ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTIK (Studi Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTIK (Studi Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011)

Oleh

BRYAN FERNANDES SIPAYUNG

Dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien memiliki hubungan hukum yang mengikat dalam sebuah perjanjian terapeutik. Kelalaian dan ketidakhati-hatian dokter dapat disebut sebagai perbuatan malpraktik. Perbuatan malpraktik dalam melaksanakan pelayanan mengakibatkan pasien mengalami kerugian. Pada perkara Putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011, mengenai pihak rumah sakit dan dokter yang digugat oleh pasien. Dimana dalam penyelesaian perkara tersebut berawal dari pengadilan negeri sampai pada peninjauan kembali. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah alasan dan pertimbangan hukum diajukannya peninjauan kembali, pertimbangan majelis hakim dalam putusan peninjauan kembali, akibat hukum dari peninjauan kembali.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, dengan tipe penelitian bersifat deskriptif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan bahwa dasar pertimbangan diajukannya peninjauan kembali, karena terdapat kekhilafan hakim dalam memutus perkara pada tingkat pengadilan sebelumnya. Pada pengadilan negeri Jakarta Selatan menghukum pihak rumah sakit dan para dokter atau tergugat dengan mengganti kerugian sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) secara tanggung renteng kepada pasien. Putusan pengadilan tinggi Jakarta menguatkan putusan dari pengadilan negeri. Dimana putusan di tingkat kasasi, hanya menghukum pihak rumah sakit dengan mengganti kerugian sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) kepada penggugat/pasien dan para dokter yang menangani pasien tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Akibat putusan di tingkat kasasi para penggugat mengajukan Permuhonan Kembali (PK). Pertimbangan terhadap putusan peninjauan kembali, bahwa unsur-unsur perbuatan melawan


(2)

Bryan Fernandes Sipayung

hukum telah terpenuhi. Akibat hukum yang timbul dari putusan peninjauan kembali pada perkara Putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara terikat pada putusan tersebut. Peninjauan kembali hanya dapat dilaksanakan 1(satu) kali saja, putusan tersebut dapat di eksekusi. Eksekusi adalah low inforcement atau penegakan hukum, berupa suatu usaha nyata secara paksaan untuk melaksakanakan putusan.

Kata kunci : Perbuatan Melawan Hukum, Peninjaun Kembali. Dokter dan Pasien.


(3)

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP DOKTER YANG

MELAKUKAN MALPRAKTIK

(Studi Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011)

Oleh

BRYAN FERNANDES SIPAYUNG

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Bryan Fernandes Sipayung, penulis dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1991 di Kabanjahe, Kab. Karo, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Barmen Sipayung dan Y. Hasiana Br. Sinaga.

Penulis menyelsaikan, Sekolah Dasar di SD Santo Xaverius 2 Kabanjahe, Kab. Karo, Sumatera Utara pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP Santo Xaverius 1 Kabanjahe, Kab. Karo, Sumatera Utara pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas di SMAN I Kabanjahe, Kab. Karo, Sumatera Utara pada Tahun 2010.

Tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Unila tanpa tes melalui jalur Seleksi Penelusuran Akademik dan Bakat (PKAB). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti kegiatan HIMA Perdata Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan Universitas Lampung, Formahkris, dan Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen.


(7)

MOTO

“Seberapa besar kesuksesan Anda bisa diukur dari seberapa kuat keinginan Anda, setinggi apa mimpi-mimpi Anda, dan bagaimana Anda memperlakukan

kekecewaan dalam hidup Anda..”

(Robert Kiyosaki)

“Kebenaran bukan untuk semua orang, tapi hanya untuk mereka yang mencarinya.”


(8)

PERSEMBAHAAN

Dengan rasa penuh puji dan syukur atas kasih yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh kerendahan hati ku persembahkan kepada:

Kepada kedua orang tuaku Barmen Sipayung dan Y. Hasiana br. Sinaga yang telah membesarkanku dengan penuh rasa kasih sayang, selalu menyertaiku dalam doa agar

setiap langkahku dipermudah oleh Tuhan, serta mengajarkanku untuk kuat dalam menjalani hidup agar lebih baik kedepannya.

Kakak dan adik-adikku, kak Sebry Aswita br. Sipayung, Trya Natania br. Sipayung dan Fitra Gabriel Sipayung terimakasih atas do’a dan motivasinya semoga penulis


(9)

SANWACANA

Salam sejaterah dan Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan kasih-Nyalah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Yuridis Permohonan Peninjauan Kembali Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Dokter yang Melakukan Malpraktek (Studi Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak lain.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H, M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. M. Fakih, S.H, M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.


(10)

4. Ibu Kasmawati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan motivasi dan masukan yang membangun serta mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

5. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini; 6. Ibu Yulia Kusuma Wardani S.H., LLM., selaku Dosen Pembahas II yang juga

telah memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Ratna Samsyar S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Keperdataan Sumber Mata Air Ilmuku yang penuh ketulusan, dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat dan motivasi bagi penulis, serta segala kemudahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi.

9. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang penulis banggakan dan Mamak tercinta yang telah banyak memberikan dukungan, doa, dan pengorbanan baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Terima kasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan.


(11)

adikku Trya Natania br. Sipayung dan Fitra Gabriel Sipayung yang selalu memberikan doa dan motivasi untuk kesuksesanku.

