UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

LUCY MAYASARI

Pelaku tindak pidana pajak fiktif bukan hanya pejabat yang bekerja di instansi perpajakan, tetapi juga pribadi atau oknum di luar instansi perpajakan, yaitu perusahaan atau koorporasi. Penerbitan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat merugikan masyarakat. Perusahaan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, ternyata pajak yang mereka keluarkan tidak dibayarkan ke negara. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Responden dalam penelitian ini adalah Penyidik Polresta Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan PPNS Dirjen Pajak Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang selanjutnya dianalisis dan dibahas secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan: (1)Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pajak fiktif di Kota Bandar Lampung dilaksanakan dengan upaya penal dan non penal, sebagai berikut: a) Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pajak fiktif dengan upaya penal adalah penyidikan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan PPNS Ditjen Pajak untuk memastikan bahwa telah terjadi tindak pidana pajak fiktif melalui rangkaian tindakan penyidikan yang disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dakwaan oleh Kejaksaan Negeri dan dituangkan dalam surat dakwaan dengan tuntutan hukum sesuai dengan Pasal Pasal 41A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu pidana berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Pengadilan terhadap oleh hakim Pengadilan Negeri, untuk menegakkan keadilan berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan. (2) Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pajak fiktif dengan upaya non penal, dilaksanakan melalui penyuluhan dan sosialisasi kepada wajib pajak, khususnya perusahaan


(2)

Lucy Mayasari

yang berisi materi mengenai pentingnya penerimaan pajak perusahaan bagi negara dan pembangunan, serta ancaman atau sanksi terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana pajak fiktif. (2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pajak fiktif di Kota Bandar Lampung adalah: a) Faktor substansi hukum, yaitu perubahahan Undang-Undang di Bidang Perpajakan berdampak pada pelaksanaan undang-undang tersebut di lapangan karena para petugas harus mempelajari kembali berbagai perubahan tersebut. b) Faktor aparat penegak hukum, adalah secara kuantitas masih terbatasnya personil PPNS Ditjen Pajak yang khusus melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pajak fiktif. Secara kualitas adalah terbatasnya profesionalime kerja petugas di bidang penyidikan, perlu ditingkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis penyidikan di bidang perpajakan c) Faktor sarana dan prasarana, yaitu masih terbatasnya teknologi yang mampu mengidentifikasi berkas pajak yang dipalsukan, sehingga diperlukan sarana prasarana yang dapat memastikan secara akurat keaslian berkas pajak sehingga akan mempermudah pelaksanaan penyidikan.

Saran dalam penelitian ini adalah: a) Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam penanganan tindak pidana pajak fiktif dengan melakukan penyidikan, pendakwaan dan penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana pajak fiktif sesuai dengan hukum yang berlaku, untuk memberikan efek jera kepada para pelaku. b) Pengawasan terhadap wajib pajak, baik secara berkala maupun secara insidental hendaknya ditingkatkan dalam rangka mengantisipasi dan meminimalisasi tindak pidana pajak fiktif di masa-masa yang akan datang.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara dengan sumber penghasilan terbesarnya adalah berasal dari pajak. Sebagai sumber penghasilan negara yang terbesar, pajak merupakan sumber pengahasilan negara yang nantinya dipergunakan kembali untuk kepentingan masyarakat, diantaranya penyediaan sarana dan prasarana umum. Oleh karena itu, pajak menjadi sangat penting untuk diatur dengan aturan yang ketat.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan undang-undang.

Pajak mempunyai fungsi bagi negara, yaitu untuk penyediaan barang-barang dan jasa-jasa publik. Ada dua hal yang menjadi fungsi pajak bagi negara, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulair. Fungsi budgetair merupakan fungsi penerimaan,


(4)

juga merupakan fungsi utama dari pajak. Pajak dibebankan kepada masyarakat kemudian ditarik oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik. Di Indonesia, ada dua pajak yang merupakan penyumbang pajak terbesar, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Karena dua pajak ini adalah sumber penghasilan pajak terbesar, maka dua pajak ini memiliki fungsi penerimaan.

Pajak juga memiliki fungsi mengatur. Pada fungsi ini, pajak mengarahkan kepada masyarakat sebagai wajib pajak, baik perorangan ataupun kelompok (koorporasi), agar bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan masyarakat ataupun negara. Misalnya: agar masyarakat tidak mengkonsumsi alkohol, maka barang tersbut dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Adapun jenis pajak yang biasanya digunakan sebagai instrument dalam mengatur hal ini adalah Pajak Ekspor, Bea Masuk dan PPnBM.

Fungsi pajak sebagaimana disebutkan di atas, merupakan fungsi utama bagi negara. Dengan mempunyai fungsi penerimaan dan fungsi mengatur, pajak selayaknya dapat dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun belakangan banyak terjadi kasus-kasus perpajakan yang sangat mengecewakan masyarakat. Merupakan hal yang ironis ketika masyarakat sudah mempercayakan uangnya dibayarkan kepada negara sebagai pembayaran pajak, ternyata uang tersebut diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.


(5)

Pelaku tindak pidana pajak fiktif bukan hanya pejabat yang bekerja di instansi perpajakan, tetapi juga pribadi atau oknum di luar instansi perpajakan, yaitu perusahaan atau koorporasi. Penerbitan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat merugikan masyarakat. Perusahaan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, ternyata pajak yang mereka keluarkan tidak dibayarkan ke negara. Mereka hanya memberikan faktur pajak tetapi uangnya tidak disetorkan ke kas negara. Padahal pajak yang dibayarkan perusahaan adalah salah satu pajak penghasilan yang juga merupakan pajak penyumbang penghasilan terbesar negara.

Penerbitan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab merupakan pelanggaran hukum atas penyelewengan dana negara. Perusahaan menerbitkan faktur pajak tanpa melakukan transaksi merupakan tindak pidana. Dalam aturan perpajakan, pengusaha hanya memungut pajak dari masyarakat, sedangkan uangnya disetorkan ke kas ngara, namun ada perusahaan yang tidak menjalankan ketentuan tersbut. Perusahaan menerbitkan faktur pajak fiktif

kemudian hanya menyerahkan fakturnya kepada Dirjen pajak, tanpa fresh money

yang sesuai dengan keterangan yang disebutkan dalam faktur pajak tersebut.

Kasus pajak fiktif ini terjadi Kota Bandar Lampung, salah satunya adalah pada bulan Februari 2012, Pengadilan Tipikor Tanjung Karang baru saja mengadakan sidang atas penerbitan ratusan faktur pajak fiktif yang dilakukan oleh Alex Sitanggang, Direktur CV Silo Jaya Persada. Alex di duga telah menerbitkan faktur pajak tanpa melakukan transaksi (Radar lampung, 29 Februari 2012). Kemudian ada kasus pajak korporasi yang melibatkan PT Nian Abadi. Pada kasus ini


(6)

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung telah menahan Tiara Anthoni sebagai pelaku penerbitan faktur pajak fiktif bersama rekan di PT Nian Abadi. Perbuatannya ini telah berlangsung selama Februari 2008-Desember 2009, dan telah merugikan negara sebesar 8,7 Milyar rupiah. Atas kesalahannya tersebut, Tiara diancam

enam tahun penjara dan denda 2 kali dari maksimal 4 kali dari kerugian negara.1

Dua kasus tersebut di atas cukup untuk menyatakan bahwa potensi pajak fiktif perusahaan di Bandar Lampung adalah cukup tinggi. Dari dua kasus di atas dirasakan perlu untuk melakukan tinjauan hukum berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap pajak fiktif. Pelaku tindak pidana pajak fiktif dapat dikenakan pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu pidana berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

untuk melihat penegakan hukum sebagai suatu sistem peradilan pidana.2

1

Surat Kabar Harian Radar Lampung Edisi 25 Januari 2012.

2

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.


(7)

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti akan melakukan penelitian yang

berjudul: “Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pajak Fiktif di Kota Bandar

Lampung”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar

Lampung?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak

fiktif di Kota Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini dalam kajian bidang hukum pidana mengenai penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung dan faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012.

