Keragaman Genetik Tarum (Indigofera Tinctoria L.) Di Pulau Jawa Dan Madura Sebagai Pewarna Alami Batik Berdasarkan Marka Inter-Simpe Sequence Repeats
KERAGAMAN GENETIK TARUM (Indigofera tinctoria L.)
DI PULAU JAWA DAN MADURA SEBAGAI PEWARNA
ALAMI BATIK BERDASARKAN MARKA
INTER-SIMPLE SEQUENCE REPEATS
MUHAMMAD RIFQI HARIRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Genetik
Tarum (Indigofera tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura sebagai Pewarna
Alami Batik berdasarkan Marka Inter-Simple Sequence Repeats adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Muhammad Rifqi Hariri
NIM G353130211
RINGKASAN
MUHAMMAD RIFQI HARIRI. Keragaman genetik tarum (Indigofera tinctoria
L.) di pulau Jawa dan Madura sebagai pewarna alami batik berdasarkan marka
inter-simpe sequence repeats. Dibimbing oleh TATIK CHIKMAWATI dan ALEX
HARTANA.
Tarum (Indigofera tinctoria L.) merupakan anggota dari suku Fabaceae,
yang dimanfaatkan sebagai pewarna indigo alami. Saat ini, tarum telah banyak
dimanfaatkan kembali sebagai bahan pewarna alami, baik untuk tekstil maupun
kosmetik. Penelitian mengenai marga Indigofera di Indonesia masih terbatas pada
eksplorasi jenis dan pemanfaatannya untuk peningkatan produksi pakan ternak
maupun kualitas warna pada tekstil. Akan tetapi, penelitian mengenai kajian
keragaman genetik marga Indigofera, khususnya jenis I. tinctoria L. belum pernah
dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keragaman genetik I.
tinctoria L. di pulau Jawa dan Madura sebagai pewarna alami batik berdasarkan
marka Inter-Simple Sequence Repeats.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014-April 2015. Pengambilan
sampel dilakukan di 6 lokasi yang tersebar di pulau Jawa (Cirebon, Serang,
Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, dan Tuban) dan 4 lokasi di pulau Madura
(Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep). Bahan tumbuhan yang
digunakan adalah daun segar dan sehat yang dimasukkan ke dalam plastik berisi
silika gel. DNA diisolasi berdasarkan metode CTAB, kemudian diamplifikasi
menggunakan GoTaq® Green PCR Mix dengan 15 primer ISSR. Produk hasil
PCR dielektroforesis dan difoto menggunakan GelDoc. Pita polimorfik diskor
sebagai data biner. Data disusun dalam matriks dan digunakan untuk menghitung
koefisien kemiripan simple matching, mengontruksi PCA, dan dendrogram
dengan metode UPGMA menggunakan NTSys-PC versi 2.1.1a. Analisis struktur
populasi diakukan menggunakan GenAlex versi 6.501.
Kelima belas primer yang digunakan menghasilkan 123 pita dan 84 pita
diantaranya bersifat polimorfik. Panjang pita yang dihasilkan berkisar 250-2500
pasang basa dan persentase polimorfisme pita berkisar 50-90% dengan rata-rata
68.3%. Pola pita yang dihasilkan bersifat unik sehingga dapat digunakan untuk
pembeda antar aksesi.
Analisis gugus mengelompokkan 50 aksesi tarum ke dalam empat kelompok
berdasarkan 84 pita polimorfik yakni Kelompok I (Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep), II (Tuban), III (Bantul, Gunung Kidul, dan
Kulonprogo), dan IV (Cirebon dan Serang). Keragaman genetik tarum di pulau
Jawa dan Madura tergolong dalam kategori yang tinggi (68.3%), tetapi variasi
molekuler di dalam populasi (37%) lebih kecil dari antar populasi (63%). Nilai
keragaman (I) paling tinggi dimiliki oleh populasi yang berasal dari Bantul dan
Tuban (I=0.35) sedangkan paling rendah dimiliki oleh populasi yang berasal dari
Serang (I=0.06). Berdasarkan hasil yang diperoleh, primer ISSR tidak hanya dapat
digunakan untuk mempelajari keragaman genetik, tetapi juga dapat digunakan
untuk membedakan setiap aksesi tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura.
Kata kunci: Indigofera tinctoria, Jawa dan Madura, keragaman genetik, marka
ISSR
SUMMARY
MUHAMMAD RIFQI HARIRI. Genetic diversity of I. tinctoria L. in Java and
Madura islands as natural batik dye based on Inter-simple sequence repeats
markers. Supervised by TATIK CHIKMAWATI and ALEX HARTANA.
Indigo (Indigofera tinctoria L.) is a member of Fabaceae family that
can be utilized as natural indigo dye. Indigo has been frequently used for natural
dye, both for textile or cosmetics. Previous research on Indigofera in Indonesia
was conducted on species exploration and utilization as animal feed or
improvement on dye quality. However, genetic diversity assessment on
Indigofera, especially I. tinctoria L. has not been conducted yet. The aim of this
research was to determine the genetic diversity and population structure of I.
tinctoria L. in Java and Madura islands as natural batik dye based on inter-simple
sequence repeats (ISSR) markers.
This research was conducted from April 2014 to April 2015. The
samples were collected from Java and Madura island, from 6 locations
representing Java island (Cirebon, Serang, Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo,
and Tuban) and 4 locations representing Madura island (Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, and Sumenep). Fresh and healthy leaves were collected
in plastic bag containing silica gel. The total DNA was extracted from leaves
based on CTAB method. PCR amplification used GoTaq® Green PCR Mix and
15 ISSR primers. The PCR product was observed using electrophoresis and
photographed using GelDoc. The polymorphic bands were scored into binary data
and compiled in a data matrix to be used to calculate simple matching similarity
coefficient, construct dendrogram and principle component analysis using
UPGMA method. The population structure was analyzed using GenAlex 6.501.
All ISSR primers produced a total of 123 bands and 84 of them were
polymorphic. The bands length varied from 250 to 2500 bp and the percentage
of polymorphic bands was 50-90% with average about 68.3% for every primer.
Band patterns generated from PCR were unique and could be used for
identifying each accession.
The clustering analysis divided 50 indigo accessions into 4 groups based
84 polymorphic bands. Group I grouped all accessions from Madura (Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, and Sumenep), group II only consisted of accessions from
East Java (Tuban), group III consisted of accessions from Central Java (Bantul,
Gunung Kidul, and Kulonprogo), and group IV grouped all accessions from West
Java (Cirebon and Serang). The indigo genetic diversity in Java and Madura
islands was relatively high (%P=68.3), but the molecular variation within
population (37%) was lower than among population (63%). The highest diversity
(I) value was from Bantul and tuban population (I=0.35), while the lowest was
from Serang (I=0.06). Based on the result, ISSR primers were not only able to
assess genetic diversity but also identify each indigo accession in Java and
Madura islands.
Keywords: genetic diversity, Indigofera tinctoria, ISSR markers, Java and
Madura
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAMAN GENETIK TARUM (Indigofera tinctoria L.)
DI PULAU JAWA DAN MADURA SEBAGAI PEWARNA
ALAMI BATIK BERDASARKAN MARKA
INTER-SIMPLE SEQUENCE REPEATS
MUHAMMAD RIFQI HARIRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono, DEA
11%4. .4 4
,')4 )/!$4,1'4
#!!# 41%14
24 )41-4. 42(4&' 40"$4,.,$)4
,$4
!#"#! #
'4
4 1''4 + 4
, , 4
4
.01#1 4 *&4
*' . 4 ' ' )4
,4,40 $4
4
,*4,4,4%34
4
)*04
014
$01 4*%4
014 ,*'401 4
*%* 4 1'1)4
,4,4
4
)%4# )4
.',4
)%4 1%1.4
#
#
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini yaitu
Keragaman Genetik Tarum (Indigofera tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
sebagai Pewarna Alami Batik berdasarkan Marka Inter-Simple Sequence Repeats.
Penelitian ini didanai oleh Dana Hibah Penelitian PUPT nomor kontrak
339/UN27.11/PL/2015 atas nama Dra. Muzzazinah, M.Si.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Tatik Chikmawati, M.Si dan
Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan nasihat, motivasi, saran, serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar di program studi Biologi Tumbuhan
(BOT) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, dan nasihat selama ini, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Program Pascasarjana Dalam
Negeri (BPPDN) tahun 2013, Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Laboratorium
Terpadu, serta Laboratorium Fisiologi dan Biologi Molekuler Tumbuhan Departemen
Biologi FMIPA IPB atas perizinan penelitian, serta Dra. Muzzazinah, M.Si atas
penyediaan dan perizinan menggunakan bahan penelitian. Kepada Herbarium
Bogoriense (BO) atas perizinannya untuk pengamatan spesimen koleksi tarum
(Indigofera tinctoria L.) di Indonesia. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada orang tua, seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa, dukungan, serta
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Muhammad Rifqi Hariri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Tarum (Indigofera tinctoria L.)
4
Struktur Populasi
6
Marka Molekuler ISSR
8
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
11
Koleksi Sampel
11
Isolasi DNA Total
12
Amplifikasi dan Visualisasi DNA
13
Analisis Data
13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi dan Profil Primer ISSR
14
Analisis Gugus Tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
16
Keragaman Genetik Tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
21
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
1 Identitas aksesi tarum (I. tinctoria L.), asal lokasi, dan nama populasi
2 Sekuen primer ISSR dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
3 Perbandingan aksesi dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura terhadap hasil penelitian rujukan
4 Jarak genetik Nei 10 populasi tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura
5 Pita spesifik untuk identifikasi asal populasi tarum (I. tinctoria L.) di
pulau Jawa dan Madura
6 Keragaman genetik 10 populasi tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura
12
14
15
19
20
21
DAFTAR GAMBAR
1 Profil tumbuhan tarum (I. tinctoria L.). a. Perawakan, b. Buah dan Biji,
c. Bunga
2 Reaksi pembentukan warna indigo (Glowacki et al. 2012)
3 Struktur Populasi dan divergensi frekuensi alel yang disebabkan oleh
terbatasnya aliran gen (Hamilton 2009)
4 Wilayah amplifikasi marka Inter-Simple Sequence Repeats (ISSR).
Primer tunggal dengan inti (CA)n yang telah dilekatkan dengan
nukleotida tambahan pada ujung 3- (panah putih) atau ujung 5- (panah
hitam) (Zietkiewicz et al. 1994)
5 Lokasi pengambilan sampel tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura. A=Cirebon, B=Serang, H=Tuban, J=Kulonprogo, K=Bantul,
L=Gunung Kidul, P=Sumenep, Q=Pamekasan, S=Bangkalan,
T=Sampang
6 Profil pita primer (AG)8T. M=DNA Ladder 1 kb, A2,3=Cirebon, B3=Serang,
H1,2=Tuban, J1,2=Kulonprogo, K1,3,8=Bantul, L1,2,3=Gunung Kidul,
P2=Sumenep, Q1,3=Pamekasan, S1,6=Bangkalan, T1,3=Sampang. CB=pita
umum, SB=pita khusus
7 Pola pengelompokan tarum (I. tinctoria L.) berdasarkan analisis
komponen utama. □ = Bangkalan, ♯ = Bantul, ● = Cirebon, × = Gunung
Kidul, + = Kulonprogo, ◊ = Pamekasan, = Sampang, ■ = Serang,
○ = Sumenep, = Tuban
8 Dendrogram 50 aksesi tarum (I. tinctoria L.) berdasarkan 84 pita ISSR
dengan metode UPGMA. A1-6=Cirebon, B1-3=Serang, H1-3=Tuban,
J1-4=Kulonprogo, K1-9=Bantul, L1-6=Gunung Kidul, P1-4=Sumenep,
Q1-3=Pamekasan, T1-3=Sampang, S1-9=Bangkalan
9 Pola pita spesifik dari primer (GA)9T (di dalam kotak) untuk populasi Tuban,
Sumenep, dan Pamekasan. M=DNA Ladder, A2,3=Cirebon, B3=Serang,
H1,2=Tuban, J1,2=Kulonprogo, K1,3,8=Bantul, L1,2,3=Gunung Kidul,
P2=Sumenep, Q1,3=Pamekasan, T1,3=Sampang, S1,6=Bangkalan. Pita di dalam
kotak menunjukkan pita spesifik yang dapat digunakan untuk identifikasi asal
populasi: Tuban (GA)9T1200, Sumenep (GA)9T650, Pamekasan (GA)9T650,
(GA)9T1200
10 Persentase variasi molekuler di dalam dan antar populasi tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
5
6
7
9
11
16
17
18
19
21
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Marga Indigofera L. merupakan kelompok tumbuhan polong dari suku
Fabaceae. Sebanyak 700 jenis Indigofera terdapat di dunia yang tersebar dan
tumbuh di daerah Asia, Afrika dan Amerika. Sesuai dengan namanya, Indigofera
yang berarti penghasil indigo merupakan kelompok tumbuhan penghasil warna
indigo alami meskipun tidak semua jenis di dalam marga tersebut menghasilkan
pewarna (Gao & Schrire 2010). Indigofera mudah dikenali dari perawakannya
yang dapat berupa pohon, perdu, atau herba dengan ciri daun tunggal atau
majemuk menyirip gasal dengan anak daun tersusun berseling. Pada batang dapat
ditemukan trikoma uniseluler. Daun penumpu berbentuk segitiga memanjang
dengan ujung lancip atau kadang menyegitiga. Perbungaan bertipe tandan dan
muncul di ketiak daun. Bunga berbentuk kupu-kupu dengan lunas yang selalu
tertutup (Kort & Thijsse 1984; Gao & Schrire 2010; Muzzazinah 2012).
Indonesia sebagai salah satu negara yang terletak di kawasan tropis
memiliki 17 jenis Indigofera yang tumbuh dan telah tercatat di dalam Flora of
Java (Backer & Bakhuizen van den Brink 1963). Tiga jenis Indigofera telah
dimanfaatkan sebagai sumber pewarna indigo alami, yakni tom atal atau tom
katemas (I. arrecta Hochst. Ex A. Rich.), tom jawa atau tarum (I. tinctoria L.),
dan tom cantik (I. suffruticosa Mill.) (Kasmudjo & Saktianggi 2011; Muzzazinah
2012; Herdiawan & Krisnan 2014). Jenis yang paling banyak ditanam dan
dimanfaatkan sebagai pewarna alami adalah I. tinctoria L. yang berasal dari India.
