antibiotik tersebut dengan obat golongan loop diuretic 6. Meningitis bakteri
7. Apgar skor 4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau apgar skor 6 pada menit kelima.
8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari. 9. Berat lahir 1500 gram
10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian. Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi
untuk dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan pendengaran, akan tetapi dilapangan ditemukan bahwa 50 neonatus dengan
gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor risiko. Oleh karena itu direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada seluruh
neonatus setelah lahir atau setidaknya usia tiga bulan.
2.7. Faktor penyebab ketulian pada neonatus
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat berasal dari genetik maupun didapat:
2.7.1 Faktor genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungin bersifat statis maupun
progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X contoh: Hunter’s syndrome, Alport syndrome, Norrie’s disease kelainan mitokondria
contoh: Kearns-Sayre syndrome, atau merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa organ telinga contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal serind
dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif.
2.7.2 Faktor didapat aquired
Dapat disebabkan oleh :
1. Infeksi
Rubela kongenital, Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, virus herpes simpleks tabel 1, meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta, mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis.
Toksoplasma, Rubela, Cytomgalovirus, menyebabkan gangguan pendengaran pada 18 dari seluruh kasus gangguan pendengaran dimana gangguan pendengaran sejak lahir
Universitas Sumatera Utara
akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar 50, infeksi Rubela kongenital 50, dan Toksoplasma kongenital 10-15, sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10.
Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat tuli sensorineural. Penelitian oleh Rivera menunjukan bahwa 70 anak yang mengalami infeksi sitomegalovirus konegenital
mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa neonatus. Pada meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa studi klinis menunjukan
adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran, sayangnya proses patologis yang
terjadi sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum dapat dipastikan.
2. Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin pada
pemakaian tetes telinga, Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin, golongan diuretika: furosemide.
Kadar bilirubin indirek ditentukan juga oleh beberapa faktor seperti: kecepatan produksi
bilirubin, kadar albumin, dan obat-obatan sulfonamid, diuretikum, salisilat. Huang et all,
2004
3. Trauma
Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi osikular, trauma suara.
4. Neoplasma
Tumor yang sering terjadi seperti
1. Bilateral acoustic neurinoma neurofibromato, 2. Cerebellopontine tumor, tumor pada telinga tengah contoh:
rhabdomyosarcoma, glomus tumor. Mishra MJ et all 2009
Universitas Sumatera Utara
5. Hiperbilirubinemia Definisi :
Neonatal hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana kadar bilirubin total 5mgdl 86µmolL. Hiperbilirubinemia tampak secara klinis sebagai ikterus. Ikterus
neonatorum adalah keadaan klinis ada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Secara klinis ikterus mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mgdl, bila kurang dari itu maka tidak akan tampak secara klinis. Neonatus aterm
rata-rata memiliki konsentrasi bilirubin serum puncak 5-6 mgdl 86-103 µmolL pada hari ketiga dan keempat. Ikterus fisiologis yang memberat terjadi pada kadar
bilirubin diatas ambang ini 7-17 mgdl. Konsentrasi bilirubin serum
≥17 mgdl pada bayi aterm tidak lagi dianggap fisiologis dan biasanya dapat kita temukan penyebab ikterus patologis pada bayi-bayi ini.
Penyebab terbanyak ikterus neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin indirek. Bilirubin indirek inilah yang bersifat neurotoksik bagi bayi.Marthin CR,Cloherty J,P,
2004
Etiologi
Hiperbilirubinemia indirek dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Etiologi terjadinya hiperbilirubinemia:
1. Etiologi yang sering: a. Hiperbilirubinemia fisiologis
b. Inkompatibilitas galongan darah ABO dan Rhesus c. Breast milk jaundice
d. Infeksi e. Hematom subduralsefalhematoma, ekimosis,hemangioma
f. Bayi dari ibu diabetes mellitus g. Polisitemiahiperviskositas
2. Etiologi yang lebih jarang: a. Defisiensi G6PD
b. Defisiensi piruvat kinase c. Sferositosis kongenital
d. Lucey-Driscoll syndrome
Universitas Sumatera Utara
e. Crigler-Najjar disease f. Hipotiroidisme
g. Hemoglobinopati
Pengaruh hiperbilirubinemia terhadap gangguan pendengaran
Kekhawatiran utama akibat hiperbilirubinemia yang berlebihan adalah potensi efek neurotoksiknya, walaupun dapat juga terjadi jejas pada sel-sel lainnya. Hal ini masih
merupakan masalah yang signifikan meskipun telah ada kemajuan-kemajuan dalam perawatan neonatus ikterik hiperbilirubinemia.