C.Tujuan dan Kegunaaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar


(8)

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai berikut:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

ilmu hukum, khususnya tentang proses penyelidikan pajak fiktif perusahaan wajib pajak

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi

perusahaan wajib pajak dalam pengelolaan pajak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi

terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti3

a. Teori Penanggulangan Tindak Pidana

Penanggulangan tundak pidana atau kejahatan dikenal dengan berbagai istilah,

antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu

usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

3


(9)

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.4

Pelaksanaan dari politik hukum pidana sebagaimana dikemukakan Wolfgang terdiri dari beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:

1) Tahap Formulasi

Tahap formulasi adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh

badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif

2) Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi adalah tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3) Tahap Eksekusi

Tahap eksekusi adalah tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan

nilai-nilai keadilan suatu daya guna. 5

4 Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1986. hlm. 22-23 5 Ibid. hlm. 25-26


(10)

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yaitu sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat (social defence policy). Penanggulanangan tindak pidana atau

kejahatan dilaksanakan dengan dua sarana, yaitu:

1) Penanggulangan dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

2) Penanggulangan dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan 6

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan

6

Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. hlm. 77-78


(11)

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan


(12)

penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin

banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau

bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk

melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.7

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian.8 Berdasarkan definisi tersebut, maka

konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum,

ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan,

keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan

7

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11

8


(13)

yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan

hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana9

b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum10

c. Penyidikan dan proses penyidikan, adalah tindak lanjut dari hasil Pemeriksaan

Bukti Permulaan yang oleh Direktur Jenderal Pajak diinstruksikan untuk disidik yang dilaksanakan oleh suatu Tim Penyidik Pajak yang terdiri dari para Penyidik Pajak pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dan/atau pada Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (terdapat dalam Bagian Umum Penyidikan Tindak Pidana Bidang Perpajakan)

d. Pajak Fiktif memiliki beberapa definisi dalam SE -29/PJ.53/2003, antara lain:

1) Pajak fiktif Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

2) Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama,

NPWP dan Nomor Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.

3) Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP

penerbit

4) Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5)

Undang-undang PPN, tetapi secara material tidak terpenuhi yaitu tidak ada

9

Barda Nawawi Arief. Op Cit. hlm. 23.

10


(14)

penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.

5) Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya.

e. Perusahaan, adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam KUHD dan

perundang-undangan di luar KUHD.perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau

mengadakan perjanjian perdagangan. 11

f. Perusahaan wajib pajak. Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena

Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. (UU No 28 Tahun 2007)

E. Sistematika Penulisan

Guna memperoleh kemudahan pemahaman konteks skripsi ini, maka alur penulisan dengan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan memuat latar belakang dari permasalhan yang diselidiki, masalah yang dijadikan focus studi, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang dipergunakan dan sistematika penulisan skripsi.

11


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab tinjauan pustkan berisikan materi-materi yang berhubungan dan diperlukan untuk membantu pemahaman dan kejelasan permasalahan yang diteliti. Dalamhal ini bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori dengan kenyataan dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang cara memperoleh pemahaman dan jawaban dari permasalahan yang diselidiki secara konstruktif dan sistematis, logis dan konsisten yang meliputu cara pendekatan masalah, sumber dan jenis data yang digunakan,penentuan sampel serta analisi data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab yang berisi uraian-uraian yang menjelaskan dan menjawab permasalahan tentang penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung dan faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung

V. PENUTUP

Bab penutup memuat kesimpulan dan saran dari permasalahan yang diteliti oleh penulis dalam skripsi ini


(16)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana1

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:

a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)

yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)

yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

1 Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994. hlm.76


(17)

c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi

masyarakat2

Hal yang mendasari penegakan hukum adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya di hadapan hukum yang diakui bersama.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang

melakukan tindak pidana harus mempertanggung jawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai

pertanggung jawabannya3

2Ibid. hlm.78


(18)

2. Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan

mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 4

Sistem peradilan pidana merupakan pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana yang melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan

wewenangnya. 5

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan

dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime

4 Mardjono Reksodiputro, Op Cit. hlm. 12-13 5 Romli Atmasasmita. Op Cit. hlm. 2


(19)

control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa

tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 6

Selanjutnya tampak pula, bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

3. Proses Hukum Yang Adil (Layak)

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due

process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara

pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due

process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau

perundang-undangan secara formil.7

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum

6 Sudarto. Loc Cit. hlm. 7

7 Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Penerbit UNDIP. Semarang. 1997. hlm. 62.


(20)

dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah

dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum

berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

4. Model Integrated Criminal Justice System

Sistem peradilan pidana merupakan arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan. Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga


(21)

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.

b. Pendekatan administratif

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

c. Pendekatan sosial

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam

melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.8

Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja sama

membentuk suatu integrated criminal justice system.

Integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:

8 Romli Atmasasmita. Op Cit. hlm. 6


(22)

a. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

b. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat

vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

c. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati

pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh

mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 9

Keselarasan dan keterkaitan antara subsistem yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu subsistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem lainnya. Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Oleh karena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan


(23)

pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai the network of court and tribunals which deal with criminal law and it enforcement.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik

sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu

bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti

gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar system hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.


(24)

Faktor penegak hukum dalam hal ini menempati titik sentral, karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum. Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistem, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

B. Pajak

1. Pengertian Pajak

Beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli sebagaimana dikemukakan adalah sebagai berikut:

a. Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan

oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja pemerintah.

b. Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan

tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum

(negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand

(sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.


(25)

c. Uang pajak digunakan untuk produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan kepada masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara perorangan.

d. Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada

penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum.

e. Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalaui

norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

f. Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

g. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum.10

2. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:

10 R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung. 2003. hlm 33


(26)

a. Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

b. Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

c. Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.


(27)

d. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat. 11

3. Syarat Pemungutan Pajak

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak, namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:

a. Pemungutan pajak harus adil

Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya adalah dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran

b. Pengaturan pajak harus berdasarkan undang-undang

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak,


(28)

yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya

c. Jaminan hukum

Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak

d. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

e. Pemungutan pajak harus efesien

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.

f. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan

pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. 12

12 Joseph R. Kaho. Keuangan di Era Otonomi Daerah. Rineka Cipta. Jakarta. 2003. hlm 46-47


(29)

C. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan13

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum.14

Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi

yang berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga

pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau kriminal. Setiap kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.

13 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 19

14 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.


(30)

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun

daerah. 15

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan16

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

15Ibid. hlm. 7.


(31)

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain

kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam

Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu

bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).

Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara

lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan

sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat


(32)

matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif

juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal

338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal17

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Beberapa pasal dalam KUHP yang menyebutkan beberapa jenis tindak pidana adalah sebagai berikut:

1) Pasal 2 KUHP: Setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di

Indonesia

17Ibid hlm. 25-27


(33)

2) Pasal 4 KUHP: Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, dan 131 KUHP

3) Pasal 4 KUHP: Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan mengenai

mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia

4) Pasal 4 KUHP: Setiap orang yang melakukan pemalsuan surat hutang atau

sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu

5) Pasal 4 KUHP: Setiap orang yang melakukan salah satu kejahatan yang

tersebut dalam Pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

6) Pasal 5 KUHP: Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang

melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP.

7) Pasal 5 KUHP: Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang

melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara perbuatan dilakukan diancam dengan pidana


(34)

8) Pasal 55 KUHP: Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan pidana.

9) Pasal 55 KUHP: Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah

memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.

