ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM TENTANG PRAPERADILAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM TENTANG PRAPERADILAN

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010) Oleh

Richi Andrean

Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan Pengadilan Negeri dapat melaksanakan sidang praperadilan untuk menentukan apakah penangkapan atau penahanan dilakukan secara sah. Pengadilan juga berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Dalam sidang pra peradilan Hakim mengeluarkan Dissenting Opinion dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan. Pada perkembangannya, dimana muncul kasus-kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam memutuskannya maka di indonesia diterapkan juga penggunaan Dissenting Opinion

tersebut. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah perbedaan pendapat di antara para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah? dan Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi dengan adanya perbedaan pendapat terhadap putusan yangdijatuhkan?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Perbedaan pendapat oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah dalam perkara ini terdapat dari Ketua Majelis yang berpendapat bahwa Putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi. Memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Pertimbangan tersebut tentunya tidak sesuai dengan unsur


(2)

kepastian hukum, Ketua Majelis hakim mengajukan Dissenting Opinion karena memperjuangkan apa yang dianggapnya benar menurut tata cara peradilan yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini hakim ketua menganggap tidak sesuai dengan tata cara dan wewenang peradilan yang berlaku dan kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak menimbulkan keresahan dan terwujud rasa keadilan bagi masyarakat. Akibat hukum adanya dissenting opinion tidak ada, karena masing-masing hakim mempunyai independensi pendapat. Sepanjang pendapatnya itu memang ada kepentingan diluar perkara yang bersangkutan. Terjadinya perbedaan pendapat Dissenting Opinion dalam anggota Majelis Hakim yang menimbulkan tidak tercapainya mufakat untuk mengambil putusan. Akan tetapi dissenting opinion dari Ketua Majelis yang diajukan dalam persidangan tersebut tidak dapat digunakan, dikarenakan suara Majelis yang lain lebih banyak. Maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Disarankan kepada Hakim dalam menggunakan kewenangan dissenting opinion harus didasarkan kepada pertimbangan yang cermat dan bijaksana, agar tidak merugikan kepentingan semua pihak.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan pendapatnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam menyatakan pendapat di Indonesia merupakan salah satu prinsip dasar konstitusi yang salah satu contoh implementasinya adalah kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Terjaminnya kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat di antara para anggota majelis hakim merupakan salah satu modal dasar bagi terwujudnya kemandirian kekuasaan kehakiman di suatu negara.

Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan suatu konsep yang fundamental dan universal. Dalam sistem majelis hakim (di Indonesia), perbedaan pendapat di antara tiap-tiap anggota majelis hakim dalam putusan pengadilan merupakan suatu conditio sine qua non. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan


(4)

prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman penyelenggaraan hukum acara pidana (KUHAP), khususnya berkaitan dengan sifat dan cara menyampaikan perbedaan pendapat di antara para anggota majelis hakim dalam sistem peradilan (pidana) di Indonesia.

Kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum. Asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik menurut Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Asas Kebebasan Hakim

b. Pemeriksaan Berlangsung Terbuka c. Hakim Bersifat Aktif

d. Asas Objektivitas

e. Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

f. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan” g. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan h. Susunan Persidangan Dalam Bentuk Majelis

i. Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat.1

Berdasarkan uraian di atas, apabila putusan hakim dijatuhkan dengan memenuhi asas-asas tersebut di atas selain menjamin adanya kepastian hukum, diharapkan juga demi memenuhi rasa keadilan. Sebagaimana diketahui, bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) dikenal jenis-jenis perkara yaitu persidangan perkara biasa, perkara singkat, serta perkara cepat. Disamping itu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) dikenal adanya hal yang baru yakni pemeriksaan dalam persidangan pra

1

Bambang Sutiyoso, Aspek-aspek perkembangan kekuasaan kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2005, hlm 66


(5)

3

peradilan. Putusan hakim diambil setelah pemeriksaan ditutup, kemudian diadakan suatu musyawarah terakhir oleh Majelis Hakim untuk mengambil keputusan. Dalam Pasal 186 ayat (6) KUHAP menyatakan bahwa sedapat mungkin musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh namun tidak dicapai kesepakatan bulat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak dari majelis hakim atau putusan diambil berdasarkan pendapat hakim yang paling menguntungkan, kemudian pendapat hakim yang berbeda akan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.

Menurut Pasal 77 KUHAP Pengadilan Negeri dapat melaksanakan sidang praperadilan untuk menentukan apakah penangkapan atau penahanan dilakukan secara sah. Pengadilan juga berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Dalam sidang pra peradilan Hakim mengeluarkan Dissenting Opinion dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan.

Pada perkembangannya, dimana muncul kasus-kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam memutuskannya maka di indonesia diterapkan juga penggunaan

Dissenting Opinion tersebut. Selain itu, penerapan Dissenting Opinion tersebut juga dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa sebuah putusan itu baru bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan


(6)

tentunya menggunakan pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif.

Salah satu kasus terjadinya Dissenting Opinion adalah pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010. Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat

Dissenting Opinion dari Ketua Majelis, Yaitu Harifin A. Tumpa, yang berpendapat, sebagai berikut :

a. Bahwa putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi ;

b. Bahwa memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding ;

c. Bahwa untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut, maka Majelis Peninjauan Kembali terlebih dahulu harus membatalkan putusan kasasi. Padahal Hakim Kasasi tidak melakukan kekeliruan yang nyata dan tidak melakukan kesalahan penerapan hukum, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 45 A Undang-Undang No.5 Tahun 2005, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi; d. Bahwa dari pertimbangan tersebut di atas, tidak ada jalan untuk membatalkan putusan kasasi, sehingga tidak mungkin pula untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, sehingga permohonan peninjauan kembali harus ditolak.2

Pendapat hakim lain menyatakan sebagai berikut :

a. Bahwa putusan Praperadilan tentang sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak dapat diajukan banding, kecuali putusan

2


(7)

5

Praperadilan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dapat diajukan permintaan banding ;

b. Bahwa Hakim Pengadilan Tinggi dalam perkara Praperadilan hanya berwenang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang putusan Pengadilan Negeri yang menetapkan tidak sahnya penghentian penuntutan dan bukan terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menetapkan sahnya penghentian penuntutan ; c. Bahwa Pengadilan Tinggi Surabaya yang membatalkan putusan Pengadilan

Negeri Surabaya tentang sahnya penghentian penuntutan, telah melampaui kewenangannya, karena Pengadilan Tinggi Surabaya tidak berwenang mengadili putusan Praperadilan tersebut, sehingga putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut merupakan produk hukum yang cacat dan keliru serta telah melanggar hukum tentang lembaga Praperadilan.3

Akibat adanya Dissenting Opinion dari para Anggota Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan bermusyawarah tetapi tidak tercapai permufakatan, maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Pada prinsipnya dari adanya Dissenting Opinion adalah adanya suatu perbedaan yang terjadi, yang di Indonesia isu ini mengemuka secara eksklusif di bidang hukum pidana dan acara pidana. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori maupun praktek hukum, Dissenting Opinion juga merupakan satu aspek hukum yang juga perlu untuk dikritisi agar tidak terbentuk suatu opini yang keliru dikalangan masyarakat. Masyarakat mulai memiliki suatu persepsi bahwa Dissenting

3


(8)

Opinion adalah suatu rekayasa hukum, yang bukanya berupaya menegakkan supremasi hukum.

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis tertarik untuk menggali lebih dalam dengan menuangkannya dalam suatu penelitian hukum dengan judul : “Analisis Terhadap Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Diantara Hakim Tentang Praperadilan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)”

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Perumusan Masalah

Setiap penelitian diperlukan adanya perumusan masalah agar penelitian tetap terarah, tidak menimbulkan pengertian yang menyimpang dari pokok permasalahan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah perbedaan pendapat di antara para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah? b. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi dengan adanya perbedaan pendapat

terhadap putusan yangdijatuhkan?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada rumusan masalah mengenai perbedaan pendapat di antara para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah dan akibat hukum perbedaan pendapat terhadap putusan yang dijatuhkan.


(9)

7

Sedangkan dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana khususnya mengenai pelaksanaan praperadilan perkara pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. Perbedaan pendapat di antara para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah.

b. Akibat hukum yang terjadi dengan adanya perbedaan pendapat terhadap putusan yangdijatuhkan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut terjadinya perbedaan pendapat dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai akibat terjadinya perbedaan pendapat dalam


(10)

memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Pertimbangan hukum hakim dalam memutus suatu perkara, tidak terlepas dari kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.5

4

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. 2010, hlm 125

5

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 102


(11)

9

Ketentuan hukum yang selalu ketinggalan dibandingkan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat mengharuskan hakim untuk melakukan sebuah kajian hukum komprehensif yang disebut penafsiran hukum.6 Konsepsi hakim dalam melakukan penafsiran hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) teori yaitu teori penemuan hukum yang heteronom dan teori penemuan hukum yang otonom. Perbedaan mendasar dari kedua teori tersebut terletak pada sejauh mana hakim terikat pada ketentuan hukum tertulis. Teori penemuan hukum heteronom lebih menempatkan hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi) sedangkan teori penemuan hukum otonom menempatkan hakim pada satu kebebasan untuk memahami dan mengkaitkan hukum sesuai perkembangan masyarakat.

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya. Hakim dalam membuat putusan berpedoman pada 3 hal, yaitu :

a. Unsur Yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama. b. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan.

c. Unsur Sosiologis, yang mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.7

6

Ibid 7


(12)

Setiap putusan selalu mencakup pembukaan dan identitas pihak, duduk perkara dengan bukuti-bukti dan keterangan pihak-pihak yang dikompilasikan secara lengkap, dilanjutkan dengan pertimbangan hukum (judicial reasoning), konklusi dan amar (order) serta penutup. Di akhir putusan, apabila terdapat pendapat hakim yang berbeda terhadap pendapat mayoritas, maka pendapat berbeda itu dilampirkan pada bagian akhir putusan. Pendapat berbeda itu bisa berbeda mengenai amar (order) atau bisa juga berbeda alasan yang digunakan. Yang pertama disebut sebagai Pendapat Berbeda (dissenting opinion), sedangkan yang kedua disebut Alasan Berbeda (concurrent/consenting opinion). Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi yang pertama mempraktikkan dimuatnya pendapat berbeda ini dalam putusan yang diumumkan kepada publik. Setelah Mahkamah Konstitusi, barulah Mahkamah Agung juga menerapkan hal yang sama.8

Ketua Mahkamah Konstitusi yang tidak berhasil mengintegrasikan, mengkonsolidasikan, atau mengkompromikan pandangan-pandangan yang berbeda-beda di antara kesembilan hakim. Karena itu, tidak dapat dihindari dalam banyak perkara, hakim yang tidak setuju dengan kesimpulan mayoritas harus diberi kesempatan untuk menuliskan pendapatnya yang berbeda, baik berupa pendapat berbeda (dissenting opinion) ataupun alasan berbeda (concurrent/consenting opinion). Dengan adanya pendapat berbeda ini, dapat diperoleh beberapa keuntungan, yang antara lain:

8

Jimly Asshiddiqie, Melembagakan Mahkamah Konstitusi Di Negara Demokrasi Baru, Makalah, Jakarta, 2009, hlm 8


(13)

11

a. Masyarakat dapat diberi pengertian yang lebih jelas dan distinctif bahwa ‘legal reasoning’ atau substansi putusan resmi bukanlah seperti yang diuraikan dalam pendapat minoritas;

b. Perbedaan pendapat, seringkali juga berfungsi sebagai ‘safety valve institution’, katup pengaman, atau penyalur aspirasi yang berkembang dinamis dan beraneka-ragam dalam masyarakat; dan

c. Terkadang ‘dissenting/concurrent opinion’ juga berfungsi sebagai pendorong atau ‘stimulus’ bagi kegiatan pengkajian akademis di dunia ilmu hukum dan pendidikan hukum yang dapat menampung potensi perkembangan-perkembangan baru di masa-masa mendatang.9

Praperadilan merupakan kontrol horizontal yang dipunyai oleh Pengadilan Negeri atas permohonan para pihak yang ditentukan oleh KUHAP, untuk mencegah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan secara sewenang-wenang.10

Pengertian praperadilan telah diatur dalam Bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 butir ke 10 KUHAP adalah wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. Sah atau tidaknya penagkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka .

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

9

Ibid 10

Hari Sasongko, Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bandung : Mandar Maju. 2003, hlm 105


(14)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.11 Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Perbedaan Pendapat (dissenting opinion) adalah merupakan pendapat dari satu atau lebih, dari hakim dalam membuat pernyataan yang memperlihatanketidak setujuan terhadap putusan penghakiman dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan penghakiman di dalam sebuah sidang pengadilan, pendapat ini akan dicantumkan dalam amar keputusan, akan tetapi

dissenting opinion tidak akan menjadikan sebuah preseden yang mengikat atau menjadi bagian dari keputusan penghakiman.12

b. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka 8 KUHAP).

c. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP).

11

Soerjono Soekanto, Op, Cit., hlm 132 12


(15)

13

d. Praperadilan adalah wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut acara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 10 KUHAP).

E. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk mempermudah pemahaman dalam pembahasan dan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi, penulisan hukum ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan menggunakan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini. Adapun mengenai teori-teori tersebut antara lain mengenai tinjauan tentang disparitas pidana, tinjauan tentang argumentasi hukum, tinjauan tentang upaya hukum kasasi, tinjauan tentang tindak pidana narkotika, tinjauan tentang kekuasaan kehakiman.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur


(16)

pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari hasil meneliti, yaitu meliputi: Bentuk terjadinya Dissenting Opinion diantara para Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah. Implikasi terjadinya perbedaan pendapat Dissenting Opinion diantara Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan terhadap putusan yangdijatuhkan.

V. PENUTUP

Pada bab ini diuraikan mengenai simpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, dan saran dari penelitian ini yang tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) 1. Pengertian dissenting opinion

Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam sistem hukum di Indonesia. Pranata dissenting opinion muncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Bagir Manan Dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan.13 Sedangkan menurut Pontang Moerad dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yangdibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju

(disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.14

2. Kebaikan dan kelemahan pranata dissenting opinion

Penerapan dissenting opinion memberikan beberapa kebaikan atau keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Pranata dissenting opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama Anggota Majelis atau sesama

13

Bagir Manan, Dissenting Opinion. IKAHI, Jakarta. 2006, hlm 11 14

Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Alumni, Bandung, 2005, hlm 111


(18)

hakim. Pranata ini sejalan dengan essensi kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang tidak lain dari kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.;

2) Pranata dissenting opinion mencerminkan jaminan hak berbeda pendapat (the right to dessent) setiap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam kerangka yang lebih luas, pranata dissenting opinion mencerminkan demokrasi dalam memeriksa dan memutus perkara;

3) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan tanggung jawab individual hakim. Melalui pranata ini diharapkan hakim lebih mendalami perkara yang ia tangani sehingga hakim tersebut bertanggung jawab secara individual baik secara moral ataupun sesuai dengan hati nuraninya terhadap setiap putusan yang mewajibkan memberikan pendapat pada setiap perkara yang diperiksa dan diputus;

4) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan kualitas dan wawasan hakim. Melalui pranata dissenting opinion setiap hakim diwajibkan mempelajari dan mendalami setiap perkara yang diperiksa dan akan diputus karena setiap perkara ada kemungkinan mengandung fakta-fakta dan hukum yang kompleks

5) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen menjamin dan meningkatkan mutu putusan. Kemungkinan menghadapi dissenting opinion, setiap anggota majelis akan berusaha menyusun dasar dan pertimbangan hukum yang dalam, baik secara normatif, ilmiah, serta dasar-dasar dan pertimbangan sosiologis yang memadai;


(19)

17

6) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen dinamika dan updating

pengertian-pengertian hukum. Kehadiran dissenting opinion menunjukkan fakta-fakta hukum dalam suatu perkara maupun aturan-aturan hukum, tidak bersifat linear. Melalui pranata dissenting opinion pemberian makna yang berbeda baik fakta maupun hukum akan menjamin dinamika dan updating

pengertian suatu kaidah hukum. Dengan cara tersebut akan terjadi aktualisasi penerapan hukum;

7) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen perkembangan Ilmu Hukum. Ilmu hukum berkembang melalui beberapa cara, yaitu: Perkembangan filsafat hukum, teori hukum, dan aturan-aturan hukum. Pranata dissenting opinion

akan memperkaya bahan kajian hukum baik menyangkut muatan filsafat, teori atau doktin, maupun kaidah-kaidah hukum baru yang dibentuk oleh hakim.15

Terlepas dari berbagai kebaikan di atas, penerapan dissenting opinion juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sebagaiberikut:

1) Kebenaran dan keadilan mayoritas (kuantitas)

Pranata dissenting opinion membawa konsekuensi putusan hakim ditentukan oleh (dengan) suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang benar dan adil sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas). Ada kemungkinan pendapat minoritas (dissenting) itulah yang benar dan adil;

2) Pranata dissenting opinion baik secara keilmuan maupun praktek dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;

3) Pranata dissenting opinion dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan sesama hakim, terutama untuk masyarakat yang mementingkan hubungan

15 Ibid


(20)

emosional di atas hubungan zekelijk, seorang ketua majelis dapat merasa ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat; 4) Pranata dissenting opinion dapat menimbulkan sifat individualis yang

berlebihan. Hal ini akan terasa pada saat anggota majelis yang bersangkutan merasa lebih menguasai persoalan dibanding anggota lain.16

B. Pertimbangan Dalam Putusan Hakim

Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Penjatuhan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian

16


(21)

19

memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

Berdasarkan Pasal 172 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 yang termasuk alat bukti yang sah antara lain :

1) Keterangan saksi. 2) Keterangan ahli. 3) Surat.

4) Petunjuk.

5) Keterangan terdakwa.

Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), dalam istilah

Indonesia disebut “pemidanaan”. Di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang sistem pemerintahannya telah maju atau berkembang pesat telah dikembangkan beberapa dasar alasan pemidanaan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tidak semata-mata didasarkan pada penilaian subjektif hakim, tetapi dilandasi keadaan objektif yang diperdapat dan dikumpul di sekitar kehidupan sosial terdakwa, ditinjau dari segi sosiologis dan psikologis. Misalnya, dengan


(22)

jalan menelusuri latar belakang budaya kehidupan sosial, rumah tangga, dan tingkat pendidikan terdakwa atau terpidana. Data-data tersebut dapat diperoleh dari hasil penelusuran riwayat hidup terdakwa, yayasan tempat terdakwa pernah dirawat, teman dekat terdakwa, lingkungan pendidikan, dan lain sebagainya.

Tidak kalah penting perlu diketahuinya sebab-sebab yang mendorong dan motivasi melakukan tindak pidana, apakah semata-mata didorong untuk melakukan kejahatan, misalnya benar-benar didorong untuk balas dendam atau memperoleh kepuasan batin dan sebagainya. Atau apakah karena dorongan sosial ekonomis maupun karena keadaan yang berada di luar kemauan kesadaran terdakwa. Juga perlu diperhatikan laporan pejabat tempat terdakwa ditahan tentang sikap dan perilakunya selama berada dalam tahanan. Semua hal-hal dan keadaan tersebut ikut dipertimbangkan sebagai faktor menentukan pemidanaan.17 Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28 UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

C. Pengertian Lembaga Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang

17

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta. 2006, hlm 363


(23)

21

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapa pelaku dari suatu tindak pidana dan selanjutnya melakukan pemeriksaan di pengadilan untuk menentukan apakah terbukti bersalah atau tidak, serta mengatur pula pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan terhadap putusan yang telah dijatuhkan.18

Adapun proses peradilan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dimuka persidangan. Periode sebelum perkara diajukan ke sidang pengadilan biasanya dinamakan pemeriksaan pendahuluan Dalam proses pemeriksaan pendahuluan seringkali terjadi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, untuk menjaga ketertiban pemeriksaan dalam pemeriksaan pendahuluan dan untuk melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa terhadap tindakan-tindakan dari penyidik dan penuntut umum yang melanggar hukum yang dapat merugikan tersangka maka dibentuklah lembaga praperadilan. Lembaga praperadilan telah diatur dalam Bab X, Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.

Praperadilan merupakan kontrol horizontal yang dipunyai oleh Pengadilan Negeri atas permohonan para pihak yang ditentukan oleh KUHAP, untuk mencegah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan secara sewenang-wenang.19

18

Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel Di Dalam KUHAP. Ghalia Indonesia. Jakarta 2005, hlm 9

19


(24)

Pengertian praperadilan telah diatur dalam Bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 butir ke 10 KUHAP adalah wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. Sah atau tidaknya penagkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka .

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”.

2. Kewenangan Praperadilan.

Praperadilan bukan merupakan badan tersendiri, melainkan hanya merupakan suatu wewenang dari pengadilan saja. Hal ini berdasarkan Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 serta Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP. Adapun wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Pengadilan Negeri tersebut adalah untuk memeriksa dan memutus mengenai :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara untuk kepentingan umum oleh jaksa agung) Pasal 77.

b. Berwenang memeriksa tuntutan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan Pasal 77.

c. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian Pasal 82 ayat (1) dan (3).


(25)

23

d. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atau atas penangkapan atau penahanan serta serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau karena kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri Pasal 95 ayat (2).

e. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan Undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadialn Negeri Pasal 97 ayat.20

D. Kedudukan Hakim dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Hakim merupakan jabatan yang mempunyai tugas memeriksa dan memutus suatu perkara. Seseorang yang memiliki jabatan sebagai Hakim tentunya juga menjalankan tugas untuk memeriksa dan memutus suatu perkara. Memeriksa dan memutus suatu perkara tidaklah semudah orang menentukan suatu tujuan. Tugas memeriksa dan memutuskan perkara merupakan tugas yang dilakukan oleh seorang yang berdiri di tengah-tengah diantara mereka yang berperkara. Berdiri ditengah-tengah diantara mereka yang berperkara tentunya berdiri dengan tegak, tidak condong dan dalam posisi imbang.

Kunci utama menjalankan peran di tengah-tengah adalah bahwa putusan yang diambilnya menjadi putusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara dengan senang. Inilah inti persoalan keadilan itu dalam suatu putusan Hakim. Bagi para Hakim di Indonesia mustinya sudah paham benar tentang

20 Ibid.


(26)

keadilan dalam hal ini. Oleh karenanya semestinya dalam memutuskan suatu perkara istilah kalah dan menang haruslah dihindari. Bagaimana jika perkara yang dihadapi adalah perkara yang berhubungan dengan perbuatan seseorang yang merugikan kepentingan umum atau melanggar hak asasi orang lain? Pertanyaan tersebut sangatlah terkait dengan persoalan perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana oleh undang-undang bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.21 Bila persoalannya sudah menyangkut persoalan perbuatan pidana tentunya putusan Hakim sangat terkait dengan persoalan salah atau tidak salah (guilty or not guilty).

Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan Hakim. Khusus bagi sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana.22 Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran Hakim dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya (aktor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut.

21

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Binacipta, Jakarta. 2005, hlm 54 22

Tanusubroto, S., Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana. Alumni, Bandung. 1983, hlm 302.


(27)

25

Mengungkap siapa pelaku yang sebenarnya tidaklah semudah orang membalik telapak tangan apabila peristiwa pidana yang terjadi bukanlah suatu perbuatan tertangkap tangan. Oleh karenanya untuk mengungkap kebenaran dari peristiwa pidana yang terjadi sangatlah diperlukan bukti-bukti yang kuat dan akurat yang mendukung kebenaran peristiwanya. Bukti-bukti yang kuat dan akurat inilah yang dibutuhkan oleh para penegak hukum untuk menyeret pelakunya guna diminta pertanggungjawabannya.

Para penegak hukum memang pihak yang tidak tahu menahu tentang peristiwa pidana yang terjadi, namun memiliki tanggungjawab untuk mengungkap kebenaran suatu peristiwa yang sudah berlalu. Oleh karenanya dalam mengungkap kebenaran peristiwanya para penegak hukum dibantu dengan bukti-bukti yang kuat dan dengan bukti-bukti-bukti-bukti inilah kebenaran akan terungkap meskipun tidak 100%, namun setidak-tidaknya mendekati peristiwa yang sebenarnya karena peristiwa yang sudah belalu tidaklah mungkin untuk diulang kembali. Dalam kedudukannya yang demikian inilah sebenarnya Hakim sebagai salah satu penegak hukum memiliki posisi yang paling menguntungkan ketimbang pihak Polisi (Penyidik) dan Jaksa (Penuntut Umum). Polisi dan Jaksa dapat dituntut oleh pihak Tersangka atau Terdakwa bila apa yang dilakukan terhadap Tersangka atau Terdakwa salah, sedangkan Hakim tidak dapat dituntut bila salah dalam menjatuhkan putusan.

Tanggungjawab ini memanglah tidak mudah dan penuh resiko bila salah dalam melakukan tindakannya. Resiko yang diemban apabila menjatuhkan putusan pidana mati, namun ternyata yang dijatuhi pidana mati itu bukanlah pelaku yang


(28)

sebenarnya. Siapa yang dapat mengembalikan nyawa seseorang yang telah dipidana mati, namun ternyata salah atas pelakunya. Perintah pencabutan nyawa seseorang akan memiliki tanggungjawab yang berat, tidak hanya pada saat dirinya hidup namun juga nanti saat dirinya di akherat. Resiko penghuni Neraka merupakan cap bagi seorang Hakim yang salah mengeluarkan putusan. Inilah yang perlu dipahami oleh setiap Hakim di negeri ini. Karena asas Hakim tidak dapat dituntut menyebabkan korban atau keluarganya merasa ada ketidak-adilan. Hal ini terkait dengan adanya kesalahan dan perekayasaan perkara yang diperiksa oleh Hakim. Bilamana ini terjadi dan mungkin juga sering terjadi di negeri ini, harapan diperolehnya keadilan di Pengadilan menjadi sulit. Kesan di Indonesia lebih mudah mencari Pengadilan dari pada Keadilan menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya.

Begitu beratnya tanggungjawab Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara menempatkan Hakim pada kedudukan yang mulia. Dalam sistem peradilan pidana Hakim memiliki kedudukan sebagai pejabat yang memeriksa dan memutus perkara pidana yang diajukan kepadanya. Oleh karena kedudukannya yang demikian itu Hakim dihadapkan pada beberapa asas hukum yang melekat pada jabatannya itu antara lain:

a. Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukumnya tidak jelas (Pasal 16 KUHAP). Ketentuan asas ini menjelaskan bahwa seorang Hakim yang disodori sebuah perkara maka ia wajib memeriksanya, dan tidak diperkenankan menolak dengan dalih hukumnya tidak jelas namun Hakim harus dapat membuktikan kebenaran dari


(29)

27

peristiwa pidana yang terjadi atas perkara yang diajukan kepadanya, dan ia harus dapat menemukan hukumnya;

b. apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar (res judicata proveritate habetur). Ketentuan ini mengindikasikan bahwa Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya merupakan keputusan yang benar, karena Hakim melihat dari bukti-bukti yang sah yang diajukan kepadanya, dan didukung dengan keyakinannya atas kesalahan pelaku atas dasar bukti-bukti yang ada.

c. Hakim harus mengadili, bukan membuat hukum (judicis est jus dictare, non dare). Hal ini untuk menentukan bahwa seorang Hakim tugas utamanya adalah memeriksa dan memutus suatu perkara yang didasarkan pada bukti yang sah dan keyakinannya akan kebenaran berdasarkan pada bukti-bukti sah tersebut, sehingga putusannya dapat dipertanggungjawabkan dan dianggap adil. Hakim tak dibenarkan menjatuhkan putusan tanpa didasarkan pada bukti-bukti dan membuat putusan yang harus ditaati oleh para pihak yang berperkara. Meskipun demikian dalam mengadili suatu perkara Hakim menentukan hukumnya in konkreto, sehingga putusan Hakimpun dapat dianggap sebagai hukum (jude made law), namun dalam pembentukan hukum tersebut putusan Hakim dibatasi oleh undang dan terikat oleh undang-undang.

d. tidak ada Hakim yang baik dalam perkaranya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Ketentuan ini mengisyaratkan agar Hakim dalam memeriksa perkara haruslah perkara yang tidak ada hubungan dengan dirinya dan keluarganya, artinya Hakim yang memeriksa perkara tidak boleh memiliki


(30)

kepentingan atas perkara tersebut karena pihak-pihak yang berperkara masih mempunyai hubungan darah atau semenda(persaudaraan) dengan Hakim.

Beberapa asas yang disebutkan di atas menjadi landasan dalam menjalankan tugas memeriksa dan memutus perkara. Tugas memeriksa dan memutus perkara bukanlah tugas yang ringan, apalagi berkaitan dengan perkara pidana, Hakim harus bisa menempatkan dirinya pada objektivitas perkara yang dihadapkan kepadanya. Hakim harus cermat dalam memeriksa perkara tersebut dan dapat membuktikan bahwa perkara pidana yang diajukan kepadanya itu benar-benar perkara yang bukan hasil rekayasa dan tidak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan lain terutama kepentingan-kepentingan politik. Dalam memeriksa perkara pidana, Hakim memiliki kedudukan dan tugas yang amat berat, dirinya dihadapkan pada peristiwa pidana yang sudah berlalu dan tidak mungkin untuk diulang kembali. Untuk membuktikan kebenaran akan peristiwa inilah Hakim haruslah dibantu oleh alat-alat bukti yang medukung kebenaran akan peristiwa pidananya. Namun demikian undang-undang menentukan pula disamping alat bukti harus didukung dengan keyakinan Hakim berdasarkan alat bukti tersebut (Pasal 183 KUHAP), inilah yang dalam sistem pembuktian sering disebut sebagai negatief wettelijk system. 23

Keyakinan Hakim yang didukung dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang merupakan urusan hati nurani Hakim dalam menentukan adanya kebenaran, dan juga merupakan urusan hati nurani Hakim dalam menunjukkan kemandiriannya, serta independensinya memutus perkara yang

23

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta. 2006, hlm 799


(31)

29

dipertanggungjawabkan kepada publik, masyarakat umum bahwa dirinya tidak memihak siapapun. Inilah kedudukan Hakim yang amat berat dalam sistem peradilan pidana, karena disamping ketidak berpihakannya juga urusan hati nuraninya dipertaruhkan. Ketidak berpihakan akan nampak dari putusan yang dijatuhkan, tetapi urusan hati nurani hanya Tuhan lah yang dapat mengetahuinya.

Mempertanyakan putusan pidana yang dijatuhkan Hakim kepada pelaku kejahatan dengan pertanyaan-pertanyaan berkisar pada pantaskah pelaku dijatuhi pidana 5 tahun misalnya, atau 10 tahun atau bahkan hukuman mati, dan putusan-putusan ini menjadi kewenangan penuh Hakim, serta tidak seorangpun boleh campur tangan atas putusan Hakim tersebut. Oleh karenanya yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya Hakim sendiri yang menjatuhkan putusan yang bersangkutan. Seberapa pantaskah pelaku mendapat pidana? Hati nurani Hakimlah yang berbicara. Bila Hakim sudah tidak ingat akan hati nurani yang dimilikinya, maka tercorenglah citra Hakim di mata masyarakat luas.


(32)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas, yang terdiri antara lain:

a. Bahan Hukum Primer, antara lain:


(33)

31

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, Perda, dan Putusan Praperadilan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

C. Penetuan Narasumber

Pada penelitian ini penentuan narasumber berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan yaitu para pihak yang dianggap memahami dan mengerti seputar permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu mengenai terjadinya perbedaan pendapat dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah dan akibat perbedaan pendapat terhadap putusan yang dijatuhkan. Adapun telah ditentukan tersebut adalah 2 (dua) orang Hakim dari Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan 2 (dua) orang Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(34)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.


(35)

33

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus.


(36)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Perbedaan pendapat oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah dalam perkara ini terdapat dari Ketua Majelis yang berpendapat bahwa Putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi. Memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Pertimbangan tersebut tentunya tidak sesuai dengan unsur kepastian hukum, Ketua Majelis hakim mengajukan Dissenting Opinion

karena memperjuangkan apa yang dianggapnya benar menurut tata cara peradilan yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini hakim ketua menganggap tidak sesuai dengan tata cara dan wewenang peradilan yang berlaku dan kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak menimbulkan keresahan dan terwujud rasa keadilan bagi masyarakat.

2. Akibat hukum adanya dissenting opinion tidak ada, karena masing-masing hakim mempunyai independensi pendapat. Sepanjang pendapatnya itu


(37)

61

memang ada kepentingan diluar perkara yang bersangkutan. Terjadinya perbedaan pendapat Dissenting Opinion dalam anggota Majelis Hakim yang menimbulkan tidak tercapainya mufakat untuk mengambil putusan. Akan tetapi dissenting opinion dari Ketua Majelis yang diajukan dalam persidangan tersebut tidak dapat digunakan, dikarenakan suara Majelis yang lain lebih banyak. Maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Sedangkan akibat hukum Dissenting Opinion tersebut terhadap sah atau tidaknya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Karena Dissenting Opinion tidak akan digunakan apabila Dissenting Opinion tersebut kalah Suara. Dan pada intinya

Dissenting Opinion dalam kasus ini tidak berpengaruh terhadap sahnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan.

B. Saran

1. Disarankan kepada Hakim dalam menggunakan kewenangan dissenting opinion harus didasarkan kepada pertimbangan yang cermat dan bijaksana, agar tidak merugikan kepentingan semua pihak.

2. Seharusnya penggunaan dissenting opinion dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum. Ketentuan mengenai

dissenting opinion seyogianya dijabarkan secara lebih terperinci dalam KUHAP agar memberikan kepastian hukum dalam penerapannya oleh hakim dalam memutus perkara pidana.


(38)

ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM TENTANG PRAPERADILAN

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)

(Skripsi)

Oleh : Richi Andrean

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(39)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 9

E. Sistematika Penulisan ………. 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) ……….……… 15

B. Pengertian Lembaga Praperadilan ……….. 18

C. Pertimbangan dalam Putusan Hakim ……… 21

D. Kedudukan Hakim dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia …. 23 III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….…………..……….. 30

B. Sumber dan Jenis Data ……….…………..……….. 30

C. Penentuan Narasumber …...………...…………..………… 31

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…..……..……….. 32


(40)

B. Gambaran Umum Putusan MA Nomor 98/PK/PID/2010 ………... 35 C. Perbedaan PendapatDiantara Para Hakim Mahkamah Agung

dalam Memeriksa dan Memutus Perkara Praperadilan tentang

Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah ……….... 46 D. Akibat Hukum yang Terjadi Dengan Adanya Perbedaan

Pendapat Terhadap Putusan yangDijatuhkan ……….... 55

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 60

B. Saran ………. 61


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, 2006, Aspek-aspek perkembangan kekuasaan kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Harahap, M. Yahya, 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta.

Jimly, Asshiddiqie, March 2009, Melembagakan Mahkamah Konstitusi Di Negara Demokrasi Baru, Makalah, Jakarta.

Manan, Bagir, 2006, Dissenting Opinion. IKAHI, Jakarta.

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey, Jakarta.

Moeljatno, 2005, Asas-asas Hukum Pidana, Binacipta, Jakarta.

Moerad. Pontang 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Alumni, Bandung.

Prakoso. Djoko, 1985. Kedudukan Justisiabel Di Dalam KUHAP. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta.

Sasongko, Hari dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bandung : Mandar Maju.

Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Tanusubroto, S., 1983, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana. Alumni, Bandung.

Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.


(42)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum http://id.wikipedia.org/wiki


(43)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman , S.H.,M.H ………

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira , S.H.,M.H ………

Penguji Utama : Firganefi , S.H.,M.H ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S. H., M. S. NIP 19621109 198703 1 003


(44)

MOTTO

”Jadilah diri sendiri”

Jadikanlah suatu kesalahan adalah guru kita dalam

memperbaiki langkah kita kedepan

Jangan lah meremehkan sesuatu hal yang sangat

kecil dalam melangkah


(45)

PERSEMBAHAN

Puji syukur ku ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam tak hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Papa dan Mama tercinta yang dengan penuh pengorbanan memberikan dorongan moril dan kasih sayang, serta adikku Rudy kurniawan yang selalu memberikan semangat, sehingga penulis

berhasil menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbing dan pengajar, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.


(46)

Nomor Pokok Mahasiswa : 0852011184 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

Menyetujui I.Komisi Pembimbing

Tri Andrisman,S.H.,M.H. Maya Shafira. S.H.,M.H NIP. 196112311989031023 NIP. 197706012005012002

Disetujui/ Tidak Disetujui Ketua/Sekretaris Bagian Hukum Pidana

Diah Gustianiati Maulani,S.H.,M.H. NIP. 196208171987032003


(47)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Seputih Mataram pada tanggal

26 Mei 1990, yang merupakan anak pertama dari dua

bersaudara dari Bapak Sutoyo dan ibu Rumiyati.

Penulis menyelesaikan studi di SDS Abadi Perkasa

Menggala tahun 2002.

Penulis melanjutkan studi di SMPS Abadi Perkasa Menggala lulus pada

tahun 2005, kemudian SMA 10 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012

mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Negri Agung,

Kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur.


(48)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT

(DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM TENTANG

PRAPERADILAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(49)

3. Tri Andrisman, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Maya Shafira,S.H.,M.H. Selaku Dosen Pembimbing kedua, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarah, motivasi, dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skeripsi. 4. Firganefi, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama yang telah banyak

memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 5. A.Irzal F, S.H., M.H. Sebagai Pembahas Kedua yang telah banyak

memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Eko Raharjo, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

9. Bapak dan Ibu tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

10. Adikku Rudy Kurniawan beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas


(50)

sebutkan satu persatu yang telah memberi doa dan dukunagannya selama ini. 12. Semua teman-temanku Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2008 yang terhormat dan seluruh teman fakultas hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasi atas doa dan dukunaganya.

13. Terima kasih juga buat teman-teman semasa KKN

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2013 Penulis


(51)

ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION)DIANTARA HAKIM

TENTANG PRAPERADILAN

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010) Oleh

Richi Andrean

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(1)

Judul : Analisis Terhadap Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Diantara Hakim Tentang Praperadilan

Nama Mahasiswa : Richi Andrean Nomor Pokok Mahasiswa : 0852011184

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

Menyetujui I.Komisi Pembimbing

Tri Andrisman,S.H.,M.H. Maya Shafira. S.H.,M.H NIP. 196112311989031023 NIP. 197706012005012002

Disetujui/ Tidak Disetujui Ketua/Sekretaris Bagian Hukum Pidana

Diah Gustianiati Maulani,S.H.,M.H. NIP. 196208171987032003


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Seputih Mataram pada tanggal

26 Mei 1990, yang merupakan anak pertama dari dua

bersaudara dari Bapak Sutoyo dan ibu Rumiyati.

Penulis menyelesaikan studi di SDS Abadi Perkasa

Menggala tahun 2002.

Penulis melanjutkan studi di SMPS Abadi Perkasa Menggala lulus pada

tahun 2005, kemudian SMA 10 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012

mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Negri Agung,

Kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur.


(3)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM TENTANG PRAPERADILAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(4)

3. Tri Andrisman, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Maya Shafira,S.H.,M.H. Selaku Dosen Pembimbing kedua, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarah, motivasi, dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skeripsi. 4. Firganefi, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama yang telah banyak

memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 5. A.Irzal F, S.H., M.H. Sebagai Pembahas Kedua yang telah banyak

memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Eko Raharjo, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

9. Bapak dan Ibu tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

10. Adikku Rudy Kurniawan beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas


(5)

11. Sahabat-sahabatku: Ryan Archie, Adit Sesunan ,Septa Hans,Hengki k,Neri,Tomy K,Dilly,Gyan dan masih banyak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberi doa dan dukunagannya selama ini. 12. Semua teman-temanku Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2008 yang terhormat dan seluruh teman fakultas hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasi atas doa dan dukunaganya.

13. Terima kasih juga buat teman-teman semasa KKN

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2013 Penulis


(6)

ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION)DIANTARA HAKIM

TENTANG PRAPERADILAN

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)

Oleh

Richi Andrean

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Penerapan Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Penentuan Sengketa Merek (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 194K/PDT.SUS/2011)

3 78 98

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pid.Sus/2009)

0 6 12

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENJATUHAN PIDANA DI BAWAH KETENTUAN MINIMAL TERHADAP PELAKU PELANGGARAN HAM BERAT (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung R.I. No.04K/PID.HAM.AD.HOC/2003)

0 3 102

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

KAJIAN YURIDIS TENTANG WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON MUSLIM MENURUT HUKUM WARIS ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368. K/AG/1995)

0 14 18

Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2009)

6 109 108

Sewa-Menyewa Dalam KuhPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/KIPdt/2002)

0 5 0

ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM TENTANG PRAPERADILAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)

0 11 51

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTIK (Studi Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011)

6 68 58