopy. J Vect Ecol. (6):47-52.
Supriyono. 2013. Dinamika suksesi populasi serangga sebagai indikator dalam
kegiatan forensik [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suwandi. 2001. Mengenal berbagai penyakit parasitik pada ternak. Temu Teknis
Fungsional Non Peneliti; 2001; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Balai
Penelitian Ternak. hlm 116-125.
Syafitri PN. 2013. Keragaman jenis lalat pengganggu dan potensi
permasalahannya pada ternak sapi potong di Bondowoso [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Szalanski AL, Owens CB, McKay T, Steelman CD. 2004. Detection of
Campylobacter and Eschericia coli O157:H7 from filth flies by polymerase
chain reaction. Med Vet Entomol. 18:241-246.
Tardelli CA, Godoy WAC, Mancera PFA. 2004. Population dynamics of Musca
domestica (Diptera: Muscidae): experimental and theoretical studies at
different temperatures. Brazilian Archiv Biol Tech. 47(5):775-783.
Tomberlin JK, Sheppard DC. 2001. Lekking behavior of the black soldier fly
(Diptera: Stratiomyidae). Florida Entomol. 84(4):729-730.
Tomberlin JK, Sheppard DC, Joyce JA. 2002. Selected life history traits of black
soldier flies (Diptera: Stratiomyidae) reared on three artificial diets. Ann
Entomol Soc Am. 95:379-386.
Tumrasvin W, Shinonaga S. 1978. Studies on medically important flies in
Thailand V on 32 species belonging to the subfamilies Muscinae and
Stomoxyinae including the taxonomic keys (Diptera: Muscidae). Bull Tokyo
Med Dent Univ. 25:201-227.
Vazirianzadeh B, Solary SS, Rahdar M, Hajhossien R, Mehdinejad M. 2008.
Identification of bacteria which possible transmitted by Musca domestica
(Diptera: Muscidae) in the region of Ahvaz, SW Iran. Jundishapur
Microbiol. 1(1):28-31.

19
Wales AD, Carrique-Mas JJ, Rankin M, Bell B, Thind BB, Davies RH. 2008.
Review of the carriage of zoonotic bacteria by arthropods, with special
reference to Salmonella in mites, flies, and litter beetles. Zoon Pub
Hlth.57(2010):299-314.
Wanaratana S, Panyim S, Pakpinyo S. 2011. The potential of house flies to act as
a vector of avian influenza subtype H5N1 under experimental conditions.
Med Vet Entomol. 25:58-63.
Woodley NE. 2009. Family Stratiomyidae. Di dalam: Gerlach J, editor. The
Diptera of the Seychelles Island. Moscow (RU): Pensoft Publishers. hlm
100-106.
Zarkani A, Miswarti. 2012. Teknik budi daya larva Hermetia illucens (Linnaeus)
(Diptera: Stratiomyidae) sebagai sumber protein pakan ternak melalui
biokonversi limbah loading ramp dari pabrik CPO. J Entomol Indones.
9(2):49-56.

20

RIWAYAT HIDUP
Irene Soteriani Uren lahir di Jakarta pada tanggal 15 Maret 1993 dari
pasangan Jeffrey Jefta Uren dan Abrit Kartikaningsih. Penulis adalah anak ke-2
dari empat bersaudara dan tumbuh di keluarga yang memiliki kecintaan pada
hewan. Penulis menyelesaikan sekolah das