D. Tindak Pidana Bidang Perpajakan

Pada hakikatnya penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan salah satu upaya untuk menegakkan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Penyidikan merupakan tindak lanjut dari hasil pemeriksaan bukti permulaan yang oleh Direktur Jenderal Pajak diinstruksikan untuk dilakukan penyidikan. Penyidikan dilaksanakan oleh Tim Penyidik Pajak yang terdiri dari para penyidik pajak pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dan atau para penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan atau pada para penyidik Kantor Unit Pelaksana Pemeriksaan. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pajak dengan sistematika sebagai berikut:

a. Persiapan Penyidikan;

b. Pelaksanaan Penyidikan;

c. Penyusunan dan Pemberkasan Perkara;

d. Penyerahan Berkas Perkara,

e. Pelaporan.18

18 Petunjuk Teknis Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Proses penyidikan.htm. di akses tanggal 10 April 2012


(35)

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan kelangsungan perwujudan konsep-konsep abstrak yang menjadi kenyataan.

Hukum tidak bersifat mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat hubungannya dengan proses penegakan hukum yang harus diikutsertakan, yaitu masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat antara lain sebagai berikut:

1. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum


(36)

yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan peraturan dengan perilaku yang mendukung.

2. Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

4. Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi


(37)

kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum, menurut Baharudin Lopa seseorang baru dapat dikatakan mempunyai kesadaran hukum, apabila memenuhi hukum karena keikhlasannya, karena merasakan bahwa hukum itu berguna dan mengayominya. Dengan kata lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa hukum itu berasal dari hati nurani.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin

banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk

melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut. 19

19

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11


(38)

1

I. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1


(39)

2

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(3)Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.2 Berdasarkan pengertian di atas maka

yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penyidik Polresta

2


(40)

3

Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan PPNS pada Dirjen Pajak Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian3. Berdasarkan pengertian di

atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Penyidik Polresta Bandar Lampung = 1orang 2) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang 3) PPNS Dirjen Pajak Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

3


(41)

4

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.4

4


(42)

5

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(43)

UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

LUCY MAYASARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(44)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Penegakan Hukum ... 14

B. Pajak ... 22

C. Tindak Pidana... 27

D. Tindak Pidana Perpajakan ... 32

E. Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum ... 33

III METODE PENELITIAN ... 36

A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pajak Fiktif .... 42

C. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pajak Fiktif ... 61


(45)

V PENUTUP ... 65 A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Loqman, Loebby.2001. Kapita Selekta di Bidang Perekonomian. Datacom. Jakarta.

Susanto, F. Anton. 2004. Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia

Rineka Cipta. Jakarta

Sutarto. 2002. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta.

Raharjo, Satjipto. 1991. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

R. Santoso Brotodihardjo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.

Soekanto,Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI-PRESS. Jakarta. Waluyo, Bambang. 1987. Tindak Pidana Perpajakan. Pradnya Paramita. Jakarta. Surat edaran direktorat jendral pajak NOMOR SE - 12/PJ.7/1994 tentang Tindak

Lanjut LP2 Dan Pemeriksaan Wajib Pajak Perusahaan Go Public (Seri Pemeriksaan Direktur Jenderal Pajak)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(1)

4

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.4

4


(2)

5

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(3)

UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

LUCY MAYASARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Penegakan Hukum ... 14

B. Pajak ... 22

C. Tindak Pidana... 27

D. Tindak Pidana Perpajakan ... 32

E. Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum ... 33

III METODE PENELITIAN ... 36

A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pajak Fiktif .... 42

C. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pajak Fiktif ... 61


(5)

V PENUTUP ... 65 A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Loqman, Loebby.2001. Kapita Selekta di Bidang Perekonomian. Datacom. Jakarta.

Susanto, F. Anton. 2004. Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia Rineka Cipta. Jakarta

Sutarto. 2002. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta.

Raharjo, Satjipto. 1991. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

R. Santoso Brotodihardjo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.

Soekanto,Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI-PRESS. Jakarta. Waluyo, Bambang. 1987. Tindak Pidana Perpajakan. Pradnya Paramita. Jakarta. Surat edaran direktorat jendral pajak NOMOR SE - 12/PJ.7/1994 tentang Tindak

Lanjut LP2 Dan Pemeriksaan Wajib Pajak Perusahaan Go Public (Seri Pemeriksaan Direktur Jenderal Pajak)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana