Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

6

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bali merupakan daerah tujuan wisata domestik maupun internasional. Sebagai daerah pariwisata, Pulau Bali yang dijuluki sebagai Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura merupakan etalase Indonesia dimata dunia. Pulau Bali sebagai surga bagi produsen narkotika memperburuk image Bali. Hal ini sangat berdampak pada citra Bali yang sudah tentu akan sangat berpengaruh pada sektor pariwisata dan bahkan sektor ekonomi. Oleh karena itu, keamanan Bali dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika perlu dijaga. Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan, pelayanan kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk hal-hal negatif. 1 Penyalahgunaan narkoba umumnya digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri, kelelahan, ketegangan jiwa, sebagai hiburan, maupun untuk pergaulan. 2 Penggunaan narkotika secara berkali-kali membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan terhadap narkoba dapat menimbulkan gangguan kesehatan jasmani dan rohani serta dapat menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan hingga kematian. 3 Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, maka peredarannya harus diawasi secara ketat. Tindak pidana narkotika sekarang ini tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. 4 1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom I, h. 100. 2 Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia 2004, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta, h.2. 3 Ibid. 4 AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta Timur, h. 60. 7 Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan yang secara kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban crime without victim, kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Hal itu berarti si pelaku sekaligus sebagai korban kejahatan. 5 Apabila dikatakan sebagai korban, maka sudah jelas bahwa seorang penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika harus dijauhkan dari stigma pidana dan diberikan perawatan. Penerapan hukuman pidana berupa pidana penjara bagi penyalah guna narkotika terbukti tidak berhasil, melainkan setiap tahun penyalah guna narkotika yang masuk penjara angkanya semakin meningkat. Faktor terpenting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang sering diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum di Indonesia adalah adanya upaya rehabilitasi. Model pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika sampai sekarang ini masih menempatkannya sebagai pelaku tindak pidana kriminal sehingga upaya-upaya rehabilitasi sering terabaikan. 6 Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika diperlukan suatu aturan sebagai landasan hukumnya. Sebelumnya tentang narkotika diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Namun kini Undang-Undang tentang Narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai penjatuhan pidana dalam bentuk pidana minimum khusus paling singkat 1 satu tahun untuk Pasal 135, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 143, dan Pasal 147 dan pidana maksimal khusus 20 dua puluh tahun. Disamping itu, juga diatur mengenai pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan danatau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial pecandu dengan tujuan akhir sembuhnya pecandu dari ketergantungan narkotika. Jaminan rehabilitasi medis dan sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika sangat tergantung terhadap keputusan hakim yang memeriksa perkara korban penyalahgunaan narkotika, namun dalam prakteknya korbaan penyalahgunaan narkotika 5 Weda Darma Made, 1999, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta, h. 80. 6 http:www.gepenta.comartikelMembangun+Paradigma+Dekriminalisasi+Korban+Pengguna +Nark oba-.phpx diakses tanggal 22 September 2014. 8 bisa didakwa hanya sebagai penyalah guna. Sebagai contoh, pengguna narkotika karena kecanduan harus membeli Narkotika Golongan I bukan tanaman secara melawan hukum dan tanpa hak, kemudian narkotika tersebut dimiliki atau dikuasai dan setelah itu digunakan untuk dirinya sendiri. Berbagai rangkaian tindakan untuk menyalahgunakan narkotika tersebut dapat diancam tiga pasal sekaligus, yakni Pasal 114 ayat 1 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I dengan ancaman hukuman minimum 5 dan maksimum 20 tahun, Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman dengan ancaman hukuman minimum 4 tahun dan maksimum 12 tahun, dan Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal penyalah guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dengan ancaman hukuman maksimum 4 tahun. Penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika adalah sama-sama menggunakan atau menyalahgunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Hanya saja bagi pecandu narkotika mempunyai