Pengembangan Berbagai Modifikasi Serat Tandan Kosong Sawit Pada Pembuatan Biofoam

PENGEMBANGAN BERBAGAI MODIFIKASI SERAT
TANDAN KOSONG SAWIT PADA PEMBUATAN BIOFOAM

ETIKANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan berbagai
Modifikasi Serat Tandan Kosong Sawit pada Pembuatan Biofoam adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017
Etikaningrum
NIM F251140151

RINGKASAN
ETIKANINGRUM. Pengembangan berbagai modifikasi serat tandan kosong sawit
pada pembuatan biofoam. Dibimbing oleh JOKO HERMANIANTO, EVI
SAVITRI IRIANI dan RIZAL SYARIEF.
Salah satu jenis plastik yang populer sebagai bahan pengemas makanan dan
minuman adalah styrofoam, namun styrofoam memiliki banyak dampak negatif
bagi kesehatan dan lingkungan. Pengembanggan bio-base polimer seperti
biodegradable foam atau biofoam sebagai alternatif pengganti styrofoam sudah
banyak dilakukan. Bahan yang banyak digunakan untuk pembuatan biofoam adalah
pati, namun biofoam yang dihasilkan dari pati murni masih memiliki sifat yang
rapuh, mudah patah dan mudah menyerap air. Untuk memperbaiki kekurangan
tersebut, konsentrasi pati pada adonan biofoam dapat dikurangi serta disubstitusi
dengan bahan lain diantaranya plasticizer, pati modifikasi, polimer sintetis dan
serat. Salah satu serat alam yang cukup potensial yaitu tandan kosong sawit (TKS).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembuatan biofoam dari
serat yang dimodifikasi dengan beberapa metode yang berbeda dan konsentrasi

yang berbeda.
Penelitian ini diawali dengan isolasi selulosa tandan kosong sawit dengan
metode pulping (STKS). Proses ekstraksi selulosa dilakukan dengan menggunakan
bahan kimia organik (organosolv pulping) seperti NaOH sebagai larutan pemasak.
Kadar α-selulosa yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 88,46%, rendemen
sebesaar 34,5% dan berbentuk bubuk berwarna putih. Hasil isolasi pulping process
kemudian dimodifikasi menjadi nanoselulosa dengan Ultra Fine Grinder (Masuko
Corp, Japan). Nanoselulosa yang dihasilkan berupa gel berwarna putih berukuran
92,07 nm (NSTKS). Modifikasi lainnya yaitu pembuatan selulosa asetat. Hasil
isolasi pulping process (STKS) diasetilasi dengan menggunakan asam asetat
anhidrat dengan beberapa perlakuan. Selulosa asetat yang dihasilkan berupa serbuk
berwarna putih kekuningan. Perlakuan terbaik diperoleh pada waktu asetilasi
selama 90 menit serta rasio selulosa dan asam asetat anhidrat 1:5 dengan kadar
asetil 41,61%, DS 2,64 dan rendemen 128,5 % (SATKS).
Selanjutnya dari ketiga jenis modifikasi tersebut dilakukan pembuatan
biofoam. Proses pembuatan biofoam dilakukan menggunakan teknik
thermopressing. Pembuatan biofoam dirancang menggunakan rancangan acak
faktorial dengan faktor jenis serat modifikasi (STKS, NSTKS, SATKS) dan
konsentrasi serat (1%, 3%, 5%). Parameter pengujian biofoam terdiri dari warna
(kecerahan dan ΔE*), kadar air, daya serap air, densitas, kuat tekan, morfologi,

kristalinitas, sifat termal, dan biodegradabilitas. Berdasarkan analisis sidik ragam
faktor jenis modifikasi serat berpengaruh terhadap warna (kecerahan dan ΔE*),
kadar air, daya serap air, densitas, dan kuat tekan. Konsentrasi serat berpengaruh
terhadap ΔE* dan kuat tekan. Interaksi antara kedua faktor hanya terdapat pada
parameter kuat tekan biofoam. Bedasarkan ketiga jenis modifikasi tersebut, STKS
5% menunjukkan hasil terbaik diantara jenis lainnya. Berdasarkan hasil pengujian,
jenis modifikasi STKS mampu meningkatkan nilai densitas, kuat tekan dan
menurunkan daya serap air serta biodegradabilitas yang tinggi.
Kata kunci : biofoam, nanoselulosa, selulosa, selulosa asetat, tandan kosong sawit

SUMMARY
ETIKANINGRUM. Development of modified cellulose fibers of palm empty fruit
bunches in biofoam production. Supervised by JOKO HERMANIANTO, EVI
SAVITRI IRIANI and RIZAL SYARIEF.
One type of the popular plastic as food and beverage packaging is styrofoam,
but styrofoam has many negative impacts on health and the environment.
Developed of bio based polymer such as biofoam as alternative to replace styrofoam
has been done. The main material to produce foam is starch, but biofoam produced
from pure starch usually still fragile, easily broken and easily absorb water. To
correct the weakness, starch consentration of biofoam dough must reduced and

substituted with other materials such plasticizer, starch modification, polymers and
synthetic fibers. One of the natural fibers of considerable potential, namely oil palm
empty fruit bunches (EFB). The purpose of this study was to determine the effect
biofoam produced from fibers modified with several different methods and with
different concentrations.
This study begins with the extraction of oil palm empty fruit bunches
cellulose by pulping process (STKS). Fiber separation process using organic
chemicals (organosolv pulping) with NaOH technical solution. This research
resulted in the presentation of alpha cellulose of 88.46, yield of 34.5% and white
powder structure. Furthermore, the extraction of cellulose pulping process (STKS)
modified using Ultra Fine Grinder (Masuko Corp, Japan). Nanoselulosa produced
in the form of a white gel size of 92.07 nm (NSTKS). Another modifications are
cellulose acetate. Cellulose acetate made from Cellulose isolation results (STKS)
and acetylation using acetic acid anhydride with a few treatments. Cellulose acetate
produced with yellowish-white powder. The best treatment was obtained at the time
of acetylation for 90 minutes and the ratio of cellulose and acetic acid anhydride 1:
5 with 41,61% acetyl content, DS 2,64 and a yield of 128,5% (SATKS).
The next step, biofoam was made by three types of modifications. The
process of making biofoam using thermopressing techniques. Production process
of biofoam designed using by factorial random design with different type of

modification fiber factor (STKS, NSTKS, SATKS) and consentration of fiber were
added (1%, 3%, 5%). Parameters testing of biofoam consist of color (Lightness and
ΔE*), water content, water absorption, density, compressive strength, morphology,
crystallinity, thermal properties, and biodegradability. Based on the analysis of
variance the type of fiber modification factor significantly affect to color (Lightness
and ΔE*), water content, water absorption, density and compressive strength.
Concentration of fiber significantly affect to ΔE* and compressive strength. Only
compressive strength parameter which has interaction between two factors. Based
on the three types of modifications, it seems STKS 5% showed the best result
among the other types. Based on test results, the types of modifications STKS able
to increase the density, compressive strength and lower water absorption and high
biodegradability.
Key words : biofoam, cellulose, cellulose acetate, empty fruit bunches,
nanocellulose.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN BERBAGAI MODIFIKASI SERAT
TANDAN KOSONG SAWIT PADA PEMBUATAN BIOFOAM

