UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TAWURAN ANTAR PELAJAR (Study Kasus Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

  

UPAYA PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP PELAKU TAWURAN ANTAR PELAJAR

(Study Kasus Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

(Jurnal)

  

Oleh

Muhammad Eko Sutrisno

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  

ABSTRAK

UPAYA PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP PELAKU TAWURAN ANTAR PELAJAR

(Study Kasus Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

Oleh

Muhammad Eko Sutrisno, Eko Raharjo, Rini Fathonah

Email : muhammadeko91@gmail.com

  Tawuran pelajar merupakan salah satu perbuatan anak yang dapat dikategorikan sebagai kenakalan remaja (juvenile deliquency), yang menjadi tradisi mengakar di kalangan pelajar. Meningkatnya aksi tawuran pelajar sendiri dapat meningkatkan angka tindakan kriminal. Di Bandar Lampung khususnya, tidak sedikit aksi tawuran terjadi baik yang melibatkan sekolah-sekolah swasta maupun negeri. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar, adalah upaya yang penulis lakukan untuk menjelaskan sejauh mana penegakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terutama kepolisian dalam penegakan hukum terhadap aksi tawuran yang di lakukan oleh pelajar. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan yaitu hasil wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di simpulkan bahwa: upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar dilakukan melalui upaya non-penal (preventif) dengan melalukan mediasi sebagai bentuk upaya kepolisian dalam menerapkan restorative justice. Namun, jika pelaku sudah berulang kali melakukan aksi tawuran maka dapat di berikan upaya penal (represif) dengan dikenakan Pasal 170 KUHP atau Pasal 351 KUHP yang mengacu pada undang-undang sistem peradilan pidana anak. Karena mengingat usia rata-rata pelajar masih tergolong dalam usia anak, sehingga kasus tersebut hanya dapat diproses melalui sistem peradilan pidana anak. Penulis menyaranan melalui penelitian ini agar pemerintah hendaknya membuat peraturan khusus yang mengatur tentang aksi tawuran, serta aparat penegak hukum, keluarga, sekolah dan masyarakat hendaknya menjalin kerjasama dan koordinasi yang baik.

  Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tawuran, Pelajar

  

ABSTRACT

LAW ENFORCEMENT EFFORTS

AGAINST FIGHTER AMONG STUDENTS

(The Case Study of Law in the Region of Bandar Lampung)

By

  

Muhammad Eko Sutrisno, Eko Raharjo, Rini Fathonah

Email : muhammadeko91@gmail.com

Phone : 085789442272

  

Fighter among students is one of children behaviors which can be categorized as

a juvenile delinquency that has been a deep-rooted tradition among the students.

The increase of this clash can boost the number of crimes. Many clashes happen

state schools. The efforts of law enforcement against these fighters among the

students is an effort done by the writer to explain how far the maintenance which

is done by the officers especially those who work as police in upholding the law

against the clash done by the students. The approach of the case used in this

thesis is a normative juridical approach and an empirical juridical approach. The

research resource and data are primary and secondary data. Primary data is the

data collected from a field study which is an interview from the interviewees,

while secondary data is the data which is obtained from literature review.

According to the results and discussion, it can be said that: the law enforcement

efforts applied against the fighter among students or students clash is preventive

by doing mediation as an effort of the police officers in applying restorative

justice. However, if the performers of the clash have been doing this many times,

repressive effort will be applied to them by a punishment subject to the Article 170

of the Criminal Code (Pasal 170 KUHP) or the Article 351 of the Criminal Code

(Pasal 351 KUHP) which both refer to the law of the criminal justice system of

children. Given the average age of students is still classified in the age of

children, so the case can only be processed through the criminal justice system of

children. It suggests through this research that the government should legislate a

special constitution governing a clash or fighting among the students;

additionally, the officers, family, school, and the society should establish a good

cooperation and coordination.