karakteristik tersendiri, yakni adanya ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sehingga bagi pecandu narkotika hanya dikenakan tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pada Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penyalah guna narkotika bisa menjadi subyek yang dapat dipidana kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 127 mengancam pidana penjara bagi penyalah guna narkotika. Disatu sisi dalam Pasal 127 tersebut menyatakan bahwa penyalah guna narkotika itu adalah korban yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Disinilah nampak adanya konflik norma pada Pasal 127 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Permasalahan Narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi korban penyalahgunaan Narkoba. Badan Narkotika Nasional BNN mendata kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik tajam. Korbannya mencapai lebih 5 juta 9 jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang. Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari. 7 Sebenarnya Narkoba dibutuhkan dalam dunia kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga pengadaannya perlu dijamin dan tidak bertentangan ketentuan undang-undang yang berlaku. Di sisi lain Narkoba dapat menimbulkan bahaya apabila disalahgunakan, Narkoba dapat menyebabkan timbulnya penyakit, gangguan kesehatan sampai dengan kematian, bahkan efek negatif lain kejahatan Narkoba dapat menimbulkan kejahatan atau prilaku kriminal lainnya seperti tindak kekerasan fisik, kesusilaan atau kejahatan terhadap harta benda. Penyalahgunaan Narkoba dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Dunia internasional menggangap kejahatan Narkoba telah masuk dalam kejahatan luar biasa extraordinary crime. Penyelenggaraan konferensi tentang narkotikapsikotropika yang pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adaption of Protocol on Psychotropic Substances mulai tanggal 11 Januari - 21 Februari 1971 di Wina, Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic Substances 1971. 8 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention of Psychotropic Substance 1971 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1996. Ratifikasi terhadap konvensi tentang substansi psikotropika tersebut memberikan konsekuensi hukum. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan penyalahgunaan Narkoba tersebut. Penyalahgunaan Narkoba serta peredaran dan perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional maupun internasional. 9 Indonesia kembali telah berusaha mengantisipasi dan penanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba, dengan meratifikasi Konvensi 7 BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam h ttp:www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013. 8 Siswanto Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1. 9 Ibid, hal 3. 10 Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 Covention on Psychotropic Subtances 1971 dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Permasalahan Narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi korban penyalahgunaan Narkoba. Badan Narkotika Nasional BNN mendata kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik tajam. Korbannya mencapai lebih 5 juta jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang. Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari. 10 Penyalahgunaan Narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok Narkoba agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya hubungan antara pengedarbandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri dari pengedarbandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan Narkoba. 11 Selanjutnya dikeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang- undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang narkotika. Dan disempurnakan dengan membuat aturan hukum baru yang cukup memadai dan terakomodasi yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transaksi maupun sasaran peredaran gelap narkotika. 10 BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam h ttp:www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013. 11 Lydia Harlina Martono Satya Joewana, 2006, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1. 11 Ketentuan Pasal 64 Ayat 1 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN, selanjutnya pada Ayat 2 menyebutkan BNN sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sehingga BNN memegang peranan penting yang ditetapkan oleh undang-undang dalam hal pemberantasan peredaran gelap serta pencegahan penyalahgunaan Narkoba. Pula sesuai visinya BBN menjadi lembaga yang profesional dan mampu berperan sebagai focal point Indonesia di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya di Indonesia. 12 Kasus Pilot Lion Air Syaiful Salam, yang tertangkap basah nyabu di Hotel Golden Palace tanggal 4 Februari 2012, dalam putusannya Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhi sanksi penjara selama satu tahun, sebelumnya majelis hakim telah menolak permintaan rehab dari terdakwa 13 . Terdakwa dianggap melanggar ketentuan Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009, pemberian sanksi pidana penjara ini merupakan contoh pengenaan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan Narkoba. Selain sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap penyalahgunaan Narkoba, ada kasus, pengguna hanya dikenakan sanksi rehabilitasi medis danatau rehabilitasi sosial, seperti pengguna Narkoba di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, hanya dikenakan rehabilitasi 14 . Hal kedua ini sejalan dengan SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, yang menempatkan agar hakim memberikan perintah penempatan pada lembaga rehabilitasi sosial dan medik baik dalam bentuk penetapan ataupun putusan bagi penyalah guna, korban penyalahgunaan dan pecandu Narkoba. Hingga terkait penyalahgunaan Narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang 12 http:www.bnn.go.id 13 Nyuciek Asih, 2012, Nyabu, Eks Pilot Lion Air Diganjar Satu Tahun, http:www.beritajatim.com diakses 12 April 2013. 14 Lima Pengguna Narkoba Di Sumenep Jalani Rehabilitasi, http:www.ciputranews.com, diakses 12 April 2013. 12 satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama. 15 Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus Narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi. Diharapkan akan ada Putusan – putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan landasan kebijakan negara yang juga progresif. Kebijakan tersebut tentu akan muncul manakala peraturan dan penegak hukum peka atas hak asasi manusia. Sayangnya, hingga kini, UU Narkotika masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang mengalami adiksi. Hal ini dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam Berkas Acara Pemeriksaan BAP yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian dilanjutkan dengan tuntutan para Jaksa yang sesuai dengan UU mengkriminalkan para pengguna. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor 798Pid.B2009PN Jkt.Pst, dengan ketua H. Makmun Masduki, SH, MH menjatuhkan vonis rehabilitasi kepada seorang pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwa banyak narapidana narkotika yang dari sisi kesehatan adalah orang sakit yang butuh terapi kesehatan. Selanjutnya penjara bukanlah tempat yang tepat untuk para pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Oleh karena itu hakim memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur terlebih dahulu. Sedangkan khususnya di Propinsi Bali yang merupakan daerah tujuan wisata tidak sedikit terjadi kasus penyalahgunaan Narkoba. Seperti dikatakan Kepala Badan Narkotika Provinsi Bali dalam keteranganya di Denpasar 722013 mengatakan tingginya angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali karena daya imunitas dan kesadaran akan ancaman narkotika di Bali masih rendah, hasil penelitian Badan 15 Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hal.10. 13 Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa tingkat prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali mencapai 1,8 persen dari jumlah penduduk atau mencapai 50.530 orang. 16 Bahkan BNN telah berencana membangun pusat rehabilitasi di Bali untuk merehabilitasi pencandu narkotika. Rencana BNN itu mendapat dukungan dari Gubernur Bali. Kepala BNN Provinsi Bali mengatakan, pihaknya sudah menemui Gubernur Bali untuk menyampaikan rencana pembangunan pusat rehabilitasi BNN di Bali. Gubernur mendukung sebab pada prinsipnya pusat rehabilitasi itu untuk kepentingan masyarakat Bali, Direncanakan dibangun di Bangli. Pusat rehabilitasi BNN itu akan memakai lahan milik pemerintah seluas dua hektar, dan diperkirakan dapat menampung 300 orang. 17 Hingga terkait penyalahgunaan Narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama. 18 Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus Narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi. Diharapkan akan ada Putusan – putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan landasan kebijakan negara yang juga progresif. Kebijakan tersebut tentu akan muncul manakala peraturan dan penegak hukum peka atas hak asasi manusia. Sayangnya, hingga kini, UU Narkotika masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang 16 Pengguna Narkotika di Bali Mencapai 50.530 Orang, http:www.beritabali.com, diakses 12 April 2013. 17 Cokorda Yudhistira, 2013, BNN Bangun Pusat Rehabilitasi di Bali, http:nasional.kompas.com, diakses 11 April 2013. 18 Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hal.10. 14 mengalami adiksi. Hal ini dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam Berkas Acara Pemeriksaan BAP yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian dilanjutkan dengan tuntutan para Jaksa yang sesuai dengan UU mengkriminalkan para pengguna.

1.2 Permasalahan