ETIKANINGRUM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. -Ing. Azis Boing Sitanggang. STP. M.Sc

PRAKATA
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini bertema kemasan
biodegradable, dengan judul Pengembangan berbagai Modifikasi Serat Tandan
Kosong Sawit pada Pembuatan Biofoam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto
M.Sc, Ibu Dr. Ir. Evi Savitri Iriani M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief,
DESS selaku pembimbing dan Balai Besar Penelitian Pengembangan Pascapanen
yang telah membiayai penelitian. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada semua staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, yang
telah membantu selama penelitian. Terimakasih kepada semua rekan dan staf Ilmu
Pangan atas saran dan bantuannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak, Ibu, Kakak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya
sehingga penulis mampu menyelesaikan studi dan penelitian ini. Semoga penelitian
ini bermanfaat demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Januari 2017

Etikaningrum

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

Hipotesis
Ruang Lingkup Penelitian
2 METODE
Bahan
Alat
Waktu dan lokasi penelitian
Prosedur Percobaan
Produksi serat modifikasi
Pengembangan produk biofoam
Analisis Statistik
Pembuatan selulosa asetat tandan kosong sawit
Pembuatan biofoam
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi serat modifikasi
Selulosa tandan kosong sawit (STKS)
Nanoselulosa tandan kosong sawit (NSTKS)
Selulosa asetat tandan kosong sawit (SATKS)
Karakterisasi Biofoam
Warna
Kadar air

Daya serap air
Densitas
Kuat tekan
Struktur Morfologi
Analisis Thermal
Kristalinitas
Hubungan keterkaitan antar parameter
Analisis Biodegradabilitas
Penentuan Biofoam terbaik
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

1
1
3
3
4
4
4

5
5
5
5
5
5
9
12
12
13
14
14
14
16
17
22
22
25
26
28
29
31
33
35
37
38
41
43
43
43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

44
53
70

DAFTAR TABEL
Formula adonan biofoam
Karakteritik hasil isolasi selulosa tandan kosong sawit
Karakterisasi selulosa asetat
Hasil analisis FTIR
Karakteristik selulosa asetat A3B3
Hasil analisis kecerahan (L) biofoam
Hasil analisis kadar air biofoam
Hasil analisis densitas biofoam
Hasil analisis DSC biofoam
Hasil analisis XRD biofoam
Nilai korelasi pearson antar parameter
Hasil analisis Biodegradabilitas biofoam
hasil pengujian biofoam pada semua parameter
Uji T perlakuan terbaik dibandingkan dengan biofoam tapioka murni
(Iriani 2013)
15. perlakuan terbaik dibandingkan dengan biofoam perlakuan terbaik
(Iriani 2013)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

10
15
18
20
21
22
25
29
35
36
38
40
42
42
43

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Diagram alir penelitian
Diagram alir proses pembuatan biofoam
(a) Serat tandan kosong sawit (b) STKS
(a) Analisa SEM NSTKS dan (b) (NSTKS
(a) Proses asetilasi (b)SATKS
Hasil FTIR (a) STKS (b) SATKS A3B3
Morfologi SEM selulosa asetat A3B3
Penampakan visual biofoam
Hasil analisis ΔE* biofoam
Hasil analisis daya serap air biofoam
Sudut hidrofobisitas pada permukaan biofoam
Hasil analisis kuat tekan biofoam
Penampakan morfologi biofoam
Hasil analisis DSC biofoam
Hasil Analisis XRD biofoam

9
10
14
16
18
20
21
23
24
26
28
30
32
34
36

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hasil analisis statistik kadar asetil selulosa asetat
Hasil analisis statistik derajat substitusi selulosa asetat
Hasil analisis statistik rendemen selulosa asetat
Hasil analisis statistik kecerahan (Lightness) biofoam
Hasil analisis statistik ΔE* biofoam
Hasil analisis statistik kadar air biofoam

54
55
56
57
58
59

Hasil analisis statistik daya serap air biofoam
Hasil analisis statistik densitas biofoam
Hasil analisis kuat tekan biofoam
Korelasi antara densitas dengan kadar air, daya serap air dan kuat
tekan
11. Korelasi antara kristalinitas dengan kadar air, daya serap air, kuat
tekan dan Tm
12. Independent Test biofoam STKS 5% dengan biofoam tapioka murni
(Iriani 2013) kecerahan, kadar air, daya serap air, densitas dan kuat
tekan
13. Independent Test biofoam STKS 5% dengan biofoam perlakuan
terbaik (Iriani 2013) kecerahan, kadar air, daya serap air, densitas dan
kuat tekan

7.
8.
9.
10.

60
61
62
63
64
64
67

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu jenis plastik yang populer sebagai bahan pengemas makanan dan
minuman adalah Polistirena foam (PS) atau yang lebih dikenal dengan nama dagang
styrofoam. Styrofoam banyak digunakan oleh produsen makanan sebagai bahan
pengemas produk makanan ataupun minuman sekali pakai, baik makanan siap saji,
segar maupun siap olah (Khalid et al. 2012). Banyak produsen pangan yang
mengemas produknya dengan styrofoam, begitu pula dengan produk-produk pangan
seperti bubur ayam, mie instan, bakso, kopi, dan yoghurt (BPOM 2008). Hal tersebut
dikarenakan keunggulan styrofoam yaitu tidak mudah bocor, praktis, ringan, murah,
dan mampu mempertahankan panas atau dingin, serta sering pula digunakan sebagai
bahan pengemas barang yang bersifat fragile (Sulchan dan Endang 2007). Selain
memiliki banyak keuntungan, ternyata styrofoam memiliki banyak dampak negatif
bagi kesehatan dan lingkungan.
Material pembuatan styrofoam terdiri dari campuran 90-95% polystyrene dan
5-10% gas seperti n-butana atau n-pentana, kemudian untuk kelenturannya,
ditambahkan zat plasticizer seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau
n butyl stearate (BPOM 2008). Bahan utama pembuat styrofoam yaitu monomer
stirena dapat bermigrasi pada pangan dan dalam jangka waktu yang lama dapat
membahayakan kesehatan seperti gangguan pada sistem syaraf, anemia,
meningkatnya resiko leukemia dan menyebabkan kanker (BPOM 2008). Residu
monomer stirena >5000 mg/l juga dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC),
yaitu gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan
kimia karsinogen dalam makanan (Yuliarti 2007). Selain itu, styrofoam dapat
menimbulkan masalah pada lingkungan karena sulit terurai di alam dan sulit didaur
ulang. Jika dibiarkan terus menerus, sampah styrofoam akan semakin menumpuk dan
dapat menjadi masalah lingkungan (BPOM 2008). Blowing agent yang digunakan
pada proses pembuatan styrofoam berupa CFC (Cloro Fluoro Carbon) dapat
merusak lapisan ozon di atmosfer sehingga menyebabkan global warming (Khomsan
2003).
Untuk mengurangi bahaya negatif dari penggunaan styrofoam, saat ini telah
dilakukan upaya pengembangan produk bio-based atau polimer bioplastik yang
berasal dari bahan alami sehingga lebih aman dan tidak mencemari lingkungan (Qiu
et al. 2013). Upaya tersebut didukung oleh peraturan pemerintah Nomor 81 Tahun
2012 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan
sampah. Salah satu kemasan bioplastik yang dapat menggantikan fungsi styrofoam
adalah biodegradable foam atau biofoam. Bahan yang banyak digunakan dalam
pembuatan biofoam adalah pati karena sifat biodegradabilitasnya yang tinggi, murah,
ketersediaannya melimpah, dan toksisitas rendah (Kaisangsri et al. 2012). Namun
biofoam yang dihasilkan dari pati mudah menyerap air dan rapuh. Hal ini
dikarenakan sifat pati yang higroskopis. Untuk memperbaiki kekurangan tersebut,
konsentrasi pati pada adonan biofoam dapat dikurangi serta disubstitusi dengan
bahan lain diantaranya plasticizer, pati modifikasi, polimer sintetis dan serat
(Salgado et al. 2008).

