Tingkat Panduan Dosis Pengaturan Jarak

2.2.2 Dosis Serap

Dosis serap merupakan jumlah energi radiasi yang diberikan oleh radiasi pengion kepada medium. Dalam satuan SI Satuan Internasional besaran dosis serap diberi satuan khusus, yaitu gray Gy dimana 1 Gy = 1 J.kg -1 . Secara matematis, dosis serap D dirumuskan dengan Persamaan 2.3 Akhadi, 2000. 2.3 Dimana : D : dosis serap J. kg -1 dE : energi yang diserap oleh medium J dm : jumlah massa kg Jika dE dalam Joule J dan dm dalam kilogram kg, maka satuan dari D adalah J.kg -1 . Dalam satuan SI besaran dosis serap diberi satuan khusus yaitu Gray dan disingkat Gy, dimana 1 Gy = 1 J. kg -1 . Satuan Gy menunjukan nilai dosis serap yang sangat tinggi. Untuk nilai dosis serap yang lebih rendah biasanya digunakan satuan mGy 10 -3 Gy. Turunan dosis serap terhadap waktu disebut laju dosis serap dan dirumuskan dengan persamaan 2.4 ̇= 2.4 Laju dosis serap mempunyai satuan dosis serap per satuan waktu. Dalam sitem SI, laju dosis serap dinyatakan dalam Gy.s -1 .

2.3 Tingkat Panduan Dosis

Berdasarkan peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir No. 8 Tahun 2011 tentang keselamatan radiasi dalam penggunaan pesawat sinar-X radiologi diagnostik dan intervensional disebutkan tingkat panduan paparan medik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat 2 dijelaskan bahwa penerapan optimasi proteksi dan keselamatan radiasi harus diupayakan agar pasien menerima dosis radiasi serendah mungkin sesuai dengan yang diperlukan agar mencapai tujuan diagnostik. Dalam pasal 40 menerapkan panduan paparan medik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat 3 huruf b diterapkan untuk radiografi dan fluroskopi. Pasal 40 ayat 1 tingkat panduan medik yang dimaksud pada ayat 1 dapat dilampaui apabila ada justifikasi berdasarkan kebutuhan klinis. Tingkat panduan paparan medik tersebut diukur pada pasien dewasa dengan nilai dosis yang diperlihatkan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1. Tingkat panduan dosis radiografi diagnostik untuk setiap pasien dewasa Perka BAPETEN No. 8 tahun 2011 No Jenis Pemeriksaan Posisi Pemeriksaan Dosis Permukaan Masuk per Radiografi mGy 1 Lumbal tulang belakang lumbal spine AP LAT LSJ 10 30 40 2 Organ ginjal , empedu abdomen, intravenous urography dan cholecystography AP 10 3 Pelvis AP 10 4 Sendi panggul hip joint AP 10 5 Paru chest PA LAT 0,4 1,5 6 Tulang bagian belakang thoracic spine AP LAT 7 20 7 Gigi dental periapical AP 7 5 8 Kepala skull PA LAT 5 3

2.4 Teknik foto thorax

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan KEMENKES No.1250 tahun 2009 tentang pedoman kendali mutu untuk pengujian paparan radiasi, pasien digantikan dengan phantom. Dalam pengukuran dosis paparan radiasi sifat fisis material phantom ekuivalen dengan jaringan lunak pada tubuh manusia serta mudah diperoleh. Sehingga proses pengukuran dosis dapat dilakukan berulang-ulang dengan variasi jarak yang diinginkan. Salah satu proyeksi yang biasa digunakan untuk teknik pemeriksaan foto thorax adalah proyeksi PA dan LAT.

2.4.1 Proyeksi PA Pada proyeksi ini pasien diposisikan berdiri tegak menghadap kaset, dagu diangkat

keatas, tangan diletakkan dibelakang dan dibawah pinggul. Thorax harus diposisikan secara simetris relatif terhadap film, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Sumber radiasi diposisikan di belakang pasien dengan jarak fokus ke film sejauh mulai dari 150-180 cm, dan pancaran sinar-X ditransmisikan ke pasien. Gambar 2.2 Proyeksi PA pada Pasien Withley, 2005 Pada penelitian ini proyeksi PA menggunakan phantom diperlihatkan pada Gambar 2.3 Gambar 2.3 Skema proyeksi PA phantom Pada Gambar 2.3 ditunjukkan skema proyeksi PA yang digunakan adalah phantom dengan luas lapangan penyinaran yang berukuran 30 x 30 cm dimana variasi jarak dari titik fokus ke detektor mulai dari 100-180 cm. Detektor dihubungkan dengan elektrometer dan ditempatkan diluar ruangan. Teknik pengukuran dosis penyinaran dilakukan pada arah vertikal dengan cara menggeser stand tabung sinar-X menjauhi detektor.

2.4.2 Proyeksi LAT

Proyeksi LAT pada pasien dapat dilakukan dengan dua sisi yaitu miring menyamping ke kiri atau kanan. Pasien diposisikan berdiri tegak disamping kaset, lengan dilipat dan dinaikkan diatas kepala. Sagital median sejajar disesuaikan dengan kaset. Sumber sinar-X diarahkan dari disamping pasien dengan jarak fokus ke film mulai dari 150-180 cm. Proyeksi LAT pada pasien dapat ditunjukkan pada Gambar 2.4 Gambar 2.4 Proyeksi LAT pada Pasien Withley, 2005 Skema proyeksi LAT phantom yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 luas lapangan penyinaran berukuran 20 x 30 cm dan variasi jarak dari titik fokus ke detektor mulai dari 100-180 cm. Detektor dihubungkan dengan elektrometer dan ditempatkan diluar ruangan. Setiap dosis radiasi yang masuk akan terbaca pada elektrometer. Teknik pengukuran dosis penyinaran dilakukan pada arah vertikal dengan cara menggeser stand tabung sinar-X menjauhi detektor. Gambar 2.5 Skema Proyeksi LAT phantom

2.5 Pengaturan Jarak

Faktor jarak berkaitan erat dengan fluks radiasi. Fluks radiasi pada suatu titik berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara titik tersebut dengan sumber radiasi. Untuk mengetahui pengaruh jarak terhadap fluks radiasi, diberikan sumber yang memancarkan radiasi dengan jumlah pancaran S radiasis. Fluks radiasi didefinisikan sebagai jumlah radiasi yang menembus luas permukaan dalam cm 2 per satauan waktu s Akhadi, 2000. Hubungan jumlah pancaran S dengan fluks radiasi pada jarak r dituliskan sebagai berikut: 2.5 Dari persamaan 2.5 terlihat bahwa fluks radiasi pada suatu titik berbanding terbalik dengan kuadrat jarak titik tersebut terhadap sumber radiasi. Laju dosis radiasi berbanding lurus dengan fluks radiasi, sehingga laju dosis pada suatu titik juga berbanding terbalik dengan kuadrat jarak titik tersebut terhadap sumber. Namun ketentuan ini hanya berlaku apabila sumber radiasi berbentuk titik dan tidak ada absorbsi radiasi oleh medium. Dari persamaan 2.5 laju dosis pada suatu titik dapat dirumuskan dengan Persamaan 2.6. ̇ ̇ ̇ atau ̇ ̇ ̇ 2.6 di mana: ̇ = laju dosis serap pada suatu titik Rs R = jarak antara titik dengan sumber radiasi cm Sedangkan untuk radiasi elektromagnetik sinar-X dan dapat pula dinyatakan dalam laju paparan ̇, sehingga persamaan 2.6 dapat pula ditulis : ̇ ̇ ̇ 2.7 ̇ = laju dosis paparan pada suatu titik Rs R = jarak antara titik dengan sumber radiasi cm Dari persamaan 2.5, 2.6 dan 2.7 maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika jarak menjadikan dua kali lebih besar, laju dosis berkurang menjadi 12 2 atau 4 kali lebih kecil. Jika jarak diperbesar 3 kali, laju dosis berkurang menjadi 13 2 atau 9 kali lebih kecil. Sebaliknya bila jarak sumber radiasi diperpendek 12 kali, laju dosis radiasi akan menjadi 4 kali lebih besar dan bila jarak diperpendek menjadi 13 kali, maka laju dosis menjadi 9 kali lebih besar. Jadi bila penyinaran terlalu dekat pada sumber, maka laju dosis berlipat ganda besarnya yang artinya semakin besar jarak, semakin kecil dosis radiasi yang terukur.

2.6 Alat Ukur Radiasi