Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2009)
i
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Ihsan Badruni Nasution NIM. 1 6 1 2 0 4 8 0 0 0 0 0 1
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(2)
PENGUJIAIT PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDSREGEL) DI MAHKAMAH AGTJNG (Studi Putuson MahkamahAgung Nomor 23
p/Hall0lhlg)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (s.H.)
Oleh:
Ihsan Badruni Nasution
NIM. 1612048000001
Di Bawah Bimbingan:
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIT' HIDAYATULLAII
JAKARTA
(3)
(Studi Putusan Mahlramah Agtng Nomor 23 P/HUA,I/200L), telah diujikan dalam sidang munaqasyatr Fakultas Syariatr dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islarn
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5
Mei
2014. Skripsiini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Double Degree Ilmu Hukum.Jakarta, 6 Mei 2014 Mengesahkan Dekan,
l.
Ketua2.
Sekretaris3.
Pembimbing4.
Penguji I5.
PengujiIIPANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Dr. Djawahir Hejazziey. S.H.. MA.
NIP. l95s 1015 197903 1002 Drs. Abu Thamrin. S.H.. M.Hum. NIP. 1 96s09081 99503 I 001 Dwi Putri Cahvawati. S.H.. M.H.
Dr. Sodikin. S.H.. M.H.. M.Si.
Drs. Abu Thamrin. S.H.. M.Hum.
MP. 19650908199503 1001
iii
r. H. J.M. Muslimin. MA. NIP. 1 96808t219990310t4
(4)
1.
{
I
l
LEMBAR PER}TYATAATI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Slaipsi ini menrpakan hasil karya asli siyayang diajukan untqk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata
I
di Universitas
Islam Negeri runrD Syarif Hidayatullah Jakarta.Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan
yang
berlakudi
Universitas Islarn negeri(m\D
SyarifHidayatullah Jakarta.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam negeri
(n\D
Syarif Hidayatullah JakartaJakarta, 28 Januai2014
Ihsan Badruni Nasution 2.
3.
I
l
(5)
v
IHSAN BADRUNI NASUTION. NIM 1612048000001. PENGUJIAN
PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDSREGEL) DI MAHKAMAH AGUNG (STUDI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 23 P/HUM/2009. Program Double Degree Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. x + 97 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dari peraturan kebijakan
(beleidsregel) dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana mekanisme dan lembaga mana yang berwenang melakukan uji materiil terhadap peraturan kebijakan, serta akibat hukum dari pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library reasearch
yang mana melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral skripsi ini dan buku-buku dan jurnal-jurnal serta pendapat-pendapat para ahli yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa peraturan kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dikarenakan pejabat atau badan yang mengeluarkan peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan dalam pembuatan peraturan, selain itu peraturan kebijakan dimaksudkan hanya untuk memberi peluang dan keleluasaan bagaimana pejabat atau badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan. Sehingga secara yuridis normatif, pengujian atau uji materiil terhadap peraturan kebijakan bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung. Akan tetapi dengan mengedepankan asas ius curia novit dan adanya kepastian hukum, maka Mahkamah Agung tetap dapat melakukan uji materiil terhadap peraturan kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar sengketa uji materiil terhadap peraturan kebijakan tidak berada pada wilayah yang tidak jelas (grey area).
Kata Kunci : Pengujian, Peraturan Kebijakan, Mahkamah Agung.
Pembimbing : Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H. Daftar Pustaka : 1957 s.d 2013
(6)
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa penulis hadiahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Selama menjalani masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan, keterlibatan, kontribusi, bimbingan dan motivasi kepada penulis. Sebagai rasa syukur atas terselesaikannya penulisan skripsi yang berjudul “Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregels) di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009)”. Maka penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. H. J.M. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Ketua Program Double Degree dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, saran, dan masukan yang konstruktif dalam penulisan skripsi ini, serta Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam sidang skripsi penulis. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan ibu dalam membimbing saya.
(7)
vii
serta keluarga besar penulis yang senantiasa rela berkorban dalam mendidik, membimbing dan memotivasi penulis dengan tulus dan penuh kesabaran, serta selalu mendoakan penulis agar selalu sukses dalam segala hal.
5. Sahabat dan teman-teman dari keluarga besar Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, IKAPDH Jakarta, serta sahabat dan teman seperjuangan selama penulis menjalani kuliah, khususnya Izhar Helmi, Uuf Rouf, Farhan Subhi, Masripatunnisa, Siti Marhamatun Najwa dan Andriansyah yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis selama masa kuliah dan menyelesaikan skripsi ini.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT. Mudah-mudahan semua yang telah penulis lakukan mendapat ridho dariNya, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amiin.
Jakarta, 6 Mei 2014
(8)
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13
D. Review Studi Terdahulu ... 14
E. Metodologi Penelitian ... 15
F. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG ... 21
A. Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-Undangan ... 21
B. Kewenangan Mahkamah Agung Dalam Pengujian Peraturan Perundang-undangan ... 25
C. Objek Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung ... 31
(9)
ix
BAB III PERATURAN KEBIJAKAN DALAM KETATANEGARAAN
INDONESIA ... 35
A. Pengertian dan Ciri-Ciri Peraturan Kebijakan ... 35
B. Macam-Macam Bentuk Peraturan Kebijakan ... 40
C. Sumber Kewenangan dan Kekuatan Mengikat dari Peraturan Kebijakan ... 43
BAB IV KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENGUJIAN PERATURAN KEBIJAKAN ... 49
A. Kedudukan Peraturan Kebijakan Dalam Sistim Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 49
B. Akibat Hukum Uji Materiil Surat Edaran Nomor 03.E/31/DJB/ 2009 ... 58
C. Analisis Putusan Mahkamah Agung ... 65
BAB V PENUTUP ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN: 1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 85
2. Surat Edaran Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi ... 86
(10)
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi logis dari sebuah negara yang berdasarkan hukum salah satunya adalah semua tata aturan harus didasarkan dan mengacu pada hukum.
Negara Hukum1 merupakan istilah yang meskipun terlihat sederhana, namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling isi mengisi antara negara disatu pihak dan hukum pada pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum (rechtsorde). Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.2
1Pengertian “negara hukum” adalah lawan pengertian “negara kekuasaan” (machtsstaat
).
Dasar pikiran yang mendukungnya ialah kebebasan rakyat (liberte du citoyen), bukannya kebesaran
negara (gloire de I’etat). Lihat Raden Soewandi, Hak-hak Dasar dalam Konstitusi Demokrasi
Modern, (Jakarta: PT Pembangunan, 1957), h. 12.
2
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 19-20.