  Key Words: Law Enforcement, Students Clash Fighter, Students

I. PENDAHULUAN

  Kenakalan remaja sudah menjadi masalah di semua negara. Setiap tahun tingkat kenakalan remaja menunjukkan peningkatan. Lingkungan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan jiwa remaja. Remaja yang salah memilih tempat atau teman dalam bergaulnya akan berdampak negatif terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi, bila dia memasuki lingkungan pergaulan yang sehat, seperti organisasi pemuda yang resmi diakui oleh pemerintah, akan berdampak positif bagi perkembangan kepribadiannya.

  Remaja disini merupakan salah satu fase yang paling rentan dalam dalam menerima perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan arus globalisasi karena remaja memasuki fase pencarian

  1

  ini remaja mengekspresikannya dengan berbagai cara dan gaya karena ingin tampil beda untuk menarik perhatian orang lain. Dan dalam fase inilah melakukan hal-hal baru yang menurut pandangan remaja sebagai suatu hal yang menantang dan memberikan sensasi tersendiri. Akhirnya tidak sedikit para remaja yang terjerumus ke hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, norma agama, norma sosial dan norma hidup di masyarakat.

  melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal 1 Ramadina Savitri. 2017. Jurnal:

  “Kajian Kriminologi Terhadap Pelaku Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menengah Atas Di Kota Yogyakarta.” Yogyakarta: FH-UGM. hlm. 3. 2 Agus Sujanto, Halem Lubis dan Taufik Hadi.

  1986. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Aksara

  perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Tawuran pelajar merupakan salah satu perbuatan anak yang dapat dikategorikan sebagai kenakalan remaja atau juvenile

  deliquency yang dikemukakan oleh

  Besar Bahas Indonesia atau KBBI b erasal dari kata “tawur” dan “pelajar”.

  3 Tawur adalah perkelahian beramai-

  ramai, perkelahian massal, perkelahian yang tiba-tiba terjadi antara kedua pihak yang berselisih. Sedangkan tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang yang sedang belajar. Saat ini tawuran antar pelajar bukan saja merupakan masalah yang di pandang sebelah mata saja, karena tawuran memberikan efek buruk bukan saja kepada para pelajar yang terlibat namun masyarakat sekitar ikut menjadi imbasnya dari sisi ekonomi, sosial, maupun budaya. 3 Tawuran pelajar berasal dari kata “tawur” dan

2 Secara psikologis, perkelahian yang

  “pelajar”. Tawur adalah perkelahian beramai- ramai, perkelahian massal, perkelahian yang tiba-tiba terjadi antara kedua pihak yang berselisih. Kamus Besar Bahas Indonesia atau

  • – damapak negatif akibat tawuran diantaranya yaitu:

  kerugian fisik, pelajar yang ikut tawuran seperti luka- luka baik ringan maupun luka berat karena lemparan benda tumpul atau batu dan adu fisik dengan tangan kosong,

  ”, Vol.2, No.1, 2013, hlm. 9.

  Tawuran Pelajar Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Degradasi Moral Pelajar Studi Kasus Di Kota Blitar Jawa timur

  5. Menurunnya moralitas para pelajar kedua sekolah, ini diwujudkan secara nyata dengan mengutamakan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan 6 Septian Bayu Rismanto, “Model Penyelesaian

  3. menggangu kenyamanan pengendara jalan, karena tawuran banyak terjadi di pusat kota dimana banyak aktivitas dari warga masyarakat. terganggunya proses belajar mengajar karena dengan adanya tawuran ini para pelajar tidak nyaman dalam mengikuti pelajaran, ini di akibatkan rasa yang berkecamuk dalam dirinya seperti rasa takut, gelisah dan rasa ingin balas dendam yang mendorong diri mereka yang terlibat tawuran untuk mengabaikan proses pembelajaran atau membolos dan memilih untuk menyelesaikan perkara dengan jalan tawuran.

  2. masyarakat sekitar tempat terjadinya tawuran, contohnya rusaknya rumah warga akibat pel ajar yang tawuran melempari batu dan mengenai rumah warga.

  6 1.

Gambar 1.1. Data Tawuran Antar PelajarTingkat Nasional Pelajar

  buruk yang di timbulkan dari tawuran tidak hanya merugikan sendiri bagi pelaku ternyata tawuran dapat merugikan semua pihak, Dampak

  bankdata.kpai.go.id. diakses tanggal 04 April 2017 pada pukul 14.00 WIB. 5 Selama 2012: 147 Kasus Tawuran, 82 Pelajar Mati Sia-Sia. Di kutib dari pada tanggal 16 April

  4

  Berdasarkan data diatas, saat ini kondisi pelajar sangat mengkhawatirkan karena banyaknya penyimpangan yang mengakibatkan adanya pelangaran hukum. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan mulai dari upaya penanggulangan tawuran antar pelajar sampai dengan penegakan hukum terhadap pelaku antar pelajar tersebut.

  Pantauan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, telah terjadi 147 kasus tawuran antar pelajar sepanjang tahun 2012 yang mengakibatkan 82 orang pelajar tersebut meninggal secara sia-sia.

  Sumber : website Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Data dari website pemerintah yang terdapat pada grafik diatas dijelaskan bahwa dari tahun 2011-2016 menunjukan bahwa anak pelaku tawuran pada tahun 2011 sebanyak 64 kasus, pada 2012 sebanyak 82 kasus, untuk tahun 2013 sebanyak 71 kasus, Kemudian pada tahun 2014 sebanyak 46 kasus, dan pada tahun 2015 sebanyak 126 kasus serta ditahun 2016 sebanyak

4 Merdeka Sirait menyatakan berdasarkan

5 Kasus di atas adalah bukti dari efek

  konflik dan mengumbar kata-kata kotor sebagai luapan emosi.

  6. hilangnya perasaan peka, toleransi, tenggang rasa dan saling menghargai antar sesama pelajar.

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar (Study Kasus Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)? 2. Apakah faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar (Study Kasus Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)?

  Pendekatan masalah dalam penelitian ini normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah. Dan pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Sumber dan jenis data, jenis data dilihat dari sudut sumbernya, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakatdan dari bahan kepustakaan. Data Primer yaitu data secara langsung dari sumber pertama. Dengan demikian data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian di lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian. Data Sekunder bersumber dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip. dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen dokumen, kamus, literatur, berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Setelah data terkumpul dan diolah, kegiatan selanjutnya adalah analisa data. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data yang diperoleh dalam bentuk penjelasan dan uraian-uraian kalimat. Dan dapat ditarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat umum lalu diambil kesimpulan secara khusus. Dari kesimpulan- kesimpulan yang telah diambil kemudian disampaikan saran-saran.

  II. HASIL PEMBAHASAN A. Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tawuran Antar Pelajar (Studi Kasus Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

  Muladi dan Barda Nawawi Arif hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap- tahap tersebut adalah:

  7 1.

   Tahap Formulasi

  Tahap penegakan hukum pidana in

  abstracto oleh badan pembuat undang-

  undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang- undangan.

  Pengaturan terkait dengan sanksi pidana yang di jatuhkan bagi pelaku tawuran 7 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1993. Teori-

  Teori dan Kebijakan Hukum Pidana . Bandung : antar pelajar sendiri, sebenarnya belum ada peraturan perundang-undangan yang secara jelas yang mengatur tentang aksi tawuran serta sanksi di berikan kepada pelaku tawuran antar pelajar tersebut. Aksi tawuran sendiri masih diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdapat dalam

  Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Pengaturan lain yang di berikan kepada pelaku tawuran antar pelajar di atur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, apabila pelaku tawuran masih dalam kategori usia anak. Tehadap anak yang berhadapan dengan hukum diatur di dalam Pasal 5 dan Pasal

  7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

   Tahap Aplikasi

  Tahap aplikasi yang di lakukan oleh aparat kepolisian sebagai bentuk penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar dapat di lakukan melalui beberapa upaya, diantaranya yaitu:

  Upaya Represif merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada upaya pemidanaan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminil.

  hukum pidana adalah suatu usaha untuk menaggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana 8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan daya guna.

  b) Melalui Upaya Non Penal (Preventif)

  Upaya penegakan hukum secara non penal ini lebih menitikberatkan pada asas kekeluargaan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, yaitu seperti penyelesaian perkara pidana melalui upaya mediasi. Upaya non penal juga merupakan penegakan hukum yang sebenarnya dilakukan (actual

  enforcement).

  9 Bhira W., mendifinisikan actual enforcement yaitu suatu tindakan

  yang paling standar yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terutama aparat kepolisian.

  10 Karena

  penanggulangan terhadap tindakan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana itu hanya sebatas yang bisa dilakukan itu saja. Sehingga di rasa cocok diterapkan dalam penegakan hukum pidana bagi pelaku tawuran antar pelajar. Kepolisian sebagai aparat penegak hukum pertama yang menangani pelaku, lebih mengedepankan pendekatan persuasif dibanding pendekatan yudiris dalam menyelesaikan perkara-perkara tawuran pelajar. Penyelesaian perkara tawuran pelajar secara umum diselesaikan secara mediasi antar sekolah atau kelompok yang terlibat atau pembinaan terhaap pelajar yang terlibat. Jika ada yang melakukan tindak pidana ringan, terhadapnya 9 Muladi. Op. Cit. hlm. 5. 10 Wawancara Bhira W, KBO Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung. 20 Oktober

a) Melalui Upaya Penal (Represif)

8 Fungsionalisasi

  lebih diutamakan restorative justice atau upaya damai kepada korban tindak pidana ringan tersebut. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 1 angka 6 memberikan definisi restorative

  (“the problems of court case overload”)

  menurut Muladi lebih memenuhi tuntutan 11 Barda Nawawi Arief, Pemberdayaan Court

  13

  dalam hal-hal tertentu,

  Dispute Resolution (ADR) yang

  konsensus yang dianggap menimbulkan konflik baru harus diganti dengan model asensus, karena dialog antara yang berselisih untuk menyelesaikan masalahnya, adalah langkah yang sangat positif. Dengan konsep ini muncul istilah Alternative

  12 Muladi menyatakan bahwa model

  peradilan.

  antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara

  justice atau keadilan restoratif yaitu

  imprisonment/alter-native to custody) . Latar belakang pragmatisme

  ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to

  “penal reform” itu antara lain

  peradilan pidana memerlukan adanya terobosan baru untuk mengupayakan adanya mediasi penal. Latar belakang ide-ide

  11 Penegakan hukum di dalam sistem

  Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang berisi sistem pendekatan Keadilan Restoratif. Berdasarkan ide restorative justice atau keadilan restoratif tersebut, lahirlah sebuah alternatif lain yang digunakan dalam sistem peradilan pidana yaitu mengupayakan adanya mediasi penal. Pendekatan melalui jalur alternatif ini, pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan, namun dalam perkembangannya dapat pula digunakan oleh hukum pidana, hal ini sebagaimana diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995 dalam Dokumen A/CO NF.169/6 menjelaskan dalam perkara- perkara pidana yang mengandung unsur fraud dan white-collar crime atau apabila terdakwanya korporasi, maka pengadilan seharusnya tidak menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara kemungkinan terjadinya pengulangan.

  sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Kewajiban untuk mengutamakan keadilan restoratif juga diatur dalam

  Management Dalam Rangka Meningkatkan Fungsi Mahkamah Agung (Kajian dari Aspek system Peradilan Pidana), Makalah Pada Seminar Nasional Pemberdayaan Court Manajement di Mahkamah Agung R.I., dan diskusi Buku Fungsi Mahkamah Agung , F.H., UKSW, salatiga, I Maret 20001, hal. 7-8. 12 Sahuri Lasmadi, Jurnal: Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 13 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana , Badan Penerbit keadilan dan efesien. ADR ini merupakan bagian dari konsep restorative justice yang menempatkan peradilan pada posisi mediator.

  Mediasi penal dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar merupakan suatu upaya preventif yang sesuai dengan kondisi pelajar saat ini. Hal ini dikarena kan dengan adanya mediasi penal ini diharapkan adanya kepastian hukum yang sesuai untuk kondisi psikologi anak. Sehingga anak yang berhadapan dengan hukum tidak harus di proses melalui pemidanaan yang nantiny dapat merusak masa depan mereka dan mengganggu kejiwaan serta tingkat emosional anak tersebut. Menurut Erna Dewi,

  14

  langkah yang terhadap pelaku tawuran antar pelajar yaitu proses penyelesaian perkara tawuran dilakukan melalui mediasi penal yang dapat melibatkan pihak- pihak sekolah yang terkait dan juga aparat kepolisian yng berfungsi sebagai mediator untuk upaya mediasi penal tersebut. Berdasarkan penjelasan dari narasumber, Undang-Undang dan data terjadinya kasus tawuran, bahwa penegakan hukum terhdap tawuran pelajar yang paling sesuai adalah melalui upaya mediasi penal, yang dalam hal ini berupa tindakan preventif yang dilakukan oleh kepolisian. Mengingat usia pelaku yang masih tergolong remaja (di bawah umur) jika terdapat tindak pidana ringan di dalamnya, penegakan hukum yang tepat 14 Wawancara Erna Dewi, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. dilakukan adalah dengan keadilan restoratif agar remaja terlindung dari trauma psikis yang mengakibatkan kepada jiwanya, namun penegakan hukum pidana berupa sanksi juga harus ditegakkan agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya mengingat pidana di sini memang bertindak sebagai Ultimum Remedium atau sebagai obat terakhir yang dilakukan untuk memberantas tawuran. sehingga, kepolisian dalam memberikan sanksi pidana harus selalu berkoordinasi dengan pengajar agar diberikan sanksi yang tegas namun membangun untuk kedepannya.

  3. Tahap Eksekusi

  Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat- aparat pelaksana pidana. Pada tahap bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan.

  Berdasarkan data-data yang telah diuraikan sebelumnya, tahap eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena di Bandar Lampung sendiri belum ada kasus tawuran antar pelajar yang di proses samapi ke tahap peradilan. Sehingga sebagai bentuk pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar, dilakukanlah upaya mediasi penal yang melibatkan pihak sekolah dan siswa yang terlibat dalam aksi tawuran tersebut. Hal ini sebagai langkah alternatif dalam menyelesaikan perkara tanpa harus melalui jalur peradilan. Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja tujuan tertentu. Jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktivitas yang terputus yang bersumber dari nilai- nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

B. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap para Pelaku Tauran antar Pelajar (Study Kasus Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

  Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis akan menganalisa dan membahas hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah-masalah yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa: “masalah pokok dari pada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya”.

  tersebut mempunyai arti yang netral, terletak pada isi faktor tersebut.

  Faktor yang menghambat penegakan hukum tersebut dapat menimbulkan dampak tidak terlaksananya fungsi, tugas dan kewenangan suatu instansi dengan optimal, di mana dalam hal menjalankan perannya di dalam masyarakat, suatu instansi selalu dituntut untuk melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangan tersebut secara maksimal. Adapun faktor-faktor penghambat tersebut bila disesuaikan ke dalam teori efektivitas hukum

  16

  menurut Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu sebagai berikut:

  Faktor penghambat pada penegak hukum menurut Bhira W., adalah saat menangani pelaku tawuran antar pelajar, kurangnya sikap koordinasi antara penegak hukum dengan 15 Soerjono Soekanto. 1983. Op. Cit. hlm. 4. masyarakat untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana. Selain itu juga, adanya sikap diskriminasi terhadap penanganan suatu tindak pidana dalam hal ini apabila terjadi tindak pidana ada yang diproses ada pula yang tidak di proses. Perlakuan diskriminasi ini akan menimbulkan ketidak pastian hukum yang kedepannya dapat melemahkan proses penegakan hukum.

  17 Perlakuan kepolisian yang

  diskriminasi dan tidak tegas menimbulkan adanya ketidak jelasnya sanksi yang akan dikenakan kepada para pelaku. Menurut M. Rama Erfan,

  18

  dalam penjatuhan hukuman pelaku tawuran antar pelajar yang melakukan tindak pidana digunakan KUHP dengan mengedepankan tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang mengatur tentang senjata tajam. Berdasarkan Tabel.1 pada uraian sebelumnya, penegakan hukum bagi pelaku tawuran antar pelajar dilakukan melalui upaya non penal yang mengedepankan upaya mediasi penal dan restorative justice. Undang- Undang Hukum Pidana tidak mengenal pertanggungjawaban kolektif sanksi lebih tujukan pada individu.