2
Ketersediaan serat di alam sangat melimpah dan jarang dimanfaatkan secara
komersial. Salah satu serat alam yang cukup potensial untuk dikembangkan yaitu
serat tandan kosong sawit (TKS). TKS merupakan limbah padat yang dihasilkan dari
industri minyak kelapa sawit yang belum termanfaatkan secara optimal. Umumnya
limbah TKS dibuang dengan cara dibakar, namun sudah banyak dimanfaatkan
menjadi pupuk, bahan pengisi produk serat berkaret seperti jok mobil, matras dan
papan komposit. Dalam pengolahan 1 ton tandan buah segar (TBS) akan
menghasilkan 220 Kg tandan kosong kelapa sawit dan diperkirakan limbah TKS di
Indonesia mencapai 20 juta ton (Ginting dan Rahutomo 2008). Dua bagian tandan
kosong sawit yang banyak mengandung selulosa adalah bagian pangkal dan bagian
ujung TKS yang agak runcing dan keras. Kandungan utama TKS adalah selulosa dan
lignin. Selulosa dalam TKS dapat mencapai 54-60%, sedangkan kandungan lignin
mencapai 22-27% (Hambali 2008). Kandungan serat yang cukup tinggi pada TKS
umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pengisi polimer karena harganya murah,
ringan, dan dapat diperbaharui (Darnoko 2001). Kandungan selulosa yang tinggi
pada TKS dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan biofoam
untuk meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya.
Kekuatan mekanik pada serat selulosa sangat dipengaruhi oleh ukuran diamater
serat. Semakin besar diameter serat maka semakin rendah nilai kekuatan tarik dan
modulus elastisitas bioplastik yang dihasilkan, demikian pula sebaliknya (Subyakto
et al. 2009). Selulosa yang berukuran nano diharapkan dapat meningkatkan sifat
mekanik pada biofoam yaitu kuat tekan yang lebih baik daripada biofoam yang
terbuat dari serat alami. Beberapa penelitian tentang pembuatan biofoam yang
menggunakan serat modifikasi diantaranya adalah biofoam dari PVA dan MFC
(micro fibrillated cellulose) (Avella et al. 2012), selulosa nanokristal asetat sebagai
penguat dan agen nukleasi dalam komposit poliester foam (Hu et al. 2015), biofoam
dari cross linking tapioka dan nanoselulosa dari serat tebu (Phaodee et al. 2015).
Selain memiliki sifat yang rapuh, masalah dari biofoam adalah sangat mudah
menyerap air. Hal ini dikarenakan sifat bahan utamanya yaitu pati bersifat
higroskopis (Salgado et al. 2008). Upaya untuk meningkatkan hidrofobisitas dapat
dilakukan dengan proses asetilasi, yaitu jenis modifikasi selulosa secara kimia dan
tergolong proses esterifikasi. Untuk memperoleh bioplastik diperlukan selulosa
asetat dengan kadar asetil 36,5-42,2% (Fengel dan Wegener 1995). Kadar asetil
selulosa asetat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya nisbah selulosa dan
asetat anhidrat, waktu asetilasi dan interaksi antar perlakuan (Susanti 2003). Untuk
memperoleh kadar asetil yang sesuai, pembuatan selulosa asetat membutuhkan
waktu asetilasi yang berbeda-beda tergantung jenis selulosa yang digunakan.
Kandungan selulosa didalam serat TKS memungkinkan untuk diolah menjadi
selulosa asetat. Proses asetilasi sudah banyak dilakukan dalam pembuatan bioplastik
untuk meningkatkan hidrofobisitas biofoam diantaranya penelitian Guan dan Hanna
(2004) tentang pati asetat jagung dan pati jagung pada pembuatan biofoam. Ganjyal
et al. (2004) membuat biofoam dari campuran pati asetat dan serat jagung, dan
penelitian tentang selulosa asetat nanofiber dan microfiber dari tandan kosong sawit
pada biofilm (Bahmid 2014). Selulosa asetat memiliki banyak kelebihan yaitu
kekuatan tarik yang baik, tahan panas, daya serap air rendah dan dapat
terbiodegradasi. Sifat tersebut menjadi indikasi sehingga selulosa asetat dapat
dimanfaatkan dalam bidang industri seperti coating, plastik, film, membran dan
tekstil (Puls et al. 2011).

3
Kelebihan dari modifikasi serat tersebut menyebabkan perlunya dilakukan
penelitian tentang pengaruh pengembangan berbagai modifikasi serat tandan kosong
sawit berupa nanoselulosa tandan kosong sawit (NSTKS) dan selulosa asetat tandan
kosong sawit (SATKS) pada pembuatan biofoam. Disamping itu penggunaan serat
modifikasi pada pembuatan biofoam untuk meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya
juga belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu umumnya membuat
biofoam menggunakan pati yang ditambahkan serat alami diantaranya serat aspen
(Lawton 2004), serat singkong dan serat gandum (Carr et al. 2006), Serat ekaliptus
(Schmidt dan Laurindo. 2010), serat tebu (Debiagi et al. 2011), dan serat ampok
jagung (Warsiki et al. 2012), Iriani (2013), Rahmatunisa (2015). Penelitian ini akan
mengembangkan pembuatan biofoam dari tandan kosong sawit berupa STKS
(selulosa tandan kosong sawit), NSTKS (nanoselulosa tandan kosong sawit) dan
SATKS (selulosa asetat tandan kosong sawit) yang akan dicampur dengan tapioka,
PVA, dan Mg stearat dengan teknik thermopressing. Kemudian biofoam yang
dihasilkan masing masing akan dibandingkan sehingga mendapatkan biofoam
dengan sifat fisik dan mekanik terbaik. Diharapkan biofoam yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai wadah kemasan pangan yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Perumusan Masalah
Styrofoam merupakan jenis plastik yang populer digunakan sebagai bahan
pengemas makanan dan minuman, namun styrofoam berbahaya bagi kesehatan
karena monomernya berupa stirena dapat bermigrasi pada pangan yang dikemas.
Sampah styrofoam yang menumpuk juga dapat mencemari lingkungan karena tidak
bisa terurai dialam. Pembuatan biofoam sebagai alternatif pengganti styrofoam sudah
banyak diteliti, namun biofoam yang dihasilkan masih memiliki karakteristik mudah
patah, rapuh dan mudah menyerap air. Oleh karena itu diperlukan bahan tambahan
yang dapat memperbaiki kekurangan biofoam, yaitu dengan menambahkan serat
modifikasi. Serat modifikasi berupa STKS, NSTKS dan SATKS diaplikasikan
sebagai bahan tambahan pada pembuatan biofoam dengan konsentrasi yang berbeda,
sehingga diharapkan dapat menghasilkan karakteristik fisik dan mekanik biofoam
yang baik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan biofoam dengan menambahkan
serat modifikasi yang berbeda yaitu STKS dan NSTKS (untuk meningkatkan
kekuatan mekanik) serta SATKS (untuk meningkatkan hidrofobisitas) sehingga
menghasilkan karakteristik fisik dan mekanik biofoam terbaik. Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap dengan tujuan
yaitu:
1) Mengetahui karakteristik serat modifikasi yang dihasilkan.
2) Mengetahui kondisi proses tebaik pembuatan selulosa asetat sehingga
menghasilkan selulosa asetat dengan kadar asetil 36,5 - 42,2% (Fengel dan
Wegener 1995).
3) Mengetahui jenis modifikasi dan konsentrasi selulosa yang tepat sehingga dapat
menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik dan mekanik yang baik.