(11)
Negara hukum ialah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang, sehingga segala pemerintahan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semaunya yang bertentangan dengan hukum. Negara hukum itu ialah negara yang diperintahi bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang (state the not governed by men, but by laws), karena itu didalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan terhadap negara, sebaliknya kewajiban-kewajiban rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan pemerintah dan undang-undang negara.3
Dalam kaitannya dengan negara hukum tersebut, tertib hukum yang berbentuk adanya tata urutan peraturan perundang-undangan menjadi suatu kemestian dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Karena dengan adanya hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan akan lebih memudahkan dalam penegakan hukum (supremacy of law) dan adanya keteraturan atau ketertiban hukum (rechtsorde).
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu elemen pokok dalam suatu sistim hukum nasional. Sebagai suatu sistim, kaidah aturan yang termuat dalam semua bentuk peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarki dan berpuncak pada konstitusi sebagai hukum tertinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
3Mutiar’as, Ilmu Tata Negara Umum,
(12)
3
dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika hal itu terjadi maka berlakulah asas hukum lex superior derogat legi inferiori, hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah.4
Tata urutan perundang-undangan dalam kaitannya dengan implementasi konstitusi negara Indonesia adalah merupakan bentuk tingkatan peraturan perundang-undangan. Sejak 1966 telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tata urutan atau hierarki perundang-undangan tersebut perlu diatur untuk menciptakan keteraturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan proklamasi kemerdekaannya, sampai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-undang Dasar Sementara 1950, Undang-undang Dasar 1945, dan Perubahan Undang-undang Dasar 1945 masalah hierarki peraturan perundang-undangan tidak pernah diatur secara tegas.5
Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam pasal 7 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
4
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 5.
5
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
(13)
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam pasal 8 ayat (1) juga disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan juga mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, termasuk juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Gubernur dan Bupati/Walikota.
Cita-cita akan terwujudnya negara yang memiliki ketertiban dan keteraturan hukum hanya akan terwujud apabila ada kaidah aturan yang tersusun secara hierarkis, sehingga hukum sebagai suatu sistim dapat terbangun. Jika terdapat peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan antara yang satu dengan lainnya maka tidak dapat dilihat lagi sebagai sebuah kesatuan sistem yang dapat ditegakkan dan dilaksanakan. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme yang dapat menjamin peraturan-perundang-undangan tidak saling bertentangan berdasarkan urutan atau hierarkinya yaitu melalui pengujian peraturan perundang-undangan.
Pengujian peraturan perundang-undangan dalam ketatanegaraan Indonesia diperkenalkan sejak tahun 1970 melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan selanjutnya
(14)
5
secara tegas diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada perubahan ketiga, merupakan suatu proses untuk menyelesaikan konflik normatif melalui mekanisme hukum. Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan kontrol normatif secara vertikal terhadap peraturan perundang-undangan yang dilahirkan agar tetap terjadi konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal.6
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan diberikan kepada dua lembaga yang berbeda kedudukan, tugas dan kewenangannya. Dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa:
1. Apabila undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi;
2. Apabila suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga yang oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberikan kewenangan langsung untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam upaya untuk melaksanakan
6
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga
(15)
kekuasaan kehakiman tersebut, Mahkamah Agung juga diberikan kedudukan dan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan yang derajatnya berada dibawah undang-undang.7
Kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang- undang terhadap undang-undang kemudian di tegaskan dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain kebijakan yang bersifat terikat (gebonden beleids) berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti tata urutan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, pemerintah atau pejabat administrasi negara juga dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat bebas (vrijbeleid). Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan kewenangan kebebasan bertindak (freies ermessen).
Didalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi Negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti
beleidslijnen (garis-garis kebijaksanaan), het beleid (kebijaksanaan),
7
(16)
7
voorschriften (peraturan-peraturan), richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen
(petunjuk-petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi),
aanschrijvingen (instruksi-insruksi), beleidsnota’s (nota kebijaksanaan),
reglemen ministriele (peraturan-peraturan menteri), beschikkingen (keputusan-keputusan), en bekenmakingen (pengumuman-pengumuman).8
Menurut Philipus M. Hadjon, peraturan kebijakan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten
gebracht scrichftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.9 Peraturan kebijakan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan.
Eksistensi peraturan kebijakan tersebut merupakan konsekuensi atas negara hukum kesejahteraan yang membebankan tugas yang sangat luas yaitu menyelenggarakan kesejahteraan rakyat (welfare state).10
Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan dan dijalankan oleh pejabat administrasi negara dalam rangka menyelesaikan suatu keadaan (masalah konkret) yang pada dasarnya belum ada aturannya atau belum diatur dalam undang-undang (peraturan perundang-undangan).
88
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), h. 183.
9
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1993), h. 152.
10
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan kebijakan, dan Asas-Asas Umum
(17)
Untuk menegakkan asas konsistensi, kebijakan pejabat administrasi negara yang bersifat bebas tersebut perlu dituangkan dalam suatu bentuk formal atau suatu format tertentu yang lazim disebut peraturan kebijakan. Dengan demikian peraturan kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat administrasi negara dalam rangka menyelenggarakan tugas pemerintahan. Kebijakan pejabat administrasi negara tersebut kemudian dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat diberlakukan secara umum (berlaku sama bagi setiap warga negara).
Menurut Jimly Asshidqie, Bentuk peraturan kebijakan ini memang dapat juga disebut peraturan, tetapi dasarnya hanya bertumpu pada aspek
“doelmatigheid‟ dalam rangka prinsip “freies ermessen” atau
“beoordelingsvrijheid”, yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Bentuk peraturan seperti ini biasa disebut sebagai “policy
rules” atau “beleidsregel” yang merupakan bentuk peraturan kebijakan yang
tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa. Misalnya, Instruksi Presiden, surat-surat edaran yang berisi kebijakan tertentu, rancangan-rancangan program, kerangka acuan proyek, “action plan”
yang tertulis, dan sebagainya adalah contoh-contoh mengenai apa yang disebut
sebagai “policy rules” yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan.11
11
(18)
9
Bentuk formal peraturan kebijakan dalam hal tertentu sering tidak berbeda atau tidak dapat dibedakan dari format peraturan perundang-undangan.
Menurut A. Hamid S Attamimi: “dilihat dari bentuk dan formatnya, peraturan
kebijakan sama benar dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan
pembukaan berupa konsiderans “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”,
batang tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian dan bab-bab serta penutup, yang sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan”.12
Selain memiliki persamaan dengan peraturan perundang-undangan, ada juga peraturan kebijakan yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan dari segi bentuk formalnya. Oleh karena itu, peraturan-peraturan kebijakan tersebut dapat dengan mudah dibedakan dari peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, format peraturan kebijakan tersebut lebih sederhana daripada format peraturan perundang-undangan misalnya nota dinas, surat edaran, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, pengumuman dan sebagainya.13
Dengan adanya beberapa pandangan para ahli yang menyatakan bahwa peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregels) tidak dapat dikategorikan sebagai Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang maka konsekuensinya adalah asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan
12
Abdul Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan, pidato disampaikan pada dies natalis PTIK ke-46, Jakarta, 1992. Lihat juga
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik, h. 102.
13
(19)
perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Oleh karena itu suatu peraturan kebijakan tentu tidak akan dapat diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, karena tidak ada dasar peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk memutuskan pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut..
Sebagaimana pendapat dari Bagir Manan yang menyebutkan bahwa, salah satu ciri-ciri peraturan kebijakan adalah peraturan kebijakan tidak dapat diuji wetmatigheid (uji materiil), karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijakan tersebut. Selain itu peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan.14
Jika demikian, maka akan timbul permasalahan apabila peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregel) yang dibuat melampaui batas-batas kebebasan bertindak dan merusak tatanan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Apakah Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam kapasitasnya untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut?.
Jika mencermati lebih lanjut putusan Mahkamah Agung, dapat ditemukan putusan yang menguji peraturan kebijakan (policy rules atau
14
Bagir Manan, Peraturan Kebijaksanaan, (Makalah), Jakarta, 1994, h. 16-17. Lihat juga
(20)
11
beleidsregel) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengujian tersebut atas dasar Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atas undang-undang pada tingkat kasasi. Oleh karena itu, suatu peraturan kebijakan (beleidsregel) disamakan dengan suatu peraturan perundangan-undangan yang secara hierarki berada dibawah undang-undang. Pengujian tersebut seperti terdapat pada putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009, putusan Mahkamah Agung Nomor 15 P/HUM/2009, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 36 P/HUM/2011.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis akan mengkaji lebih dalam masalah ini yang akan penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul
“Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregels) di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009).”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah diatas, agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan, maka penulis membatasinya yaitu hanya pada masalah kewenangan Mahkamah Agung dalam hal menguji peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregels) melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, juga dengan mengkaji putusan
(21)
Mahkamah Agung yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009 dan putusan terkait lainnya.
2. Perumusan Masalah
Peraturan kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat administrasi negara dalam rangka menyelenggarakan tugas pemerintahan. Selain itu peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan untuk membuat peraturan perundang-undangan, sehingga peraturan kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dapat diuji secara materiil (wetmatigheid) di Mahkamah Agung. Beberapa putusan dari Mahkamah Agung dapat ditemukan putusan yang menguji materiil peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregel) tersebut. Hal inilah yang ingin penulis teliti dalam penulisan skripsi ini. Dan untuk memudahkan pembahasannya, rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah peraturan kebijakan dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara hukum dapat diuji pada Mahkamah Agung? 2. Apa akibat hukum dari dikabulkannya permohonan hak uji materiil
peraturan kebijakan oleh Mahkamah Agung dalam putusan nomor 23 P/HUM/2009?
(22)
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan peraturan kebijakan dalam tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan di Indonesia serta apakah secara hukum dapat diuji pada Mahkamah Agung.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari dikabulkannya permohonan hak uji materiil peraturan kebijakan oleh Mahkamah Agung dalam putusan nomor 23 P/HUM/2009.
2. Manfaat Penelitian
Selanjutnya, manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui dan lebih memahami kedudukan peraturan kebijakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta bagaimana proses pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut
2. Dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat dalam menjawab perkembangan disiplin ilmu hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
(23)
D. Review Studi Terdahulu
Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi
terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan di angkat oleh penulis yaitu:
No. Identitas Subtansi Pembeda
1 Muhammad Ulul Azmi/ Eksistensi Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hierraki Peraturan Perundang-Undangan (Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan)/ Fakultas Syariah dan Hukum- Ilmu Hukum. 2013
Hasil penelitian berupa skripsi ini membahas tentang pengujian ketetapan MPR menurut hierarki peraturan perundang-undangan. Bagaimana kewenangan menguji dan eksistensi
Ketetapan MPR tersebut, dan yang menjadi acuan adalah hierarki peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Disini penulis akan membahas tentang bagaimana kedudukan peraturan kebijakan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia dan bagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang untuk menguji peraturan kebijakan tersebut
(24)
15
E. Metodologi Penelitian
Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Adapun jenis penelitian setelah melihat data-data yang dibutuhkan dan permasalahan yang diteliti dalam penulisan ini, maka termasuk metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.15 Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu: a. Pendekatan undang-undang (statute approach)
b. Pendekatan kasus (case approach)
c. Pendekatan historis (historical approach) d. Pendekatan komparatif (comparative approach)
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinajaun
(25)
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Dari berbagai pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang (Statute Aproach) dan pendekatan kasus (Case Aproach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.16 Dalam hal ini penulis akan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang penulis kaji, diantaranya adalah Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Selain itu juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h.
(26)
17
tetap.17 Dalam hal ini penulis akan menelaah dan mengkaji putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan masalah ini yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009 dan juga putusan-putusan lainnya yang terkait dengan pembahasan skripsi ini.
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penulisan ini akan digunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dibawah ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kemudian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil. Selain itu juga putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yakni putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan isu hukum yang sedang dibahas.
b. Bahan hukum Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang
17Ibid,
(27)
berhubungan dengan masalah yang diajukan, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Dokumentasi, adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.18
b. Interview (wawancara), adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi.19 Jika diperlukan untuk melengkapi bahan hukum, maka penulis akan melakukan wawancara dengan para pakar hukum, seperti hakim dan ahli hukum lainnya
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. h.201.
19
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(28)
19
yang kompeten. Metode interview (wawancara) ini untuk melengkapi bahan hukum yang telah dikaji dan dianalisis.
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan akan diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan. Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas untuk kemudian dianalisis isinya, kemudian menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
5. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan secara teknik penulisan sesuai dan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2012.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang materi yang menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
(29)
Bab kedua merupakan tinjauan umum mengenai hak menguji peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung. Dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian pengujian peraturan perundang-undangan, kewenangan mahkamah agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan, dan objek pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung.
Bab ketiga berisi tentang peraturan kebijakan dalam ketatanegaran Indonesia. Dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian dan ciri-ciri peraturan kebijakan, macam-macam bentuk peraturan kebijakan, serta sumber kewenangan dan kekuatan mengikat pada peraturan kebijakan.
Bab keempat berisi tentang analisis terhadap kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan kebijakan. Didalam bab ini berisi tentang kedudukan peraturan kebijakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, akibat hukum pengujian Surat Edaran Nomor 03.E/31/DJB/2009, serta analisis dan kajian terhadap putusan Mahkamah Agung.
Bab kelima merupakan penutup, pada bab penutup ini berisi kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan, dan saran-saran. Penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.