Tarum (I. tinctoria L.) memiliki bentuk anak daun membundar telur sungsang
hingga melonjong-membundar telur sungsang dengan ujung anak daun
membundar atau bergubang yang merupakan ciri pembeda utama dari jenis I.
arrecta Hochst. Ex A. Rich. maupun I. suffruticosa Mill. (Gao & Schrire 2010).
Tumbuhan penghasil indigo alami ini telah ditanam dan dimanfaatkan oleh
penduduk lokal di Indonesia sejak masa kerajaan Tarumanegara. Tingginya
tingkat budi daya dan pemanfaatan tarum (I. tinctoria L.) menyebabkan Indonesia
dikenal sebagai negara pengekspor indigotin terbesar di Asia. Indigotin dalam
bentuk serbuk dan blok pasta diekspor dari Indonesia ke negara-negara industri
tekstil di kawasan Eropa (FAO 1995; Arsenault et al. 2008).
Pemanfaatan tarum sebagai penghasil indigo alami mengalami penurunan
seiring dengan ditemukan dan dikembangkannya indigo sintetik pada tahun 1883.
Pewarnaan menggunakan indigo sintetik memerlukan biaya lebih murah dan
waktu yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan indigo alami. Indigo
sintetik mulai diperkenalkan pada tahun 1913 dan terus meningkat. Pada tahun
2002, sebanyak 17000 ton indigo sintetik diproduksi di seluruh dunia (Glowacki
et al. 2012). Penggunaan pewarna sintetik yang tidak ramah lingkungan dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan, bahkan keracunan dan bersifat karsinogen
pada manusia. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya
yang ditimbulkan oleh penggunaan pewarna sintetik, masyarakat kembali
menggunakan pewarna alami yang bersifat lebih ramah lingkungan (Angelini et
al. 1997; Muzzazinah 2012).
2
Pembatik di daerah Jawa Tengah dan Sumenep, sebagai salah satu
pengguna warna indigo, memanfaatkan tarum (I. tinctoria L.) sebagai penghasil
indigo alami untuk mewarnai batik. Pembatik di Magelang memanfaatkan tarum
(I. tinctoria L.) yang dibudidayakan di kebun sedangkan pembatik di Sumenep
masih mengambilnya secara langsung dari alam. Proses budi daya tarum yang
dilakukan oleh pembatik di Magelang dapat melahirkan adanya kultivar yang
memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan tarum yang tumbuh secara
liar di alam.
Untuk pengembangan tarum di masa depan, perlu dilakukan konservasi
mengingat bahwa pemanfaatan tarum (I. tinctoria L.) mengalami peningkatan
sedangkan kondisi habitatnya terancam oleh pertambahan penduduk dan aktivitas
modernisasi. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam upaya memulai
konservasi tarum di pulau Jawa dan Madura adalah meninjau keragaman genetik
tarum sehingga dapat diketahui status keragaman genetiknya (Narain 2000).
Selain itu, kajian keragaman genetik tarum (I. tinctoria L.) penting untuk
dilaksanakan karena dibutuhkan metode yang tepat untuk dapat membedakan
varian-varian yang terdapat pada jenis tarum (I. tinctoria L.). Hasil kajian dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyeleksi kultivar unggul.
Ketersediaan informasi kultivar unggul mengenai keragaman jenis atau sumber
plasma nutfah tumbuhan akan menjadikan program pemuliaan lebih terarah
sehingga menghasilkan kultivar dengan sifat-sifat unggul yang diinginkan.
Kajian keragaman pada tingkat di bawah jenis dapat dilakukan melalui
pengamatan morfologi jika seluruh organ vegetatif maupun generatif tersedia dan
memungkinkan untuk diamati. Namun, ketersediaan organ lengkap tidak selalu
mudah diperoleh karena perbedaan masa pertumbuhan di setiap daerah dan
sedikitnya aksesi tarum (I. tinctoria L.) yang ditemukan tumbuh secara liar di alam.
Pengamatan ciri morfologi juga sulit dilakukan pada beberapa tumbuhan yang
berkerabat dekat sehingga sangat sedikit ciri yang bisa didapatkan. Selain itu,
pengamatan ciri morfologi memerlukan waktu yang cukup lama dan tidak semua
ciri dapat diamati perbedaannya secara visual. Penanda morfologi juga bersifat
kompleks karena merupakan hasil interaksi antar gen dan lingkungan sehingga
sulit untuk membedakan antara ciri yang diturunkan secara genetik atau hasil
adaptasi terhadap lingkungan (Babić et al. 2012). Kendala yang muncul pada
pengamatan morfologi dapat diatasi dengan menggunakan marka molekuler
berbasis DNA (Lin et al. 2010). Keunggulan marka molekuler dalam mempelajari
keragaman di bawah jenis (infraspecies) adalah variasi pada tingkat DNA dapat
ditunjukkan dalam waktu yang lebih cepat, efisien, dan biaya yang rendah
dibandingkan dengan pengamatan ciri morfologi (Babić et al. 2012).
Akhir-akhir ini, telah banyak marka molekuler yang dikembangkan
untuk mempelajari keragaman di bawah tingkat jenis seperti amplified fragment
length polymorphism (AFLP), inter-simple sequence repeats (ISSR), random
amplified polymorphism DNA (RAPD), dan restriction fragment length
polymorphism (RFLP). Marka molekuler ISSR merupakan marka yang paling
mudah untuk digunakan. Selain mudah, marka ISSR memiliki banyak
keunggulan antara lain mudah diulang, menghasilkan fragmen pita yang sangat
polimorfik, serta memiliki tingkat efisiensi dan keakuratan yang tinggi pada
tingkat jenis maupun di bawah jenis (Zietkiewics et al. 1994; Spooner et al.
2005). Metode ISSR-PCR bersifat sederhana dan cepat sehingga dapat digunakan
3
untuk mempelajari keragaman genetik, kekerabatan filogenetik, penandaan gen,
pemetaan genom, dan evolusi suatu jenis yang berkerabat sangat dekat (Pardhe &
Satpute 2011; Sadeghi & Cheghamirza 2012). Marka ISSR hingga saat ini telah
berhasil digunakan untuk mempelajari keragaman genetik pada beberapa marga
dalam kelompok suku Fabaceae, misalnya marga Cicer (Amirmoradi et al. 2013).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman dan struktur
populasi tarum (I. tinctoria L.) berdasarkan marka ISSR, baik yang telah
dibudidayakan maupun tumbuh liar, di pulau Jawa dan Madura sebagai salah satu
langkah dalam mengeksplorasi varian tarum (I. tinctoria L.).
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Tarum (Indigofera tinctoria L.)
Suku Fabaceae merupakan kelompok tumbuhan berbunga yang bersifat
kosmopolit dengan perawakan berupa pohon, perdu, atau herba. Anggota suku
Fabaceae terdiri atas 440 marga dan 11.000 jenis. Banyak anggota dari suku ini
memiliki nilai ekonomi dan kemanfaatan tinggi, baik untuk bahan makanan,
industri tekstil, bahan bakar, tanaman hias, dan penutup lahan terbuka. Ciri yang
dimiliki oleh suku ini adalah perbungaan tandan; bunga aktinomorf hingga
zigomorf, banci; polen bertipe monad, tetrad, atau poliad; karpel beruang satu;
ovarium menumpang; buah berbentuk polong; biasanya tidak memiliki
endosperma; umumnya embrio berwarna hijau; stipula kadang termodifikasi
menjadi duri halus hingga tebal; elemen vasal memiliki lubang perforasi
sederhana; umumnya akar bernodul; mengandung ellagitannin (Balgooy 1998;
Kubitzki 2007).
Salah satu marga yang bernilai ekonomi tinggi adalah Indigofera. Marga
ini umum dimanfaatkan sebagai pewarna tekstil dan pakan ternak. Indigofera
merupakan tumbuhan dengan perawakan berupa pohon, perdu, atau herba dengan
ciri daun tunggal atau majemuk menyirip gasal dengan anak daun tersusun
berseling. Trikoma uniseluler dapat ditemukan di batang pada semua jenis
Indigofera. Daun penumpu berbentuk segitiga memanjang dengan ujung lancip
atau kadang menyegitiga dengan panjang bervariasi. Perbungaan bertipe tandan
dan muncul di ketiak daun. Bunga berbentuk kupu-kupu dengan lunas yang selalu
tertutup. Buah berbentuk polong bulat atau memanjang dengan jumlah biji yang
bervariasi (Kort & Thijsse 1984; Gao & Schrire 2010; Muzzazinah 2012).
Anggota marga Indigofera mencapai lebih dari 700 jenis yang tersebar
di daerah tropis dan subtropis (Schrire et al. 2009). Tujuh belas jenis ditemukan
di pulau Jawa sebagaimana tercantum di dalam Flora of Java, yakni I. arrecta
Hochst. ex A. Rich, I. colutea (Burm. f.) Merr., I. cordifolia Heyne ex Roth, I.
galegoides DC, I. glandulosa J.C. Wendl, I. guatemalensis Moc. & Sessé ex Prain
& Backer, I. hirsuta L., I. linnaei Ali, I. longeracemosa Boiv. ex Baill., I.
nigrescens Kurz ex King & Prain, I. oblongifolia Forssk., I. trifoliata L., I.
trita L., I. tinctoria L., I. spicata Forssk., I. suffruticosa Mill., dan I. zollingeriana
Miq. (Backer & Bakhuizen van den Brink 1963).
Indigofera arrecta Hochst. ex A. Rich, I. suffruticosa Mill., dan I.
tinctoria L. merupakan jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna batik
(Muzzazinah 2012; Herdiawan & Krisnan 2014). Akan tetapi, jenis Indigofera
yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami batik di Jawa
dan Madura adalah I. tinctoria L. yang dikenal masyarakat sebagai tarum
(Sunda), tom (Jawa), salaon (Medan). Berdasarkan catatan spesimen yang
disimpan di dalam Herbarium Bogoriensis (BO), tarum (I. tinctoria L.)
ditemukan tumbuh liar hampir di seluruh pulau Jawa dan Madura, seperti di
daerah Sumenep, Pamekasan, Sampang, Semarang, Jakarta, Mojokerto,
Surabaya, Jember, Situbondo, Kediri, Pasuruan, Banten, Cilacap, Kendal,
Kudus dan Klaten. Tarum budi daya juga dapat ditemukan di daerah Magelang,
Bantul, dan Kulonprogo. Selain di Indonesia, tarum dapat ditemukan juga di
5
Sri Lanka, India, Pakistan, Cina, Taiwan, Jepang, Vietnam, dan Filipina
(Lemmens & Wessel-Riemens 1992; Mattapha & Chantaranothai 2012).
Tarum (I. tinctoria L.) memiliki perawakan perdu pendek, tegak, dengan
tinggi mencapai 50-150 cm (Gambar 1a). Pada bagian akar terdapat nodul.
Daun bertipe majemuk menyirip gasal dengan anak daun berjumlah 9-17 helai
berwarna hijau kebiruan. Anak daun tersusun berhadapan, berbentuk membundar
telur sungsang hingga melonjong dengan ujung membundar atau bergubang.
Perbungaan bertipe tandan yang terdapat di ketiak daun (Gambar 1c). Bentuk
bunga menyerupai kupu-kupu yang terbagi menjadi bendera, sayap, dan lunas.
Bagian bendera berwarna hijau pada bagian tengah sedangkan bagian tepi
berwarna kemerahan. Bagian sayap berwarna merah muda menyolok. Buah
bertipe polong tersusun dalam tandan dan berbentuk lurus atau semi-sirkular di
bagian ujungnya tetapi tidak pernah melancor (Gambar 1b). Polong muda
berwarna hijau dan menjadi coklat ketika tua (Backer & Bakhuizen van den
Brink 1963; Kort & Thijsse 1984; Gao & Schrire 2010). Bentuk anak daun dan
tipe ujung anak daun merupakan ciri pembeda utama I. tinctoria L. dengan I.
arrecta Hochst. Ex A. Rich. dan I. suffruticosa Mill.
Gambar 1 Profil tumbuhan tarum (I. tinctoria L.). a. Perawakan, b. Buah dan Biji,
c. Bunga
Tumbuhan tarum (I. tinctoria L.) telah digunakan sebagai pewarna alami
di Cina sejak 6000 tahun yang lalu dan India sejak 4000 tahun yang lalu (SequinFrey 1981). Organ tarum yang digunakan sebagai penghasil warna adalah daun
dan ranting muda. Tarum (I. tinctoria L.) juga dimanfaatkan untuk mewarnai
batik oleh perajin batik di pulau Jawa dan Madura, sedangkan masyarakat Samosir
memanfaatkannya untuk mewarnai benang dalam pembuatan kain ulos (Niessen
2009). Zat pewarna yang terkandung pada daun tarum diekstrak melalui
perendaman dalam air. Senyawa glukosida indikan yang terkandung dalam daun
tarum akan dihidrolisis menjadi senyawa indoksil dan glukosida, kemudian
6
senyawa indoksil akan teroksidasi ketika terpapar udara sehingga muncul warna
biru (Gambar 2) (Chanayath et al. 2002; Kasmudjo & Saktianggi 2011).
Gambar 2 Reaksi pembentukan warna indigo (Glowacki et al. 2012)
Indigo telah digunakan sebagai pewarna alami tekstil sejak sebelum
pewarna sintetis ditemukan. Ekstraksi indigo dari tumbuhan tarum (I. tinctoria
L.) dimulai di India, Mesir, dan Cina kemudian disebarluaskan ke negara tropis
lain termasuk Indonesia, sedangkan indigo di Thuringia (Eropa) berasal dari
tumbuhan woad (Isatis tinctoria L.). Indigo yang diekstrak dari tarum memiliki
tingkat kualitas warna yang lebih baik dibandingkan dengan indigo yang diekstrak
dari Isatis tinctoria L., sehingga industri tekstil Eropa mulai mengimpor indigo
dari India dan Indonesia (Glowacki et al. 2012). Perkembangan pewarna alami
mengalami fluktuasi dengan kemasyhuran Indigofera di Indonesia yang tercatat
pada tahun 1918-1925. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1921 mencapai
69.777 kg berat kering (Heyne 1987). Impor indigo yang berasal dari tarum
menurunkan aktivitas industri pewarna alami Eropa, sehingga pada tahun 1865
Johann Friedrich Wilhelm Adolf von Baeyer, ahli kimia dari Jerman, mulai
meneliti struktur kimia indigo dan berhasil membuat indigo sintesis pada tahun
1880. Pewarna indigo alami perlahan mulai digantikan oleh indigo sintetik dan
pada tahun 1913 pewarna indigo yang digunakan untuk keperluan tekstil berasal
dari indigo sintetik (Sequin-Frey 1981; Glowacki et al. 2012).
Struktur Populasi
Setiap organisme hidup membentuk populasi di alam. Keberadaan suatu
populasi ditandai dengan adanya interaksi kerjasama atau penghambatan antar
anggota sehingga laju pertumbuhan populasi tergantung pada ukuran atau
kepadatan populasi disamping faktor lingkungan fisik tempat populasi itu berada.
Pada organisme dengan jenis kelamin terpisah, perkawinan merupakan faktor
penting untuk menjaga kelangsungn hidup populasi. Interaksi antar individu tidak
terbatas hanya sesama jenis saja tetapi juga dapat terjadi antar jenis yang
berlainan. Kelangsungan hidup suatu jenis umumnya tergantung pada keberadaan
jenis lain, baik berfungsi sebagai makanan, perantara kawin, maupun
perlindungan dari bahaya (Nei 1975).
Populasi adalah kumpulan dari individu-individu yang dihubungkan oleh
ikatan perkawinan dan induk, dengan kata lain populasi adalah kumpulan dari
individu-individu yang sejenis. Umumnya, populasi alami terdiri atas kelompokkelompok individu yang tersebar merata di suatu daerah sehingga struktur
7
genetika populasinya harus dijabarkan berdasarkan persebaran geografi dari
frekuensi gen atau genotipenya. Struktur genetika suatu populasi ditentukan
berdasarkan sejumlah besar lokus yang ada. Selain itu, genetika populasi juga
mengamati kodrat suatu gen yang dimiliki oleh suatu jenis sehingga dapat
digunakan untuk menghitung atau memperkirakan hasil akhir dari seleksi alam
karena seleksi alam muncul dari bagaimana individu-individu berinteraksi dengan
lingkungan yang cenderung mengalami perubahan. Oleh karena itu, genetika
populasi bertujuan mempelajari struktur genetika populasi dan hukum yang
mengubah struktur genetik, yakni tipe dan frekuensi gen atau genotipe yang
terdapat di dalam populasi (Nei 1975; Templeton 2006).
Ketidakseragaman sangat umum terjadi di dalam sebuah populasi. Pada
populasi yang besar, terjadi ketidakseragaman kesempatan untuk kawin
sebagaimana diasumsikan oleh Hardy-Weinberg. Ketidakseragaman kesempatan
untuk kawin umumnya disebabkan oleh adanya jarak pemisah, baik ruang ataupun
waktu, yang terjadi secara terus-menerus sehingga anggota dalam populasi
menjadi terisolasi dan terbagi menjadi populasi yang lebih kecil (subpopulasi)
(Gambar 3). Pada populasi yang terisolasi, peluang terjadinya kawin antar
keluarga (inbreeding) menjadi tinggi dan aliran gennya menjadi rendah. Tanpa
adanya aliran gen yang cukup untuk menjaga perkawinan acak, maka pergeseran
genetik menyebabkan divergensi frekuensi alel antar subpopulasi (Hamilton 2009).
Keadaan seperti ini, jika terus terjadi akan menyebabkan variasi genetik dalam
populasi yang telah terpisah tersebut menjadi rendah.
Gambar 3
Stuktur populasi dan divergensi frekuensi alel yang disebabkan oleh
terbatasnya aliran gen (Hamilton 2009)
Terjadinya divergensi frekuensi alel menunjukkan bahwa terdapat
keragaman genetik, baik di dalam populasi maupun antar populasi. Keragaman
genetik di dalam populasi terjadi ketika terdapat polimorfisme atau heterozigositas
pada lokus tertentu, sedangkan keragaman genetik antar populasi terjadi jika
terdapat perbedaan frekuensi alel dan genotipe antar populasi. Keragaman genetik
di dalam dan antar populasi dipengaruhi oleh proses evolusi, seperti pergeseran
genetik, mutasi, aliran gen, dan seleksi. Pergeseran genetik dapat menurunkan
tingkat keragaman di dalam populasi tetapi meningkatkan keragaman antar
populasi. Mutasi dan aliran gen dapat meningkatkan keragaman di dalam
8
maupun antar populasi. Seleksi dapat menurunkan atau meningkatkan keragaman
di dalam maupun antar populasi (Hamilton 2009).
Perbedaan ketinggian tempat dapat mempengaruhi tingkat keragaman
genetic di dalam populasi, seperti pada Pinus brutia dan Sophora moorcroftiana.
Meningkatnya keragaman disebabkan oleh clinal variation terhadap frekuensi
alel (Kara et al. 1997; Liu et al. 2006). Rendahnya keragaman genetik di dataran
yang lebih rendah dimungkinkan karena dampak negatif aktivitas manusia dan
fragmentasi habitat seperti pembukaan dan perluasan lahan untuk kebun atau
sawah. Sebaliknya, di dataran yang lebih tinggi kurang dapat dijangkau oleh
aktivitas manusia karena hanya dimanfaatkan sebagai tempat menggembala ternak
sehingga populasi S. moorcroftiana tidak mendapat banyak gangguan seperti
halnya di dataran rendah (Liu et al. 2006).
Pada tumbuhan Dillwynia tenuifolia, keragaman genetik di dalam
populasi sangat tinggi dibandingkan dengan yang umumnya ditemui pada
tumbuhan suku Fabaceae sedangkan keragaman genetik antar populasi sangat
rendah (Hamrick & Godt 1996). Pada D. tenuifolia diperkirakan bahwa aliran
gen yang tinggi terjadi melalui perpindahan polen yang efektif antar populasi
dengan bantuan agen penyerbukan seperti lebah.
Keragaman genetik di dalam populasi pada kacang lima menunjukkan
adanya korelasi antar jumlah populasi yang diamati. Mekanisme inbreeding pada
kacang lima menghasilkan sejumlah besar alel homozigot dan penyebaran gen di
dalam populasi tidak cukup kuat untuk menjaga pemaduan gamet secara acak (Bi
et al. 2003). Pada populasi dengan jumlah individu yang sedikit, hanya sedikit
jumlah a lel dapat diamati sehingga tingkat heterozigositasnya lebih rendah
yang disebabkan oleh fiksasi alel. Korelasi antar heterozigositas dan ukuran
populasi efektif juga diharapkan untuk lokus yang termasuk dalam kategori
lokus dengan tingkat heterozigositas rendah pada populasi yang kecil
(Montgomery et al. 2000; Hedrick 2001).
Struktur genetika populasi memiliki peran penting dalam penyusunan
strategi konservasi. Sebelum menentukan tindakan konservasi, status struktur
populasi perlu diketahui terlebih dahulu. Informasi mengenai struktur genetika
populasi diperlukan sebagai dasar untuk menentukan apakah status populasi
yang dikaji berada dalam keadaan aman atau terancam. Penentuan status
populasi sangat penting untuk diketahui agar dapat ditentukan apakah suatu
populasi akan dikelola sebagai unit yang berbeda atau tidak sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap populasi yang sedang dikaji (Rao &
Hodgkin 2002).
Marka Molekuler ISSR
Pengembangan teknik-teknik molekuler berbasis DNA merupakan alat
untuk menganalisis genom tumbuhan. Teknik ini dapat mengurangi adanya
keterbatasan sifat dari marka morfologi seperti rendahnya polimorfisme, pengaruh
deleterious, pleiotropi dan epistasis (Weising et al. 2005). Sejumlah besar metode
menggunakan marka molekuler yang cepat dan membutuhkan sedikit sampel
DNA telah dikembangkan. Beberapa marka berbasis PCR yang banyak digunakan
adalah amplified fragment length polymorphism (AFLP), random amplified
9
polymorphism DNA (RAPD), dan mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat
(SSR) (Spooner et al. 2005).
Inter-simple sequence repeat (ISSR) merupakan marka semi acak yang
diamplifikasi oleh primer yang komplementer terhadap suatu target mikrosatelit.
Marka ini dikembangkan dari daerah yang terletak di antara dua lokus
mikrosatelit. Teknik genotyping menggunakan marka ISSR didasarkan pada
variasi yang terdapat dalam sekuen yang terletak di antara duan sekuen
mikrosatelit yang berdekatan (Zietkiewics et al. 1994). Awalnya Zietkiewics et
al. (1994) menggunakan primer tunggal dengan ulangan (CA)n dengan
menambahkan nukleotida spesifik pada ujung pelekatan 3- atau 5- (Gambar 4).
Primer tunggal yang telah didesain dapat berperan sebagai primer forward yang
akan mengamplifikasi cetakan DNA ke arah downstream dan primer reverse yang
akan mengamplifikasi cetakan DNA ke arah upstream. Karakteristik primer ISSR
yang memiliki sekuen tambahan dengan inti mikrosatelit umumnya bersifat sama
di dalam genom seluruh organisme, yakni memiliki tingkat variasi alel yang
tinggi dan potensial untuk analisis yang dapat diulang sehingga menjadikan
daerah ini sebagai marka molekuler yang unggul (Trojanwska & Balibok
2004).
Gambar 4 Wilayah amplifikasi marka Inter-simple sequence repeats (ISSR). Primer
tunggal dengan inti (CA)n yang telah dilekatkan dengan nukleotida
tambahan pada ujung 3- (panah putih) atau ujung 5- (panah hitam)
(Zietkiewicz et al. 1994)
Marka ISSR merupakan daerah di dalam DNA yang panjangnya sangat
bervariasi dalam suatu spesies yang sama (Salimath et al. 1995). Amplifikasi
menggunakan marka ISSR tidak membutuhkan informasi sekuen genom dan pola
pita multilokus yang dihasilkan sangat polimorfik. Ukuran pita DNA yang
diamplifikasi oleh primer ISSR berkisar 100-3000 pasang basa (Nagaoka &
Ogihara 1997). Metode ISSR sering digunakan untuk mempelajari sidik jari
genetik,
penandaan gen, deteksi variasi klon, identifikasi kultivar, analisis
filogenetik, deteksi ketidakstabilan genom, dan pengujian hasil hibridisasi pada
tumbuhan maupun hewan yang berkerabat dekat (Song 2005).
Metode ISSR-PCR dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih cepat
dibandingkan dengan metode lain seperti amplified fragment length polymorphism
10
(AFLP), random amplified polymorphism DNA (RAPD) dan restriction fragment
length polymorphism (RFLP). Amplifikasi dengan primer ISSR tetap dapat
dilakukan meskipun jumlah DNA yang dimiliki sedikit dan biaya yang
dibutuhkan juga lebih terjangkau karena tidak perlu dilakukan klon maupun
karakterisasi sekuen terlebih dahulu (Spooner et al. 2005; LTC 2010).
Marka ISSR saat ini telah berhasil digunakan untuk mempelajari
keragaman genetik baik untuk identifikasi jenis maupun infra-jenis. Pada tingkat
jenis, marka ISSR dapat digunakan untuk mengidentifikasi kompleks
Astragalus rhizanthus (Anand et al. 2010), 28 jenis Cassia liar (Mohanty et al.
2010), 6 jenis Sesbania (Bisoyi et al. 2010), 10 genotipe Vigna savi (Pardhe &
Satpute 2011), dan 5 jenis Cicer (Amirmoradi et al. 2013). Pada tingkat
infra-jenis, marka ISSR telah digunakan pada 6 turunan V. radiata hibrida
(Khajudparn et al. 2012) dan 21 kultivar Phaseolus vulgaris (Sadeghi &
Cheghamirza 2012).
11
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan April
2015. Isolasi dan amplifikasi DNA dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan
Biologi Molekuler Tumbuhan serta Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Koleksi Sampel
Aksesi tarum (I. tinctoria L.) dikoleksi berdasarkan metode jelajah yaitu
mengunjungi lokasi yang diketahui dan memungkinkan dijumpainya tumbuhan
tersebut tumbuh (Widjaja & Poerba 2004). Penentuan lokasi pengambilan sampel
didasarkan pada catatan koleksi spesimen di Herbarium Bogoriense (BO) dan
informasi langsung dari pembatik di Jawa dan Madura. Sampel yang diambil
berupa cabang dengan organ lengkap yang terdiri atas daun, bunga, buah dan biji
yang akan diproses menjadi herbarium kering (Vogel 1987). Sebagian daun segar,
bersih, dan sehat dimasukkan ke dalam plastik klip yang berisi silika gel untuk
isolasi DNA.
Sebanyak 50 aksesi daun tarum (I. tinctoria L.) diperoleh dari 10 lokasi
yang tersebar di pulau Jawa dan Madura, yakni 6 lokasi yang mewakili pulau
Jawa (Cirebon, Serang, Tuban, Kulonprogo, Bantul, dan Gunung Kidul) dan 4
lokasi yang mewakili pulau Madura (Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan
Bangkalan) (Gambar 5, Tabel 1). Setiap lokasi dianggap sebagai satu populasi
sehingga terdapat 10 populasi tarum (I. tinctoria L.) yang dianalisis.
Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura. A=Cirebon, B=Serang, H=Tuban, J=Kulonprogo, K=Bantul,
L=Gunung Kidul, P=Sumenep, Q=Pamekasan, S=Bangkalan,
T=Sampang
12
Tabel 1 Identitas aksesi tarum (I. tinctoria L.), asal lokasi, dan nama
populasi
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Kode Aksesi
yayin023, yayin024, yayin025
yayin026, yayin027, yayin028
yayin029, yayin030, yayin031
yayin036, yayin037, yayin038
yayin039, yayin040, yayin041
hariri001
hariri004, hariri005
hariri007
yayin045, yayin046, yayin047
yayin068, yayin069, yayin070
yayin077, yayin078, yayin089
yayin082, yayin083, yayin084,
yayin 084a
yayin085, yayin086, yayin087
yayin103, yayin104, yayin105
yayin132, yayin133, yayin134
yayin106, yayin107, yayin108
yayin109, yayin110, yayin111
yayin115, yayin116, yayin117
Asal Lokasi
Burneh, Bangkalan
Halim Perdana Kusuma, Bangkalan
Tanjung Bumi, Bangkalan
Jenma, Pamekasan
Tlanakan, Sampang
Pakandhangan, Sumenep
Battangan, Sumenep
Andulang, Sumenep
Kerek, Tuban
Wonosari, Gunung Kidul
Slili beach, Gunung Kidul
Banaran, Kulonprogo
Nama Populasi
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan
Pamekasan
Sampang
Sumenep
Sumenep
Sumenep
Tuban
Gunung Kidul
Gunung Kidul
Kulonprogo
Stadion Bantul, Bantul
Srigading, Bantul
Piyungan, Bantul
Babatan, Cirebon
Kejawanan, Cirebon
Sukajaya, Serang
Bantul
Bantul
Bantul
Cirebon
Cirebon
Serang
Isolasi DNA Total
DNA tarum (I. tinctoria L.) diisolasi menggunakan metode cetyl trimethyl
ammonium bromide (CTAB) (Tiwari et al. 2012) yang telah dimodifikasi.
Sebanyak 0.2 g daun kering ditambah dengan 1000 μl larutan pencuci kemudian
digerus hingga halus menggunakan mortar. Cairan dimasukkan ke dalam tabung 2
ml dan ditambahkan kembali dengan 1000 μl larutan pencuci. Tabung tersebut
diinkubasi pada suhu -20 ᵒC selama 20 menit kemudian disentrifuse dengan
kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dari tabung kemudian
ditambah 1000 μl larutan ekstraksi ke dalam tabung. Selanjutnya tabung tersebut
diinkubasi pada suhu 65 ᵒC selama 20 menit dan setiap 5 menit tabung dibolakbalik secara perlahan. Setelah inkubasi, tabung disentrifuse dengan kecepatan
12000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung 2 ml baru
dan ditambah CTAB sebanyak 1/10x volume supernatan serta CI (24:1)
sebanyak 1x volume supernatan, kemudian disentrifuse kembali dengan
kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung
1.5 ml dan ditambah isopropanol dingin sebanyak 0.6x volume supernatan,
kemudian campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu -20 ᵒC selama 1
jam. Setelah inkubasi, tabung tersebut disentrifuse dengan kecepatan 12000 rpm
selama 10 menit. Supernatan dibuang dari tabung dan ke dalam tabung ditambah
1000 μl etanol absolut dingin, kemudian disentrifuse kembali dengan kecepatan
12000 rpm selama 4 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringanginkan.
Setelah kering, sebanyak 100 μl TE pH 8 ditambahkan ke dalam tabung dan DNA
disimpan di dalam lemari es.
13
Amplifikasi dan Visualisasi DNA
DNA tarum diamplifikasi menggunakan ESCO Swift™ Maxi model
SWT-MY-BLC-7 (USA). Lima belas primer ISSR yang digunakan pada
penelitian ini telah berhasil digunakan untuk menganalisis keragaman genetik
tumbuhan Sesbania, V. radiata, dan V. savi (Bisoyi et al. 2010; Pardhe &
Satpute 2011; Khajudparn et al. 2012) (Tabel 1). Setiap reaksi ISSR-PCR
diamplifikasi dalam volume 25 μl yang terdiri dari 2.5 μl DNA, 1 μl primer
ISSR, 12.5 μl 2X GoTaq® Green PCR Mix pH 8.5 (mengandung 400 μM
dATP, 400 μM dGTP, 400 μM dCTP, 400 μM dTTP, 3 mM MgCl 2), and 9 μl
air bebas nuklease (Promega, USA). Proses amplifikasi terdiri dari denaturasi awal
pada suhu 94 ᵒC selama 3 menit, kemudian diikuti dengan 30 siklus denaturasi
pada 94 ᵒC selama 1 menit, penempelan primer pada 45-51 ᵒC selama 45-60 detik,
pemanjangan primer pada 72 ᵒC selama 2 menit, dan selanjutnya pemanjangan
primer akhir selama 10 menit pada suhu 72 ᵒC (Bisoyi et al. 2010; Pardhe &
Satpute 2011; Khajudparn et al. 2012). Produk hasil PCR dielektroforesis pada gel
agarosa 1% dalam 1X buffer TBE yang ditambahkan dengan 1 μl ethidium
bromida (1 μg/ml), pada tegangan 80 V selama 90 menit. Pola pita diamati di
bawah cahaya UV dan difoto menggunakan uv-transilluminator (WiseDoc,
Germany).
Analisis Data
Pita polimorfik dari hasil elektroforesis dinilai nol (0) jika tidak terdapat
pita dan satu (1) jika terdapat pita pada posisi yang sama untuk setiap aksesi
yang dibandingkan. Data yang diperoleh disusun dalam satu matriks data dan
digunakan untuk menghitung koefisien kemiripan simple matching (SM)
(Kosman & Leonard 2005). Koefisien kemiripan SM digunakan untuk
mengkonstruksi diagram analisis komponen utama atau principal component
analysis (PCA) dan dendrogram menggunakan analisis Sequential Agglomerative
Hierarchial and Nested Clustering (SAHN) dengan metode Unweighted Pair
Group Method with Arithmatic Average (UPGMA) melalui program Numerical
Taxonomy and Multivariate Analisys System for PC (NTSys- PC) versi 2.1.1a
(Exeter Software, New York) (Rohlf 1998). Jarak genetik Nei, analisis variasi
molekuler (AMOVA), dan struktur populasi yang meliputi indeks Shannon,
keragaman genetik, persentase lokus polimorfik dihitung menggunakan program
Genetic Analysis in Excel (GenAlex) versi 6.501 (Peakall & Smouse 2012).
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi dan Profil Primer ISSR
Lima belas primer ISSR yang digunakan untuk mendeterminasi keragaman
50 aksesi tarum (I. tinctoria L.) berhasil mengamplifikasi sekuen genom tarum (I.
tinctoria L.) dengan pola, jumlah dan ukuran pita yang bervariasi antar aksesi dan
primer. Sebanyak 123 pita dihasilkan dari 15 primer ISSR yang digunakan dan 84
pita bersifat polimorfik. Jumlah pita yang diamplifikasi oleh masing-masing primer
berkisar 5-11 pita dengan panjang pita berkisar 250-2500 pasang basa (pb) dan
persentase polimorfisme pita berkisar 50-90% dengan rata-rata 68.3% (Tabel
2).
Tabel 2 Sekuen primer ISSR dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
No
Sekuen Primer (5’-3’) Ukuran Fragmen (pb)
JP
JPP
PPP (%)
1
2
(GA)9T
T(GA)9
250-1300
250-1500
8
9
5
6
62.5
66.7
3
(CT)8T
250-1500
9
7
77.8
4
(GT)8A
500-2000
9
5
55.6
5
(GT)8T
500-1500
7
5
71.4
6
(AG)8T
250-2000
11
6
54.5
7
(AG)8C
500-1500
5
3
60.0
8
(AC)8T
500-2500
9
5
62.5
9
(AG)8TC
250-1500
8
4
50.0
10
(AG)8YA
250-1700
9
6
66.7
11
(GA)8YC
250-750
5
4
80.0
12
(CA)8RC
500-2500
10
9
90.0
13
(AC)8YA
250-1500
7
5
71.4
14
(AC)8YG
250-1500
9
8
88.9
15
(TG)8RT
350-1700
8
6
66.7
Total
123
84
Rata-Rata
8.2
68.3
Keterangan: Y = pirimidin (C,T); R = purin (A,G)
JP=Jumlah pita; JPP=Jumlah pita polimorfik, PPP=Persentase pita polimorfik
Primer (AG)8C dan (GA)8YC menghasilkan lebih sedikit pita (5 pita)
sedangkan primer (AG)8T menghasilkan lebih banyak pita (11 pita) dibandingkan
dengan primer lainnya. Sedikitnya jumlah pita yang diamplifikasi oleh primer
(AG)8C dan (GA)8YC mungkin disebabkan oleh sedikitnya sekuen komplemen
dari pola (AG)8C dan (GA)8YC dibandingkan dengan pola (AG)8T pada genom
tarum (I. tinctoria L.).
Kelimpahan sekuen komplementer suatu primer yang diamati tidak selalu
berhubungan dengan tingginya persentase polimorfisme pita. Primer (AG)8T
menghasilkan 11 pita, tetapi nilai persentase polimorfismenya menunjukkan nilai
yang lebih rendah (54.5%) dibandingkan primer lainnya, misalnya primer
15
(GA)8YC yang hanya menghasilkan 5 pita tetapi persentase polimorfisme tinggi
(80%). Sekuen komplementer primer (AG)8T dimungkinkan melimpah dalam
genom tarum (I. tinctoria L.), tetapi tidak bersifat spesifik karena juga
ditemukan cukup melimpah pada sekuen milik Vigna radiata hibrida,
Pandanus, dan Freycinetia (Rahayu et al. 2007; Khajudparn et al. 2012).
Jumlah pita yang berhasil diamplifikasi pada penelitian ini lebih sedikit
dibandingkan Khajudparn et al. (2012), tetapi lebih banyak dibandingkan Bisoyi
et al. (2010) serta Pardhe dan Satpute (2011). Persentase pita polimorfik yang
dihasilkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian Khajudparn
et al. (2012), tetapi relatif sama dengan penelitian Bisoyi et al. (2010) dan
Pardhe dan Satpute (2011) (Tabel 3).
Tabel 3 Perbandingan aksesi dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura terhadap hasil penelitian
rujukan
Pembanding
Nama jenis
Tingkatan takson
Jumlah sampel
Jumlah primer
Jumlah pita total
Polimorfisme (%)
Saat ini
Indigofera
tinctoria
Infra jenis
50
15
123
50-90
Bisoyi et al.
(2010)
Sesbania
spp.
Antar jenis
6
4
43
92-100
Pardhe &
Satpute (2011)
Kompleks
Vigna savi
Antar jenis
10
3
37
20-83
Khajudparn
et al. (2012)
Vigna radiata
Hibrida
6
10
1038
0.8-25
Perbedaan jumlah pita yang teramplifikasi dan persentase polimorfisme
pita antara penelitian ini dan sebelumnya dimungkinkan oleh adanya perbedaan
pada jenis tumbuhan, tingkatan takson, jumlah sampel, maupun jumlah primer
yang digunakan. Bisoyi et al. (2010) menganalisis 6 jenis Sesbania menggunakan
4 primer ISSR, Pardhe dan Satpute (2011) menganalisis 10 genotipe V. savi
menggunakan 3 primer ISSR, dan Khajudparn et al. (2012) menganalisis 6
aksesi kacang hijau hibrida menggunakan 10 primer ISSR.
Pada analisis keragaman genetik antar jenis, persentase pita polimorfik
yang dihasilkan umumnya lebih besar (20-83% dan 92-100%) dibandingkan
dengan infra jenis (0.8-25% dan 50-90%). Perbedaan tersebut disebabkan oleh ada
tidaknya sekuen komplementer untuk setiap primer ISSR yang digunakan serta
ukuran fragmen yang diamplifikasi menggunakan setiap primer ISSR juga cukup
bervariasi pada tumbuhan yang berbeda. Selain itu, dapat diketahui juga bahwa
terdapat primer ISSR yang bersifat umum (universal) yang dapat digunakan untuk
jenis berbeda, seperti primer (AG)8T yang juga berhasil digunakan dalam
menganalisis keragaman genetik kacang hijau hibrida dan pandan-pandanan
(Rahayu et al. 2007; Khajudparn et al. (2012).
Semakin banyak jumlah aksesi dan primer yang digunakan maka jumlah
pita yang dihasilkan akan semakin beragam (Hedrick 1985; Ellstrand & Elam
1993). Namun, semakin banyaknya aksesi ataupun primer yang digunakan tidak
selalu dapat menunjukkan hasil yang sesuai karena faktor tipe aksesi yang
dianalisis juga dapat mempengaruhi jumlah keragaman pita yang dihasilkan
sebagaimana penelitian yang dilakukan Khajudparn et al. (2012). Sampel berupa
kacang hijau hibrida menghasilkan pita dengan tingkat polimorfisme yang rendah
16
karena dimungkinkan pita monomorfik yang merupakan akumulasi hasil
hibridisasi dari kedua tetuanya lebih banyak teramplifikasi.
Berdasarkan visualisasi pola pita amplifikasi primer (AG)8T (Gambar 6),
dapat diketahui dua macam pita, yakni pita umum (300, 750, 1500, 1700,
dan 2000 pb) dan pita khusus (250, 500, 600, 900, 1000, dan 1300 pb). Pola pita
khusus yang menjadi penanda populasi dari Cirebon (A2 dan A3) adalah pita 250,
500, 900 dan 1000 pb yang tidak ditemukan pada populasi lainnya, misalnya saja
B3 yang memiliki pita 250 pb dan 500 pb tetapi tidak memiliki pita 900 pb dan
1000 pb. Populasi dari Cirebon dan Serang tidak memiliki pita 1300 pb,
sebagaimana dimiliki populasi dari pulau Jawa lainnya yakni Tuban, Kulonprogo,
Bantul, dan Gunung Kidul.
Gambar 6 Profil pita primer (AG)8T. M=DNA Ladder 1 kb, A2,3=Cirebon, B3=Serang,
H1,2=Tuban, J1,2=Kulonprogo, K1,3,8=Bantul, L1,2,3=Gunung Kidul,
P2=Sumenep, Q1,3=Pamekasan, S1,6=Bangkalan, T1,3=Sampang. CB=pita
umum, SB=pita khusus
Tingginya persentase polimorfisme pita y
DI PULAU JAWA DAN MADURA SEBAGAI PEWARNA
ALAMI BATIK BERDASARKAN MARKA
INTER-SIMPLE SEQUENCE REPEATS
MUHAMMAD RIFQI HARIRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Genetik
Tarum (Indigofera tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura sebagai Pewarna
Alami Batik berdasarkan Marka Inter-Simple Sequence Repeats adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Muhammad Rifqi Hariri
NIM G353130211
RINGKASAN
MUHAMMAD RIFQI HARIRI. Keragaman genetik tarum (Indigofera tinctoria
L.) di pulau Jawa dan Madura sebagai pewarna alami batik berdasarkan marka
inter-simpe sequence repeats. Dibimbing oleh TATIK CHIKMAWATI dan ALEX
HARTANA.
Tarum (Indigofera tinctoria L.) merupakan anggota dari suku Fabaceae,
yang dimanfaatkan sebagai pewarna indigo alami. Saat ini, tarum telah banyak
dimanfaatkan kembali sebagai bahan pewarna alami, baik untuk tekstil maupun
kosmetik. Penelitian mengenai marga Indigofera di Indonesia masih terbatas pada
eksplorasi jenis dan pemanfaatannya untuk peningkatan produksi pakan ternak
maupun kualitas warna pada tekstil. Akan tetapi, penelitian mengenai kajian
keragaman genetik marga Indigofera, khususnya jenis I. tinctoria L. belum pernah
dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keragaman genetik I.
tinctoria L. di pulau Jawa dan Madura sebagai pewarna alami batik berdasarkan
marka Inter-Simple Sequence Repeats.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014-April 2015. Pengambilan
sampel dilakukan di 6 lokasi yang tersebar di pulau Jawa (Cirebon, Serang,
Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, dan Tuban) dan 4 lokasi di pulau Madura
(Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep). Bahan tumbuhan yang
digunakan adalah daun segar dan sehat yang dimasukkan ke dalam plastik berisi
silika gel. DNA diisolasi berdasarkan metode CTAB, kemudian diamplifikasi
menggunakan GoTaq® Green PCR Mix dengan 15 primer ISSR. Produk hasil
PCR dielektroforesis dan difoto menggunakan GelDoc. Pita polimorfik diskor
sebagai data biner. Data disusun dalam matriks dan digunakan untuk menghitung
koefisien kemiripan simple matching, mengontruksi PCA, dan dendrogram
dengan metode UPGMA menggunakan NTSys-PC versi 2.1.1a. Analisis struktur
populasi diakukan menggunakan GenAlex versi 6.501.
Kelima belas primer yang digunakan menghasilkan 123 pita dan 84 pita
diantaranya bersifat polimorfik. Panjang pita yang dihasilkan berkisar 250-2500
pasang basa dan persentase polimorfisme pita berkisar 50-90% dengan rata-rata
68.3%. Pola pita yang dihasilkan bersifat unik sehingga dapat digunakan untuk
pembeda antar aksesi.
Analisis gugus mengelompokkan 50 aksesi tarum ke dalam empat kelompok
berdasarkan 84 pita polimorfik yakni Kelompok I (Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep), II (Tuban), III (Bantul, Gunung Kidul, dan
Kulonprogo), dan IV (Cirebon dan Serang). Keragaman genetik tarum di pulau
Jawa dan Madura tergolong dalam kategori yang tinggi (68.3%), tetapi variasi
molekuler di dalam populasi (37%) lebih kecil dari antar populasi (63%). Nilai
keragaman (I) paling tinggi dimiliki oleh populasi yang berasal dari Bantul dan
Tuban (I=0.35) sedangkan paling rendah dimiliki oleh populasi yang berasal dari
Serang (I=0.06). Berdasarkan hasil yang diperoleh, primer ISSR tidak hanya dapat
digunakan untuk mempelajari keragaman genetik, tetapi juga dapat digunakan
untuk membedakan setiap aksesi tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura.
Kata kunci: Indigofera tinctoria, Jawa dan Madura, keragaman genetik, marka
ISSR
SUMMARY
MUHAMMAD RIFQI HARIRI. Genetic diversity of I. tinctoria L. in Java and
Madura islands as natural batik dye based on Inter-simple sequence repeats
markers. Supervised by TATIK CHIKMAWATI and ALEX HARTANA.
Indigo (Indigofera tinctoria L.) is a member of Fabaceae family that
can be utilized as natural indigo dye. Indigo has been frequently used for natural
dye, both for textile or cosmetics. Previous research on Indigofera in Indonesia
was conducted on species exploration and utilization as animal feed or
improvement on dye quality. However, genetic diversity assessment on
Indigofera, especially I. tinctoria L. has not been conducted yet. The aim of this
research was to determine the genetic diversity and population structure of I.
tinctoria L. in Java and Madura islands as natural batik dye based on inter-simple
sequence repeats (ISSR) markers.
This research was conducted from April 2014 to April 2015. The
samples were collected from Java and Madura island, from 6 locations
representing Java island (Cirebon, Serang, Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo,
and Tuban) and 4 locations representing Madura island (Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, and Sumenep). Fresh and healthy leaves were collected
in plastic bag containing silica gel. The total DNA was extracted from leaves
based on CTAB method. PCR amplification used GoTaq® Green PCR Mix and
15 ISSR primers. The PCR product was observed using electrophoresis and
photographed using GelDoc. The polymorphic bands were scored into binary data
and compiled in a data matrix to be used to calculate simple matching similarity
coefficient, construct dendrogram and principle component analysis using
UPGMA method. The population structure was analyzed using GenAlex 6.501.
All ISSR primers produced a total of 123 bands and 84 of them were
polymorphic. The bands length varied from 250 to 2500 bp and the percentage
of polymorphic bands was 50-90% with average about 68.3% for every primer.
Band patterns generated from PCR were unique and could be used for
identifying each accession.
The clustering analysis divided 50 indigo accessions into 4 groups based
84 polymorphic bands. Group I grouped all accessions from Madura (Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, and Sumenep), group II only consisted of accessions from
East Java (Tuban), group III consisted of accessions from Central Java (Bantul,
Gunung Kidul, and Kulonprogo), and group IV grouped all accessions from West
Java (Cirebon and Serang). The indigo genetic diversity in Java and Madura
islands was relatively high (%P=68.3), but the molecular variation within
population (37%) was lower than among population (63%). The highest diversity
(I) value was from Bantul and tuban population (I=0.35), while the lowest was
from Serang (I=0.06). Based on the result, ISSR primers were not only able to
assess genetic diversity but also identify each indigo accession in Java and
Madura islands.
Keywords: genetic diversity, Indigofera tinctoria, ISSR markers, Java and
Madura
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAMAN GENETIK TARUM (Indigofera tinctoria L.)
DI PULAU JAWA DAN MADURA SEBAGAI PEWARNA
ALAMI BATIK BERDASARKAN MARKA
INTER-SIMPLE SEQUENCE REPEATS
MUHAMMAD RIFQI HARIRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono, DEA
11%4. .4 4
,')4 )/!$4,1'4
#!!# 41%14
24 )41-4. 42(4&' 40"$4,.,$)4
,$4
!#"#! #
'4
4 1''4 + 4
, , 4
4
.01#1 4 *&4
*' . 4 ' ' )4
,4,40 $4
4
,*4,4,4%34
4
)*04
014
$01 4*%4
014 ,*'401 4
*%* 4 1'1)4
,4,4
4
)%4# )4
.',4
)%4 1%1.4
#
#
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini yaitu
Keragaman Genetik Tarum (Indigofera tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
sebagai Pewarna Alami Batik berdasarkan Marka Inter-Simple Sequence Repeats.
Penelitian ini didanai oleh Dana Hibah Penelitian PUPT nomor kontrak
339/UN27.11/PL/2015 atas nama Dra. Muzzazinah, M.Si.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Tatik Chikmawati, M.Si dan
Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan nasihat, motivasi, saran, serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar di program studi Biologi Tumbuhan
(BOT) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, dan nasihat selama ini, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Program Pascasarjana Dalam
Negeri (BPPDN) tahun 2013, Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Laboratorium
Terpadu, serta Laboratorium Fisiologi dan Biologi Molekuler Tumbuhan Departemen
Biologi FMIPA IPB atas perizinan penelitian, serta Dra. Muzzazinah, M.Si atas
penyediaan dan perizinan menggunakan bahan penelitian. Kepada Herbarium
Bogoriense (BO) atas perizinannya untuk pengamatan spesimen koleksi tarum
(Indigofera tinctoria L.) di Indonesia. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada orang tua, seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa, dukungan, serta
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Muhammad Rifqi Hariri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Tarum (Indigofera tinctoria L.)
4
Struktur Populasi
6
Marka Molekuler ISSR
8
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
11
Koleksi Sampel
11
Isolasi DNA Total
12
Amplifikasi dan Visualisasi DNA
13
Analisis Data
13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi dan Profil Primer ISSR
14
Analisis Gugus Tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
16
Keragaman Genetik Tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
21
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
1 Identitas aksesi tarum (I. tinctoria L.), asal lokasi, dan nama populasi
2 Sekuen primer ISSR dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
3 Perbandingan aksesi dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura terhadap hasil penelitian rujukan
4 Jarak genetik Nei 10 populasi tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura
5 Pita spesifik untuk identifikasi asal populasi tarum (I. tinctoria L.) di
pulau Jawa dan Madura
6 Keragaman genetik 10 populasi tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura
12
14
15
19
20
21
DAFTAR GAMBAR
1 Profil tumbuhan tarum (I. tinctoria L.). a. Perawakan, b. Buah dan Biji,
c. Bunga
2 Reaksi pembentukan warna indigo (Glowacki et al. 2012)
3 Struktur Populasi dan divergensi frekuensi alel yang disebabkan oleh
terbatasnya aliran gen (Hamilton 2009)
4 Wilayah amplifikasi marka Inter-Simple Sequence Repeats (ISSR).
Primer tunggal dengan inti (CA)n yang telah dilekatkan dengan
nukleotida tambahan pada ujung 3- (panah putih) atau ujung 5- (panah
hitam) (Zietkiewicz et al. 1994)
5 Lokasi pengambilan sampel tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura. A=Cirebon, B=Serang, H=Tuban, J=Kulonprogo, K=Bantul,
L=Gunung Kidul, P=Sumenep, Q=Pamekasan, S=Bangkalan,
T=Sampang
6 Profil pita primer (AG)8T. M=DNA Ladder 1 kb, A2,3=Cirebon, B3=Serang,
H1,2=Tuban, J1,2=Kulonprogo, K1,3,8=Bantul, L1,2,3=Gunung Kidul,
P2=Sumenep, Q1,3=Pamekasan, S1,6=Bangkalan, T1,3=Sampang. CB=pita
umum, SB=pita khusus
7 Pola pengelompokan tarum (I. tinctoria L.) berdasarkan analisis
komponen utama. □ = Bangkalan, ♯ = Bantul, ● = Cirebon, × = Gunung
Kidul, + = Kulonprogo, ◊ = Pamekasan, = Sampang, ■ = Serang,
○ = Sumenep, = Tuban
8 Dendrogram 50 aksesi tarum (I. tinctoria L.) berdasarkan 84 pita ISSR
dengan metode UPGMA. A1-6=Cirebon, B1-3=Serang, H1-3=Tuban,
J1-4=Kulonprogo, K1-9=Bantul, L1-6=Gunung Kidul, P1-4=Sumenep,
Q1-3=Pamekasan, T1-3=Sampang, S1-9=Bangkalan
9 Pola pita spesifik dari primer (GA)9T (di dalam kotak) untuk populasi Tuban,
Sumenep, dan Pamekasan. M=DNA Ladder, A2,3=Cirebon, B3=Serang,
H1,2=Tuban, J1,2=Kulonprogo, K1,3,8=Bantul, L1,2,3=Gunung Kidul,
P2=Sumenep, Q1,3=Pamekasan, T1,3=Sampang, S1,6=Bangkalan. Pita di dalam
kotak menunjukkan pita spesifik yang dapat digunakan untuk identifikasi asal
populasi: Tuban (GA)9T1200, Sumenep (GA)9T650, Pamekasan (GA)9T650,
(GA)9T1200
10 Persentase variasi molekuler di dalam dan antar populasi tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
5
6
7
9
11
16
17
18
19
21
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Marga Indigofera L. merupakan kelompok tumbuhan polong dari suku
Fabaceae. Sebanyak 700 jenis Indigofera terdapat di dunia yang tersebar dan
tumbuh di daerah Asia, Afrika dan Amerika. Sesuai dengan namanya, Indigofera
yang berarti penghasil indigo merupakan kelompok tumbuhan penghasil warna
indigo alami meskipun tidak semua jenis di dalam marga tersebut menghasilkan
pewarna (Gao & Schrire 2010). Indigofera mudah dikenali dari perawakannya
yang dapat berupa pohon, perdu, atau herba dengan ciri daun tunggal atau
majemuk menyirip gasal dengan anak daun tersusun berseling. Pada batang dapat
ditemukan trikoma uniseluler. Daun penumpu berbentuk segitiga memanjang
dengan ujung lancip atau kadang menyegitiga. Perbungaan bertipe tandan dan
muncul di ketiak daun. Bunga berbentuk kupu-kupu dengan lunas yang selalu
tertutup (Kort & Thijsse 1984; Gao & Schrire 2010; Muzzazinah 2012).
Indonesia sebagai salah satu negara yang terletak di kawasan tropis
memiliki 17 jenis Indigofera yang tumbuh dan telah tercatat di dalam Flora of
Java (Backer & Bakhuizen van den Brink 1963). Tiga jenis Indigofera telah
dimanfaatkan sebagai sumber pewarna indigo alami, yakni tom atal atau tom
katemas (I. arrecta Hochst. Ex A. Rich.), tom jawa atau tarum (I. tinctoria L.),
dan tom cantik (I. suffruticosa Mill.) (Kasmudjo & Saktianggi 2011; Muzzazinah
2012; Herdiawan & Krisnan 2014). Jenis yang paling banyak ditanam dan
dimanfaatkan sebagai pewarna alami adalah I. tinctoria L. yang berasal dari India.
Tarum (I. tinctoria L.) memiliki bentuk anak daun membundar telur sungsang
hingga melonjong-membundar telur sungsang dengan ujung anak daun
membundar atau bergubang yang merupakan ciri pembeda utama dari jenis I.
arrecta Hochst. Ex A. Rich. maupun I. suffruticosa Mill. (Gao & Schrire 2010).
Tumbuhan penghasil indigo alami ini telah ditanam dan dimanfaatkan oleh
penduduk lokal di Indonesia sejak masa kerajaan Tarumanegara. Tingginya
tingkat budi daya dan pemanfaatan tarum (I. tinctoria L.) menyebabkan Indonesia
dikenal sebagai negara pengekspor indigotin terbesar di Asia. Indigotin dalam
bentuk serbuk dan blok pasta diekspor dari Indonesia ke negara-negara industri
tekstil di kawasan Eropa (FAO 1995; Arsenault et al. 2008).
Pemanfaatan tarum sebagai penghasil indigo alami mengalami penurunan
seiring dengan ditemukan dan dikembangkannya indigo sintetik pada tahun 1883.
Pewarnaan menggunakan indigo sintetik memerlukan biaya lebih murah dan
waktu yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan indigo alami. Indigo
sintetik mulai diperkenalkan pada tahun 1913 dan terus meningkat. Pada tahun
2002, sebanyak 17000 ton indigo sintetik diproduksi di seluruh dunia (Glowacki
et al. 2012). Penggunaan pewarna sintetik yang tidak ramah lingkungan dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan, bahkan keracunan dan bersifat karsinogen
pada manusia. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya
yang ditimbulkan oleh penggunaan pewarna sintetik, masyarakat kembali
menggunakan pewarna alami yang bersifat lebih ramah lingkungan (Angelini et
al. 1997; Muzzazinah 2012).
2
Pembatik di daerah Jawa Tengah dan Sumenep, sebagai salah satu
pengguna warna indigo, memanfaatkan tarum (I. tinctoria L.) sebagai penghasil
indigo alami untuk mewarnai batik. Pembatik di Magelang memanfaatkan tarum
(I. tinctoria L.) yang dibudidayakan di kebun sedangkan pembatik di Sumenep
masih mengambilnya secara langsung dari alam. Proses budi daya tarum yang
dilakukan oleh pembatik di Magelang dapat melahirkan adanya kultivar yang
memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan tarum yang tumbuh secara
liar di alam.
Untuk pengembangan tarum di masa depan, perlu dilakukan konservasi
mengingat bahwa pemanfaatan tarum (I. tinctoria L.) mengalami peningkatan
sedangkan kondisi habitatnya terancam oleh pertambahan penduduk dan aktivitas
modernisasi. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam upaya memulai
konservasi tarum di pulau Jawa dan Madura adalah meninjau keragaman genetik
tarum sehingga dapat diketahui status keragaman genetiknya (Narain 2000).
Selain itu, kajian keragaman genetik tarum (I. tinctoria L.) penting untuk
dilaksanakan karena dibutuhkan metode yang tepat untuk dapat membedakan
varian-varian yang terdapat pada jenis tarum (I. tinctoria L.). Hasil kajian dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyeleksi kultivar unggul.
Ketersediaan informasi kultivar unggul mengenai keragaman jenis atau sumber
plasma nutfah tumbuhan akan menjadikan program pemuliaan lebih terarah
sehingga menghasilkan kultivar dengan sifat-sifat unggul yang diinginkan.
Kajian keragaman pada tingkat di bawah jenis dapat dilakukan melalui
pengamatan morfologi jika seluruh organ vegetatif maupun generatif tersedia dan
memungkinkan untuk diamati. Namun, ketersediaan organ lengkap tidak selalu
mudah diperoleh karena perbedaan masa pertumbuhan di setiap daerah dan
sedikitnya aksesi tarum (I. tinctoria L.) yang ditemukan tumbuh secara liar di alam.
Pengamatan ciri morfologi juga sulit dilakukan pada beberapa tumbuhan yang
berkerabat dekat sehingga sangat sedikit ciri yang bisa didapatkan. Selain itu,
pengamatan ciri morfologi memerlukan waktu yang cukup lama dan tidak semua
ciri dapat diamati perbedaannya secara visual. Penanda morfologi juga bersifat
kompleks karena merupakan hasil interaksi antar gen dan lingkungan sehingga
sulit untuk membedakan antara ciri yang diturunkan secara genetik atau hasil
adaptasi terhadap lingkungan (Babić et al. 2012). Kendala yang muncul pada
pengamatan morfologi dapat diatasi dengan menggunakan marka molekuler
berbasis DNA (Lin et al. 2010). Keunggulan marka molekuler dalam mempelajari
keragaman di bawah jenis (infraspecies) adalah variasi pada tingkat DNA dapat
ditunjukkan dalam waktu yang lebih cepat, efisien, dan biaya yang rendah
dibandingkan dengan pengamatan ciri morfologi (Babić et al. 2012).
Akhir-akhir ini, telah banyak marka molekuler yang dikembangkan
untuk mempelajari keragaman di bawah tingkat jenis seperti amplified fragment
length polymorphism (AFLP), inter-simple sequence repeats (ISSR), random
amplified polymorphism DNA (RAPD), dan restriction fragment length
polymorphism (RFLP). Marka molekuler ISSR merupakan marka yang paling
mudah untuk digunakan. Selain mudah, marka ISSR memiliki banyak
keunggulan antara lain mudah diulang, menghasilkan fragmen pita yang sangat
polimorfik, serta memiliki tingkat efisiensi dan keakuratan yang tinggi pada
tingkat jenis maupun di bawah jenis (Zietkiewics et al. 1994; Spooner et al.
2005). Metode ISSR-PCR bersifat sederhana dan cepat sehingga dapat digunakan
3
untuk mempelajari keragaman genetik, kekerabatan filogenetik, penandaan gen,
pemetaan genom, dan evolusi suatu jenis yang berkerabat sangat dekat (Pardhe &
Satpute 2011; Sadeghi & Cheghamirza 2012). Marka ISSR hingga saat ini telah
berhasil digunakan untuk mempelajari keragaman genetik pada beberapa marga
dalam kelompok suku Fabaceae, misalnya marga Cicer (Amirmoradi et al. 2013).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman dan struktur
populasi tarum (I. tinctoria L.) berdasarkan marka ISSR, baik yang telah
dibudidayakan maupun tumbuh liar, di pulau Jawa dan Madura sebagai salah satu
langkah dalam mengeksplorasi varian tarum (I. tinctoria L.).
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Tarum (Indigofera tinctoria L.)
Suku Fabaceae merupakan kelompok tumbuhan berbunga yang bersifat
kosmopolit dengan perawakan berupa pohon, perdu, atau herba. Anggota suku
Fabaceae terdiri atas 440 marga dan 11.000 jenis. Banyak anggota dari suku ini
memiliki nilai ekonomi dan kemanfaatan tinggi, baik untuk bahan makanan,
industri tekstil, bahan bakar, tanaman hias, dan penutup lahan terbuka. Ciri yang
dimiliki oleh suku ini adalah perbungaan tandan; bunga aktinomorf hingga
zigomorf, banci; polen bertipe monad, tetrad, atau poliad; karpel beruang satu;
ovarium menumpang; buah berbentuk polong; biasanya tidak memiliki
endosperma; umumnya embrio berwarna hijau; stipula kadang termodifikasi
menjadi duri halus hingga tebal; elemen vasal memiliki lubang perforasi
sederhana; umumnya akar bernodul; mengandung ellagitannin (Balgooy 1998;
Kubitzki 2007).
Salah satu marga yang bernilai ekonomi tinggi adalah Indigofera. Marga
ini umum dimanfaatkan sebagai pewarna tekstil dan pakan ternak. Indigofera
merupakan tumbuhan dengan perawakan berupa pohon, perdu, atau herba dengan
ciri daun tunggal atau majemuk menyirip gasal dengan anak daun tersusun
berseling. Trikoma uniseluler dapat ditemukan di batang pada semua jenis
Indigofera. Daun penumpu berbentuk segitiga memanjang dengan ujung lancip
atau kadang menyegitiga dengan panjang bervariasi. Perbungaan bertipe tandan
dan muncul di ketiak daun. Bunga berbentuk kupu-kupu dengan lunas yang selalu
tertutup. Buah berbentuk polong bulat atau memanjang dengan jumlah biji yang
bervariasi (Kort & Thijsse 1984; Gao & Schrire 2010; Muzzazinah 2012).
Anggota marga Indigofera mencapai lebih dari 700 jenis yang tersebar
di daerah tropis dan subtropis (Schrire et al. 2009). Tujuh belas jenis ditemukan
di pulau Jawa sebagaimana tercantum di dalam Flora of Java, yakni I. arrecta
Hochst. ex A. Rich, I. colutea (Burm. f.) Merr., I. cordifolia Heyne ex Roth, I.
galegoides DC, I. glandulosa J.C. Wendl, I. guatemalensis Moc. & Sessé ex Prain
& Backer, I. hirsuta L., I. linnaei Ali, I. longeracemosa Boiv. ex Baill., I.
nigrescens Kurz ex King & Prain, I. oblongifolia Forssk., I. trifoliata L., I.
trita L., I. tinctoria L., I. spicata Forssk., I. suffruticosa Mill., dan I. zollingeriana
Miq. (Backer & Bakhuizen van den Brink 1963).
Indigofera arrecta Hochst. ex A. Rich, I. suffruticosa Mill., dan I.
tinctoria L. merupakan jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna batik
(Muzzazinah 2012; Herdiawan & Krisnan 2014). Akan tetapi, jenis Indigofera
yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami batik di Jawa
dan Madura adalah I. tinctoria L. yang dikenal masyarakat sebagai tarum
(Sunda), tom (Jawa), salaon (Medan). Berdasarkan catatan spesimen yang
disimpan di dalam Herbarium Bogoriensis (BO), tarum (I. tinctoria L.)
ditemukan tumbuh liar hampir di seluruh pulau Jawa dan Madura, seperti di
daerah Sumenep, Pamekasan, Sampang, Semarang, Jakarta, Mojokerto,
Surabaya, Jember, Situbondo, Kediri, Pasuruan, Banten, Cilacap, Kendal,
Kudus dan Klaten. Tarum budi daya juga dapat ditemukan di daerah Magelang,
Bantul, dan Kulonprogo. Selain di Indonesia, tarum dapat ditemukan juga di
5
Sri Lanka, India, Pakistan, Cina, Taiwan, Jepang, Vietnam, dan Filipina
(Lemmens & Wessel-Riemens 1992; Mattapha & Chantaranothai 2012).
Tarum (I. tinctoria L.) memiliki perawakan perdu pendek, tegak, dengan
tinggi mencapai 50-150 cm (Gambar 1a). Pada bagian akar terdapat nodul.
Daun bertipe majemuk menyirip gasal dengan anak daun berjumlah 9-17 helai
berwarna hijau kebiruan. Anak daun tersusun berhadapan, berbentuk membundar
telur sungsang hingga melonjong dengan ujung membundar atau bergubang.
Perbungaan bertipe tandan yang terdapat di ketiak daun (Gambar 1c). Bentuk
bunga menyerupai kupu-kupu yang terbagi menjadi bendera, sayap, dan lunas.
Bagian bendera berwarna hijau pada bagian tengah sedangkan bagian tepi
berwarna kemerahan. Bagian sayap berwarna merah muda menyolok. Buah
bertipe polong tersusun dalam tandan dan berbentuk lurus atau semi-sirkular di
bagian ujungnya tetapi tidak pernah melancor (Gambar 1b). Polong muda
berwarna hijau dan menjadi coklat ketika tua (Backer & Bakhuizen van den
Brink 1963; Kort & Thijsse 1984; Gao & Schrire 2010). Bentuk anak daun dan
tipe ujung anak daun merupakan ciri pembeda utama I. tinctoria L. dengan I.
arrecta Hochst. Ex A. Rich. dan I. suffruticosa Mill.
Gambar 1 Profil tumbuhan tarum (I. tinctoria L.). a. Perawakan, b. Buah dan Biji,
c. Bunga
Tumbuhan tarum (I. tinctoria L.) telah digunakan sebagai pewarna alami
di Cina sejak 6000 tahun yang lalu dan India sejak 4000 tahun yang lalu (SequinFrey 1981). Organ tarum yang digunakan sebagai penghasil warna adalah daun
dan ranting muda. Tarum (I. tinctoria L.) juga dimanfaatkan untuk mewarnai
batik oleh perajin batik di pulau Jawa dan Madura, sedangkan masyarakat Samosir
memanfaatkannya untuk mewarnai benang dalam pembuatan kain ulos (Niessen
2009). Zat pewarna yang terkandung pada daun tarum diekstrak melalui
perendaman dalam air. Senyawa glukosida indikan yang terkandung dalam daun
tarum akan dihidrolisis menjadi senyawa indoksil dan glukosida, kemudian
6
senyawa indoksil akan teroksidasi ketika terpapar udara sehingga muncul warna
biru (Gambar 2) (Chanayath et al. 2002; Kasmudjo & Saktianggi 2011).
Gambar 2 Reaksi pembentukan warna indigo (Glowacki et al. 2012)
Indigo telah digunakan sebagai pewarna alami tekstil sejak sebelum
pewarna sintetis ditemukan. Ekstraksi indigo dari tumbuhan tarum (I. tinctoria
L.) dimulai di India, Mesir, dan Cina kemudian disebarluaskan ke negara tropis
lain termasuk Indonesia, sedangkan indigo di Thuringia (Eropa) berasal dari
tumbuhan woad (Isatis tinctoria L.). Indigo yang diekstrak dari tarum memiliki
tingkat kualitas warna yang lebih baik dibandingkan dengan indigo yang diekstrak
dari Isatis tinctoria L., sehingga industri tekstil Eropa mulai mengimpor indigo
dari India dan Indonesia (Glowacki et al. 2012). Perkembangan pewarna alami
mengalami fluktuasi dengan kemasyhuran Indigofera di Indonesia yang tercatat
pada tahun 1918-1925. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1921 mencapai
69.777 kg berat kering (Heyne 1987). Impor indigo yang berasal dari tarum
menurunkan aktivitas industri pewarna alami Eropa, sehingga pada tahun 1865
Johann Friedrich Wilhelm Adolf von Baeyer, ahli kimia dari Jerman, mulai
meneliti struktur kimia indigo dan berhasil membuat indigo sintesis pada tahun
1880. Pewarna indigo alami perlahan mulai digantikan oleh indigo sintetik dan
pada tahun 1913 pewarna indigo yang digunakan untuk keperluan tekstil berasal
dari indigo sintetik (Sequin-Frey 1981; Glowacki et al. 2012).
Struktur Populasi
Setiap organisme hidup membentuk populasi di alam. Keberadaan suatu
populasi ditandai dengan adanya interaksi kerjasama atau penghambatan antar
anggota sehingga laju pertumbuhan populasi tergantung pada ukuran atau
kepadatan populasi disamping faktor lingkungan fisik tempat populasi itu berada.
Pada organisme dengan jenis kelamin terpisah, perkawinan merupakan faktor
penting untuk menjaga kelangsungn hidup populasi. Interaksi antar individu tidak
terbatas hanya sesama jenis saja tetapi juga dapat terjadi antar jenis yang
berlainan. Kelangsungan hidup suatu jenis umumnya tergantung pada keberadaan
jenis lain, baik berfungsi sebagai makanan, perantara kawin, maupun
perlindungan dari bahaya (Nei 1975).
Populasi adalah kumpulan dari individu-individu yang dihubungkan oleh
ikatan perkawinan dan induk, dengan kata lain populasi adalah kumpulan dari
individu-individu yang sejenis. Umumnya, populasi alami terdiri atas kelompokkelompok individu yang tersebar merata di suatu daerah sehingga struktur
7
genetika populasinya harus dijabarkan berdasarkan persebaran geografi dari
frekuensi gen atau genotipenya. Struktur genetika suatu populasi ditentukan
berdasarkan sejumlah besar lokus yang ada. Selain itu, genetika populasi juga
mengamati kodrat suatu gen yang dimiliki oleh suatu jenis sehingga dapat
digunakan untuk menghitung atau memperkirakan hasil akhir dari seleksi alam
karena seleksi alam muncul dari bagaimana individu-individu berinteraksi dengan
lingkungan yang cenderung mengalami perubahan. Oleh karena itu, genetika
populasi bertujuan mempelajari struktur genetika populasi dan hukum yang
mengubah struktur genetik, yakni tipe dan frekuensi gen atau genotipe yang
terdapat di dalam populasi (Nei 1975; Templeton 2006).
Ketidakseragaman sangat umum terjadi di dalam sebuah populasi. Pada
populasi yang besar, terjadi ketidakseragaman kesempatan untuk kawin
sebagaimana diasumsikan oleh Hardy-Weinberg. Ketidakseragaman kesempatan
untuk kawin umumnya disebabkan oleh adanya jarak pemisah, baik ruang ataupun
waktu, yang terjadi secara terus-menerus sehingga anggota dalam populasi
menjadi terisolasi dan terbagi menjadi populasi yang lebih kecil (subpopulasi)
(Gambar 3). Pada populasi yang terisolasi, peluang terjadinya kawin antar
keluarga (inbreeding) menjadi tinggi dan aliran gennya menjadi rendah. Tanpa
adanya aliran gen yang cukup untuk menjaga perkawinan acak, maka pergeseran
genetik menyebabkan divergensi frekuensi alel antar subpopulasi (Hamilton 2009).
Keadaan seperti ini, jika terus terjadi akan menyebabkan variasi genetik dalam
populasi yang telah terpisah tersebut menjadi rendah.
Gambar 3
Stuktur populasi dan divergensi frekuensi alel yang disebabkan oleh
terbatasnya aliran gen (Hamilton 2009)
Terjadinya divergensi frekuensi alel menunjukkan bahwa terdapat
keragaman genetik, baik di dalam populasi maupun antar populasi. Keragaman
genetik di dalam populasi terjadi ketika terdapat polimorfisme atau heterozigositas
pada lokus tertentu, sedangkan keragaman genetik antar populasi terjadi jika
terdapat perbedaan frekuensi alel dan genotipe antar populasi. Keragaman genetik
di dalam dan antar populasi dipengaruhi oleh proses evolusi, seperti pergeseran
genetik, mutasi, aliran gen, dan seleksi. Pergeseran genetik dapat menurunkan
tingkat keragaman di dalam populasi tetapi meningkatkan keragaman antar
populasi. Mutasi dan aliran gen dapat meningkatkan keragaman di dalam
8
maupun antar populasi. Seleksi dapat menurunkan atau meningkatkan keragaman
di dalam maupun antar populasi (Hamilton 2009).
Perbedaan ketinggian tempat dapat mempengaruhi tingkat keragaman
genetic di dalam populasi, seperti pada Pinus brutia dan Sophora moorcroftiana.
Meningkatnya keragaman disebabkan oleh clinal variation terhadap frekuensi
alel (Kara et al. 1997; Liu et al. 2006). Rendahnya keragaman genetik di dataran
yang lebih rendah dimungkinkan karena dampak negatif aktivitas manusia dan
fragmentasi habitat seperti pembukaan dan perluasan lahan untuk kebun atau
sawah. Sebaliknya, di dataran yang lebih tinggi kurang dapat dijangkau oleh
aktivitas manusia karena hanya dimanfaatkan sebagai tempat menggembala ternak
sehingga populasi S. moorcroftiana tidak mendapat banyak gangguan seperti
halnya di dataran rendah (Liu et al. 2006).
Pada tumbuhan Dillwynia tenuifolia, keragaman genetik di dalam
populasi sangat tinggi dibandingkan dengan yang umumnya ditemui pada
tumbuhan suku Fabaceae sedangkan keragaman genetik antar populasi sangat
rendah (Hamrick & Godt 1996). Pada D. tenuifolia diperkirakan bahwa aliran
gen yang tinggi terjadi melalui perpindahan polen yang efektif antar populasi
dengan bantuan agen penyerbukan seperti lebah.
Keragaman genetik di dalam populasi pada kacang lima menunjukkan
adanya korelasi antar jumlah populasi yang diamati. Mekanisme inbreeding pada
kacang lima menghasilkan sejumlah besar alel homozigot dan penyebaran gen di
dalam populasi tidak cukup kuat untuk menjaga pemaduan gamet secara acak (Bi
et al. 2003). Pada populasi dengan jumlah individu yang sedikit, hanya sedikit
jumlah a lel dapat diamati sehingga tingkat heterozigositasnya lebih rendah
yang disebabkan oleh fiksasi alel. Korelasi antar heterozigositas dan ukuran
populasi efektif juga diharapkan untuk lokus yang termasuk dalam kategori
lokus dengan tingkat heterozigositas rendah pada populasi yang kecil
(Montgomery et al. 2000; Hedrick 2001).
Struktur genetika populasi memiliki peran penting dalam penyusunan
strategi konservasi. Sebelum menentukan tindakan konservasi, status struktur
populasi perlu diketahui terlebih dahulu. Informasi mengenai struktur genetika
populasi diperlukan sebagai dasar untuk menentukan apakah status populasi
yang dikaji berada dalam keadaan aman atau terancam. Penentuan status
populasi sangat penting untuk diketahui agar dapat ditentukan apakah suatu
populasi akan dikelola sebagai unit yang berbeda atau tidak sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap populasi yang sedang dikaji (Rao &
Hodgkin 2002).
Marka Molekuler ISSR
Pengembangan teknik-teknik molekuler berbasis DNA merupakan alat
untuk menganalisis genom tumbuhan. Teknik ini dapat mengurangi adanya
keterbatasan sifat dari marka morfologi seperti rendahnya polimorfisme, pengaruh
deleterious, pleiotropi dan epistasis (Weising et al. 2005). Sejumlah besar metode
menggunakan marka molekuler yang cepat dan membutuhkan sedikit sampel
DNA telah dikembangkan. Beberapa marka berbasis PCR yang banyak digunakan
adalah amplified fragment length polymorphism (AFLP), random amplified
9
polymorphism DNA (RAPD), dan mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat
(SSR) (Spooner et al. 2005).
Inter-simple sequence repeat (ISSR) merupakan marka semi acak yang
diamplifikasi oleh primer yang komplementer terhadap suatu target mikrosatelit.
Marka ini dikembangkan dari daerah yang terletak di antara dua lokus
mikrosatelit. Teknik genotyping menggunakan marka ISSR didasarkan pada
variasi yang terdapat dalam sekuen yang terletak di antara duan sekuen
mikrosatelit yang berdekatan (Zietkiewics et al. 1994). Awalnya Zietkiewics et
al. (1994) menggunakan primer tunggal dengan ulangan (CA)n dengan
menambahkan nukleotida spesifik pada ujung pelekatan 3- atau 5- (Gambar 4).
Primer tunggal yang telah didesain dapat berperan sebagai primer forward yang
akan mengamplifikasi cetakan DNA ke arah downstream dan primer reverse yang
akan mengamplifikasi cetakan DNA ke arah upstream. Karakteristik primer ISSR
yang memiliki sekuen tambahan dengan inti mikrosatelit umumnya bersifat sama
di dalam genom seluruh organisme, yakni memiliki tingkat variasi alel yang
tinggi dan potensial untuk analisis yang dapat diulang sehingga menjadikan
daerah ini sebagai marka molekuler yang unggul (Trojanwska & Balibok
2004).
Gambar 4 Wilayah amplifikasi marka Inter-simple sequence repeats (ISSR). Primer
tunggal dengan inti (CA)n yang telah dilekatkan dengan nukleotida
tambahan pada ujung 3- (panah putih) atau ujung 5- (panah hitam)
(Zietkiewicz et al. 1994)
Marka ISSR merupakan daerah di dalam DNA yang panjangnya sangat
bervariasi dalam suatu spesies yang sama (Salimath et al. 1995). Amplifikasi
menggunakan marka ISSR tidak membutuhkan informasi sekuen genom dan pola
pita multilokus yang dihasilkan sangat polimorfik. Ukuran pita DNA yang
diamplifikasi oleh primer ISSR berkisar 100-3000 pasang basa (Nagaoka &
Ogihara 1997). Metode ISSR sering digunakan untuk mempelajari sidik jari
genetik,
penandaan gen, deteksi variasi klon, identifikasi kultivar, analisis
filogenetik, deteksi ketidakstabilan genom, dan pengujian hasil hibridisasi pada
tumbuhan maupun hewan yang berkerabat dekat (Song 2005).
Metode ISSR-PCR dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih cepat
dibandingkan dengan metode lain seperti amplified fragment length polymorphism
10
(AFLP), random amplified polymorphism DNA (RAPD) dan restriction fragment
length polymorphism (RFLP). Amplifikasi dengan primer ISSR tetap dapat
dilakukan meskipun jumlah DNA yang dimiliki sedikit dan biaya yang
dibutuhkan juga lebih terjangkau karena tidak perlu dilakukan klon maupun
karakterisasi sekuen terlebih dahulu (Spooner et al. 2005; LTC 2010).
Marka ISSR saat ini telah berhasil digunakan untuk mempelajari
keragaman genetik baik untuk identifikasi jenis maupun infra-jenis. Pada tingkat
jenis, marka ISSR dapat digunakan untuk mengidentifikasi kompleks
Astragalus rhizanthus (Anand et al. 2010), 28 jenis Cassia liar (Mohanty et al.
2010), 6 jenis Sesbania (Bisoyi et al. 2010), 10 genotipe Vigna savi (Pardhe &
Satpute 2011), dan 5 jenis Cicer (Amirmoradi et al. 2013). Pada tingkat
infra-jenis, marka ISSR telah digunakan pada 6 turunan V. radiata hibrida
(Khajudparn et al. 2012) dan 21 kultivar Phaseolus vulgaris (Sadeghi &
Cheghamirza 2012).
11
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan April
2015. Isolasi dan amplifikasi DNA dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan
Biologi Molekuler Tumbuhan serta Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Koleksi Sampel
Aksesi tarum (I. tinctoria L.) dikoleksi berdasarkan metode jelajah yaitu
mengunjungi lokasi yang diketahui dan memungkinkan dijumpainya tumbuhan
tersebut tumbuh (Widjaja & Poerba 2004). Penentuan lokasi pengambilan sampel
didasarkan pada catatan koleksi spesimen di Herbarium Bogoriense (BO) dan
informasi langsung dari pembatik di Jawa dan Madura. Sampel yang diambil
berupa cabang dengan organ lengkap yang terdiri atas daun, bunga, buah dan biji
yang akan diproses menjadi herbarium kering (Vogel 1987). Sebagian daun segar,
bersih, dan sehat dimasukkan ke dalam plastik klip yang berisi silika gel untuk
isolasi DNA.
Sebanyak 50 aksesi daun tarum (I. tinctoria L.) diperoleh dari 10 lokasi
yang tersebar di pulau Jawa dan Madura, yakni 6 lokasi yang mewakili pulau
Jawa (Cirebon, Serang, Tuban, Kulonprogo, Bantul, dan Gunung Kidul) dan 4
lokasi yang mewakili pulau Madura (Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan
Bangkalan) (Gambar 5, Tabel 1). Setiap lokasi dianggap sebagai satu populasi
sehingga terdapat 10 populasi tarum (I. tinctoria L.) yang dianalisis.
Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel tarum (I. tinctoria L.) di pulau Jawa dan
Madura. A=Cirebon, B=Serang, H=Tuban, J=Kulonprogo, K=Bantul,
L=Gunung Kidul, P=Sumenep, Q=Pamekasan, S=Bangkalan,
T=Sampang
12
Tabel 1 Identitas aksesi tarum (I. tinctoria L.), asal lokasi, dan nama
populasi
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Kode Aksesi
yayin023, yayin024, yayin025
yayin026, yayin027, yayin028
yayin029, yayin030, yayin031
yayin036, yayin037, yayin038
yayin039, yayin040, yayin041
hariri001
hariri004, hariri005
hariri007
yayin045, yayin046, yayin047
yayin068, yayin069, yayin070
yayin077, yayin078, yayin089
yayin082, yayin083, yayin084,
yayin 084a
yayin085, yayin086, yayin087
yayin103, yayin104, yayin105
yayin132, yayin133, yayin134
yayin106, yayin107, yayin108
yayin109, yayin110, yayin111
yayin115, yayin116, yayin117
Asal Lokasi
Burneh, Bangkalan
Halim Perdana Kusuma, Bangkalan
Tanjung Bumi, Bangkalan
Jenma, Pamekasan
Tlanakan, Sampang
Pakandhangan, Sumenep
Battangan, Sumenep
Andulang, Sumenep
Kerek, Tuban
Wonosari, Gunung Kidul
Slili beach, Gunung Kidul
Banaran, Kulonprogo
Nama Populasi
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan
Pamekasan
Sampang
Sumenep
Sumenep
Sumenep
Tuban
Gunung Kidul
Gunung Kidul
Kulonprogo
Stadion Bantul, Bantul
Srigading, Bantul
Piyungan, Bantul
Babatan, Cirebon
Kejawanan, Cirebon
Sukajaya, Serang
Bantul
Bantul
Bantul
Cirebon
Cirebon
Serang
Isolasi DNA Total
DNA tarum (I. tinctoria L.) diisolasi menggunakan metode cetyl trimethyl
ammonium bromide (CTAB) (Tiwari et al. 2012) yang telah dimodifikasi.
Sebanyak 0.2 g daun kering ditambah dengan 1000 μl larutan pencuci kemudian
digerus hingga halus menggunakan mortar. Cairan dimasukkan ke dalam tabung 2
ml dan ditambahkan kembali dengan 1000 μl larutan pencuci. Tabung tersebut
diinkubasi pada suhu -20 ᵒC selama 20 menit kemudian disentrifuse dengan
kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dari tabung kemudian
ditambah 1000 μl larutan ekstraksi ke dalam tabung. Selanjutnya tabung tersebut
diinkubasi pada suhu 65 ᵒC selama 20 menit dan setiap 5 menit tabung dibolakbalik secara perlahan. Setelah inkubasi, tabung disentrifuse dengan kecepatan
12000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung 2 ml baru
dan ditambah CTAB sebanyak 1/10x volume supernatan serta CI (24:1)
sebanyak 1x volume supernatan, kemudian disentrifuse kembali dengan
kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung
1.5 ml dan ditambah isopropanol dingin sebanyak 0.6x volume supernatan,
kemudian campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu -20 ᵒC selama 1
jam. Setelah inkubasi, tabung tersebut disentrifuse dengan kecepatan 12000 rpm
selama 10 menit. Supernatan dibuang dari tabung dan ke dalam tabung ditambah
1000 μl etanol absolut dingin, kemudian disentrifuse kembali dengan kecepatan
12000 rpm selama 4 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringanginkan.
Setelah kering, sebanyak 100 μl TE pH 8 ditambahkan ke dalam tabung dan DNA
disimpan di dalam lemari es.
13
Amplifikasi dan Visualisasi DNA
DNA tarum diamplifikasi menggunakan ESCO Swift™ Maxi model
SWT-MY-BLC-7 (USA). Lima belas primer ISSR yang digunakan pada
penelitian ini telah berhasil digunakan untuk menganalisis keragaman genetik
tumbuhan Sesbania, V. radiata, dan V. savi (Bisoyi et al. 2010; Pardhe &
Satpute 2011; Khajudparn et al. 2012) (Tabel 1). Setiap reaksi ISSR-PCR
diamplifikasi dalam volume 25 μl yang terdiri dari 2.5 μl DNA, 1 μl primer
ISSR, 12.5 μl 2X GoTaq® Green PCR Mix pH 8.5 (mengandung 400 μM
dATP, 400 μM dGTP, 400 μM dCTP, 400 μM dTTP, 3 mM MgCl 2), and 9 μl
air bebas nuklease (Promega, USA). Proses amplifikasi terdiri dari denaturasi awal
pada suhu 94 ᵒC selama 3 menit, kemudian diikuti dengan 30 siklus denaturasi
pada 94 ᵒC selama 1 menit, penempelan primer pada 45-51 ᵒC selama 45-60 detik,
pemanjangan primer pada 72 ᵒC selama 2 menit, dan selanjutnya pemanjangan
primer akhir selama 10 menit pada suhu 72 ᵒC (Bisoyi et al. 2010; Pardhe &
Satpute 2011; Khajudparn et al. 2012). Produk hasil PCR dielektroforesis pada gel
agarosa 1% dalam 1X buffer TBE yang ditambahkan dengan 1 μl ethidium
bromida (1 μg/ml), pada tegangan 80 V selama 90 menit. Pola pita diamati di
bawah cahaya UV dan difoto menggunakan uv-transilluminator (WiseDoc,
Germany).
Analisis Data
Pita polimorfik dari hasil elektroforesis dinilai nol (0) jika tidak terdapat
pita dan satu (1) jika terdapat pita pada posisi yang sama untuk setiap aksesi
yang dibandingkan. Data yang diperoleh disusun dalam satu matriks data dan
digunakan untuk menghitung koefisien kemiripan simple matching (SM)
(Kosman & Leonard 2005). Koefisien kemiripan SM digunakan untuk
mengkonstruksi diagram analisis komponen utama atau principal component
analysis (PCA) dan dendrogram menggunakan analisis Sequential Agglomerative
Hierarchial and Nested Clustering (SAHN) dengan metode Unweighted Pair
Group Method with Arithmatic Average (UPGMA) melalui program Numerical
Taxonomy and Multivariate Analisys System for PC (NTSys- PC) versi 2.1.1a
(Exeter Software, New York) (Rohlf 1998). Jarak genetik Nei, analisis variasi
molekuler (AMOVA), dan struktur populasi yang meliputi indeks Shannon,
keragaman genetik, persentase lokus polimorfik dihitung menggunakan program
Genetic Analysis in Excel (GenAlex) versi 6.501 (Peakall & Smouse 2012).
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi dan Profil Primer ISSR
Lima belas primer ISSR yang digunakan untuk mendeterminasi keragaman
50 aksesi tarum (I. tinctoria L.) berhasil mengamplifikasi sekuen genom tarum (I.
tinctoria L.) dengan pola, jumlah dan ukuran pita yang bervariasi antar aksesi dan
primer. Sebanyak 123 pita dihasilkan dari 15 primer ISSR yang digunakan dan 84
pita bersifat polimorfik. Jumlah pita yang diamplifikasi oleh masing-masing primer
berkisar 5-11 pita dengan panjang pita berkisar 250-2500 pasang basa (pb) dan
persentase polimorfisme pita berkisar 50-90% dengan rata-rata 68.3% (Tabel
2).
Tabel 2 Sekuen primer ISSR dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura
No
Sekuen Primer (5’-3’) Ukuran Fragmen (pb)
JP
JPP
PPP (%)
1
2
(GA)9T
T(GA)9
250-1300
250-1500
8
9
5
6
62.5
66.7
3
(CT)8T
250-1500
9
7
77.8
4
(GT)8A
500-2000
9
5
55.6
5
(GT)8T
500-1500
7
5
71.4
6
(AG)8T
250-2000
11
6
54.5
7
(AG)8C
500-1500
5
3
60.0
8
(AC)8T
500-2500
9
5
62.5
9
(AG)8TC
250-1500
8
4
50.0
10
(AG)8YA
250-1700
9
6
66.7
11
(GA)8YC
250-750
5
4
80.0
12
(CA)8RC
500-2500
10
9
90.0
13
(AC)8YA
250-1500
7
5
71.4
14
(AC)8YG
250-1500
9
8
88.9
15
(TG)8RT
350-1700
8
6
66.7
Total
123
84
Rata-Rata
8.2
68.3
Keterangan: Y = pirimidin (C,T); R = purin (A,G)
JP=Jumlah pita; JPP=Jumlah pita polimorfik, PPP=Persentase pita polimorfik
Primer (AG)8C dan (GA)8YC menghasilkan lebih sedikit pita (5 pita)
sedangkan primer (AG)8T menghasilkan lebih banyak pita (11 pita) dibandingkan
dengan primer lainnya. Sedikitnya jumlah pita yang diamplifikasi oleh primer
(AG)8C dan (GA)8YC mungkin disebabkan oleh sedikitnya sekuen komplemen
dari pola (AG)8C dan (GA)8YC dibandingkan dengan pola (AG)8T pada genom
tarum (I. tinctoria L.).
Kelimpahan sekuen komplementer suatu primer yang diamati tidak selalu
berhubungan dengan tingginya persentase polimorfisme pita. Primer (AG)8T
menghasilkan 11 pita, tetapi nilai persentase polimorfismenya menunjukkan nilai
yang lebih rendah (54.5%) dibandingkan primer lainnya, misalnya primer
15
(GA)8YC yang hanya menghasilkan 5 pita tetapi persentase polimorfisme tinggi
(80%). Sekuen komplementer primer (AG)8T dimungkinkan melimpah dalam
genom tarum (I. tinctoria L.), tetapi tidak bersifat spesifik karena juga
ditemukan cukup melimpah pada sekuen milik Vigna radiata hibrida,
Pandanus, dan Freycinetia (Rahayu et al. 2007; Khajudparn et al. 2012).
Jumlah pita yang berhasil diamplifikasi pada penelitian ini lebih sedikit
dibandingkan Khajudparn et al. (2012), tetapi lebih banyak dibandingkan Bisoyi
et al. (2010) serta Pardhe dan Satpute (2011). Persentase pita polimorfik yang
dihasilkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian Khajudparn
et al. (2012), tetapi relatif sama dengan penelitian Bisoyi et al. (2010) dan
Pardhe dan Satpute (2011) (Tabel 3).
Tabel 3 Perbandingan aksesi dan profil pita hasil amplifikasi DNA tarum (I.
tinctoria L.) di pulau Jawa dan Madura terhadap hasil penelitian
rujukan
Pembanding
Nama jenis
Tingkatan takson
Jumlah sampel
Jumlah primer
Jumlah pita total
Polimorfisme (%)
Saat ini
Indigofera
tinctoria
Infra jenis
50
15
123
50-90
Bisoyi et al.
(2010)
Sesbania
spp.
Antar jenis
6
4
43
92-100
Pardhe &
Satpute (2011)
Kompleks
Vigna savi
Antar jenis
10
3
37
20-83
Khajudparn
et al. (2012)
Vigna radiata
Hibrida
6
10
1038
0.8-25
Perbedaan jumlah pita yang teramplifikasi dan persentase polimorfisme
pita antara penelitian ini dan sebelumnya dimungkinkan oleh adanya perbedaan
pada jenis tumbuhan, tingkatan takson, jumlah sampel, maupun jumlah primer
yang digunakan. Bisoyi et al. (2010) menganalisis 6 jenis Sesbania menggunakan
4 primer ISSR, Pardhe dan Satpute (2011) menganalisis 10 genotipe V. savi
menggunakan 3 primer ISSR, dan Khajudparn et al. (2012) menganalisis 6
aksesi kacang hijau hibrida menggunakan 10 primer ISSR.
Pada analisis keragaman genetik antar jenis, persentase pita polimorfik
yang dihasilkan umumnya lebih besar (20-83% dan 92-100%) dibandingkan
dengan infra jenis (0.8-25% dan 50-90%). Perbedaan tersebut disebabkan oleh ada
tidaknya sekuen komplementer untuk setiap primer ISSR yang digunakan serta
ukuran fragmen yang diamplifikasi menggunakan setiap primer ISSR juga cukup
bervariasi pada tumbuhan yang berbeda. Selain itu, dapat diketahui juga bahwa
terdapat primer ISSR yang bersifat umum (universal) yang dapat digunakan untuk
jenis berbeda, seperti primer (AG)8T yang juga berhasil digunakan dalam
menganalisis keragaman genetik kacang hijau hibrida dan pandan-pandanan
(Rahayu et al. 2007; Khajudparn et al. (2012).
Semakin banyak jumlah aksesi dan primer yang digunakan maka jumlah
pita yang dihasilkan akan semakin beragam (Hedrick 1985; Ellstrand & Elam
1993). Namun, semakin banyaknya aksesi ataupun primer yang digunakan tidak
selalu dapat menunjukkan hasil yang sesuai karena faktor tipe aksesi yang
dianalisis juga dapat mempengaruhi jumlah keragaman pita yang dihasilkan
sebagaimana penelitian yang dilakukan Khajudparn et al. (2012). Sampel berupa
kacang hijau hibrida menghasilkan pita dengan tingkat polimorfisme yang rendah
16
karena dimungkinkan pita monomorfik yang merupakan akumulasi hasil
hibridisasi dari kedua tetuanya lebih banyak teramplifikasi.
Berdasarkan visualisasi pola pita amplifikasi primer (AG)8T (Gambar 6),
dapat diketahui dua macam pita, yakni pita umum (300, 750, 1500, 1700,
dan 2000 pb) dan pita khusus (250, 500, 600, 900, 1000, dan 1300 pb). Pola pita
khusus yang menjadi penanda populasi dari Cirebon (A2 dan A3) adalah pita 250,
500, 900 dan 1000 pb yang tidak ditemukan pada populasi lainnya, misalnya saja
B3 yang memiliki pita 250 pb dan 500 pb tetapi tidak memiliki pita 900 pb dan
1000 pb. Populasi dari Cirebon dan Serang tidak memiliki pita 1300 pb,
sebagaimana dimiliki populasi dari pulau Jawa lainnya yakni Tuban, Kulonprogo,
Bantul, dan Gunung Kidul.
Gambar 6 Profil pita primer (AG)8T. M=DNA Ladder 1 kb, A2,3=Cirebon, B3=Serang,
H1,2=Tuban, J1,2=Kulonprogo, K1,3,8=Bantul, L1,2,3=Gunung Kidul,
P2=Sumenep, Q1,3=Pamekasan, S1,6=Bangkalan, T1,3=Sampang. CB=pita
umum, SB=pita khusus
Tingginya persentase polimorfisme pita y