4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan biofoam yang dapat menjadi
alternatif pengganti styrofoam yang mampu terdegradasi oleh mikroba sehingga
dapat mengurangi pencemaran lingkungan, serta aman bagi kesehatan manusia.

Hipotesis
1. Serat modifikasi STKS dan NSTKS dapat meningkatkan kekuatan mekanik serta
SATKS dapat meningkatkan hidrofobisitas sehingga dapat memperbaiki
karakteristik fisik dan mekanik biofoam.
2. Perbedaan serat modifikasi dan konsentrasi serat akan berpengaruh pada
karakteristik fisik dan mekanik biofoam yang dihasilkan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap utama yaitu:
1. Produksi serat modifikasi
a) Produksi selulosa tandan kosong sawit (STKS) dengan metode pulping process,
kemudian karakterisasi meliputi kadar air, rendemen dan kadar α selulosa.
b) Produksi nanoselulosa tandan kosong sawit (NSTKS) dengan metode grinding,
kemudian karakterisasi meliputi kadar air dan sifat morfologi.
c) Produksi selulosa asetat tandan kosong sawit (SATKS) dengan metode asetilasi
dengan beberapa perlakuan, kemudain karakterisasi meliputi kadar asetil,
derajat substitusi, rendemen, gugus fungsi, kadar air, dan morfologi. Perlakuan
terbaik dipilih untuk pembuatan biofoam berdasarkan kadar asetil yang sesuai
untuk pembuatan bioplastik dengan rendemen tertinggi.
2. Pengembangan produk biofoam
Pengembangan biofoam terbuat dari serat modifikasi STKS, NSTKS dan
SATKS ditambahkan PVA, Mg stearat dan air, lalu dicetak dengan teknik
thermopressing. Kemudian biofoam yang dihasilkan dianalisis meliputi:
- Analisis sifat fisik: warna, kadar air, daya serap air, dan densitas.
- Analisis sifat mekanik: kuat tekan dengan Tekstur analyzer.
- Analisis sifat morfologi dengan SEM (Scanning Electron Microscopy).
- Analisis sifat thermal dengan DSC (Differential Scanning Calorimetry).
- Analisis sifat kristalinitas dengan XRD (X-ray Difraction).
- Analisis sifat biodegradabilitas secara kualitatif menggunakan kapang
Aspergillus niger.
Biofoam yang dihasilkan masing-masing dibandingkan dengan parameter uji
sehingga didapatkan karakteristik fisik dan mekanik terbaik.

5

2 METODE
Bahan
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tandan kosong kelapa
sawit diperoleh dari PTPN 7 Lampung, NaOH teknis, hipoklorit teknis, Asam asetat
glasial untuk analisis EMSURE® ACS ISO Reag, asam asetat anhidriat untuk
analisis EMSURE® ACS ISO Reag, asam sulfat pekat, aquades dan bahan-bahan
kimia untuk analisis kadar asetil yang meliputi NaOH, HCL, etanol 75%, dan
indikator fenoftalein. Bahan untuk pembuatan biofoam yaitu tepung tapioka
komersial yang diperoleh dari pasar, magnesium stearat teknis, polivinil alkohol
(PVA) Celvol TM Sekisui Chemical Co.ltd. Bahan yang digunakan untuk pengujian
biodegradabilitas meliputi media PDA (Potato Dextrose Agar), dan kultur Aspergilus
niger.
Alat
Peralatan yang digunakan pada tahap pembuatan serat modifikasi dan
pembuatan biofoam yaitu alat pemotong serat, autoclave, oven memmert, ultrafine
grinder masuko crop, timbangan digital, labu erlenmeyer, sentrifuge, shaker
incubator, vacuum filter, corong buncher, gelas ukur, mesin penggiling, baskom,
toples, sudip, kertas lakmus, thermometer, kertas saring, mortar, saringan 20 mesh
dan mesin cetak thermopressing untuk pembuatan biofoam. Sedangkan alat untuk
karakterisasi selulosa asetat yaitu buret, water bath, alat gelas untuk pengujian kadar
asetil selulosa asetat, FTIR (Fourier Transform Infra-Red Spectrometer) ABB FTIR
MB3000. Alat untuk analisis biofoam yaitu Scanning Electron Microscopy (SEM)
Zeiss EVO M10 USA , Differential Scanning Calorimetry (DSC) Perkin Elmer
thermal analysis, Texture analyzer CT3 Brookfield, Chromameter Minolta CR-300,
X-ray Difraction (XRD) Bruker D8, cawan perti, timbangan analitik, jangka sorong
dan alat pendukung lainnya.
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015- April 2016 di laboratorium
nanoteknologi, kimia, mikrobiologi serta bangsal Balai Besar Pasca Panen Cimanggu.
Prosedur Percobaan
Penelitian ini terdiri dari dua tahap utama yaitu produksi serat modifikasi dan
pengembangan produk biofoam yang dihasilkan dari serat modifiksi. Secara umum
diagram alir tahapan penelitian pengembangan berbagai modifikasi serat tandan
kosong sawit pada pembuatan biofoam dapat dilihat pada Gambar 1.
Produksi serat modifikasi
Tahap awal penelitian ini dilakukan dengan memproduksi serat modifikasi
yaitu a) STKS dengan pulping process, b) NSTKS dengan grinding process dan c)
SATKS dengan asetilasi. Kemudian masing masing hasil serat modifikasi tersebut

6
dianalisis kadar air, rendemen, kadar α selulosa, kadar asetil, derajat substitusi (DS),
analisis morfologi dan gugus fungsi.
a) Pembuatan STKS dengan Pulping process (Harahap et al. 2012; Sumada et al.
2011).
Proses ekstraksi atau isolasi selulosa tandan kosong sawit terdiri dari
beberapa tahap yaitu :
1 Preparasi : 1 kg serat tandan kosong sawit dibersihkan dari kotoran dan
dipotong dengan panjang 1-2 cm.
2 Pemasakan/ prehidrolisis : potongan serat tandan kosong dipanaskan pada
suhu 80°C selama 12 jam dengan menggunakan autoclave untuk
menghilangkan komponen minyak, lemak dan kotoran pada serat sehingga
mempermudah proses delignifikasi, setelah itu sampel di tiriskan.
3 Delignifikasi dan Pulping : serat yang telah dimasak dan ditiriskan
ditambahkan NaOH 10% (b/v) dan dipanaskan pada suhu 121°C selama 15
menit. Sampel dibilas hingga serat tidak terasa licin. Tahap ini mengubah
bentuk serat menjadi pulp.
4 Bleaching : Rendam dalam larutan Hipoklorit selama 1 jam lalu bilas hingga
pH netral kemudian di press untuk mempercepat proses pengeringan.
5 Pengeringan : sampel yang telah di press kemudian di keringkan dengan oven
pada suhu 50°C selama 10 jam, lalu sampel yang telah kering digiling dengan
mesin penggiling sehingga menghasilkan bubuk selulosa berwarna putih.
6 Selulosa tandan kosong sawit yang dihasilkan dianalisis kadar air, rendemen,
dan kadar α selulosa.
b) Pembuatan NSTKS dengan Grinding process (Iriani et al. 2015)
Grinding process dilakukan secara wet milling (penggilingan basah)
dengan alat ultrafine grinder masuko dilakukan dengan mencampur selulosa
hasil isolasi dengan aquades. STKS hasil isolasi sebanyak 50 gram (2% dari
bobot keringnya) dilarutkan dalam 2,34 liter aquades (98% air). Campuran
dimasukkan dalam Ultra Fine Grinder dengan beberapa kali putaran gap.
Penggilingan dilakukan dengan kecepatan 1500 rpm pada gap 10, gap 5, gap 0,
gap -5 dan gap -10 secara berurutan dan diulang sebanyak 10-15 kali pada
masing-masing tingkat gap (± 50-75 kali penggilingan). NSTKS berupa gel yang
dihasilkan dianalisis kadar airnya dan analisis morfologi dengan SEM.
c) Pembuatan SATKS dengan Asetilasi (Syamsu dan Kuryani 2014; Bahmid 2014)
Produksi selulosa asetat tandan kosong sawit dilakukan dengan beberapa
tahap, yaitu:
1 Aktivasi: selulosa hasil isolasi ditambahkan dengan asam asetat glasial 1:10
dan diaduk dengan kecepatan 275 rpm pada suhu 38°C selama 60 menit, lalu
ditambahkan 2% asam sulfat dan diaduk dengan kecepatan 275 rpm pada
suhu 38°C selama 45 menit.
2 Asetilasi: asetilasi menggunakan asam asetat anhidrat dengan rasio selulosa
dan asetat anhidrat 1:3, 1:4, dan 1:5 dan waktu asetilasi 30, 60 dan 90 menit.
Kemudian aduk dengan kecepatan 275 rpm pada suhu 38°C.

7
3 Hidrolisis: campuran ditambahkan larutan aquades dan asam asetat glasial 1:2
untuk menghentikan asetilasi dan aduk dengan kecepatan 275 rpm pada suhu
50°C selama 30 menit.
4 Penyaringan: campuran kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 15 menit, supernatan kemudian diendapkan dalam aquades dan
disaring hingga aroma asetat hilang, lalu endapan disaring dengan vacum
filter.
5 Pengeringan: endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 50°C selama 6 jam,
kemudian endapan yang telah kering digerus dengan mortar dan disaring
dengan saringan 20 mesh.
6 Selulosa asetat yang dihasilkan diukur kadar asetil, derajat substitusi,
renedemen, gugus fungsi, morfologi dan kadar air.
Pengujian karakteristik selulosa hasil modifikasi terdiri dari:
a) Kadar air (AOAC 2012)
Cawan yang akan digunakan terlebih dahulu dikonstankan dengan
memanaskannya di dalam oven 105 °C selama satu jam atau lebih, lalu ditimbang.
Perlakuan pemanasan cawan dilakukan hingga diperoleh berat yang konstan.
Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam cawan yang telah konstan
kemudian dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama lima jam. Perlakuan
pemanasan sampel dilakukan hingga diperoleh berat yang konstan. Kadar air
dihitung dengan rumus :
Kadar air (%) =

berat sampel awal-berat sampel akhir
berat sampel awal

x 100%

b) α Selulosa (Goering dan Van Soest 1970)
Sebanyak 1 g selulosa ditimbang teliti (W2) di dalam gelas 250 ml. Ke
dalam gelas tersebut ditambahkan 25 ml NaOH teknis 17,5% (b/v), lalu diaduk
selama 5 menit. Setelah 15 menit, ditambahkan 25 ml air suling, dan diaduk
kembali selama 1 menit. Setelah 5 menit, contoh uji disaring-vakum dengan kaca.
Lalu dicuci 12 kali dengan 25 ml air suling tiap pencucian. Residu dalam kaca
lalu diberi 40 ml asam asetat glasial dan dibiarkan selama 5 menit, sebelum
disaring vakum kembali. Residu dalam kaca masir dikeringkan pada suhu
(105±3) ºC dalam oven, sampai tercapai bobot konstan (W3). Bobot (residu+kaca
masir) itu ditetapkan setiap interval 1- 3 hari setelah didinginkan di dalam
desikator. Karena sifat selulosa sangat higroskopis, penetapan kadar a-selulosa
harus disertai penetapan kadar air. Penimbangan contoh uji untuk kedua
penetapan ini harus dilakukan bersamaan. Jika kadar air contoh uji dilambangkan
M, kadar a-selulosa dapat dihitung dari persamaan berikut ini.
Kadar selulosa (%) =

W3-W1

B 1-M W2

x 100%

c) Analisis kadar asetil (ASTM D871-96)
Kandungan asetil ditentukan dengan cara melihat banyaknya NaOH yang
dibutuhkan untuk menyabunkan contoh :
R(OOCCH3)x + X NaOH
R(OH)x + NaOOCCH3
Contoh dari polimer harus dapat melewati saringan 20 mesh. Contoh dikeringkan
selama 2 jam pada suhu 105 ± 3°C. Contoh kering tersebut dengan bobot 1 g

8
dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 40 ml etanol (75%)
dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50-60°C. Setelah itu ke dalam contoh
ditambahkan 40 ml larutan NaOH (0.5 N) dan pemanasan dilanjutkan selama 15
menit dengan suhu yang sama. Contoh kemudian didiamkan selama 48-72 jam,
dan kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl (0.5 N) dengan indikator fenoftalein.
Contoh didiamkan selama satu hari untuk memberi kesempatan bagi NaOH
berdifusi. Selanjutnya contoh dititrasi dengan NaOH (0.5 N) dengan indikator
fenoftalein sampai terbentuk warna merah. Blanko dilakukan dengan cara yang
sama dengan contoh. Kadar asetil dan kandungan asam asetat dihitung dengan
rumus :
Kadar asetil (%) 

F ( D  C ) Na  ( A  B) Nb  100%
W

A = ml NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi contoh
B = ml NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi blanko
C = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi contoh
D = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blanko
Na = normalitas HCl
Nb = normalitas NaOH
F = 4.305 untuk kadar asetil
W = bobot contoh (g)
d) Analisis Derajat substitusi (Gaol et al. 2013)
% Asetil

162 ( 43 )
DS =
42
100-(43x %Asetil)
e) Rendemen
Berat akhir
Rendemen =
x 100%
Berat awal

f) Analisis struktur morfologis (ASTM E-2015)
Sampel yang akan dianalisis dipreparasi terlebih dahulu dengan
menempelkan serbuk selulosa asetat pada selotip karbon kemudian dilakukan
pelapisan/ coating dengan emas. Kemudian sampel beserta holder dimasukkan
kedalam alat SEM. Gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron pantul yang muncul
dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar
elektron selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan
dalam gradasi gelap-terang pada layar yang diperbesar.
g) Analisis gugus fungsi dengan FTIR (ASTM E168)
Sampel selulosa asetat yang akan dianalisa dicampur dengan serbuk KBr (5
– 10 % sampel dalam serbuk KBr), kemudian digerus dengan mortar lalu tempatkan
pada sampel pan. Sampel pengujian yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam alat
FTIR yang kemudian disinari dengan sinar infra-red. Penyerapan radiasi
elektromagnetik menyebabkan senyawa organik berotasi dan bervibrasi dan
kemudian dikonversi dalam bentuk bilangan gelombang dan absorbsi.

9

Serat tandan kosong sawit

1) Pulping process
3) Asetilasi
Selulosa tandan kosong
sawit (STKS)

Analisis
kadar air,
rendemen,
α selulosa

2) Grinding process

Selulosa asetat tandan kosong
sawit (SATKS)

Nanoselulosa tandan kosong
sawit (NSTKS)

Analisis kadar
asetil, derjat
substitusi,
rendemen, gugus
fungsi, kadar air
dan morfologi

Analisis
morfologi, dan
kadar air

Biofoam

Pengujian karakteristik Biofoam
Sifat fisik : Warna
(Lightness, ΔE*)
kadar air, daya
serap air dan
densitas

Sifat
mekanik:
Kuat tekan

Sifat
morfologi

Sifat
thermal

Sifat
kristalinitas

Sifat
biodegradabilitas

Gambar 1 Diagram alir penelitian
Pengembangan produk biofoam
Pembuatan biofoam menggunakan metode rekomendasi dari Iriani et al.
(2013). Pertama dilakukan dengan penimbangan dan pencampuran bahan-bahan
seperti serat modifikasi , pati tapioka, PVA 10%, Mg stearat 5% lalu ditambahkan
air dan diaduk sampai kalis. Selanjutnya adonan dicetak dengan alat thermopressing
selama 4 menit dengan suhu tertentu (±50 gram untuk satu cetakan biofoam).

10
Selulosa tandan
kosong sawit (STKS)
Penimbangan
(1%, 3%, 5%)

Nanoselulosa tandan
kosong sawit (NSTKS)
Sentrifugasi
3000 rpm, 15 menit

Selulosa asetat tandan
kosong sawit (SATKS)

Pengurangan air

Penimbangan
(1%, 3%, 5%)

Penimbangan
(1%, 3%, 5%)

Tapioka (84%, 82%, 80%)

Penimbangan bahan kering
(60%)

PVA (10%)
Air 40%

Pencampuran adonan sampai kalis

Suhu mesin bagian atas 177
ºC dan bagian bawah 166 ºC
selama 4 menit

Pencetakan adonan dengan
Thermopressing

Mg tearat (5%)
± 50 gram untuk satu cetakan

Pendinginan 30 menit
Biofoam

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan biofoam
Tabel 1 Formula adonan biofoam
KODE

Perlakuan
Faktor

STKS 1%
STKS 3%
STKS 5%
NTKS 1%
NTKS 3%
NTKS 5%
SATKS 1%
SATKS 3%
SATKS 5%

a
STKS
STKS
STKS
NSTKS
NSTKS
NSTKS
SATKS
SATKS
SATKS

b
1
3
5
1
3
5
1
3
5

Bahan kering (60)
PVA
Tapioka Selulosa
(%)
84
82
80
84
82
80
84
82
80

(%)
1
3
5
1
3
5
1
3
5

Keterangan :
STKS : Selulosa tandan kosong sawit
NTKS : Nanoselulosa tandan kosong sawit
SATKS : Selulosa asetat tandan kosong sawit
*Perhitungan tersebut untuk 100 gram adonan

(%)
10
10
10
10
10
10
10
10
10

Bahan basah (40)
Mg
Air
Stearat
(%)
(ml)
5
40
5
40
5
40
5
40
5
40
5
40
5
40
5
40
5
40

11
Pengujian Karakteristik Biofoam
a) Analisis sifat fisik diantaranya :
 Warna
Sampel ditempatkan di wadah transparan. Pengukuran menggunakan
Chromameter Minolta CR 300. Hasil pengukuran chromameter dikonversi
dalam sistem CIE LAB yang mempunyai lambang L*, a* dan b*. Nilai L atau
Lightness menyatakan tingkat kecerahan dimana nilai 0 mewakili warna hitam
dan 100 putih. Nilai a positif menunjukkan warna merah sedangkan a negatif
menunjukkan warna hijau, nilai b positif menggambarkan warna kuning dan
nilai b negatif menggambarkan warna biru. Untuk menghitung perbedaan
warna ΔE*, instrumen chromameter dikalibrasi dengan standar L= 97,3, a=
0,14 b= 1,71. ΔE* dihitung dengan rumus :
ΔE* = (ΔL*2 + Δa*2 + Δb*2)1/2
 Kadar air (AOAC 2012)
Cawan yang akan digunakan terlebih dahulu dikonstankan dengan
memanaskannya di dalam oven 105 °C selama satu jam atau lebih, lalu
ditimbang. Potongan biofoam ukuran 2,5x5 cm ditimbang dan dimasukkan
kedalam oven dengan suhu 105 °C selama 5 jam. Persentasi kadar air adalah
persentase berat yang hilang setelah pengeringan. Kadar air dihitung dengan
rumus :
Kadar air (%) =

(berat sampel awal-berat sampel akhir)
berat sampel awal

x 100%

 Daya serap air ABNT NBR NM ISO 535 (1999)
Daya serap air dihitung dengan prosedur ABNT NBR NM ISO 535
(1999). Potongan biofoam ukuran 25 x 50 mm2 ditimbang lalu dicelupkan ke
dalam air selama 1 menit dan sisa air pada permukaan dikeringkan
menggunakan tissu. Sampel ditimbang kembali dan dihitung pertambahan berat
sampel.
DSA (%) =