11. Teman-teman Hukum Keperdata Angkatan 2010 Andi, Jimbo, Wana, Rama, Merly, Bismar, Ridwan, Jefri, Kelvin, Gilang, Saud, Dudung, Romadoni dan teman-teman lainya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa, dukungan, dan kerjasamanya. Semoga kita semuam sukses.

12. Gerobak Pasir FC Abram, Sanggam, Cio, Ivo, Edo, Rizal, Saut, Yuri, Neil, Reni, Dede, Ade, Karlina, Jusuf, Eliasip, Yoga, Joshua, Wetson, Adatua serta adek dan kakak senior di Formakris yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih telah menjadi pendukung kuliah sampai penulis menyelesaikan kuliah.

13. Kepada Meliasta Julin br. Munthe yang selalu memberikan dukungan doa, semangat dan mengingatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman-teman KKN desa Bandung Barubarat : Ame, Rahardia, Febby, Dwi, Deo, dan Asa, atas kebersamaan selama 40 hari dan doa dalam penulisan skripsi ini.

15. Untuk saudara-saudari sepelayanan di PERMATA GBKP Bandar Lampung: Yesi, bg Surya, pal Aldo, Emia, Rikki, Batinta, bg Cokro dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih ataas doa dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

16. Untuk saudara-saudari Ikatan Mahasiswa Karo Rudang Mayang Lampung (IMKA-RML) yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas persaudaraan, kebersamaan dan bantuan selama ini.


(12)

17. Teman-teman Vila Selmon, bg Destra, Eko, Daniel, Turang Jeni, bg Rio Sby dan teman-teman yang lainyaa yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih telah menjadi pendukung kuliah dan teman berbagi suka dan duka selama saya berada di Vila Selmon sampai penulis menyelesaikan kuliah.

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu

penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua doa’a, bantuan dan

dukungannya.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemuliaan dan barokah, dunia dan ahirat khususnya bagi sumber mata air ilmuku, serta dilipat gandakan atas segala kebaikannya yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, 03 Agustus 2014 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP... vi

MOTO... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang lingkup ... 6

1. Rumusan Masalah ... 6

2. Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Kegunaan Peneltian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Perbuatan Melawan Hukum ... 9

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ... 9

2. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum ... 12

B.Profesi Dokter ... 16

1. Dokter Sebagai Pengemban Profesi ... 16

2. Pelaksanaan Profesi Dokter ... 17

C.Malpraktik ... 23

1. Pengertian Malpraktik ... 23

2. Jenis-jenis Malpraktik ... 25

3. Teori-teori Malpraktik ... 29

D.Peninjauan Kembali ... 31

1. Alasan Peninjauan Perkara Perdata ... 32

2. Prosedur Pengajuan Peninjauan Permohonan Peninjauan kembali . 33 E. Kerangka Pikir ... 35


(14)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 36

B. Tipe Penelitian ... 37

C. Pendekatan Masalah ... 37

D. Sumber Data ... 38

E. Metode Pengumpulan Data ... 39

F. Pengolahan Data ... 39

G. Analisi Data ... 40

IV. PEMBAHASAN A. Alasan dan Pertimbangan Hukum Diajukannya Peninjauan Kembali . 41 1. Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 49

2. Pemeriksaan Pengadilan Tinggi Jakarta ... 62

3. Putusan MA RI No. 1563 k/Pdt/2009 ... 63

B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Peninjauan Kembali .... 67

C. Akibat hukum dari Peninjauan Kembali ... 73

V. PENUTUP Kesimpulan ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua masyarakat ingin dilayani dan mendapat kedudukan yang sama dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter. Pelayanan dokter haruslah sesuai dengan Pasal 50 huruf (b) Undang-undang No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran yaitu, “memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar operasional”. Jadi, setiap masyarakat Indonesia berhak mendapat hasil yang optimal dalam pelayanan kesehatan.

Dokter adalah tenaga kesehatan dan pasien adalah yang meminta bantuan dokter untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Profesi kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Dokter sebelum melakukan pelayanan medis telah melakukan pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Dokter merupakan manusia biasa yang penuh dengan kekurangan dalam melaksanakan tugas kedokteran yang penuh dengan risiko dan tidak dapat menghindarkan diri dari kodrat manusia yang diberikan oleh Tuhan. Walaupun dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standard profesi atau Standart Operating

Procedure (SOP) kemungkinan pasien cacat atau bahkan meninggal dunia setelah


(16)

2

Dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien memiliki hubungan hukum. Hubungan hukum dokter dan pasien adalah hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum. Dokter sebagai subjek hukum dan pasien sebagai subjek hukum yang sukarela dan tanpa paksaan saling mengikat diri dalam sebuah perjanjian atau kontrak yang disebut perjanjian penyembuhan atau perjanjian terapeutik. Dalam hubungan hukum ini maka segala sesuatu yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dalam upaya penyembuhan penyakit pasien adalah perbuatan hukum yang dapat diminta pertanggung jawaban hukum.

Hubungan hukum dokter dan pasien akan menempatkan dokter dan pasien berada pada kesejajaran. Salah satu bentuk kesejajaran dalam hubungan dokter dengan pasien adalah melalui informent consent atau persetujuan tindakan medik. Pasien berhak mendapat informasi yang sejelas-jelasnya dari dokter mengenai penyakit yang dideritanya. Pasien juga berhak memutuskan apakah menerima atau menolak sebagaian atau seluruhnya rencana tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter pada dirinya.