(30)
21
BAB II
HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG
A. Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi terdiri dari dua kata yaitu “pengujian” dan “peraturan perundang-undangan”. Pengujian
berasal dari kata “uji” yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga “pengujian” diartikan sebagai proses, cara, perbuatan,
menguji.1 Sedangkan Pengertian Peraturan Perundang-undangan berdasarkan pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengertian dari peraturan perundang undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian pengujian peraturan perundang-undangan merupakan proses untuk menguji suatu peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum yang dibentuk oleh lembaga atau pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
(31)
Pengujian peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai suatu
proses menguji akan berkaitan dengan “siapa” (subjek) dan “apa” (objek) dalam
proses pengujian peraturan perundang-undangan tersebut. Persoalan subjek dan objek dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan berbagai peristilahan yang sering terjadi kekeliruan dalam mengartikannya. Seperti istilah toetsingsrecht2 yang dipersandingkan maknanya dengan judicial review. Padahal kedua istilah ini memiliki perbedaan pengertian, karena toetsingsrecht memiliki arti lebih luas dan masih bersifat umum, sedangkan istilah judicial review cakupan dan ruang lingkupnya terbatas pada kewenangan pengujian yang dilakukan melalui mekanisme judicial dan lembaganya hanya dilekatkan pada lembaga kekuasaan kehakiman.3
Dengan demikian pengertian toetsingsrecht dalam perspektif judicial review dapat diartikan sebagai toetsingsrecht dalam arti sempit atau uji judicial
yang subjeknya tertentu yaitu lembaga kekuasaan kehakiman dan objeknya juga tertentu yaitu peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regels).
Sehingga dapat dibedakan dengan jelas bahwa toetsingsrecht dalam perspektif
2
Toetsingrecht berarti hak menguji, istilah ini digunakan untuk membicarakan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan, yang dapat saja dimiliki oleh hakim, pemerintah, legislatif atau lembaga tertentu tanpa membedakan jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai legislator , maka
proses pengujian demikian itu lebih tepat disebut sebagai legislative review, bukan judicial review.
Demikian pula jika hak menguji (toetsingsrecht) itu diberikan kepada pemerintah, maka pengujian
semacam itu disebut sebagai executive review, bukan judicial review ataupun legislative review. Lihat
Jimly Asshidqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 2.
3
Jimly Asshidqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta:
(32)
23
judicial review, legislative review, dan executive review dilihat dari segi subjeknya. Demikian pula dalam segi objeknya, maka toetsingsrecht dalam perspektif judicial review, objek yang diuji adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur.4
Konsep toetsingsrecht dalam arti judicial review selanjutnya akan disebut “judicial review” merupakan bagian dari prinsip kontrol secara judicial
atas produk peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara hierarkis.
Adapun pengertian judicial review itu sendiri, dalam beberapa literatur seperti dalam kamus Black’s Law Dictionary with Pronunciations, judicial review diartikan sebagai “A court’s power to review the actions of other branches or levels of government.”5 Rumusan pengertian ini menyatakan bahwa
judicial review merupakan suatu kekuasaan lembaga pengadilan atau kekuasaan kehakiman untuk menguji produk hukum dari berbagai cabang atau tingkatan lembaga pemerintahan.
Sementara itu, Erick Barent mengemukakan pengertian judicial review dengan redaksi yang lebih lengkap sebagai berikut, “judicial review is a feature
of a most modern liberal constitutions. It refers to the power of the courts to
4
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 41.
5
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, (United States of
(33)
control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the
costitutions.”6
Dalam pengertian ini, judicial review disebutkan sebagai salah satu keistimewaan dari konstitusi pada era modern ini, yang menunjukkan kekuatan dari lembaga peradilan sebagai kontrol dari setiap tindakan lembaga legislatif maupun eksekutif dalam menjalankan tugasnya berdasarkan konstitusi. Sedangkan Joseph Tanenhus merumuskan bahwa, judicial review is the process with his a body judicial specify unconstitutional from action what is done by legislative body and by executive head. Rumusan ini menjelaskan bahwa judicial review merupakan suatu proses untuk menguji tingkat konstitusionalitas suatu produk hukum badan legislatif atau badan eksekutif.7
Menurut Jimly Asshidqie, judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of power).8
Dengan demikian, dari beberapa pemaparan definisi dari para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa judicial review merupakan suatu proses upaya pengujian tingkat konstitusionalitas atau keabsahan suatu peraturan
6
Erick Barendt, An Introduction to Constitutional Law. Lihat juga dalam Fatmawati, Hak
Menguji (Toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 8.
7
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, h. 41.
8
(34)
25
undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi secara hierarkis oleh suatu badan kekuasaan kehakiman yang telah diberi kewenangan khusus oleh undang-undang dasar atau undang-undang.
B. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Prinsip dan pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan prinsip kekuasaan negara, baik pembagian kekuasaan negara (distribution of power), maupun pemisahan kekuasaan negara (separation of power).9 Pemikiran tentang kekuasaan negara telah berkembang cukup lama, dan yang paling monumental adalah pemikiran dari John Locke10 dan Baron de Montesquieu.11
9
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, h. 71.
10
Jhon Locke membagi kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan dengan pembagian yang berbeda, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Kekuasaan federatif sebenarnya masuk dalam kekuasaan eksekutif, karena kekuasaan federatif lebih pada kekuasaan tentang perang dan damai,
membuat hubungan dengan badan-badan luar negeri. Lihat Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan
Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), h. 1-3.
11Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Esprit des Lois”
(1748), yang mengikuti jalan
pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu (i) kekuasaan legislatif
sebagai pembuat undang-undang, (ii) kekuasan eksekutif yang melaksanakan, dan (iii) kekuasaan
untuk menghakimi atau yudikatif. Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu nampaknya mirip. Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke
dalam dan keluar dengan negara-negara lain. Lihat Jimly Asshidqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Jilid II, (Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 14.
(35)
Prinsip kekuaaan negara dalam perspektif UUD 1945 (sebelum amandemen) menganut prinsip sistem pembagian kekuasaan (distribution of power).12 UUD 1945 menentukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sehingga sumber kekuasaan itu hanya ada pada rakyat dan pada hakikatnya MPR yang memegang kekuasaan tertinggi untuk dan atas nama rakyat. Hubungan antara MPR dan lembaga negara
dibawahnya didasarkan pada prinsip “delegasi kekuasaan”.13
Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan, maka dalam prinsip pembagian kekuasaan yang mengedepankan “supremasi parlemen”, tidak dibenarkan lembaga negara yang sederajat menilai dan menguji segala produk hukum lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh konstitusi sebagai pembuatnya. Oleh karena itu, dalam kurun waktu 1970-1998 pengujian peraturan perundang-undangan yang dianut UUD 1945, tidak mengenal pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, melainkan hanya pengujian peraturan dibawah undang-undang yang dilaksanakan Mahkamah Agung.14
12
Konsep pembagian kekuasaan (distribution of power) dikaitkan dengan sistem
supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Montesquieu.
Dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945
tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesquieu,
melainkan menganut sistim pembagian kekuasaan. Lihat Jimly Asshidqie, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, Jilid II, h. 23.
13
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, h. 73-74.
14Ibid,
(36)
27
Setelah perubahan UUD 1945, maka diatur pengujian peraturan perundang-undangan secara tegas, baik itu pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang kewenangannya dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi, maupun pengujian peraturan perundangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang yang kewenangannya dilekatkan pada Mahkamah Agung.
Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang tersebut pada awalnya lahir dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 26 dan juga pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kedua pasal pada undang-undang tersebut pada pokoknya mengatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang dan menyatakan tidak sah peraturan tersebut apabila ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Selanjutnya, MPR melalui Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) juga mengatur kewenangan Mahkamah Agung tersebut, begitu pula halnya dengan UUD 1945. Sebagaimana tercantum dalam pembukaan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada November 2001, Mahkamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang di atasnya.
(37)
Pasal 24A ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Sementara itu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan salah satu kewenangan dari Mahkamah Agung, yakni: “Mahkamah Agung berwenang:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”
Setelah perubahan UUD 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 direvisi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang didalamnya juga mengatur mengenai perubahan pengaturan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah
(38)
29
Undang-Undang. Pasal yang mengatur mengenai hal tersebut adalah Pasal 31 yang terdiri dari beberapa ayat sebagai berikut:
Ayat (1): Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundangan di bawah undang terhadap undang-undang.
Ayat (2): Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Ayat (3): Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
Ayat (4): Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ayat (5): Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung diperkuat dengan dibentuknya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2004 tentang
(39)
Hak Uji Materiil, Perma 1 tahun 2004 ini dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan untuk menyempurnakan Perma Nomor 1 Tahun 1998. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tersebut mengatur bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan hak uji materiil yaitu hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Perma 1 tahun 2004 ini kemudian disempurnakan oleh Perma Nomor 1 Tahun 2011 yang memberikan aturan lebih lengkap tentang peniadaan tenggang waktu pengajuan perkara dalam pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang di Mahkamah Agung.
Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan tingkat konsistensi untuk menempatkan Mahkamah Agung sebagai pelaksana dengan diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dilihat dari segi objek yang diuji oleh Mahkamah Agung maka terdapat pembatasan yaitu hanya sebatas peraturan perundang-undangan yang secara hierarki derajatnya dibawah undang-undang. Dengan adanya pembatasan terhadap objek yang akan diuji oleh Mahkamah Agung, secara langsung membatasi langkah Mahkamah Agung untuk mengontrol secara normatif setiap produk hukum.15
15
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
(40)
31
C. Objek Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung
Objek pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung adalah peraturan perundang-undangan yang tingkatannya berada dibawah undang-undang, Berdasarkan definisi pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dalam redaksi yang berbeda, Bagir Manan memberikan definisi tentang peraturan perundang-undangan yakni suatu keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum dimana aturan tingkah laku tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang hak, kewajiban, fungsi, status, dan suatu tatanan.16
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
16
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Indo Hill Co,
(41)
2. Peraturan perundang-undangan bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;
3. Peraturan perundang-undangan memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Pencantuman klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.17
Kemudian, Jimly Asshidqie memberikan pengertian peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dengan batasan yang jelas, yaitu: keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang berbentuk Undang-Undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam rangka melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing.18
Sifat umum dan abstrak menjadi ciri-ciri atau elemen dari peraturan perundang-undangan. Sifat umum dan abstrak yang dilekatkan sebagai ciri dari peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk membedakan dengan
17
Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Suatu Kajian Kritis Tentang Birokrasi
Negara, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010), h. 45-46.
18
(42)
33
keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang bersifat individual dan konkrit yakni ketetapan atau beschikking.19
Berdasarkan penjelesan tersebut, antara perturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling) yang mengikat secara umum harus dapat dibedakan secara jelas dengan keputusan yang berupa ketetapan atau
beschikking yang bersifat konkrit dan individual.
Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan bentuk pengujian yang objeknya adalah seluruh peraturan yang bersifat mengatur, abstrak, dan mengikat secara umum yang derajatnya dibawah undang-undang. Sehingga, objek yang diuji adalah segala peraturan dibawah undang-undang dan yang dijadikan tolok ukur pengujiannya adalah undang-undang.20
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka secara hierarkis objek peraturan perundang-undangan yang derajatnya ada dibawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain itu, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang juga termasuk peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
19
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, h. 44.
20
(43)
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, termasuk juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Gubernur dan Bupati/Walikota.
Adanya pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dimaksudkan sebagai kontrol normatif terhadap setiap tindakan atau produk hukum yang berbetuk peraturan dari pihak eksekutif, dalam hal ini Presiden dan lembaga negara lainnya. Hal ini disebabkan, Presiden memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menerjemahkan materi muatan suatu undang-undang dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan lainnya sebagai instrumen pelaksanaan undang-undang.
(44)
35
BAB III
PERATURAN KEBIJAKAN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian dan Ciri-Ciri Peraturan Kebijakan
Dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau pejabat administrasi negara dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat terikat (gebonden beleids).1 Pejabat administrasi negara dalam menetapkan dan menjalankan suatu kebijakan tidak dapat menyimpang dari persyaratan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Selain kebijakan yang bersifat terikat (gebonden beleids) berdasarkan peraturan perunang-undangan, pemerintah atau pejabat administrasi negara juga dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat bebas (vrijbeleid), kebijakan yang bersifat bebas tersebut ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan kewenangan kebebasan bertindak (freies ermessen).2
Istilah freies ermessen dalam bahasa Jerman berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan.3 Freies ermessen berarti orang yang
1
Kebijakan-kebijakan yang bersifat terikat adalah kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi negara sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Lihat Abdul
Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels) Pada Pemerintahan Daerah,
(Yogyakarta: UII Press, 2005),h .85.
2
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels) Pada Pemerintahan
Daerah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 85.
3
(45)
memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Untuk menegakkan asas konsistensi, kebijakan pejabat administrasi negara yang bersifat bebas tersebut perlu dituangkan dalam suatu bentuk formal atau suatu format tertentu yang lazim disebut dengan peraturan kebijakan.
Dalam kepustakaan Belanda, ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan eksistensi peraturan kebijakan tersebut, antara lain
pseudowetgeving,4spiegelrecht, dan beleidsregel.5
Peraturan kebijakan (beleidsregel)6 ini sebenarnya adalah jenis tindak administrasi negara dalam bidang hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige
4
Dalam kamus hukum bahasa Belanda istilah Pseudowetgeving berarti regelstelling door
een betrokken bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke wettelijke bepaling die bevoegdheid bezit. (Perundang-undangan semu adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan
kepada organ tersebut). Lihat Andreae’s Fockema, Juridisch Woordenboek, (Tjeenk Willink, 1985), h.
396. Lihat juga Zafrullah Salim, Legislasi Semu (Pseudowetgeving), artikel diakses pada 12 Januari
2014 dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id.
5
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1997), h. 167.
6
Istilah beleidsregel digunakan pada tahun 1982, dalam risalah yang disusun oleh commisie
wetgevingsvraagstukken, walaupun digunakan secara bersamaan dengan istilah-istilah “pseudo -wetgeving”, “bekang makingan van voorgenomen beleid, “algemene beleidsregels”. Dalam tahun
1982 pula, kelompok kerja (staartwerkgroep wet algemene regels van bestrecht (Wet ARB) juga
menggunakan istilah beleidsregels dalam rancangan mereka. Lihat Abdul Razak, Hakikat Peraturan
Kebijakan, Tulisan ini pernah dimuat dalam kumpulan tulisan “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca
Reformasi” dalam rangka Ultah ke- 80 Prof Solly Lubis, artikel diakses pada 12 januari 2014 dari http://www.negarahukum.com.
(46)
37
publiek rechtelijke handelingen). Ia merupakan hukum bayangan (spiegelrecht)
yang membayangi undang-undang atau hukum yang terkait pelaksanaan kebijakan (policy).7
Peraturan kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat administrasi Negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan. Kebijakan pejabat administrasi negara tersebut kemudian dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat diberlakukan secara umum (berlaku sama bagi setiap warga negara). Dalam hal tertentu, bentuk formal peraturan kebijakan sering tidak berbeda atau tidak dapat dibedakan dari format peraturan perundang-undangan.8
Meskipun bentuk peraturan kebijakan memiliki persamaan dengan peraturan perundang-undangan, secara tegas Bagir Manan mengemukakan bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Salah satu aspek yang membedakan peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan adalah dari aspek kewenangan pembentukan peraturan kebijakan. Pembentuk peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan (kewenangan legislatif). Hal tersebut mengandung arti bahwa peraturan kebijakan tidak dilahirkan dari kewenangan legislatif, akan tetapi peraturan kebijakan bersumber dari
7
Safri Nugraha dkk. Hukum Administrasi Negara, (Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 93.
8
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum
(47)
kewenangan eksekutif, dan pada umumnya tidak dapat dilahirkan aturan yang bersifat mengikat secara umum.9
Didalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, suatu peraturan kebijakan dalam kerangka freies ermessen yang dibuat oleh pejabat administrasi negara adalah mencakup dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Belum adanya perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera;
2. Perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya;
3. Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya.10
Adapun ciri-ciri dari peraturan kebijakan itu sendiri, J.H Van Kreveld mengemukakan bahwa peraturan kebijakan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Peraturan itu langsung ataupun tidak langsung tidak didasarkan pada
ketentuan undang-undang formal ataupun UUD yang memberikan kewenangan mengatur, dengan kata lain peraturan itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang;
9
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, h.
169.
10
Muchsan, Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di
(1)
Direktori Putusan Mahkamah,Agung Republik lndonesia
94
putusan.mahkamahagung.go.id
,,
,,
Peraturan
Pemerinlah'sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya materi muatan bagian A butir 2Surat
Edaran tersebut,
tidak
mempunyai kekuatan
hukummengikat ;,
;
,,
rMenimbang, bahwa atas permohonan keberatan Pemohon tersebut pihak Terqghon
titatr
diberitahukan sesuai ketentuan yang berlaku, namunsamRatri'U,g]aC
waktu yang
ditentukan Termohontidak
menyampaikan'
"
''111v'1Pan;'
l'
Tentang
Hukumnya
',
,'
,, '
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan Hak;
Uji Materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas ;Menimbang, bahwa yang menjadiobyek permohonan keberatan Hak
Uji
Materiil
Pemohonadalah Surat Edaran Direktur Jenderal
Mineral,Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Rl
Nomor:
O3.El31lDJBl2009, tanggal 30 Januari 2009, tentang PerizinanPertambangan
Mineral
dan
Batubara SeUelum Terbitnya
Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor4
Tahun 2009 Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkantentang substansi
permotgngn
keberatanyang
diajukan,maka
terlebihdahulu akan
dipertimbangkanapakah
permohonankeberatan
a
quo memenuhi pg1syqlgtan formal, yaitu adanya kepentingan dan kedudukanhukum
(!
',,ttxinairg) pada Pemohon untuk mengajukan permohonan,seft,1 aoiheliip-ennohonan keberatan Hak Uji Materiil yang diajukan masih
dalapltCnggang waktu yang ditentukan, sebagaimana diatur dalam. pasal
l
,,,,,,ayat'i(4)
dan
Pasal2
ayal(4)
Peraturan Mahkamah AgungRl
Nomor 1:1.,
'fahun2oo4;
.,,"t,,',',,,)
,",
t
Menimbang, bahwa untuk mengetiahui apakah Pemohon mempunyai kepentingan dan kedudukan hukum (legat standing/ maka dapat diuji dari hubungan hukum antara Pemohon dengan obyek permohonannya ;Menimbang, bahwa Pemohon adalah ,!r,:H-: TRSAN NOOR, M.Si,
selaku Bupati Kutai Timur, oleh karenanya bertindak unfuk dan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten KutaiTimui, Propinsi Kalimantan Timur ;
Menimbang,
bahwa
dalam
permohonannya,
pemohon
padapokoknya mendalilkan bahwa obyek
Hak Uji
Materiil yaituSurat
Edaran Nomor :03.E1311DJPI12009, tanggal 30 Januari 2009 yang dikeluarkan olehDirektur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi
Hal. 6 dari 11 hal. Put. No. 23 PiHUM//2009
,GPfribadwkfrah Agurq Repulrfik l,llh*b@ha un* *btu mffikw itlffisi pilhg xitidd,i/,6*bagdibqffikffin M*hMAgurgwd eltaylffipufi*,tryd diek&&tt* @kwfnfgliFdM.t
DaWi tld ANa reMa iMM htdmag ya,E lemd pada dtus ini atil intM yat g *htusn da, MM dum bffi, ffi Mnp *geh htunli KepdiM, M*t@art Ailrg R, N*i :
Emait : kepililffi an@m*tuagmg-9o.fr
(2)
Direktori Putusan Mahkamah
Agung
Republik lndonesia
95
putusan.mahkamahagung.go.id
,,
,',
dan Sumber Daya Minerat,,Rtll(ataa
njma
Menteri Energi dan Sumber DayaMineral sekalipun) tidak dapat menghentikan walaupun untuk sementara,
kewenangan
Bupati untuk
memberikanlmenerbitkan
lzin
UsahaPertambangan (lUP) yang merupakan kewenangan yang diberikan oleh dan
berdasarkan Undang:gn6ang, : i.e., Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
].