15 Faktor-faktor

  2. Faktor Sarana atau Fasilitas Sekolah merupakan salah satu faktor yang berperan pentig dalam proses pembentukan karakter suau bangsa. Sarana dan fasilitas yang memadai 17 Wawancara Bhira W, KBO Satuan Reserse

1. Faktor Penegak Hukum

  Kriminal Polresta Bandar Lampung. 20 Oktober 2017. 18 Wawancara M. Rama Erfan, Jaksa Kejaksaan diperlukan demi mendukung proses tersebut. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga pengajar yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup untuk menunjang kegiatan-kegiatan sekolah yang bersifat positif. Apabila sekolah sendiri tidak mampu memberikan keterampilan dalam pembentukan karakter anak, tidak menutup kemungkinan anak tersebut dapat melakukan perbuatan atau melakukan sebuah kegiatan yang bersifat negatif seperti hal nya tawuran antar pelajar. Salman Afarasi menambahkan faktor yang menghambat dalam penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar yaitu terkait tempat penanganan pelaku tawuran antar pelajar seperti Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) atau Panti Sosial, yang nantinya pelaku- pelaku tawuran akan di bina dan di arah melalui kegiatan pelatihan- pelatihan. Sehingga apapbila ada kasus tawuran yang sampai ke dalam proses persidangan aparat penegak hukum sulit memenuhi hak-hak anak yang menjalani hukuman sebagai narapidana.

  19 3.

  Faktor Masyarakat Berdasarkan hal itu Bhira W.,

  20

  berpendapat bahwa masyarakat, kepolisian dan pihak sekolah harus bekerja sama dalam mengatasi 19 Wawancara Salman Alfarasi, Hakim

  Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang. 09 Oktober 2017 20 Wawancara Bhira W, KBO Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung. 20 Oktober

  segala bentuk kenakalan remaja seperti tawuran antar pelajar. Tawuran tidak dapat diprediksi kapan terjadinya, untuk itu peran masyarakat sangat diperlukan untuk melapor pada kepolisian terdekat jika melihat gerombolan anak sekolah yang berindikasi akan melakukan tawuran atau bahkan sudah melakukan aksi tawuran. Selain kepada kepolisan masyarakat juga dapat melapor kepada keamanan setempat agar kemudian dapat dilerai sehingga dampak tawuran tidak lebih besar.

  4. Faktor Kebudayaan Kebudayaan yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Hukum harus dibuat sesuai dengan kondisi bertentangan dengan kebudayaan yang hidup di masyarakat. Kebudayaan yang berkembang di Indonesia sangat beragam. Setiap daerah terdiri dari suku bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan suku bangsa di daerah lain. Kemajemukan ini berpengaruh terhadap usaha penegakan hukum di indonesia.

  Ketentuan yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku bagi suatu daerah tapi belum tentu bisa dilaksanakan di daerah lain.

  21

  penulis berpendapat bahwa budaya hukum pelajar dan kepolisian yang membeda-bedakan dalam menangani pelaku tawuran pelajar, menyebabkan para pelajar tidak merasa jera dalam melakukan tawuran. Pelajar justru membuat tawuran sebagai tradisi karena mereka beranggapan tindakan mereka masih dalam toleransi pelanggaran hukum sehingga rasa ketakutan terhadap sanksi hukum yang akan diterima perilaku tawuran pelajar ini tidak ada.

III. PENUTUP A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka pada bagian penutup ini dikemukakan beberapa kesimpulan terkait dengan hasil peneletian dan pembahasan tentang upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar dan faktor- faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap para pelaku tawuran antar pelajar sebagai berikut:

  1. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan atau Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan sebagai tahap formulasi dengan segala unsur didalamnya, namun dalam aplikasinya terhadap pelaku tawuran antar pelajar tidak bisa dilaksanakan karena mengingat pelaku adalah pelajar yang masih tergolong dalam kategori anak sehingga berlaku Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang SPPA dengan mengedepankan upaya Restorative

  Justice melalui upaya Mediasi,

  sehingga pelaku tawuran antar pelajar tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.

  2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar yang penulis teliti diantaranya adalah, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Dimana faktor penegak hukum dan faktor masyarakat. Ketidaktegasan aparat penegak hukum dan Sikap masyarakat yang individualis atau acuh terhadap kejadian di sekitar mereka serta tidak melapor apabila terjadi tindak tawuran antar pelajar menjadi faktor utama penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar.

  B. Saran

  Bertolak dari data hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, terlihat bahwa aparat penegak hukum telah berusaha secara maksimal untuk melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku tawuran antar pelajar, akan tetapi masih belum optimal dan berhasil dengan baik, oleh karena itu penulis perlu untuk memberikan saran 1.

  Aparat Pemerintah hendaknya membuat peraturan khusus yang mengatur tentang aksi tawuran, serta aparat kepolisian dalam melaksanakan upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar hendaknya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

  2. Aparat penegak hukum, keluarga, sekolah dan masyarakat hendaknya menjalin kerjasama dan koordinasi yang baik, sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan menimimalisir aksi tawuran antar pelajar. Dalam lingkungan keluarga dapat melakukan proses sosialisasi kepada anak agar dapat mengontrol kegiatan anak di dalam maupun di luar rumah, pihak sekolah seharusnya lebih mengoptimalkan perannya dalam membimbing para siswanya, dengan cara memperbanyak kegiatan dapat menerapkan sistem scoresing (merumahkan) pelajar yang kedapatan melakukan tawuran, sehingga memberikan efek jera.

  DAFTAR PUSTAKA Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1993.

  Blitar Jawa timur.Vol.2. No.1 Sahuri Lasmadi. Jurnal: Mediasi Penal

  Wawancara Pada Tanggal 20 Oktober 2017, Bhira W., S.Kom., M.M., Selaku KBO Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung.

  Wawancara Pada Tanggal 27 September 2017, M. Rama Erfan, S.H., M.H., Selaku Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

  Wawancara Pada Tanggal 25 Oktober 2017, Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., Selaku Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

  Wawancara Pada Tanggal 09 Oktober 2017, Salman ALfarasi, S.H., M.H., Selaku Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang Bandar Lampung.

  Selama 2012: 147 Kasus Tawuran, 82 Pelajar Mati Sia-Sia. Di kutib dari pada tanggal 16 April 2017 pukul 13.13 WIB.

  Di kutib dari diakses tanggal 04 April 2017 pada pukul 14.00 WIB.

  Data anak sebagai pelaku tindak pidana.

  Bahas Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka.

  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2001. Kamus Besar

  Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

  Model Penyelesaian Tawuran Pelajar Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Degradasi Moral Pelajar , Studi Kasus Di Kota

  Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana . Bandung: Alumni.

  Rismanto, Septian Bayu. 2013. Jurnal:

  Kriminologi Terhadap Pelaku Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menengah Atas Di Kota Yogyakarta”. FH-UGM. 2017.

  Ramadina Savitri. Jurnal: “Kajian

  Kepribadian. Jakarta: Aksara Baru.

  Taufik. 1986. Psikologi

  . Salatiga: F.H., UKSW. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana . Bandung: Alumni. Sujanto, Agus. Lubis, Halem. dan Hadi,

  Pemberdayaan Court Management Dalam Rangka Meningkatkan Fungsi Mahkamah Agung (Kajian dari Aspek system Peradilan Pidana), Makalah Pada Seminar Nasional Pemberdayaan Court Manajement di Mahkamah Agung R.I., dan diskusi Buku Fungsi Mahkamah Agung

  Universitas Diponegoro. Nawawi Arief, Barda. 2001.

  Politik dan Sistem Peradilan Pidana , Semarang: Badan Penerbit

  Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia,

  No. HP : 0857-8944-2272 (M.Eko)