Hubungan hukum dokter dan pasien menempatkan keduanya sebagai subjek hukum yang masing-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dihormati. Pengingkaran atas pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak akan menimbulkan disharmonisasi dalam hubungan hukum tersebut yang dapat berujung pada gugatan perbuatan melawan hukum atau tuntutan hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan hak-haknya oleh kepentingan-kepentingannya.


(17)

Berkaitan dengan profesi kedokteran tersebut, belakangan marak diberitakan dalam media nasional, baik melalui media elektronik maupun media cetak, bahwa banyak ditemui perbuatan malpraktik yang dilakukan kalangan dokter Indonesia. Salah satu contoh kasus perbuatan malpraktik adalah kasus dokter Dewa Ayu Sasiari Prawani (Ayu). Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) dokter Ayu terbukti bersalah karena kelalaiannya menyebabkan pasien meninggal dunia. Malpraktik merupakan pelayanan kesehatan yang mengecewakan atau merugikan pasien. Dokter kurang berhasil atau tidak berhasil dalam mengupayakan kesembuhan bagi pasiennya dikarenakan kesalahan profesional yang mengakibatkan pasien cacat hingga meninggal dunia.

Berbagai upaya perlindungan hukum dilakukan pemerintah dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayan kesehatan. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional yang berpengarah kepada terwujudnya derajad kesehatan yang optimal.

Namun, hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke Konsil Kedokteran Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya


(18)

4

berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait.1

Kasus malpraktik yang dilakukan dokter Ayu berbeda dengan kasus malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan. Dimana pada penyelesaian kasus di Rumah Sakit Pondok Indah sampai pada peninjauan kembali. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk menganalisis kasus tersebut. Dimana kasus tersebut berawal dari dokter yang menangani pasien tidak memberikan informasi yang jelas mengenai penyakit yang di derita oleh pasien. Kasus ini bermula pada 12 Februari 2005 ketika Sita (pasien) menjalani operasi pengangkatan tumor ovarium. Tim dokter dipimpin Ichramsjah dengan anggota Hermansyur dan Made Nazar. Hasil operasi diserahkan kepada Made Nazar untuk dicek di laboratorium Pathologi untuk diketahui ganas atau tidaknya. Hasilnya diserahkan kembali ke Ichramsjah dan dinyatakan tumor tidak ganas. Hasil Patologi Anatomi (PA) terakhir pada 16 Februari 2005 mengindikasikan tumor ganas. Namun, hasil tersebut tidak disampaikan kepada pasien atau keluarganya.

November 2005 Pasien dibawa kembali ke RS Pondok Indah karena kondisi semakin kritis. Suhu tubuhnya tinggi. Dia diperiksa dokter Mirza dengan hasil yang tidak jelas. Melihat medical record pasien yang baru dioperasi tumor tanpa memerhatikan hasil PA, Mirza memberi saran dan tindakan-tindakan antara lain pemeriksaan USG Abdomen dan CT Scan Abdomen (minas hepar).

1


(19)

Pasien menemui kembali dokter Ichramsjah karena semakin banyak keluhan. Salah satunya benjolan di kiri perut. Karena termasuk area dokter lain, direkomendasikan ke dokter Hermansyur dan disarankan CT Scan. Disimpulkan pasien mengalami kanker liver stadium 4 dan ditangani kembali oleh dokter Ichramsjah. Pasien pindah ke RS lain dan oleh dokter baru diminta CT Scan lagi. Sample jaringan tumor hasil pemeriksaan di RS Pondok Indah diminta untuk diteliti di Singapura. Hasilnya ternyata tumor ganas. Akhirnya pasien harus menjalani kemoterapi.

Berdasarkan kasus tersebut, apabila dilihat dari Pasal 50 huruf (b) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yaitu “memberi pelayanan medis

menurut standar profesi dan standard prosedur operasional”. Dokter yang menangani

pasien tersebut telah melanggar undang-undang karena pihak rumah sakit dan pihak dokter tidak memberitahu bahwa penyakit yang di derita oleh pasien adalah tumor ganas yang ada di ovarium.

Seharusnya pihak rumah sakit atau pihak dokter setelah mengetahui hasil yang sebenarnya mengenai penyakit pasien memberitahu kepada pihak pasien atau keluarga mengenai penyakit apa yang sebenarnya yang diderita oleh pasien agar tidak terlambat dalam penyembuhan penyakit tersebut. Akibat dari ketidak profesional pihak rumah sakit atau pihak dokter yang menangani pasien tersebut, pasien mengalami kanker liver stadium 4 setelah dilakukannya CT Scan dan akhirnya pasien meninggal dunia. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah mengatur tugas dan tanggung jawab dokter. Namun kenyataannya dokter telah


(20)

6

melakukan perbuatan melawan hukum. Pasien atau keluarga pasien berhak menggugat pihak dokter karena telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Setelah melalui persidangan, mulai dari pengadilan negeri Jakarta Selatan putusan majelis hakim menghukum pihak rumah sakit dan para dokter atau tergugat dengan mengganti kerugian sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) secara tanggung renteng kepada pasien. Pihak tergugat tidak puas dengan putusan pengadilan negeri tersebut, pihak tergugat mengajukan banding ke pengadilan tinggi Jakarta, dimana putusan majelis hakim di pengadilan tinggi Jakarta menguatkan putusan dari pengadilan negeri Jakarta Selatan. Dengan putusan pengadilan tinggi Jakarta tersebut pihak tergugat mengajukan kasasi. Dimana putusan majelis hakim di tingkat kasasi, hanya menghukum pihak rumah sakit dengan mengganti kerugian sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) kepada penggugat/pasien dan para dokter yang menangani pasien tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Para pihak pasien atau penggugat belum mendapatkan keadilan yang sebenarnya dengan putusan majelis hakim di tingkat kasasi, maka dari itu pihak pasien atau penggugat mengajukan Permuhonan Kembali (PK).

Berdasarkan latar belakang di tersebut, penulis tertarik mengadakan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Permohonan Peninjauan Kembali Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Dokter Yang Melakukan Malpraktik (Studi Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 515PK/Pdt/2011)”


(21)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dari putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 antara lain :

a. Bagaimana alasan dan pertimbangan hukum diajukannya peninjauan kembali? b. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam putusan peninjauan kembali? c. Apakah akibat hukum dari peninjauan kembali?

2. Ruang Lingkup

a. Ruang lingkup keilmuan

Ruang lingkup kajian penelitian ini adalah dibatasi pada ketentuan hukum mengenai Permohonan Peninjauan Kembali Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Dokter Yang Melakukan Malpraktik. Bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum perdata.

b. Ruang lingkup objek kajian

Ruang lingkup objek kajian adalah mengkaji tentang Permohonan Peninjauan Kembali Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Dokter Yang Melakukan Malpraktik.


(22)

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 adalah :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana alasan dan pertimbangan hukum diajukannya peninjauan kembali.

b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam putusan peninjauan kembali.

c. Untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum dari peninjauan kembali.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunanan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat, memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya khusunya Hukum Kesehatan mengenai Permohonan Peninjauan Kembali perbuatan melawan hukum terhadap dokter yang melakukan malpraktik.

b. Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para dokter di Indonesia dalam pelayanan terhadap pasien.

2) Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat, khususnya pasien yang menjadi korban malpraktik.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perbuatan Melawan Hukum

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.

Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan yaitu : “bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si


(24)

10

pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban

membayar ganti kerugian”.2

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: “setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Pasal 1365 tersebut biasanya dikaitkan dengan Pasal 1371 ayat (1) KUH Perdata yang

berbunyi: “penyebab luka atau cacatnya sesuatu badan atau anggota badan dengan

sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada si korban untuk, selain penggantian biaya pemulihan, menuntut ganti kerugian yang disebabkan oleh luka

cacat tersebut”.

Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.3

2

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal. 25-26.

3


(25)

Menurut R. Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangna dari masyarakat.4 Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa istilah “onrechtmatige daad” dirafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.5

Menurut salah satu ahli hukum terkemuka asal Belanda, perbuatan melawan hukum

yaitu “delict” adalah “elke eenzijdige evenwichtsverstoring, elke eenzijdige inbreak op de materiele en immateriele levensgoerden van een persoon of een, een eenheid

vormende, veelheid van persoon/een groop”6 ( tiap-tiap gangguan dari keseimbangan,

tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan kerohanian dari milik hidup seseorang atau gerombolan orang-orang).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam lalu lintas masyarakat. Perbuatan melawan hukum juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur prilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.

4

R. Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung :Sumur1994, hlm. 13

5Ibid, hal. 13

6


(26)

12

2. Unsur-Unsur Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum Pasal 1365 dan Pasal 1370, maka dalam melakukan gugatan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Adanya suatu perbuatan, yaitu Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (secara aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padahal ia berkewajiban untuk membantunya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari kontrak). Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata

sepakat dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagai mana yang

terdapat dalam kontrak.7

b. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang.8

c. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara :

1) Objektif, yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan akan timbulnya akibat dan

7

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, (Mandar Maju: Bandung, 2008), hlm. 185

8


(27)

kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat.

2) Subyektif, yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.

Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :

1) Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja.

2) Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.

d. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa :9

1) Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada

9


(28)

14

umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.

2) Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersubut, untuk itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melwan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.

e. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu :10

1) Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan

perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).

10


(29)

2) Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum.

Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.

Unsur-unsur tersebut berlaku kumulatif, artinya harus terpenuhi seluruhnya. Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggungjawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak.

Pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan kesalahan dalam bentuk kesengajaan

(opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), dengan demikian

hakim harus dapat menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan sesorang dalam hubungannnya dengan perbuatan melawan hukum ini, sehingga dapat ditentukan ganti kerugian yang seadil-adilnya.


(30)

16

B. Profesi Dokter

1. Dokter Sebagai Pengemban Profesi

Pasal 1 nomor (11) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

pengertian profesi kedokteran yaitu “Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode

etik yang bersifat melayani masyarakat”.11

Berdasarkan rumusan yang tercantum di dalam undang-undang praktik kedokteran tersebut, bahwa dokter merupakan pengemban profesi kedokteran yang tentunya mempunyai ciri-ciri profesi sebagaimana pengemban profesi pada umumnya. Ada beberapa ciri profesi antara lain :12

a. Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistematis.

b. Mempunyai kompetensi secaraa eksklusif terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu.

c. Didasarkan pada pendidikan yang intesif dan disiplin tertentu.

d. Mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilanya, serta mempertahankan kehormatan.

e. Mempunyai etika tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaannya.

11

Lihat Pasal 1 nomor (11) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran.

12

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2006), hlm. 23


(31)

f. Cenderung mengebaikan pengendalian dari masyarakat atau individu.

g. Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu, dan organisasi professional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap kemandiriiannya.

Sebagai pengemban profesi, dokter adalah orang yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam ilmu kedokteran yang secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanannya. Dokter juga harus mampu memutuskan sendiri tindakan yang harus silakukan dalam melaksakan profesinya, serta secara pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan yang diberikan.

2. Pelaksanaan Profesi Dokter

Peraturan yang mengatur tentang tanggung jawab etis seorang dokter tertuang di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) sebagai pedoman perilaku dokter dalam menjalakan profesinya di Indonesia. Dari perspektif Etik Profesi, maka dokter mempunyai bentuk pertanggung jawaban, yaitu :13

a. Tanggung Jawab Etis

Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri

13


(32)

18

Kesehatan RI No.290/MENKES /PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.

Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran.

b. Tanggung Jawab Profesi

Tanggung jawab profesi dokter berkaitan erat dengan profesionalisme seorang dokter. Hal ini terkait dengan :

1) Pendidikan, pengalaman dan kualifikasi lain

Dalam menjalankan tugas profesinya seorang dokter harus mempunyai derajat pendidikan yang sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya. Dengan dasar ilmu yang diperoleh semasa pendidikan di fakultas kedokteran maupun spesialisasi dan pengalamannya untuk menolong penderita.


(33)

2) Derajat risiko perawatan

Derajat risiko perawatan diusahakan untuk sekecil-kecilnya, sehingga efek samping dari pengobatan diusahakan minimal mungkin. Di samping itu mengenai derajat risiko perawatan harus diberitahukan terhadap penderita maupun keluarganya, sehingga pasien dapat memilih alternatif dari perawatan yang diberitahukan oleh dokter.

3) Peralatan perawatan

Perlunya dipergunakan pemeriksaan dengan menggunakan peralatan perawatan, apabila dari hasil pemeriksaan luar kurang didapatkan hasil yang akurat sehingga diperlukan pemeriksaan menggunakan bantuan alat. Namun dari jawaban responden bahwa tidak semua pasien bersedia untuk diperiksa dengan menggunakan alat bantu (alat kedokteran canggih), hal ini terkait erat dengan biaya yang harus dikeluarkan bagi pasien golongan ekonomi lemah.

c. Tanggung Jawab Hukum

Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan -ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum perdata terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu :14

1) Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena Wanprestasi.

Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibanya yang didasrkan pada suatu perjanjian terapeutik. Perjanjian

14

http://alisarjuni.blogspot.com/2013/05/hukum-tanggung-jawab-dokter-dengan.html, diakses tanggal 3 Februari 2014


(34)

20

terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat dan melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan serta melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Sehubungan dengan masalah ini, maka wanprestasi yang dimaksudkan dalam tanggung jawab perdata seorang dokter adalah tidak memenuhi syarat-syarat yang tertera dalam suatu perjanjian yang telah dia adakan dengan pasiennya.

Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau perjanjian yang terjadi hanya dapat dilakukan bila memang ada perjanjian dokter dengan pasien. Perjanjian tersebut dapat digolongkan sebagai persetujuan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Perjanjian itu terjadi bila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan dokter memenuhi permintaan pasien untuk mengobatinya. Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah honorarium. Dokter sebenarnya harus melakukan prestasi mengupayakan menyembuhkan pasien dari penyakitnya. Tetapi penyembuhan itu tidak pasti selalu dapat dilakukan sehingga seorang dokter hanya mengikatkan dirinya untuk memberikan bantuan semampunya, sesuai dengan ilmu dan ketrampilan yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan mengupayakan untuk menyembuhkan pasien.


(35)

Gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa dokter itu benar-benar telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut (yang tentu saja dalam hal ini senantiasa harus didasarkan pada kesalahan profesi). Jadi di sini pasien harus mempunyai bukti-bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak terapeutik. Tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai cukup informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak terapeutik.

2) Tanggung Jawab Perdata Dokter Karena Perbuatan Melanggar Hukum (onrechtmatige daad).

Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk pertanggungjawaban perdata. Berdasarkan tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHpdt) yaitu sebagai berikut :

a) Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt). Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan

bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan


(36)

22

Undang-undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang, jadi suatu perbuatan melawan undang-undang. Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan. Untuk menentukan seorang pelaku perbuatan melanggar hukum harus membayar ganti rugi, haruslah terdapat hubungan erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.

b) Berdasarkan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

c) Berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. (Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).


(37)

Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 BW mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut. Adapun yang dimaksud dengan Pasal 1367 BW adalah pihak-pihak yang tidak dapat bertindak secara mandiri dalam hubungan dengan atasannya, karena memerlukan pengawasan atau petunjuk-petunjuk lebih lanjut secara tertentu. Sehubungan dengan hal itu seorang dokter harus bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh bawahannya yaitu para perawat, bidan dan sebagainya. Kesalahan seorang perawat karena menjalankan perintah dokter adalah tanggung jawab dokter.

C. Malpraktik

1. Pengertian Malpraktik

Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktik. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Danny Wiradharma memandang malpraktik dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk;15

b. Ninik Mariyanti berpendapat, malpraktik sebenarnya mempunyai pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:16

15

Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2005), hlm. 20


(38)

24

1) Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi;

2) Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktik dapat terjadi di dalam menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan, dan sesudah perawatan.

c. Menurut J. Guwandi, Malpraktik adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya profesi medis saja, tetapi juga ditujukan kepada profesi lainnya. Jika ditujukan kepada profesi medis, maka disebut dengan malpraktik medis atau medik.17

Jadi menurut penulis, malpraktik adalah suatu perbuatan profesi dalam menjalankan tugas terdapat unsur kelalaian yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Berdasarkan hukum kedokteran, istilah malpraktik mengandung arti praktek dokter yang buruk. Bila dibahas dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, maka harus dinilai dari kualifikasi yuridis tindakan medis atau medic yang dilakukan dokter tersebut.

Dari apa yang terumus tentang tindakan medis di atas, dapat dikatakan bahwa suatu tindakan medis atau medik bertentangan dengan hukum apabila:

16

Ninik Mariyanti , Malpraktek Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan Perdata. (Bina Aksara: Jakarta, 1988), hlm. 38

17

J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Fakultas Kedokteran UI: Jakarta, 2004), hlm. 20


(39)

a. Tindakan medis atau medik dilakukan tidak menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran;

b. Tindakan medis atau medik tidak mendapat persetujuan pasien.

Bila pengertian malpraktik diartikan dengan praktek dokter yang buruk kemudian dihubungkan dengan kriteria suatu tindakan medis atau medik yang bertentangan dengan hukum seperti yang sudah disebutkan di atas, maka ada hal-hal yang mendasari terjadinya malpraktik medis pada dasarnya, yaitu pengabaian hak-hak pasien dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter.

2. Jenis-jenis Malpraktik

Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktik medis menjadi dua bentuk, yaitu malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik yuridis (yuridical

malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.18 Malpraktik Etik Yang

dimaksud dengan malpraktik etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang dokter yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Etika kedokteran yang dituangkan dalam Kode Etik kedokteran merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh dokter. Sedangkan malpraktik yuridis, Soeyadmiko membedakan malpraktik menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal

malpractice), dan administrasi malpraktik (administrative malpractice).

18


(40)

26

a. Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:19

1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.

2) Melakukan apa yang menurut kesepakatanya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.

3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.

4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:20

1) Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).

2) Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis). 3) Ada kerugian.

4) Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita;

5) Adanya kesalahan (schuld).

19

Ibid, hlm. 32

20


(41)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:21

1) Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.

2) Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medis yang lazim dipergunakan.

3) Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

4) Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya

kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res

ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga

kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam malpraktik perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktik pidana.

b. Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)

Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan

21


(42)

28

upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktik pidana ada tiga bentuk yaitu :22

1) Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.

2) Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

3) Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.

c. Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)

Malpraktik administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medis.

22


(43)

3. Teori-Teori Malpraktik

Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktik yaitu :23

a. Teori Pelanggaran Kontrak

Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana di antara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama.

Pasien dalam keadaan tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat misalnya, seorang pasien tidak mungkin memberikan persetujuannya. Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga pasien yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan pasien. Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan pasien gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan pasien,

23

Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan. (Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2013), hlm. 128


(44)

30

menurut undang-undangan yang berlaku seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kotrak tenaga kesehatan-pasien.

b. Teori Perbuatan yang Disengaja

Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktik adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja

(intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera

(asssult and battery).

c. Teori Kelalaian

Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah kelalaian

(negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan

dalam malpraktik ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum. Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktik, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.


(45)

Sumber teori-teori malpraktek tersebut menjadi alasan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter. Apabila salah satu sumber teori-teori malpraktek di atas telah terbukti dilanggar oleh dokter dapat dikatakan perbuatan melawan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

D. Peninjauan Kembali

Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van

gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan

atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi). Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.24

Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa) Pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965. Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil (RC) antara lain, sebagai berikut:

24

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 92.


(46)

32

1. Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.

2. Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.

3. Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.25 Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.

1. Alasan Peninjauan Kembali Perkara Perdata

Berdasarkan pasal 67 UU No. 14 tahun 1985, jo PERMA No. 1 tahun 1982, permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :26

a. Putusan dengan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang mencolok.

b. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi dari apa yang dituntut.

25

R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997), hal.171-172.

26

Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 435


(47)

c. Suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa mempertimbangkan sebab-sebabnya.

d. Terdapat putusan yang saling bertentangan antara pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama, atas dasar yang sama.

e. Apabila dalam suatu putusan terdapat ketentuan yang bertentangan satu sama lain.

f. Putusan didasarkan atas kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus, atau keterangan saksi atau surat-surat bukti kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

g. Setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat dikemukakan (novum).

2. Prosedur Pengajuan Permohonan Peninjuan Kembali

a. Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama. b. Membayar biaya perkara.

c. Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. d. Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas

alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)

e. Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan


(48)

34

hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)

f. Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.

g. Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)

h. Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).

i. Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).

j. permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).

k. Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)


(49)

F. Kerangka Pikir

Putusan Mahkamah Agung Nomor 515PK/Pdt/2011

Perbuatan Melawan Hukum

Pasien Dokter

Alasan adanya gugatan perbuatan melawan hukum dari putusan MA tersebut

Akibat hukum dari putusan MA tersebut dalam memberi sanksi kepada dokter yang melakukan perbuatan melawan hukum Putusan hakim dalam

memberikan sanksi kepada dokter yang melakukan perbuatan melawah hukum


(50)

36

III. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, konsistendan pemikiran tertentu bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dengan cara menganalisanya.27 Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan penulis dapat mempertanggungjawabkan kebenarannyannya.28