Kepustakaan lain menjelaskan bahwa hiperbilirubinemia berat dan tidak ditangani pada masa neonatal akan menyebabkan kadar bilirubin yang tinggi dan bersifat toksik pada
perkembangan bayi. Pada bayi aterm, gejala hiperbilirubinemia adalah anak lemah dan malas minum yang akan berlanjut menjadi choreoathetoid cerebral palsy, retardasi mental,
tuli sensorineural dan gaze paresis. Terdapat bukti-bukti bahwa peningkatan kadar bilirubin yang moderat sekalipun tetap
akan membuat bayi lebih memiliki risiko memiliki kelainan-kelainan kognitif, persepsi, motorik dan auditorik. Penelitian-penelitian prospektif terkontrol telah mengungkapkan
adanya gangguan neurologis dan kognitif pada anak-anak yang mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada masa bayinya. Penelitian-penelitian statistik yang luas pada
bayi-bayi aterm sehat, seperti yang dilaporkan the National Collaborative Perinatal Project, telah mendeteksi adanya hubungan antara hiperbilirubinemia dalam kadar ‘rendah’ yang
biasanya tidak diterapi dengan sequele neurologis dan motorik ringan. Penelitan-penelitian klinis dan patologis yang lebih baru lagi telah membuktikan bahwa kadar biliribun yang
dahulu dianggap aman ternyata membahayakan. Hiperbilirubinema derajat sedang pada neonatus aterm yang sehat mungkin tidak aman untuk otaknya.
Bilirubin masuk ke otak bila ia tidak terikat dengan albumin atau tidak terkonjugasi atau ‘bebas’ Bf atau bila ada kerusakan pada sawar darah otak. Bilirubin dibentuk dari
hemoglobin gambar 2, sekitar 75-nya dari hemolisis dan 25 dari eritropoiesis yag tidak efektif. Hemoglobin pertama-tama diubah menjadi biliverdin melalui sebuah reaksi yang
tergantung pada adenosin trifosfatase yang dikatalisis oleh heme oksigenase, menghasilkan sebuah molekul karbon dioksida untuk setiap molekul biliverdin dan pada akhirnya akan
terbentuk bilirubin.
Universitas Sumatera Utara
Bilirubin non-toksik dikatalisis oleh biliverdin reduktase menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, sebuah antioksidan alami pada kadar rendah, namun menjadi neurotoksik
pada kadar tinggi. Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat nonpolar, tidak larut dalam air dan terikat pada albumin serum, maka hanya ada sedikit bilirubin tidak terkonjugasi dalam
bentuk tidak terikat atau bilirubin tidak terkonjugasi ‘bebas’ B
f
, namun justru B
f
inilah yang bebas masuk dalam otak, cairan serebrospinal,dan bertanggungjawab pada
neurotoksisitasnya. B
f
mudah melewati sawar darah otak, namun bilirubin yang terikat pada albumin tidak dapat memasuki otak kecuali bila ada gangguan sawar darah otak, kemudian
akan dihasilkan pewarnaan kuning yang luas. Pada kondisi toksik, bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak terikat atau Bƒ-lah bilirubin indirek yang ada dalam otak, bukan
bilirubin yang terikat pada albumin. Bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh sel-sel hepar, dikonjugasi dengan glukoronida
oleh UDPGT UDP-glucoronosyltransferase menjadi bilirubin terkonjugasi yang nontoksik, larut dalam air dan diekskresikan dalam empedu. Meskipun bilirubin terkonjugasi tidak
neurotoksik, tetapi terikat pada albumin dan berkompetisi dengan bilirubin tak terkonjugasi untuk lokasi ikatan dengan albumin. Bilirubin terkonjugasi dieliminasi dalam feses namun
juga dipecah dalam usus oleh bakteri menjadi bilirubin tak terkonjugasi, yang kemudian diserap kembali dalam aliran darah, inilah yang kita sebut sebagai sirkulasi enterohepatik.
Bilirubin mempengaruhi fungsi mitokondria dengan menghambat kerja enzim-enzim mitokondrial, menggangu sintesis DNA, menginduksi pemecahan DNA, menghambat sintesi
protein, memecah fosforilasi oksidatif dan menghambat uptake tyrosine suatu ‘marker’ untuk transmisi sinaptik. Bilirubin memiliki afinitas terhadap fosfolipid membentuk presipitat
yang melekat pada membran sel otak. Mekanisme toksisitas bilirubin telah disimpulkan dari penelitian-penelitian dengan menggunakan konsentrasi bilirubin yang relevan secara
patofisiologis, yaitu kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang diperkirakan akan dijumpai pada sistem saraf pusat bayi-bayi dengan hiperbilirubinemia.
Beberapa penilitian yang telah dilaporkan membuktikan bahwa model toksisitas neuronal selektif terjadi menyerupai kejadian iskemia otak. Homeostasis ion calsium Ca
+
adalah mekanisme dasar utama yang menyebabkan kematian sel neuron dan peningkatan eksitabilitas neuron. Banyak neuron menggunakan protein-protein sebagai buffer ion
kalsium untuk mempertahankan kadar kalsium intrasel yang rendah. Percobaan-percobaan terhadap tikus-tikus Gunn ikterik, menunjukkan keterlambatan aktivitas ion kalsum dan
‘Calmodulin dependent protein kinase II’ CaM kinase II, suatu bahan yang dibutuhkan oleh protein kinase sel dalam proses fosforilasi. Secara invitro didapatkan bahwa bilirubin
menghambat aktivitas CaM kinase II, yang dianggap berhubungan dengan berbagai fungsi
Universitas Sumatera Utara
neuron penting, seperti: pelepasan neurotransmitter, perubahan konduktansi ion yang diatur oleh kalsium serta dinamika neuroskeletal.
Dalam otak kerentanan terhadap efek neurotoksik bilirubin bervariasi menurut tipe sel, kematangan otak dan metabolisme otak. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi sawar darah
otak seperti: infeksisepsis, asidosis, hipoksia, hipoglikemia, trauma kepala dan prematuritas dapat mempengaruhi masuknya bilirubin kedalam otak.
Bilirubin tak terkonjugasi yang masuk dalam otak terutama dalam bentuk bebas atau bilirubin anion, berikatan dengan fosfolipid dan gangliosida pada permukaan membran
plasma neuron. Ikatan antara bilirubin anion-fosfolipid kompleks merupakan ikatan yang tidak stabil. Bilirubin anion mengambil ion hidrogen dan membentuk asam bilirubin yang
menempel kuat pada membran. Asam bilirubin tersebut akan menyebabkan kerusakan pada membran plasma sehingga dapat menyebabkan bilirubin anion masuk kedalam sel neuron.
Bilirubin anion yang masuk kedalam sel akan berikatan dengan fosfolipid pada membran organel subseluler seperti mitokondria, retikulum endoplasma dan nukleus. Ikatan ini akan
menyebabkan terbentuknya asam bilirubin dan kerusakan membran tingkat subseluler. Kerusakan tersebut memberikan dampak terhadap multisistem enzim dan menyebabkan
kerusakan sel neuron di seluruh tubuh Saricci,SU,Serdar MA,Korkmar et all, 2004
Universitas Sumatera Utara
Hiperbilirubinemia dalam darah Bilirubin
ekstraseluler
Ikatan antara bilirubin anion dengan fosolipid dan gangliosida pada
membran plasma neuron
Bilirubin anion masuk kedalam sel
ikatan antara bilirubin anion Pembentukan asam
bilirubin Agregasi dan presipitasi
dengan fosfolipid pada membran asam bilirubin mitokondria, reticulum endoplasma
dan nukleus Kerusakan membran plasma
Pembentukan asam bilirubin
Kematian sel neuron
Gambar 2.4 Jalur bilirubin dalam darah Santoso 2010
Patofisiologi
Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah Inkompatibilitas golongan
darah dan Rh, defek sel darah merah pada defisiensi G
6
PD atau sferositosis, polisitemia, sekuester darah, infeksi.
Universitas Sumatera Utara
Penurunan konjugasi Bilirubin: prematuritas, ASI , defek kongenital yang jarang. Peningkatan Reabsorpsi Bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang
terlambat, obstruksi saluran cerna. Kegagalan ekskresi cairan empedu : infeksi intrauterin, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik,
atresia biliaris, fibrosis kistik.
Neonatal jaundice fisiologis dapat terjadi dari hasil simultan dari 2 fenomena berikut:
1. Bilirubin produksi meningkat karena kerusakan peningkatan eritrosit janin. Ini adalah hasil dari jangka hidup singkat dari eritrosit janin dan massa eritrosit lebih tinggi pada
neonatus. 2. Hati kapasitas ekskretoris rendah baik karena konsentrasi rendah dari ligandin protein
mengikat dalam hepatosit dan karena rendahnya aktivitas transferase glucuronyl, enzim bertanggung jawab untuk bilirubin mengikat asam glukuronat, sehingga membuat air
bilirubin larut konjugasi. Bilirubin diproduksi di sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme hem
dan terbentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi. Sekitar 75 bilirubin berasal dari hemoglobin, tapi degradasi mioglobin, sitokrom, katalase dan juga berkontribusi. Pada langkah oksidasi
pertama, biliverdin terbentuk dari heme melalui aksi heme oxygenase, tingkat membatasi langkah dalam proses, melepaskan besi dan karbon monoksida. Sedangkan karbon
monoksida diekskresikan melalui paru-paru dan dapat diukur dalam napas pasien untuk mengukur produksi bilirubin.
Selanjutnya, larut dalam air biliverdin direduksi menjadi bilirubin, yang, karena ikatan hidrogen intramolekul, hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomer yang paling umum
nya bilirubin IXα Z, Z. Karena sifat hidrofobik nya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma terikat erat pada albumin. Mengikat protein lain dan eritrosit juga terjadi, tetapi peran
fisiologis mungkin terbatas. Mengikat bilirubin peningkatan albumin postnatal dengan usia dan berkurang pada bayi yang sakit.
Kehadiran pesaing mengikat endogen dan eksogen, seperti obat-obatan tertentu, juga mengurangi afinitas pengikatan albumin untuk bilirubin. Sebuah fraksi bilirubin tak
terkonjugasi menit dalam serum tidak terikat pada albumin. Bilirubin bebas mampu melintasi lipid yang mengandung membran, termasuk penghalang darah-otak, yang menyebabkan
neurotoksisitas. Dalam kehidupan janin, bilirubin bebas dapat melewati plasenta, tampaknya dengan difusi pasif, dan ekskresi bilirubin dari janin terjadi terutama melalui organisme ibu.
Universitas Sumatera Utara
Saat mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam sel hati, di mana bisa mengikat ligandin. Serapan bilirubin ke dalam hepatosit meningkat dengan konsentrasi ligandin
meningkat. Konsentrasi Ligandin rendah saat lahir tetapi meningkat pesat selama beberapa minggu pertama kehidupan. Konsentrasi Ligandin dapat ditingkatkan dengan pemberian
agen farmakologis seperti fenobarbital. Bilirubin terikat dengan asam glukuronat terkonjugasi dalam retikulum endoplasma
hepatosit dalam reaksi dikatalisis oleh uridin diphosphoglucuronyltransferase UDPGT. Monoconjugates terbentuk pertama dan mendominasi pada bayi baru lahir. Diconjugates
tampaknya terbentuk pada membran sel dan mungkin memerlukan kehadiran tetramer UDPGT.
Konjugasi bilirubin secara biologis penting karena mengubah molekul air yang tidak larut bilirubin menjadi molekul yang larut dalam air. Air kelarutan bilirubin terkonjugasi
memungkinkan untuk dibuang ke dalam empedu. Aktivitas UDPGT rendah saat lahir tetapi meningkat dengan nilai-nilai orang dewasa dengan usia 4-8 minggu. Selain itu, obat-obatan
tertentu fenobarbital, deksametason, clofibrate dapat diberikan untuk meningkatkan aktivitas UDPGT.
Bayi yang memiliki sindrom Gilbert atau senyawa yang heterozigot untuk promotor Gilbert dan mutasi struktural daerah pengkode UDPGT1A1 berada pada peningkatan risiko
hiperbilirubinemia signifikan. Interaksi antara genotipe Gilbert dan anemia hemolitik seperti glukosa-6-fosfatase dehidrogenase G-6-PD kekurangan, sferositosis herediter, atau
penyakit hemolitik ABO juga tampaknya meningkatkan risiko penyakit kuning neonatal parah.Hansen TW,Nietsch L,Norman E et all 2009
Selanjutnya, pengamatan penyakit kuning pada beberapa bayi dengan stenosis pilorus hipertropi juga mungkin terkait dengan varian Gilbert-jenis. Genetik polimorfisme
untuk protein transporter anion organik OATP-2 berkorelasi dengan risiko 3 kali lipat untuk mengembangkan ikterus neonatal ditandai. Kombinasi polimorfisme OATP-2 gen dengan
gen UDPGT1A1 varian selanjutnya akan meningkatkan risiko ini menjadi 22 kali lipat. Studi juga menunjukkan bahwa polimorfisme pada gen untuk glutathione-S-transferase ligandin
dapat menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari bilirubin total serum.
Genetik.
faktor genetik yang terlibat dalam patogenesis hiperbilirubinemia neonatal. Dalam studi kasus kontrol nested, kami menentukan 1 frekuensi timin-adenin TA n polimorfisme
promotor dan mutasi Gly71Arg di uridin diphosphoglucuronate-glucuronosyltransferase 1A1 UGT1A1 gen pada neonatus atau = 35-minggu usia kehamilan yang mengalami tingkat
bilirubin 18 mg dL dan kontrol, 2 interaksi antara TA n polimorfisme promotor, glukosa-
Universitas Sumatera Utara
6-fosfat dehidrogenase G6PD mutasi gen, dan puncak bilirubin. Terdapat kaitan genetis antara difosfat uridin-glucuronosyltransferase1A1 UGT1A1 Gly71Arg, UGT1A1 promotor
TATA-box dan mutasi gen glukosa-6-fosfat dehidrogenase G6PD dalam pengembangan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi neonatal.
Dengan demikian, beberapa variasi antarindividu dalam kegiatan dan tingkat keparahan penyakit kuning neonatal dapat dijelaskan secara genetik. Sebagai dampak dari
varian genetik lebih sepenuhnya dipahami, pengembangan panel tes genetik untuk risiko penyakit kuning neonatal berat atau berkepanjangan dapat menjadi wajar.
Setelah diekskresikan ke dalam empedu dan ditransfer ke usus, bilirubin ini akhirnya dikurangi menjadi tidak berwarna tetrapyrroles oleh mikroba dalam usus besar. Namun,
beberapa deconjugation terjadi di usus kecil proksimal melalui aksi B-glucuronidases terletak di perbatasan kuas. Ini bilirubin tak terkonjugasi dapat diserap kembali ke dalam
sirkulasi, meningkatkan kolam plasma bilirubin total. Siklus penyerapan, konjugasi, ekskresi, deconjugation, dan reabsorpsi disebut ‘enterohepatik sirkulasi. Proses ini mungkin meluas
pada masa neonatus, sebagian karena asupan gizi terbatas pada hari-hari pertama kehidupan, memperpanjang waktu transit di usus.Keren R,et all,. A 2009
Pada ibu yang sedang mengalami kesulitan dengan pembentukan ASI, cairan dan asupan gizi yang tidak memadai sering menyebabkan penurunan berat badan yang
signifikan setelah melahirkan pada bayi. Bayi tersebut memiliki peningkatan risiko penyakit kuning berkembang melalui sirkulasi enterohepatik meningkat, seperti dijelaskan di atas.
Fenomena ini sering disebut sebagai penyakit kuning dan menyusui ini berbeda dengan penyakit kuning ASI dijelaskan di bawah.
Faktor-faktor tertentu hadir dalam ASI dari beberapa ibu juga dapat menyebabkan sirkulasi enterohepatik bilirubin meningka
t ASI jaundice. β-glukuronidase mungkin memainkan peran dengan uncoupling bilirubin dari ikatannya dengan asam glukuronat,
sehingga membuatnya tersedia untuk reabsorpsi. Data menunjukkan bahwa risiko penyakit kuning ASI secara signifikan meningkat pada bayi yang memiliki polimorfisme genetik pada
urutan coding dari UDPGT1A1 atau OATP2 gen. Meskipun mekanisme yang menyebabkan fenomena ini belum disepakati, bukti menunjukkan bahwa suplementasi dengan pengganti
ASI tertentu dapat mengurangi tingkat penyakit kuning ASI Maisels M.J et all 2009. Ikterus neonatal, meskipun fenomena transisi normal di sebagian besar bayi, kadang-
kadang dapat menjadi lebih jelas. Golongan darah yang tidak kompatibel misalnya, Rh, ABO dapat meningkatkan produksi bilirubin melalui hemolisis meningkat. Secara historis,
isoimunisasi Rh adalah penyebab penting penyakit kuning yang parah, sering
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan perkembangan kernikterus. Meskipun kondisi ini telah menjadi relatif jarang terjadi di negara-negara industri setelah penggunaan profilaksis Rh di Rh-negatif,
isoimunisasi Rh tetap umum di negara berkembang. Gangguan hemolitik nonimmune sferositosis, G-6-PD kekurangan juga dapat
menyebabkan penyakit kuning meningkat, dan peningkatan hemolisis tampaknya telah hadir di beberapa bayi dilaporkan telah dikembangkan kernikterus di Jepang pada 10-15 tahun
terakhir. Interaksi yang mungkin antara kondisi tersebut dan varian genetik dari Gilbert dan UDPGT1A1 gen, serta varian genetik dari beberapa protein lain dan enzim yang terlibat
dalam metabolisme bilirubin, penemuan ini juga menyoroti tantangan yang terlibat dalam penggunaan umum dari penyakit kuning segi fisiologis dan ikterus patologis. Meskipun
penyakit kuning fisiologis merupakan konsep membantu dari perspektif didaktis, menerapkannya pada sebuah neonatus dengan penyakit kuning yang sebenarnya lebih
sulit. Yamamoto A 2009 Perhatikan metafora berikut: Pikirkan bilirubin serum total ikterus neonatal sebagai
gunung tertutup oleh gletser. Jika pengukuran ketinggian gunung tersebut diambil ketika berdiri di puncak, jumlah batu dan jumlah es yang terdiri dari pengukuran ini tidak jelas. Hal
yang sama berlaku bagi banyak bilirubin total nilai serum yang diperoleh dalam ikterus neonatal. Sebuah fondasi proses fisiologis dan proses patologis misalnya, ketidakcocokan
rhesus dengan jelas dapat berkontribusi untuk pengukuran. Namun, berapa banyak dari total nilai terukur berasal dari masing-masing komponen tidak jelas. Juga, karena varian
genetik dalam metabolisme bilirubin hanya sangat dikejar dalam diagnostik kerja-up bayi dengan penyakit kuning, mungkin kontribusi mereka terhadap bilirubin serum total yang
diukur biasanya tidak diketahui. Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa infeksi saluran kencing ISK
ditemukan pada 7,5 asimtomatik, afebris, pada bayi kuning usia kurang 8 minggu. Selain itu, bayi dengan timbulnya ikterus setelah 8 hari usia atau pasien dengan fraksi bilirubin
terkonjugasi tinggi lebih mungkin untuk memiliki sebuah ISK. Oleh karena itu, disarankan pengujian untuk ISK dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi dalam asimtomatik, bayi
kuning yang datang ke gawat darurat.Omar C,Hamza s bassem AM, Mariam R 2011
c. Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 umol L 1,8 mg dL
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk
Universitas Sumatera Utara
hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia layanan
kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan. Penelitian epidemiologi memberikan suatu
kerangka acuan untuk kejadian diperkirakan. Pada tahun 1986, Maisels dan Gifford dilaporkan 6,1 bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 220 umol L 12,9 mg dL.
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3 dari 47.801 bayi memiliki total serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994
American Academy of Pediatrics AAP pedoman, dan 2,9 memiliki nilai dalam rentang di mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.
Sebuah studi dari Turki melaporkan penyakit kuning yang signifikan dalam 10,5 bayi yang panjang dan dalam 25,3 dari jangka dekat bayi. Penyakit kuning yang signifikan
didefinisikan menurut umur kehamilan dan pasca kelahiran dan mendatar pada 14 mg dL 240 umol L pada 4 hari pada bayi prematur dan 17 mg dL 290 umol L pada bayi
panjang. Studi ini tampaknya menunjukkan bahwa beberapa variabilitas etnis dalam kejadian
dan tingkat keparahan penyakit kuning neonatal mungkin berhubungan dengan perbedaan dalam distribusi varian genetik dalam metabolisme bilirubin. Riskin A, Tamir A,kuglelman A
, 2009 .
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus dapat
terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis. Dalam sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31 bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki
G-6-PD kekurangan, dan 36 bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3 dari bayi dengan G-6-PD yang normal
skrining hasil tes. Kemungkinan dampak polimorfisme genetik pada variasi etnis dalam insiden dan keparahan
harus diakui. Dengan demikian, dalam studi bayi Taiwan, Huang dkk melaporkan bahwa neonatus yang membawa 211 dan 388 varian dalam UGT1A1 dan OATP2 gen dan yang
disusui beresiko sangat tinggi untuk hiperbilirubinemia parah. Sun LL et all 2012 Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-
laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang ada di
Universitas Sumatera Utara
bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan usia kehamilan. Sun G ,wu M, cao J,Du L, 2007
d. Penyebab
Ikterus fisiologis disebabkan oleh kombinasi produksi bilirubin meningkat sekunder terhadap kerusakan percepatan eritrosit, penurunan kapasitas ekskretoris sekunder
rendahnya tingkat ligandin dalam hepatosit, dan aktivitas rendah dari uridin enzim bilirubin konjugasi diphosphoglucuronyltransferase UDPGT.
Ikterus neonatus patologis terjadi bila faktor tambahan menemani mekanisme dasar yang dijelaskan di atas. Contohnya termasuk anemia hemolitik imun atau nonimmune,
polisitemia, dan adanya ekstravasasi memar atau darah. Penurunan bilirubin mungkin memainkan peran dalam penyakit kuning menyusui,
penyakit kuning ASI, dan dalam beberapa metabolik dan gangguan endokrin.
e. Faktor risiko meliputi:
1. Ras: Insiden lebih tinggi di Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah di Afrika