(berat sampel setelah dicelup-berat sampel awal)
berat sampel awal

x 100%

Untuk mengetahui hidrofobisitas pada permukaan biofoam dilakukan
pengujian mengikuti metode dari alat contac angle goniometer. Sampel
biofoam ditetesi dengan air pada permukaannya kemudian dilakukan
pemotretan setiap satu menit sekali selama sepuluh menit untuk melihat
banyaknya air yang menyerap.
 Densitas (Polat et al. 2013)
Dilakukan dengan cara menghitung massa dan volume sampel.
Pengukuran massa dilakukan dengan menimbang sampel potongan biofoam
ukuran 3cm x 3cm pada timbangan analitik. sedangkan volume dihitung dengan
cara mengalikan panjang, lebar dan tebal sampel yang sebelumnya diukur
dengan jangka sorong. Dengan rumus:
ρ =

m
v

Keterangan : ρ= massa jenis (g/cm3), m = masssa (g) dan v = volume (cm3)

12
b) Analisis sifat mekanik (kuat tekan)
Dilakukan dengan menggunakan texture analyzer (TA). Sifat mekanik
yang diukur adalah kuat tekan. Pengukuran kuat tekan dilakukan dengan cara
memotong sampel ukuran 1x 5cm ditekan dengan menggunakan probe TA18
pada kecepatan 1 mm/s.
c) Analisis struktur morfologis dengan SEM (ASTM E-2015)
Sampel biodegradable foam dipotong menjadi potongan kecil (2mm x
2mm) dan dipasang pada penampang visualisasi perunggu dengan menggunakan
double side tape kemudian dilapisi dengan lapisan emas dengan waktu coating ±
30 detik. Sampel yang telah dilapisi, diamati menggunakan SEM dengan
tegangan 5-15 kV.
d) Analisis sifat termal (ASTM D-3418)
Analisis sifat termal dilakukan dengan menggunakan DSC Perkin Elmer
Termal analysis. Sampel ditempatkan pada DSC pan sebanyak 5-6 mg. Analisa
dilakukan dengan pemanasan sampel pada suhu 25-200°C dengan kecepatan
pemanasan 10°C/menit pada atmosfer nitrogen. Pan kosong digunakan sebagai
referensi.
e) Analisis Kristalinitas
Kristalinitas setiap sampel foam diuji dengan menggunakan XRD Bruker
D8. Sampel dipotong sesuai dengan bentuk holder dengan diameter 4 cm lalu
ditembak dengan sinar-X (panjang gelombang Kα Cu = 1,54060 Å) sehingga
diperoleh gambaran pada difraksi sinar-X dalam grafik hubungan antara
intensitas dengan 2θ. Dari pola difraksi tersebut dapat diukur nilai kristalinitas
biofoam.
f) Analisis sifat biodegrabilitas (ASTM G-2170)
Analisis biodegradabilitas biofoam secara kualitatif dilakukan berdasarkan
ASTM G-2170. Sampel berukuran 3x3 cm2 ditempatkan pada media PDA
(Potato Dextrose Agar) dan diinokulasikan dengan kapang Aspergillus niger.
Sebagai pembanding juga diletakkan lembaran styrofoam. Sampel diinkubasikan
pada suhu ruang 29°C Pengamatan dikakukan setiap 5 hari sekali selama 2
minggu.
Analisis Statistik
Pembuatan selulosa asetat tandan kosong sawit
Pembuatan selulosa asetat tandan kosong sawit (SATKS) menggunakan
rancangan acak faktorial 3x3 dengan dua faktor yaitu faktor waktu asetilasi dengan
tiga taraf (30, 60 dan 90 menit) serta faktor rasio (selulosa : asam asetat anhidrat)
terdiri dari tiga taraf (1:3, 1:4 dan 1:5) dengan ulangan sebanyak 2 kali. Analisis
statistik menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan taraf signifikan 5%
kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test)
menggunakan bantuan program IBM SPSS Statistics (Statistical Package for service
solutions) versi 22.0. Model umum untuk rancangan tersebut adalah sebagai berikut;

13
Yijk = μ + Ai + Bj+(AB)ij+ɛ ijk
Keterangan:
i
= 1, 2, 3 (taraf waktu asetilasi)
j
= 1, 2, 3 (taraf rasio selulosa dan asam asetat anhidrat)
k
= 1, 2 (ulangan)
Yijk = Variabel respon/ hasil pengamatan pada perlakuan pengaruh taraf ke-i
dari rasio selulosa dan asam asetat anhidrat pada faktor ke j
μ
= rataan umum
Ai
= pengaruh taraf waktu asetilasi ke-i
Bj
= pengaruh rasio selulosa dan asam asetat anhidrat ke-j
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor waktu asetilasi taraf ke-i dan faktor
rasio selulosa dan asam asetat anhidrat taraf ke-j
ɛ ijk = galat percobaan pada ulangan ke-k
Pembuatan biofoam
Pembuatan biofoam menggunakan rancangan acak faktorial 3x3 dengan dua
faktor, yaitu faktor jenis serat modifikasi terdiri dari tiga taraf (STKS, NSTKS dan
SATKS), serta faktor konsentrasi serat (1%, 3% dan 5%) dengan ulangan sebanyak
3 kali. Kemudian biofoam yang dihasilkan dari ketiga jenis serat modifikasi tersebut
diuji dengan beberapa parameter pengujian. Biofoam yang dihasilkan dari serat
modifikasi dan konsentrasi serat terbaik kemudian dibandingkan dengan styrofoam
komersial sebagai kontrol. Analisa statistik menggunakan analisis sidik ragam
(ANOVA) dengan taraf signifikan 5% kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT
(Duncan Multiple Range Test) menggunakan bantuan program IBM SPSS Statistics
(Statistical Package for service solutions) versi 22.0. Model umum untuk rancangan
tersebut adalah sebagai berikut ;
Yijk = μ + Ai + Bj+(AB)ij+ɛ ijk
Keterangan:
i
= 1, 2, 3 (taraf jenis serat modifikasi)
j
= 1, 2, 3 (taraf konsentrasi serat)
k
= 1, 2, 3 (ulangan)
Yijk = Variabel respon/ hasil pengamatan pada perlakuan pengaruh taraf ke-i
dari konsentrasi serat pada faktor ke j
μ
= rataan umum
Ai
= pengaruh taraf jenis serat modifikasi ke-i
Bj
= pengaruh konsentrasi serat ke-j
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor jenis serat modifikasi taraf ke-i dan
faktor konsentrasi serat taraf ke-j
ɛ ijk = galat percobaan pada ulangan ke-k

14

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi serat modifikasi
Selulosa tandan kosong sawit (STKS)
Tujuan proses isolasi atau ekstraksi serat tandan kosong sawit dengan metode
pulping process adalah untuk memisahkan selulosa dari lignin dan hemiselulosa yang
mengelilingi dan mengikatnya. Selulosa dari serat tandan kosong sawit yang
dihasilkan pada penelitian ini berupa bubuk berwarna putih (Gambar 3b). Selulosa
tandan kosong sawit (STKS) dihasilkan dari beberapa tahap yaitu preparasi,
prehidrolisis atau pemasakan, delignifikasi, dan bleaching (Harahap et al. 2012;
Sumada et al. 2011). Proses prehidrolisis bertujuan untuk menghilangkan bagian dari
komponen penyusun serat berupa minyak-minyak, lemak dan kotoran-kotoran
sehingga proses selanjutnya seperti delignifikasi dan bleaching dapat berlangsung
lebih cepat. Proses delignifikasi bertujuan menghilangkan kandungan lignin yang
terikat pada serat tandan kosong kelapa sawit.

a

b

Gambar 3 (a) Serat tandan kosong sawit (b) Hasil isolasi selulosa tandan
kosong sawit (STKS)
Delignifikasi disebabkan oleh terputusnya ikatan eter dalam molekul lignin
yang ada pada larutan pemasak NaOH ditandai dengan perubahan larutan menjadi
coklat dan perubahan serat menjadi pulp (Sarkanen 1990). Perubahan warna larutan
pemasak menjadi coklat merupakan indikasi terlarutnya senyawa yang memiliki
gugus kromofor yang menyebabkan suatu senyawa memiliki warna. Perendaman
dalam larutan NaOH dapat melarutkan jenis selulosa lain yaitu β-selulosa dan γselulosa yang ternyata bukan merupakan selulosa melainkan gula-gula sederhana
namun tidak melarutkan α-selulosa. Besarnya kadar α-selulosa merupakan indikator
kemurnian selulosa (Tanaka dan Daud 2002). Menurut Saleh et al. (2009)
penambahan NaOH sebesar 10% (b/v) merupakan konsentrasi terbaik pada proses
pulping dari sabut kelapa muda, Surest dan Satriawan (2010) juga mengatakan bahwa
konsentrasi NaOH 10% (b/v) menghasilkan α-selulosa tertinggi pada pembuatan
pulp dari batang rosella, oleh karena itu penelitian ini menggunakan NaOH 10% (b/v)
pada proses delignifikasi.

15
Bleaching bertujuan menghilangkan sisa lignin yang masih tersisa dalam pulp.
Pada proses ini molekul penyerap warna (mengandung kromofor) akan dioksidasi
sehingga menjadi polar dan larut dalam air. Proses bleaching akan membuat warna
pulp menjadi lebih cerah atau putih dengan menggunakan reagen pemutih. Bleaching
dilakukan dengan menambahkan larutan hipoklorit untuk menghasilkan warna yang
lebih putih pada selulosa yang dihasilkan. Sebagian besar reagen pemutih adalah
oksidator kuat, dan reagen pemutih lebih menyerang lignin daripada selulsoa, karena
lignin banyak mengandung gugus kromofor atau ikatan rangkap yang kaya akan
elektron (Suyati 2008).
Kadar α-selulosa pada penelitian ini sebesar 88,46% (Tabel 2) yang
dihasilkan dengan menggunakan NaOH 10% pada proses delignifikasi, nilai tersebut
lebih kecil daripada penelitian Bahmid (2014) yang membuat pulp tandan kosong
sawit dengan NaOH 17,5% menghasilkan kadar α-selulosa sebesar 94,8% namun
lebih besar dari penelitan Anggraini dan Roliadi (2011) yang membuat pulp tandan
kosong sawit dengan NaOH 10% menggunakan metode semi kimia hanya
menghasilkan α-selulosa sebesar 43-44%. Menurut Sumada et al. (2011) semakin
besar konsentrasi NaOH maka α-selulosa yang diperoleh semakin besar, hal ini
dikarenakan semakin besar konsentrasi NaOH maka kadar lignin yang terlarut
semakin besar sehingga menghasilkan α-selulosa yang murni. α-selulosa pada
penelitian ini kurang murni karena hanya menggunakan NaOH 10%.
Rendemen merupakan perbandingan antara bobot selulosa yang diperoleh
dengan bobot serat yang digunakan pada proses isolasi. Rendemen selulosa tandan
kosong kelapa sawit yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 34,5% (Tabel 2).
Jika dibandingkan dengan penelitian lain seperti Bahmid (2014) menghasilkan
rendemen yang lebih rendah (29,77%) namun menghasilkan kadar α-selulosa yang
tinggi (94,8%). Penelitian Anggraini dan Roliadi (2011) menghasilkan nilai
rendemen yang lebih tinggi (60,17%) dengan kadar α-selulosa yang rendah (43-44%).
Nilai rendemen yang lebih tinggi pada penelitian ini (34.5%) dan penelitian
Anggraini dan Roliadi (2011) (60,17%) kemungkinan dikarenakan selulosa masih
mengandung selulosa jenis lain berupa β-selulosa dan γ-selulosa. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin murni selulosa maka nilai rendemennya akan semakin
kecil karena komponen lain seperti β-selulosa dan γ-selulosa telah larut pada proses
isolasi dan menghasilkan selulosa yang murni (Bahmid 2014).
Tabel 2 Karakteritik hasil isolasi selulosa tandan kosong sawit
Karakteristik
Keterangan
Warna
Putih
Bentuk
Serbuk
Rendemen (%)
34,5
Kadar air (%)
4,4
Kadar α-selulosa (%)
88,46
Kadar air STKS yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 4,4%. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kadar air STKS pada penelitian ini memenuhi syarat
untuk memproduksi selulosa asetat yaitu sekitar 4-7 % (Ullman 2008). Kadar air
yang relatif rendah tersebut dimungkinkan karena metode pengeringan yang

16
dilakukan pada suhu 50°C selama 10 jam. Kemudian STKS yang diperoleh dijadikan
bahan tambahan dalam pembuatan biofoam.
Nanoselulosa tandan kosong sawit (NSTKS)
Nanoselulosa diproduksi menggunakan metode penggilingan basah (wet
milling) dengan Ultra Fine Grinder (Masuko Corp, Japan). Prinsip Ultra Fine
Grinder adalah pemecahan struktur ikatan hidrogen dan pemisahan fibril-fibril
sehingga partikel selulosa menjadi lebih kecil dikarenakan kekuatan gaya gesek
antara dua batu gerinda (Lavoine et al. 2012). Pengecilan ukuran serat menggunakan
metode grinding biasanya tidak memerlukan pretreatment dan pembengkakan serat
selulosa terlebih dahulu, hal ini merupakan keuntungan utama dari metode grinding
yaitu dapat mengurangi konsumsi energi (Spence et al. 2011).
Selulosa hasil isolasi sebanyak 2% dari bobot keringnya dicampur dengan aquades
lalu dimasukkan dalam Ultra Fine Grinder (Masuko Corp, Japan) dengan beberapa
kali putaran gap (Iriani et al. 2015).
Nanoselulosa tandan kosong sawit (NSTKS) yang diperoleh dari proses wet
milling diamati struktur morfologinya (Gambar 4a). Hasil analisis SEM NSTKS
memperlihatkan bahwa morfologi selulosa berbentuk lembaran benang serabut halus
berukuran 92,07 nm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa proses penggilingan basah
(wet miling) pada selulosa dapat mengecilkan ukuran partikel selulosa menjadi
nanoselulosa (kurang dari 100 nm). Ta