Ragam Jenis, Distribusi Dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah Pada Wilayah Permukiman Di Bogor

RAGAM JENIS, DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN
TUNGAU DEBU RUMAH PADA WILAYAH PERMUKIMAN
DI BOGOR

NUR QAMARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ragam Jenis,
Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah pada Wilayah Permukiman di
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015
Nur Qamariah
NIM B252124011

RINGKASAN
NUR QAMARIAH. Ragam Jenis, Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah
pada Wilayah Permukiman di Bogor. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI
dan SUSI SOVIANA.

Tungau debu rumah (TDR) umumnya ditemukan di dalam debu yang berasal
dari tempat tinggal manusia dan biasanya ditemukan terutama pada tempat duduk
(kursi, sofa, bangku), karpet, lantai dan tempat tidur (kasur, bantal, seprai). feses dan
tubuh TDR menghasilkan protein yang jika terhisap bersama debu rumah dapat
menyebabkan alergen dan rhinitis. Astigmata merupakan tungau yang utama
ditemukan pada debu rumah di perumahan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keragaman jenis TDR, menganalisis sebaran serta kepadatan TDR dan
mengukur pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap TDR pada kawasan
permukiman di Bogor.
Penelitian dilakukan di wilayah hunian masyarakat yang terdapat di Bogor,

yang dibagi menjadi dua tipe kawasan, yaitu perumahan (perumahan padat
penduduk dan perumahan kompleks) dan tempat tinggal sementara (wisma
penginapan, pondok pesantren, indekos dan asrama). Debu yang dikumpulkan dari
permukiman diambil dengan menggunakan penyedot debu (vacum cleaner)
kemudian TDR diisolasi dan diidentifikasi di bawah mikroskop di laboratorium
Sebanyak 1256 TDR yang diidentifikasi pada wilayah permukiman di Bogor,
terdapat 10 jenis TDR adalah Blomia tropicalis (45,30%), Dermathophagoides
pteronyssinus (17.44%), Cheyletidae (15.61%), Blomia spp (8.60%), Mesostigmata
(7.17%), Dermathophagoides farinae (3.66%), Oribatida (0.56%), Acaridae (0.32%),
Tyrophagus spp (0.16%), Lepidoglipus destructor (0.08%).
Sebaran TDR di perumahan padat penduduk terbanyak di karpet (23.94%),
diikuti oleh tempat duduk (21.92%), lantai (21.54%), perabot (20.15%) dan tempat
tidur (12.46%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di karpet 73 tungau/gram debu.
Seberan TDR di perumahan kompleks terbanyak di karpet (33.71%), diikuti oleh
lantai (26.11%), perabot (20.98%), tempat duduk (14.81%) dan tempat tidur (4.38%).
Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di karpet 51.88 tungau/gram debu. Sebaran TDR
di tempat tinggal sementara, pada wisma penginapan TDR hanya ditemukan pada
perabot (100%). Selanjutnya pada pondok pesantren terbanyak di perabot (37.62%),
diikuti oleh tempat tidur (31.66%) dan lantai (30.72%). Demikian pula pada indekos
terbanyak di perabot (52.02%) diikuti oleh lantai (33.81%) dan tempat tidur

(15.17%). Kemudian pada asrama terbanyak di perabot (35.17%), diikuti oleh tempat
tidur (34.26%) dan lantai (31.58%). Rata-rata kepedatan TDR tertinggi ditemukan di
perabot pada indekos 48.54 tungau/gram debu.
Uji Korelasi menunjukkan kelembaban dan suhu berpengaruh nyata terhadap
derajat infestasi TDR pada permukiman. Semakin tinggi kelembaban maka semakin
tinggi infestasi TDR (P=0.026 ≤ α=0.05, R=0.769). Tetapi hubungan antara suhu dan
infestasi TDR menunjukkan korelasi negatif. Semakin rendah suhu maka semakin
tinggi jumlah infestasi TDR dan sebaliknya (P=0.003 ≤ α= 0.01, R= - 0.895).
Sikap masyarakat permukiman terhadap TDR termasuk ke dalam kategori baik
sekali (82.65%), sedangkan pengetahuan kurang (31.48%) dan praktik pencegahan
serta pengendalian TDR sangat kurang (27.11%). Hubungan antara pengetahuan
dengan infestasi TDR, menunjukkan korelasi tidak signifikan (P=0.167 ≥ α=0.05,

R=0.123). Adapun hubungan antara sikap dengan infestasi TDR, menunjukkan
korelasi signifikan (P=0.017 ≤ α=0.05, R= - 0.210). Demikian pula hubungan antara
praktik dengan infestasi TDR, menunjukan korelasi signifikan (P=0.028 ≤ α=0.05,
R= - 0.195).
Kata kunci: Tungau Debu Rumah, Blomia, Dermatophagoides, Bogor. Indonesia.

