11
dan antar lintas keyakinan. Adapun beberapa contoh program oikumene GMIT yang diperoleh dari sumber media, yaitu GMIT menggelar natal oikumene bersama Keuskupan
Agung Kupang KAK di mana natal ini terlaksana sebanyak empat kali yakni dua kali di GMIT, yaitu di jemaat Marturia Oesapa Selatan dan Pniel Sikumana, dan di KAK yakni
di St Yosep Naikoten dan St Simon Petrus Tarus.
12
GMIT diakui dan disadari hidup di tengah-tengah kemajemukan budaya, suku, dan agama. Pendeta perlu memahami makna kemajemukan dan siap berinteraksi dengan
kemajemukan. Dengan adanya konteks realitas masyarakat yang semakin kompleks dan plural, maka pendekatan pastoral semakin membutuhkan pendekatan yang lintas ilmu dan
lintas bidang. Karena pendekatan satu dimensi hanya akan membentuk wajah komunitas kehidupan yang berciri satu dimensi. Konsekuensinya, seorang pendeta membutuhkan
bantuan dari berbagai disiplin ilmu dan telaah persoalan: sejarah, sosiologi, psikologi, antropologi budaya, analisis ekonomi dan sosial-politik.
13
Dengan demikian, pendeta diharapkan memiliki potensi bergaul terhadap realitas konteks yang dihadapi.
4.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pendeta dalam Melakukan Pelayanan Pastoral kepada Jemaat.
Dari hasil penelitian yang telah penulis sebutkan di bab 3, penulis menganalisa tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pendeta dalam melakukan konseling pastoral,
yaitu: 1.
Tradisi Tradisi yang dimaksud penulis di sini bukan kepada tradisi yang mengarah kepada
12
Timor Express Harian Kupang, Senin 27 September 2015, diambil pada tanggal 01 April 2016.
13
Krispurwana Cahyadi, Pastoral Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2009, 20.
12
budaya masyarakat lokal, tetapi tentang tradisi turun temurun fenomena pendeta
weekend
. Seperti telah dijelaskan di atas, fenomena ini sudah ada sejak lama dan yang menariknya
adalah hal tersebut tidak diberikan perhatian sehingga dianggap sebagai tradisi yang turun temurun dan tidak dijadikan suatu pembelajaran tentang tanggung jawab yang ada.
Penulis teringat tentang sebuah pepatah kuno yang ada, yaitu “hidup adalah sekolah abadi” maka sepanjang hidup kita harus selalu belajar bukan saja belajar menggunakan
sesuatu tetapi kita juga tidak bisa menghindar dalam proses mempelajari segala sesuatu yang pernah kita lakukan, oleh karena itu adalah hal yang wajar jika dalam proses
pembelajaran kita melakukan suatu kesalahan, tetapi sebagai manusia yang terus belajar ada baiknya kita dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Dari kaca mata penulis,
fenomena pendeta
weekend
adalah suatu kesalahan tradisi dalam tubuh GMIT, namun selayaknya suatu proses pembelajaran maka hal tersebut dapat diubah menjadi lebih baik
karena hal tersebut bukanlah suatu tradisi yang paten dan tidak dapat dirubah. 2.
Ketegasan dalam Peraturan Sinode Hal tentang ketegasan dalam peraturan sinode memang lebih condong ke bagian
organisasi, tetapi harus diakui bahwa pendeta merupakan bagian dalam organisasi GMIT, oleh karena itu hal tentang peraturan juga perlu diperhatikan agar pekerjaan pelayanan
kepada jemaat dapat dilaksanakan dengan baik. Memang dalam setiap organisasi selalu diperhadapkan dengan tantangan tetapi tantangan tersebut harus dihadapi agar kualitas
kepemimpinan dapat dibuktikan dan menjadi warisan yang baik untuk generasi selanjutnya. Seharusnya bidang yang menaungi tentang pekerjaan pelayanan pendeta
lebih mempertajam lagi tentang tugas-tugas pelayanan seorang pendeta serta bekerja sama dengan pemimpin untuk mempertegas konsekuensi yang akan dihadapi jika pendeta
13
tersebut lalai dalam melakukan pekerjaannya. Ada baiknya juga jika peraturan tentang tugas dan tanggung jawab pendeta dikaji ulang sehingga menjadi relevan dengan
kehidupan pendeta itu sendiri dan membawa dampak yang baik bagi kehidupan spiritual jemaat.
3. Individu
Jika dilihat tentang peryaratan GMIT bagi seorang calon pendeta menjadi pendeta lihat bab I halaman 1, maka jabatan kependetaan merupakan hal yang totalitas dalam
GMIT karena dari syarat tersebut bisa dikatakan bahwa seorang pendeta harus mengabdikan dirinya dalam hal pelayanan. Jabatan kependetaan tidak sama dengan
jabatan yang lainnya, karena kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka menjadi pendeta dengan alasan panggilan untuk melayani tetapi seiring berjalannya waktu tugas
dan panggilan itu menjadi pudar dengan alsan-alasan yang ada. Disini komitmen awal dan janji kependetaan perlu dipertanyakan apakah menjadi pendeta hanya merupakan
suatu profesi ataukah menjadi pendeta berarti mengabdikan hidupnya untuk melayani jemaat. Hal yang sulit memang karena secara manusiawi seseorang terkadang memiliki
sifat individualisme dimana terkadang ia memikirkan dirinya sendiri, apalagi jika ia sudah berkeluarga seperti contoh kasus yang diangkat oleh penulis. Terkadang seorang
pendeta karena tuntutan tersebut akhirnya mengingkari janji syarat menjadi seorang pendeta dengan alasan tersebut. Hal inilah yang menurut penulis perlu untuk menjadi
fokus kedepannya, yaitu seorang calon pendeta harus dipertanyakan lagi motifasinya untuk menjadi pendeta, bukan sekedar profesi tetapi lebih kepada pengabdian dirinya
untuk jemaat agar mental pelayanannya menjadi semakin kuat.
14
4. Dukungan
Dukungan yang diterima oleh para pendeta dalam melakukan konseling pastoral sangatlah besar. Dukungan yang terbesar diterima adalah dari keluarga dan majelis gereja.
Hal ini terjadi karena keluarga adalah tempat dimana para pendeta dapat berbagi tentang permasalahan yang ada di jemaat, sedangkan majelis gereja memang memiliki tugas
untuk menjadi rekan kerja pendeta dalam melayani jemaatnya, terutama dalam berorganisasi didalam gereja, oleh karena itu, majelis akan memberikan dukungan penuh
terhadap pendeta untuk melaksanakan tugasnya. Dukungan yang diterima dari jemaat juga bisa dikatakan besar. Di samping itu budaya juga sangat mempengaruhi
pendampingan jemaat terhadap pendetanya. Pendeta masih dianggap sebagai seorang yang memiliki wibawa yang lebih dari orang lain. Karena rasa hormat jemaat juga
dinyatakan dengan memberikan dukungan kepada pendeta dalam melaksanakan pendampingan dan konseling pastoral. Di sisi yang lain terlihat jelas bahwa jemaat juga
sangat membutuhkan konseling pastoral dari pendetanya. Ketika jemaat mengalami persoalan yang berat di dalam hidupnya, terlebih persoalan kehidupan rohaninya, maka
jemaat akan datang kepada pendeta untuk mendapatkan pertolongan lewat pendampingan dan konseling pastoral.
Banyak pendeta mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan dalam melaksanakan konseling pastoral. Pada kenyataannya memang tidak mungkin seorang
pendeta dapat mengerti benar setiap permasalahan yang sedang dihadapi oleh setiap warga jemaat. Meskipun begitu, kebanyakan pendeta melaksanakan konseling pastoral
seorang diri saja. Para pendeta memerlukan bantuan orang lain dalam pelaksanaan konseling pastoral, meskipun tidak pada setiap konseling pastoral. Pendeta juga sering
15
memberika rujukan kepada orang yang dinggap lebih ahli atau kompeten pada permasalahan yang sedang dihadapi oleh jemaat. Ini berarti bahwa para pendeta
mengakui bahwa tidak semua permasalahan jemaat dapat diselesaikannya sendiri. Seringkali dibutuhkan orang lain yang memang ahli atau lebih mengenal permasalahan
yang dihadapai oleh orang yang mengalami maslah. Meskipun begitu, para pendeta-pendeta ini belum memiliki tim pastoral yang terdiri dari orang-orang ahli dalam
berbagai bidang untuk membantu pelaksanaan pendampingan dan pelayanan konseling pastoral.
5. Pelatihan atau Seminar
Sebagian besar pendeta mengakui bahwa seminar atau pelatihan yang berkaitan dengan konseling pastoral memberi manfaat yang baik untuk mengembangkan praktek
konseling pastoral yang sedang dilakukan. Pengetahuan yang diterima dari seminar atau pelatihan yang diikuti dapat memberi pengetahuan terbaru yang terjadi dalam
perkembangan konseling pastoral, sehingga akan semakin memperkaya pendeta dalam mengembangkan praktek konseling pastoralnya. Banyak pendeta merasa kekurangan
waktu untuk mengembangkan praktek konseling pastoral yang baru. Karena itu mereka cenderung untuk menggunakan model pendampingan pastoral yang sudah ada.
Sebenarnya para pendeta sudah dibekali dengan ilmu pastoral pada saat kuliah. Namun didalam praktek berjemaat, pendeta masih sering menggunakan teori pastoral itu secara
kaku. Pendeta menggunakan teori-teori pastoral yang dipelajari pada saat kuliah tanpa menyesuaikan dengan keadaan jemaat. Padahal teori-teori pastoral yang dipelajari pada
masa kuliah, kebanyakan adalah teori dari barat. Matakuliah pastoral di Fakultas Teologi seringkali hanya memberikan teori-teori pastoral dari barat, tetapi kurang melatih
16
mahasiswa untuk mengembangkan teori-teori itu supaya lebih kontekstual dengan budaya setempat yang mengakibatkan konseling pastoral yang diterapkan dijemaat seringkali
kurang kontekstual dengan budaya yang ada di jemaat.
4.3 Kesimpulan