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum kepustakaan atau metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.29 Penelitian ini akan menganalisis tentang analisi yuridis permohonan peninjauan kembali perbuatan melawan hukum terhadap dokter yang melakukan malpraktek dengan melihat norma,

27

Sarjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif,(Rajawali Pers: Jakarta, 1990), hal. 11

28

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,(Citra Aditya Bakti: Bandung, 2004), hal. 2

29


(51)

peraturan perundang-undangan dan literatur yang berkaitan dengan permohonan peninjauan kembali perbuatan melawan hukum terhadap dokter yang melakukan makpraktek.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan menguraikan pokok bahasan yang telah disusun dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif. Tipe penelitian deskriptif yang digunakan bertujuan untuk menggambarkan secara rinci, jelas dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-undang, KUH Perdata, peraturan pemerintah, putusan Mahkamah Agung, atau objek kajian lainnya.30 Untuk itu, penelitian ini akan menggambarkan secara lengkap, rinci, jelas dan sistematis mengenai mekanisme Pengajuan Peninjauan Kembali Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Dokter yang Melakukan Malpraktek yang didasari pada peraturan perundang-undangan yang terkait dan putusan Mahkamah Agung No. 515/PK/Pdt/2011 tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter.

C. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Metode pendekatan penelitian ini adalah pendekatan peraturan undang-undang (statute approach) suatu penelitian normatif tertentu yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah

30


(52)

38

berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus sentral suatu penelitian.31 Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang dianalisis.

D. Sumber Data

jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.32 Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dipeoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan hukum yang terdiri dari :33

1. Bahan hukum primer, yaitu data yang normatif yang bersumber dari perundang-undangan. Yang menjadi bahan hukum primer yaitu:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

b. Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung c. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. d. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

e. Peraturan Menteri Kesehatan Permenkes RI No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

f. Putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter.

31

Ibid, hal. 102

32

Sarjono Soekanto, Op.cit. hal 11

33


(53)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

E. Metode Pengumpilan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (liberary research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksut untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan mengunakan metode :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan.

b. Penandaan data (Icording), yaitu memberi catatan atau data yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, dan perundang-undangan).

c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpresentasikan.


(54)

40

d. Sistematisi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

G. Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang artinya hasil penelitian ini di deskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas.


(55)

V. PENUTUP

Kesimpulan

Dari bahasan-bahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis memberikan kesimpulan, antara lain :

1. Dasar pertimbangan diajukannya peninjauan kembali, karena terdapat kekhilafan hakim dalam memutus perkara pada tingkat pengadilan sebelumnya. Akibat kelalaian dari para dokter yang menimbulkan kerugian bagi pasien, mengakibatkan para pihak rumah sakit dan dokter bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Sebagaimana dalam putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 para pihak rumah sakit dan dokter yang bertanggungjawab secara tanggung renteng atas kerugian kerugian yang dialamai oleh pasein.

2. Pertimbangan majelis hakim terhadap putusan peninjauan kembali yaitu majelis hakim telah memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUHPdt perbuatan melawan hukum, terhadap perkara yang ada majelis hakim menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Kerugian yang dialami


(56)

77

korban cukup besar berupa kerugian materil dan imateril. Pada proses dilakukannya upaya penyembuhan, penyakit pasien tidak menjadi lebih membaik, melainkan penyakit pasien semakin parah hingga pasien meninggal dunia. Akibar pasien meninggal dunia, para penggugat merupakan anak dari pasien kehilangan kepala rumah tangga.

3. Akibat hukum dari putusan peninjauan kembali pada perkara Putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara terikat pada putusan tersebut, sehingga pihak-pihak yang berperkara harus melakukan hak dan kewajibanya sebagaimana ditentukan dalam putusan. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilaksanakan hanya 1(satu) kali. Prinsip ini bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainity). Berdasarkan permohonan oleh salah satu pihak yang berperkara telah dijatuhkan putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung, terhadap putusan itu tidak dapat lagi diajukan permohonan peninjauan kembali sekali lagi oleh pihak yang berperkara. Akibat hukum yang timbul sehubungan dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali pelaksanaan putusan dapat di eksekusi. Eksekusi adalah low inforcement atau penegakan hukum, berupa suatu usaha nyata secara paksaan untuk melaksakanakan putusan.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-buku

Djojodirdjo, Moegni. 1982. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita.

Faudi, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Guwandi, J. 2004. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran UI, Jakarta Harahap, Yahya. 2009. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Sinar Grafika, Jakarta.

Isfandyarie, Anny. 2005. Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana. Prestasi Pustaka, Jakarta.

---. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I. Prestasi Pustaka, Jakarta.

Machmud, Syahrul. 2008. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter

Yang Diduga Melkukan Medikal Malpraktek. Mandar Maju, Bandung.

Mariyanti, Ninik. 1988. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan

Perdata. Bina Aksara, Jakarta

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prinst, Darwan. 2002. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Projodikoro, Wirjono, 1984. Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur: Bandung ---. 1994. Perbuatan Melanggar Hukum. Sumur Bandung.


(58)

Siswati, Sri. 2013. Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang

Kesehatan. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Subekti, R. 1997. Hukum Acara Perdata,Cet. 2. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Bandung

Soekanto, Sarjono. 2009. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers, Jakarta.

b. Peraturan perundang-undangan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Permenkes RI No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter.

c. Web Site

http://www.metrotvnews.com/metronews/video/2013/04/12/6/175296/Kasus-Malpraktik-di-Indonesia-Mening diakses tanggal 17 januari 2014.

http://alisarjuni.blogspot.com/2013/05/hukum-tanggung-jawab-dokter-dengan.html, diakses tanggal 3 Februari 2014.


(1)

39

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan

primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

E. Metode Pengumpilan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan menggunakan cara

studi kepustakaan (liberary research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksut untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan mengunakan metode :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan

serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan.

b. Penandaan data (Icording), yaitu memberi catatan atau data yang menyatakan

jenis sumber data (buku literatur, dan perundang-undangan).

c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,


(2)

40

d. Sistematisi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap

pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

G. Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang artinya hasil penelitian ini di deskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas.


(3)

76

V. PENUTUP

Kesimpulan

Dari bahasan-bahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis memberikan kesimpulan, antara lain :

1. Dasar pertimbangan diajukannya peninjauan kembali, karena terdapat

kekhilafan hakim dalam memutus perkara pada tingkat pengadilan sebelumnya. Akibat kelalaian dari para dokter yang menimbulkan kerugian bagi pasien, mengakibatkan para pihak rumah sakit dan dokter bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Sebagaimana dalam putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 para pihak rumah sakit dan dokter yang bertanggungjawab secara tanggung renteng atas kerugian kerugian yang dialamai oleh pasein.

2. Pertimbangan majelis hakim terhadap putusan peninjauan kembali yaitu

majelis hakim telah memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUHPdt perbuatan melawan hukum, terhadap perkara yang ada majelis hakim menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Kerugian yang dialami


(4)

77

korban cukup besar berupa kerugian materil dan imateril. Pada proses dilakukannya upaya penyembuhan, penyakit pasien tidak menjadi lebih membaik, melainkan penyakit pasien semakin parah hingga pasien meninggal dunia. Akibar pasien meninggal dunia, para penggugat merupakan anak dari pasien kehilangan kepala rumah tangga.

3. Akibat hukum dari putusan peninjauan kembali pada perkara Putusan MA No.

515/PK/Pdt/2011 mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara terikat pada putusan tersebut, sehingga pihak-pihak yang berperkara harus melakukan hak dan kewajibanya sebagaimana ditentukan dalam putusan. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilaksanakan hanya 1(satu) kali. Prinsip ini

bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainity).

Berdasarkan permohonan oleh salah satu pihak yang berperkara telah dijatuhkan putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung, terhadap putusan itu tidak dapat lagi diajukan permohonan peninjauan kembali sekali lagi oleh pihak yang berperkara. Akibat hukum yang timbul sehubungan dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali

pelaksanaan putusan dapat di eksekusi. Eksekusi adalah low inforcement atau

penegakan hukum, berupa suatu usaha nyata secara paksaan untuk melaksakanakan putusan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-buku

Djojodirdjo, Moegni. 1982. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita.

Faudi, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Guwandi, J. 2004. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran UI, Jakarta

Harahap, Yahya. 2009. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Sinar Grafika, Jakarta.

Isfandyarie, Anny. 2005. Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum

Pidana. Prestasi Pustaka, Jakarta.

---. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I. Prestasi

Pustaka, Jakarta.

Machmud, Syahrul. 2008. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter

Yang Diduga Melkukan Medikal Malpraktek. Mandar Maju, Bandung.

Mariyanti, Ninik. 1988. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan

Perdata. Bina Aksara, Jakarta

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Prinst, Darwan. 2002. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Projodikoro, Wirjono, 1984. Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur: Bandung


(6)

Siswati, Sri. 2013. Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Subekti, R. 1997. Hukum Acara Perdata,Cet. 2. Badan Pembinaan Hukum Nasional,

Departemen Kehakiman, Bandung

Soekanto, Sarjono. 2009. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers, Jakarta.

b. Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Permenkes RI No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Putusan MA No. 515/PK/Pdt/2011 tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter.

c. Web Site

http://www.metrotvnews.com/metronews/video/2013/04/12/6/175296/Kasus-Malpraktik-di-Indonesia-Mening diakses tanggal 17 januari 2014.

http://alisarjuni.blogspot.com/2013/05/hukum-tanggung-jawab-dokter-dengan.html, diakses tanggal 3 Februari 2014.


Dokumen yang terkait

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Analisa yuridis tentang kewenangan mengadili perkara kepailitan yang mengandung klausula arbitrase dalam putusan peninjauan kembali :studi Putusan Mahkamah Agung No. 013 PK/N/1999

0 4 71

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA (Putusan Nomor : 39 PK/Pid.Sus/2011)

0 3 16

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 72 PK/ Pid/2010)

0 6 17

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 72 PK/Pid/2010) JURIDICAL

3 40 9

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Putusan MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 69 PK/Pid.Sus/2007)

0 6 16

Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (Perspektif Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Sistem Hukum Islam)

0 12 0

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG TELAH DIAJUKAN LEBIH DAHULU OLEH TERPIDANA DI MAHKAMAH AGUNG.

0 0 1

STUDI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI BERDASARKAN KEKHILAFAN HAKIM ATAU SUATU KEKELIRUAN YANG NYATA DALAM PERKARA TANAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 456 PK/Pdt/2015).

0 0 16

TINJAUAN HAK TERPIDANA MATI MENGAJUKAN GRASI SETELAH MAHKAMAH AGUNG MEMPERTIMBANGKAN MENOLAK UPAYA PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 45 PK/PID.SUS/2016).

0 0 13