SUMMARY

NUR QAMARIAH. Diversity, Distribution and Abudance of House Dust Mites on
Settlement Region in Bogor. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and
SUSI SOVIANA.
The house dust mite (HDM) is commonly found in dust originating from
human dwellers and are found mainly in seats (chairs, sofas, benches), carpets,
floors, furniture and beds (mattresses, pillows, sheets). Feces and HDM body yield
the protein which is if inhaled with house dust can cause allergen and rhinitis.
Astigmatic mites are generally the principal mites found in dust from human
dwellings. This study aimed to determine the diversity, distribution and density of
HDM, at settlements in Bogor and to analyze the knowledges, attitudes and
practices of community to HDM infestation.
The study was conducted in the area of residential community located in
Bogor region which divided into two types, i.e. housing (densely populated
residential and residential complexes) and temporary shelter (guest house, boarding
schools, boarding houses and student dormitories). Dusts from all the settlements
were collected by vacum cleaner then there were isolated and identified under
microscope at laboratorium.
Amount of 1256 HDM collected were identified into 10 types of HDM, i.e
Blomia tropicalis (45.34%), Dermatophagoides pteronyssinus (17.45%),
Cheyletidae (15.62%), Blomia spp (8.61%), Mesostigmata (7.17%),

Dermatophagoides farinae (3.67%), Oribatida (0.56%), Acaridae (0.32%),
Tyrophagus spp (0.16%), Lepidoglipus destructor (0.08%).
The distribution of HDM in populated residential mostly were found on the
carpet (23.94%), followed by seats (21.92%), floors (21.54%), furniture (20.15%)
and beds (12.46%). The highest average density of HDM in the carpets was 73
mites/gram of dust. The distribution of HDM in residential complexes mostly were
found on the carpet (33.71%), followed by floors (26.11%), furniture (20.98%), seat
(14.81%) and bed (4.38%). The highest average density of HDM in the carpets was
51.88 mites/gram of dust. The distribution of HDM in temporary shelters, the guest
houses HDM was only found in furnitures (100%). Furthermore, in the boarding
school HDM mostly were found on the furnitures (37.62%), followed by bed
(31.66%) and floors (30.72%). In addition, the boarding houses HDM mostly were
found on in the furnitures (52.02%) followed by floors (33.81%) and beds (15.17%).
Then, in the student dormitories HDM mostly were found on the furnitures
(35.17%) followed by beds (34.26%) and floors (31.58%). The highest average
density of HDM in the furniture on boarding houses was 48.54 mites/gram of dust.
There were significantly correlation between humidity and temperatures to
the infestation of HDM in all types of settlements. The high humidity cause the
high density of HDM (P=0.026 ≤ α=0.05, R=0.769). However, the correlation
between temperature and density of HDM were also negatively. The low temperature

cause the high infestation of HDM and vice versa (P=0.003 ≤ α=0.01, R= - 0.895).
The result of interview on the community knowledge, attitudes and
practices showed that the attitude of the community against the HDM infestation
belong into good category (82.65%), lack of knowledge (31.48%) and lack of
practice of prevention (27.11%). The correlation between knowledge and density of

HDM was not significant (P=0.167 ≥ α=0.05, R=0.123). The correlation between
attitude and density of HDM was significant (P=0.017 ≤ α=0.05, R= - 0.210). In
addition, the correlation between practices and density of HDM were also significant
(P=0.028 ≤ α=0.05, R= - 0.195).
Key words: House dust mite, Blomia, Dermatophagoides, Bogor. Indonesia.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


RAGAM JENIS, DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN
TUNGAU DEBU RUMAH PADA WILAYAH PERMUKIMAN
DI BOGOR

NUR QAMARIAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Risa Tiuria, MS

3
Judul Tesis : Ragam Jenis, Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah
Pada Wilayah Permukiman di Bogor
Nama
: Nur Qamariah
NIM
: B252124011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Ketua

Dr Drh Susi Soviana, MSi
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

4

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2014-Maret 2015

ialah Ragam Jenis, Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah Pada
Wilayah Permukiman di Bogor.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sangat
besar kepada yang terhormat komisi pembimbing Prof Dr Upik Kesumawati Hadi,
MS PhD dan Dr drh Susi Soviana, MSi atas bimbingan arahan, motivasi,
semangat dan masukan hingga penyelesaian studi yang diberikan kepada penulis
selama pendidikan. Jasa dan kebaikan dari komisi pembimbing kepada penulis
sungguh sangat berharga dan tidak akan terlupakan. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada dosen, staf di Mayor PEK, Bapak Prof Dr Drh Singgih
Harsojo Sigit MSc, Bapak Dr Drh FX. Koesharto MSc, Ibu Dr Drh Dwi Jayanti
Gunandini MSi, Bapak Dr Drh Ahmad Arif Amin MSc dan Dr Ir Sri Hartini Ms yang
selama ini telah memberikan ilmunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada para staf di Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju,
Bapak Heri, Bapak Taofik, Bapak Nanang, Bapak Guspriyadi, Ibu Een dan juga
teman-teman Pascasarjana PS PEK atas bantuan, motivasi dan keceriaanya
selama ini. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga disampaikan kepada
Kepala Desa Cibanteng (Kec. Ciampea) dan Kepala Desa Babakan Lebak dan
Babakan Raya telah mengizinkan dan mendukung secara penuh kegiatan
penelitian yang saya lakukan.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda tercinta

Muh. Zhubair Wahid dan Ibunda Siti Rosnaeni SPd serta saudaraku (Nur Hunain
dan Nur Sakina) atas segala do‟a, kasih sayang dan bantuan materil yang tak
henti-hentinya serta semua pengorbanannya yang tak ternilai harganya kepada
penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini. Disamping itu,
penulis juga mengucakan terimah kasih banyak kepada Agus KP yang selalu
memberikan semangat, motivasi dan kasih sayangnya dan mba Elfira septiane
sebagai teman seperjuangan di PS PEK.
Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak
yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang
setimpal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tesis ini masih banyak kekurangan,
oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan
tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat, khususnya di
bidang Parasitologi dan Entomologi Kesehatan.

Bogor, November 2015
Nur Qamariah

5

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Distribusi Tungau Debu Rumah
Siklus Hidup Tungau
Morfologi Tungau
Habitat Tungau Debu Rumah
Peranan dalam Bidang Kesehatan

2
2
3
4
6
6

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan Sampel Tungau Debu Rumah
Isolasi dan Identifikasi Sampel Tungau Debu Rumah
Survei Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat
Analisis Data

7
7
7
7
8
8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman Jenis Tungau Debu Rumah
Kelimpahan Nisbi dan Angka Dominansi Tungau Debu Rumah di
Permukiman
Kepadatan dan Sebaran Tungau Debu Rumah di Kawasan Perumahan
Kepadatan dan SebaranTDR di Kawasan Tempat Tinggal Sementara
Deskripsi Morfologi Jenis Tungau Debu Rumah
Faktor yang Mempengaruhi Infestasi Tungau Debu Rumah
Karakteristik Responden
Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat Terhadap Tungau Debu
Rumah
Pengetahuan Responden Terkait Tungau Debu Rumah
Sikap Responden Terkait Tungau Debu Rumah
Praktik Responden Terkait Tungau Debu Rumah

9
9
12
12
14
15
20
21
22
24
25
26

5 SIMPULAN

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

39

6

DAFTAR TABEL
1 Jumlah dan persentase jenis tungau debu rumah pada permukiman di
Bogor.
2 Kelimpahan nisbi dan angka dominansi TDR yang terdapat di lokasi
penelitian di permukiman Bogor dari Oktober 2014-Februari 2015.
3 Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan perumahan di Bogor.
4 Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan tempat tinggal sementara
di Bogor.
5 Karakteristik responden pada permukiman di Bogor
6 Distribusi frekuensi total unsur-unsur variabel pengetahuan, sikap dan
praktik masyarakat terhadap TDR.
7 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan pengetahuan terkait
TDR
8 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan sikap terkait TDR
9 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan perilaku terkait TDR

10
12
13
15
22
23
25
26
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Morfologi tungau bagian dorsal
Morfologi Blomia tropicalis
Morfologi Dermathopagoides pteronyssinus
Morfologi Dermathopagoides farinae
Morfologi Cheyletidae
Morfologi Mesostigmata
Morfologi Tyrophagus spp
Morfologi Oribatida
Morfologi Lepidoglipus destructor
Hubungan antara infestasi TDR dan kelembaban pada wilayah
permukiman di Bogor
11 Hubungan antara suhu dengan infestasi TDR pada wilayah
permukiman di Bogor

5
16
16
17
18
18
19
19
20
20
21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Habitat tungau debu rumah
2 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap
kelembaban
3 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap
kelembaban
4 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan Infestasi TDR terhadap
pengetahuan
5 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap sikap
6 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap praktik
7 Pengetahuan responden terkait tungau debu rumah

33
34
34
34
35
35
35

7
8 Sikap responden terkait tungau debu rumah
9 Praktik responden terkait tungau debu rumah

35
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lingkungan permukiman manusia yang umumnya berupa suatu kompleks
bangunan tempat tinggal dengan berbagai kebutuhan yang ada seperti kasur,
bantal, kursi, karpet, furnitur dan perabot rumah tangga lainnya, merupakan
sebuah ekosistem tersendiri yang unik. Lingkungan itu dibangun dan diciptakan
terutama untuk kepentingan kenyamanan hidup manusia tetapi pada kenyataannya
banyak makhluk lainnya ikut memanfaatkan kondisi tersebut sebagai habitat,
tempat istirahat serta mencari makan. Menurut Hill (1998) dan Sun et al. (2014),
tungau debu rumah (TDR) umumnya ditemukan di dalam debu yang berasal dari
tempat tinggal manusia dan biasanya ditemukan pada bantal, seprai, kasur, sofa,
karpet dan perabotan rumah lainnya.
Tungau adalah Arthropoda berkaki delapan yang mengalami metamorfosis
tidak sempurna, termasuk ke dalam ordo Acari, kelas Arachnida. Jenis TDR
umumnya tergolong ke dalam subordo Astigmata, Prostigmata, Mesostigmata dan
Cryptostigmata (Colloff dan Spieksma 1992; Krantz dan Walter 2009). Astigmata
merupakan jenis tungau yang utama ditemukan pada debu rumah di perumahan di
Swedia. Paling umum ditemukan dari subfamili Dermatophagoidinae yaitu
Dermatophagoides pteronyssinus, D. farinae, dan D. microceras, dari subfamili
Pyroglyphinae adalah Euroglyphus maynei, dari famili Acaridae adalah Acarus
siro, Tyrophagus putrescentiae dan T. longior, serta famili Glycyphagidae adalah
Lepidoglyphus destructor dan Glycyphagus domesticus (Warner et al. 1999).
Feses dan tubuh TDR mengandung protein yang dapat menyebabkan alergi,
asma dan rhinitis pada manusia, dapat terhisap bersama debu di dalam rumah
(Chan et al. 2015). Orang yang sensitif terhadap alergen ini akan segera bereaksi
dengan menunjukkan gejala-gejala alergi seperti bersin-bersin, batuk-batuk
bahkan mengalami peradangan dan konstriksi pada tenggorokan menjadikannya
susah untuk bernafas (Boquete et al. 2006). Alergi yang diakibatkan oleh TDR
terjadi pada 1-2% pada populasi di dunia (WHO 1988).
Penelitian berbagai jenis TDR telah dilakukan di Galicia (Spanyol) terhadap
80 pasien yang terkena alergi, 16.3% positif alergi terhadap antigen L. destructor
dan T. putrescentiae, 41.3% positif alergi terhadap D. pteronyssinus dan D.
farinae dan 34% positif terhadap L. destructor, T putrescentiae dan A. siro
(Boquete et al. 2006).
TDR yang menyebabkan penyakit asma yang
mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia terutama berasal dari spesies D.
pteronyssinus, D. farinae, E. maynei dan Blomia tropicalis (Milian dan Diaz
2004). Prevalensi alergi pernafasan akibat TDR terjadi pada 50% penderita asma
dari sekitar 65-120 juta penduduk dunia (Calderon et al. 2014). Menurut Laisina
et al. (2007) TDR merupakan alergen inhalan penting yang berhubungan dengan
timbulnya asma pada anak sekolah dasar di Kecamatan Wenang Kota Manado.
Tes kulit yang dilakukan terhadap pasien dengan asma bronkial dan rinitis
menunjukkan 87% positif terhadap antigen alergen D. pteronyssinus
(Baratawidjaja et al. 1998).
Secara umum, TDR jarang ditemukan di gedung-gedung publik dan moda
transportasi dibandingkan dengan di perumahan, karena TDR tidak dapat hidup

2
dalam kondisi kering dan jarang ditemukan sel kulit mati manusia dan fungi yang
merupakan sumber makanan utama TDR (Larry et al. 2002).
Keragaman jenis TDR di lingkungan perkotaan telah dilaporkan dari
beberapa negara (Larry et al. 2002) dan khusus di Asia oleh Thomas (2010).
Sejauh ini di Indonesia informasi mengenai TDR kurang tersedia. Arsip pertama
mengenai TDR di Jakarta dilaporkan oleh Baratawidjaja et al. (1998) dan di
Denpasar Bali oleh Santoso (1998). Tetapi penelitian mengenai ragam jenis dan
infestasi TDR pada wilayah permukiman di Bogor dan di kota-kota lainnya di
Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga mendorong perlunya dilakukan
penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui keragaman jenis TDR;
(2) menganalisis sebaran serta kepadatan TDR pada kawasan permukiman di
Bogor; (3) mengukur pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap TDR.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai kepadatan
dan keragaman jenis TDR pada permukiman di Kota Bogor dan sebagai edukasi
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap TDR.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Distribusi Tungau Debu Rumah
TDR D. farinae dan D. pteronyssinus banyak ditemukan di dalam rumah
dan menyukai tempat yang lembab, keduanya merupakan TDR yang umum
tersebar secara kosmopolit di seluruh dunia (Arlian et al. 2002). Beberapa negara
di Asia yaitu Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Filipina lebih banyak
ditemukan D. pteronyssinus. Thailand dan Taiwan ditemukan D. pteronyssinus
dan D. farinae. Sedangkan di daratan China dan Jepang memiliki populasi
campuran (D. farinae, D. pteronissinus, B.tropicalis dan Glycyphagus). Di Korea
Selatan D. farinae lebih banyak ditemukan dari pada D. pteronissinus (Thomas
2010).
Di Indonesia yaitu di Kota Manado, Kelurahan Teling Bawah Kecamatan
Wenang, jenis TDR yang ditemukan dari kamar tidur dan ruang tamu rumah
penduduk yaitu Dermatophagoides spp, Acarus spp, Glycyphagus destructor dan
Tarsonemus spp, (Kawulur et.al 2013). Hasil tes yang menyebabkan alregi pada
pasien yang terdapat di beberapa asrama di Jakarta ditemukan jenis TDR yaitu D.
pteronyssinus, D. farinae, Glycyphagus destructor, Cheyletiella erundetus,
Swidasis, Tarsonemus dan. B. tropicalis (Baratawidjaja et al. 1998) dan di
Denpasar Bali yaitu D. pteronyssinus dan D. farinae yang ditemukan di beberapa
rumah (Santoso 1998).

3
Siklus Hidup Tungau
Perkembangan tungau dari telur hingga dewasa membutuhkan waktu dua
sampai tiga hari pada beberapa jenis tungau Prostigmata dan Mesostigmata.
Tetapi pada tungau Oribatida waktu perkembangannya lebih lama, dapat
mencapai satu minggu atau lebih, bahkan mencapai bulan hingga tahun (Krantz
dan Walter 2009). Untuk Mesostigmata famili Macrochelidae perkembangan dari
telur hingga mencapai dewasa membutuhkan waktu 34 jam (Axtell 1969).
Sementara itu, untuk jenis TDR yaitu D. pteronyssinus mulai dari telur hingga
mencapai dewasa yang betina memerlukan waktu 16-24 hari, sedangkan yang
jantan sekitar 6-7 minggu siklus hidup tungau betina lebih pendek dibandingkan
dengan tungau jantan. Tungau dewasa jantan dan betina D. pteronyssinus hidup
selama 60-80 hari dan 100-150 hari pada suhu 25 oC. Jumlah telur D.
pteronysinus betina yang diletakkan berkisar antara 1.3-6.4 butir/hari dalam
kondisi laboratorium pada suhu 25 oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009).
Siklus hidup tungau terdiri dari telur (prelarva), larva, nimfa, protonimfa,
deutonimfa dan tritonimfa (dewasa). Secara umum seekor tungau mampu
menghasilkan beberapa ratus sampai ribuan telur (Hadi dan Soviana 2010)
Perkembangan TDR dari telur hingga dewasa dipengaruhi oleh kelembaban dan
suhu (Hart 1998). Perkembangan TDR D. pteronyssinus dari telur hingga dewasa
di laboratorium memerlukan waktu 9-14 hari pada suhu 25 oC dan kelembaban
80% (Podder et al. 2009).
Prelarva (telur). Prelarva (telur) merupakan tahap awal kehidupan tungau.
Prelarva ini tidak bergerak, terisolir dalam korion telur dan tidak makan. Pada
beberapa kasus, prelarva (telur) tampak lebih kecil dari selubung telur, tanpa kaki
dan bagian-bagian mulut. Perkembangan dari prelarva hingga menjadi larva pada
tungau Prostigmata memerlukan waktu paling cepat 36 jam (Coineau 1976 dalam
Krantz dan Walter 2009) atau paling lambat 14-15 hari (Robaux 1971 dalam
Krantz dan Walter 2009). Potensi perkembang biakan TDR dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan (Hart 1998). Perkembangan dari telur hingga menjadi larva
pada D. pteronyssinus di laboratorium 2-3 hari pada suhu 25 oC dan kelembaban
80% (Podder et al. 2009).
Larva. Larva merupakan tahap setelah prelarva (telur) mempunyai tiga
pasang kaki, sedikit atau tanpa sclerotization dan tidak memiliki alat kelamin.
Sclerotization idiosomatik, ketika ada hanya pada podosoma, perisai ventral tidak
jelas pada larva Astigmatina dan terbatas pada subordo tungau lainnya.
Urstigmata mulai terlihat pada awal perkembangan larva. Sebagian larva tanpak
lambat, lemah dan tidak makan (beberapa hidup bebas seperti Mesostigmata).
Tetapi lainnya bersifat predator seperti pada famili Cheyletidae, atau agresif
seperti parasit pada famili Trombiculidae (Southcott 1999). Perkembangan dari
larva hingga menjadi nimfa pada D. pteronyssinus di laboratorium 1-2 hari pada
suhu 25 oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009).
Nimfa. Nimfa merupakan tahap perkembangan setelah larva. Tahap nimfa
dibagi menjadi protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa (Hadi dan Soviana 2010).
Nimfa mempunyai empat pasang kaki dan mengalami perkembangan diferensiasi
progresif pada perisai yang berganti kulit hingga menjadi dewasa. Setae idiosoma
dan rambutnya bertambah pada setiap kali ganti kulit. Bakal alat kelamin sudah

4
mulai tampak pada tahap (Acariformes, Holothyrida), tetapi tidak tampak pada
Mesostigmata (Krantz dan Walter 2009).
Protonimfa. Stadium ini merupakan tahap nimfa pertama. Pergerakannya
bebas, tidak makan, adaptif terhadap lingkungannya (Krantz dan Walter 2009).
Tahap protonimfa pada D. farinae dapat mengkomsumsi oksigen 28.5 kali lebih
oksigen/jam. perkembangan dari protonimfa hingga menjadi tritonimfa pada D.
pteronyssinus di laboratoriun 2-4 hari pada suhu 25 ºC dan kelembaban 80%
(Podder et al. 2009).
Deutonimfa. Stadium ini adalah tahap nimfa ke dua. Seringkali dianggap
sebagai bentuk dewasa non seksual (Krantz dan Walter 2009). Bentuk deutonimfa
tungau Astigmata bentuknya berbeda dengan tungau yang lain dan juga
perilakunya. Tahap ini dikenal dengan hypopus dan sangat tahan terhadap
lingkungan. Ia mempunyai alat pelekat untuk menempelkan tubuhnya pada
serangga lain atau benda-benda di sekitar kandang (Hadi dan Soviana 2010).
Tritonimfa. Tritonimfa merupakan instar yang aktif (dan kadang-kadang
merupakan tahap foretik) tetapi tidak terdapat pada Mesostigmata dan terdapat
juga atau diwakili oleh kaliptostatik farate (calyptostatic stage) (teleiochrysalis)
pada banyak Prostigmata. Pada Astigmatina dimana terdapat hypopody, yaitu
nimfa homeomorfik yang dianggap sebagai tritonimfa, karena merupakan instar
preimaginal post larva. Ketika tidak tampak tritonimfa, proses molting terakhir
menjadi dewasa tidak pada stadium nimfa kedua (Krantz dan Walter 2009).
Tungau dewasa bereproduksi secara seksual, sperma disimpan dalam vesikula
seminalis tungau betina, dan dilepaskan kesaluran telur untuk membuahi sel telur
selama ovulasi. Sistem reproduksi tungau jantan terdiri atas testis, sepasang vasa
deferentia, sebuah kelenjar aksesoris, saluran ejakulasi dan organ kopulatori.
Sistem reproduksi tungau betina terdiri atas bursa copulatrix, ductus bursae,
receptaculum seminis, sepasang ducti receptaculi, sepasang ovarium, sepasang
oviduct, sebuah kelejar korion, ovipositor dan oviporus (Walzl 1992).
Morfologi Tungau
Tubuh tungau seperti halnya caplak, ukuran sekitar 500 µm dan berat sekitar
5-10 mg (Arlian dan Wharton 1974). Terbagi menjadi dua bagian yang besar yaitu
gnatosoma dan idiosoma (Hadi dan Soviana 2010) pada bagian anterior terdapat
gnatosoma dan pada bagian posterior terdapat idiosoma (Krantz dan Walter
2009). Bagian idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal. Tungau
memiliki mata tunggal. Tungau dewasa mempunyai tiga pasang tungkai. Mulut
tungau umumnya tidak memiliki hipostom, kecuali pada Mesostigmata. Stigmata
atau lubang pernafasan letaknya berbeda-beda. Subordo Mesostigmata (contohnya
Dermanyssidae) mempunyai stigmata yang terletak di antara pasangan tungkai
ketiga dan keempat (Hadi dan Soviana 2010). Bagian lainya terdapat
propodosoma terletak pada daerah pasangan kaki pertama dan kedua,
metapodosoma terletak pada daerah pasangan kaki ketiga dan keempat dan
opistosoma terletak pada daerah posterior (Gambar 1) (Krantz dan Walter 2009).
Tungau prostigmata (contohnya, Demodicidae) terletak di bagian depan tubuh,
dan pada Astigmata (contohnya, Sarcoptidae dan Psoroptidae) stigmata ini tidak
ada. Tungau astigmata akan bernafas melalui permukaan tubuhnya yang lembut.

5

Gnatosoma

Proterosoma
Prosoma
Propodosoma
Podosoma
Idiosoma

Hysterosoma
Opisthosoma

Gambar 1 Morfologi tungau bagian dorsal (Krantz dan Walter 2009).
Bagian tubuh yang lembut dilindungi oleh beberapa lempeng ventral di antara
bagian tubuh yang lain (Hadi dan Soviana 2010).
Gnatosoma atau capitulum menyerupai kepala pada arthropoda, dan bagian
ini antara lain merupakan karakter penting untuk taksonomi. Pada bagian
gnatosoma ini terdapat beberapa bagian alat tubuh yaitu: epistome/tectum,
hypostome, palpi dan chelicera (kelisera). Kelisera merupakan organ utama yang
berfungsi untuk alat makan. Bentuk dan ukuran kelisera berbeda berbeda antara
tiap-tiap suku, tetapi pada umumnya alat ini teradaptasi untuk menembus,
mengisap, atau mengunyah makanan. Bagian kelisera jantan dilengkapi dengan
spermatodactyl, yaitu alat untuk mentrasfer sperma ke tubuh tungau betina
(Hartini dan Dwibadra 2009).
Idiosoma mempunyai fungsi sama dengan abdomen, thoraks dan bagian
kepala serangga, pada Idiosoma ini terdapat berbagai organ yang berfungsi
sebagai alat gerak, pernafasan, perkawinan, peraba serta sekresi. Bagian abdomen
TDR terdapat kutikula yang memiliki lurik pada setiap spesies yang berbeda,
sebuah fitur yang dapat digunakan dalam identifikasi (Hartini dan Dwibadra
2009).
Stadium pradewasa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa tungau
mempunyai kaki empat pasang, sedangkan tingkatan larva mempunyai tiga
pasang kaki. Bagian kaki terdiri dari koksae, trokhanter, femur, genu, tibia, tarsus,
dan cakar (claw). Bagian dari kaki ini dan aksesorisnya seperti jumlah bulu dan
bentuk tonjolan (spur) merupakan karakter yang penting untuk membedakan
marga atau jenis (Krantz dan Walter 2009).

6
Habitat Tungau Debu Rumah
TDR menempati berbagai habitat di dalam rumah, banyak ditemukan di
kasur, seprai, karpet, kursi, celah-celah lantai, pakaian, mainan, furnitur dan
perabot rumah tangga lainnya. TDR ditemukan sangat berlimpah di dalam rumah.
Populasi TDR dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk variasi kondisi
iklim. Kasur dan karpet umumnya dianggap sebagai tempat perkembangbiakan
utama untuk TDR. Bentuk kasur memiliki sela-sela lekukan merupakan daerah
yang menguntungkan TDR dapat berkembang biak pada kondisi kamar (Sun et al.
2014). Kasur tidak selalu habitat dominan untuk TDR. Arlian dan Michael (1982),
di Ohio, USA menemukan TDR D. farinae ditemukan sangat berlimpah hidup di
karpet kamar tujuh kali lebih banyak daripada yang ditemukan di kasur. Perabot
rumah yaitu furnitur juga dapat mendukung tempat perkembangbiakan TDR. Sun
et al. (2014) menemukan kepadatan TDR pada kursi, jenis D. farinae (52.9%)
lebih tinggi dibandingkan dengan D. siboney (14.7%), D. pteronyssinus (5.9%),
D. microceras (5.9%) dan tungau campuran (11.8%). Kepadatan TDR pada
bantal, jenis D. farinae (46.3%) lebih tinggi dibandingkan dengan D. siboney
(9.3%), D. pteronyssinus (9.3%), D. microceras (1.9%) dan tungau campuran
(11.1%). Pada seprai, jenis D. farinae (32.7%) lebih tinggi dibandingkan dengan
D. pteronyssinus (10.7%), D. siboney (7.2%), D. microceras (3.6%).
TDR D. pteronyssinus dan D. farinae memiliki perilaku yang memungkinkan
mereka hidup dalam habitat yang sama. D farinae cenderung merangkak di atas
substrat dan D. pteronyssinus berada pada permukaan. Umummnya, TDR ditemukan
dekat dengan permukaan kasur, de Boer (1990) melaporkan TDR juga ditemukan
jauh di dalam kasur bukan hanya pada permukaan.
Peranan dalam Bidang Kesehatan
TDR merupakan aeroalergen tersering yang menstimulasi reaksi alergi
pada 50% pasien dengan riwayat alergi. Alergen D. pteronyssinus dan D. farinae
telah diidentifikasi sebagai alergen hirup yang dapat berperan sebagai faktor risiko
timbulnya asma dan reaksi inflamasi di paru dengan dilepaskannya sitokin,
kemokin, dan mediator lainnya (Takai et al. 2015). Alergen D. pteronyssinus
dengan aktivitas protease dan aktivitas enzim yang belum diketahui menyebabkan
deskuamasi pada sel epitel saluran nafas dan menghasilkan sitokin-sitokin pro-infl
amasi IL-6 dan IL-8 (Thomas et al. 2010). Makanan kesukaan TDR yakni
serpihan kulit mati dari manusia dan hewan. Serpihan ini biasanya tertinggal pada
karpet, sofa, pakaian, kasur dan bantal. Secara tidak sadar setiap orang membuang
serpihan kulit mati kurang lebih 1.5 gram/hari. Jumlah ini cukup untuk dimakan
oleh satu juta TDR. Tungau ini dapat terhisap bersama debu di dalam rumah yang
menyebabkan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkannya bisa berupa
rhinitis (pilek, gatal, bersin-bersin) dan asma, paling sering terjadi pada anakanak. Feses dan tubuh TDR mengandung protein yang dapat menyebabkan alergi
dan asma pada manusia (WHO 1988; Coloof 2998).

7

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah hunian masyarakat yang dibagi menjadi dua
tipe kawasan, yaitu perumahan (perumahan padat penduduk dan perumahan
kompleks) dan tempat tinggal sementara (wisma penginapan, pondok pesantren,
indekos dan asrama). Proses identifikasi TDR dilakukan di Laboratorium
Entomologi Kesehatan, Fakultas kedokteran hewan IPB Dramaga Bogor.
Penelitian dilaksanakan sejak September 2014 - Maret 2015.
Pengambilan Sampel Tungau Debu Rumah
Perumahan
Pengambilan sampel TDR pada perumahan dilakukan pada dua tipe
perumahan yaitu perumahan padat penduduk dan perumahan kompleks.
Perumahan padat penduduk adalah perumahan padat tidak teratur, sedangkan
perumahan kompleks adalah kumpulan rumah-rumah yang berjajar secara teratur.
Pengambilan sampel debu di perumahan padat penduduk dilakukan di daerah
Cibanteng (Kec. Ciampea), Babakan Lebak dan Babakan Raya (Kec. Dramaga).
Adapun di perumahan kompleks dilakukan di perumahan dosen di dalam kampus
IPB Dramaga Bogor. Sampel TDR diambil dari 20 rumah pada masing-masing
tipe perumahan. Debu diambil dengan menggunakan vacuum cleaner (penghisap
debu) pada setiap rumah. Pengambilan sampel debu dilakukan pada 5 titik yaitu
tempat tidur (debu kasur, debu seprai, debu bantal), tempat duduk (sofa, kursi dan
bangku), karpet yang terdapat pada lantai, lantai dan perabot rumah tangga (meja,
lemari, furnitur, kipas angin dll). Debu yang berasal dari setiap titik dimasukkan
ke dalam kantong plastik yang berbeda dan diberi label.
Tempat Tinggal Sementara
Pengambilan sampel debu pada tempat tinggal sementara dilakukan pada
empat tipe kawasan yaitu wisma penginapan (dua wisma penginapan), pondok
pesantren (asrama putra dan asrama putri), indekos (indekos putra dan indekos
putri), asrama mahasiswa (asrama putra dan asrama putri) yang terdekat dengan
wilayah kampus IPB Dramaga Bogor. Pengambilan sampel debu dilakukan 30%
dari jumlah kamar yang ada di tiap lokasi penelitian pada setiap kamar, debu
diambil pada 3 titik yaitu pada lantai kamar, tempat tidur (debu seprai, debu
bantal, debu kasur, debu ranjang) dan perabotan.
Isolasi dan Identifikasi Sampel Tungau Debu Rumah
Sampel debu yang berasal dari lapangan, kemudian dibawa ke laboratorium.
Selanjutnya debu ditimbang dari setiap titik pengambilan sampel dan TDR
diisolasi dari setiap gram debu. Isolasi dilakukan dengan cara meletakkan debu ke

8
dalam corong berlese yang dibawahnya terdapat wadah penampung yang berisi
alkohol 70%. Setelah ± 30 menit, tungau yang terkumpul pada wadah penampung
diperiksa di bawah mikroskop lalu dihitung dengan menggunakan jarum untuk
mengangkat tungau tersebut. Selanjutnya tungau dibuat dalam sediaan preparat
kaca dengan menggunakan media hoyer atau kanada balsam (Hadi dan Soviana
2010). Identifikasi menggunakan kunci Collof dan Spieksma (1992), Krantz dan
Walter (2009), Roden (2012).
Survei Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat
Survei pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap infestasi TDR
dilakukan dengan wawancara langsung kepeda pemilik rumah pada perumahan
(perumahan padat penduduk dan perumahan kompleks). Adapun pada tempat
tinggal sementara (wisma penginapan, pondok pesantren, indekos dan asrama)
dilakukan wawancara langsung kepada pemilik kamar, (satu tempat hunian
diwakili oleh satu orang responden). Aspek yang diamati meliputi identitas
responden, pengetahuan (Lampiran 7), sikap (Lampiran 8) dan praktik masyarakat
(Lampiran 9).
Analisis Data
Keragaman Jenis
Analisis data keragaman jenis TDR dengan statistik diskriptif diharapkan
dapat menggambarkan ilustrasi data mengenai kelimpahan nisbi, frekuensi
spesies, dominansi spesies dan indeks keragaman Shannon-Wiener Menurut
(Odum 1993).
∑ Individu spesies tertentu yang tertangkap
Kelimpahan Nisbi
= ∑ Total seluruh spesies yang tertangkap x 100 %
Frekuensi Spesies

= Jumlah total tertangkapnya TDR jenis tertentu
Jumlah total penangkapan

Dominansi Spesies

= Kelimpahan Nisbi X Frekuensi Spesies
Indeks Keanekaragaman

(H) = -∑ Pi Ln (Pi) dengan Pi = Ni/N
Indeks Keragaman (H) = -∑ Pi ln Pi; dengan Pi = Ni/N
dimana,
Pi
: perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis
Ni
: Jumlah individu ke-i
N
: Jumlah total individu
Kriteria indeks keanekaragaman adalah:
Tinggi (H>3); Sedang (1≤H≤3); Rendah (H