]
.:tentang
Pe-rtailnbinganMineral
dan
Batubara,
oleh
karenanya obyekpermghriiian'keberatan bertentangan dengan
Undang-Undang
Nomor 4 ,rTahurir2009: khususnya Pasal8
ayat (1) hurufb
danpasal
173 ayaft (2),iang'ierkiit
tentang
kewenanganBupati dalam
pemberianlzin
Usaha,
Menimbang,bahwa
Pemohonsebagai Bupati Kutai Timur
yangwilayah/daerah pemerintahannya mempunyai banyak lahan pertambangan mempunyai kepentingan
untuk
mengajukan permohonan keberatan atasSurat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara
dan
Panas
Bumi,Departemen
Energi
dan
Sumber
Daya Mineral
Rl
Nomor
:
03.E/31/ DJB/2009, tanggal30
Januari200
,
yang
materinya melarang pemohonsebagai Bupati
menerbitkanlzin
Usaha
Pertambangan(lUp)
sampaidengan diterbitkannya Peraturan,rP-
emerintah
sebagai pelaksanaUndang-Undang Nomor4 Tahun 2009;
Menimbang,
bahwa
berdasarkan pertimbanganhukum
di
atas,terbukti Pemohon.mempdnyai kepentingan terhadap
obyek
permohonankeberatan
naf,i,Uji
Utateriil,oleh
karena
itu
secara yuridis
pemohon mempunyal,kUalitdsatau
standing untuk mengajukan keberatanHak
UjiMateriil (vid_qi P.
asal
1
ayat(4)
Peraturan Mahkamah AgungRl
Nomor 1Tahun 2004);
,),
',:: Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat,,rr
'(4)
Peraturan MahkamahAgung No.
1
Tahun 2004,
ditentukan bahwa,.
'' -permohonan keberatandiajukan dalam tenggang waktu 180
(seratus'
delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yangbersangkutan;
Menimbang,
bahwa
obyek
Hak Uji
Materiil yaitu Surat
EdaranDirektur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral
Rt
Nomor:
03.E/31/DJB/2009, berlaku sejakditetapkan tanggal
30
Januari::2-009, sedangkan permohonan keberalan diajukan dan diterimadi
Kepaniteraan Mahkamah AgungRl
pada tanggal27 Juli 2009, dengan demikian permohonan keberatan aquo diajukan masih
Hal. 7 dari 11 hal. Put. No. 23 P/HUM//2009
Asdans
repiliM uar*tudr4utg RePuHii ttful€Eb bM duk*tu meffihrdtucNit4Mdilakd *bagaiEd* kffiwn Mahkamh Ag@ MFbysmpffifr. turpmddenekil,Dnds pehMwmqslper*i*,n.,
Dal$t hd ANa Mtue hakffid iilmedyarEleM Pd.situsini 4tu it tffisi yang #tusya d4 hffiun bdum ENia, m* hedp s.8ea tututvt Kepafr.@n Mail(ffih Agurg N metelai:
Em d : l@ Me,@N h k e ma h ag@ g.go.b
(3)
Di*iM
f@,oiwan
Direktori Putusan Mahkamah:Agung Republik lndonesia
96
dalam tenggang waktu tAO lSeratus delapan puluh) hari sesuai ketentuan
Pasal 2 ayat (4) PeraturanlMah[amah Agung No. 1 Tahun 2004 ;
Menimbang, bahwa karena permohonan keberatan terhadap obyek
keberatan Hak
Uji{afgriit
diajukan oleh Pemohon yang mempunyai kualitasllegal
standing),aan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktuyang diten(rykqn, maka permohonan aguo secara formal
dan
proseduraloanalp@;
:;'.f i:.,, ,.'Ii4e,11imbang,
bahwa
selanjutnya
Mahkamah
Agung
akanrnempertimbangkan
substansi materi
permohonankeberatan
Hak
Uji:.,i
Materiildari Pemohon yaitu apakah benar obyek keberatan Hak Uji Materiilberupa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi,
Departemen
Energi
dan
Sumber Daya Mineral
Rl
Nomor
:
03.E/31/DJB/2009
tanggal
30
Januari2009,
tentang
Perizinan PertambanganMineral
dan
Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah SebagaiPelaksanaan Undang-Undang Nomor
4
Tahun
2009
(vide Bukti
p.1)bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi rn casu Undang-Undang
Nomor 4 Tahun tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(vide
BuktiP-Z\;
Menimbang, bahwa obyek keberatan Hak Uji Materiil berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber
Dayi
MineralRl
Nomor : 03.E/31/DJB/2009 wataupuntidak
termasuii,,urutan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dali'rn,Fasat7
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentangeqtTrbentu,f aii,r.Peraturan Perundang-undangan,
akan tetapi
berdasarkann"iipaon
i56af
Z tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk perundang-undangan yang sah, sehinggatunduk
pada ketentuan tata urutan dimanari.,.
pgraturanyang
lebih rendahtidak
boleh bertentangan dengah peraturan.
":' yang lebih tinggi (asasl*
perriori derogu lex superriori) ;t'
Menimbang, bahwa faktanya pada huruf A angka2
Surat Edaran in/ifs
berisi larangan penerbitan lzin Usaha Pertambangan(lUp)
yang barusampai terbitnya Peraturan Pemerintah
yang baru
sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor4 Tahun 2009 ;Menimbang, bahwa terhadap alasan pemohon tentang
masihberlakunya ketentuan
tentang usaha
Pertambanganyang diatur
dalamPeraturan Pemerintah Nomor
32
Tahun 1g6g sebagai
pelaksanaanUndang-Undang
Nomor
11
Tahun
196T tentang Ketentuan
pokokHal. 8 dari 11 hat. Put. No. 23 p/HUM//2009
d* *lafu MMkao hldmd pdi,4 ffi dil akd *Mgai bnfi* tffin Mahkand, Agut.ry d* NayMFnx, hnspeant de akdebils IEra,@fu{,si 4/adila^, ,}tdtt hd ANa MMil iEMd ffidyangtemw padatuslil tuu hldwd yang *htusya .da, Mmun lIJfunMb, @t6 tphp sqe6 hbungi Kepnilera* Mahhffi Agw H M :
Eh ail : ke pil tuaen@m h kama ha ghg-go.td
(4)
Direktori Putusan Mahkamah
.Agung
Republik
lndonesia
9T
Pertambangan, Mahkamah Agung berpendapat alasan pemohon tersebutdapat dibenarkan/berdasar hukum ;
Menimbang, bahwa jelas muatan Surat Edaran rn /Ifl.s bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1g6g karena kewenangan Bupati untuk memberikan tzin Usaha Pertambangan/Kuasa pertambangan,
apabila
dil?rang/dicabutseharusnya
dengan/dalambentuk
peraturanPem=erthtah
ji.rga bukan dengan
Surat
Edaran sebagaimana
oUyei:keheratah Flak Uji Materiil
;
,,,,'
'
''
Menimbang,bahwa
berdasarkan pertimbangantersebut
ierbukti bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan panas Bumi, DepartemenEnergi
dan
Sumber Daya Mineral
Rl
Nomor
:
03.E/31/DJB/2009
tanggal
30
Januari
2009,
tentang
Perizinan pertambangan Mineraldan
Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor4
Tahun200g
yang menjadi obyek keberatan Hak Uji Materiil (vide Bukti P.1), bertentangan dengan peraluranyang lebih tinggi rn casu Undang-Undang Nomor
4
Tahun 2O0g tentangPertambangan Mineral
dan
Batubara(vide Bukti P-2),
sehingga harusdibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari
Pemohon haruslah dikabulkan ; l
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan keberatan
Hak
Uji
Materiildari
Pemohon,maka biaya
pe*ara
akan
dibebankankepada Termohon;
Menimbbng, bahwa berdasarkan Pasal
8
ayat
(1)
peraturan Mahkamah AggngRl
Nomor1
Tahun 2004, panitera Mahkamah Agung mencantumkah petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikanltt:':, .,
atas biaya negarc;
r
':
Mahkamah Agung Rl No. 1 Tahun 2004 telah ditentukan bahwa dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirimkepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negarayang
mengeluarkanperaturan
perundang-undangan
tersebut, temyata pejabat
yangbersangkutan
tidak
melaksanakan kewajibannya,demi
hukum peraturanperundang-undangan
yang
bersangkutantidak
mempunyai
kekuatanhukum;
Menimbang,
bahwa
batal demi hukum tersebut dapat
dihindariapabila
Termohonsebelum
habisnyabatas
tenggangwaktu
tersebut,mencabut sendiri Peraturan aquo (spontane vemietiging);
Hal. I dari 11 hat. Put. No. 23 P/HUM//2009
A*laimd
xepertbdfrNilkamil Agu4gR;Nffihe@*MMhMdatum.MMklffidpab|lfr.t nakudebagaihil*komilfnMehid,AgurtpbyMptbti.,hng,a@qdiafDff@oefikwh*tgttpradtan.,
Ddd,t hd Ada @Mil inek@i iDtffiedyangMud pad. dbs ini dil tulffit yang ehetusryG ada Mun bdum EMb. m* h*qt *gen tutuhgi kpaliM nahkdmill{,ung H reffi:
Em ail : bpa n ilMar@tu Mffi ah agu ng. go.id
(5)
Direktori
Putusan Mahkamah Agung Republik lndonesia
Memperhatikan paSal-pasal
dari
Undang-Undang Nomor4
Tahun2004,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubahdan
ditambah dengan
Undang-UndangNomor
5
Tahun
2004
danperubahan
kedua dengan
Undang-Undang Nomor3
Tahun 2009
danPeraturan Mahkamah
Agung
Rl
Nomor.l
Tahun2004 serta
peraturan perundang+ndangan lain yang bersangkutan ;,,
'.
",:;..
::::MENGADILI
;r.',,..:,
"t.r,.,Mengabulkan permohonankeberatan
Hak
Uji
Materiil
dari',ii,
Pemohon: lr.
H.
IRSAN NOOR,M.Si, (Bupati Kutai
Timur)tersebut;
,,
2.
Menyatakan Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara,dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
RI
Nomor 03.E/31/DJB/2009 tanggat30
Januari 2009 tentangPerizinan
Pertambangandan
Batubara Sebelum
TerbitnyaPeraturan Pemerintah
Sebagai
Pelaksanaan Undang-UndangNomor
4
Tahun 2009
bertentangandengan
ketentuan yang berlaku dan lebihtinggi
yaitu Undang-Undang Nomor4
Tahun 2009, dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum ;3.
Memerintahkan kepada Menteri Energidan Sumber Daya MineralRl
untuk
membatalkandan
mencabutSurat Edaran
DirekturJenderql, lylineral;rB"1ur"Or, dan Panas Bumi Departemen Energi
da,1€.Umber Daya Mineral
Rt
Nomor 03.E/31/DJB/2009 tanggal.,,,3Q.oJEnu"ri 2009 tentang Perizinan Pertambangan dan Batubara
"
,..'::gn
"ng-Undang Nomor 4 Tahun 2009
;
,,
',
,
,
':::.:;
'i,','4. Memerintahkan Panitera MahkamahAgung
Rl
mencantumkan:::. :
petikan putusaninidalam
Berita Negara dan dipublikasikan atas,,j,
'
biaya Negara;
5.
Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Termohon yang besamya Rp. 1.000.000,- (satu.iuta rupiah) ;Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung
pada hari Rabu, tangggal9
Desember 2009 olehprof.
DR. H.Ahmad Sukardja, S.H.,
Hakim Agungyang
ditetapkan
oleh
KetuaMahkamah Agung
sebagai Ketua
Majelis, H. lmam Soebechi, S.H., M.H.,dan Marina
Sidabutar,
S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagaiAnggota,dan
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
pada
hari
itu
98
a
Hat. 10 dari 11 hat. Put. No. 23 P/HUM//2009
A*imer
Kery'ib@n Mahkamil, Agary Raliuuit ltldmsia Mga uduk *ttu mMnMil hld@tt pdirp ff t *M *begei bdok kMMA Mahbth AgutE uif* d€yw pt&*. uispfhri df adef* od,a,f fng-d Frdlan. t
blam lBl A,da mtumukil iduas inlme$ yatg teM pada tus ffi atu intofrfrri yiltg ss/brueya d., @ betum b@dia, n*a harcp eg# huburr<i rbpentwtu Mdrkafu Agung Rt M :
Emil : k epan ile E a n@m h k m il agu ng. N j o
(6)
Direktori Putusan MahkamahrAgung Republik lndonesia
99
putusan.mahkamahagung.go.id
, ,
t:iuga
oleh Ketua
Majelisbe""rt"
Hakim-HakimAnggota
tersebut dandibantu oleh
Subur
MS,"S.H., M.H., PaniteraPengganti,
dengan tidak dihadiri oleh para pihak;Hakim
-
HakimAnggota
:,,:ttd.: ,,
,tir, :::: :l
H. lmain,S<xibechi, S.H., M.H. .:
r:
,,irti:i..t1tl,C.
Miirina Sidabutar, S.H., M.H.
Biaya
-
Biaya :1.Meterai...
Rp.
6.000,-2.Redaksi...
Rp.
5.000,-3. Administrasi
... Rp.
989.000.-Jumlah
-
Rp.1.000.00-0,-
---;-;-
---'---:t---.-Uhtuk Salinan
.
Ketua:
ttd.
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, S,H.
Panitera Pengganti :
,
",,,
,'ttd.
Subur MS. S.H., M.H.
MAHKAMAH AGUNG R.I.
.,,,',,,,
a.n.PaniteraPaniterC Muda Tata Usaha Negara,
t: rti;qii,
i.;,, l.l',|&,,J,
I
a;
ASHADI. SH.
NrP.220000754
Hal. 11 dari 1t hal. Pd. No.23 P/HUlvy/2009
Asdaifr*
K..€tfud L*rxtuh Agur|, fupu!,/a h,t*,t*ia ,Efitadr. urtu* datu Munkil infd@C p,,,t g *irn dil ahtatgf6gti M* ,orilrfrn Mdrkand, Agw M da*s@hnBtt,erd,En.,
oatun M
EfiT: